VI. A
ALAT-ALAT UNTUK PENGETAHUAN PRASASTI.
Ahli sejarah tidak dapat membaca isi prasasti pada tempat-tempat dimana prasasti didirikan pada permulaannya. Kalau begitu perlu, ia senantiasa harus berkeliling tanah tempat pelajarannya. Selain itu di Indonesia hanya ada bagian kecil saja dari prasasti-prasasti yang masih terdapat di tempat dikeluarkannya. Sebagian besar dibawa orang ke segala penjuru angin, dan disimpan dalam museum-museum London, Leiden, Berlin dan Kopenhagen. Untuk mempelajari isi prasasti, perlulah alat untuk menyampaikan isi tadi kepada ahli sejarah.
Disamping prasasti yang masih berada di tempat dimana didirikan (umpamanya kalau dipahat dalam batu karang besar), yang ditunjukkan dengan istilah "in loco" atau "in situ" (pada tempat asalnya), juga didapat beberapa bentuk yang memberitahukan isi prasasti itu pada beberapa tingkatan :
1). "Rubbing" atau Abklatsch: teraan sebesar tulisan asli.
2). foto, dia-gambar, microfilm.
3). facsimile: turunan yang sama dengan yang asli.
4), transkripsi: turunan dengan huruf latin.
5), terjemahan beserta penafsiran.
Prasasti banyak dikumpulkan dalam ruangan tertentu, yang disebut aerarium, ialah nama untuk tempat Senaat Rumawi menyimpan "tituli" atau prasasti Romawi. Aerarium biasanya terdapat dalam museum-museum: Museum Jakarta, Trowulan (Modjokerto) dan Kirtya Liefrinck van der Tuuk (Bali) memuat banyak prasasti Indonesia,
Di sana prasasti diberi tanda dan nomor sendiri, apalagi huruf:
D untuk prasasti batu,
E untuk prasasti perunggu,
Turunan prasasti-prasasti layak dikumpulkan dalam sebuah "corpus" (=badan), Corpus itu ialah sebuah buku yang memuat transkripsi-transkripsi prasasti semua, diurut-urutkan menurut waktu, diberi nomor pendaftaran, disusul oleh penerbitan dan tafsir-tafsir, Dengan begitu terdapatlah "corpus inscriptionum platinum", corpus inskripsi Latin-Junani, Hibrani dan se terusnja. Sebagai umpama Corpus incriptionum latinarum, digubah sejak 1863, sekarang sudah memuat 40 jilid, dengan daftar 200.000 inskripsi, dan masih dilanjutkan dengan Ephemeris Epigraphical (Madjalah Epigrafi). Corpus inskripsi India itu juga sudah diterbitkan dengan rapi.
Penyelidikan praçasti, meskipun penting bagi penulisan sejarah nasional sekarang agak macet. Dalam Konferensi Ikatan Sarjana Sastra Indonesia (Nop.1959) Drs. Buchori mengatakan : "Penulisan sejarah kuno Indonesia dapat ditinjau kembali berdasarkan praçasti yang sedang dipelajari; karena itu penerbitan praçasti yang belum lengkap perlu dipercepat, dan diperbesar pula kegiatan mempelajarinya supaya kita mempunyai satu sejarah yang lengkap dan berdasarkan kenyataan.
Berdasarkan penyelidikan praçasti dapatlah diketahui watak-watak Indonesia purbakala. Sekarang karena kurang lengkapnya praçasti itu, maka berbagai jumlah majalah tafsiran yang diberikan orang.... tafsiran yang merugikan dan menghina bangsa Indonesia".
Untuk Indonesia hingga sekarang belum terdapat corpus lengkap. Penerbitan corpus dimulai tahun 1940 oleh Purbatjaraka, Stutterheim dan de Casparis, tapi hanja satu jilid diterbitkan. Sejak 1950 Jawatan Purbakala Indonesia menerbitkan Prasasti Indonesia I, prasasti zaman Çailen- dra, 6 buah banyaknya, dengan tafsir; karangan Prof. Dr. J.G. de Casparis (1950),
Tidak ada komentar:
Posting Komentar