Jumat, 06 Juni 2025

Kabupaten Surabaya

 [2/6 21.56] rudysugengp@gmail.com: CNBC Insight


*Ditipu Travel, Ribuan Calon Jemaah Haji RI Telantar di Singapura*


MFakhriansyah, CNBC Indonesia


02 June 2025 13:10


Jakarta, CNBC Indonesia - Di Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama Islam, ibadah haji memiliki makna sangat penting. Selain sebagai bentuk pemenuhan rukun Islam, haji juga kerap dianggap sebagai simbol status sosial di tengah masyarakat.


Tingginya makna spiritual dan sosial ini membuat minat masyarakat Indonesia untuk menunaikan ibadah haji selalu tinggi setiap tahunnya. Sayangnya, antusiasme tersebut membuka peluang bagi oknum agen travel haji yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan penipuan.


Salah satu kasusnya pernah terjadi ratusan tahun lalu yang membuat ribuan calon jemaah haji asal Indonesia terlantar di Singapura. Bagaimana kisahnya?


*Iming-Iming Biaya Murah*


Besarnya antusiasme masyarakat Indonesia (saat itu Hindia Belanda) untuk menunaikan ibadah haji harus terbentur dengan biaya yang sangat mahal. Pada masa penjajahan Belanda, ongkos pergi haji jauh lebih tinggi dibandingkan masa kini.


Dulu, perjalanan haji tidak menggunakan pesawat seperti sekarang, melainkan kapal laut. Waktu tempuhnya bisa mencapai 1-2 bulan, baik saat berangkat maupun pulang, sehingga total durasi perjalanan bisa memakan waktu berbulan-bulan.


Lamanya perjalanan tentu sebanding dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan. Para calon haji kala itu harus menyiapkan dana untuk berbagai keperluan, seperti transportasi kapal, akomodasi selama di perjalanan, kebutuhan selama beribadah di Makkah, hingga ongkos kembali ke tanah air.


Bupati Serang dan Jakarta, Achmad Djajadiningrat, dalam memoarnya Herinneringen van Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat (1936), menyebut bahwa biaya haji pada awal 1900-an berkisar antara 500 hingga 800 gulden. Sebagai gambaran, jika harga emas saat itu sekitar 2 gulden per gram, maka 500 gulden setara dengan 250 gram emas.


Dengan harga emas saat ini sekitar Rp1,8 juta per gram, maka 250 gram emas bernilai sekitar Rp434 juta. Artinya, biaya haji sebesar 500 gulden pada awal 1900-an setara dengan kurang lebih Rp434 juta saat ini.


Pada titik ini, para agen travel haji yang dulu disebut syekh haji menawarkan paket ibadah haji berbiaya rendah. Mereka membujuk para calon jemaah melalui tawaran biaya haji yang tak semestinya.


Bagi pemilik dana pas-pasan yang minim pengetahuan, tawaran haji murah jelas terdengar sangat menggiurkan. Banyak calon jemaah langsung menyetujui tawaran dan menyerahkan uang kepada syekh haji.


Mereka berharap bisa segera berangkat ke Tanah Suci. Sayang, mereka tak sadar kalau sedang diperdaya oleh agen travel yang hanya ingin mengambil uang tanpa pernah berniat memberangkatkan mereka. 


Dalam praktiknya, para calon jemaah memang diberangkatkan, tapi bukan dengan kapal penumpang yang layak. Namun, pergi menggunakan kapal barang sewaan dengan fasilitas sangat terbatas. 


Sejarawan Dien Madjid dalam Berhaji di Masa Kolonial (2008) mencatat, kapal-kapal tersebut tidak memiliki kamar tidur, toilet, hingga perbekalan yang cukup. Namun, para jemaah menerima kondisi itu karena mengira semua adalah hal wajar dan bagian dari ujian menuju rumah Allah.


Kesadaran mulai muncul saat kapal berhenti di titik transit penting kapal-kapal ke Timur Tengah, yakni Singapura. Akibat biaya perjalanan yang murah, syekh haji meminta calon jemaah turun dari kapal, alias tidak melanjutkan perjalanan ke Makkah dan membuat mereka terlantar tanpa kejelasan nasib. 


Pada akhir abad ke-19, ada ribuan jemaah yang mengalami nasib sengsara itu. Tahun 1893, misalnya, dalam Laporan konsulat Belanda di Jeddah, seharusnya ada 5.193 jemaah haji asal Indonesia.


Namun, yang kembali ke Tanah Air hanya 1.984. Ribuan orang sisanya tak bisa pulang akibat tipu daya agen haji. Mereka kehabisan uang dan perbekalan.


*Haji Singapura*


Saat ditelantarkan, para calon jemaah haji memiliki dua pilihan, yakni melanjutkan perjalanan ke Makkah atau pulang ke Tanah Air dengan menanggung rasa malu. Jika memilih melanjutkan perjalanan, maka mereka harus bekerja terlebih dahulu.


Dalam catatan Henry Chambert-Loir dalam Naik Haji di Masa Silam (2013), mereka biasanya bekerja di perkebunan selama berbulan-bulan. Setelah uang terkumpul, barulah mereka bisa meneruskan perjalanan ke Makkah. 


Sementara, pilihan pulang ke Tanah Air dilakukan dengan manipulasi sertifikat haji. Para calon jemaah membayar sertifikat yang menyatakan bahwa mereka telah menunaikan ibadah haji.


Padahal, sebenarnya belum pernah sampai ke Tanah Suci. Langkah ini diambil agar mereka tidak dipermalukan saat kembali ke kampung halaman.


Dengan sertifikat palsu tersebut, mereka tetap bisa menyandang gelar "bapak haji" atau "ibu haji", dan menikmati kehormatan sosial yang menyertainya. Orang-orang yang nekat melakukan praktik ini kemudian dikenal dengan sebutan "Haji Singapura". 


(mfa/sef)

[3/6 19.22] rudysugengp@gmail.com: Tirto.ID


*Dari Makam ke Wisata Budaya: Kisah Kampung Ketandan Surabaya*


Warga Ketandan, Surabaya, mencoba memperkenalkan sejarah kampungnya yang menjadi bagian dari perjalanan panjang Kota Pahlawan.


Kontributor: Muhammad Akbar Darojat Restu


Terbit 1 Jun 2025 14:20 WIB,


tirto.id - Sebuah plakat bertuliskan "Kampung Wisata Ketandan Surabaya" terpacak di salah satu tepi Jalan Tunjungan, Surabaya Pusat. Banyak orang melewatinya, namun seolah tak ada yang peduli.


Kampung ini berada di balik ragam niaga perkotaan, seperti cafe, restoran, dan gedung-gedung bertingkat. Seperti pada umumnya, kampung ini dihun orang-orang biasa. Ibu-ibu menggendong anak di depan rumah, ada pula yang menawarkan jajanan pasar. Pemuda menjajakan bakso menggunakan gerobak, dan ada juga bapak-bapak yang bersantai di warung.


Tapi di balik pemandangan yang biasa itu, tersembunyi sejarah yang luar biasa. Kampung ini telah mengiringi perjalanan Kota Surabaya hingga usianya yang menginjak angka 732 tahun pada Sabtu (31/5/2025) kemarin.


Sisi historis itulah yang membuat kampung ini jauh lebih menarik ketimbang hanya disebut sebagai "Kampung Segi Emas Empat Surabaya" karena lokasinya yang diapit oleh Jalan Tunjungan, Jalan Embong Malang, Jalan Blauran, dan Jalan Praban.


*Mbah Buyut Tondo dan Pekuburan*


Seorang perempuan duduk di sebuah kursi plastik berwarna hijau di Balai Rukun Warga (RW) Kampung Ketandan. Ia memakai kacamata hitam dan mengenakan baju batik berwarna krem. Perempuan itu bernama Nia Kurniati, Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kampung Ketandan.


Di sebuah penghujung sore, ia bercerita bahwa Kampung Ketandan adalah salah satu kampung tertua di Surabaya. Sebabnya, kampung ini sudah ada jauh sebelum Kolonial Belanda menginjakkan kaki di Surabaya.


Menurutnya, sosok Mbah Buyut Tondo dipercaya oleh penduduk setempat sebagai sang pembabat alas kampung ini. Kepercayaan ini diwariskan turun temurun.


_Meski demikian, tak ada yang tahu pasti siapa, bagaimana, dan apa tujuan Mbah Buyut Tondo membabat kampung ini. Para sesepuh biasanya hanya menunjuk pada kompleks permakaman Mbah Buyut Tondo yang konon sudah berusia ratusan tahun._


"Di kompleks pemakaman itu ada Mbah Buyut Tondo, tiga kerabatnya, dan dua pengawalnya. Jadi, total ada enam makam di sana," kata Nia Tirto, Selasa (27/5/2025).


Ia menambahkan, para sesepuh percaya bahwa kampung ini dulunya adalah kompleks permakaman karena banyak nisan dan punden yang ditemukan oleh warga. Nisan-nisan itu ada yang ditulis dalam bahasa Indonesia, ada juga dalam bahasa Tionghoa. Usia nisan itu, tutur Nia, sudah ratusan tahun.


*nisan Tionghoa*


_salah satu nisan Tionghoa yang ditemukan oleh warga Kampung Ketandan. tirto.id/Muhammad Akbar Darojat Restu Putra_


Ia lalu menunjukkan salah satu nisan bertuliskan Tionghoa yang dijepret untuk dimasukkan dalam aplikasi Google Lens. Dari aplikasi ini, melalui fitur terjemahan, Nia menunjukkan bahwa Nisan itu adalah milik orang Tionghoa yang meninggal sekitar tahun 1800-an.


"Makam Tionghoa disebut Ketandan Bong, sementara makam pribumi Ketandan Punden. Dulu banyak ditemukan nisan ketika kami memperbaiki gorong-gorong. Saat menggali tanah pada kedalaman 1 meter, warga banyak menemukan nisan," tuturnya.


Kompleks permakaman itu kemudian berubah menjadi permukiman sekitar tahun 1900-an. Makam-makam di kampung ini dipindahkan ke kompleks permakaman Kembang Kuning.


"Banyak makam yang dipindahkan ke Kembang Kuning. Tapi masih ada beberapa makam di sini yang bahkan di dalam rumah penduduk setempat," ujarnya.


_Seturut buku Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya 1900-1960an (2013) karya oleh Purnawan Basundoro, perubahan ini kemungkinan terkait dengan migrasi besar-besaran yang dilakukan oleh penduduk luar daerah ke Surabaya pada tahun 1920-an, juga proyek Kampongverbetering (perbaikan kampung) yang dicanangkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Sebabnya, saat itu Surabaya menjadi kota yang paling maju di Hindia Belanda yang dipicu oleh peningkatan industrialisasi._


Menurut Nia, kendati kampung ini bekas kompleks permakaman, tak ada warga yang merasa kampungnya angker. Sembari bercanda, Nia mengatakan bahwa kampung ini tak seperti kampung yang ada di film-film horor ala Indonesia: karena bekas permakaman, maka kampungnya jadi menyeramkan.


"Warga di sini hidupnya aman-aman saja. Warga pun tak pernah melihat 'penampakan', kendati yang kami injak ini dulunya adalah bekas permakaman,” ungkapnya.


*Jadi Kampung Wisata*


Belakangan, Kampung Ketandan dijadikan sebagai salah satu kampung wisata. Menurut Nia, warga merintisnya sejak tahun 2016 dan diresmikan oleh Pemkot Surabaya pada tahun 2018.


Tekad menjadikan Kampung Ketandan menjadi kampung wisata terkait dengan sejumlah situs yang dianggap bersejarah. Selain Makam Mbah Buyut Tondo yang sudah berusia ratusan tahun, kampung ini juga memiliki Masjid An-Nur yang didirikan pada tahun 1915.


Masjid yang berukuran 10x15 m ini mula-mula hanya sebuah langgar yang kemudian direnovasi oleh warga untuk dijadikan masjid. Menurut Nia, renovasi yang dilakukan oleh warga tak mengubah keotentikan masjid tersebut.


"Kami enggak mengubah sama sekali. Cuman mengganti beberapa, tapi tetap arsitektur dalam dan luar itu masih. Bahkan kayunya masih sama. Cuman yang tadinya kayunya cat putih diganti hijau. Terus ditambah merenovasi kamar mandi. Tapi bagian dalam, ornamen-ornamennya itu masih asli. Cuman ya memang ada penambahan keramik, terus ada penggantian plafon karena memang kan buat kenyamanan jamaah juga," kata Nia menjelaskan.


Ia menambahkan, kampung ini juga memiliki Balai Budaya Cak Markeso Ketandan yang disebut oleh warga sebagai joglo. Tempat ini difungsikan oleh warga sebagai ruang bersama, dari latihan tari hingga melukis.


"Tari yang dipelajari adalah tari tradisional, mulai dari tari remo hingga tari kreasi. Kami di sini dapat support gurunya dari Dinas Pariwisata dan Balai Pemuda. Jadi gratis buat warga, khususnya anak-anak di sekitar lingkungan kampung ini. Sanggar melukis juga dilakukan di sana. Keduanya diadakan setiap hari Minggu," ujarnya.


Menurutnya, joglo tersebut menjadi ciri khas Kampung Ketandan jika dibandingkan dengan kampung-kampung lain di Surabaya.


_Selain memiliki joglo, kampung ini juga memiliki Balai Serbaguna yang dulunya adalah Sekolah Dasar (SD) Mbah Buyut Tondo yang kini difungsikan sebagai tempat mengaji bagi anak-anak. Perubahan ini karena sekolah tersebut berhenti beroperasi pada tahun 1980-an saat muridnya tinggal sedikit.'


Balai Budaya Cak Markesot di Kampung Ketandan. tirto.id/Muhammad Akbar Darojat Restu Putra


*Antara Merawat dan Berinovasi*


Nia mengatakan warga di kampung ini berusaha untuk tidak lengah di tengah kepungan modernitas. Oleh karenanya, hal-hal yang baik yang diwariskan oleh nenek moyang berusaha mereka jaga. Tak heran bila banyak orang di kampung ini tidak cuek ketika ada tamu bertandang ke kampungnya. Ini menjadi penghilang stereotipe bahwa tak selamanya warga kampung kota bersikap acuh tak acuh terhadap orang lain.


Ia pun bercerita bahwa anak-anak yang ada di kampung juga masih melakukan permainan tradisonal seperti lompat tali dan engkle, selain bahwa Karang Taruna di sini memiliki kegiatan aktif menonton film jadul Indonesia.


_"Film Suzanna dan film Dono Kasino Indro itu masih kami tayangkan. Anak-anak sekarang kan enggak tahu apa itu film DKI. Tahunya mereka yang sekarang ya. Nah, anak-anak Karang Taruna yang menggalakkan layar tancap setiap malam minggu. Menurut saya kebanggaan kami terhadap kampung ini karena kampung yang berbudaya," ungkapnya._


Namun, tambahnya, bukan berarti kampung ini menjadi anti dengan modernitas. Apalagi kampung ini adalah kampung wisata. Menurut Nia, warga justru mau melakukan inovasi, salah satunya dengan membuat kampung ini menjadi lebih hijau.


"Untuk inovasi mau buat green canopy dari pohon anggur. Kemarin sempat ada pohon anggur, cuman karena sudah terlalu tua jadi kami tebang semua. Nanti green canopy-nya ditaruh di sekitar joglo dan depan Masjid An-Nur. Terus inovasi yang lain ya semakin mengaktifkan warga untuk peduli lingkungan. Di sekitar rumah masing-masing saja, minimal ditanam lima pot, entah besar atau kecil. Kalau setiap rumah ada pot, otomatis nanti hijaunya merata," pungkasnya.


tirto.id - News


Kontributor: Muhammad Akbar Darojat Restu


Penulis: Muhammad Akbar Darojat Restu


Editor: Irfan Teguh Pribadi

[4/6 00.31] rudysugengp@gmail.com: T Tri Anisah

*Saldo Tak Menjamin Berangkat, Tapi Mengolok Niat Juga Bukan Adab* 


Beberapa hari ini, jagat maya riuh oleh kabar para jemaah haji furoda yang gagal berangkat. 

Komentar bermunculan, dari yang sekadar bercanda hingga yang bernada sinis. Ada yang menyindir saldo besar tak bisa “membeli” surga.

Ada pula yang membandingkan dengan jemaah sederhana yang konon lebih “tulus” niatnya. Lucu, mungkin. 


Tapi di balik tawa itu, ada getir yang luput kita lihat: rasa kecewa, rasa gagal, dan rasa malu yang tak mudah dipikul oleh mereka yang niat ibadahnya diuji di depan umum. 


Padahal, niat haji itu bukan main-main. Siapa pun yang sudah berniat dan bersiap, pasti telah lebih dulu membersihkan hati, menata diri, dan memantapkan langkah. 


Tak peduli jalurnya apa, tak peduli berapa saldo di rekening, yang mereka bawa adalah niat memenuhi panggilan Allah. 


Dan niat itu, bagi sebagian orang, mungkin sudah ditabung sejak muda. Didoakan dalam tahajud bertahun-tahun. Dipanjatkan dengan linangan air mata. 


Namun, Allah Maha Mengetahui isi hati. Maha Menentukan waktu terbaik. Ada yang diberi jalan lapang. Ada yang diuji di gerbang keberangkatan. Tapi tak ada yang sia-sia dari niat yang lurus. 


Bahkan jika langkah terhenti, siapa tahu justru pahalanya tetap dihitung sebagai haji mabrur di sisi-Nya? 


Kita, yang menonton dari layar, mudah sekali menilai. Seolah tahu isi hati seseorang. Seolah bisa membaca kenapa seseorang gagal berangkat. 


Padahal boleh jadi, yang gagal berangkat justru lebih tulus daripada kita yang nyinyir melihatnya. 


Agama ini bukan soal siapa paling sederhana, bukan pula siapa paling kaya. Tapi soal siapa yang paling ikhlas. Di hadapan Ka’bah, tak ada perbedaan. 


Semua mengenakan kain putih yang sama. Semua menghadap arah yang sama. Semua berseru, "Labbaik Allahumma Labbaik," dengan kerinduan yang sama. 


Maka jika ada saudara kita yang niatnya belum sampai, yang jalannya tertahan, jangan justru kita timpali dengan olok-olok. 


Mereka sudah diuji dengan kehilangan waktu, tenaga, dan harta. Jangan sampai kita ikut menambah beban di pundak mereka, apalagi dengan lidah yang tak terjaga. 


Saldo memang tak menjamin sampai. Tapi lidah yang ringan menghina, juga tak membuat kita lebih dekat dengan surga. 


Semoga mereka yang gagal berangkat tahun ini tetap mendapat pahala niat yang tak terputus. 


Dan semoga kita, yang menonton dari jauh, belajar untuk menahan hati, menahan lisan, karena adab, juga bagian dari ibadah. #SabarJugaIbadah #NiatTakPernahSiaSia @nis,

[4/6 08.32] rudysugengp@gmail.com: Nikah Beda Agama antara kaum Waras  dan Kaum Gendeng..


Gudel Anabrang 


Ketika  Ratu Pramodhawardani dan Raja Rakai Pikatan menikah  pada pertengahan abad ke 9 ..

Sebuah Pernikahan Agung yang menyatukan dua Wangsa besar penguasa Jawa yang BERBEDA AGAMA..menyatukan Dua Dinasti Besar Digelar..

   Pramodawardani adalah seorang Ratu dari Wangsa Syailendra yang mewarisi Tahta kerajaan Mataram Kuno..dari sang Ayah..Maharaja Samaratungga yang lengser keprabon pada tahun 833 Masehi

    Rakai Pikatan adalah seorang Raja dari Wangsa Sanjaya..

Keduanya Berbeda Agama

  Pramodawardani adalah seorang penganut Mahayana sedangkan Rakai Pikatan adalah Pemeluk Syiwa

Pernikahan agung itu dilaksanakan sebelum Maharaja Samaratungga Lengser..

   Pramodawardhani adalah Ratu Pertama tanah Jawa yang melakukan pernikahan beda Agama yang tercatat dalam sejarah jawa..

       Pernikahan ini cukup unik karena  Wangsa Syailendra dan Wangsa Sanjaya Sebenarnya berseteru..

Wangsa Sanjaya pernah berkuasa di tanah jawa sebelum akhirnya digantikan oleh Wangsa Syailendra..

Wangsa Sanjaya adalah keturunan Ratu Shima dari Kalingga yg berakhir masa kejayaan nya pada tahun 793 masehi.

     Pernikahan mereka adalah moment bersatunya keluarga besar yg sebelumnya berseteru

   Pernikahan beda Agama ini berdampak positif bagi kestabilan tanah jawa..


KARYA AGUNG BEDA AGAMA

   Ketika dua wangsa leluhur Nusantara ini bersatu..Dua mahakarya tercipta..

Terbangun dimasa mereka..yaitu CANDI BOROBUDUR dan CANDI PRAMBANAN..

  Dua karya spekrakuler yang dibangun untuk keperluan ibadah Dua Agama Berbeda dalam Satu Keluarga Besar

  Borobudur dibangun oleh keluarga Pramodawardani pada tahun 824 masehi

  Lalu PRAMBANAN dibangun  oleh keluarga Rakai Pikatan..854 masehi

Dalam pembangunan kedua Candi itu mereka bekerja sama meskipun berbeda Agama..

  Orang orang pemeluk Syiwa membantu pendirian Borobudur dan orang orang pemeluk Mahayana membantu pendirian Prambanan..


Itulah ketika leluhur kita yang waras  berfikir..mampu menyatukan Perbedaan Dua Agama Besar sekaligus Menciptakan karya Agung yang bisa kita saksikan hingga detik ini..bermanfaat bagi keturunan nya dan disaksikan oleh seluruh Dunia


TAPI


Saat ini..saat tanah ini dikuasai oleh Agama Agama Gendeng asal Gurun pasir ..mungkinkah hal itu terjadi ??

  Saat agama Bar bar miskin logika menjadi mayoritas ditanah Jawa..

Mungkinkah kisah kisah agung ini bakal terjadi ??

  TIDAK BISA...

Jangankan nikah beda Agama....bergaul pun sebenarnya dilarang...

Saya pernah lihat ceramah Ustadz songong Baalawi yg melarang umatnya bergaul akrab dengan orang bukan Islam..ada videonya berdar luas..

  Lalu juga kaum kaum yang mengaku Habib keturunan Nabi..mereka melarang pernikahan diluar golongan mereka dengan alasan menjaga kemurnian Nasab.


Agama model biawak begini lah yang membuat peradaban Leluhur kita Hancur Lebur ..

Kita tak mampu lagi menciptakan Peradaban sehebat leluhur kita..

  Kita hanya dipusingkan oleh  aturan aturan abstrak tentang surga dan neraka .

Dan aturan aturan  pekok yang dikarang sendiri..sehingga kita tak mampu lagi membangun peradaban seperti leluhur kita..


Banyak sekali orang orang negeri ini yang menjalin Cinta Beda Agama..

  Tapi aturan  dan undang undang Negara ini Melarang nya..dan pelarangan itu timbul karena tekana golongan mayoritas  yang anti perbedaan..dengan alasan Syariat..Haram  dan setumpuk alasan  lain yg mereka karang Sendiri..

  Yang menghancurkan mental dan hati anak anak bangsa ini


Itulah perbedaan Antara Agama Waras dan agama Gendeng..

Yang dianut oleh para Leluhur dan yang dianut oleh penghuni jawa saat ini..

[4/6 08.35] rudysugengp@gmail.com: Joko Tole


JOKOTOLE 

Cerita Singkat Sejarah Madura melalui Perjalanan Jokotole.


Diceritakan dalam sejarah Madura bahwa cucu Bukabu mempunyai anak bernama Dewi Saini alias Puteri Kuning (disebut Puteri Kuning karena kulitnya yang sangat kuning) Kesenangannya bertapa. Dengan perkawinan batin dengan Adipoday (suka juga bertapa) putera kedua dari Penembahan Blingi bergelar Ario Pulangjiwo, lahirlah dua orang putera masing masing bernama Jokotole dan Jokowedi.


 

Kedua putera tersebut ditinggalkan begitu saja dihutan, putera yang pertama Jokotole diambil oleh seorang pandai besi bernama Empu Kelleng didesa Pakandangan dalam keadaan sedang disusui oleh seekor kerbau putih, sedangkan putera yang kedua Jokowedi ditemukan di pademawu juga oleh seorang Empu.


Kesenangan Jokotole sejak kecil ialah membuat senjata-senjata seperti, keris, pisau dan perkakas pertanian, bahannya cukup dari tanah liat akan tetapi Jokotole dapat merubahnya menjadi besi, demikian menurut cerita. Pada usianya yang mencapai 6 tahun bapak angkatnya mendapat panggilan dari Raja Majapahit (Brawijaya VII) untuk diminta bantuannnya membuat pintu gerbang.


Diceritakan selama 3 tahun keberangkatannya ke Majapahit Empu Kelleng belum juga ada kabarnya sehingga mengkhawatirkan nyai Empu Kelleng Pakandangan karena itu nyai menyuruh anaknya Jokotole untuk menyusul dan membantu ayahnya, dalam perjalanannya melewati pantai selatan pulau Madura ia berjumpa dengan seorang yang sudah tua didesa Jumijang yang tak lain adalah pamannya sendiri saudara dari Ayahnya yaitu Pangeran Adirasa yang sedang bertapa dan iapun memenggil Jokotole untuk menghampirinya lalu Jokotolepun menghampiri, Adirasa lalu menceritakan permulaan sampai akhir hal ihwal hubungan keluarga dan juga ia memperkenalkan adik Jokotole yang bernama Jokowedi, selain itu Jokotole menerima nasihat-nasihat dari Adirasa dan ia juga diberinya bunga melati pula, bunga melati itu disuruhnya untuk dimakannya sampai habis yang nantinya dapat menolong bapak angkatnya itu yang mendapat kesusahan di Majapahit dalam pembuatan pintu gerbang.


Pembuatan pintu gerbang itu harus dipergunakan alat pelekat, pelekat yang nantinya akan dapat keluar dari pusar Jokotole sewaktu ia dibakar hangus, oleh karena itu nantinya ia harus minta bantuan orang lain untuk membakar dirinya dengan pengertian jika Jokotole telah hangus terbakar menjadi arang pelekat yang keluar dari pusarnya supaya cepat cepat diambil dan jika sudah selesai supaya ia segera disiram dengan air supaya dapat hidup seperti sediakala.


Jokotole diberi petunjuk bagaimana cara untuk memanggil pamannya (Adirasa). Apabila ia mendapat kesukaran, selain mendapat nasihat-nasihat ia juga mendapat kuda hitam bersayap (Si Mega) sehingga burung itu dapat terbang seperti burung Garuda dan sebuah Cemeti dari ayahnya sendiri Adipoday.


Setelah Jokotole pamit untuk ke Majapahit sesampainya di Gresik mendapat rintangan dari penjaga-penjaga pantai karena ia mendapat perintah untuk mencegat dan membawa dua sesaudara itu ke istana, perintah raja itu berdasarkan mimpinya untuk mengambil menantu yang termuda di antara dua sesaudara itu. Dua sesaudara itu datanglah ke istana, ketika dua orang sesaudara itu diterima oleh Raja diadakan ramah tamah dan di utarakan niatan Raja menurut mimpinya, karena itu dengan iklas Jokotole meninggalkan adiknya dan melanjutkan perjalanannya menuju Majapahit.


Setelah mendapat izin dari ayah angkatnya untuk menemui Raja Majapahit ia lalu ditunjuk sebagai pembantu empu-empu, pada saat bekerja bekerja dengan empu-empu Jokotole minta kepada empu-empu supaya dirinya dibakar menjadi arang bila telah terbakar supay diambilanya apa yang di bakar dari pusarnya dan itulah nantinya yang dapat dijadikan sebagai alat pelekat. Apa yang diminta Jokotole dipenuhi oleh empu-empu sehingga pintu gerbang yang tadinya belum bisa dilekatkan, maka sesudah itu dapat dikerjakan sampai selesai. Setelah bahan pelekatnya di ambil dari pusar Jokotole ia lalu disiram dengan air supaya dapat hidup kembali.


Selanjutnya yang menjadi persoalan ialah pintu gerbang tadi tidak dapet didirikan oleh empu-empu karena beratnya, dengan bantuan jokotole yang mendapat bantuan dari pamannya Adirasa yang tidak menampakkan diri, pintu gerbang yang tegak itu segera dapat ditegakkan sehingga perbuatan tersebut menakjubkan bagi Raja, Pepatih, Menteri-menteri dan juga bagi empu-empu, bukan saja dibidang tehnik Jokotole memberi jasa-jasanya pula bantuannya pula misalnya dalam penaklukan Blambangan, atas jasa-jasanya itu Raja Majapahit berkenan menganugerahkan Puteri mahkota yang bernama Dewi Mas Kumambang, tetapi karena hasutan patihnya maka keputusan untuk mengawinkan Jokotole dengan Puterinya ditarik kembali dan diganti dengan Dewi Ratnadi yang pada waktu itu buta karena menderita penyakit cacat, sebagai seorang kesatria Jokotole menerima saja keputusan Rajanya.


Setelah beberapa lama tinggal di Majapahit Jokotole minta izin untuk pulang ke Madura dan membawa isterinya yang buta itu, dalam perjalanan kembali ke Sumenep sesampainya di pantai madura isterinya minta izin untuk buang air, karena ditempat itu tidak ada air, maka tongkat Isterinya diambil oleh Jokotole dan ditancapkan ke tanah yang ke betulan mengenai mata isterinya yang buta itu, akibat dari percikan air itu, maka tiba-tiba Dewi Ratnadi dapat membuka matanya sehingga dapat melihat kembali, karena itu tempat itu dinamakan “Socah ” yang artinya mata.


Didalam perjalanannya ke Sumenep banyaklah kedua suami isteri itu menjumpai hal-hal yang menarik dan memberi kesan yang baik, misalnya sesampainya mereka di Sampang, Dewi Ratnadi ingin mencuci kainnya yang kotor karena ia menstruasi, lalu kain yang di cucinya itu dihanyutkan oleh kain sehingga tidak ditemukan. Kain dalam tersebut oleh orang Madura disebut “Amben” setelah isterinya kehilangan Amben maka Jokotole berkata Mudah-mudahan sumber ini tidak keluar dari desa ini untuk selama-lamanya, sejak itu desa itu disebut desa “Omben” dan ketika Jokotole menjumpai ayahnya ditempat pertapaan di Gunung Geger diberitahunya bahwa ia nantinya akan berperang dengan prajurit yang ulung dan bernama Dempo Abang (Sampo Tua Lang), seorang panglima perang dari negeri Cina yang menunjukkan kekuatannya kepada Raja-raja ditanah Jawa, Madura dan sekitarnya.


Pada suatu ketika waktu Jokotole bergelar Pangeran Setyodiningrat III memegang pemerintahan di Sumenep kurang lebih 45 th (1415-1460), datanglah musuh dari negeri Cina yang dipimpin oleh Sampo Tua Lang dengan berkendaraan kapal yang dapat berjalan diatas Gunung di antara bumi dan langit.


Didalam peperangan itu Pangeran Setyoadiningrat III mengendarai kuda terbang sesuai petunjuk dari pamannya (Adirasa), pada suatu saat ketika mendengar suara dari pamannya yang berkata “pukul” maka Jokotole menahan kekang kudanya dengan keras sehingga kepala dari kuda itu menoleh kebelakang dan ia sendiri sambil memukulkan cambuknya yang mengenai Dempo Awang beserta perahunya sehingga hancur luluh ketanah tepat di atas Bancaran (artinya, bรขncarlaan), Bangkalan. Sementara Piring Dampo Awang jatuh di Ujung Piring yang sekarang menjadi nama desa di Kecamatan Kota Bangkalan. Sedangkan jangkarnya jatuh di Desa/Kecamatan Socah


Dengan kejadian inilah maka kuda terbang yang menoleh kebelakang dijadikan lambang bagi daerah Sumenep, sebenarnya sejak Jokotole bertugas di Majapahit sudah memperkenalkan lambang kuda terbang.


Dipintu gerbang dimana Jokotole ikut membuatnya terdapat gambar seekor kuda yang bersayap dua kaki belakang ada ditanah sedang dua kaki muka diangkat kebelakang, demikian pula di Asta Tinggi Sumenep disalah sati Congkop (koepel) terdapat kuda terbang yang dipahat diatas marmer. Juga pintu gerbang rumah kabupaten (dahulu Keraton) Sumenep ada lambang kuda terbang. Di museum Sumenep juga terdapat lambang kerajaan yang ada kuda terbangnya, karena itu sudah sepantasnyalah jika pemerintahan kota Sumenep memakai lambang kuda terbang.

[4/6 08.40] rudysugengp@gmail.com: *Candi di Penanggungan*


Mengungkap  Sejarah Gunung Penanggungan Lewat 5 Candi Kuno....


  Pernahkah membayangkan sebuah perjalanan mendaki yang tidak hanya menyuguhkan keindahan alam, tetapi juga membawa kita menjelajahi jejak sejarah kuno? Gunung Penanggungan menawarkan pengalaman tersebut. Berada di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, gunung setinggi 1.653 mdpl ini bukan sekadar destinasi pendakian biasa, melainkan sebuah museum terbuka yang menyimpan berbagai situs arkeologi peninggalan peradaban Hindu-Buddha.


 


Pendakian kali ini dilakukan melalui jalur Kedungudi, salah satu dari lima jalur yang tersedia. Sejak awal perjalanan, jalur ini sudah menyajikan tantangan tersendiri dengan medan yang cukup curam dan berbatu. Namun, setiap langkah mendekatkan kita pada peninggalan berharga yang tersembunyi di sepanjang perjalanan.


 


Jejak Peradaban di Jalur Pendakian


1. Candi Carik


Setelah melewati Pos 2, pendaki akan menemukan Candi Carik, sebuah bangunan dengan arsitektur khas Hindu-Buddha yang berdiri di atas dataran luas dan terawat dengan baik. Diperkirakan, candi ini dahulu digunakan sebagai tempat ibadah dan pertapaan bagi para pendeta dan pemuka agama.


 


2. Candi Lurah


Tidak jauh dari Candi Carik, terdapat Candi Lurah, yang diduga berfungsi sebagai lokasi ritual dan meditasi. Hingga kini, struktur candi ini masih berdiri kokoh, menjadikannya salah satu spot favorit para pendaki untuk berfoto dan menikmati suasana mistis di sekitarnya.


 3. Candi Siwa


Candi Siwa terletak sedikit di bawah jalur pendakian, tetapi pendaki tidak diperbolehkan turun ke lokasi ini untuk menjaga kelestariannya. Sebagai tempat pemujaan Dewa Siwa, candi ini memperkuat bukti bahwa Gunung Penanggungan dahulu merupakan pusat kegiatan keagamaan Hindu.


 


4. Candi Guru


Saat medan semakin menantang, pendaki akan menemukan Candi Guru, sebuah bangunan yang dipercaya sebagai tempat ibadah, pertapaan, serta perayaan keagamaan. Selain nilai sejarahnya, keberadaan candi ini menambah daya tarik tersendiri bagi mereka yang ingin menggali lebih dalam tentang warisan budaya Nusantara.


5. Candi Wisnu


Sebelum mencapai puncak, terdapat Candi Wisnu, yang memiliki fungsi serupa dengan candi-candi sebelumnya. Situs ini menjadi bukti kuat bahwa Gunung Penanggungan dulunya merupakan pusat spiritual bagi masyarakat Hindu-Buddha. Kini, candi-candi di jalur pendakian ini tidak hanya menjadi peninggalan bersejarah, tetapi juga simbol pelestarian budaya oleh masyarakat setempat.


Menuju Puncak Pawitra


Setelah melewati candi-candi tersebut, perjalanan menuju Puncak Pawitra masih harus ditempuh selama 1 jam 30 menit. Medan yang curam dan berbatu membuat jalur ini cukup menantang, terutama bagi mereka yang baru pertama kali mendaki. Namun, setiap langkah terasa lebih ringan dengan suguhan pemandangan pegunungan dan kota di kejauhan.


 


Setibanya di puncak, semua perjuangan selama pendakian akhirnya terbayar. Langit terbuka luas, awan seolah menyentuh tanah, dan pemandangan Gunung Arjuno, Welirang, dan Semeru tampak megah di kejauhan. Di sini, bukan hanya rasa lelah yang terasa, tetapi juga perasaan kagum terhadap sejarah yang masih berdiri kokoh di jalur pendakian ini.


Bagi siapa pun yang ingin merasakan sensasi mendaki sambil menelusuri jejak peradaban Nusantara, Gunung Penanggungan adalah tempat yang wajib dikunjungi. Siapkah untuk mengeksplorasi gunung bersejarah ini dan menemukan kisah-kisah yang tertanam di setiap batunya?..***

[4/6 08.53] rudysugengp@gmail.com: Kisah Ratu Kencana Wungu, Ditaksir Raja Sakti, Tapi Menolak Demi Kerajaannya!


Di balik sejarah besar kerajaan Majapahit, tersimpan kisah seorang ratu yang namanya dibisikkan turun-temurun dalam legenda rakyat, Ratu Kencana Wungu.


Ia bukan hanya dikenal karena kecantikannya yang melegenda, tetapi juga karena keberanian, kepemimpinan, dan perannya dalam mempertahankan martabat kerajaannya.


Konon, Ratu Kencana Wungu adalah sosok pemimpin Majapahit ketika kerajaan sedang dalam masa sulit. Ancaman datang dari berbagai penjuru, salah satunya dari seorang tokoh sakti bernama Minak Jinggo, penguasa Blambangan. Tubuhnya besar, kekuatannya luar biasa, tapi ambisinya jauh lebih besar ia ingin menikahi sang ratu dan menguasai Majapahit sekaligus.


Tapi Ratu Kencana Wungu bukan wanita yang mudah ditaklukkan.


Ia menolak lamaran Minak Jinggo. Penolakan itu bukan tanpa risiko. Blambangan murka, dan perang pun hampir tak terhindarkan. Namun sang ratu punya siasat. Ia tidak melawan dengan pasukan besar ia menggunakan kecerdasan dan keindahannya sebagai umpan.


Kencana Wungu mengutus seorang ksatria muda bernama Damarwulan, menyusup ke wilayah Minak Jinggo dengan satu misi menumbangkan si penguasa kejam itu.


Damarwulan, dengan ketulusan dan keberanian, akhirnya mampu mengalahkan Minak Jinggo dalam duel maut. Dengan kematian musuh bebuyutan itu, Majapahit pun terselamatkan.


Namun, seperti banyak tokoh wanita hebat dalam sejarah, nama Ratu Kencana Wungu perlahan memudar dari lembaran resmi sejarah, tertutup oleh nama-nama besar para raja dan pahlawan pria. Padahal, di balik kemenangan itu, ada strategi seorang ratu yang tidak hanya cantik tapi juga cerdas, tegas, dan penuh keberanian.


Legenda Ratu Kencana Wungu adalah pengingat bahwa kekuatan sejati tidak selalu terletak pada pedang dan otot, tapi pada keteguhan hati, kecerdikan, dan keberanian untuk berkata: “Tidak.”


#jawa #majapahit #kediri #singosari #sejarah #ceritarakyat

[4/6 08.53] rudysugengp@gmail.com: "๐Š๐ข ๐€๐ ๐ž๐ง๐  ๐๐ž๐ฆ๐š๐ง๐š๐ก๐š๐ง ๐Œ๐ž๐ง๐š๐ ๐ข๐ก ๐‰๐š๐ง๐ฃ๐ข ๐‰๐š๐ค๐š ๐“๐ข๐ง๐ ๐ค๐ข๐ซ: ๐๐ฒ๐š๐ฅ๐š ๐“๐š๐ค๐๐ข๐ซ ๐๐š๐ซ๐ข ๐‡๐ฎ๐ญ๐š๐ง ๐Œ๐ž๐ง๐ญ๐š๐จ๐ค ๐ค๐ž ๐“๐š๐ก๐ญ๐š ๐Œ๐š๐ญ๐š๐ซ๐š๐ฆ"


Pada masa di mana darah masih mengering di ujung keris dan suara gamelan kerajaan bergema di sela-sela gending takdir, tanah Jawa tengah diguncang oleh perebutan warisan agung: tahta peninggalan Kesultanan Demak. Di tengah pusaran sejarah itu, berdirilah seorang pria muda penuh wibawa dan keberanian: Jaka Tingkir, menantu Sultan Trenggono, yang kelak dikenal sebagai Sultan Hadiwijaya, penguasa Kerajaan Pajang.


Namun tahta tak pernah datang tanpa pertumpahan darah. Untuk menggenggam kekuasaan, Jaka Tingkir harus menumbangkan musuh besar—Arya Penangsang, Adipati Jipang Panolan, harimau luka dari utara yang haus kekuasaan. Dalam medan inilah dua tokoh agung muncul sebagai penentu sejarah: Ki Ageng Pemanahan, pemuka Mataram dengan karisma setara raja, dan Ki Ageng Penjawi, ahli strategi dari tanah timur.


Bersama putranya yang muda dan berbakat—Raden Sutawijaya, kelak Panembahan Senopati—Ki Ageng Pemanahan memainkan peran penting dalam menggiring Arya Penangsang ke ambang ajal. Konspirasi, keberanian, dan kecerdikan menyatu dalam satu pertempuran penentu nasib Jawa.


Ketika kepala Arya Penangsang jatuh ke tanah, kemenangan menjadi milik Pajang. Dalam pesta dan puji-pujian, Ki Ageng Penjawi menerima ganjaran besar—wilayah Pati, daerah makmur yang ibarat permata di utara Jawa. Tanah subur, hamparan sawah luas, serta pelabuhan Juwana yang sibuk dan kaya raya menjadi miliknya. Sebuah wilayah bukan hanya bernilai ekonomi, tetapi juga kekuasaan dan prestise.


Namun, satu nama justru terlewat dari perjamuan anugerah: Ki Ageng Pemanahan.


Ia yang mengorbankan tenaga, pikiran, dan bahkan nyawa dari para pengikutnya, tak kunjung menerima bagian. Dengan jiwa besar ia mengalah kepada Ki Ageng Penjawi, menunda haknya demi menjaga persatuan. Tahun demi tahun berlalu, namun janji tak kunjung ditepati. Ia menunggu dalam diam, namun hatinya menyimpan bara.


Hingga pada akhirnya, ia mengadukan kegundahannya kepada Sunan Kalijaga, sang wali sakti yang melintasi zaman dengan bijaksana. Melalui jalur spiritual dan bisikan langit, Sunan Kalijaga menyampaikan pesan halus namun tajam kepada Sultan Hadiwijaya:


“๐ต๐‘Ž๐‘”๐‘–๐‘›๐‘‘๐‘Ž, ๐‘—๐‘Ž๐‘›๐‘”๐‘Ž๐‘› ๐‘๐‘–๐‘Ž๐‘Ÿ๐‘˜๐‘Ž๐‘› ๐‘๐‘ข๐‘›๐‘”๐‘Ž ๐‘ฆ๐‘Ž๐‘›๐‘” ๐‘ก๐‘’๐‘™๐‘Žโ„Ž ๐‘š๐‘’๐‘˜๐‘Ž๐‘Ÿ ๐‘‘๐‘Ž๐‘™๐‘Ž๐‘š ๐‘๐‘’๐‘Ÿ๐‘ก๐‘’๐‘š๐‘๐‘ข๐‘Ÿ๐‘Ž๐‘› ๐‘™๐‘Ž๐‘ฆ๐‘ข ๐‘‘๐‘Ž๐‘™๐‘Ž๐‘š ๐‘˜๐‘’๐‘ก๐‘–๐‘‘๐‘Ž๐‘˜๐‘Ž๐‘‘๐‘–๐‘™๐‘Ž๐‘›.”


Mendengar itu, Sultan Hadiwijaya menarik napas panjang. Wajahnya muram, namun matanya menyimpan kecemasan dalam.


“๐‘ฉ๐’–๐’Œ๐’‚๐’ ๐’Œ๐’‚๐’“๐’†๐’๐’‚ ๐’‚๐’Œ๐’– ๐’๐’–๐’‘๐’‚ ๐’‚๐’•๐’‚๐’– ๐’†๐’๐’ˆ๐’ˆ๐’‚๐’. ๐‘ป๐’†๐’•๐’‚๐’‘๐’Š ๐’…๐’‚๐’๐’‚๐’Ž ๐’”๐’–๐’๐’š๐’Š ๐’Ž๐’‚๐’๐’‚๐’Ž, ๐’‚๐’Œ๐’– ๐’Ž๐’†๐’๐’Š๐’‰๐’‚๐’•... ๐’Œ๐’†๐’•๐’–๐’“๐’–๐’๐’‚๐’ ๐‘ฒ๐’Š ๐‘จ๐’ˆ๐’†๐’๐’ˆ ๐‘ท๐’†๐’Ž๐’‚๐’๐’‚๐’‰๐’‚๐’ ๐’‚๐’Œ๐’‚๐’ ๐’Ž๐’†๐’๐’ˆ๐’ˆ๐’–๐’๐’„๐’‚๐’๐’ˆ ๐’ƒ๐’–๐’Ž๐’Š ๐’Š๐’๐’Š. ๐‘จ๐’Œ๐’‚๐’ ๐’๐’‚๐’‰๐’Š๐’“ ๐’…๐’‚๐’“๐’Š ๐’“๐’‚๐’‰๐’Š๐’Ž๐’๐’š๐’‚ ๐’”๐’†๐’๐’“๐’‚๐’๐’ˆ ๐‘น๐’‚๐’‹๐’‚ ๐‘ฉ๐’†๐’”๐’‚๐’“ ๐‘ป๐’‚๐’๐’‚๐’‰ ๐‘ฑ๐’‚๐’˜๐’‚, ๐’…๐’‚๐’ ๐’…๐’‚๐’“๐’Š ๐’…๐’‚๐’“๐’‚๐’‰๐’๐’š๐’‚ ๐’‚๐’Œ๐’‚๐’ ๐’Ž๐’†๐’๐’ˆ๐’‚๐’๐’Š๐’“ ๐’•๐’‚๐’Œ๐’‰๐’•๐’‚ ๐’š๐’‚๐’๐’ˆ ๐’Ž๐’†๐’๐’ˆ๐’–๐’ƒ๐’–๐’“ ๐‘ท๐’‚๐’‹๐’‚๐’๐’ˆ…”


Namun takdir tak bisa selamanya dihindari. Maka Sultan pun menyerahkan sebuah wilayah sebagai hadiah: Hutan Mentaok. Tanah tak berpenghuni, lebat oleh pepohonan dan semak liar. Tidak ada istana, tidak ada sawah, tidak ada pelabuhan—hanya tanah sunyi yang belum disebut oleh siapa pun sebagai rumah.


Orang-orang menganggapnya sebagai bentuk pengusiran halus. Tapi Ki Ageng Pemanahan melihat lebih dalam. Ia melihat tanah leluhur. Ia melihat tanah suci yang menunggu untuk dilahirkan kembali.


“Tanah tak bernama ini akan kuubah menjadi pusat bumi Jawa,” bisiknya kepada anaknya, Raden Sutawijaya.


Maka dibukalah hutan itu. Dengan tangan, doa, dan keyakinan, mereka membabat pohon-pohon raksasa, membangun pemukiman, menanam harapan. Dari tanah kosong itu lahirlah Mataram. Dari ketiadaan, muncullah kekuasaan. Dan dari sabar yang tertunda, menyemburlah takdir agung.


Dan benar—sebagaimana firasat Jaka Tingkir—dari darah Ki Ageng Pemanahan lahir Panembahan Senopati, raja besar tanah Jawa, pendiri Mataram Islam, kerajaan yang kelak melebihi Pajang dalam kekuasaan dan kejayaan.


๐—ฃ๐—ฒ๐—ป๐˜‚๐˜๐˜‚๐—ฝ: ๐—๐—ฒ๐—ท๐—ฎ๐—ธ ๐˜†๐—ฎ๐—ป๐—ด ๐—ง๐—ฎ๐—ธ ๐—ฃ๐—ฒ๐—ฟ๐—ป๐—ฎ๐—ต ๐—ฃ๐—ฎ๐—ฑ๐—ฎ๐—บ


Kisah Ki Ageng Pemanahan menagih janji Jaka Tingkir bukan sekadar catatan sejarah. Ia adalah pelajaran tentang kesabaran yang melahirkan kekuasaan, tentang janji yang membentuk dinasti, dan tentang bagaimana tanah sunyi dapat menyembunyikan mahkota. Sebab dalam diam dan pengorbanan, seringkali tersimpan kekuatan yang jauh lebih besar dari sebuah tahta.

[4/6 08.55] rudysugengp@gmail.com: Anak Nyamuk yang Penasaran


Di balik dedaunan lebat di sebuah taman yang sejuk, tinggallah seekor anak nyamuk bernama Nino bersama Ibu Nyamuk. Mereka tinggal di bawah daun pisang yang besar, tempat yang aman dan nyaman.


Setiap hari, Nino mendengar suara-suara dari kejauhan, suara manusia tertawa, suara burung berkicau, dan cahaya terang dari lampu taman.


"Bu, bolehkah aku terbang ke sana? Aku ingin lihat apa yang ada di luar sana," tanya Nino dengan mata berbinar.


Ibu Nyamuk menggeleng pelan.

"Belum, Nino. Dunia luar itu penuh bahaya. Ada manusia yang suka menepuk, ada semprotan nyamuk, dan lampu yang panas sekali. Kamu masih terlalu kecil."


Tapi Nino penasaran.

"Aku hanya mau lihat sebentar saja... pasti menyenangkan!" pikirnya dalam hati.


Malam pun tiba. Saat Ibu Nyamuk tertidur di balik daun, Nino terbang pelan-pelan meninggalkan sarangnya.


"Wah! Angin malam sejuk banget!" katanya gembira. Ia melihat bunga yang bermekaran, lampu taman yang terang, dan kupu-kupu malam yang berkilau.


Namun tiba-tiba…


"Ciiiit!"


Seekor kelelawar besar terbang mendekat! Nino kaget dan langsung melesat ke arah semak-semak. Tak lama kemudian, terdengar "sssshhhhh!"semburan semprotan nyamuk dari seorang petugas taman.


"AAA! Itu yang Ibu maksud!" Nino panik dan cepat-cepat kembali terbang pulang ke bawah daun pisang.


Sesampainya di rumah, Ibu Nyamuk sudah menunggu dengan wajah khawatir.


"Nino, kamu ke mana saja? Ibu sangat cemas!"


Nino memeluk Ibu erat-erat. "Maaf, Bu. Ternyata dunia luar memang berbahaya... Aku salah karena tidak mendengarkan Ibu."


Ibu Nyamuk tersenyum. "Tidak apa, Nak. Sekarang kamu sudah tahu. Rasa ingin tahu itu bagus, tapi kamu harus berhati-hati dan mendengar nasihat orang yang sayang padamu."


Sejak hari itu, Nino tak lagi nekat keluar sendiri. Ia belajar mengenal dunia luar dengan cara yang aman, bersama Ibu tercinta.

[4/6 08.56] rudysugengp@gmail.com: SERIAL BABAD TANAH JAWI:

SUSUHUNAN ING NGALAGA TIDAK PERCAYA BAHWA AMANGKURAT II ADALAH ADIPATI ANOM


Dikisahkan, Adipati Anom atau Amangkurat II sudah membangun ibukota mataram di Wanakerta. 


Kerajaan Mataram yang baru itu diberi nama Keraton Kartasura Hadiningrat.


Sementara itu, adiknya, Pangeran Puger juga sudah menobatkan diri menjadi Raja Mataram. Dengan gelar Susuhunan Ing Ngalaga. Bertakhta di istana Plered.


Sejak meninggalnya ayah mereka, Amangkurat I, keduanya tidak bertemu.


Pangeran Puger berhasil mengusir pasukan pemberontak Trunojoyo dari istana Plered. Susuhunan Ing Ngalaga pun kemudian bertakhta di ibukota Mataram itu.


Sementara Adipati Anom kemudian mengundang Kompeni Belanda untuk menghancurkan kekuatan Trunojoyo di Kediri. 


Amangkurat II tidak mau menempati istana Plered. Kemudian membangun ibukota baru.


Setelah Keraton Kartasura berdiri, Amangkurat II mengirim surat pada adiknya yang bertakhta di Plered.


Dikisahkan, ketika itu, Susuhunan Ing Ngalaga atau Pangeran Puger tengah mendapat laporan dari anak buahnya, Adipati Mandalika.


"Paduka, saya mendengar kabar, kakak Paduka, Adipati Anom sudah menjadi raja. Bahkan pemberontak Trunojoyo sudah berhasil dibunuhnya.


"Namun, saya juga mendengar berita, bahwa Susuhunan Amangkurat sebenarnya bukan adik Paduka. Melainkan anak Admiral Belanda yang menyamar menjadi kakak Paduka, supaya orang Jawa mau tunduk kepadanya."


Susuhunan Ing Ngalaga bertanya, "Apa tanda-tanda kalau Susuhunan Amangkurat itu sebenarnya bukan Kangmas Adipati Anom?"


Adipati Mandalika menjawab penuh kepastian.


"Tanda-tandanya, setiap hari Susuhunan Amangkurat selalu berpakaian seperti Kompeni Belanda. Tiap hari tidak pernah berpisah dengan orang-orang Belanda. 


"Namun anehnya, semua bupati tunduk kepadanya. Itu yang membuat banyak orang yakin, bahwa dia adalah sungguh-sungguh kakak Paduka."


Mendengar laporan itu, Susuhunan Ing Ngalaga kemudian mengumpulkan anak buahnya.


"Kalian waspadalah. Siapkan peralatan perang. Saya kira, Susuhunan Amangkurat bukanlah kakak saya, Kangmas Adipati Anom.


"Sebab, Kangmas Adipati Anom sudah berangkat haji ke Makkah. Karena sudah menyatakan diri tidak mau menjadi raja. 


"Maka, kalau sekarang ada yang mengaku Susuhunna Amangkurat dia pasti bukan kakak saya.


"Saya tidak rela ada orang dari Kompeni Belanda yang ingin menguasai Jawa, dengan menyamar sebagai Kangmas Adipati Anom. Pasti hanya akan membuat kerusakan di Jawa."


Semua anak buah setuju dengan pendapat raja mereka.


Ketika sedang asyik-asyiknya berbincang, mendadak datang utusan dari Kartasura.


Surat dari Amangkurat II diterima. Kemudian dibaca.


Isinya adalah memanggil Susuhunan Ing Ngalaga datang ke Keraton Kartasura. Karena mereka berdua sudah sangat lama tidak bertemu, sejak sebelum ayah mereka meninggal.


Susuhunan Ing Ngalaga memerintahkan utusan Kartasura untuk pulang.


"Tentang pemanggilan saya, saya akan pikirkan lebih dulu."


Utusan pun kemudian meninggalkan istana Plered.


Susuhunan Ing Ngalaga bertanya kepada anak buahnya.


"Surat undangan sudah saya terima. Menurut kalian, apakah sebaiknya saya datang ke Kartasura atau tidak?"


Adipati Mandalika memberikan pendapatnya.


"Saya merasa hati saya tidak enak. Sebab ini seperti muslihat Kompeni Belanda saja. Mereka telah membuat rekayasa, ada orang lain yang menyamar menjadi kakak Paduka."


Pangeran Natakusuma ikut memberikan pandangannya.


"Menurut hamba, Paduka sebaiknya segera datang memenuhi undangan ke Kartasura. Tidak mungkin kalau Susuhunan Amangkurat bukan kakak Paduka, sebab seluruh bupati di pesisir telah tunduk kepadanya.


"Juga para pengikut setia ayahanda Paduka, semua tetap mengabdi kepadanya. Jadi, menurut hamba, Susuhunan Amangkurat benar-benar Kanjeng Adipati Anom, kakak Paduka."


Namun, Adipati Mandalika berkata lagi.


"Ah, tidak mungkin begitu. Menurut kabar yang saya dengar, wajah Susuhunan Amangkurat wajah dan pakaiannya sangat Belanda. 


"Memang bukan main pandainya Kompeni Belanda membuat rekayasa, hingga orang Jawa bisa tunduk kepadanya...."


Para bupati kemudian berdebat. Saling berbeda pendapat. 


Sebagian setuju dengan pendapat Adipati Mandalika.


Susuhunan Ing Ngalaga pun semakin bingung dibuatnya.


Sampai kemudian sang raja berkata kepada Pangeran Natakusuma.


"Paman sajalah yang saya utus mewakili saya datang ke Kartasura. Pastikan kebenaran, bahwa Susuhunan Amangkurat adalah Kangmas Adipati Anom. Ajaklah serta Pangeran Natabrata sebagai wakil saya."


Pangeran Natakusuma dan Pangeran Natabrata pun kemudain berangkat menuju Kartasura.


(Sumber: Babad Tanah Jawi) 


#books

[4/6 09.06] rudysugengp@gmail.com: Para peneliti menemukan fosil Homo erectus dan puluhan spesies bertulang belakang lainnya di Selat Madura. 


Ini diklaim sebagai "temuan pertama" di perairan sekitar Laut Jawa, yang mengindikasikan kehidupan di benua yang tenggelam bernama Sundaland. 


Butuh waktu kurang lebih 10 tahun sampai akhirnya penemuan 6.372 fosil di Selat Madura bisa dipublikasikan. Hasilnya, para peneliti meyakini 1.212 fosil di antaranya adalah milik Homo erectus dan 36 spesies vertebrata lainnya. 


Uniknya, penelitian itu tidak direncanakan. Semua berawal dari proyek reklamasi sebuah pulau yang masuk ke wilayah Gresik, Jawa Timur. 


Pulau itu kini difungsikan sebagai pelabuhan. Proses pengerukan dimulai pada 2014–2015, di kedalaman 20-50 meter di bawah permukaan laut. 


Lokasi pengerukan berada di perairan sebelah utara Pelabuhan Tanjung Perak, yang memisahkan Pulau Jawa dengan Pulau Madura.

[4/6 09.07] rudysugengp@gmail.com: -- ISTANA PRAWOTO , JEJAK PUSAT KESULTANAN DEMAK YANG DIABAIKAN --


Kitab Babad Tanah Djawi menerangkan, Prawoto 

(nama tempat) sudah menjadi wilayah yang penting sejak berabad-abad yang lalu. Pada masa Kesultanan Demak (1478-1549), terutama ketika musim hujan datang, Prawoto menjadi kediaman (istana) sultan, dan dari Prawoto pula Sultan Demak mengendalikan pemerintahan (jumeneng nata). Buku babon tentang sejarah para penguasa dan kerajaan di Pulau Jawa yang ditulis tahun 1700-an itu juga menyebut Prawoto sebagai “pesanggerahan”.


Serat Centhini (1814), yang ditulis hampir seratus tahun setelah Babad Tanah Djawi, bahkan lebih jelas lagi dalam menerangkan Prawoto. Serat Centhini misalnya menyebut Prawoto sebagai tempat yang di dalamnya terdapat keraton, kedaton, dan seorang susuhunan yang dihormati. Tidak hanya itu, sang tokoh yang menjadi subjek dalam Serat Centhini diceritakan melakukan perjalanan spiritual dari bekas pusat kerajaan Majapahit hingga sampai di Prawoto dan menyaksikan Istana Prawoto.


J. DE GRAAF DALAM BUKU AWAL KEBANGKITAN MATARAM: MASA PEMERINTAHAN SENOPATI KEMUDIAN MEMASTIKAN, PRAWOTO LEBIH DARI SEKEDAR TEMPAT TINGGAL BIASA, TETAPI LEBIH SEBAGAI ISTANA PARA SULTAN DEMAK. BAGI GRAAF, DI PRAWOTO PADA SAAT ITU JUGA BERDIRI KERAJAAN DEMAK (GRAAF, 2001: 31).


Sementara itu, kaum tua di Desa Prawoto (Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati) saat ini mewarisi cerita lama, bahwa sebelum Masjid Agung Demak dibangun oleh para wali penyebar agama Islam (Walisongo) di bumi Jawa terlebih dahulu mereka ber-khalwat (bermunajat dan berdoa kepada Tuhan, meminta pertolongan dan petunjuk) di Masjid Wali Kauman di Desa Prawoto.


Setelah beratus-ratus tahun, kini yang tersisa dari nama besar Prawoto hanya sebagai nama desa di Pati, Jawa Tengah. Tepatnya, Prawoto berada di sebelah barat daya Kabupaten Pati. Dari pusat kota Kabupaten Pati, Prawoto memerlukan jarak tempuh sekitar 38 kilometer. Oleh masyarakat setempat, Prawoto disebut sebagai bumi telon, karena titik letaknya yang diapit oleh tiga wilayah: Grobogan di sebelah selatan, Kudus di sebelah barat dan utaranya, serta Pati di sebelah timur laut.


Nama pesohor yang identik dengan Desa Prawoto adalah Sunan Prawoto, putera dari Sultan Demak ke-3 (Pangeran Trenggono). Banyak cerita yang hidup di tengah masyarakat Prawoto dihubungkan dengan sang tokoh, Sunan Prawoto. Mulai dari ketokohannya sebagai wali (sunan), sebagai Sutan Demak ke-4, hingga istananya yang berada di wilayah itu.


Situs di Prawoto dan Penelitian Jejak Kesultanan Demak


Sayangnya, hingga saat ini Prawoto belum menjadi perhatian para peneliti sejarah, terutama dalam hubungannya dengan keberadaan bekas pusat Kesultanan Demak yang masih diselimuti “misteri”. Karena pertimbangan inilah, bagi saya, mengangkat keberadaan jejak kerajaan pada masa lalu di Prawoto menjadi sangat penting. Terlebih lagi ketika dihubungkan dengan kenyataan bahwa di sekitar alun-alun Kota Demak yang sekarang ini, yang diduga dulunya sebagai pusat keberadaan keraton pada masa Kesultanan Demak ternyata terlalu sulit ditemukan adanya sisa-sisa peninggalan sebuah bangunan keraton.


Berdasarkan pemetaan terintegrasi kepurbakalaan daerah Demak, ternyata sulit menentukan lokasi bekas bangunan Kesultanan Demak (Ashadi, 2006: 49). Dalam kebuntuan proses penelusuran keberadaan bekas pusat Kesultanan Demak yang demikian, di Desa Prawoto justru menyimpan keberadaan bukti sejarah dan benda purbakala peninggalan orang-orang terdahulu yang bisa diidentifikasi memiliki kaitan erat dengan Kesultanan Demak (1475–1554).


Tulisan ini ingin menegaskan, bahwa wilayah bernama Prawoto memiliki kelengkapan bukti untuk di-identifikasi sebagai bekas pusat Kesultanan Demak di masa lampau.


Menentukan Pusat Kesultanan Demak


Setidaknya ada empat jenis sumber data yang akan membantu kita untuk memahami bahwa di Prawoto-lah pusat Kesultanan Demak dulu berada. Pertama, di awal, buku babon berupa Babad dan Serat telah menyebutkan keberadaan keterangan yang tertulis dalam kitab Babad dan Serat. Seperti yang telah saya kemukakan, sebuah istana Sultan Demak di Prawoto. Lebih jauh lagi, Prawoto juga digunakan oleh Sultan Demak untuk mengendalikan kekuasaan (jumeneng nata).


Babad Tanah Djawi juga menceritakan bahwa peristiwa “geger kerbau Danu” selama tiga hari tiga malam terjadi di alun-alun Prawoto, dan bukan di alun-alun Demak. Ini menarik dicermati, karena selama ini orang-orang mempercayai bahwa peristiwa “geger kerbau Danu” terjadi di alun-alun Kerajaan Demak. Dan, ketika mendengar kata Demak, yang terbayang di pikiran adalah Demak yang sekarang ini menjadi ibu kota Kabupaten Demak. Di sisi lain, Babad Tanah Djawi dengan jelas menyebut Prawoto sebagai tempat kejadian geger Danu.


Di sini bisa dengan mudah kita pahami, bahwa ketika menyebut Kesultanan Demak maka pusatnya berada di Prawoto. Kemungkinan lain, pusat Kesultanan Demak terdapat di beberapa titik: di sekitar masjid Agung Demak yang sekarang, di Prawoto, dan di Kalinyamat.


Kedua, keberadan benda-benda peninggalan jaman purbakala yang berserakan di Prawoto. Sebenarnya benda-benda berupa batu yang ada di Prawoto tidak sebatas material yang bisa diidentifikasi berhubungan dengan Kesultanan Demak. Di Prawoto juga terdapat benda-benda yang berupa batu alam (hitam). Di antara benda-benda itu juga terdapat Lingga dan Yoni. Ini menunjukkan, sebelum masuk era Kesultanan Demak, di Prawoto telah ada peradaban kuno.


Di Prawoto juga terdapat pintu gerbang yang susunan batunya sudah runtuh karena beberapa hal. Masyarakat setempat menyebutnya sebagai lawang gapura. Di belakang gapura terdapat sepetak kecil tanah yang mengundak dan diyakini sebagai sitinggil keraton.


Jejak lain adalah tempat pemandian yang dihuni kura-kura yang keramat. Tempat ini bernama geruda. Graaf menghubungkan tempat ini dengan kolam yang sama yang ada di Kotagede, Yogyakarta, yang juga dihuni oleh kura-kura yang tersohor. Pada akhirnya, Graaf berkesimpulan bahwa puing-puing di Prawoto adalah bekas tempat tinggal seorang raja (istana) yang luas.


Di Prawoto juga bisa dijumpai bongkahan batu-bata merah berukuran lebih besar dari ukuran rata-rata yang berserakan di mana-mana.  Tempat bernama Pasar Wage, Sumur Bandung dan Kali (sungai) Pepe juga melengkapi jejak kesultanan masa lalu di Prawoto. Nama Sumur Bandung pernah Penulis jumpai di Ciamis, Jawa Barat, ketika Penulis melakukan aktifitas penelitian di sana pada akhir tahun 2012. Sedangkan Kali Pepe juga terdapat di Cirebon.


Bukti lain adalah keberadaan makam-makam kuno di Desa Prawoto yang di-identifikasi masyarakat setempat sebagai tempat penyimpanan jasad tokoh kesohor pada masa lampau. Penunjukkan sebagai makam seorang tokoh didasarkan pada hubungan dekat sang tokoh yang dikuburkan dengan Sunan Prawoto dan Kerajaan Demak. Selain nampak dari namanya, kebesaran sang tokoh yang dikuburkan juga bisa amati dari keunikan batu nisannya.


Selain nama besar Sunan Prawoto, di sana juga terdapat nama tokoh Kiai Ragil. Nama ini disebut dalam Babad Tanah Djawi sebagai Ki Mas Wuragil. Babad Tanah Djawi mengisahkan bahwa Kiai Ageng Selo memiliki tujuh anak. Nomor empat bernama Nyai Ageng Jati. Makam Kiai Ageng Selo berada di wilayah yang berada di sebelah Timur Grobogan sekarang.


Menjadi semakin jelas, Prawoto tempo dulu merupakan pusat pemerintahan berbentuk kerajaan. Bisa berarti titik utama pemerintahan Kerajaan Demak, atau bagian dari kebesaran pemerintahan Demak. Sayangya, fakta ini belum diketahui para peminat sejarah kerajaan di Nusantara.


Diskusi ini menarik untuk diangkat, karena bisa memberi spekulasi yang baru terhadap ‘pertanyaan’ para ilmuwan yang masih terus mencari di mana titik utama pusat pemerintahan Kerajaan Demak.


Ketiga, kondisi geografis Prawoto yang unik, yang memperkuat dugaan bahwa Prawoto layak dipilih menjadi pusat kesultanan. Ini didasari pada kenyataan bahwa titik lokasi yang bisa diduga sebagai bekas bangunan keraton Kesultanan Demak masih menjadi pencarian para ahli. Sebagian dari mereka menduga letak lokasi Keraton Demak ada di kawasan selatan alun-alun Kota Demak yang sekarang.


Namun sebagian ahli lainnya tidak sependapat. Sebab, pada abad ke-15 kawasan Demak masih berupa rawa. Menjadi meragukan bila Raden Patah mendirikan kerajaannya di kawasan yang berupa rawa. Akhirnya tidak aneh jika di kawasan itu tidak ditemukan sekeping pun bekas bangunan kuno yang bisa dicurigai sebagai jejak kerajaan bangunan kerajaan.


Selanjutnya, lebih masuk akal bila Prawoto dimungkinkan sebagai pusat pemerintahan Demak. Alkisah, oleh Sunan Ampel, Fatah diberi petunjuk agar berjalan ke arah barat. Jangan berhenti sebelum mendapatkan hutan bambu (gelagah). Sesampai di lokasi itu, kata Sang Sunan, temukan titik tengah hutan dengan menandai bambo yang berbau harum (wangi). Jadilah tempat itu Gelagah wangi.


Maka sesampainya di Gelagah, Fatah kemudian memegangi dan mencari bau harum dari aroma pohon gelagah (mirip bambo). Dalam bahasa Jawa, Fatah demak-demรฉk (artinya memegangi satu persatu) pohon gelagah. Kelak, tempat ini disebut Demak, yang berasal dari kata ‘demak-demรฉk’ (Abul Fadhal, 2000:32).


Faktanya, kita tidak memperoleh jejak tempat bernama Gelagah di sekitar kawasan Demak yang sekarang. Tetapi di dekat Prawoto, tepatnya sejauh 3 kilometer sebelah barat-laut dari Prawoto, di sana terdapat desa bernama ‘Gelagah Waru’. Mungkinkah nama Gelagah Waru memiliki kaitan dengan ‘Gelagah Wangi’?


POSISI PRAWOTO DI SEBELAH SELATAN GUNUNG MURIA TERPISAH SELAT. PRAWOTO JUGA BERADA DI PUCUK SEGITIGA GUNUNG: MURIA, MERAPI, DAN LAWU. PILIHAN TEMPAT INI MENGINGATKAN KITA PADA LETAK KERATON YOGYAKARTA YANG JUGA BERADA DI ANTARA MERAPI DAN PANTAI SELATAN.


Menarik dicermati di sini, masyarakat di Prawoto hingga saat ini memegang cerita yang diwarisi dari para sesepuh mereka, bahwa musyawarah para wali untuk merancang pendirian Masjid Agung Kesultanan Demak dilakukan di Masjid Kauman Prawoto. Lokasi masjid ini sekarang berada di tengah sawah.


Setelah melihat peristiwa Raden Fatah dalam menemukan tempat bernama Gelagah Wangi, dan memperhatikan fakta bahwa Prawoto saat itu sudah menjadi wilayah yang ramai, cerita tutur musyawarah para wali di Kauman tidak sulit dipahami. Cerita kuno ini justru meneguhkan kesimpulan, bahwa Prawoto diduga sangat kuat menjadi pusat bagi pendirian Kerajaan Demak dan tonggak bagi penyebaran Islam di Nusantara.


Artinya, setelah Raden Fatah menemukan hutan gelagah sebagaimana ditunjukkan Sunan Ampel, selanjutnya dia akan memulai membuka lahan dan membangun pemukiman. Namun karena tempat yang dimaksud masih belum memungkinkan  untuk didirikan bangunan, apalagi istana kerajaan, maka Fatah kemudian mencari tempat yang lebih stabil untuk semua rencananya. Pilihannya adalah di Prawoto dengan menjadikan Masjid Kauman Prawoto sebagai tempat berkumpulnya para tokoh sepuh pendukungnya.


Keempat, orang-orang di Prawoto yang umumnya menyimpan cerita lama tentang jejak bangunan keraton yang mulai hancur. Pemahaman yang masyhur di tengah masyarakat Prawoto, keraton itu dibangun dalam waktu semalam. Sisa batu bata merah yang berserakan di beberapa tempat di Prawoto adalah material yang belum digunakan karena matahari keburu terbit di ufuk timur. Artinya, keraton memang akrab di telinga masyarakat Prawoto secara umum.


Prawoto Kunci dalam Membaca Demak


Dari paragraph-paragraf di atas menjadi jelas, Prawoto adalah wilayah yang sejak lama sudah stabil, baik dari sisi geografis, sosial politik maupun ekonomi. Benda-benda peninggalan yang terbuat dari batu menguatkan dugaan bahwa sejak abad ke-12 sudah ada peradaban manusia di Prawoto. Kemudian pada masa kerajaan Demak, Prawoto menjadi pusat pemerintahan. Para raja Demak mengendalikan politik dan perdagangan dari Prawoto.


Kondisi bumi Prawoto saat ini masih menggambarkan suasana sebagaimana terekam dalam Babad Tanah Djawi dan juga catatan para antropolog dan sejarawan dari Eropa, seperti Graaf. Mengkaji dan memperhatikan Prawoto sangat penting untuk membantu menemukan serpihan sejarah Nusantara yang masih terselubung.


Tulisan ini adalah upaya awal untuk membaca kesejarahan Prawoto di masa yang lalu. Para sejarawan dan pemerhati sejarah Nusantara perlu melihat kembali sejarah Nusantara, dan melibatkan episode Prawoto sebagai bagian yang tidak boleh diabaikan. Wallahu a’lam bishawab.[]


Oleh: Ali Romdhoni (Dosen Universitas Wahid Hasyim, Semarang)

[4/6 20.27] rudysugengp@gmail.com: SM Kartosoewirjo Ditangkap Pasukan Siliwangi


Hari ini dalam sejarah, 4 Juni 1962, S.M. Kartosoewirjo, imam DI/TII, ditangkap pasukan Kompi C Batalion 328 Para Kujang II/Siliwangi di Gunung Geber, Majalaya, Bandung. Saat ditangkap Kartosoewirjo dalam keadaan sakit berat. Setelah Kartosoewirjo ditangkap, semua anggota DI/TII diperintahkan menyerah. 


Kodam Siliwangi menggelar operasi Brata Yudha untuk menumpas gerombolan DI/TII pada awal April 1962. Dalam operasi ini, Kodam Siliwangi dibantu pasukan Kodam VII/Diponegoro, Kodam VIII/Brawijaya, dan penduduk yang membentuk Pagar Betis. Pasukan inti dalam operasi ini adalah Batalion 328 Para Kujang II/Siliwangi.


Operasi Brata Yudha berhasil membuat tokoh-tokoh DI/TII tertangkap, terbunuh, atau menyerah. Puncaknya pemimpin DI/TII SM Kartosoewirjo tertangkap pada 4 Juni 1962. Dengan penangkapan Kartosoewirjo, berakhirlah pemberontakan DI/TII di Jawa Barat yang berlangsung lebih dari sepuluh tahun. 


Kartosoewirjo dijatuhi hukuman mati setelah menjalani sidang selama tiga hari pada 14-16 Agustus 1962. Hukuman mati dilaksanakan pada 5 September 1962 di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu.*


Baca artikel selengkapnya: https://www.historia.id/article/penangkapan-imam-di-tii-s-m-kartosoewirjo-PNL8j


Baca juga tentang SM Kartosoewirjo di sini: https://www.historia.id/articles/tags/sm-kartosoewirjo


๐Ÿ“ทPanglima Kodam Siliwangi Ibrahim Adjie dan SM Kartosoewirjo setelah tertangkap. (Album Kenangan Perjuangan Siliwangi).


#sejarah #sejarahindonesia #historia #historiaid #ditii #smkartosoewirjo

[5/6 00.57] rudysugengp@gmail.com: STAIRLIFT DAN LUKA DI BATU WARISAN :

Seruan Arkeologis Menolak Pelapukan Cagar Budaya


Pada sebuah pernyataan resmi, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyampaikan rencana pemerintah untuk memasang stairlift di seluruh cagar budaya, dimulai dari Candi Borobudur. Menurutnya, langkah ini adalah upaya menghadirkan fasilitas aksesibilitas setara, sebagaimana telah dilakukan di situs-situs warisan dunia lainnya. Fasilitas tersebut, kata beliau, bersifat portabel dan tidak akan merusak struktur.


Namun di balik semangat inklusivitas itu, terselip kegelisahan mendalam. Sebagai arkeolog dan penjaga ingatan masa lalu, kami bertanya: apa yang sedang kita lakukan terhadap warisan paling purba yang kita miliki? Apakah kemajuan harus dibayar dengan luka yang tak terlihat di tubuh peradaban kita?


Situs Itu Bukan Milik Kita Saja


Cagar budaya bukanlah milik hari ini. Ia adalah janji sunyi dari masa lalu kepada masa depan, agar yang hidup hari ini tak buta pada akar dan arah. Candi Borobudur, Trowulan, Leang-Leang, Muaro Jambi, dan ribuan lainnya bukan sekadar batu-batu tua. Mereka adalah tulisan tak bersuara, manuskrip yang diukir dengan tangan, waktu, dan kesunyian.


Dalam pandangan arkeologi, situs budaya adalah struktur dengan keseimbangan halus: tiap sudutnya, tiap celah dan retakan, adalah hasil interaksi panjang antara manusia, alam, dan waktu. Maka setiap intervensi sekecil apa pun adalah pilihan antara pelestarian atau penggerogotan.


Stairlift, Vibrasi, dan Luka Tak Terlihat


Pemasangan stairlift bukan perkara sederhana. Meski disebut portabel dan tanpa paku, struktur ini tetap melibatkan penambahan beban, vibrasi mesin, dan perubahan akses di jalur asli. Dalam banyak kasus global, getaran mikro dan tekanan berulang menyebabkan mikro-keretakan batu yang baru terlihat dampaknya dalam puluhan tahun.


Apakah kita akan menunggu hingga retakan itu melebar, baru kita percaya bahwa yang rapuh harus dijaga dengan lembut, bukan ditumpangi?


Cagar Budaya Bukan Mall, Bukan Wahana


Kita hidup di zaman di mana akses setara menjadi ideal mulia. Namun, apakah akses itu harus dalam bentuk menaiki tubuh situsnya? Apakah kesetaraan berarti semua orang harus duduk di atas altar purbakala?


Cagar budaya bukan tempat rekreasi biasa. Ia adalah ruang kesunyian dan kontemplasi, di mana manusia datang bukan untuk menikmati kenyamanan, tapi untuk merenung, mendengarkan bisikan sejarah, dan menyadari keterbatasannya.


Contoh Alternatif: Inklusif Tanpa Merusak


Negara lain telah lebih dahulu menghadapi dilema ini. Di Machu Picchu, Peru, jalur khusus dibuat tanpa mengganggu lereng situs utama. Di Petra, Yordania, pengunjung difasilitasi dengan kereta khusus di jalur perimeter, tanpa menyentuh langsung struktur batuan. Teknologi digital juga membuka jalan: VR tour, replika skala penuh, model 3D interaktif, hingga dek observasi yang aman.


Akses adalah hak, tapi keutuhan warisan adalah amanat.


Arkeologi Bukan Hanya Ilmu, Tapi Suara Penjaga Masa Depan


Kami, para arkeolog dan pegiat konservasi, bukan menolak kemajuan. Kami justru ingin memeluknya, asal ia tak mengorbankan makna dan nilai. Stairlift di situs purbakala adalah keputusan tergesa, berisiko, dan penuh muatan komersial.


Penolakan kami bukan bentuk ketertutupan. Justru karena kami percaya pada inklusivitas yang adil, kami menolak akses yang merusak. Aksesibilitas yang ideal bukan tentang mendekati batu, tapi tentang mendekati makna.


Akhir Kata: Mari Bicara, Bukan Bongkar


Kami mengajak: mari duduk bersama. Arkeolog, penyandang disabilitas, komunitas budaya, pemerintah, dan masyarakat. Kita bisa cari jalan tengah. Tapi jangan ambil keputusan dulu, sebelum batu-batu itu bicara lewat kami penjaga kisah mereka.


Warisan budaya bukan untuk dinikmati hari ini saja, melainkan untuk diwariskan kembali besok pagi.


EMBAS 03062025

[5/6 00.58] rudysugengp@gmail.com: GUNUNG WILIS 


# Sejarah Geologis dan Asal Nama


Gunung Wilis termasuk gunung api tipe B yang telah lama tidak meletus pada zaman modern. Berdasarkan catatan PVMBG, sebelum abad ke-17 setidaknya ada empat titik letusan di kompleks Wilis (Wilis Tua, Ngargakalangan, Wilis Muda, Watubangil). Artinya aktivitas vulkanik terakhir terjadi sebelum tahun 1600 M, sehingga kini Wilis termasuk “gunung tidur” yang didominasi hutan lebat. Nama “Wilis” sendiri diperkirakan berasal dari bahasa Jawa Kuno yang bermakna “luka” atau “kesedihan”, konon terkait dengan legenda putri yang patah hati dan mengasingkan diri di pegunungan ini. Beberapa sumber klasik juga menyebut Wilis dengan nama lawas **Gunung Pawinihan**, tetapi belum ada literatur pasti kapan nama ini berganti.


## Peran dalam Sejarah Lokal


Lereng Gunung Wilis sejak zaman kuno menjadi tempat sakral dan pusat peradaban. Ahli sejarah Kediri mengungkap bahwa pada masa Kerajaan Kediri lereng timur Wilis digunakan untuk upacara pemujaan dan pertapaan. Dalam karya klasik Majapahit *Tantu Panggelaran*, Wilis disebut sebagai salah satu “gunung suci” hasil tusukan Gunung Mahameru guna menancapkan Pulau Jawa. Di sekitar kaki Wilis juga pernah berdiri kerajaan-kerajaan kecil sebelum era Majapahit: misalnya **Kerajaan Gegelang** di barat Wilis (sekitar Madiun) dan **Kerajaan Wengker** di selatan (Ponorogo). Pada masa perjuangan kemerdekaan, Tentara Nasional Indonesia (Jenderal Sudirman) bahkan melewati lereng Wilis menjelang Serangan Umum 1 Maret 1949 ke Yogyakarta. Dengan demikian, Wilis menjadi saksi berbagai era sejarah lokal – dari kerajaan-kerajaan Hindu-Jawa hingga era kolonial dan kemerdekaan.


## Legenda dan Mitos


Gunung Wilis kaya legenda. Dalam mitologi Jawa kuno (Tantu Panggelaran) diceritakan bahwa dewata menancapkan pucak Gunung Mahameru ke Jawa, sehingga terbentuk gunung-gunung suci termasuk Lawu, Wilis, Kelud, dan Semeru. Panggelaran juga menyebut *Gunung Pawinihan* (Wilis) sebagai tempat penciptaan manusia kedua oleh Batara Wisnu. Selain mitos penciptaan, masyarakat modern menyebut Wilis angker. Ada kepercayaan tentang **ular raksasa** yang berkeliaran di lereng Wilis, dipercaya sebagai penunggu gunung. Konon di Telaga Ngebel (kaki Wilis di Ponorogo) juga berdiam *naga* bertuah yang dapat menimbulkan ombak besar. Legenda lain menyebut bahwa puncak Wilis dijaga oleh sosok **putri dari Kerajaan Mataram** yang hanya bisa dilihat orang bertuah. Bahkan berkembang pula kisah tentang kerajaan gaib di puncak Wilis, yang dipimpin makhluk supranatural. Semua cerita mistis ini mewarnai budaya lokal dan menambah aura magis Gunung Wilis.


## Praktik Budaya dan Ritual Adat


Berbagai ritual adat masih dijalankan di lereng Wilis. Setiap 17 Agustus (HUT RI) di Tulungagung (Sendang) diadakan **Upacara Siraman Barongan**, tradisi ratusan tahun di situs Mbah Bodo (puro Majapahit). Masyarakat menyiramkan “air kembang” ke kepala barongan, dadak merak, dan *kuda lumping* sebelum pentas, dengan tujuan memohon keselamatan dan berkah bagi warga lereng Wilis. Di kaki Gunung Wilis (Nganjuk) terdapat Air Terjun Sedudo, yang sejak zaman Majapahit diyakini sebagai **tirta suci**. Tiap tahun pada tanggal 1 Suro (Tahun Baru Jawa) Pemkab Nganjuk menyelenggarakan **Ritual Mandi Sedudo**; arca pusaka dimandikan dan warga ramai-ramai mandi di air terjun ini agar mendapat berkah keselamatan dan awet muda. Menjelang Ramadan, warga Nganjuk juga menggelar **Tradisi Tutup Punden**: mereka bersih-bersih situs punden leluhur dan berdoa bersama meminta berkah menyambut bulan suci. Beragam upacara ini mencerminkan kearifan lokal lereng Wilis yang mengikat masyarakat melalui pelestarian nilai-nilai warisan leluhur.


## Pengaruh Sosial dan Ekonomi


Gunung Wilis memengaruhi kehidupan ekonomi dan sosial di sekitarnya. Pemerintah Provinsi Jawa Timur mendorong kerja sama antarkabupaten (Tulungagung, Trenggalek, Ponorogo, Nganjuk, Kediri, Madiun) untuk mengelola potensi wisata dan pertanian di wilayah pegunungan ini. Diharapkan pengelolaan terpadu dapat menaikkan kesejahteraan warga lereng Wilis dan mengurangi ketimpangan antardaerah. Wisata alam (air terjun Sedudo, Telaga Ngebel, trekking puluhan puncak Wilis) menjadi sumber pendapatan baru. Wilis bahkan dijuluki “Gunung Air” karena berpuluh air terjun yang menarik pendaki dan wisatawan. Di bidang pertanian, pengembangan peternakan kambing di desa-desa sekitar Wilis (misalnya di Desa Kare, Madiun) menjadi contoh harmonisasi ekonomi-konservasi: warga membiakkan kambing untuk pupuk organik dan pendapatan tanpa merusak hutan. Dengan demikian, Gunung Wilis tidak hanya simbol sejarah dan budaya lokal, tetapi juga tumpuan penghidupan masyarakat setempat melalui pariwisata, pertanian, dan ritual-ritual tradisionalnya.


**Sumber:** Data dan keterangan diperoleh dari berbagai literatur dan laporan berita resmi/akademis Indonesia.

[6/6 01.58] rudysugengp@gmail.com: CNBC Insight

*Travel Ternama Jebak Jemaah Haji RI, Disuruh Kerja Paksa di Perkebunan*


MFakhriansyah, CNBC Indonesia

05 June 2025 12:00


Jakarta, CNBC Indonesia -  Tingginya antusiasme umat Muslim Indonesia pergi haji membuka peluang bisnis bagi agen travel swasta untuk membantu perjalanan ke Tanah Suci. Sayang, peluang ini sering disalahgunakan.


Banyak travel menipu jemaah demi keuntungan semata. Modusnya beragam, dari penelantaran hingga yang paling ekstrem, yakni membawa jemaah untuk mempekerjakan mereka secara paksa.


Kasus ini pernah terjadi ratusan tahun lalu oleh travel Al-Segaf yang mengarahkan para jemaah haji untuk kerja paksa di perkebunan. 



Pekerja Paksa

Pada akhir abad ke-19, seorang warga Arab bernama Sayid Muhammad bin Ahmad al-Segaf mendirikan perusahaan travel haji bernama Firma Al-Segaf. Kantornya berpusat di Singapura.


Travel ini berkembang cepat dan menjadi pilihan utama jemaah haji dari Hindia Belanda (sekarang Indonesia) dan Singapura ke Makkah. Nama Al-Segaf memang sudah dikenal luas di kawasan Malaya sebagai pengusaha besar.


Selain travel, dia juga memiliki perkebunan karet di Pulau Cocob, Johor. Gabungan bisnis haji dan perkebunan menjadikannya salah satu orang terkaya di Semenanjung Melayu.


Namun, seiring waktu, bisnis karet mengalami tekanan. Upah buruh melonjak, sehingga perusahaan kesulitan membayar pekerja. Agar kebun tidak terbengkalai, Al-Segaf butuh tenaga kerja murah.


Di sinilah niat buruk muncul ketika melihat peluang dari kesulitan yang dialami para jemaah haji asal Indonesia. 


Sejarawan Henry Chambert-Loir dalam Naik Haji di Masa Silam (2013) menyebut, para jemaah haji Indonesia sering terlantar di Makkah karena kehabisan ongkos perjalanan pulang ke Tanah Air. Ini terjadi karena mereka memaksakan berhaji, tanpa persiapan finansial matang. 


Melihat situasi tersebut, Al-Segaf memanfaatkan celah. Dia menawarkan bantuan berupa pinjaman uang kepada para jemaah agar bisa kembali ke Tanah Air. Namun, ada syaratnya, yakni mengganti nominal uang pinjaman hingga lunas dengan bekerja di perkebunan karet miliknya di Johor. 


Para jemaah yang tergiur jelas menerima tawaran daripada harus terlantar di negara orang. Mereka pun setuju. Berdasarkan "Surat dari Konsul Belanda di Jedah ke Konsul Belanda di Singapura" (27 Juni 1896) diketahui, rata-rata setiap jemaah mendapat pinjaman sekitar US$50 dengan skema cicilan selama 80 kali pembayaran.


Namun, semua itu hanyalah taktik licik Al-Segaf. Sesampainya di perkebunan karet, para jemaah dipaksa bekerja dalam waktu lama dengan upah rendah. Kebutuhan hidup tinggi ditambah kewajiban melunasi cicilan membuat mereka terpaksa mengajukan pinjaman lagi demi bertahan hidup.


Secara matematis, skema ini hampir mustahil dilunasi. Akhirnya, mereka terperangkap dalam lingkaran hutang yang membelenggu. Pada titik inilah mereka terjerat kerja paksa. 


Pemerintah Turun Tangan

Selama berada di Pulau Cocob, para jemaah asal Indonesia hidup dalam kesengsaraan. Mereka terjebak dalam jeratan hutang, kerja paksa dan tanpa kebebasan. Situasi ini berlangsung bertahun-tahun. Jumlah korban pun terus bertambah.


Kondisi memprihatinkan ini akhirnya menarik perhatian pemerintah kolonial. Melalui Konsulat Belanda di Jeddah, kabar tentang nasib para jemaah sampai ke pemerintah Hindia Belanda di Batavia (kini Jakarta). Lalu diteruskan ke pemerintah Belanda di Den Haag. Terakhir sampai ke pemerintah Inggris sebagai penguasa Singapura. 


Masalah ini pun menjadi perhatian serius ketiga pihak, terutama Menteri Luar Negeri Belanda. Dalam arsip "Surat Menteri Luar Negeri Belanda untuk Konsul Belanda di Singapura" tertanggal 10 April 1895, disebutkan kalau sang menteri menaruh fokus besar di kasus ini. 


"Perhatian khusus tertuju pada laporan penjualan para jemaah haji sebagai budak pekerja paksa oleh firma lokal di Singapura terhadap para jemaah asal Hindia Belanda yang tidak mampu membayar ongkos pulang. [...] Saya meminta Yang Mulia melakukan penyelidikan serius." ungkapnya.


Pada saat bersamaan, sebagai respons, Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengambil sejumlah langkah untuk menekan agen travel tersebut. Gubernur Jenderal memang tak bisa membebaskan para jemaah dari jeratan utang dan hanya bisa melakukan langkah agar Firma Al-Segaf berhenti beroperasi.


Dia mengusulkan agar semua kapal jemaah haji tidak singgah di Singapura. Lalu mendorong pemerintah Inggris di sana untuk memberlakukan aturan ketat terhadap operasional Firma Al-Segaf.


Singkat cerita, setelah melalui serangkaian lobi dan kerja sama antar pemerintah, praktik licik Al-Segaf dapat berhenti. Para jemaah haji asal Indonesia pun perlahan berhasil dipulangkan ke Tanah Air. Sayid Muhammad bin Ahmad al-Segaf kemudian tak lagi jadi pengusaha travel. 


(mfa/mfa)

[7/6 13.50] rudysugengp@gmail.com: 7 Raja-Raja Jawa Terkejam Sepanjang Sejarah


1. Kertajaya – Raja Kediri yang Mengaku Sebagai Dewa


Kertajaya alias Dandang Gendis, dikenal sebagai raja terakhir Kerajaan Kediri. Ia mengaku dirinya sebagai Dewa bukan lagi sebagai wakil dewa, tapi Dewa itu sendiri, dan memaksa kaum brahmana untuk menyembahnya. Penolakan para brahmana membuat mereka berpihak pada Ken Arok. Akhirnya, pada 1222, Ken Arok mengalahkan Kertajaya di Pertempuran Ganter dan mengakhiri Kerjaan Kediri dan memulai era Kerajaan Singhasari. Kekalahan ini dianggap sebagai akibat dari kesombongan dan kezaliman Kertajaya.


2. Ken Arok – Pendiri Singhasari yang Licik


Ken Arok, tokoh utama dalam kitab Pararaton, naik ke tampuk kekuasaan lewat serangkaian tipu daya dan pembunuhan. Ia membunuh Tunggul Ametung dan merebut istrinya, Ken Dedes, demi mendirikan Singhasari. Ia juga membvnvh Kebo Hijo untuk menghapus jejak kejahatannya. 


Kekuasaan Ken Arok diwarnai dengan dendam turun-temurun, hingga akhirnya ia sendiri dibvnvh oleh Anusapati, putra Ken Dedes dari Tunggul Ametung. Pertikaian keluarga ini menciptakan siklus balas dendam berlanjut: Anusapati dibvnvh Tohjaya (putra Ken Arok), Tohjaya kemudian dibvnvh oleh Ranggawuni (putra Anusapati), hingga akhirnya keturunan mereka saling membvnvh.


3. Kertanegara – Raja Terakhir Singhasari yang Ekspansif


Kertanegara adalah raja terakhir Kerajaan Singhasari yang dikenal ambisius, ekspansioner, dan otoriter. Ia bercita-cita menyatukan Nusantara serta menggabungkan ajaran Hindu-Buddha dengan budaya Jawa melalui aliran Tantrayana. Namun, kebijakan religiusnya menimbulkan konflik dengan kaum Brahmana, bahkan berujung pada pemaksaan keyakinan.


Dalam pemerintahannya, Kertanegara bersikap keras dan tak segan menindak lawan politik dengan kekuatan militer. Ia memecat patih senior Mpu Raganata karena menolak Ekspedisi Pamalayu, serta memutasi Arya Wiraraja dan Mpu Wirakreti, yang menimbulkan ketidakpuasan dan memicu pemberontakan Kalana Bhayangkara.


Ia juga terkenal karena berani mempermalukan utusan Kubilai Khan dengan memotong telinganya, yang kemudian menjadi pemicu invasi Mongol ke Jawa pada 1293. Namun, sebelum invasi itu terjadi, Kertanegara tewas dalam Pemberontakan Jayakatwang dari Kediri. Kematian Kertanegara menandai runtuhnya Kerajaan Singhasari.


4. Jayanegara – Raja Majapahit yang Paranoid


Jayanegara adalah putra dari Raden Wijaya, pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Majapahit. Ia naik takhta sebagai raja kedua Majapahit, mewarisi darah bangsawan Jawa dari sang ayah dan darah Melayu dari ibunya, Dara Petak atau Indreswari, seorang putri dari Kerajaan Dharmasraya.


Jayanegara dikenal sebagai raja Majapahit yang lemah dan kejam, Pararaton bahkan menyebutnya dengan nama ejekan Kalagemet, yang berarti “lemah” atau “jahat.” Julukan ini bukan tanpa alasan, sebab kepemimpinannya ditandai oleh sifat paranoid, kejam, dan otoriter. Ia tak segan menyingkirkan siapa pun yang dianggap mengancam kekuasaannya, termasuk para tokoh yang dulu setia mendampingi ayahnya.


Sifat paranoid dan otoriternya memicu serangkaian pemberontakan besar, termasuk oleh Ranggalawe (1309), Lembu Sora (1311), Nambi (1316), Ra Semi (1318), dan Ra Kuti (1319). Meski berhasil melewati pemberontakan, Jayanegara hidup dalam ketakutan dan hanya mempercayai orang-orang tertentu, termasuk tabib sekaligus pengawalnya, Ra Tanca. Ironisnya, pada tahun 1328, Jayanegara tewas dibvnvh oleh Ra Tanca yang merupakan orang kepercayaannya sendiri.


5. Panembahan Senopati – Pendiri Mataram yang Ambisius


Senopati dikenal sebagai sosok yang ambisius. Ia berasal dari kalangan rakyat biasa yang bercita-cita menjadi Raja Jawa. 


Kariernya dimulai dari sayembara membvnvh Arya Penangsang, yang membawanya mendapatkan tanah Mataram dari Sultan Adiwijaya. Ia menyingkirkan lawan politiknya, termasuk Ki Ageng Mangir yang dibvnvh lewat tipu daya dengan bantuan putrinya sendiri, Rara Pembayun. Ia juga menaklukkan wilayah demi wilayah dengan kekuatan militer brutal. 


Konsolidasi kekuasaannya menggunakan cara kekerasan ditentang oleh para Adipati di Jawa Timur yang tidak mau tunduk kepada Mataram. Hal ini memaksa Mataram banyak melakukan pertumpahan darah di awal kepemimpinan Senopati. Kekejaman Senopati mencerminkan realitas keras dalam proses terbentuknya Kerajaan Mataram Islam di Jawa.


6. Sultan Agung – Penakluk Jawa yang Kejam


Sultan Agung adalah raja terbesar Mataram yang dikenal ambisius dalam menyatukan Pulau Jawa. Ia melancarkan ekspansi militer ke wilayah-wilayah seperti Surabaya, Madura, Blambangan, Priangan, hingga Batavia, disertai kekerasan dan hukuman mati. Ia menindak tegas para pejabat yang gagal atau membangkang dalam menjalankan tugas, seperti Tumenggung Mandurorejo dan Dipati Ukur. 


Sultan Agung dikenal keras dalam menangani perlawanan internal. Seperti pemberontakan Pati, Madura, dan Priangan ditumpas habis. Para pemberontak dan keluarga mereka sering dihukum mati atau diasingkan.


Selain itu, Sultan Agung mempromosikan Islam dan menempatkan budaya Jawa Mataram sebagai identitas sentral, sehingga beberapa kelompok yang mempertahankan tradisi lokal seperti Blambangan yang masih beragama Hindu dianggap sebagai ancaman dan diperangi.


7. Amangkurat I – Penguasa Mataram Paling Bengis


Dijuluki “Fir’aun dari Tanah Jawa”, Amangkurat I terkenal karena kekejamannya yang ekstrem. Pada 1647, ia memerintahkan mengeksekusi 5.000-6.000 ribu ulama dan kerabatnya demi mengamankan kekuasaannya. Selain itu, ia melarang praktik keagamaan yang dianggap dapat mengganggu kekuasaannya. 


Dalam upaya untuk menghilangkan saingan politiknya, Amangkurat I tak segan membvnvh kerabatnya sendiri, termasuk adik-adiknya, paman, dan mertuanya (Pangeran Pekik dari Surabaya). Ia juga mengeksekusi bangsawan yang dianggap tidak loyal, seperti Tumenggung Wiraguna.


Amangkurat I memiliki hubungan erat dengan VOC, yang memperburuk konflik internal dan memperlemah Mataram. Kekejamannya memicu pemberontakan besar, seperti Pemberontakan Trunajaya (1674–1680) yang didukung bangsawan Jawa Timur dan Makassar. Amangkurat I akhirnya kabur dari istananya dan menuju ke Batavia untuk meminta bantuan VOC. Namun, ia meninggal dalam pelariannya ketika di Banyumas dan dimakamkan di Tegal (1677).

#fyp #foto

#monetisasi

[7/6 13.53] rudysugengp@gmail.com: Sejarah

Selasa, 3 Juni 2025 03:05 WIB

*Sejarah Kabupaten Surabaya Sebelum Menjadi Kabupaten Gresik*


Penulis : Terbitan Jatim

 Editor : Adie


SEJARAH, Terbitan.com – Pada tahun 1974, Kabupaten Surabaya secara resmi berganti nama menjadi Kabupaten Gresik berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1974. Perubahan nama ini menandai sebuah babak baru dalam sejarah Kabupaten Gresik.


Perubahan nama ini bukanlah tanpa alasan. Pada tahun 1965, lima kecamatan di Kabupaten Surabaya dimasukkan ke dalam wilayah Kota Madya Surabaya, sehingga menimbulkan kepincangan dalam struktur pemerintahan. Ibu kota kabupaten yang berada di Gresik semakin menjauh dari wilayah yang diperintah.


Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah melakukan beberapa upaya, termasuk pembangunan sarana dan prasarana di Gresik. Setelah proses yang panjang, Gresik resmi menjadi kabupaten mandiri dengan nama Kabupaten Gresik.


Perubahan nama kabupaten dari Surabaya menjadi Gresik disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk perbedaan nama kabupaten dengan ibu kotanya yang dirasa kurang tepat dan serasi secara psikologi. Selain itu, penambahan lima kecamatan ke dalam wilayah Kota Surabaya semakin menjauhkan pusat pemerintahan Kabupaten Surabaya dengan wilayah yang diperintah.


Perubahan nama kabupaten tersebut memberikan pengaruh besar terhadap Kota Gresik. Pembangunan sarana dan prasarana di Kabupaten Gresik semakin digalakkan, dan sektor industri semakin berkembang dengan banyaknya pabrik yang dibangun.


Kabupaten Gresik memiliki luas sekitar 1.194 km² dan mencakup Pulau Bawean yang terletak 150 km di lepas Laut Jawa. Pada tahun 2020, penduduk kabupaten Gresik berjumlah 1.311.215 jiwa dengan kepadatan 1.098 jiwa/km².


Gresik dikenal sebagai daerah industri utama di Jawa Timur, dengan beberapa industri besar seperti Semen Gresik, Petrokimia Gresik, dan Nippon Paint. Sektor perikanan juga signifikan, dan terdapat sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap berkapasitas 2.200 MW.


Gresik memiliki beberapa universitas ternama, seperti Universitas Kiai Abdullah Faqih, Universitas Qomaruddin, dan Universitas Internasional Semen. Pendidikan di Kabupaten Gresik terus berkembang untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.


Kabupaten Gresik terkenal sebagai Kota Walisongo dan Kota Santri, karena memiliki peran penting dalam penyebaran agama Islam di Jawa Timur. Sejarah dan budaya ini menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas Kabupaten Gresik.


Perubahan nama Kabupaten Surabaya menjadi Kabupaten Gresik merupakan peristiwa penting dalam sejarah Kabupaten Gresik. Perubahan nama tersebut berdampak pada perkembangan kota dan pertumbuhan ekonomi, serta meningkatkan kesadaran akan pentingnya melestarikan sejarah dan budaya lokal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Peralatan Medang

 *Pralaya Medang, Serangan yang Meruntuhkan Kerajaan Mataram Kuno* Kompas.com, 10 Agustus 2021, 08:00 Widya Lestari Ningsih, Nibras Nada Nai...