Kamis, 13 Februari 2025

Klasifikasi Prasasti Berdasarkan Aksara

*Klasifikasi Prasasti Berdasarkan Aksara*

Setelah mengamati prasasti dari segi bahan, pengamatan fisik selanjutnya adalah melalui aksara yang dituliskan pada bahan-bahan tersebut diatas. Menggolongkan prasasti berdasarkan huruf/aksara memang perlu pengetahuan khusus yaitu Paleografi, ilmu tentang tulisan-tulisan kuno. Berdasarkan sejarah munculnya tulisan di dunia, ternyata tulisan prasasti-prasasti di Indonesia berasal dari India. Sebagaimana telah disinggung terdahulu tulisan-tulisan diatas batu pertama kali ditemukan didaerah Kutai, Kalimantan Timur, ditulis dalam aksara Pallawa yang berasal dari India Selatan. Dari aksara Pallawa kemudian berkembang menjadi aksara-aksara Nusantara yang memiliki ciri khas tersendiri.

1. Aksara Pallawa; 

sebagaimana disebutkan di atas, awal sejarah Indonesia dimulai ketika bukti tulisan tertua ditemukan di Kutai, KalimantanTimur. Ada beberapa prasasti yang dipahat pada tiang batu disebut yupa, sebuah nama yang disebut di dalamnya. Hingga sekarang sudah ada tujuh Yupa ditemukan, semuanya ditulis dalam aksara Pallawa dari abad IV Masehi dan berbahasa Sansekerta. Di pulau Jawa, khususnya Jawa Barat, ada beberapa prasasti beraksara Pallawa ditemukan. Prasasti-prasasti tertua di Jawa ditemukan di wilayah Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta dimana kerajaan Tarumanagara pernah ada. Di wilayah tersebut ditemukan tujuh buah prasasti yang berasal dari kerajaan ini; lima prasasti ditulis dalam aksara Pallawa dan bahasa Sansekerta, dua lagi ditulis dalam "huruf ikal" yang belum dapat dibaca. Semuanya dikeluarkan dalam masa pemerintahan Raja Purnawarman, sekitar awal abad V Masehi.

Di pulau Sumatra, khususnya Sumatra bagian selatan pernah berdiri sebuah kerajaan, Sriwijaya namanya. Prasasti tertua dari kerajaan ini ditemukan di Kedukan Bukit, Palembang, bertanggal 604 Saka (684 Masehi). Semua prasasti dari kerajaan Sriwijaya menggunakan aksara Pallawa abad VII dan bahasa Melayu Kuno bercampur Sansekerta. Kemudian, di bagian pulau Jawa lain, khususnya Jawa Tengah ditemukan prasasti-prasasti beraksara Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno dan Sansekerta. Prasasti-prasasti ini berkaitan dengan awal berdirinya kerajaan Mataram Kuno. Prasasti yang ditemukan di Sojomerto, Pekalongan, ditulis dalam aksara Pallawa dan bahasa Melayu Kuno dari abad VII. Sedangkan prasasti Canggal yang ditemukan di halaman candi Gunung Wukir, Magelang,ditulis dalam aksara Pallawa dan Bahasa Sansekerta, bertanggal 654 Saka (732 Masehj). Sepertinya inilah prasasti beraksara Pallawa yang terakhir ditemukan di Jawa. Prasasti beraksara Pallawa ternyata juga ditemukan di Bima, pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, dipahat pada dinding sebuah gua yang dinamakan Wadu Pa'a (Sri Hardiati 1990:206-213). 

Demikian sekelumit tentang penggunaan aksara Pallawa di indonesia, yang menentukan perkembangan aksara-aksara berikutnya. Perkembangan aksara Pallawa di Indonesia dibagi menjadi dua periode yaitu Pallawa Tua dan Pallawa Muda (Casparis1975).Tipe Pallawa Tua meliputi periode abad IV-VI Masehi, sebagaimana dapat dilihat pada prasasti-prasasti dari Kalimantan Timur dan Jawa Barat. Tanda umum yang dapat dilihat adalah "kepala kotak" diatas aksara. Sedangkan tipe Pallawa Muda meliputi periode abad VII-VIII, sebagaimana dapat dilihat pada prasasti-prasasti dari Kalimantan Barat, Sumatra Selatan, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Barat. Tanda umum yang terlihat adalah sejenis"kepala paku" diatas aksara.

2. Aksara Jawa Kuno;

Terciptanya aksara Jawa Kuna tidak langsung muncul begitu saja menggantikan aksara Pallawa. Ada rentang waktu 18 tahun antara penggunaan aksara Pallawa terakhir (tahun 732 Masehi) dan aksara Jawa Kuna awal (tahun 750 Masehi). Aksara peralihan yang dimaksud terdapat pada prasasti-prasasti emas yang berisi ajaran Buddha, pratityasamutpada.  Prasasti emas ini tanpa pertanggalan (angka tahun), tetapi dari pandangan paleografis aksara itu dapat dianggap sebagai tahap transisi antara aksara Pallawa dan Jawa Kuna. Bentuk-bentuk aksara kuno sering muncul berdampingan dengan bentuk-bentuk aksara yang relatif moderen  (Casparis 1956:47-167). 

Temuan prasasti-prasasti Jawa Kuna sangat melimpah di Indonesia; di Museum Nasional saja tersimpan lebih dari 300 prasasti batu dan logam, baik teks panjang maupun pendek, dan ditulis tidak hanya bahasa Jawa Kuna saja. Prasasti beraksara Jawa Kuna tertua, yaitu prasasti Hampran (Plumpungan) dekat Salatiga, berangka tahun 672 Saka (750  Masehi), sedangkan yang termuda adalah prasasti Condrageni dari Ponorogo, berangka tahun 1472 Saka (1550 Masehi). Selama 800 tahun dapat ditelusuri perkembangan yang signifikan mengenai aksara Jawa Kuna dari abad ke abad. Kalau dilanjutkan ke periode-periode berikut ketika aksara-aksara Jawa Pertengahan dan Jawa Baru muncul, itu akan menjadi contoh yang bagus untuk telaah paleografi Indonesia. Casparis (1975) membagi perkembangan aksara Jawa Kuna atau Kawi menjadi tiga periode, yaitu Kawi Tua, Kawi Muda, dan juga aksara­ aksara lokal Jawa dari periode Majapahit. Aksara Kawi Tua mempunyai ciri­ ciri utama; bentuk membulat dan miring/condong ke kanan, sebagaimana dapat dilihat pada prasasti-prasasti pertengahan abad VIII hingga kuartal pertama abad X Masehi. Sebagian besar prasasti yang ditulis dalam tipe tersebut berasal dari daerah-daerah Jawa Tengah. Sedangkan aksara Kawi Muda mempunyai ciri-ciri utama; bentuk persegi dan tegak, sebagaimana terlihat pada prasasti-prasasti dari kuartal kedua abad X hingga akhir abad XV Masehi. Kebanyakan prasasti yang ditulis dalam tipe seperti itu berasal dari daerah-daerah Jawa Timur dan Jawa Barat, dengan catatan sejak pemerintahan Raja Airlangga (1019 Masehi) dan periode-periode berikutnya tulisan yang demikian menjadi lebih stylish dan dekoratif (Damais1995:10). Lebih jauh, dalam periode Majapahit (abad XV) muncul beberapa varian dari aksara Kawi dengan ciri lokal, contohnya "tipe Sukuh". Kebanyakan prasasti dengan tulisan seperti itu ditemukan di candi Sukuh, lereng gunung Lawu, sebelah timur Solo, Jawa Tengah. Tulisan dengan "tipe Sukuh" diukir membentuk relief, lebih miring/kursif, dan hampir sulit dibaca.

Pada akhir abad X Masehi di Jawa, muncul tulisan yang dipahat dalam bentuk persegi dan tebal, sering disebut dengan tulisan "Kadiri Kuadrat" karena banyak prasasti dengan tulisan seperti itu ditemukan di Kediri, Jawa Timur. Istilah ini sebenarnya kurang tepat karena tulisan yang sama juga ditemukan di Jawa Barat,Jawa Tengah, dan Bali. Tulisan Kuadrat (persegi) yang memberi kesan seperti kaligrafi Jawa Kuna dibuat dengan cara memahat tulisan ke dalam, outline (garis-garis aksara), atau membuang bagian luar dari tulisan/aksara seperti relief. Cara yang disebut terakhir ini lebih sulit dan dikerjakan dengan lebih hati-hati karena harus memangkas bagian luar tulisan, contohnya seperti tulisan tipe Sukuh. Karena begitu rumitnya tulisan kuadrat hanya diterapkan dalam prasasti-prasasti pendek seperti kronogram (candra sangkala), angka tahun, atau nama orang.    

Jika dilanjutkan ke periode-periode berikutnya mulai dari abad XVII dan seterusnya, ditemukan beberapa prasasti batu dan tembaga (lajim disebut piyagem) yang ditulis dalam aksara Jawa Pertengahan, yaitu transisi dari JawaKuno/Kawi menuju aksara Jawa Baru. Prasasti-prasasti masa Mataram Islam umumnya berisi tentang penganugrahan kenaikan pangkat atau hak­ hak istimewa kepada pejabat-pejabat yang berjasa kepada kerajaan, atau penanda pendirian resmi sebuah bangunan (keraton, masjid, dan lain-lain), serta batas-batas kota. 

Ada perbedaan dari periode-periode terdahulu bahwa dalam abad XVII pengaruh Islam telah tersebar luas dan kolonialisme Belanda telah mengontrol kerajaan-kerajaan Islam. Oleh karena itu, prasasti-prasasti ditulis dalam dua jenis tulisan dan bahasa jika menyangkut suatu perjanjian. Satu hal yang dapat diperhatikan pada prasasti-prasasti masa itu adalah penggunaan pertanggalan, tidak lagi dalam tarikh Saka melainkan tahun Jawa.


3. Aksara Sunda Kuno; 

Sementara itu di Jawa Barat tempat sebagian besar orang suku Sunda tinggal, beberapa prasasti juga telah ditemukan meskipun tidak sebanyak di daerah-daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selama ini telah ditemukan 25 prasasti yang berasal dari periode-periode kerajaan Sunda dari abad X hingga abad XVI Masehi (pasca Tarumanagara) (Hasan Djafar 1991:1). Selama ini beberapa sarjana berpendapat bahwa di Jawa Barat prasasti-prasasti yang lebih tua menggunakan aksara Jawa Kuna, padahal kalau mengingat  perkembangan secara paralel penggunaan aksara Pallawa di seluruh Indonesia, seperti juga di negara-negara Asia Tenggara, wilayah Jawa Barat juga mungkin sudah mengembangkan aksaranya sendiri, aksara Sunda Kuna, yang banyak hal mirip dengan aksara Jawa Kuno/Kawi. 

Prasasti tertua dari masa kerajaan Sunda adalah prasasti Kebon Kopi II, ditemukan di desa Kebon Kopi, Ciampea, Bogor (kini hilang), dekat dengan prasasti Kebon KopiI dari masa pemerintahan Raja Purnawarman (Taruma­ nagara). Prasasti yang ditulis dalam aksara yang "mirip Jawa Kuna" dan berbahasa Melayu Kuno ini memuat pertanggalan dalam bentuk kronogram "kowihaji poiico posogi" atau tahun Saka 854 (932 Masehi). Isinya tentang pemulihan kekuasaan raja Sunda oleh seseorang yang bernama Rakryan Juru Pangambat (Bosch 1941:49-53). Prasasti-prasasti yang benar-benar ditulis dalam aksara dan bahasa Sunda Kuna ditemukan di Kawali (Holle 1921: 380-401), Kebantenan (Holle 1867: 559-567), dan Batutulis (Raffles 1817; Holle 1882: 483-488). Dua prasasti yang disebut pertama berasal dari sekitar akhir abad XV Masehi, sedangkan prasasti Batutulis memuat angka tahun berupa kronogram "poiico pondowo ngembon bumi", atau tahun 1455 Saka (1533 Masehi).

4. Aksara Sumatra Kuno;                   

Pulau Sumatra yang secara geografis dekat India tidak banyak ditemukan prasasti dari periode klasik jika dibandingkan dengan pulau Jawa, bahkan juga pulau Bali. Sebegitu jauh baru ditemukan 74 prasasti baik bertanggal maupun tidak. Sejak prasasti-prasasti Sriwijaya muncul pada abad VII Masehi, dalam abad-abad berikutnya penemuan prasasti-prasasti sangat jarang, kenyataannya boleh dikatakan tidak ada samasekali. Dalam abad X - XIV Masehi beberapa prasasti mulai ditemukan kembali, contohnya prasasti Hujung Langit yang bertanggal 919 Saka (997 Masehi), ditemukan di Liwah, propinsi Lampung. Prasasti ditulis dalam aksara yang boleh disebut Sumatra Kuno, ciri tulisan yang hanya terdapat di Sumatra. Bahasa yang digunakan adalah Melayu Kuna, meski masih menggunakan unsur-unsur penanggalan yang menunjukkan pengaruh Jawa Kuno.Satu contoh lagi adalah prasasti yang ditulis pada bagian belakang lapik area Lokanatha, ditemukan di Gunung Tua, Padang Lawas, Tapanuli, Sumatra Utara. Prasasti yang bertanggal 961 Saka (1039 Masehi) ditulis dalam aksara Sumatra Kuna dan bahasa Melayu Kuna dialek Batak; kata barbwat dalam prasasti itu nampaknya sebuah istilah dalam Melayu-Batak (Satyawati Suleiman 1981:10). 

Prasasti-prasasti Sumatra jarang menyebut nama raja yang mengeluarkan prasasti. Namun di daerah-daerah Sumatra Barat, Jambi, dan Jawa Timur ditemukan prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh seorang raja Melayu yang berkerabat dekat dengan penguasa-penguasa Majapahit, yaitu Adityawarman (1343-1375). Ia mengeluarkan 13 prasasti yang ditulis dalam aksara Sumatra Kuna dan bahasanya kebanyakan bahasa Sansekerta yang bercampur Melayu Kuna (Pitono Hardjowardojo 1966; Machi Suhadi 1990:218-239), kecuali prasasti pada bagian sandaran area Manjusri dari candi Jago yang ditulis dalam aksara Jawa Kuna. Aksara Sumatra Kuna dan aksara Jawa Kuna yang digunakan pada prasasti-prasasti Adityawarman sudah kelihatan perbedaannya. 

Aksara Sumatra Kuna yang diturunkan langsung dari aksara Pallawa yang berkembang dalam masa kerajaan Sriwijaya (abad VII) juga menurunkan aksara-aksara lokal yang khas. Contohnya aksara Lampung (kaganga), aksara Rejang (Bengkulu), dan aksara Batak. Khusus aksara Batak kini berkembang menjadi lima subtipe aksara yang digunakan di daerah­ daerah Angkola-Mandailing (21 aksara utama), Batak Toba (21 aksara), Batak Simalungun(20 aksara), Batak Karo (21 aksara), dan Pakpak-Dairi (22  aksara). Penggunaan aksara-aksara utama di tiap daerah disesuaikan dengan kebutuhan simbol bunyi dalam bahasa Batak yang bersangkutan.

5. Aksara Bali Kuno; 

Pulau Bali telah terjadi kontak dengan pengaruh India sejak abad VIII Masehi berdasarkan temuan prasasti-prasasti tanah liat (tablet) dalam stupika yang berisi mantra Budha "ye dharmma"dalam bahasa Sansekerta.Tablet-tabletyang demikian juga ditemukan di sekitar jalan masuk ke candi Kalasan, Jawa Tengah, yang berasal dari abad VIII Masehi. Dengan demikian,tablet-tablet tanah liat dari Pejeng, Bali, berasal dari periode yang sama. Dalam jumlah prasasti, Bali berada diurutan ke dua setelah Jawa. Sebagian besar prasasti yang ada di Bali masih terpelihara dengan aman di berbagai pura, dan hanya pada hari-hari tertentu menurut kalender Bali dibolehkan untuk dibaca. Prasasti bertanggal tertua adalah prasasti Sukawana tahun 804 Saka (882 Masehi), ditulis dalam aksara dan  bahasa Bali Kuna (Goris 1954). Sesungguhnya tulisan Bali Kuna hampir sama dengan tulisan Jawa Kuna, sehingga para sarjana cenderung mengatakan ada dua tipe tulisan Kawi. Mengingat bahwa tulisan Jawa Kuna muncul lebih awal (abad VIII), mungkin tulisan tersebut telah digunakan di Bali dan berkembang dengan sedikit perubahan. Hal yang aneh adalah di Bali sampai sekarang belum pernah ditemukan prasasti beraksara Pallawa, seperti di pulau-pulau lain, yang mungkin dapat dikaitkan dengan asal mula aksara Bali Kuno. Dewasa ini aksara Bali telah menunjukkan bentuk yang spesifik, berbeda dari aksara sebelumnya dan aksara Jawa.

6. Aksara Nagari; 

Aksara ini adalah salah satu dari beberapa aksara India Utara yang muncul sekitar abad VIII Masehi. Aksara/tulisan Nagari kemudian menyebar ke negara-negara Asia, termasuk Indonesia, sebagai tulisan siddhamatrko, disingkat menjadi siddham. Akan tetapi oleh sarjana­ sarjana Belanda yang menelaah epigrafi Indonesia sering disebut "pra­ Nagari" (Damais 1995:6). Kata siddham berasal bahasa Sansekerta yang berarti 'sempurna'. Tulisan Siddham terutama digunakan oleh pemeluk Buddha Shingon di Jepang untuk menulis mantra dan sutra dalam bahasa Sansekerta. Tulisan itu diperkenalkan ke Jepang oleh Kukai dalam tahun 806M setelah ia mempelajari bahasa Sansekerta dan aliran Buddha Mantrayana di China. Di Jepang tulisan Siddham dikenal sebagai tulisan bonji. 

Tulisan Siddham sesungguhnya dikenal lebih awal di Indonesia daripada di Jepang. Di indonesia, tulisan Siddham muncul di Jawa, Bali dan Sumatra. Prasasti-prasasti tertua beraksara Siddham ditemukan di Jawa, semuanya menggunakan bahasa Sansekerta, yaitu prasasti Kalasan bertanggal 700 Saka atau 778 Masehi (Brandes 1886: 240-260), prasasti Kelurak bertanggal 704 Saka atau 782 Masehi (Bosch 1928: 27-62; Damais 1955:205), dan prasasti Abhayagirivihara tahun 714 Saka atau 792 Masehi (Casparis 1950: 21-22). Satu lagi prasasti beraksara Siddham yang berasal dari abad IX, yaitu prasasti batu yang ditemukan diantara reruntuhan candi Plaosan, sebuah kompleks candi yang terdiri dari dua bangunan utama, Plaosan Lor dan Plaosan Kidul. Sayangnya,prasasti ini hanya ditemukan fragmen bagian bawah saja dan sudah aus tulisannya. 

Selain berupa teks panjang pada batu, tulisan Siddham juga tertulis pada tablet-tablet tanah liat, area-area perunggu, dan lain-lain. Inskripsi-inskripsi pendek dengan bahasa Sansekerta ini biasanya berisi mantra buddha"yedharmma", ldan jika terdapat pada area-area perunggu terukir pada bagian lapik area. 

Di Bali, kebanyakan prasasti beraksara Siddham tampak pada tablet-tablet tanah liat yang tersimpan di dalam stopika. Tablet-tablet itu ditemukan di Pejeng, Gianyar, Bali, dan berdasarkan kesamaan bentuk dan teks tablet­ tablet tanah liat dari Jawa dapat diketahui bahwa tablet-tablet dari Bali juga berasal dari abad VIII Masehi. Disamping pada tablet-tablet tanah liat, tulisan Siddham juga terdapat pada prasasti batu yang ditemukan di Belanjong, pantai Sanur, Bali. Prasasti tugu Belanjong ini adalah dwi aksara dan dwi bahasa; uniknya, bagian yang bertulisan Siddham dalam bahasa Bali Kuno, dalam bahasa Sansekerta, Prasasti tugu Belanjong yang bertanggal dalam kronogram sara-wahni­ murti atau 835 Saka (914 Masehi) dikeluarkan oleh Raja Kesariwarmmadew untuk memperingati kemenangan atas musuhnya di Gurun dan Suwal (Stutterheim 1934: 126-132; Karto Atmodjo1992:150-156). 

Di Palembang, Sumatra  Selatan,penduduk setempat menemukan sebuah area Awalokiteswara perunggu secara kebetulan ketika ia sedang menggali tanah untuk pondasi bangunan dibelakang rumahnya. Namun sungguh mengejutkan ketika dilakukan penggalian-percobaan dekat penemuan area perunggu juga menemukan lebih dari 400 stupika tanah liat, hampir dalam kondisi tidak lengkap, dan sekitar 200 tablet tanah liat. Mengenai tablet-tablet tersebut tampak mantra Buddha ye dharma diterakan dalam aksara Siddham dan bahasa Sansekerta. Inskripsi ini juga terdapat pada tablet-tablet tanah liat dari Jawa Tengah (Kalasan dan Borobudur) dan Bali. Pertanggal benda-benda tersebut dari sudut pandang paleografi berasal dari sekitar tahun 1000 Masehi (Machi Suhadi 1976:49-61), mengingat bahwa kerajaan Sriwijaya masih ada pada waktu itu, bahkan nampaknya menjadi pusat pengajaran agama Buddha internasional. Itulah alasan mengapa se-orang biksu bernama Atisa dari Tibet tiba dan menetap di Suwarnadwipa selama 12 tahun (1011-1023) untuk belajar agama Buddha kepada Dharmakirti, rahib agung di Suwarnadwipa.

Dari penggunaan tulisan Siddham beralih ke tulisan Dewanagari yang di India muncul sekitar tahun 1200 Masehi. Tulisan ini pada mulanya dikembangkan untuk menulis dalam bahasa Sansekerta namun kemudian diadaptasi untuk menuIis banyak bahasa lain. Istilah 'Dewanagari' terdiri dari dua kata bahasa Sansekerta, deva dan nagari (kota). Istilah tersebut dapat diterjemahkan sebagai "(tulisan dari) kota para dewa". 

Di Indonesia, Prasasti beraksara dewangga sementara ini ditemukan di Jawa dari abad XVIII hingga abad XIV Masehi. Di Malang, Jawa Timur, ada dua candi yang dibangun dalam periode kerajaan Singhasari (1222-1292). Yang pertama, candi Jago atau jajaghu, adalah tempat Raja Wisnuwardhana dipuja sebagai Patung Buddha Amoghapasa setelah ia meninggal tahun 1268. Candi ini tampaknya telah mengalami pemugaran dan perluasan dalam periode kerajaan Majapahit (1292-1500). Diantara tinggalan­ tinggalan ini telah ditemukan area-area bergaya Singhasari yang indah; beberapa diantaranya memuat inskripsi-inskripsi singkat dalam tulisan Dewanagari pada bagian kiri dan kanan atas sandaran area, antara lain Bharala Sudhanakumara, Bharala Hayagriwa, Bhara Bhrkuti, dan lain-lain. Kemudian ada beberapa area Amoghapasa perunggu yang kini berada di beberapa museum, salah satunya Rijk museum voor Volkenkunde, Leiden. Arca perunggu ini mirip dengan area Amoghapasa batu yang dikirim Raja Kertanagara kepada Raja Mauliwarmadewa dari Malayu. Arca perunggu tersebut ditemukan di Tumpang, Malang, Jawa Timur. Pada bagian belakang sandaran (stela) tertera 11-12 baris tulisan dalam aksara Dewanagari dan bahasa Sansekerta. Prasasti diawali dengan mantra Budha "ye dharmma", kemudian disebutkan juga nama penderma, Kertanagara, dengan segala harapan dan keinginannya (Reichle 2007:117-120). 

Kedua, sebuah kompleks percandian Hindu dan Buddha yang sekarang menyisakan bangunan utama, yaitu candi Singosari. Candi Hindu ini memiliki beberapa relung di mana arca-araca ditempatkan, antara lain Nandiswara dan Mahakala (relung-relung kiri dan kanan pintu masuk), Durga (relung utara), Ganesa (relung timur), dan Siwa Mahaguru (relung selatan). Candi hanya menyisakan area Siwa Mahaguru dan masih in situ, sedangkan empat yang lain telah dibawa oleh Engelhard, Gubernur Pantai timur laut Jawa, ke Semarang kemudian ke Belanda, antara tahun 1819 - 1827. Dari temuan area dan prasasti tampak bahwa kompleks percandian itu telah menjadi tempat ritual hingga periode Majapahit. Di antara temuan­ temuan itu adalah area Prajnyaparamita, prasasti Gajah Mada tahun 1273 Saka (1351 Masehi), dan area-area dengan inskripsi beraksara Dewanagari pada sandarannya, yaitu cakra cakra (area Bhairawa), bhagavan marici maharsih (area Resi pertama), bhagavan triwindu maharsih (area Resi kedua), dan [nama]scamundyai (area Camundi). Arca yang disebut terakhir ini ditemukan dalam keadaan pecah berkeping-keping tetapi berhasil dibina ulang kembali. Sebagai akibatnya prasasti yang terdapat pada bagian belakang area tidak dapat dibaca dengan lengkap. Prasasti dwiaksara ini ditulis dalam aksara Dewanagari dan Jawa Kuna, yang menyebutkan bahwa dalam tahun Saka1214 (1292 Masehi) area Bhatari Camundi telah ditahbiskan pada waktu Sri Maharaja Kertanagara berhasil menaklukkan seluruh pulau (Brandes 1909; Damais1995:67-75).

7. Aksara Tamil; 

Aksara ini seperti juga aksara Pallawa berasal dari India Selatan. Beberapa sarjana berpendapat bahwa aksara Tamil bersama aksara Pallawa diturunkan dari aksara Brahmi, melalui aksara Grantha. Grantha, dalam bahasa Sansekerta berarti"puisi"atau"sajak",sebenarnya adalah Tulisan yang digunakan oleh orang tamil untuk menulis dalam bahasa Sansekerta. Bahasa Sansekerta secara alpabetis memang berbeda dari bahasa-bahasa lain di India Selatan. Dikarenakan abjad Sansekerta kurang memadai dalam bahasa-bahasa Dravida (India Selatan), khususnya Tamil, maka tulisan Grantha diciptakan untuk mengatasi masalah itu.Tulisan ini muncul dalam abad V Masehi, dan terakhir digunakan hingga abad XIX. Dalam abad XX, tulisan Grantha digantikan oleh tulisan Dewanagari untuk menulis teks-teks religius dan ilmiah, serta menggunakan tulisan Tamil untuk menulis teks-teks populer. 

Prasasti-prasasti beraksara Tamil dan Grantha sampai sekarang hanya ditemukan di pulau Sumatra, yaitu di daerah-daerah Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Aceh. Di Jawa, ada juga sebuah prasasti beraksara dan berbahasa Tamil pada lempengan perak dari abad XVII, berisi tentang perjanjian perdagangan antara Kompeni Belanda (VOC) dan pangeran dari Bijapur, India. Ada sebuah prasasti batu yang ditemukan di Lobu Tua, Barus, Sumatra Utara, sekarang disimpan di Museum Nasional Indonesia. Ketika ditemukan prasasti itu sudah pecah menjadi beberapa bagian besar dan kecil. Walau masih bisa disatukan tetapi banyak juga aksara yang hilang. Prasasti ditulis dalam aksara dan bahasa Tamil, ada juga sedikit penggunaan aksara Grantha dalam beberapa kata bahasa Sansekerta. Prasasti dikeluarkan dalam tahun1010 Saka (1088 Masehi) mengenai serikat dagang yang disebut" Lima Ratus dari Seribu Arah" bertemu di Velapuram di Varocu (Barus) untuk memutuskan bahwa ada tiga kategori orang yang harus bayar pajak emas. 

Prasasti yang lain adalah sebuah batu tak beraturan yang ditemukan di Porlak Dolak, Sumatra Utara, sekarang disimpan di Museum Nasional Indonesia. Bagian puncak prasasti diukir area Ganesha skematis (Edi Sedyawati1994:556).Dua macam tulisan dalam aksara Sumatra Kuno dan Tamil dipahat mengelilingi batu itu, demikian juga bahasanya, Melayu Kuno bercampur bahasa lokal dan bahasa Tamil. Dinyatakan dalam prasasti itu bahwa pada tahun 1135 Saka (1213 Masehi) seorang yang bernama Senapati Rakan Diparikara berbuat amal (?) untuk jasa Paduka Sri Maharaja. 

Di Sumatra Barat ada sebuah prasasti yang dipahat pada dinding batu padas dari saluran kuno di Bandar Bapahat, dekat desa Suroaso, kecamatan Tanjung Emas, Kabupaten Tanah Datar. Prasasti ditulis dalam dua bagian; teks sebelah kiri terdiri dari 10 baris tulisan Sumatra Kuno dan bahasa Melayu kuno bercampur sansekerta, sedangkan teks sebelah kanan terdiri dari 13 baris tulisan Grantha dan bahasa tamil (Krom1912:46, no.39). Transkripsi dan terjemahan belum pernah diterbitkan, di samping tulisan sudah aus, juga prasasti itu tenggelam di dasar sungai Batang Lili. 

Dari jejak jejak tulisan yang dapat dibaca pada abklats, ada nama-nama Adityawarman dan desa Suravasa disebutkan didalamnya, yaitu grama Sri Suravoso. Jelas, bahwa prasasti ini dikeluarkan oleh Raja Adityawarman yang menjadi raja Malayu pada pertengahan abad XIV Masehi, dan sebagian besar prasastinya ditemukan di daerah Sumatra Barat. Adalah kasus yang luar biasa bahwa prasasti-prasasti Adityawarman menggunakan berbagai tipe aksara, antara lain turunan Pallawa (Jawa Kuna dan Sumatra Kuna), Dewanagari, dan Grantha/Tamil. Kekhususan ini tidak terdapat dalam prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja Jawa dan Bali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sejarah 11

 [18/5 23.42] rudysugengp@gmail.com: Mutasi kepala sekolah di Surabaya bisa terjadi sebagai bagian dari rotasi jabatan atau karena alasan la...