Selasa, 13 Agustus 2024

IV. BAGIAN PRASASTI INDONESIA MASING-MASING

 IV. BAGIAN PRASASTI INDONESIA MASING-MASING 

1. Dengan itu kita tahu agama dan aliran agama mana yang dianut/dipahamkan oleh raja. Contoh: "Om namo buddhaya", "Om ratna trayaya", menunjukkan adanya agama Buddha. "Om namaççiwaya", "Om awignam astu", "Om ganapataye namah", "Om namarudradurgge" menyaksikan adanya agama Hindu, aliran Çiwa (Çaiwa).

2. Tanggal. Tahun dikeluarkannya prasasti dicatat: dalam tarikh Çaka dengan kata: swasta-çakawarsa- tila (tahun Çaka yang sudah lewat), çaka- nrpa-kalatitawarsa, çaka-kalatita, çakendryam, dll. Tarikh Çaka berasalkan dari İndia, waktu radja Scythe = Çaka, dan permukaannya: 2/3 Maret 78 ( = Çaka 0).

Dengan tanggal tarikh Sanjaya didapat beberapa prasasti: swastha çri sanjaya warsa, permulaannya adalah 28 Februari 716 (Sky. 0) (Lihat Demais: BEFEO XLV (1951) 42-63).

Selain tahun juga tercatat nama bulan, bahagian bulan ialah çuklapaksa untuk bulan perbani (tg.1-15) dan krsnapaksa untuk bulan susut (tg.1 -30); nama hari sapta- wara (Aditya, Soma, Anggara, Buddha, Brhnaspati, Çukra dan Caneçcara); hari sadwara (Tunglai, Hari-yang, Wuru- kung, Paniruan, Was, Mawulu); hari pancawara (Kaliwon, Umanis, Pahing, Pon, Wage), Nama-nama hari diberikan dalam singkatan, dengan berurutan: sad, pancadan sap- tawara, Contohnya: "tu.pa.a" = tunglai, pahing, hari - yang. "Wu.U.So." = wurukung, uwas, soma, dst. Tjontoh lengkap: "Çri Çakawarsatita 746, Jyestamasa daçami krsnapaksa umanis wrhaspatiwara" = pada bulan ke-9, hari ke-10, paro petang, hari sadwara ke-l, hari pancawara ke-2, hari sapta atau adityawara ke-5, = 26 Mei 824 A.D.

Adapun wara dan wuku berasalkan dari sistem tanggal Indonesia asli. Bersama dengan itu juga diberitakan macam-macam waktu astronomis yang berasalkan dari ilmu Hindu, yaitu tempat matahari, bulan, bintang siarah (planit), yang berada pada saat praçasti diresmikan, Berturut-turut disebut: Grahachara (planit: Anggara, Buddha, Guru, Brglhu, Kona), Nakshatra (horoscoop), Dewata, Mandala, Yoga dan Karana, masing-masing pancaran deważ pada langit; akhirnya jam (muhurtha = 48 menit) dan raçi atau zodiak. Semua waktu itu ditentukan oleh seorang wariga (astroloog istana) menurut ilmu dan ajaran Hindu seperti termaktub dalam Bhaskaracharya, atau Surya Siddhanta. Dasar ideologinya adalah paham dewa raja: yaitu bahwa raja bukan saja menempati fungsi politis sebagai kepala negara, melainkan pula fungsi kosmis sebagai pusat alam raya,

Kekuasaannya bukan sekuler, melainkan sakral. Istananya, melambangkan alam semesta yang dimilikinya sejak dia pada upacara abhiçekanya (pengobatannya) mengelilingi istinja dengan pradaksina (kirab) mulai dari timur, melalui selatan dan seterusnya untuk mewarisi secara simbolis alam dunia. (R. van Heine-Geldern: "Conception of state and kingship in Southeast Asia", 1951; Ch. Drekmeyer: "Kingship and Community in Early India", 1962; L. Rocher: "La sacralité du pouvoir dans l'Inde ancienne d'après les textes de Dharma, 1962).

Anggapan bahwa hidup manusia dikuasai oleh falak, tidak seluruhnya di impor dari India; sudah terdapat dalam kebudayaan asli yang diperkuat oleh pengaruh India. Setelah kerajaan? Hindu-Indonesia lengkap masih terus mempunyai pengaruh besar dalam kalangan rakyat. Banyak dari kitab-kitab seperti Surya Siddhanta hidup terus dalam primbon-primbon, seperti primbon Palintangan, Falak budo-kwai, pawukon yang dipakai oleh kaum dukun. Pada suku-suku Bali, Bugis, Batak, Tengger, ilmu tanda-tanda langit, "diwasa" atau "ketika" masih dihormati kurang-lebih secara resmi, pada suku Sunda dan Jawa ilmu petèk dan pétungan berpengaruh besar atas dasar adat, meskipun melawan syari'at (Cf. Dr. A. Maass, Sternkunde und Sterndeuterei im Malayischen Archipel, 1924).

Kerapkali tanggal di-candra dalam candrasangkala: ia lah kalimat yang katanya mengandung angka tahun: Contohny : "rasa sagara ksitidhara" = Ç.74;

"crutindrarasair" = C. 54 "resi sanga samadhi" = C.1197. Prasasti berbahasa Sansekerta, baik di India maupun di Indonesia, tidak memakai angka-angka, tanggal hanya didapat dalam candrasangkala saja. Juga terdapat rupacandra, dalam mana angka-angka tahun dinyatakan dengan gambar seisi dengan kata-angka. Daftar lengkap untuk arti angka kata-kata dan gambar-gambar, terdapat pada : R. M. Ng. Hardasasmita: "Pakem Candrasangkala" dan R. Bratakésawa: "Katrangan Candrasangkala": Balai Pustaka, 1953.

3. Nama Raja, Orang yang mengeluarkan prasasti itu blasanja raja, ratu, raja muda, rakryan, pegawai tinggi.

Kerap Kali nenek-moyang raja semua disebut juga sehingga wamsakarta penegak raja-bangsa atau dinasti. Nama raja dengan gelar beliau serba lengkap terkadang amat panjang, hingga 20 baris sekalipun, seperti pada pr. Kudadu Ç.1216.

Contoh nama raja: Çri maharaja rakai halu çri lokeçva ram dharmawangsa airlangga wikramatunggadewa. Pr. C.956.

4. Nama orang yang menerima prasasti. Umpama: uming sor i sangat pu padma diberi kepada pegawai pu Padma.

5. titah raja: dengan kata "kumonaken": berita mengenai.

6. sambandha atau sebab dan alasan pemberian. Sebab-sebab itu beraneka warna sebagai karena rakyat memberi perlindungan kepada raja di waktu perang; karena sungai dibendung; karena candi atau arca didirikan, jalan dibuat, karena kurban dihaturkan oleh brahmana raja, dll. Dalam sambandha diterangkan pula dengan saksama sifat dan isi anugerah: jikalau diberi tanah, batas-batasnya ditentukan; jikalau didirikan desa perdikan, dijelaskan pajak mana yang sudah tidak usah dibayar dan pegawai pajak mana yang dilarang masuk daerah bebas itu. Hadiah lain terdapat juga. :

a). anugerah tanah, Prasasti-prasasti mencerminkan suatu masyarakat Hindu-Indonesia yang bercorak feodal. Apakah artinya ? Dalam konperensi internasional tentang arti feodalisme, ditentukan a.l.: "Feodalisme is not primarily an economic or social system, but a method of government, in which the essential relation is not between ruler and subject, nor state and citizen, but between lord and vassal.. .A connection between feudalism and landed property is implied in the very word which is used to describe the institution for which the feudum was usually a piece of land", (Cf. "Feudalism in History" MacMillan, 1956; F, Ganshof: "Qu'est ce que la féodalité, 1947; R. Subaya: "Feodalisme di Indonesia" Basis, Nov, 1960).

FEUDUM (Skr.patta; Arab iqta' Jawa Kuno: bhumidana) berarti tanah yang dipinjamkan oleh raja kepada pasalnya, sebagai balasan untuk jasanya dalam perang, atau kepada rakjat desa sebagai balasan untuk sebuah kerjabakti bagi raja. Dalam masyarakat tanpa ekonomi-uang, raja tak dapat memberi gaji kepada pegawainya selain berupa pemberian dari miliknya sendiri. Maka milik Raja yang  paling besar adalah tanah, yaitu seluruh daerah kerajaannya: itulah diandaikan oleh perundangan Jawa kuno, Dalam Kutaramanawa, fasal 93 divaca: "Sang Ratu wiçesamawa bhumi deça"; fasal 100: "apan drwe sang Prabhu lemah ika". Dalam kitab Sang Hyang Agama terbaca dalam fasal 115, bahwa tanah adalah milik radja (Perb. Dr, Slamet Muljana: Perundang-undangan Majapahit, Jakarta (1967, 130). Dalam faham hukum itulah terletaklah asas feodalisme Jawa kuno. Sisa-sisanya (survivals) masih terdapat dalam lembaga tanah sebagai tanah cangkok, lungguh, bengkok, gaduhan, tanah gumantung, tanah patuh, siti pangembe, buat haji, buncang hajian dll. Di negara Hindu di India pemberian tanah (ksetradhanam budhana) terutama diperuntukkan bagi para Brahmana (Manudharmaçastra 8,79), dan disahkan oleh praçasti prunggu (Yajnavalkya I, 317). Disini agaknya tanah diberikan kepada para santana Raja, dan kepada wihara-wihara dan desa-desa yang berjasa bagi raja. Bila seseorang menerima tanah, dia berkuasa penuh atas penduduknya, yang wajib keter paksa baginya dan bekerja bagi hasil, Bila sebuah desa (wanua) menerima anugerah praçasti, dia dibebaskan dari upeti, beaya dan sejumlah dari sebegitu banyak pajak yang dipungut pada zaman dahulu. Bahkan pemungut pajak dilarang masuk desa itu. Untuk kedua bentuk anugerah dipergunakan, tanpa perbedaan, nama-nama sbb. sima, simadharma, siwi- dharma, sima swatantra, dharma lepas, kadharman, dharma haji atau raja dharma. Tanah yang dibebaskan dari pajak kepada rakyat, merupakan negara dalam negara, berstatus otonom atau mardika; pemerintah pusat hampir tak punya kekuasaan atasnya, dan biasanya hal semacam itu justru terjadi karena pemerintah pusat tak mampu memerintahnya. Semua penghasilan tanah semacam itu diperuntukkan si penerima budhana itu, Desa-desa yang menjadi  objek dari prasasti dalam zaman Mataram II dari piagem Sultan disebut desa perdikan, Mijen, Pakuncen, kepu- tihan dan wakap (freehold, apanage). Nagarakretagama dalam surga 76-78 mendaftarkan dua ratus lebih dharma- lepas sedemikian itu.

Sima diberi, entah untuk seumur hidup, entah untuk selamanya dengan hak turun-temurun. Tetapi jika pemilik sima memberontak melawan raja, prasasti di- batalkan, tanah dikembalikan kepada pusat, ump.: Pararaton fol. 26: "prasasti both" = dibatalkan. Selain itu, penjahat yang lari kedalam sima itu tidak boleh dituntut dimuka hakim resmi. Sima merupakan "unsur ing maling" (tempat pengungsian pencuri), hulun minggat (budak belian yang membolos) dancing hutang rangang" (orang yang tak sanggup bayar hutang).

Banyak sima yang didirikan dalam zaman Hindu berada langsung hingga sekarang sebagai desa mijen, perdikan dan kuncen, Banyak juga yang lama-lama berubah menjadi "wakif", wakaf atas dasar hukum fiqh. (Lihat Kusumah Atmaja: "Mohammedaansche vrome stichtingen in Indië", 1922, p.87). Rumusan pembebasan pajak lafalnya begini. "sima swatantra tan knakna wulu pariwulu, ludan, tutan, dampulan, lancura, kopan, kipah-kipah, tulungbijet, pinta-palaku, angsa-pratyanca, danda skar tahun", dan lain-lain; kata-kata mana semua menunjukkan jenis pajak yang tidak harus dibayar oleh penduduk atau

b). pembebasan dari pajak untuk rakyat.

rupa pekerjaan yang tidak dibayar dan disebut raja karya, raja pundut (= upeti, bulu bekti) atau buat haji, buat hajiyan, putajenan dan buncanghaji.

pemilik sima (dari Prasasti Sidoarjo, 1042). Dalam sima tersebut dibawah a), maka penduduk desa seolah-olah menjadi budak sipemilik sima. Kerja Paksa untuk pembesar itu disebut "bhara, halyun, berat dan terlalu banyak "ya ta menjadi sakit ke pawan diya" = sehingga penduduk sakit dan repot. Lain halnya jika penduduk desa pada sendirinya berjasa besar terhadap raja. Mereka itu dibebaskan dari pajak berupa kerja paksa negara, sebagai balasan prestasi mereka, Pajak pada umumnya be-

Dalam prasasti kerapkali tersebut daftar amat panjang memuat beraneka-warna kerjabakti yang dituntut dari rakyat, misalnya: makmit (jaga malam), makuta (membuat benteng), rbah (menebang), lakulangkah (blandong), babad, caru pamuji (menyediakan kenduri), tandapana (mengasah panah), pikul-pikul, dan lain-lain,

c).pegawai pemerintah dilarang masuk sima: "ya mengalila drwi haji tan tumama umaso sima" katanya. Dengan begitu kita tahu bahwa terdapat pegawai tinggi sebagai menteri; gelarnya rakryan mahamantri katrini; rakryan mahamantri hino, rakryan mahamantri sirikan, rakryan mahamantri halu. Apalagi macam-macam pegawai lain yang tugasnya sudah kerapkali tidak dapat diketahui, umpama pabisar, micra hino, pulung padi, marhyan, sthapaka, limus galuh, hulu kayu, sukun, dangkel, sambal, sumbul, ketangguhan, watu walang, juru kalang, juru wadhwa rare i haji, tuhalas, tuha dagang, makudur, kring, padamapuy, dan banyak lagi lainnya.

d). hadiah-hadiah lain.

Umpama wnang apayunga, renang gelanggang (menyabung ayam), wnang amupuha ngrahana kawula (memukul budak belian hingga keluar darahnja), angguntinga kawula minggat (mengebiri budak pelarian), hak tawang karang, hadiah dasa-dasi dan hak hanya maha dasa dasi (memperkosa budak belian laki dan perempuan), gelang emas ring tangan ing suku, anunturi tali sabuk.

Sudah terang bahwa prasasti, selain dari memberi bahan sejarah, amat berguna untuk mengetahui keadaan sosial dan ekonomis dalam zaman Hindu, Contoh baik untuk melihat bagaimana prasasti dapat dipakai untuk pengetahuan sosiologi masyarakat Hindu terdapat dalam karangan Gorys tentang berita sosiologis dalam prasasti-prasasti Bali (Lihat TBG 1941),

7. Daftar orang saksi: Orang yang menyaksikan pemberian, dan mereka yang dipanggil dari desa-desa sekitar tempat pemberian, didaftarkan juga, beserta dianugerahi dengan alat-alat, sajen dan uang. Saksi pertama ialah kepala desa, ialah rama desa, tuha wanua dan juru hulu,

8. Upacara berkahan dan pujian praçasti: Prasasti dianggap dan dihormati sebagai perwakilan Raja dalam fungsi kosmisnya; hahkan sebagai pancaran kuasa shakti para dewa, Pada waktu meresmikan (manusuk) praçasti, diadakan upacara beraneka-warna yang bersifat execration (meruwat atau menjauhkan bahaya magis dari penduduk desa atau dari raja sekalipun yang mungkin diancam oleh kemarahan para gramadewata (dewa-dewa desa). Sima-pamuja itu tidak terdapat dalam praçasti atau ritual Hindu; asalnya dari suatu perpaduan sinkretis antara ajaran Hindu dengan unsur-unsur agama asli animis.

Praçasti disamakan dengan Bahureksa desa, dewa pelindung desa perdikan dan disebut Sang Hyang Praçasti, Sang Hyang Raksa. Desa jang dilindungi oleh praçasti tersebut disebut Karaksayan (Praçasti Bali 201). Praçasti itu diserahkan mengelilingi desa, dengan diiringi musik dan dipayungi. Sampai batu keramat (watu- wungkal, pepunden, watu kelumpang, sisa² ibadat neolithic) seorang dukun-desa bertindak : "akudur ma- netek guluning hayam, amantingaken hantiga, humarep ing krodhaning desa, mamangmang manathapa, sumanak ring lagi lingnya" om indah ta kita", dst.

(artinya: seorang dukun memotong leher ayam, memecahkan telur, menghadapi kemarahan orang dan mengungkapkan sepatha: Kamu dewa.. .......dst.)

Upacara semacam itu harus diulangi se-waktu-waktu agar praçasti terus melindungi rakyat desa. Pada upacara hari lahirnya praçasti, rakyat desa diperkenankan oleh raja berpesta "sekaten": "ri kalani kapujan sang hyang ajna haji praçasti wnang angadwa nita, judi. Acuringa kinagsayan ri kalanyamuja daçarddha diwaça" (Pada waktu sang hyang rajapraçasti dipuja (disembah), diizinkan menyabung ayam dan berjudi. Diizinkan melakukan musik pada waktu pujian 10 kali sehari-semalam ketika praçasti dipuji, Pr. Canggu, 1358). Keterangannya diberikan oleh Dr. Th, Pigeaud sbb.:

"The Royal charters were made to be heirlooms in the families of the beneficiaries, and in those communities they represented the Royal Family and the Court, They were worshiped like fetishes. This side of their function might be compared with the function of portraits of the sovereign, national flags as representatives of royal government in other countries..... The fetishistic worship of Ro- yal charters engraved on copper plates kept by the recipients as heirlooms is attested by King Hayam Wuruk's Ferry charter. No doubt it was customary from very old times. The cult is reminiscent of the veneration for heirlooms (in modern times called puskas) characteristic of Javanese family religion. The relationship with ancestor worship is obvious... The ceremony is apparently connected with the ancient native belief of rural communities.. (Java in the XIVth century, IV, 400, 483, dipersingkat; karya Dr. Piglaud ini menjadikan a.l. lima buah praçasti: dengan tafsir seperlunya, 5 ji.).

9. sapatha: ialah laknat yang diucapkan melawan setiap orang yang berani merusak prasasti atau merubah aturan yang didapat didalamnya. Isi prasasti menetapkan suatu keadaan baru dalam lapangan hukum, sebagai perwujudan dharma abadı, dijamin oleh azası agama, maka aturan harus abadi pula dan orang yang melawannya dihukum dengan hukuman abadi.

Sapatha Hindu-Indonesia mencerminkan syncretisme agama yang laku dalam zaman hindu disana terdapat campuran antara agama Hindu, Buddha dengan faham animisme dan pemudjaan kepada nenek-moyang (manisme).

"The stereotyped curse-formulas are however distinct features of early Javanese records, which mark them off from Indian inscriptions" (H.B.Sarkar: "Indian influences in Indonesian literature).

Sapatha berbunji begini: "yan hana wang ya allah-ilaha ikang sima, yapuan hana drohaka umulah-ulah ika ing sima, salwiraning manglilangaken kaswatantran ika.. (= jika ada orang yang berani merubah daerah merdeka ini.....semoga disiksa dengan seribu satu macam siksaan).

Daftar siksaan merupakan bagian istimewa dalam kesusastraan Jawa dan Bali Kuno. Contohnya: "patyana adenta, deyanta dedel diidak, tampak muka nya, sebitaken we- tengnya; yan para ring alas panganan sing singa barong. sahutan ing ula mandi, yan para ring tgal, sambirenteng flap, sampalen ing raksasa, make viagra, ring samudra klemaken ring dawuhan (bendung), sempalenaning buhaja, alpen de sang hyang wwai (air), sankapen dening mina- rodra (ikan), yan mati mulia mareng yamani, mantuka ma- reng narakapada, tumiba ring tambragomukha (periuk tembaga dengan kepala kerbau)."

Dalam prasasti Buddhis terdapat sapatha dengan harapan supaya perusak prasasti "ping satasahasradaça manu, lawasanya(n) mangjanma": supaya senantiasa menjadi manusia, tanpa mencapai nirvana, yang mengakhiri samsara atau peredaran lahir kembali.

Dewa dimohon supaya mengukuhkan sapatha itu. Dalam daftar dewa-dewa synkretisme menampakkan diri satu kali lagi. Begitu pula gunung-gunung di tanah Jawa dianggap dewa, begitu pula raja, nenek-moyang raja yang memerintah (rahyangta). Doa kepada dewa-dewa, hampir semua sama dalam prasasti-prasasti muda, ialah "Om indah ta kita kami bhatara i çri bapakeçvara, Brahma, Vishnu, Mahadewa (= Çiva), rawi, çaçi, ksiti jala pavna huts, gana bhuta sandhyadwaya ahoratri, yama baruna kuwera yaksa raksasa picaça, kurcaci, prtasura, garuda kinnara gandharwa widyadhari, lor kidul kulwan wetan; Kamung hyang Merapwi wukir sumbi susundara, kita raditya soma anggara buddha wrhaspati çukra çaneçcara (hari saptawara); kita kampung hyang haricandana agastimaharsi purwadaksina pacima uttara madhya urdhamadah, dll.

10. astu, artinya : sekolah !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lagu nasional

  Lagu nasional Tanah Airku Tanah air ku tidak kulupakan Kan terkenang selama hidupku Biarpun saya pergi jauh Tidak kan hilang dari kalbu Ta...