VIII. PRASASTI DAN KESADARAN SEJARAH
1. Apakah waktu itu pada hakekatnya ? Adanya waktu itu merupakan suatu kesadaran dalam budi manusia. Jiwa manusia, jika berhadapan dengan perubahan di alam dunia di sekitarnya, menyatu-padukan peristiwa-peristiwa yang dialaminya, lalu diaturnya berturut-turut. Karena itu Aristoteles mendefinisikan waktu begini: "Waktu adalah perhitungan perubahan menurut pembahagiannja atas dahulu dan kemudian" (Physica IV, 11 - 218/219).
Waktu berada dalam keinsyafan manusia yang sanggup menaikkan dirinya diatas peristiwa-peristiwa, yang minatnya tidak seluruhnya dicurahkan akan/kepada yang "sekarang". Kesadaran waktu itu tidak saja menggabungkan titik-titik atau ketika? zaman secara perhitungan saja, akan te- tapi memadu setiap saat individuil dalam paduan jang umum, Paduan itulah yang memberi arti dan maksud kepada setiap saat dan melunasi tugas jiwa terhadap alam dunia. Barang siapa tidak menyatukan ketikaż zaman kedalam sintese tinggi, akan jadi kurban waktu, dihanyutkan oleh aliran waktu, karena gelombang waktu terus-menerus, tiada dengan berhenti-henti, maju kedepan dalam rangkaian dahulu dan yang akan datang.
2. Apakah kesadaran sejarah itu ? Kesadaran sejarah berhubungan erat dengan kesadaran waktu tersebut dan berartian: keinsyafan manusia bahwa seorang manusia menerima dari nenek-moyang yang ia hasil pekerjaan mereka sebagai warisan yang harus dijamin dan disempurnakan, agar supaya, pada gilirannya akan dilangsungkan kepada angkatan yang akan datang.
Kesadaran sejarah djuga dapat dirumuskan dalam lapangan sosial-bangsa, yakni keinsafan kaula-negara (anggota bangsa) bahwa bangsa itu menerima daripada orang-orang sebangsa warisan kebudayaan, agar supaya diperlengkapkan, ditahan dan disempurnakan untuk anak- pinak dan cucu..
Kesadaran sejarah sudah dilukiskan dengan baik oleh ahli sejarah Junani, Thucidides, setjara berikut : "Bersatu dalam cinta-kasih terhadap tanah airnya yang umum, maka nenek-moyang kita telah memenetapkan kemerdekaan dan menyerahkannya kepada kita. Kita ini, angkatan sekarang, harus menjamin dan menyempurnakan pusaka itu guna sanggupkah kita menyerahkannya lebih baik daripada dahulu, ke- pada turunan kita". (Perang Peloponnesus II : 36).
Dalam faham hidup Hindu-Buddha, kesadaran waktu dan kesadaran sedjarah djaranglah terdapat. Semua sadja di- serot oleh paham moksha, karma, dan usaha mentjari nirvana. Ketidak-adaan kesadaran sedjarah merupakan sifat zaman Hindu jang lebih pokok daripada sifat feodal (jang memang ada). Sifat feodal hanya meliputi masyarakat, sedangkan sifat tak tahu akan paduan zaman dahulu dan kemudian itu menjangkiti djiwa. "The Karma- conception gives a curiously timeless quality to the Hindu's mind. For him time is an endless process of which he is now enjoying one fleeting glimpse of many. A Hindu does not see Time passing him by, he flows with it, like a boat on a river, Periodically he changes boats, but the voyage continues," (WOng. Theology. Digest 1958:102),
3. Bagaimana menumbuhkan kesadaran sejarah ?
a), dalam bentuk nasional: "Kesadaran nasional adalah perasaan yang mengatakan, bahwa kita termasuk satu bangsa jang tertentu, jang sudah dapat merebut tempat di dunia, yang mempunyai tempat sendiri ditengah-tengah bangsa lain. Anak-anak sukar sekali merasa bahwa mereka bersatu dengan berjuta orang lain jang masuk bangsanya itu. Hanya kalau mereka mempelajari pertumbuhan sejarah, baharulah kesadaran itu dapat menjadi konkrit, Jadi disinilah tugas pengadjaran se- djarah kita ("Metodik Sedjarah", Kem, PPK, hal.3). Pelajaran sejarah menyadarkan hak dan kewajiban warganegara, ialah wajib harus ikut- serta mengembangkan bangsanya sendiri dihadap- an seluruh dunia. "Hai, pemuda-pemudi Indonesia, engkau dari generasi jang sekarang, jang mungkin belum pernah dengan sadar mengalami ikut berjalan dalam perjalanan sejarah itu, sudahkah engkau menginsyafi bahwa segera akan datang sa- ganja yang engkau djuga harus ikut berjalan-jalan. Dan engkau Yang sudah ikut berjalan, sudahkah engkau merasa-berpikir-bertindak sedemikian rupa, sehingga engkau merasakan dirimu seolah hidup dalam obsesi, merasakan dirimu itu alat-alat sejarah, alat yang berjiwa jang dengannya sejarah itu menggempur kekolotan dan ketamakan, menggempur perbudakan dan penjajahan, menggembleng Dunia- Baru buat bangsamu sendiri dan Dunia-Baru buat sekalian bangsa" (Dr. Ir. Soekarno, "Jadilah alat sejarah" 1953, hal.28). Cara orang mencapai kesadaran sejarah nasional itu terutamalah dengan jalan mempelajari gejala-gejala dan perwudjudan kepribadian bangsa atas dasar kesetia-kawanan. Perwujudan-perwujudan itu termuat dalam be- rita sejarah, tetapi juga dalam tanda-tanda bakat bangsa yang lain kesenian, kesusasteraan dan tradisi-tradisi jang satu demi satu dipeladjari oleh ilmu-ilmu khusus: aesthetika, ilmu bahasa dan sosiologi, jang berupa ilmu pertolongan untuk pengetahuan sejarah.
b). dalam bentuk internasional: Meskipun usaha akan sejarah yang bersifat Indonesia-sentris memang baik, pada akhirnya ahli sejarah harus sudi menerapkan kesadaran sejarah internasional dan rasa kesetiakawanan umat manusia seluruhnya. Kentaralah bahwa hukum-hukm sejarah jang sjah untuk bangsa masing-masing banyak sama untuk kemanusiaan. Menyelami hukum-hukum itu, seperti yang dilakukan oleh Toynbee, dll,, sangat memajukan perdamaian serta kemajuan kita semua. Adapun soal itu, sejauh bersangkutan dengan peladjaran sedjarah, dipaparkan oleh seminar sedjarah Internasional di Puerto Rico, 5-9 April 1954, dan dirumuskan dalam buku² penerbitan U.N.O dan UNESCO: "History textbook and international Understanding", apalagi djuga: "Better History Textbooks" (1953).
4. Kesadaran sejarah dalam prasasti-prasasti.
Orang-orang Hindu-Indonesia hidup di tepi animisme dan hinduisme. Dalam suasana hidup animisme, belumlah manusia berhadap-hadapan dengan ruangan waktu dan tempat rupanya, tidak ada kata asli untuk menunjukkan waktu, kata-kata begitu (waqtu, sa'at, zaman, abad, sejarah, djam) itu semua berasal dari bahasa Arab Dalam zaman Hinduisme mulailah perhatian akan titik waktu, titik sejarah, peristiwa individual, kejadian masing- masing, tidak dengan perhubungan antara dahulu dan kelak, tidak dengan adanya kesadaran akan arus zaman. Yang di pentingkan dalam suatu ketika ialah pertepatan (coincidence) jang terdjadi pada waktu itu djuga setjara kebetulan, tanpa rantai sebab-akibat. Tempat matahari, bintang bulan surut dan perbani, ditentukan dengan rapi mengenai ketika kejadian. Sejarah Hindu adalah berdasarkan tanggal yang ditentukan dengan djitu, merupakan suatu Çakakala = ketika² istimewa (gedenkwaardige tijdstip- pen, menurut ungkapan Prof. Dr. Purbatjaraka, BKI 78, hal. 431).
Nagarakretagama itu djuga hanya satu çakakala. Corak itu sesuai dengan kesenian Hindu Indonesia jang mementingkan gambar ekamatra, bukannya trimatra yang seolah-olah sudah mengatur batas-batas ruangan waktu dan tempat.
Dalam zaman Islam, perhatian sejarah terutama diarahkan di Indonesia kearah mentjari permulaan waktu, silsilah raja-raja, dll. Maka nampaklah tampilnya suatu permulaan
kesadaran sejarah, meskipun suasana animistic dan hindualistis masih agak kebal dalam Babad dan Sejarah. "It is curious that the Mohammedan writers, who were better historians than the Hindus, have equally jumbled fact and fiction without any regard to the canons of historical criticism" (H.B.Sarkar: Indonesian literature, hal.395).
Memang Babad-babad itu tidak dimaksudkan sebagai buku sejarah, melainkan sebagai mythos untuk melegitimasi kekuasaan Sultan. Pola kebudayaan asli, diperkuat oleh unsur-unsur Hindu, agak kebal terhadap pengaruh fikiran historis jang termuat dalam ajaran Islam yang datang kesini setelah unsur Yunani sudah dibuang daripadanya.
Tentangnja Prof. Dr. C. C. Berg menetapkan : "As far as I know, no book in Java has been written for the purpose of recording historical facts prior to the 18th century.....the inscriptions never serve to describe or picture the past, but served as an instrument of priestly magic..... by the pujangga of the king with their pre scientific attitude of mind to which even Java's gifted scholars and poets were subjected, as long as the road to legacy of Greece was closed." (The Islamisation of Java, 1955),
Dasar untuk menerangkan keindahan itu terletak dalam sua- sana dan dunia prasasti. Dan jika ahli sejarah sekarang dengan amat mudah dan dangkal, menemui kembali cita-cita mereka seolah-olah sudah dilaksanakan dalam zaman lampau, maka kebaikan itu hanya dapat diterangkan (itu bukan berarti dimaafkan) sebagai sisa-sisa suasana yang pernah meliputi abad-abad prasasti dalam Indonesia kuno.
Ilmu sejarah yang bermutu tinggi membutuhkan suatu konsepsi tentang apakah arti waktu dan bagaimana peranan manusia dalam panggung peristiwa dunia. Fatalisme religius atau materialisme dialektis tidak mampu memberi konsepsi itu. Peningkatan mutu ilmu sejarah adalah sejalan dengan usaha mempertinggi martabat manusia sendiri yang merupakan titik pertemuan antara zaman tercipta dan keabadian, (Cf. Dr. Berkhof-Kaligis: "Makna Sejarah", Djakarta, 1957 M. Eliade: "Sacred times and the myth of eternal renewal", New York, 1958; Sartono Kartodirdjo: "Catatan tentang segi mesianistis dalam sedjarah Indonesia", Jogjakarta 1959; J. Marcus: "Time and sense of history: West and East," London, 1960; Dr. H. Marrou: "De la connaissance historique," Paris, 1959; Joseph v. Kopp : Teilhard de Chardin, Sintese baru tentang evolusi, Seri Orientasi 7, Jogja 1971.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar