Selasa, 13 Agustus 2024

III. STRUKTUR PRASASTI

 III. STRUKTUR PRASASTI

Asal-mula praçasti itu terdapat dalam ruang-sejarah Timur Tengah. Prasasti-prasasti tertua disusun oleh Raja-raja  Hittlet untuk menetapkan hak kedaulatan mereka atas daerah raja bawahan (vazal). Struktur dari praçasti tertua itu sudah memuat segala unsur dari praçasti kemudian hari sampai akhir zaman klasik, yaitu :

A. protokol awal yang menyebut nama raja;

B. alasan pemberian hak, yaitu peristiwa sejarah

C. yang menyebabkan hubungan kausal-raja;

D. isi perjanjian dengan hak-wadjib timbal-balik.

E. ketentuan untuk menjamin hak-hak yang diserahkan, daftar saksi-saksi;

 F. protokol akhir dengan daftar kurnia & kutukan. (G. Mendenhall: Covenant forms in Israelite traditions, 1954; Mc Carthy: Treaty and Covenant, 1963).

Penggunaan praçasti semacam itu disebar-luaskan di seluruh Timur Tengah, sampai untuk menentukan hubungan internasional, pun pula untuk merumuskan nisbah manusia dengan Tuhan dalam agama-agama besar: Berith (Israel) Mithaq (Islam), Diatheke (Nasrani).

Dalam zaman Hellenisme, berkat akulturasi Timur-Barat bentuk itu dibawa ke daerah yang lebih luas lagi. Dengan epigrammata (praçasti Junani) raja-raja Hellenis (Seleucid, Ptolemies, dll.) menetapkan hak-feodal mereka (kle ruchia, leiturgia) dengan praçasti, contohnya Batu Rosette. Melalui praçasti Rum (tituli atau acta) gaja itu masuk ke dalam masyarakat Abad Pertengahan Eropa. Melalui kerajaan Hindia-Baktria-Yunani, gaya dan bagan praçasti Yunani masuk ke dalam kerajaan India dan Indonesia, sehingga tidak mengherankan bahwa semua prasasti itu agak seragam susunannya. Perbandingannya adalah seperti berikut :

EROPA ABAD TENGAH PRASASTI INDIA

1. menyebut Tuhan

2. gelar pemberi

3. nama orang yang menerima

4. selamat rahmat

5. mukaddimah

6. pengundangan

7. alasan pemberian

8. putusan

9. sanksi

10. pengukuhan


A. protokol awal

1. nama Dewa

2. nama pemberi

3. nama yang menerima

4. pujian

B. isi

5. titah raja 

6. pengundangan

7. Sambandha

8. putusan

9. upacara

PRASASTI INDONESIA

1. nama Dewa

2. tanggal

3. nama raja yang memberi

4. nama orang yang menerima

5. titah radja, pegawai

6. sambandha

7. daftar orang saksi

8. upacara manusuk

9. sapatha panjang

 10. sapatha pendek

11. tanda tangan

12. tanggal

C. protokol akhir 

11. tanggal

10. astu

Dalam prasasti Indonesia tidak senantiasa dipakai urutan itu. Perumusan menjebut dewa-dewa kadang-kadang didapat pada bagian terakhir. Kerapkali terdapat suatu pengulangan sehingga nama raja dihajar sampai 2 atau 3 kali. Tetapi selain dari bebe rapa perubahan kecil, semua prasasti Indonesia dari abad ke-VII hingga abad ke-XV disusun seragam, Itulah membuktikan kesatuan dan kontinuitas tradisi hindu-Indonesia dalam negara dan dibawah pemerintah yang beraneka-warna. 

1. Nama Dewa. Kata pertama dalam prasasti Indonesia menyebut nama dewa dengan suatu pujian.

IV. BAGIAN PRASASTI INDONESIA MASING-MASING

 IV. BAGIAN PRASASTI INDONESIA MASING-MASING 

1. Dengan itu kita tahu agama dan aliran agama mana yang dianut/dipahamkan oleh raja. Contoh: "Om namo buddhaya", "Om ratna trayaya", menunjukkan adanya agama Buddha. "Om namaççiwaya", "Om awignam astu", "Om ganapataye namah", "Om namarudradurgge" menyaksikan adanya agama Hindu, aliran Çiwa (Çaiwa).

2. Tanggal. Tahun dikeluarkannya prasasti dicatat: dalam tarikh Çaka dengan kata: swasta-çakawarsa- tila (tahun Çaka yang sudah lewat), çaka- nrpa-kalatitawarsa, çaka-kalatita, çakendryam, dll. Tarikh Çaka berasalkan dari İndia, waktu radja Scythe = Çaka, dan permukaannya: 2/3 Maret 78 ( = Çaka 0).

Dengan tanggal tarikh Sanjaya didapat beberapa prasasti: swastha çri sanjaya warsa, permulaannya adalah 28 Februari 716 (Sky. 0) (Lihat Demais: BEFEO XLV (1951) 42-63).

Selain tahun juga tercatat nama bulan, bahagian bulan ialah çuklapaksa untuk bulan perbani (tg.1-15) dan krsnapaksa untuk bulan susut (tg.1 -30); nama hari sapta- wara (Aditya, Soma, Anggara, Buddha, Brhnaspati, Çukra dan Caneçcara); hari sadwara (Tunglai, Hari-yang, Wuru- kung, Paniruan, Was, Mawulu); hari pancawara (Kaliwon, Umanis, Pahing, Pon, Wage), Nama-nama hari diberikan dalam singkatan, dengan berurutan: sad, pancadan sap- tawara, Contohnya: "tu.pa.a" = tunglai, pahing, hari - yang. "Wu.U.So." = wurukung, uwas, soma, dst. Tjontoh lengkap: "Çri Çakawarsatita 746, Jyestamasa daçami krsnapaksa umanis wrhaspatiwara" = pada bulan ke-9, hari ke-10, paro petang, hari sadwara ke-l, hari pancawara ke-2, hari sapta atau adityawara ke-5, = 26 Mei 824 A.D.

Adapun wara dan wuku berasalkan dari sistem tanggal Indonesia asli. Bersama dengan itu juga diberitakan macam-macam waktu astronomis yang berasalkan dari ilmu Hindu, yaitu tempat matahari, bulan, bintang siarah (planit), yang berada pada saat praçasti diresmikan, Berturut-turut disebut: Grahachara (planit: Anggara, Buddha, Guru, Brglhu, Kona), Nakshatra (horoscoop), Dewata, Mandala, Yoga dan Karana, masing-masing pancaran deważ pada langit; akhirnya jam (muhurtha = 48 menit) dan raçi atau zodiak. Semua waktu itu ditentukan oleh seorang wariga (astroloog istana) menurut ilmu dan ajaran Hindu seperti termaktub dalam Bhaskaracharya, atau Surya Siddhanta. Dasar ideologinya adalah paham dewa raja: yaitu bahwa raja bukan saja menempati fungsi politis sebagai kepala negara, melainkan pula fungsi kosmis sebagai pusat alam raya,

Kekuasaannya bukan sekuler, melainkan sakral. Istananya, melambangkan alam semesta yang dimilikinya sejak dia pada upacara abhiçekanya (pengobatannya) mengelilingi istinja dengan pradaksina (kirab) mulai dari timur, melalui selatan dan seterusnya untuk mewarisi secara simbolis alam dunia. (R. van Heine-Geldern: "Conception of state and kingship in Southeast Asia", 1951; Ch. Drekmeyer: "Kingship and Community in Early India", 1962; L. Rocher: "La sacralité du pouvoir dans l'Inde ancienne d'après les textes de Dharma, 1962).

Anggapan bahwa hidup manusia dikuasai oleh falak, tidak seluruhnya di impor dari India; sudah terdapat dalam kebudayaan asli yang diperkuat oleh pengaruh India. Setelah kerajaan? Hindu-Indonesia lengkap masih terus mempunyai pengaruh besar dalam kalangan rakyat. Banyak dari kitab-kitab seperti Surya Siddhanta hidup terus dalam primbon-primbon, seperti primbon Palintangan, Falak budo-kwai, pawukon yang dipakai oleh kaum dukun. Pada suku-suku Bali, Bugis, Batak, Tengger, ilmu tanda-tanda langit, "diwasa" atau "ketika" masih dihormati kurang-lebih secara resmi, pada suku Sunda dan Jawa ilmu petèk dan pétungan berpengaruh besar atas dasar adat, meskipun melawan syari'at (Cf. Dr. A. Maass, Sternkunde und Sterndeuterei im Malayischen Archipel, 1924).

Kerapkali tanggal di-candra dalam candrasangkala: ia lah kalimat yang katanya mengandung angka tahun: Contohny : "rasa sagara ksitidhara" = Ç.74;

"crutindrarasair" = C. 54 "resi sanga samadhi" = C.1197. Prasasti berbahasa Sansekerta, baik di India maupun di Indonesia, tidak memakai angka-angka, tanggal hanya didapat dalam candrasangkala saja. Juga terdapat rupacandra, dalam mana angka-angka tahun dinyatakan dengan gambar seisi dengan kata-angka. Daftar lengkap untuk arti angka kata-kata dan gambar-gambar, terdapat pada : R. M. Ng. Hardasasmita: "Pakem Candrasangkala" dan R. Bratakésawa: "Katrangan Candrasangkala": Balai Pustaka, 1953.

3. Nama Raja, Orang yang mengeluarkan prasasti itu blasanja raja, ratu, raja muda, rakryan, pegawai tinggi.

Kerap Kali nenek-moyang raja semua disebut juga sehingga wamsakarta penegak raja-bangsa atau dinasti. Nama raja dengan gelar beliau serba lengkap terkadang amat panjang, hingga 20 baris sekalipun, seperti pada pr. Kudadu Ç.1216.

Contoh nama raja: Çri maharaja rakai halu çri lokeçva ram dharmawangsa airlangga wikramatunggadewa. Pr. C.956.

4. Nama orang yang menerima prasasti. Umpama: uming sor i sangat pu padma diberi kepada pegawai pu Padma.

5. titah raja: dengan kata "kumonaken": berita mengenai.

6. sambandha atau sebab dan alasan pemberian. Sebab-sebab itu beraneka warna sebagai karena rakyat memberi perlindungan kepada raja di waktu perang; karena sungai dibendung; karena candi atau arca didirikan, jalan dibuat, karena kurban dihaturkan oleh brahmana raja, dll. Dalam sambandha diterangkan pula dengan saksama sifat dan isi anugerah: jikalau diberi tanah, batas-batasnya ditentukan; jikalau didirikan desa perdikan, dijelaskan pajak mana yang sudah tidak usah dibayar dan pegawai pajak mana yang dilarang masuk daerah bebas itu. Hadiah lain terdapat juga. :

a). anugerah tanah, Prasasti-prasasti mencerminkan suatu masyarakat Hindu-Indonesia yang bercorak feodal. Apakah artinya ? Dalam konperensi internasional tentang arti feodalisme, ditentukan a.l.: "Feodalisme is not primarily an economic or social system, but a method of government, in which the essential relation is not between ruler and subject, nor state and citizen, but between lord and vassal.. .A connection between feudalism and landed property is implied in the very word which is used to describe the institution for which the feudum was usually a piece of land", (Cf. "Feudalism in History" MacMillan, 1956; F, Ganshof: "Qu'est ce que la féodalité, 1947; R. Subaya: "Feodalisme di Indonesia" Basis, Nov, 1960).

FEUDUM (Skr.patta; Arab iqta' Jawa Kuno: bhumidana) berarti tanah yang dipinjamkan oleh raja kepada pasalnya, sebagai balasan untuk jasanya dalam perang, atau kepada rakjat desa sebagai balasan untuk sebuah kerjabakti bagi raja. Dalam masyarakat tanpa ekonomi-uang, raja tak dapat memberi gaji kepada pegawainya selain berupa pemberian dari miliknya sendiri. Maka milik Raja yang  paling besar adalah tanah, yaitu seluruh daerah kerajaannya: itulah diandaikan oleh perundangan Jawa kuno, Dalam Kutaramanawa, fasal 93 divaca: "Sang Ratu wiçesamawa bhumi deça"; fasal 100: "apan drwe sang Prabhu lemah ika". Dalam kitab Sang Hyang Agama terbaca dalam fasal 115, bahwa tanah adalah milik radja (Perb. Dr, Slamet Muljana: Perundang-undangan Majapahit, Jakarta (1967, 130). Dalam faham hukum itulah terletaklah asas feodalisme Jawa kuno. Sisa-sisanya (survivals) masih terdapat dalam lembaga tanah sebagai tanah cangkok, lungguh, bengkok, gaduhan, tanah gumantung, tanah patuh, siti pangembe, buat haji, buncang hajian dll. Di negara Hindu di India pemberian tanah (ksetradhanam budhana) terutama diperuntukkan bagi para Brahmana (Manudharmaçastra 8,79), dan disahkan oleh praçasti prunggu (Yajnavalkya I, 317). Disini agaknya tanah diberikan kepada para santana Raja, dan kepada wihara-wihara dan desa-desa yang berjasa bagi raja. Bila seseorang menerima tanah, dia berkuasa penuh atas penduduknya, yang wajib keter paksa baginya dan bekerja bagi hasil, Bila sebuah desa (wanua) menerima anugerah praçasti, dia dibebaskan dari upeti, beaya dan sejumlah dari sebegitu banyak pajak yang dipungut pada zaman dahulu. Bahkan pemungut pajak dilarang masuk desa itu. Untuk kedua bentuk anugerah dipergunakan, tanpa perbedaan, nama-nama sbb. sima, simadharma, siwi- dharma, sima swatantra, dharma lepas, kadharman, dharma haji atau raja dharma. Tanah yang dibebaskan dari pajak kepada rakyat, merupakan negara dalam negara, berstatus otonom atau mardika; pemerintah pusat hampir tak punya kekuasaan atasnya, dan biasanya hal semacam itu justru terjadi karena pemerintah pusat tak mampu memerintahnya. Semua penghasilan tanah semacam itu diperuntukkan si penerima budhana itu, Desa-desa yang menjadi  objek dari prasasti dalam zaman Mataram II dari piagem Sultan disebut desa perdikan, Mijen, Pakuncen, kepu- tihan dan wakap (freehold, apanage). Nagarakretagama dalam surga 76-78 mendaftarkan dua ratus lebih dharma- lepas sedemikian itu.

Sima diberi, entah untuk seumur hidup, entah untuk selamanya dengan hak turun-temurun. Tetapi jika pemilik sima memberontak melawan raja, prasasti di- batalkan, tanah dikembalikan kepada pusat, ump.: Pararaton fol. 26: "prasasti both" = dibatalkan. Selain itu, penjahat yang lari kedalam sima itu tidak boleh dituntut dimuka hakim resmi. Sima merupakan "unsur ing maling" (tempat pengungsian pencuri), hulun minggat (budak belian yang membolos) dancing hutang rangang" (orang yang tak sanggup bayar hutang).

Banyak sima yang didirikan dalam zaman Hindu berada langsung hingga sekarang sebagai desa mijen, perdikan dan kuncen, Banyak juga yang lama-lama berubah menjadi "wakif", wakaf atas dasar hukum fiqh. (Lihat Kusumah Atmaja: "Mohammedaansche vrome stichtingen in Indië", 1922, p.87). Rumusan pembebasan pajak lafalnya begini. "sima swatantra tan knakna wulu pariwulu, ludan, tutan, dampulan, lancura, kopan, kipah-kipah, tulungbijet, pinta-palaku, angsa-pratyanca, danda skar tahun", dan lain-lain; kata-kata mana semua menunjukkan jenis pajak yang tidak harus dibayar oleh penduduk atau

b). pembebasan dari pajak untuk rakyat.

rupa pekerjaan yang tidak dibayar dan disebut raja karya, raja pundut (= upeti, bulu bekti) atau buat haji, buat hajiyan, putajenan dan buncanghaji.

pemilik sima (dari Prasasti Sidoarjo, 1042). Dalam sima tersebut dibawah a), maka penduduk desa seolah-olah menjadi budak sipemilik sima. Kerja Paksa untuk pembesar itu disebut "bhara, halyun, berat dan terlalu banyak "ya ta menjadi sakit ke pawan diya" = sehingga penduduk sakit dan repot. Lain halnya jika penduduk desa pada sendirinya berjasa besar terhadap raja. Mereka itu dibebaskan dari pajak berupa kerja paksa negara, sebagai balasan prestasi mereka, Pajak pada umumnya be-

Dalam prasasti kerapkali tersebut daftar amat panjang memuat beraneka-warna kerjabakti yang dituntut dari rakyat, misalnya: makmit (jaga malam), makuta (membuat benteng), rbah (menebang), lakulangkah (blandong), babad, caru pamuji (menyediakan kenduri), tandapana (mengasah panah), pikul-pikul, dan lain-lain,

c).pegawai pemerintah dilarang masuk sima: "ya mengalila drwi haji tan tumama umaso sima" katanya. Dengan begitu kita tahu bahwa terdapat pegawai tinggi sebagai menteri; gelarnya rakryan mahamantri katrini; rakryan mahamantri hino, rakryan mahamantri sirikan, rakryan mahamantri halu. Apalagi macam-macam pegawai lain yang tugasnya sudah kerapkali tidak dapat diketahui, umpama pabisar, micra hino, pulung padi, marhyan, sthapaka, limus galuh, hulu kayu, sukun, dangkel, sambal, sumbul, ketangguhan, watu walang, juru kalang, juru wadhwa rare i haji, tuhalas, tuha dagang, makudur, kring, padamapuy, dan banyak lagi lainnya.

d). hadiah-hadiah lain.

Umpama wnang apayunga, renang gelanggang (menyabung ayam), wnang amupuha ngrahana kawula (memukul budak belian hingga keluar darahnja), angguntinga kawula minggat (mengebiri budak pelarian), hak tawang karang, hadiah dasa-dasi dan hak hanya maha dasa dasi (memperkosa budak belian laki dan perempuan), gelang emas ring tangan ing suku, anunturi tali sabuk.

Sudah terang bahwa prasasti, selain dari memberi bahan sejarah, amat berguna untuk mengetahui keadaan sosial dan ekonomis dalam zaman Hindu, Contoh baik untuk melihat bagaimana prasasti dapat dipakai untuk pengetahuan sosiologi masyarakat Hindu terdapat dalam karangan Gorys tentang berita sosiologis dalam prasasti-prasasti Bali (Lihat TBG 1941),

7. Daftar orang saksi: Orang yang menyaksikan pemberian, dan mereka yang dipanggil dari desa-desa sekitar tempat pemberian, didaftarkan juga, beserta dianugerahi dengan alat-alat, sajen dan uang. Saksi pertama ialah kepala desa, ialah rama desa, tuha wanua dan juru hulu,

8. Upacara berkahan dan pujian praçasti: Prasasti dianggap dan dihormati sebagai perwakilan Raja dalam fungsi kosmisnya; hahkan sebagai pancaran kuasa shakti para dewa, Pada waktu meresmikan (manusuk) praçasti, diadakan upacara beraneka-warna yang bersifat execration (meruwat atau menjauhkan bahaya magis dari penduduk desa atau dari raja sekalipun yang mungkin diancam oleh kemarahan para gramadewata (dewa-dewa desa). Sima-pamuja itu tidak terdapat dalam praçasti atau ritual Hindu; asalnya dari suatu perpaduan sinkretis antara ajaran Hindu dengan unsur-unsur agama asli animis.

Praçasti disamakan dengan Bahureksa desa, dewa pelindung desa perdikan dan disebut Sang Hyang Praçasti, Sang Hyang Raksa. Desa jang dilindungi oleh praçasti tersebut disebut Karaksayan (Praçasti Bali 201). Praçasti itu diserahkan mengelilingi desa, dengan diiringi musik dan dipayungi. Sampai batu keramat (watu- wungkal, pepunden, watu kelumpang, sisa² ibadat neolithic) seorang dukun-desa bertindak : "akudur ma- netek guluning hayam, amantingaken hantiga, humarep ing krodhaning desa, mamangmang manathapa, sumanak ring lagi lingnya" om indah ta kita", dst.

(artinya: seorang dukun memotong leher ayam, memecahkan telur, menghadapi kemarahan orang dan mengungkapkan sepatha: Kamu dewa.. .......dst.)

Upacara semacam itu harus diulangi se-waktu-waktu agar praçasti terus melindungi rakyat desa. Pada upacara hari lahirnya praçasti, rakyat desa diperkenankan oleh raja berpesta "sekaten": "ri kalani kapujan sang hyang ajna haji praçasti wnang angadwa nita, judi. Acuringa kinagsayan ri kalanyamuja daçarddha diwaça" (Pada waktu sang hyang rajapraçasti dipuja (disembah), diizinkan menyabung ayam dan berjudi. Diizinkan melakukan musik pada waktu pujian 10 kali sehari-semalam ketika praçasti dipuji, Pr. Canggu, 1358). Keterangannya diberikan oleh Dr. Th, Pigeaud sbb.:

"The Royal charters were made to be heirlooms in the families of the beneficiaries, and in those communities they represented the Royal Family and the Court, They were worshiped like fetishes. This side of their function might be compared with the function of portraits of the sovereign, national flags as representatives of royal government in other countries..... The fetishistic worship of Ro- yal charters engraved on copper plates kept by the recipients as heirlooms is attested by King Hayam Wuruk's Ferry charter. No doubt it was customary from very old times. The cult is reminiscent of the veneration for heirlooms (in modern times called puskas) characteristic of Javanese family religion. The relationship with ancestor worship is obvious... The ceremony is apparently connected with the ancient native belief of rural communities.. (Java in the XIVth century, IV, 400, 483, dipersingkat; karya Dr. Piglaud ini menjadikan a.l. lima buah praçasti: dengan tafsir seperlunya, 5 ji.).

9. sapatha: ialah laknat yang diucapkan melawan setiap orang yang berani merusak prasasti atau merubah aturan yang didapat didalamnya. Isi prasasti menetapkan suatu keadaan baru dalam lapangan hukum, sebagai perwujudan dharma abadı, dijamin oleh azası agama, maka aturan harus abadi pula dan orang yang melawannya dihukum dengan hukuman abadi.

Sapatha Hindu-Indonesia mencerminkan syncretisme agama yang laku dalam zaman hindu disana terdapat campuran antara agama Hindu, Buddha dengan faham animisme dan pemudjaan kepada nenek-moyang (manisme).

"The stereotyped curse-formulas are however distinct features of early Javanese records, which mark them off from Indian inscriptions" (H.B.Sarkar: "Indian influences in Indonesian literature).

Sapatha berbunji begini: "yan hana wang ya allah-ilaha ikang sima, yapuan hana drohaka umulah-ulah ika ing sima, salwiraning manglilangaken kaswatantran ika.. (= jika ada orang yang berani merubah daerah merdeka ini.....semoga disiksa dengan seribu satu macam siksaan).

Daftar siksaan merupakan bagian istimewa dalam kesusastraan Jawa dan Bali Kuno. Contohnya: "patyana adenta, deyanta dedel diidak, tampak muka nya, sebitaken we- tengnya; yan para ring alas panganan sing singa barong. sahutan ing ula mandi, yan para ring tgal, sambirenteng flap, sampalen ing raksasa, make viagra, ring samudra klemaken ring dawuhan (bendung), sempalenaning buhaja, alpen de sang hyang wwai (air), sankapen dening mina- rodra (ikan), yan mati mulia mareng yamani, mantuka ma- reng narakapada, tumiba ring tambragomukha (periuk tembaga dengan kepala kerbau)."

Dalam prasasti Buddhis terdapat sapatha dengan harapan supaya perusak prasasti "ping satasahasradaça manu, lawasanya(n) mangjanma": supaya senantiasa menjadi manusia, tanpa mencapai nirvana, yang mengakhiri samsara atau peredaran lahir kembali.

Dewa dimohon supaya mengukuhkan sapatha itu. Dalam daftar dewa-dewa synkretisme menampakkan diri satu kali lagi. Begitu pula gunung-gunung di tanah Jawa dianggap dewa, begitu pula raja, nenek-moyang raja yang memerintah (rahyangta). Doa kepada dewa-dewa, hampir semua sama dalam prasasti-prasasti muda, ialah "Om indah ta kita kami bhatara i çri bapakeçvara, Brahma, Vishnu, Mahadewa (= Çiva), rawi, çaçi, ksiti jala pavna huts, gana bhuta sandhyadwaya ahoratri, yama baruna kuwera yaksa raksasa picaça, kurcaci, prtasura, garuda kinnara gandharwa widyadhari, lor kidul kulwan wetan; Kamung hyang Merapwi wukir sumbi susundara, kita raditya soma anggara buddha wrhaspati çukra çaneçcara (hari saptawara); kita kampung hyang haricandana agastimaharsi purwadaksina pacima uttara madhya urdhamadah, dll.

10. astu, artinya : sekolah !

Senin, 12 Agustus 2024

V. ILMU PALEOGRAFI INDONESIA

 V. ILMU PALEOGRAFI INDONESIA

Karena banyak prasasti yang tidak membawa tanggal dan banyak pula yang sudah lapuk ujungnya sehingga tanggal tidak dapat dibaca lagi, maka ahli prasasti harus mahir juga dalam ilmu palaeografi. Ilmu itu berusaha menentukan, atas dasar bentuk dan evolusi huruf-huruf, zaman atau abad dalam mana prasasti dikeluarkan, dan kerajaan yang berkepentingan. Dengan begitu cabang ilmu sejarah itu banyak menyumbang akan pengetahuan chronologi dan keadaan daerah, Adapun abjad-abjad yang dipakai dalam prasasti-prasasti Indonesia itu termuat dalam silsilah abjad, yang diringkaskan begini.

Huruf Brahmi (asal fenisis-Junani) (prasasti Açoka 250 BC)

*ABJAD INDIA UTARA*

1. Abjad Gupta, 500-400

2. Abjad-abjad Nagari, 500, sekarang ada 10 jenis, di Indonesia:

a). siddha matrika = siddham, dinamakan Pranagari; terutama pada pr. Çailen- dra, 532900.

b).devanagari, dalam tulisan-tulisan Singhasari, + 1290

*ABJAD INDIA SELATAN*

1. Abjad Pallawa, 250-750 di Fu-Nan, Campa, Thailan, Ligor, Kutei, Taruma Çrivijaya, Tjang- gal (djuga Grantha).

2. Abjad-abjad Pallawa bentuk Indonesia, dengan huruf bulat:

a).abjad Jawa Kuno 750-1500

b).abjad Bali Kuno, 911-1430

c).abd.Sunda Kuno, 1050-1500

 d).abd.Sumatra Kuno, 1039-1380

3. Abjad-abjad Kuno pesagi, 1002-1205

Dalam abjad-abjad itu juga terdapat berbagai hajat khusus. Abjad Jawa Kuno bergaya Majapahit mengasalkan "ha-na-ca-ra-ka" miring, Abjad-abjad Jawa Kuno, gaya Sukuh- Lawu, mengamalkan "ha-na-ca-ra-ka" djedje. Perbedaan antara abjad turunan itu dengan abjad-abjad asli disebabkan oleh perbedaan bunyi-bunyi bahasa masingmasing, bahan-bahan yang ditulis atasnya dan bakat bangsa-bangsa yang memakainya. Perhubungan antara bakat bangsa dan bentuk-bentuk abjadnya dipelajari dalam ilmu grafologi bangsa, juga dalam bentuk angka tahun terdapat perbedaan amat banyak, lagi besar. 

Nama para sarjana yang berjasa besar dalam menentukan huruf mana yang sesuai dengan abjad/dinasti mana, disebut diatas ini pada fasal I, 5-(1).

VI. ALAT-ALAT UNTUK PENGETAHUAN PRASASTI.

VI. A

ALAT-ALAT UNTUK PENGETAHUAN PRASASTI.

Ahli sejarah tidak dapat membaca isi prasasti pada tempat-tempat dimana prasasti didirikan pada permulaannya. Kalau begitu perlu, ia senantiasa harus berkeliling tanah tempat pelajarannya. Selain itu di Indonesia hanya ada bagian kecil saja dari prasasti-prasasti yang masih terdapat di tempat dikeluarkannya. Sebagian besar dibawa orang ke segala penjuru angin, dan disimpan dalam museum-museum London, Leiden, Berlin dan Kopenhagen. Untuk mempelajari isi prasasti, perlulah alat untuk menyampaikan isi tadi kepada ahli sejarah. 

Disamping prasasti yang masih berada di tempat dimana didirikan (umpamanya kalau dipahat dalam batu karang besar), yang ditunjukkan dengan istilah "in loco" atau "in situ" (pada tempat asalnya), juga didapat beberapa bentuk yang memberitahukan isi prasasti itu pada beberapa tingkatan : 

1). "Rubbing" atau Abklatsch: teraan sebesar tulisan asli. 

2). foto, dia-gambar, microfilm.

 3). facsimile: turunan yang sama dengan yang asli.

 4), transkripsi: turunan dengan huruf latin.

 5), terjemahan beserta penafsiran. 

Prasasti banyak dikumpulkan dalam ruangan tertentu, yang  disebut aerarium, ialah nama untuk tempat Senaat Rumawi menyimpan "tituli" atau prasasti Romawi. Aerarium biasanya terdapat dalam museum-museum: Museum Jakarta, Trowulan (Modjokerto) dan Kirtya Liefrinck van der Tuuk (Bali) memuat banyak prasasti Indonesia, 

Di sana prasasti diberi tanda dan nomor sendiri, apalagi huruf: 

D untuk prasasti batu, 

E untuk prasasti perunggu,

Turunan prasasti-prasasti layak dikumpulkan dalam sebuah "corpus" (=badan), Corpus itu ialah sebuah buku yang  memuat transkripsi-transkripsi prasasti semua, diurut-urutkan menurut waktu, diberi nomor pendaftaran, disusul oleh penerbitan dan tafsir-tafsir, Dengan begitu terdapatlah "corpus inscriptionum platinum", corpus inskripsi Latin-Junani, Hibrani dan se terusnja. Sebagai umpama Corpus incriptionum latinarum, digubah sejak 1863, sekarang sudah memuat 40 jilid, dengan daftar 200.000 inskripsi, dan masih dilanjutkan dengan Ephemeris Epigraphical (Madjalah Epigrafi). Corpus inskripsi India itu juga sudah diterbitkan dengan rapi. 

Penyelidikan praçasti, meskipun penting bagi penulisan sejarah nasional sekarang agak macet. Dalam Konferensi Ikatan Sarjana Sastra Indonesia (Nop.1959) Drs. Buchori mengatakan : "Penulisan sejarah kuno Indonesia dapat ditinjau kembali berdasarkan praçasti yang sedang dipelajari; karena itu penerbitan praçasti yang belum lengkap perlu dipercepat, dan diperbesar pula kegiatan mempelajarinya supaya kita mempunyai satu sejarah yang lengkap dan berdasarkan kenyataan. 

Berdasarkan penyelidikan praçasti dapatlah diketahui watak-watak Indonesia purbakala. Sekarang karena kurang lengkapnya praçasti itu, maka berbagai jumlah majalah tafsiran yang diberikan orang.... tafsiran yang merugikan dan menghina bangsa Indonesia".

Untuk Indonesia hingga sekarang belum terdapat corpus lengkap. Penerbitan corpus dimulai tahun 1940 oleh Purbatjaraka, Stutterheim dan de Casparis, tapi hanja satu jilid diterbitkan. Sejak 1950 Jawatan Purbakala Indonesia menerbitkan Prasasti Indonesia I, prasasti zaman Çailen- dra, 6 buah banyaknya, dengan tafsir; karangan Prof. Dr. J.G. de Casparis (1950), 

VII. PENAFSIRAN DAN PENGGUNAAN PRASASTI-PRASASTI

 VII. PENAFSIRAN DAN PENGGUNAAN PRASASTI-PRASASTI 

Prasasti itu merupakan pangkal pengetahuan kita tentang zaman sejarah Indonesia yang telah silam, Prasasti-prasasti dikatakan: "the sheet anchors of our historical knowledge". Tidak dengan prasasti-prasasti waktu lampau sungguhlah gelap, tetapi dengan prasasti-prasasti waktu itu djuga masih agak gelap. Jalan dari prasasti ke-pembentukan sejarah itu masih amat panjang, dan untuk mencapai akhir jalan tadi kita masih harus mengatasi pelbagai rintangan.

Supaya jangan menyimpang dari jalan lurus kearah pe ngetahuan sejarah yang objektif lagi konkrit, diberikan 3 buah peringatan, diambil dari ilmu methodologi sejarah.

Pertama: Antara banyak-sedikitnya prasasti dan berita di- atasnja dengan penting-tidaknya suatu zaman, tidaklah terdapat suatu nisbah timbal-balik. Dapat terjadi bahwa peristiwa yang penting tidak disaksikan dalam prasasti, sedangkan hal-hal yang tidak penting mungkin diberitahukan secara berlimpah-ruah, Itu tergantung atas ke - condongan raja untuk mengeluarkan prasasti atau tidak, atas perkara yang kebetulan saja kejadiannya dan lain2 lagi. Apalagi banyak prasasti hilang dan binasa, tidak menurut suatu rencana yang mengecualikan prasasti-prasasti penting.

.. The historian's access to historical evidence is always and everywhere at the mercy of chance, so that there is no rational correspondence between intrinsic importance and interest of any given historical event and the quantity and credibility of the historical evidence that is at our disposal for the study of It", (Lihat: A.J. Toynbee: The Study of History, I, 7).

Kedua: Kecuali itu pengetahuan tentang zaman dahulu tidaklah mencerminkan zaman dahulu itu dengan langsung, tetapi melalui penjaringan orang-orang zaman dahulu. Buku sedjarah kita hanja mentjerminkan apa2 yang diingatkan tentang zaman lampau dalam bentuk tulisan. "History is called "the remembered past"; not the past as it was, but as it is remembered, and history cannot surpass the limitations of human memory. History cannot make the past present again, even if it tries to do so; an exact reconstruction of past events is out of its reach, because the human memory does not retain the past exactly. History must be satisfied if it can reconstruct the memory of the past; then, by comparison and criticism, it can reconstruct, from the items of individual memories, a collective memory which will restore to us much of the past as memory has retained."

(J. MacKenzie The two-edged sword, 1957, p. 60).

Ketiga Prasasti memberitahukan tahun pemerintahan raja-raja dan batas daerah yang diperintahnya. Prasasti memberitahukan aneka-warna tentang susunan masyarakat kuno, tentang sosiologi dahulu, tentang sosiologi dahulu, tentang faham agama waktu itu. Semua itu benar, akan tetapi prasasti itu tidak digubah dengan maksud atau Ikhtiar supaya di kemudian hari dapat di jadi- kan alat pelaksanaan ilmu sejarah, Prasasti harus dikerjakan dahulu agar supaya dapat menjadi alat sejarah yang  utuh. Prof. A. J. Toynbee menulis begitu tentang prasasti-prasasti pada umumnya: The normal motive for manufacturing an official document is to produce some immediate practical effect in current politics. The intention may be to prevent something from happening, to make something happen, or to create a false impression about something that happened, already; there are diverse practical purposes which the manufacture of official documents can be made to serve; but there is one purpose one which, though theoretically possible, would hardly occur to anyone but an historian which the historian would be wise to leave out of his reckoning; the manufacturer of official documents is never inspired by an academic concern to record the truth for the benefit of future historians; for, from the man of action's standpoint, the briefing of future historians is, at best, unprofitable and, at worst, imprudent." (A Study of History, IX, p.207).

Dengan berdasarkan ketiga peringatan itu kita dapat mempelajari prasasti, dan menetapkan 5 taraf melalui mana prasasti menjadi alat sejarah.

Prasasti-prasasti itu haruslah :

1). diselidiki mengenai kebenarannya. 

2). disesuaikan istinja dengan prasasti lain,

3). diperbandingkan dengan berita di luar bidang prasasti,

4). ditafsirkan maknanya,

5). diikhtisarkan dalam sintesis sejarah.

Ke-5 taraf dalam penggunaan prasasti itu akan diperbincangkan satu demi satu.

1) . Penyelidikan kebenaran atau kritik sejarah.

Dalam prasasti, terutama bagian nama dan sil silah raja-raja, banyak terselip ceritera khayal dan unsur-unsur mythologi, jang tidak cocok dengan kenyataan. Usaha menjaring unsur-unsur mythe dari berita kuno dan menetapkan apa gerangan yang terjadi sebenarnya itu dinamakan "Entmythologisierung", to demythologize. Umpama, Ir. Moens menyelidiki silsilah Maharaja Airlangga dalam prasasti Penanggungan (1041), dalam TBG 1950, dan silsilah Maharaja Wisnuwardhana dalam Majalah Bahasa dan Budaya II-6. 3-30, III-1, 3-37 (1955). Terutama Prof.C.C.Berg tampil dimuka sebagai ahli dalam penyelidikan sifat mythologi yang tampak pada para wakil tradisi sejarah Hindu Indonesia. Tetapi ia djuga mendapat banjak kritik dari guru besar lain, seperti Bosch, de Graaf dan Zoetmulder. Dalam lapangan itu masih banyak yang harus dikerjakan.

2). Penyesuaian prasasti-prasasti satu sama lain menghasilkan pengetahuan lebih dalam dan lengkap tentang suatu babakan sejarah, tentang diri raja dan kerajaannya, tentang evolusi suatu paham. Persamaan itu terutama penting dalam hal menentukan taraf mana yang telah dilampaui dalam peng-hinduisasi-an Indonesia, Umpamanya: Risalah perbandingan rumusan sapatha (Kern, V.G.VI)

3). Perbandingan dengan berita lain, dengan kesusastraan 

a) isi prasasti dibandingkan dengan berita dalam Nagarakretagama, Pararaton. Kidung, Kekawin.

b). dengan peninggalan purbakala Candi, arca, dll. 

c). dengan berita luar negeri mengenai kejadian sezaman.

Kumpulan yang memuat berita sezaman yang berasalkan dari pengarang luar negeri haruslah dianggap alat untuk pembangunan kembali sejarah yang amat penting. Kumpulan berita seperti itu memuat cerita musafir, prasasti-prasasti luar negeri yang berisikan peristiwa sejarah Indonesia, berita tentang duta dalam buku takwim negara lain. Kumpulan itu berada dalam empat wujud, dibagi menurut tanah asal berita tadi:

a), berita dari negeri Tiongkok:

Groeneveldt: "Notes on the Malay Archipelago com- piled from Chinese sources", Batavia, 1876, jang di- perlengkapan oleh Rochhull dalam T'oung Pao.

b). Berita perjalanan dan ilmu bumi Romawi dan Junani: G. Goedès: Textes d'auteurs grecs et latins relatif à

l'Extrême Orient depuis le VI siècle avant Jésus Christ jusqu'au XIVème, Paris 1910, c). Berita dari pengarang Iran dan Arab, a.1. Ibn Battuta dan Shaykh Abu Salih al Armani,

Ferrand: "Relations de voyage et de textes géographiques Arabes, Persans et Turcs relatif à l'Extrême- Orient, 8-15 siècle" Paris 1913.

d). Berita dari orang Eropa mengenai zaman Hindu Indonesia, a.l. Marco Polo, Joh. de Montecorvino, Odoric de Pordenone, dan lain-lain; terdapat dalam pe- nerbitan Hakluyt Society dan dalam Hennig: "Terra Incognita" (4 jilid, 1950-1955).

d'), dengan berita dalam negeri pada taraf sejarah baru. Jika faktor kebudayaan sepanjang beberapa abad Itu sama saja dan tidak ada pengaruh dari luar, maka peristiwa atau kejadian yang berada kemudian dapat dianggap berada di masa dahulu juga, andaikata suatu jumlah gejala yang diberitahukan sama. Metode itu amat sulit, tetapi dicoba dengan hasil yang memuaskan oleh Prof. Dr. B, Schrieke dalam "Realm and Ruler in Early Jama" (1957).

4). Penafsiran :

Dengan menimbang semua berita dan penetapan yang didasarkan diatasnya, maka ahli sejarah dapat melukis satu babakan sejarah, bersujud hypotese, teori atau monografi. Hypotese adalah dugaan, terkaan jang dikuatkan oleh bukti. Teori menggabungkan beberapa hypotese dalam satu rangkaian yang lebih besar.

Dalam monografi sejarah hanya satu bagian  sejarah atau satu diri orang, satu lembaga kuno dibicarakan, tetapi dengan maha-saksama, dengan mempertanggungjawabkan segala garis kecil sekalipun. Contoh monografi: Stutterheim: "De kraton van Madja- pait"; V.d. Berg: "De val van Sora"; Bosch: "Een oorkonde van het groot klooster te Nalanda", dan lain-lain.

Adapun monografi merupakan dasar dan syarat untuk pelaksanaan ilmu sejarah. Sintese sejarah besar-besaran dapat menarik hati, akan tetapi barang siapa melampaui tingkatan monografi dan terus melompat tinggi ke-pembentukan sintesis sejarah, maka ia melompat jauh dalam ruangan kosong hasilnya pemalsuan yang tidak tahan lama, yang  bersifat subyektif, berderajat suatu ideologi semata-mata atau alat propaganda partai, tapı bukan suatu langkah kearah pembentukan sedjarah nasional.

5. Sintese sejarah :

Sintese baharu menjumlahkan segala berita dan konklusi-konklusi daripadanya, dan mencoba memberi gambaran waktu lampau "wie es eigentlich gewesen war", atau lebih lagi bagaimana kejadian-kejadian sedjarah berhubungan satu sama lain dan bagaimana terjadinya Sintese menciptakan kembali, sedapat mungkin, zaman dahulu dan untuk penciptaan sebegitu perlulah daya budi yang ang kreatif didalam perbatasan kejadian-kejadian. Daya itu disyaratkan oleh suatu pandangan dalam yang melihat keseluruhan lebih daripada hal-hal kecil, dalam ajaran Chr. Dawson, ahli teori sejarah yang ulung, disebut perlu adanya "an aesthetic intuitive vision" (Dynamics of World History, 1957, p. 445); sedang menurut ungkapan Goethe, perlu adanya "eine exakte Fantasie".

VIII. PRASASTI DAN KESADARAN SEJARAH

VIII. PRASASTI DAN KESADARAN SEJARAH

1. Apakah waktu itu pada hakekatnya ? Adanya waktu itu merupakan suatu kesadaran dalam budi manusia. Jiwa manusia, jika berhadapan dengan perubahan di alam dunia di sekitarnya, menyatu-padukan peristiwa-peristiwa yang dialaminya, lalu diaturnya berturut-turut. Karena itu Aristoteles mendefinisikan waktu begini: "Waktu adalah perhitungan perubahan menurut pembahagiannja atas dahulu dan kemudian" (Physica IV, 11 - 218/219).

Waktu berada dalam keinsyafan manusia yang sanggup menaikkan dirinya diatas peristiwa-peristiwa, yang minatnya tidak seluruhnya dicurahkan akan/kepada yang "sekarang". Kesadaran waktu itu tidak saja menggabungkan titik-titik atau ketika? zaman secara perhitungan saja, akan te- tapi memadu setiap saat individuil dalam paduan jang umum, Paduan itulah yang memberi arti dan maksud kepada setiap saat dan melunasi tugas jiwa terhadap alam dunia. Barang siapa tidak menyatukan ketikaż zaman kedalam sintese tinggi, akan jadi kurban waktu, dihanyutkan oleh aliran waktu, karena gelombang waktu terus-menerus, tiada dengan berhenti-henti, maju kedepan dalam rangkaian dahulu dan yang akan datang.

2. Apakah kesadaran sejarah itu ? Kesadaran sejarah berhubungan erat dengan kesadaran waktu tersebut dan berartian: keinsyafan manusia bahwa seorang manusia menerima dari nenek-moyang yang ia hasil pekerjaan mereka sebagai warisan yang harus dijamin dan disempurnakan, agar supaya, pada gilirannya akan dilangsungkan kepada angkatan yang akan datang.

Kesadaran sejarah djuga dapat dirumuskan dalam lapangan sosial-bangsa, yakni keinsafan kaula-negara (anggota bangsa) bahwa bangsa itu menerima daripada orang-orang sebangsa warisan kebudayaan, agar supaya diperlengkapkan, ditahan dan disempurnakan untuk anak- pinak dan cucu..

Kesadaran sejarah sudah dilukiskan dengan baik oleh ahli sejarah Junani, Thucidides, setjara berikut : "Bersatu dalam cinta-kasih terhadap tanah airnya yang umum, maka nenek-moyang kita telah memenetapkan kemerdekaan dan menyerahkannya kepada kita. Kita ini, angkatan sekarang, harus menjamin dan menyempurnakan pusaka itu guna sanggupkah kita menyerahkannya lebih baik daripada dahulu, ke- pada turunan kita". (Perang Peloponnesus II : 36).

Dalam faham hidup Hindu-Buddha, kesadaran waktu dan kesadaran sedjarah djaranglah terdapat. Semua sadja di- serot oleh paham moksha, karma, dan usaha mentjari nirvana. Ketidak-adaan kesadaran sedjarah merupakan sifat zaman Hindu jang lebih pokok daripada sifat feodal (jang memang ada). Sifat feodal hanya meliputi masyarakat, sedangkan sifat tak tahu akan paduan zaman dahulu dan kemudian itu menjangkiti djiwa. "The Karma- conception gives a curiously timeless quality to the Hindu's mind. For him time is an endless process of which he is now enjoying one fleeting glimpse of many. A Hindu does not see Time passing him by, he flows with it, like a boat on a river, Periodically he changes boats, but the voyage continues," (WOng. Theology. Digest 1958:102),

3. Bagaimana menumbuhkan kesadaran sejarah ?

a), dalam bentuk nasional: "Kesadaran nasional adalah perasaan yang mengatakan, bahwa kita termasuk satu bangsa jang tertentu, jang sudah dapat merebut tempat di dunia, yang mempunyai tempat sendiri ditengah-tengah bangsa lain. Anak-anak sukar sekali merasa bahwa mereka bersatu dengan berjuta orang lain jang masuk bangsanya itu. Hanya kalau mereka mempelajari pertumbuhan sejarah, baharulah kesadaran itu dapat menjadi konkrit, Jadi disinilah tugas pengadjaran se- djarah kita ("Metodik Sedjarah", Kem, PPK, hal.3). Pelajaran sejarah menyadarkan hak dan  kewajiban warganegara, ialah wajib harus ikut- serta mengembangkan bangsanya sendiri dihadap- an seluruh dunia. "Hai, pemuda-pemudi Indonesia, engkau dari generasi jang sekarang, jang mungkin belum pernah dengan sadar mengalami ikut berjalan dalam perjalanan sejarah itu, sudahkah engkau menginsyafi bahwa segera akan datang sa- ganja yang engkau djuga harus ikut berjalan-jalan. Dan engkau Yang sudah ikut berjalan, sudahkah engkau merasa-berpikir-bertindak sedemikian rupa, sehingga engkau merasakan dirimu seolah hidup dalam obsesi, merasakan dirimu itu alat-alat sejarah, alat yang berjiwa jang dengannya sejarah itu menggempur kekolotan dan ketamakan, menggempur perbudakan dan penjajahan, menggembleng Dunia- Baru buat bangsamu sendiri dan Dunia-Baru buat sekalian bangsa" (Dr. Ir. Soekarno, "Jadilah alat sejarah" 1953, hal.28). Cara orang mencapai kesadaran sejarah nasional itu terutamalah dengan jalan mempelajari gejala-gejala dan perwudjudan kepribadian bangsa atas dasar kesetia-kawanan. Perwujudan-perwujudan itu termuat dalam be- rita sejarah, tetapi juga dalam tanda-tanda bakat bangsa yang lain kesenian, kesusasteraan dan tradisi-tradisi jang satu demi satu dipeladjari oleh ilmu-ilmu khusus: aesthetika, ilmu bahasa dan sosiologi, jang berupa ilmu pertolongan untuk pengetahuan sejarah. 

b). dalam bentuk internasional: Meskipun usaha akan sejarah yang bersifat Indonesia-sentris memang baik, pada akhirnya ahli sejarah harus sudi menerapkan kesadaran sejarah internasional dan rasa kesetiakawanan umat manusia seluruhnya. Kentaralah bahwa hukum-hukm sejarah jang sjah untuk bangsa masing-masing banyak sama untuk kemanusiaan. Menyelami hukum-hukum itu, seperti yang dilakukan oleh Toynbee, dll,, sangat memajukan perdamaian serta kemajuan kita semua. Adapun soal itu, sejauh bersangkutan dengan peladjaran sedjarah, dipaparkan oleh seminar sedjarah Internasional di Puerto Rico, 5-9 April 1954, dan dirumuskan dalam buku² penerbitan U.N.O dan UNESCO: "History textbook and international Understanding", apalagi djuga: "Better History Textbooks" (1953).

4. Kesadaran sejarah dalam prasasti-prasasti.

 Orang-orang Hindu-Indonesia hidup di tepi animisme dan hinduisme. Dalam suasana hidup animisme, belumlah manusia berhadap-hadapan dengan ruangan waktu dan tempat rupanya, tidak ada kata asli untuk menunjukkan waktu, kata-kata begitu (waqtu, sa'at, zaman, abad, sejarah, djam) itu semua berasal dari bahasa Arab Dalam zaman Hinduisme mulailah perhatian akan titik waktu, titik sejarah, peristiwa individual, kejadian masing- masing, tidak dengan perhubungan antara dahulu dan kelak, tidak dengan adanya kesadaran akan arus zaman. Yang di pentingkan dalam suatu ketika ialah pertepatan (coincidence) jang terdjadi pada waktu itu djuga setjara kebetulan, tanpa rantai sebab-akibat. Tempat matahari, bintang bulan surut dan perbani, ditentukan dengan rapi mengenai ketika kejadian. Sejarah Hindu adalah berdasarkan tanggal yang ditentukan dengan djitu, merupakan suatu Çakakala = ketika² istimewa (gedenkwaardige tijdstip- pen, menurut ungkapan Prof. Dr. Purbatjaraka, BKI 78, hal. 431).

Nagarakretagama itu djuga hanya satu çakakala. Corak itu sesuai dengan kesenian Hindu Indonesia jang mementingkan gambar ekamatra, bukannya trimatra yang seolah-olah sudah mengatur batas-batas ruangan waktu dan tempat.

Dalam zaman Islam, perhatian sejarah terutama diarahkan di Indonesia kearah mentjari permulaan waktu, silsilah raja-raja, dll. Maka nampaklah tampilnya suatu permulaan

kesadaran sejarah, meskipun suasana animistic dan hindualistis masih agak kebal dalam Babad dan Sejarah. "It is curious that the Mohammedan writers, who were better historians than the Hindus, have equally jumbled fact and fiction without any regard to the canons of historical criticism" (H.B.Sarkar: Indonesian literature, hal.395).

Memang Babad-babad itu tidak dimaksudkan sebagai buku sejarah, melainkan sebagai mythos untuk melegitimasi kekuasaan Sultan. Pola kebudayaan asli, diperkuat oleh unsur-unsur Hindu, agak kebal terhadap pengaruh fikiran historis jang termuat dalam ajaran Islam yang datang kesini setelah unsur Yunani sudah dibuang daripadanya.

Tentangnja Prof. Dr. C. C. Berg menetapkan : "As far as I know, no book in Java has been written for the purpose of recording historical facts prior to the 18th century.....the inscriptions never serve to describe or picture the past, but served as an instrument of priestly magic..... by the pujangga of the king with their pre scientific attitude of mind to which even Java's gifted scholars and poets were subjected, as long as the road to legacy of Greece was closed." (The Islamisation of Java, 1955),

Dasar untuk menerangkan keindahan itu terletak dalam sua- sana dan dunia prasasti. Dan jika ahli sejarah sekarang dengan amat mudah dan dangkal, menemui kembali cita-cita mereka seolah-olah sudah dilaksanakan dalam zaman lampau, maka kebaikan itu hanya dapat diterangkan (itu bukan berarti dimaafkan) sebagai sisa-sisa suasana yang pernah meliputi abad-abad prasasti dalam Indonesia kuno.

Ilmu sejarah yang bermutu tinggi membutuhkan suatu konsepsi tentang apakah arti waktu dan bagaimana peranan manusia dalam panggung peristiwa dunia. Fatalisme religius atau materialisme dialektis tidak mampu memberi konsepsi itu. Peningkatan mutu ilmu sejarah adalah sejalan dengan usaha mempertinggi martabat manusia sendiri yang merupakan titik pertemuan antara zaman tercipta dan keabadian, (Cf. Dr. Berkhof-Kaligis: "Makna Sejarah", Djakarta, 1957 M. Eliade: "Sacred times and the myth of eternal renewal", New York, 1958; Sartono Kartodirdjo: "Catatan tentang segi mesianistis dalam sedjarah Indonesia", Jogjakarta 1959; J. Marcus: "Time and sense of history: West and East," London, 1960; Dr. H. Marrou: "De la connaissance historique," Paris, 1959; Joseph v. Kopp : Teilhard de Chardin, Sintese baru tentang evolusi, Seri Orientasi 7, Jogja 1971.

PARARATON dan NEGARAKERTAGAMA

*Perbedaan Kitab Pararaton dan Nagarakretagama Sumber Sejarah Singasari*

Avirista Midaada 

Kamis, 08 Agustus 2024 - 07:51 WIB 

KITAB Pararaton menjadi salah satu referensi sejarah yang menggambarkan Kerajaan Singasari dan Majapahit. Selain Pararaton, ada kitab kuno Nagarakretagama dan Kakawin Sutasoma, yang juga dikenal menggambarkan referensi sejarah era Singasari dan Majapahit.

Tapi ada perbedaan antara Pararaton dan Nagarakretagama dalam menggambarkan perjalanan sejarahnya. Dari sisi waktu misalnya, ketika berbicara penobatan hingga kematian Raja Singasari Wisnuwardhana ada perbedaan antara di Pararaton dan Nagarakretagama. 

Angka tahun penobatan Rangga Wuni atau Wisnuwardhana, dalam Pararaton tidak tertulis jelas. Namun, karena Apañji Tohjaya meninggal pada Saka 1172 atau sekitar 1250 Masehi, dapat diperkirakan bahwa penobatan Rangga Wuni juga terjadi pada tahun tersebut. 

"Sumber lainnya, yaitu Nagarakretagama, menyebut Wisnuwardhana naik tahta menggantikan ayahnya yang meninggal pada 1170 Saka (1248 Masehi)," demikian dikutip dari buku "Pararaton : Biografi Para Raja Singhasari - Majapahit". 

Itu artinya, ada selisih dua tahun antara pemberitaan Negarakertagama dengan Pararaton. 

Dari sisi tahun kematian pun menurut Pararaton Wisnuwardhana meninggal pada Saka 1194 atau sekitar 1272 Masehi, dengan candi pendarmaan di Jajagu, sedangkan Mahisa Campaka (Narasingha) juga meninggal, namun tidak dijelaskan pada tahun berapa.

Mengenai kematian Wisnuwardhana, ada selisih empat tahun antara pemberitaan Nagarakretagama yang menyebut 1268 dengan Pararaton yang menyebut 1272. 

Dalam hal ini, versi Negarakertagama lebih valid karena diperkuat oleh Prasasti Panampihan berangka 31 Oktober 1269, yang menyebut Kerajaan Tumapel saat itu sudah dipimpin oleh Kertanagara.

Rev Gb Jilid 7

1. Buatkan gambar Ilustrasi Keren tentang : Jilid 7 PENDAHULUAN BAB 1. Masa Akhir Penjajahan Jepang Pengantar 1.1. Kesadaran Nasionali...