Senin, 12 Agustus 2024

VII. PENAFSIRAN DAN PENGGUNAAN PRASASTI-PRASASTI

 VII. PENAFSIRAN DAN PENGGUNAAN PRASASTI-PRASASTI 

Prasasti itu merupakan pangkal pengetahuan kita tentang zaman sejarah Indonesia yang telah silam, Prasasti-prasasti dikatakan: "the sheet anchors of our historical knowledge". Tidak dengan prasasti-prasasti waktu lampau sungguhlah gelap, tetapi dengan prasasti-prasasti waktu itu djuga masih agak gelap. Jalan dari prasasti ke-pembentukan sejarah itu masih amat panjang, dan untuk mencapai akhir jalan tadi kita masih harus mengatasi pelbagai rintangan.

Supaya jangan menyimpang dari jalan lurus kearah pe ngetahuan sejarah yang objektif lagi konkrit, diberikan 3 buah peringatan, diambil dari ilmu methodologi sejarah.

Pertama: Antara banyak-sedikitnya prasasti dan berita di- atasnja dengan penting-tidaknya suatu zaman, tidaklah terdapat suatu nisbah timbal-balik. Dapat terjadi bahwa peristiwa yang penting tidak disaksikan dalam prasasti, sedangkan hal-hal yang tidak penting mungkin diberitahukan secara berlimpah-ruah, Itu tergantung atas ke - condongan raja untuk mengeluarkan prasasti atau tidak, atas perkara yang kebetulan saja kejadiannya dan lain2 lagi. Apalagi banyak prasasti hilang dan binasa, tidak menurut suatu rencana yang mengecualikan prasasti-prasasti penting.

.. The historian's access to historical evidence is always and everywhere at the mercy of chance, so that there is no rational correspondence between intrinsic importance and interest of any given historical event and the quantity and credibility of the historical evidence that is at our disposal for the study of It", (Lihat: A.J. Toynbee: The Study of History, I, 7).

Kedua: Kecuali itu pengetahuan tentang zaman dahulu tidaklah mencerminkan zaman dahulu itu dengan langsung, tetapi melalui penjaringan orang-orang zaman dahulu. Buku sedjarah kita hanja mentjerminkan apa2 yang diingatkan tentang zaman lampau dalam bentuk tulisan. "History is called "the remembered past"; not the past as it was, but as it is remembered, and history cannot surpass the limitations of human memory. History cannot make the past present again, even if it tries to do so; an exact reconstruction of past events is out of its reach, because the human memory does not retain the past exactly. History must be satisfied if it can reconstruct the memory of the past; then, by comparison and criticism, it can reconstruct, from the items of individual memories, a collective memory which will restore to us much of the past as memory has retained."

(J. MacKenzie The two-edged sword, 1957, p. 60).

Ketiga Prasasti memberitahukan tahun pemerintahan raja-raja dan batas daerah yang diperintahnya. Prasasti memberitahukan aneka-warna tentang susunan masyarakat kuno, tentang sosiologi dahulu, tentang sosiologi dahulu, tentang faham agama waktu itu. Semua itu benar, akan tetapi prasasti itu tidak digubah dengan maksud atau Ikhtiar supaya di kemudian hari dapat di jadi- kan alat pelaksanaan ilmu sejarah, Prasasti harus dikerjakan dahulu agar supaya dapat menjadi alat sejarah yang  utuh. Prof. A. J. Toynbee menulis begitu tentang prasasti-prasasti pada umumnya: The normal motive for manufacturing an official document is to produce some immediate practical effect in current politics. The intention may be to prevent something from happening, to make something happen, or to create a false impression about something that happened, already; there are diverse practical purposes which the manufacture of official documents can be made to serve; but there is one purpose one which, though theoretically possible, would hardly occur to anyone but an historian which the historian would be wise to leave out of his reckoning; the manufacturer of official documents is never inspired by an academic concern to record the truth for the benefit of future historians; for, from the man of action's standpoint, the briefing of future historians is, at best, unprofitable and, at worst, imprudent." (A Study of History, IX, p.207).

Dengan berdasarkan ketiga peringatan itu kita dapat mempelajari prasasti, dan menetapkan 5 taraf melalui mana prasasti menjadi alat sejarah.

Prasasti-prasasti itu haruslah :

1). diselidiki mengenai kebenarannya. 

2). disesuaikan istinja dengan prasasti lain,

3). diperbandingkan dengan berita di luar bidang prasasti,

4). ditafsirkan maknanya,

5). diikhtisarkan dalam sintesis sejarah.

Ke-5 taraf dalam penggunaan prasasti itu akan diperbincangkan satu demi satu.

1) . Penyelidikan kebenaran atau kritik sejarah.

Dalam prasasti, terutama bagian nama dan sil silah raja-raja, banyak terselip ceritera khayal dan unsur-unsur mythologi, jang tidak cocok dengan kenyataan. Usaha menjaring unsur-unsur mythe dari berita kuno dan menetapkan apa gerangan yang terjadi sebenarnya itu dinamakan "Entmythologisierung", to demythologize. Umpama, Ir. Moens menyelidiki silsilah Maharaja Airlangga dalam prasasti Penanggungan (1041), dalam TBG 1950, dan silsilah Maharaja Wisnuwardhana dalam Majalah Bahasa dan Budaya II-6. 3-30, III-1, 3-37 (1955). Terutama Prof.C.C.Berg tampil dimuka sebagai ahli dalam penyelidikan sifat mythologi yang tampak pada para wakil tradisi sejarah Hindu Indonesia. Tetapi ia djuga mendapat banjak kritik dari guru besar lain, seperti Bosch, de Graaf dan Zoetmulder. Dalam lapangan itu masih banyak yang harus dikerjakan.

2). Penyesuaian prasasti-prasasti satu sama lain menghasilkan pengetahuan lebih dalam dan lengkap tentang suatu babakan sejarah, tentang diri raja dan kerajaannya, tentang evolusi suatu paham. Persamaan itu terutama penting dalam hal menentukan taraf mana yang telah dilampaui dalam peng-hinduisasi-an Indonesia, Umpamanya: Risalah perbandingan rumusan sapatha (Kern, V.G.VI)

3). Perbandingan dengan berita lain, dengan kesusastraan 

a) isi prasasti dibandingkan dengan berita dalam Nagarakretagama, Pararaton. Kidung, Kekawin.

b). dengan peninggalan purbakala Candi, arca, dll. 

c). dengan berita luar negeri mengenai kejadian sezaman.

Kumpulan yang memuat berita sezaman yang berasalkan dari pengarang luar negeri haruslah dianggap alat untuk pembangunan kembali sejarah yang amat penting. Kumpulan berita seperti itu memuat cerita musafir, prasasti-prasasti luar negeri yang berisikan peristiwa sejarah Indonesia, berita tentang duta dalam buku takwim negara lain. Kumpulan itu berada dalam empat wujud, dibagi menurut tanah asal berita tadi:

a), berita dari negeri Tiongkok:

Groeneveldt: "Notes on the Malay Archipelago com- piled from Chinese sources", Batavia, 1876, jang di- perlengkapan oleh Rochhull dalam T'oung Pao.

b). Berita perjalanan dan ilmu bumi Romawi dan Junani: G. Goedès: Textes d'auteurs grecs et latins relatif à

l'Extrême Orient depuis le VI siècle avant Jésus Christ jusqu'au XIVème, Paris 1910, c). Berita dari pengarang Iran dan Arab, a.1. Ibn Battuta dan Shaykh Abu Salih al Armani,

Ferrand: "Relations de voyage et de textes géographiques Arabes, Persans et Turcs relatif à l'Extrême- Orient, 8-15 siècle" Paris 1913.

d). Berita dari orang Eropa mengenai zaman Hindu Indonesia, a.l. Marco Polo, Joh. de Montecorvino, Odoric de Pordenone, dan lain-lain; terdapat dalam pe- nerbitan Hakluyt Society dan dalam Hennig: "Terra Incognita" (4 jilid, 1950-1955).

d'), dengan berita dalam negeri pada taraf sejarah baru. Jika faktor kebudayaan sepanjang beberapa abad Itu sama saja dan tidak ada pengaruh dari luar, maka peristiwa atau kejadian yang berada kemudian dapat dianggap berada di masa dahulu juga, andaikata suatu jumlah gejala yang diberitahukan sama. Metode itu amat sulit, tetapi dicoba dengan hasil yang memuaskan oleh Prof. Dr. B, Schrieke dalam "Realm and Ruler in Early Jama" (1957).

4). Penafsiran :

Dengan menimbang semua berita dan penetapan yang didasarkan diatasnya, maka ahli sejarah dapat melukis satu babakan sejarah, bersujud hypotese, teori atau monografi. Hypotese adalah dugaan, terkaan jang dikuatkan oleh bukti. Teori menggabungkan beberapa hypotese dalam satu rangkaian yang lebih besar.

Dalam monografi sejarah hanya satu bagian  sejarah atau satu diri orang, satu lembaga kuno dibicarakan, tetapi dengan maha-saksama, dengan mempertanggungjawabkan segala garis kecil sekalipun. Contoh monografi: Stutterheim: "De kraton van Madja- pait"; V.d. Berg: "De val van Sora"; Bosch: "Een oorkonde van het groot klooster te Nalanda", dan lain-lain.

Adapun monografi merupakan dasar dan syarat untuk pelaksanaan ilmu sejarah. Sintese sejarah besar-besaran dapat menarik hati, akan tetapi barang siapa melampaui tingkatan monografi dan terus melompat tinggi ke-pembentukan sintesis sejarah, maka ia melompat jauh dalam ruangan kosong hasilnya pemalsuan yang tidak tahan lama, yang  bersifat subyektif, berderajat suatu ideologi semata-mata atau alat propaganda partai, tapı bukan suatu langkah kearah pembentukan sedjarah nasional.

5. Sintese sejarah :

Sintese baharu menjumlahkan segala berita dan konklusi-konklusi daripadanya, dan mencoba memberi gambaran waktu lampau "wie es eigentlich gewesen war", atau lebih lagi bagaimana kejadian-kejadian sedjarah berhubungan satu sama lain dan bagaimana terjadinya Sintese menciptakan kembali, sedapat mungkin, zaman dahulu dan untuk penciptaan sebegitu perlulah daya budi yang ang kreatif didalam perbatasan kejadian-kejadian. Daya itu disyaratkan oleh suatu pandangan dalam yang melihat keseluruhan lebih daripada hal-hal kecil, dalam ajaran Chr. Dawson, ahli teori sejarah yang ulung, disebut perlu adanya "an aesthetic intuitive vision" (Dynamics of World History, 1957, p. 445); sedang menurut ungkapan Goethe, perlu adanya "eine exakte Fantasie".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lagu nasional

  Lagu nasional Tanah Airku Tanah air ku tidak kulupakan Kan terkenang selama hidupku Biarpun saya pergi jauh Tidak kan hilang dari kalbu Ta...