[21/3 15.51] rudysugengp@gmail.com: Candi Kidal
Candi Kidal, peninggalan Kerajaan Singasari, dibangun pada tahun 1248 sebagai penghormatan kepada Raja Anusapati, raja kedua Singasari, dan diperkirakan selesai sekitar tahun 1260. Candi ini berfungsi untuk mendarmakan Anusapati agar mendapatkan kemuliaan sebagai Syiwa Mahadewa.
Berikut adalah detail sejarah Candi Kidal:
Tujuan Pembangunan:
Candi Kidal dibangun sebagai bentuk penghormatan kepada Raja Anusapati, raja kedua Kerajaan Singasari, yang memerintah selama 20 tahun (1227-1248).
Tahun Pembangunan:
Candi Kidal dibangun pada tahun 1248, bertepatan dengan berakhirnya rangkaian upacara penghormatan jenazah (sradha) untuk menghormati Raja Anusapati yang telah meninggal.
Fungsi:
Candi Kidal berfungsi sebagai tempat untuk mendarmakan Anusapati agar mendapatkan kemuliaan sebagai Syiwa Mahadewa.
Lokasi:
Candi Kidal terletak di Desa Rejokidal, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur, sekitar 20 kilometer ke arah timur dari kota Malang.
Arsitektur:
Candi Kidal memiliki arsitektur khas Jawa Timur, dengan kaki candi yang kokoh dan tubuh yang sedikit menyempit ke atas.
Relief:
Di Candi Kidal terdapat relief Garudeya yang menceritakan kisah Garuda dalam usaha menyelamatkan ibunya dari perbudakan.
Temuan:
Candi Kidal ditemukan oleh Sir Thomas Stamford Raffles pada awal abad ke-11 ketika ditugaskan di Jawa.
Peninggalan Kerajaan Singasari:
Candi Kidal merupakan salah satu peninggalan bersejarah dari Kerajaan Singasari.
Penyimpanan Arca:
Dahulu, di ruangan candi (garbhagrha) merupakan tempat arca Siwa Mahadewa, yang saat ini telah disimpan di Royal Tropical Institute di Amsterdam.
[21/3 17.50] rudysugengp@gmail.com: *Relief Candi Kidal*
Relief Candi Kidal adalah pahatan yang menggambarkan kisah mitologi Hindu tentang Garuda. Relief ini terletak di kaki candi dan dibaca berlawanan arah jarum jam.
A. Ciri khas relief Candi Kidal
1. Terdiri dari tiga relief
2. Menggambarkan kisah Garuda yang membebaskan ibunya dari perbudakan
3. Berkaitan dengan mitos Garudheya yang populer di masyarakat Jawa kuno
4. Berkaitan dengan kisah Raja Anusapati yang ingin meruwat ibunya, Ken Dedes
B. Deskripsi relief Candi Kidal
1. Relief pertama menggambarkan Garuda menggendong tiga ekor ular besar
2. Relief kedua menggambarkan Garuda dengan kendi di atas kepalanya
3. Relief ketiga menggambarkan Garuda menyangga seorang perempuan (ibunya yang bernama Winata)
C. Keunikan relief Candi Kidal
1. Arah baca reliefnya dari kanan ke kiri, berbeda dengan candi-candi lain yang biasanya baca reliefnya dari kiri ke kanan
2. Reliefnya sangat detail
D. Lokasi Candi Kidal
Candi Kidal terletak di Desa Rejokidal, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Candi ini dibangun pada tahun 1248 Masehi.
[21/3 18.06] rudysugengp@gmail.com: *Arca Candi Kidal*
Arca Siwa Mahadewa yang berada di Candi Kidal saat ini disimpan di Royal Tropical Institute di Amsterdam.
Penjelasan :
1. Candi Kidal adalah peninggalan Kerajaan Singhasari yang bercorak agama Hindu.
2. Candi Kidal terletak di Desa Rejokidal, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
3. Dahulu, di ruangan candi (garbhagrha) Candi Kidal terdapat arca Siwa Mahadewa.
4. Candi Kidal juga terdapat arca perwujudan Raja kedua Kerajaan Singhasari dan raja Anuspati.
5. Candi Kidal saat ini digunakan sebagai salah satu objek wisata edukasi berbasis budaya.
[21/3 18.09] rudysugengp@gmail.com: *Candi Kidal dipugar*
Candi Kidal dipugar pada tahun 1990-an. Candi ini merupakan peninggalan Kerajaan Singasari yang bercorak Hindu.
Penjelasan
1. Candi Kidal dibangun pada tahun 1248 M
2. Candi ini terletak di desa Rejokidal, distrik Tumpang, Jawa Timur
3. Candi ini dibangun sebagai bentuk penghormatan kepada Raja Anusapati, raja kedua Singasari
4. Candi ini dibangun untuk mendarmakan Anusapati agar mendapat kemuliaan sebagai Syiwa Mahadewa
5. Candi ini memiliki tiga tingkat yang terletak di atas panggung yang ditinggikan
6. Di kaki candi, terdapat tiga topeng Jawa yang menggambarkan kisah Garuda
7. Candi ini disebut sebagai candi pemujaan tertua di Jawa Timur
8. Candi ini digunakan sebagai salah satu objek wisata edukasi berbasis budaya
Candi Kidal dipugar pada tahun 1990-an untuk mengembalikan keindahannya. Sisa-sisa pondasi dari sebuah tembok keliling yang berhasil digali kembali sebagai hasil pemugaran tahun 1990-an masih terlihat di sekitar candi.
[21/3 18.12] rudysugengp@gmail.com: *Cara baca Relief*
Pada umumnya, cerita yang terpahat dalam panil-panil relief candi dibaca secara searah jarum jam (pradaksina) namun keunikan relief Candi Kidal adalah dari cara pembacaannya yang secara prasawiya atau berlawanan dengan arah jarum jam atau meng-kiri-kan candi.
[21/3 18.27] rudysugengp@gmail.com: Begandring.com
*Mengenang Soeranten, Juru Kunci Kidal di Era Kolonial*
17 Februari 2024 10:43
Mengenang Soeranten, Juru Kunci Kidal di Era Kolonial
Penulis: Eva N.S. Damayanti*
Juru kunci adalah pekerjaan tradisional. Namun tak berarti lebih mudah dibanding pekerjaan ‘modern’. Juru kunci adalah profesi yang tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik, namun juga kepekaan dan kedalaman spiritual.
Bagi para pecinta cagar budaya mungkin nama Candi Kidal sudah tidak asing lagi. Candi bergaya klasik muda era Singhasari ini terletak di Desa Kidal, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang.
#Candi Kidal merupakan Cagar Budaya Peringkat Nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 205/M/2016.#
Pertimbangannya, karena ada banyak makna dan nilai penting yang terkandung di dalamnya, sebagaimana ketentuan yang tertulis di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Candi Kidal dihubung-hubungkan dengan Anusapati, raja Singhasari yang wafat pada tahun 1248 M. Nama Kidal pernah dicuplik dalam Kitab Negarakretagama, namun kitab tersebut tidak menjelaskan mengapa candi pendharmaan Anusapati ini dinamakan Kidal. Ada pendapat bahwa penamaan ini terinspirasi dari cara pembacaan relief candi.
#Pada umumnya, cerita yang terpahat dalam panil-panil relief candi dibaca secara searah jarum jam (pradaksina) namun keunikan relief Candi Kidal adalah dari cara pembacaannya yang secara prasawiya atau berlawanan dengan arah jarum jam atau meng-kiri-kan candi.#
Kali ini saya tidak ingin membahas Candi Kidal dari sisi arkeologi karena sudah banyak akademisi yang mengkajinya. Tetap bertema masa lalu, namun saya ingin melihatnya dari sisi yang berbeda. Saya ingin sedikit mengulas tentang sosok Pak Soeranten, juru kunci Candi Kidal di masa Hindia Belanda. Awalnya cerita tentang beliau saya peroleh dari Pak Imam Pinarko, Juru Pelihara Candi Kidal yang beberapa tahun belakangan pindah tugas menjadi Juru Pelihara Candi Jago. Jarak kedua candi terpaut sekitar 7,5 km.
“Ini foto yang saya janjikan kemarin. Foto buyut saya, juru kunci pertama Candi Kidal. Namanya Buyut Soeranten”.
Begitu bunyi pesan singkat dari Pak Imam siang itu. Sebuah foto hitam putih yang sudah mulai menguning tampak di layar gawai. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, juru kunci dapat diartikan sebagai penjaga dan pengurus tempat keramat, makam, dan sebagainya.
Di dalam satu kesempatan, Pak Imam bercerita bahwa foto ini telah menghias dinding rumah sejak puluhan tahun yang lalu dan kini menjelma menjadi artefak bersejarah bagi keluarga besarnya. Mengenai tahun berapa foto ini diambil, Pak Imam tidak pernah mengetahuinya secara pasti.
Namun ia mendengar cerita turun-temurun, bahwa foto diambil ketika ada kunjungan bangsawan atau pejabat penting ke Candi Kidal di masa Hindia Belanda, lalu hasil fotonya diberikan kepada Pak Soeranten sebagai kenang-kenangan.
Pak Soeranten nampak sudah sepuh, duduk berdampingan dengan istri terakhirnya yang bernama Bu Jaminah di bawah Pohon Rambutan yang tumbuh di belakang halaman rumah beliau. Memang, rumah Pak Soeranten dekat dengan candi yang letaknya sekarang kira-kira ada di sekitar bangunan kantor di dalam kompleks Candi Kidal.
Kisah Pak Soeranten bisa mempunyai rumah di sekitar Candi Kidal dan menjadi juru kunci. Pak Imam mengatakan bahwa buyutnya dulu adalah salah satu pengikut Pangeran Diponegoro yang menyingkir ke arah timur pasca kecamuk Perang Jawa pada tahun 1825-1830. Beliau bersama dengan beberapa orang rekannya membuka hutan di sekitar candi dan lalu bermukim di sana.
Nama asli Pak Soeranten adalah Qhaeru. Beliau berganti nama dari Soeranten menjadi Qhaeru karena adanya masukan dari para cantrik. Yah, Pak Soeranten memang seorang tokoh agama yang disegani sehingga banyak orang yang berguru pada beliau.
Sebagai penanda bahwa beliau adalah pengikut Pangeran Diponegoro, maka ditanamlah sebuah Pohon Sawo Kecik di halaman rumah. Namun sayang, jejak pohon langka yang besar diameternya kira-kira bisa dipeluk 2 orang dewasa tersebut hilang karena terpaksa ditebang tahun 1980an dalam rangka penataan lingkungan.
Keberadaan pohon-pohon berukuran besar memang berpotensi membahayakan struktur candi karena perakarannya, selain itu pepohonan tersebut menyebabkan kelembaban di sekitar candi meningkat dan bisa menimbulkan efek negatif pada kondisi fisik candi.
Ketokohan Pak Soeranten nampak jelas pada foto hitam yang dikirim Pak Imam itu. Nampak beliau mengenakan baju kebesarannya, yaitu baju adat Jawa lengkap mulai dari udeng, beskap, kain batik, dan tak lupa sebilah keris yang diselipkan di perut.
Dalam dunia perkerisan, makna penempatan keris terselip di depan disebut dengan istilah nyonthe. Gaya nyonthe seperti ini biasanya berkaitan dengan status si pemakai yang menandakan bahwa ia adalah seorang tokoh atau pemuka agama. Motif kain batik yang dikenakan juga menarik, kain batik motif khas pesisir yang terpengaruh motif daratan Cina.
Terlihat ada salah satu motif berbentuk kupu-kupu, yang dalam filosofinya berarti panjang usia atau menandakan usia 90 tahun. Memang, diceritakan bahwa Pak Soeranten meninggal di usia 100 tahun lebih.
Selain bersumber pada penuturan Pak Imam, saya juga mencoba menelusuri jejak digital di internet. Tidak banyak yang saya peroleh. History of Java, maha karya Raffles yang ditulis ketika Perang Jawa berkobar menyebut Kidal sebagai Kedal dengan situasi candi yang dikelilingi hutan.
Tinggi bangunan 35 kaki, berhiaskan area singa yang melekat pada pilar-pilar yang menonjol pada setiap sisinya. Relief yang lain yaitu naga yang kepalanya saling melilit, jambangan air, dan relief yang menggambarkan wanita.
Laporan Pemugaran Candi Kidal yang ditulis tahun 1992 juga menyebutkan bahwa kunjungan orang Eropa ke Candi Kidal selanjutnya adalah Brumund yang menulis Candi Kidal lebih detail daripada Raffles, karena candi ini keadaannya sudah bersih dari pepohonan yang melapisnya. la menemukan dinding sebelah timur, utara dan selatan, relung, garuda-garuda, naga-naga dan lain-lain. Brumun juga menyebutkan bahwa di depan candi terdapat teras yang disebut altar.
Setelah Brumund, masih ada De Haan, F.D.K. Bosch, dll yang mengadakan penelitian dan restorasi di Candi Kidal.
Berdasarkan sumber History of Java dan laporan kunjungan Brumund tahun 1867 menyiratkan dua kondisi yang berbeda. Raffles menyebutkan bahwa candi masih tertutup hutan. Sedangkan pada era Brumund, penampakan candi sudah terlihat lebih terbuka.
Hal ini mengindikasikan bahwa sudah ada pemukiman penduduk (para pembuka hutan yang diawali oleh Pak Soeranten) di kawasan candi yang bermukim dalam rentang waktu mulai akhir Perang Jawa tahun 1830 sampai dengan 1867.
Keberadaan sosok Pak Soeranten terdeteksi dalam sebuah berita di surat kabar Soerabaijasch handelsblad tanggal 22 Februari 1935 yang bertajuk Bewaking Oudheden (Memantau Benda-Benda Purbakala) menyebutkan bahwa Pak Soeranten yang sudah tua mencurahkan segenap perhatiannya pada pelestarian Candi Kidal sejak pertengahan tahun 1919 dan juga sebuah foto potret Candi Kidal pada tahun 1935, dengan sosok seorang pria sepuh yang berdiri di depannya.
Tidak diketahui secara pasti kapan Pak Soeranten meninggal karena menurut cerita turun-temurun Pak Seranten meninggal tahun 1928, sedangkan dalam sebuah berita di koran Belanda dan foto di atas masih menyiratkan bahwa beliau masih hidup di tahun 1935.
Sepeninggal Pak Soeranten, putranya yang bernama Pak Kadir menggantikannya sampai tahun 1960, selanjutnya digantikan oleh Pak Rabun, putra menantu sampai dengan tahun 1990an, dan dilanjutkan hingga oleh hari ini oleh putrinya, yaitu Bu Siti Romlah, sedangkan Pak Imam Pinarko pindah tugas menjadi Juru Pelihara Candi Jago.
#Imam Budhi Santosa dalam bukunya yang berjudul Profesi Wong Cilik mengkategorikan juru kunci sebagai pekerjaan tradisional, sebuah pekerjaan yang tidak hanya mengandalkan fisik namun juga sisi spiritual.#
Juru kunci biasanya adalah profesi turun-temurun, dari generasi ke generasi karena adanya keterikatan batin dengan sebuah benda keramat yang dijaga secara komunal dengan sepenuh hati karena juru kunci biasanya tinggal tak jauh dari lokasi dimana obyek tersebut berada.
Hal inilah yang terjadi pada Pak Soeranten dan para keturunannya. Sang pembabat alas, yang mendharmabaktikan hidupnya untuk merawat tinggalan leluhur hingga ke generasi keempat. Istilah juru kunci saat ini mengalami pergeseran menjadi juru pelihara yang tugas dan kewajibannya tidak hanya membersihkan, merawat, dan mengamankan cagar budaya saja namun juga memberikan pelayanan informasi kepada pengunjung terkait obyek yang dipeliharanya.
*Eva N.S. Damayanti. Reenactor Modjokerto, perangkai repihan masa lalu
[21/3 18.49] rudysugengp@gmail.com: pusakajawatimuran.wordpress.com
Pusaka Jawatimuran
Semua tentang Jawa Timur
*Candi Kidal*
22 Februari 2012
1. Letak dan Lingkungan
Secara administratif Candi Kidal terletak di Desa Rejokidal, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang (bagian timur), Propinsi Jawa Timur. Perjalanan menuju Candi Kidal ini dapat dilakukan dengan mudah melewati jalan beraspal yang menghubungkan kota Malang dengan Kecamatan Tumpang. Letak Candi Kidal juga tidak jauh dari jalan raya antara Kecamatan Tajinan dan Kecamatan Tumpang.
Situs Candi Kidal yang menempati area seluas 1775,50 meter persegi di tengah alam pedesaan ini merupakan daerah endapan lahar gunung berapi pada ketinggian 517,58 meter di atas permukaan air laut dengan kemiringan yang sangat tinggi karena terletak di lereng sebelah barat Gunung Semeru. Gunung Semeru sampai sekarang masih menunjukkan kegiatan sebagai gunung berapi. Sebagai daerah yang terletak di lereng gunung berapi, Desa Rejokidal merupakan daerah endapan lahar gunung berapi berwama hitam kecoklat-coklatan yang kini menjadi lahan pertanian yang subur.
Di sebelah timur Candi Kidal, yang jaraknya kurang lebih 100 meter, terdapat Sungai Brantas yang mengalir dari utara ke selatan. Di sebelah timur aliran Sungai Brantas ini terdapat sumber air yang oleh penduduk dimanfaatkan untuk pemandian dan mengairi sawah.
Daerah sekitar sumber air tersebut letaknya lebih rendah (kurang lebih 10 meter dari halaman candi). Selain itu, dari tebing di sebelah timur candi keluar rembesan air yang berasal dari tanah endapan yang dimanfaatkan untuk memelihara ikan dalam kolam-kolam kecil. Curah hujan daerah Kidal dan sekitamya dalam 10 tahun terakhir rata-rata berkisar 1832 mili meter tiap tahun dengan lama hujan 114 hari, sedangkan curah hujan yang terbanyak jatuh pada tahun 1984 yakni sebesar 2563 mili meter dengan lama hujan 183 hari. Curah hujan terkecil pada tahun 1976 yaitu sebesar 1167 milimeter dengan lama hujan 61 hari.
Di sekitar Candi Kidal terdapat berbagai tumbuhan tanaman keras yang subur seperti pohon duku, sawo, dan rumpun bambu.
2. Latar Belakang Sejarah
Senantiasa merupakan sajian ataupun kajian yang menarik serta penuh pelajaran bahwa di pentas Sejarah Indonesia Kuno, terdapat suatu wilayah yang dari abad ke abad menjadi pusat pengembangan kebudayaan. Jawa Timur pada umumnya serta wilayah Malang khususnya, menyimpan sejumlah benda cagar budaya yang membuktikan bahwa kawasan ini sebagai panggung yang banyak mementaskan adegan sejarah tersebut.
Prasasti Dinoyo misalnya, yang berangka tahun760 Masehi merupakan bukti sejarah tertua tentang adanya kekuasaan Kerajaan Hindu di daerah Malang. Prasasti ini menyebutkan bahwa seorang raja yang bemama Gajayana mendirikan sebuah bangunan suci untuk Agastya.
Beberapa pakar kepurbakalaan seperti Poerbatjaraka dan J.G. de Casparis menduga bahwa bangunan suci yang didirikan oleh raja Gajayana itu adalah Candi Badut yang terletak di Kecamatan Dau, Kabupaten Malang. Jika dilihat dari sudut bangunannya, Candi Badut termasuk candi yang berlanggam tua seperti di Jawa Tengah.
Pada kurun waktu berikutnya tidak ada keterangan tentang sejarah Malang. Sekitar empat abad sesudahnya muncul sebuah kerajaan baru bemama Singasari yang didirikan oleh Ken Angrok pada tahun 1222 M. Di dalam Serat Pararaton disebutkan bahwa sebelum menjadi Raja Singasari, Ken Angrok berkedudukan sebagai akuwu di Tumapel yang diraihnya dengan jalan membunuh Tunggul Ametung. Pada waktu itu Tumapel merupakan sebuah daerah di bawah kekuasaan Kerajaan Kediri yang diperintah oleh Raja Dandang Gendis atau Kertajaya. Ken Angrok menunggu saat-saat yang baik untuk memberontak dan melepaskan diri dari kekuasaan Kertajaya. Saat yang ditunggu-tunggu itu datang ketika Ken Angrok didatangi para pendeta dari Kadiri yang meminta perlindungan terhadap tindakan-tindakan Raja Kadiri yang dianggap melanggar adat. Para pendeta Kadiri tidak mau menyembah kepada Kertajaya, lalu mereka mengungsi ke Tumapel. Dengan didukung para pendeta itulah kemudian Ken Angrok mampu menghancurkan Kadiri dan mendirikan kerajaan baru yang bernama Singasari.
Sejarah juga mencatat bahwa kemudian Ken Angrok yang bergelar Sang Amurwabhumi itu dibunuh oleh suruhan Anusapati (anak Tunggul Ametung dengan Ken Dedes) pada tahun 1169 Saka (1247 M). Sesudah itu, Anusapati naik takhta pada tahun Saka 1170 Saka (1248 M). Ia kemudian dibunuh oleh Tohjaya (anak Ken Angrok dengan Ken Umang) pada tahun 1249 M dan dicandikan di Kidal.
Mengenai tahun meninggalnya Anusapati memang ada dua sumber yang berselisih. Menurut kitab Nagarakertagama pupuh 41 :1 dijelaskan bahwa Raja Anusanatha atau Anusapati meninggal dalam tahun Saka 1170 (1248 M) dan untuknya dibuatkan sudarmma (candi) di Kidal. Sebaliknya Pararaton menjelaskan bahwa Anusapati meninggal pada tahun Saka 1171 (1249 M) dan dicandikan di Kidal.
Dari data-data tersebut para sarjana umumya sependapat bahwa Candi Kidal adalah tempat pendarmaan Anusapati. Menurut Bernet Kempers, Candi Kidal ini pembangunannya selesai sekitar tahun 1260 M, saat diadakannya upacara sraddha (upacara yang dilangsungkan 12 tahun setelah raja meninggal). Selain bersumber pada Nagarakertagama dan Pararaton, fungsi Candi Kidal dapat dipelajari melalui relief Garudeya yang intinya adalah cerita tentang pelepasan arwah orang yang sudah meninggal.
Asal-usul nama Kidal yang disebutkan pertama kali dalam Nagarakertagama tidak diketahui secara pasti. Ismanu menduga bahwa nama Candi Kidal berdasarkan cara pembacaan relief Garudeya, urutan jalan ccritanya seharusnya dimulai dari sebelah selatan dan berakhir di utara.
Oleh kerena itu, apabila kita mengunjungi Candi Kidal berkeliling mulai dari pintu masuk candi menuju ke kanan, maka candi berada di sebelah kiri pengunjung. Berdasarkan cara pembacaan relief yang selalu di sebelah kiri inilah kemungkinan bangunan ini disebut “kidal” (yang berarti kiri).
3. Arsitektur Candi Kidal
A. Diskripsi Bangunan
Denah Candi Kidal berbentuk bujursangkar dengan ukuran 8,36 x 8,36 meter. Bentuk bangunan tampak ramping menjulang seperti lazimnya candi-candi di Jawa Timur. Pintu masuk candi berada di sebelah barat. Secara keseluruhan Candi Kidal masih mempunyai bagian bangunan yang relatif lengkap, yaitu bagian batur, kaki, tubuh, dan atap.
1. Batur
Batur adalah alas tempat berdiri kaki candi. Bentuknya bujur sangkar dan tanpa hiasan, lebih sederhana bila dibandingkan dengan bagian kaki lurus ke atas. Pada bagian batur ini terdapat pelipit dan tempat berdiri penampil yang menyatu, dengan tangga masuk. Kedua ujung pipi tangga dihias dengan kepala naga (seperti makara candi Jawa Tengah).
2. Kaki Candi
Kaki candi tinggi dan berdenah bujursangkar. Pada sisi barat terdapat penampil dengan tangga naik. Profil kaki candi tidak menunjukkan adanya bingkai setengah lingkaran, seperti halnya dijumpai pada candi-candi di Jawa Tengah. Tiap-tiap bidang sisi kaki candi dibagi menjadi empat panil yang berhiaskan medalion sedangkan pada pilaster-pilasternya, terdapat hiasan jambangan yang sederhana. Di tiap sudut kaki candi dan sudut penampilan masing-masing dihias dengan arca singa dalam posisi duduk dengan kedua kaki depan diangkat seolah menyangga candi. Di bagian tengah ketiga sisi candi, yaitu sisi utara, timur dan sisi selatan masing-masing dihias dengan relief Garuda, yakni hiasan yang paling menarik yang menceritakan Garudeya. Ceritera Garudeya ini terdapat pada bagian pertama (Adiparwa) di dalam ceritera Mahabharata.
Penggambaran relief Garudeya tersebut adalah sebagai berikut:
Sisi Utara: Garuda digambarkan dengan sikap badan jongkok, kaki kanan ditekuk dengan lutut tepat di depan perut, sedangkan kaki kiri ditekuk dengan lutut bertumpu pada landasan. Tangan kanan diangkat bersikap menyangga, sedangkan tangan kiri berada di pinggang sebelah kiri. Di atas kepala garuda duduk seorang wanita di atas padma.
Sisi Timur: Garuda digambarkan dalam sikap yang sama seperti pada sisi utara, tangan kanan memegang seberkas ikatan yang ditafsirkan sebagai seikat kuca (rumput). Di atas kepala Garuda terdapat guci amrta.
Sisi Selatan: Garuda digambarkan dalam sikap jongkok yang sama. Di atas kepalanya terdapat tiga ekor naga. Relief Garuda tersebut, menurut para sarjana, menggambarkan ceritera Garudeya,
yang pembacaannya diurutkan secara pradaksina, (menganankan candi) yaitu berturut-turut dari sisi utara adalah Garuda bersama dengan ibunya; Garuda dengan guci amrta yang telah direbutnya dari para Dewa, dan Garuda dengan para naga.
Tentang arah pembacaan relief ini, Ismanu berpendapat lain. Menurutnya, arah pembacaan relief tersebut seharusnya secara prasawya (mengirikan candi) sehingga akan didapatkan susunan relief yang urut sesuai dengan jalan ceritanya sebagai berikut.
Sisi Selatan: Garuda dalam kekuasaan para naga. Ibu Garuda (Sang Winata) masih dalam perbudakan sang Kadru (Ibu para naga).
Sisi Timur: Ganlda telah mendapatkan amrta sebagai penebus ibunya. Amrta telah dapat direbut dari para: dewa
dan kemudian disangkutkan pada kuca
Sisi Utara: Garuda” siap berangkat bersama ibunya meninggalkan para naga karena telah bebas dari perbudakan sang Kadru.
3. Tubuh Candi
Tubuh candi ramping dan berpenampang bujur sangkar. Antara kaki dan tubuh ini terdapat selasar sehingga pengunjung dapat berjalan mengelilingi candi. Pada tiap sisi tubuh candi terdapat relung, khusus relung sisi barat berukuran lebih kecil terletak di sebelah kanan dan kiri pintu masuk. Di atas relung dan pintu masuk terdapat hiasan kepala kala dalam keadaan masih baik kecuali kepala kala di atas relung sisi utara sudah rusak. Kepala kala tersebut dilengkapi dengap rahang bawah sebagai gaya kala yang lazim dijumpai di Jawa Timur.
Relung-relung tersebut mempunyai bentuk atap trapezium yang puncaknya berbentuk kubus. Bagian puncak kubus itu bersatu dengan bagian bawah atap candi. Bidang-bidang datar tubuh candi di kanan kiri relung diberi hiasan medalion dengan motif daun-daunan, binatang dan makara. Bilik candinya berukuran 1,90 x 1,90 meter dengan tinggi 2,60 meter.
4. Atap Candi
Bagian atap candi sekarang sudah tidak utuh lagi, tetapi masih menunjukkan tiga tingkatan yang dibatasi oleh dua bingkai pelipit berukir yang di atasnya terdapat hiasan berupa deretan miniatur candi. Hiasan-hiasan ini membentuk satu tingkatan atap, semacam itu pulalah tingkatan atap yang di atasnya. Namun, atap candi yang ada sekarang ini tinggal tingkat pertama dan sebagian tingkat kedua, sedangkan atap tingkat ke tiga sena, bagian puncaknya telah hilang. Atas dasar perbandingan dengan puncak atap candi-candi Jawa Timur pada umumnya, serta bentuk atap di atas relung Candi Kidal sendiri, dapat diduga bahwa atap Candi Kidal dahulu berbentuk kubus.
B. Arca-Arca
Di dalam bilik candi tidak diketemukan arca selain sebuah yoni. Di dalam bilik ini diperkirakan dahulu berdiri arca Siwa yang sekarang disimpan di Royal Tropical Institute Amsterdam. Arca tersebut dalam sikap berdiri, tingginya 1,23 meter dan bertangan empat. Tangan kanan belakang memegang aksamala (tasbih), tangan kiri belakang membawa camara.
Kedua tangan depan ditekuk di muka dada, telapak, tangan kiri terbuka menghadap ke atas, sedangkan telapak tangan kanan ada di atas telapak tangan kiri dalam sikap menggenggam dengan ibu jari diarahkan ke atas. Sikap demikian ini menunjukkan ciri yang khas bagi arca perwujudan. Di sampingnya terdapat bunga teratai yang keluar dari bonggolnya, ini merupakan ciri khas gaya seni arca zaman Singosari. Data inilah yang memperkuat dugaan bahwa arca Siwa tersebut kemungkinan besar merupakan perwujudan dari Raja Anusapati.
Seandainya dugaan bahwa arca Siwa tersebut memang benar merupakan perwujudan dari Anusapati, hal ini sangat sesuai dengan apa yang tercatat di dalam kitab kesastraan Nagarakertagama. Dalam kitab tersebut khususnya pupuh 74 dan 75 disebutkan bahwa jumlah tempat suci yang termasuk dharma haji atau dharma dalm (segala jenis bangunan suci yang diperuntukkan raja) ada 27 buah, di antaranya adalah Kagenengan, Jajaghu, Pikatan, Weleri, Sukalila, Kumitir, dan Kidal. Bahkan, dalam pupuh 37 nyata-nyata disebutkan bahwa Raja Hayam Wuruk mengunjungi Candi Kidal, dalam rangka aktivitas keagamaan yang selalu menghormati nenek moyangnya.
Menurut de Haan, temuan area lain yang berasal dari Candi Kidal adalah arca Nandicwara dan Mahakala. Arca-arca ini biasanya menempati relung-relung di kanan kiri pintu masuk candi. Selain itu, menurut Bosch, arca lain yang pemah ditemukan adalah arca duduk yang diperkirakan dari agama Budha.
4. Riwayat Penelitian
Secara kronologis beberapa ahli yang pernah meneliti Candi Kidal adalah sebagai bcrikut:
1. Thomas Stamford Reffles menulis pertama kali tentang Candi Kidal pada tahun 1817. Candi ini disebutnya dengan nama Candi Kedal. Keadaannya masih diselimuti oleh hutan. Tinggi bangunan 35 kaki (kurang lebih 10 meter), berhiaskan arca singa yang menonjol pada setiap sisinya. Relief lain berupa naga yang kepalanya saling melilit, jambangan air, serta relief yang menggambarkan seorang wanita.
2. Pada tahun 1867, Brumund melaporkan bahwa Candi Kidal keadaannya sudah bersih dari pepohonan. Ia menemukan dinding sebelah timur, utara, dan selatan, relung, relief garuda, naga, dan lainnya.
3. Di dalam laporan Belanda Notulen van het Bataviaasch Genootschaap tahun 1883 jilid XXI disebutkan tentang adanya usaha konservasi, pembersihan rumput dan lumut pada bagian bangunan candi, terutama pada hiasan medalion-medalionnya.
4. De Haan pada tahun 1925 ketika mendapat tugas memperbaiki Candi Kidal menyatakan bahwa Candi Kidal mempunyai dua ruangan, yaitu bilik candi dan bilik di dalam atap candi.
5. F.D.K. Bosch meneliti sejarah dan ikonografi (seni arca) nya. Ia mengatakan bahwa Candi Kidal didirikan sebagai pendarmaan Raja Anusapati. Agama yang mendukungnya adalah agama Hindu karena terdapat relief Garuda yang merupakan kendaraan Dewa Wisnu. Penelitian Bosch ini ditulis dalam bukunya Tjandi Kidal, Historische en Iconographische Beschrijving ROD tahun 1925.
6. Pada tahun 1928, dalam laporan kepurbakalaan OV (Oudheidkllndig Verslag), disebutkan tentang adanya kegiatan perbaikan pagar candi yang disertai dengan pembuatan selokan untuk pengaturan air di sisi timur.
7. Bernet Kempers dalam bukunya Ancient Indonesien Art terbitan tahun 1959 mengatakan bahwa Candi Kidal dibangun untuk pemakaman Raja Anusapati dari Singasari yang meninggal pada tahun 1248 M.
8. Soekmono tahun 1974 dalam disertasinya yang berjudul Candi, Fungsi dan Pengertiannya mengatakan bahwa candi bukan makam, melainkan sebagai kuil. Ia menyebutkan pula bahwa Candi Kidal berfungsi sebagai kuil.
9. Pada tahun 1976, Satyawati Suleiman dalam bukunya Monuments of Ancient Indonesia mengatakan bahwa Candi Kidal diperuntukkan bagi Anusapati, Raja Singasari. Dikatakannya pula bahwa arca Siwa yang sekarang disimpan di Royal Tropical Institue di Amsterdam berasal dari Candi Kidal.
5. Pemugaran
Mengingat betapa sangat pentingnya nilai sejarah Candi Kidal dalam kerangka historiografi Sejarah Indonesia yang sekaligus merupakan tonggak warisan budaya bangsa, padahal keadaan fisiknya begitu parah, sudah sewajarnya apabila kemudian diadakan usaha pelestarian dengan cara pemugaran atas candi tersebut.
Pemugaran Candi Kidal dilaksanakan sejak tahun anggaran 1987/1988 sampai dengan 1989/1990, melalui Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur.
Pengertian pemugaran atas benda cagar budaya ringkas adalah upaya perbaikan dan pemulihan kembali sejauh mungkin pada keasliannya atas dasar bahan-bahan asli serta kelengkapan datanya. Pelaksanaan pemugaran harus mampu menjamin bahwa setiap unsur benar-benar dikembalikan pada tempat aslinya sesuai dengan fungsinya semula dan dapat bertahan pada waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, di dalam setiap pelaksanaan pemugaran harus didahului dengan disertasi dengan studi, baik studi kelayakan maupun studi teknis, persiapan pemugaran, pelaksanaan pemugaran, dan penataan lingkungan bahkan setelah selesai, perlu studi evaluasi. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam pelaksanaan kegiatan pemugaran Candi Kidal juga tercakup beberapa kegiatan, antara lain sebagai berikut.
1) Studi kelayakan dan studi teknis untuk memperoleh data sehingga dapat diketahui bahwa benar-benar masih layak untuk dipugar sesuai kondisi dan data-data teknis bangunan.
2) Persiapan pelaksanaan pemugaran sesuai dengan rencana, misalnya pembuatan bengkel kerja, pendokumentasian (foto dan gambar), pembuatan perancah serta perhitungan batu yang rusak/hilang.
3) Pembongkaran susunan percobaan, penggambaran, pendokumentasian, dan pemasangan kembali batu-batu asli maupun pengganti.
4) Konservasi batu-batu sebelum dan sesudah dipasang kembali.
5) Penataan lingkungan serta penanaman agar sedap dipandang tanpa mengaburkan data arkeologisnya.
6. Penutup
Candi Kidal sebagai peninggalan sejarah dan purbakala merupakan bukti autentik sebagai bentuk nyata yang menyimpan dan memancarkan nilai serta ide-ide filosofis luhur yang pernah dihayati oleh bangsa kita. Kini sebagai bangsa yang sedang membangun, kita sangat memerlukan warisan itu sebagai sumber inspirasi untuk bertindak maju mencapai cita-cita bangsa. Untuk itu diperlukan usaha-usaha pelestarian pemanfaatan peninggalan sejarah dan purbakala tersebut agar dapat diwariskan kepada generasi selanjutnya. Suatu peninggalan yang telah dipugar sesuai dengan bentuk aslinya, berarti kelestariannya dapat dipertahankan. Hal ini banyak memberi manfaat bagi pendidikan, ilmu pengetahuan, sumber sejarah, sarana rekreasi, sosial budaya, serta sosial ekonomi.
Candi Kidal harus bebas dari corat coret yang tidak bertanggungjawab atau vandalisme, bebas dari polusi, baik yang diakibatkan oleh meningkatnya arus wisatawan maupun akibat meningkatnya perkembangan kependudukan. Oleh karena itu, partisipasi masyarakat sangatlah dibutuhkan dalam upaya bersama bangsa kita untuk melestarikan warisan budaya serta jati diri bangsaIndonesia, sesuai dengan jiwa yang terkandung dalam Undang-undang No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.
Penyusun: Drs. Edi Triharyantoro, Disain Grafis: Risman Marah
Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Candi Kidal: cagar budaya di wilayah Malang Jawa Timur. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan, Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Depdikbud, 1992/1993.
[21/3 19.00] rudysugengp@gmail.com: Pemecutan Majapahit
PEMECUTAN-BEDULU-MAJAPAHIT
Sejarah Puri Pemecutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberadaan Arya Damar dan Sejarah Puri Tabanan di Bali. Keberadaan Puri Pemecutan berkaitan dengan sejarah Majapahit dan Kerajaan Bedulu di Bali
Minggu, 10 Januari 2010
*CANDI KIDAL*
(Pedarmaan Prabu Anusapati )
Candi Kidal (tinggi 12,5 m, luas: 35 m2) terletak didesa Rejokidal s1ekitar 0 km sebelah timur kota Malang - Jawa Timur. Candi Kidal dibangun pada 1248 M, bertepatan dengan berakhirnya upacara pemakaman Cradha untuk Raja Anusanatha (Anusapati), pengganti Raja Rajasa Sang Amurwabhumi. Anusapati diarcakan sebagai Siwa dan ditempatkan di ruang utama candi. Namun sekarang ini arca tersebut tidak berada pada tempatnya lagi
Candi ini menghadap Barat mempunyai tinggi 12,5 meter diperkirakan selesai pembangunannya sekitar tahun 1260. candi Kidal terbuat dari batu andesit dan berdimensi geometris vertikal. Kaki candi nampak agak tinggi dengan tangga masuk keatas kecil-kecil seolah-olah bukan tangga masuk sesungguhnya. Ukuran tubuh candi lebih kecil dibandingkan luas kaki serta atap candi, sehingga menekankan kesan ramping. Atap candi terdiri atas tiga bagian dengan bagian paling atas mempunyai permukaan cukup luas tanpa hiasan atap seperti ratna atau stupa. Masing-masing lapisan disisakan ruang agak luas dan diberi hiasan . Konon katanya tiap pojok lapisan atap candi dulu tempat berlian kecil.
Candi Kidal adalah satu-satunya candi di Jawa yang memiliki narasi cerita Garuda terlengkap. Cerita ini dipahatkan pada kaki candi dan cara membacanya dengan prasawiya (berjalan berlawanan arah jarum jam) dimulai dari sisi sebelah selatan. Relief pertama menggambarkan Garuda menggendong 3 ekor ular besar, relief kedua melukiskan Garuda dengan kendi diatas kepalanya, dan relief ketiga Garuda meyangga seorang wanita diatasnya. Diantara ketiga relief tersebut, relief kedua adalah yang paling indah dan masih utuh.
Pahatan terindah terdapat dibelakang (sebelah timur) yaitu menggambarkan Garuda sedang membawa Amarta Pahatan Kala sudah lain dengan pahatan dari Jawa Tengah karena rahang bawahnya ditampakkan. Dari daftar buku pengunjung yan ada nampak bahwa Candi kidal tidaklah sepopuler temannya Candi Singosari, Jago atau Jawi. Hal ini karena Candi Kidal terletak jauh dipedesaan, tidak banyak diulas oleh pakar sejarah dan jarang ditulis pada buku-buku panduan pariwisata. Lokasi candi ini sendiri berada dipinggir jalan utama desa, namun karena terletak menjorok agak ke dalam sehingga sulit dilihat sebelum benar-benar tepat berada di depan gerbang masuk kawasan candi.
Hiasan kepala kala nampak menyeramkan dengan matanya melotot penuh. Mulutnya terbuka dan nampak dua taringnya yang besar dan bengkok memberi kesan dominan. Adanya dua taring tersebut juga merupakan ciri khas candi corak Jawa Timuran. Disudut kiri dan kanan terdapat jari tangan dengan mudra (sikap) mengancam. Maka sempurnalah tugasnya sebagai penjaga bangunan suci candi.
dari usianya, Candi Kidal merupakan candi paling tua dari peninggalan candi-candi di Jawa Timur. Hal ini karena periode Airlangga (11-12 M) dan (Kediri (12-13 M) tidak meninggalkan sebuah candi, kecuali Candi Belahan dan Jolotundo yang sesungguhnya bukan merupakan candi melainkan pertirtaan. Bertitik tolak dari uraian diatas, dengan masih memiliki corak Jawa Tengahan dan mengandung unsur Jawa Timuran, maka Candi Kidal dibangun pada masa transisi dari kedua periode tersebut. Bahkan Candi Kidal disebut sebagai prototipe candi periode Jawa Timur-an.
Arca Mahakala dan Nandiswara yang terletak pada kaki anak tangga
Dilihat Nama Kidal sendiri sangat mungkin berasal dari bentuk ragam hias candi makam Anusapati yang tidak lazim, dimana umumnya ragam hias terutama relief-relief pada candi bersifat paradaksina (sansekerta = searah jarum jam, dari kanan ke kiri), tetapi Candi Kidal justru bersifat prasawya (sansekerta = berlawanan arah jarum jam, dari kiri ke kanan). Kidal sendiri dalam bahasa Jawa Kuno bermakna "kiri".
Sebuah pertanyaan, mengapa dipahatkan relief garuda (garudeya) pada candi kidal ? Apa hbungannya dengan Anusapati ? Kemungkinan besar sebelum meninggal, Anusapati berpesan kepada keluarganya agar kelak dicandi yang didirikan untuknya supaya dibuatkan relief Garudeya. Dia sengaja berpesan demikian karena bertujuan meruwat ibunya, Kendedes, yang sangat dicintainya, yang selalu menderita dan selama hidupnya belum sepenuhnya menjadi wanita utama.
Dalam kesusasteraan Jawa kuno, terdapat cerita populer dikalangan rakyat yaitu Garudeya, yakni kisah perjalanan garuda dalam membebaskan ibunya dari perbudakan dengan penebusan air suci amerta.
Dikisahkan bahwa Kadru dan Winata adalah dua bersaudara istri Resi Kesiapa. Kadru mempunyai anak angkat tiga ekor ular dan Winata memiliki anak angkat garuda. Kadru yang pemalas merasa bosan dan lelah mengurusi tiga anak angkatnya yang nakal-nakal karena sering menghilang diantara semak-semak. Timbullah niat jahatnya Kadru untuk menyerahkan tugas ini kepada winata. Diajaklah Winata bertaruh pada warna ekor kuda putih Uccaihswara yang sering melewati rumah mereka, dengan catatan yang kalah harus menuruti segala perintah pemenang. Kadru menganggap warnanya adalah hitam sedangkan Winata menganggap warnanya adalah putih. Relief Garudeya dengan air amerta, terletak disisi timur candi
Para ular tahu bahwa ibu mereka salah. Mereka memberi tahu Kadru, ibunya. Kadru kemudian membuat rencana agar anak-anaknya, para ular mengubah warna ekor kuda Uccaihswara dengan bisanya. Usaha ibu beranak itu berhasil, Winata kalah dan dijadikan budak oleh Kadru. Sejak saat itu Winata diperintahkan melayani segala keperluan Kadru dan mengasuh ketiga ular setiap hari. Winata selanjutnya meminta tolong pada Garudeya, anaknya utnuk membantu (relief pertama).
Ketika Garudeya tumbuh besar, dia bertanya kepada ibunya mengapa dia harus menjaga ketiga saudara angkatnya. Setelah diceritakan tentang pertaruhan kuda Uccaihswara, maka Garudeya mengerti. Ditanyakanlah kepada ketiga ular tersebut bagaimana caranya supaya ibunya dapat terbebas dari perbudakan ini. Dijawab oleh ular "bawakanlah aku air suci amerta yang disimpan di kahyangan serta dijaga para dewa dan berasal dari lautan susu". Garudeya menyanggupi dan segera mohon ijin ibunya untuk berangkat ke kahyangan.
Motif hiasan yang berbentuk medalion yang dipenuhi beragam hias tumbuh-tumbuhan, bunga-bungaan dan sulur-suluran Tentu saja para dewa tidak menyetujui keinginan Garudeya sehingga terjadi perkelahian. Namun para dewa dapat dikalahkan. Melihat hal ini Batara Wisnu turun tangan dan Garudeya dapat dikalahkan. Setelah mendengar cerita Garudeya tentang keinginannya mendapatkan amerta, maka Batara Wisnu memeperbolehkan dengan syarat Garudeya harus mau jadi kendaraan tunggangannya. Garudeya menyetujui, sehingga bisa membawa air amerta kembali turun ke bumi (relief kedua).
Sejak saat itu pula Garudeya menjadi tunggangan Batara Wisnu. Dan dengan bekal air suci amerta inilah akhirnya Garudeya dapat membebaskan ibunya dari perbudakan atas Kadru. Hal ini digambarkan pada relief ketiga dimana Garudeya dengan gagah perkasa menggendong ibunya dan bebas dari perbudakan.
Hal menonjol lainnya adalah kepala kala yang dipahatkan diatas pintu masuk dan bilik-bilik candi. Kala, salah satu aspek dewa Siwa dan umumnya dikenal sebagai penjaga bangunan suci. Hiasan kepala kala candi Kidal nampak menyeramkan dengan matanya melotot, mulutnya terbuka dan nampak 2 taringnya yang besar dan bengkok memberi kesan dominan. Adanya 2 taring tersebut juga merupakan ciri khas Kala corak Jawa Timuran. Disudut kiri dan kanannya terdapat jari tangan dengan mudra (sikap) mengancam. Maka sempurnalah tugasnya sebagai penjaga bangunan suci candi
Disekeliling candi terdapat sisa-sisa pondasi dari sebuah tembok keliling yang berhasil digali kembali sebagai hasil pemugaran tahun 1990-an tersebut. Terdapat tangga masuk menuju kompleks candi disebelah barat melalui tembok tersebut namun sulit dipastikan apakah memang demikian aslinya. Jika dilihat dari perspektif tanah diluar kompleks candi, nampak dataran asli candi Kidal agak menjorok kedalam sekitar 1 meter. Apakah dataran candi tersebut merupakan permukaan tanah sesungguhnya jaman dulu sementara tanah luarnya akibat dari bencana alam seperti banjir, gunung meletus, dsb ? tidak dapat diketahui dengan pasti.
Dirunut dari usianya, candi Kidal merupakan candi tertua dari peninggalan candi-candi periode Jawa Timur paska periode Jawa Tengah (abad ke 5 – 10 M). Hal ini karena periode Mpu Sindok (10 M), Airlangga (11 M) dan Kediri (12 M) sebelumnya tidak meninggalkan sebuah candi yang masih utuh keberadaanya sampai sekarang, kecuali candi Belahan (di Gempol) dan Jolotundo (di Trawas) yang sesungguhnya bukan merupakan candi melainkan pentirtaan. Sesungguhnya ada candi yang lebih tua yakni Kagenengan yang menurut versi kitab Negarakretagama tempat di-dharma-kannya, Ken Arok, ayah Anusapati,. Namun sayang candi ini sampai sekarang belum pernah ditemukan.
Bertitik tolak dari uraian diatas, dengan masih memiliki corak Jawa Tengahan dan mengandung unsur Jawa Timuran, maka candi Kidal dibangun pada masa transisi dari kedua periode tersebut. Bahkan candi Kidal disebut sebagai prototipe candi periode Jawa Timuran.
*RUWATAN*
Berbeda dengan candi-candi gaya Jawa Tengahan, candi Jawa Timuran berfungsi sebagai tempat pen-dharma-an (memuliakan) raja, sementara candi-candi Jawa Tengah umunya dibangun untuk keagungan agama yang dianut raja beserta masyarakatnya. Seperti dijelaskan dalam kitab Negarakretagama bahwa raja Wisnuwardhana didharmakan di candi Jago, Kertanegara di candi Jawi dan Singosari, Hayam Wuruk di candi Ngetos, dsb.
Dalam filosofi Jawa asli, candi juga berfungsi sebagai tempat ruwatan raja yang telah meninggal supaya kembali suci dan dapat menitis kembali menjadi dewa. Ide ini berkaitan erat dengan konsep "Dewa-Raja" yang berkembang kuat di Jawa saat itu. Dan untuk menguatkan prinsip ruwatan tersebut sering dipahatkan relief-relief cerita moral dan legenda pada kaki candi yang berkaitan erat dengan sejarah atau ide sang raja selama hidupnya. Contoh pada candi Jago dengan cerita Tantri, Parthayadnya, Arjunawiwaha, dan Krenayana, candi Surowono dengan cerita Arjunawiwaha, Bubuksah Gagang-Aking, dan Sri Tanjung, candi Tigowangi dengan cerita Sudamala, dll. Berkaitan dengan prinsip tersebut, serta sesuai dengan kitab Negarakretagama, maka candi Kidal merupakan tempat diruwatnya raja Anusapati dan dimuliakan sebagai dewa Siwa. Sebuah patung Siwa yang indah dan sekarang masih tersimpan di museum Leiden - Belanda diduga kuat berasal dari candi Kidal.
*Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa dipahatkan relief Garudeya pada candi Kidal ? Apa hubungannya dengan Anusapati ? Kemungkinan besar sebelum meninggal, Anusapati berpesan kepada keluarganya agar kelak candi yang didirikan untuknya supaya dihiasi dengan cerita Garudeya. Dia sengaja berpesan demikian karena bertujuan meruwat ibunya, Kendedes, yang sangat dicintainya, namun selalu menderita selama hidupnya dan belum sepenuhnya menjadi wanita utama walaupun dalam kitab Pararaton dia disebut sebagai Ardanareswari atau wanita utama.*
*Dalam prasati Mula Malurung, dikisahkan bahwa Kendedes adalah putri Mpu Purwa yang cantik jelita tiada tara dari pedepokan Ponowijen di daerah Malang selatan. Kecantikan Kendedes begitu tersohor hingga akuwu Tunggul Ametung terpaksa menggunakan kekerasan untuk dapat menjadikan dia sebagai prameswarinya (istri utama). Setelah menjadi istri Tunggul Ametung, ternyata Kendedes pula menjadi penyebab kematian suaminya yang sekaligus ayah Anusapati karena dibunuh oleh Ken Arok, ayah tirinya. Hal ini terjadi karena Ken Arok, ditaman Boboji kerajaan Tumapel, secara tak sengaja melihat ada bagian tubuh Kendedes yang memancarkan sinar kemilau. Setelah diberitahu oleh pendeta Lohgawe guru spiritualnya bahwa wanita mana saja yang mengeluarkan sinar demikian adalah wanita ardanareswari yakni wanita yang mampu melahirkan trah raja-raja besar di Jawa dan sesuai dengan ambisi Ken Arok yang ingin menjadi raja maka diapun membunuh Tunggul Ametung dan memaksa kawin dengan Kendedes. Sementara itu setelah mengawini Kendedes, ternyata Ken Arok juga memiliki istri lain bernama Ken Umang. Dan menurut cerita tutur Ken Arok lebih menyayangi Ken Umang daripada Kendedes; Sehingga Kendedes terabaikan.*
*Berlandaskan uraian diatas maka pemberian cerita Garudeya pada candi Kidal oleh Anusapati tiada lain bertujuan untuk meruwat ibunya Kendedes yang cantik jelita namun nestapa selama hidupnya. Anusapati sangat berbakti dan mencintai ibunya. Dia ingin ibunya menjadi suci kembali sebagai wanita utama dan sempurna lepas dari penderitaan serta nestapa.*
Lanang Dawan di 17.26
[21/3 19.15] rudysugengp@gmail.com: nahwatravel.com
*9 Candi di Malang – Sejarah dan Mitosnya Terlengkap*
August 19, 2024 by Nahwa Travel
Candi di Malang – Kawasan Malang raya banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai pusat pendidikan dan pusat wisata. Namun banyak yang belum tahu kalau di Malang terdapat berbagai macam candi yang juga terdapat di Malang raya.
Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa dahulu Malang merupakan pusat pemerintahan kerajaan Singosari. Kerajaan Singosari sendiri merupakan kerajaan pecahan Kediri yang didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222 M. Kerajaan Singasari sendiri merupakan kerajaan Hindu dan ini juga mempengaruhi arsitektur candi pada saat itu.
Wisata Candi di Malang
Daftar Isi
Wisata Candi di Malang
1. Candi Singosari Malang
2. Candi Kidal Malang
3. Candi Sumberawan
4. Candi Bocok
5. Candi Jago
6. Candi Jawar
7. Candi Badut
8. Candi Telih
9. Candi Songgoriti
Bagi anda yang menyukai kegiatan wisata sejarah, sangat cocok apabila memasukkan wisata candi di Malang sebagai list liburan anda berikutnya. Kami editor NahwaTravel memasukkan 9 candi di yang dapat anda kunjungi ketika di Malang, Jawa Timur :
1. Candi Singosari Malang
Candi Singosari merupakan salah satu candi terkenal di Malang bahkan Jawa Timur. Nama candi inipun juga sama dengan nama lokasi yakni Singosari. Ini merupakan candi perpaduan Hindu-Budha dan dibangun sekitar abad ke 12. Candi Singasari di dedikasikan pembangunannya kepada raja terakhir Kerajaan Singasari, Kertanegara dimana beliau tewas dalam serangan yang dilakukan oleh tentara Gelang gelang pimpinan Jayakatwang. Di sekitar Candi terdapat berbagai arca Hindu namun anehnya candi dibangun dengan perbaduan Hindu-Budha. Ini merupakan 2 agama besar saat itu di Kerajaan Singasari.
Lokasi Candi Singosari sendiri sekitar 10km dari pusat kota Malang ke arah Surabaya. Tepatnya di desa Candirenggo, Kecamatan Singosari Kabupaten malang.
2. Candi Kidal Malang
Berikutnya adalah candi Kidal, candi ini juga merupakan candi peninggalan kerajaan Singosari. Juga memiliki corak sama seperti Candi Singosari yakni bercorak Hindu-Budha dan juga dibangung pada abad ke 12.
Pembangunan candi Kidal merupakan sebuah penghormatan terhadap raja Anusapati. Dimana beliau memimpin Singosari selama 2 dekade sekitar 1227-1248 M. Raja Anusapati sendiri juga meninggal karena dibunuh oleh Panji Tohjaya. Karena menganggap dia lebih berjasa besar terhadap perkembangan kerajaan pada waktu itu.
Candi Kidal biasanya dikunjungi oleh wisatawan yang pulang dari Gunung Bromo dimana candi ini ada di desa Rejokidal Kecamatan Tumpang Kab Malang.
3. Candi Sumberawan
Candi Sumberawan merupakan sebuah candi di malang yang bercorak Budha, dimana candi ini hanya berupa sebuah stupa saja. Tempat ini terletak di desa Toyomarto, Kecamatan Singosari yang terletak di kaki Gunung Arjuna. Terletak kurang lebih 6km dari candi Singosari.
Candi ini baru ditemukan kembali pada tahun 1904 dan baru dilakukan pemugaran pada tahun 1934. Saat ini sudah tampak terlihat lebih bagus setelah pemugaran dan masuk dalam kawasan cagar alam kabupaten Malang.
4. Candi Bocok
Candi Bocok merupakan salah satu candi di malang yang mencuri perhatian kami. Karena walaupun bangunan candi ini tidak terlalu istimewa, di Candi Bocok terdapat arca Siwa dan sangat detil bentuknya. Ini merupakan sebuah kelebihan.
Konon arca Siwa ini pernah dicuri oleh orang yang tidak bertanggun jawab. Namun saat ini arca tersebut telah kembali dan disimpan oleh sang juru kunci bapak Muljianto.
Candi Bocok merupakan penginggalan kerajaan Majapahit saat kepemimpinan prabu Hayam Wuruk. Lokasi candi ada di dusun Bocok desa Pondokagung kecamatan Kasembon Kab Malang.
5. Candi Jago
Candi Jago ini lokasinya hampir berdekatan dengan candi Kidal dimana sama sama terletak di kecamatan Tumpang. Candi Jago ini juga merupakan peninggalan kerajaan Singosari yang dibangun sekitar abad ke 13.
Ada kejadian luar biasa yang terjadi pada candi ini yakni pernah tersambar petir sehingga membuat bangunan candi tidak utuh lagi. Candi jago ini cocok apabila anda berkunjung ke bromo. Karena lokasinya ada di tengah tengah kecamatan Tumpang yang merupakan salah satu meeting point saat ke Bromo.
6. Candi Jawar
Candi Jawar merupakan candi peninggalan Majapahit. Candinya terlihat unik cuman berbentuk gapura namun tepat menghadap ke Gunung Semeru. Candi Jawar terletak di desa Mulyoasri kecamatan Ampel Gading Kab Malang. Di daerah perbatasan dengan Lumajang yang merupakan sisi selatan timur dari Kabupaten Malang.
Keunikan lain dari candi Jawar adalah bangunannya yang cuman sendirian dan tidak memiliki komplek lengkap seperti kebanyakan candi. Candi Jawar ini terletak pada ruang terbuka dan dipenuhi dengan rumput dan ilalang.
7. Candi Badut
Candi Badut merupakan candi Hindu peninggalan dari Prabu Gajayanan dari Kerajaan Kanjuruhan, sebuah kerajaan yang lebih tua dari kerajaan Singosari. Diperkirakan candi Badut ini didirikan sekitar tahun 760 M. Lokasi candi berada di barat kota Malang tepatnya di Kecamatan Dau, kab Malang.
Candi Badut berada dalam sebuah komplek yang tertata rapi dan ditemukan pertama kali pada tahun 1921 oleh seorang pekerja Belanda.
8. Candi Telih
Candi Telih merupakan sebuah candi di malang yang terletak di sekitar Dusun Donogragal, Desa Donowarih Karangploso. Bangunan candi Telih tidak terlalu istimewa sehingga tidak terlalu banyak warga yang mengunjungi. Hanya memiliki tinggi sekitar 2 m dan sangat terpencil, jarak dari desa terdekat sekitar 4 km.
Bangunan candi Telih menghadap ke Candi Arjuno besar. Kemungkinan dulunya candi ini merupakan tempat untuk bersemedi bagi para sesepuh zaman dahulu.
9. Candi Songgoriti
Agak naik ke atas, apabila anda pernah mendengar sebuah nama daerah di Batu dengan nama Songgoriti. Ternyata di Songgoriti ada sebuah Candi di malang. Masyarakat memberikan nama Candi Songgoriti walaupun aslinya namanya adalah candi Supo.
Candi songgoriti yang merupakan peninggalan Mpu Sindok raja pertama Kerajaan Medang. Candi ini pertama kali ditemukan oleh seorang arkeolog Belanda bernama Van I Isseldijk pada tahun 1799. Lokasinya pun sangat mudah ditemukan karena bertempat di kompleks Pemandian Air Panas Songgoriti, tidak jauh dari Taman Rekreasi Tirta Nirwana.
Itulah ke 9 candi yang telah kami kumpulkan dari berbagai sumber yang ada. Bagi anda yang membutuhkan informasi mengenai transportasi seperti travel malang ke juanda anda dapat menghubungi Nahwa Travel.
Kami telah berpengalaman sejak tahun 2013 dan mengantarkan ribuan penumpang tiap bulan berwisata di Surabaya, Malang dan sekitarnya.
[21/3 19.25] rudysugengp@gmail.com: CANDI DI MALANG
(Pindahkan ke ...)
▼
Jumat, 28 Juli 2017
CANDI SINGOSARI
Hasil gambar untuk candi singosari
Candi Singhasari atau Candi Singasari atau Candi Singosari adalah candi Hindu - Buddha peninggalan bersejarah Kerajaan Singhasari yang berlokasi di Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Indonesia tepat nya Jl. Kertanegara No.148, Candirenggo, Singosari, Malang, Jawa Timur 65153
Cara pembuatan candi Singhasari ini dengan sistem menumpuk batu andhesit hingga ketinggian tertentu selanjutnya diteruskan dengan mengukir dari atas baru turun ke bawah. (Bukan seperti membangun rumah seperti saat ini). Candi ini berlokasi di Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, (sekitar 10km dari Kota Malang) terletak pada lembah di antara Pegunungan Tengger dan Gunung Arjuna di ketinggian 512 m di atas permukaan laut.
Menurut Negarakertagama
Berdasarkan penyebutannya pada Kitab Negarakertagama pupuh 37:7 dan 38:3 serta Prasasti Gajah Mada bertanggal 1351 M di halaman komplek candi, candi ini merupakan tempat "pendharmaan" bagi raja Singasari terakhir, Sang Kertanegara, yang mangkat pada tahun 1292 akibat istana diserang tentara Gelang-gelang yang dipimpin oleh Jayakatwang. Kuat dugaan, candi ini tidak pernah selesai dibangun.
Struktur dan kegunaan bangunan
Komplek percandian menempati areal 200 m × 400 m dan terdiri dari beberapa candi. Di sisi barat laut komplek terdapat sepasang arca raksasa besar (tinggi hampir 4m, disebut Dwarapala) dan posisi gada menghadap ke bawah, ini menunjukkan meskipun penjaganya raksasa tetapi masih ada rasa kasih sayang terhadap semua mahkluk hidup dan ungkapan selamat datang bagi semuanya. Dan posisi arca ini hanya ada di Singhasari, tidak ada di tempat ataupun kerajaan lainnya. Dan di dekatnya arca Dwarapala terdapat alun-alun. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa candi terletak di komplek pusat kerajaan. Letak candi Singhasari yang dekat dengan kedua arca Dwarapala menjadi menarik ketika dikaitkan dengan ajaran Siwa yang mengatakan bahwa dewa Siwa bersemayam di puncak Kailasa dalam wujud lingga, batas Timur terdapat gerbang dengan Ganesha (atau Ganapati) sebagai penjaganya, gerbang Barat dijaga oleh Kala dan Amungkala, gerbang Selatan dijaga oleh Resi Agastya, gerbang Utara dijaga oleh Batari Gori (atau Gaurī). Karena letak candi Singhasari yang sangat dekat dengan kedua arca tersebut yang terdapat pada jalan menuju ke Gunung Arjuna, penggunaan candi ini diperkirakan tidak terlepas dari keberadaan gunung Arjuna dan para pertapa yang bersemayam di puncak gunung ini pada waktu itu.
Bangunan candi utama dibuat dari batu andesit, menghadap ke barat, berdiri pada alas bujur sangkar berukuran 14 m × 14 m dan tinggi candi 15 m. Candi ini kaya akan ornamen ukiran, arca, dan relief. Di dalam ruang utama terdapat lingga dan yoni. Terdapat pula bilik-bilik lain: di utara (dulu berisi arca Durga yang sudah hilang), timur yang dulu berisi arca Ganesha, serta sisi selatan yang berisi arca Siwa-Guru (Resi Agastya). Di komplek candi ini juga berdiri arca Prajnaparamita, dewi kebijaksanaan, yang sekarang ditempatkan di Museum Nasional Indonesia, Jakarta. Arca-arca lain berada di Institut Tropika Kerajaan, Leiden, Belanda, kecuali arca Agastya.
di Juli 28, 2017 Tidak ada komentar:
Berbagi
CANDI SONGGORITI
Hasil gambar untuk candi songgoriti
Candi Supo atau yang lebih sering disebut Candi Songgoriti terletak berdekatan dengan Taman Rekreasi Tirta Nirwana, Songgoriti. Lebih tepatnya berada di dalam kompleks Pemandian Air Panas Alami (PAPA) dan Hotel Songgoriti. Namun keberadaan candi ini tidak banyak diketahui oleh para wisatawan dari luar Kota Batu sebab daya tarik utama di area ini adalah Taman Rekreasi Songgoriti dan bukan Candi Songgoriti.
Candi ini ditemukan kali pertama oleh seorang arkeolog Belanda bernama Van I Isseldijk tahun 1799 M, kemudian pelaksanaan renovasinya dilakukan oleh arkeolog Belanda lainnya yaitu Rigg tahun 1849 M dan Brumund pada tahun 1863 M. Tahun 1902 M, Knebel melakukan inventarisasi situs Candi Songgoriti dan dilanjutkan dengan renovasi besar-besaran tahun 1921 M. Renovasi terakhir dilaksanakan pada tahun 1938.
Suasana Lokasi Candi Songgoriti
Candi Supo adalah satu-satunya peninggalan Mpu Sindok di Kota Batu. Beliau adalah raja pertama kerajaan Medang periode Jawa Timur yang memerintah sekitar tahun 929-947. Menurut sejarahnya; kisah Candi Songgoriti ini berawal dari keinginan Mpu Sindok yang ingin membangun tempat peristirahatan bagi keluarga kerajaan di pegunungan yang didekatnya terdapat mata air. Seorang petinggi kerajaan bernama Mpu Supo diperintah Mpu Sindok untuk membangun tempat tersebut. Dengan upaya yang keras, akhirnya Mpu Supo menemukan suatu kawasan yang sekarang lebih dikenal sebagai kawasan Wisata Songgoriti. Atas persetujuan Raja, Mpu Supo mulai membangun kawasan Songgoriti sebagai tempat peristirahatan keluarga kerajaan berikut sebuah candi yang diberi nama Candi Supo. Di tempat peristirahatan tersebut terdapat sumber mata air yang mengalir dingin dan sejuk seperti semua mata air di wilayah pegunungan. Mata air dingin tersebut sering digunakan mencuci keris-keris bertuah sebagai benda pusaka dari kerajaan Sindok. Oleh karena sumber mata air ini sering digunakan untuk mencuci benda-benda kerajaan yang bertuah dan mempunyai kekuatan supranatural (magic) yang maha dahsyat, akhirnya sumber mata air yang semula terasa dingin dan sejuk berubah menjadi sumber air panas. Sumber air panas itupun sampai saat ini menjadi sumber abadi di kawasan Wisata Songgoriti.
Bagian-bagian Candi Songgoriti
Candi Songgoriti terbuat dari batu andesit dan pondasinya dari batu bata. Ukuran candi ini 14,50 meter x 10 meter dengan tinggi 2,5 meter, dibangun di atas sumber mata air panas. Hampir seluruh wujud asli dari candi ini sudah hancur. Hiasan patung-patung yang menghiasi badan candi pun sudah banyak yang tidak berbentuk sehingga sulit untuk diidentifikasi. Namun meski dalam kondisi seperti itu, bagaimanapun juga keberadaan candi tersebut sangatlah berarti sebagai bukti tuanya usia peradaban di Kota Batu.
Mitos Air Pasang Giri
Sumber Air Dingin <> Sumber Air Panas
Candi Songgoriti juga menyimpan sebuah keunikan yang mungkin tidak ditemukan di candi-candi lainnya yakni, sumber mata air dingin yang disebut air Pasang Giri. Sumber mata air dingin ini menyembul di tengah-tengah sumber mata air panas dengan ukuran kolam hanya 75 cm x 75 cm. Sangat sulit untuk dipahami bahwa bangunan candi yang dikelilingi sumber mata air panas, di tengah-tengahnya menyembul sumber mata air dingin. Letak mata air dingin persis di tengah-tengah bangunan candi bagian belakang. Namun tak banyak wisatawan yang mengetahui keunikan tersebut.
Makam Mpu Supo
Tak jauh dari bangunan Candi Songgoriti atau tepatnya sekitar 100 meter seberang jalan kanan Hotel Songgoriti, berdiri bangunan rumah berornamen lawas dengan cat putih kombinasi kuning biru. Tak banyak juga wisatawan tahu, kalau di dalam bangunan rumah yang dibangun tahun 1962 itu, bersemayam ‘arwah’ moksa Mpu Supo atau juga dikenal sebagai Mbah Pathok. Sampai sekarang rumah ini dikenal sebagai Pesarean Mbah Pathok atau Mpu Supo.
di Juli 28, 2017 Tidak ada komentar:
Berbagi
CANDI KIDAL
Candi Kidal di Tumpang, Malang, Jawa Timur
Candi Kidal adalah salah satu candi warisan dari kerajaan Singasari. Candi ini dibangun sebagai bentuk penghormatan atas jasa besar Anusapati, Raja kedua dari Singhasari, yang memerintah selama 20 tahun (1227 - 1248). Kematian Anusapati dibunuh oleh Panji Tohjaya sebagai bagian dari perebutan kekuasaan Singhasari, juga diyakini sebagai bagian dari kutukan Mpu Gandring.
Candi Kidal secara arsitektur, kental dengan budaya Jawa Timuran, telah mengalami pemugaran pada tahun 1990. Candi kidal juga memuat cerita Garudeya, cerita mitologi Hindu, yang berisi pesan moral pembebasan dari perbudakan. Sampai sekarang candi masih terjaga dan terawat.
Anusapati - Sang Garuda Yang Berbakti
Penggalan pupuh dalam kitab Negarakretagama, sebuah kakawin kaya raya informasi tentang kerajaan Majapahit dan Singosari, menceritakan hal yang berkaitan dengan raja Singosari ke-2, Anusapati, beserta tempat pendharmaannya di candi Kidal.
Bathara Anusapati menjadi raja
Selama pemerintahannya tanah Jawa kokoh sentosa
Tahun caka Persian Gunung Sambu (1170 C - 1248 M) dia berpulang ke Siwabudaloka
Cahaya dia diujudkan arca Siwa gemilang di candi Kidal
(Nagarakretagama : pupuh 41 / bait 1, Slamet Mulyono)
Lokasi
Terletak di desa Rejokidal, kecamatan Tumpang, sekitar 20 km sebelah timur kota Malang - Jawa Timur, candi Kidal dibangun pada 1248 M, bertepatan dengan berakhirnya rangkaian upacara pemakaman yang disebut Cradha (tahun ke-12) untuk menghormat raja Anusapati yang telah meninggal. Setelah selesai pemugaran kembali pada dekade 1990-an, candi ini sekarang berdiri dengan tegak dan kokoh serta menampakkan keindahannya. Jalan menuju ke Candi Kidal sudah bagus setelah beberapa tahun rusak berat. Di sekitar candi banyak terdapat pohon-pohon besar dan rindang, taman candi juga tertata dengan baik, ditambah lingkungan yang bernuansa pedesaan menambah suasana asri bila berkunjung kesana.
Dari daftar buku pengunjung yang ada nampak bahwa Candi Kidal tidak sepopuler “teman”-nya candi Singosari, Jago, atau Jawi. Ini diduga karena Candi Kidal terletak jauh di pedesaan, tidak banyak diulas oleh pakar sejarah, dan jarang ditulis pada buku-buku panduan pariwisata.
Keistimewaan Candi Kidal
Kepala Batara Kala di atas gerbang masuk Candi Kidal.
Namun candi Kidal sesungguhnya memiliki beberapa kelebihan menarik dibanding dengan candi-candi lainnya tersebut. Candi Kidal terbuat dari batu andesit dan berdimensi geometris vertikal. Kaki candi nampak agak tinggi dengan tangga masuk keatas kecil-kecil seolah-olah bukan tangga masuk sesungguhnya. Badan candi lebih kecil dibandingkan luas kaki serta atap candi sehingga memberi kesan ramping. Pada kaki dan tubuh candi terdapat hiasan medallion serta sabuk melingkar menghiasi badan candi. Atap candi terdiri atas 3 tingkat yang semakin keatas semakin kecil dengan bagian paling atas mempunyai permukaan cukup luas tanpa hiasan atap seperti ratna (ciri khas candi Hindu) atau stupa (ciri khas candi Budha). Masing-masing tingkat disisakan ruang agak luas dan diberi hiasan. Konon tiap pojok tingkatan atap tersebut dulu disungging dengan berlian kecil.
Hal menonjol lainnya adalah kepala kala yang dipahatkan di atas pintu masuk dan bilik-bilik candi. Kala, salah satu aspek Dewa Siwa dan umumnya dikenal sebagai penjaga bangunan suci. Hiasan kepala kala Candi Kidal nampak menyeramkan dengan matanya melotot, mulutnya terbuka dan nampak dua taringnya yang besar dan bengkok memberi kesan dominan. Adanya taring tersebut juga merupakan ciri khas candi corak Jawa Timuran. Di sudut kiri dan kanannya terdapat jari tangan dengan mudra (sikap) mengancam. Maka sempurnalah tugasnya sebagai penjaga bangunan suci candi.
Pemugaran
Di sekeliling candi terdapat sisa-sisa pondasi dari sebuah tembok keliling yang berhasil digali kembali sebagai hasil pemugaran tahun 1990-an. Terdapat tangga masuk menuju kompleks candi disebelah barat melalui tembok tersebut namun sulit dipastikan apakah memang demikian aslinya. Jika dilihat dari perspektif tanah sekeliling dengan dataran kompleks candi, nampak candi kompleks Kidal agak menjorok kedalam sekitar 1 meter dari permukaan sekarang ini. Apakah dataran candi merupakan permukaan tanah sesungguhnya akibat dari bencana alam seperti banjir atau gunung meletus tidak dapat diketahui dengan pasti.
Dirunut dari usianya, Candi Kidal merupakan candi tertua dari peninggalan candi-candi periode Jawa Timur pasca Jawa Tengah (abad ke-5 – 10 M). Hal ini karena periode Mpu Sindok (abad X M), Airlangga (abad XI M) dan Kediri (abad XII M) sebelumnya tidak meninggalkan sebuah candi, kecuali Candi Belahan (Gempol) dan Jolotundo (Trawas) yang sesungguhnya bukan merupakan candi melainkan petirtaan. Sesungguhnya ada candi yang lebih tua yakni Candi Kagenengan yang menurut versi kitab Nagarakretagama tempat di-dharma-kannya, Ken Arok, ayah tiri Anusapati. Namun sayang candi ini sampai sekarang belum pernah ditemukan.
Relief Garuda
Relief I: Garuda melayani para ular
Relief II: Garuda mengambil tirta amerta
Relief III: Garuda menyelamatkan ibunya
Pada bagian kaki candi terpahatkan 3 buah relief indah yang menggambarkan cerita legenda Garudeya (Garuda). Cerita ini sangat popular dikalangan masyarakat Jawa saat itu sebagai cerita moral tentang pembebasan atau ruwatan Kesusastraan Jawa kuno berbentuk kakawin tersebut, mengisahkan tentang perjalanan Garuda dalam membebaskan ibunya dari perbudakan dengan penebusan air suci amerta.
Cerita ini juga ada pada candi Jawa Timur yang lain yakni di candi Sukuh (lereng utara G. Lawu). Cerita Garuda sangat dikenal masyarakat pada waktu berkembang pesat agama Hindu aliran Waisnawa (Wisnu) terutama pada periode kerajaan Kahuripan dan Kediri. Sampai-sampai Airlangga, raja Kahuripan, setelah meninggal diujudkan sebagai dewa Wisnu pada candi Belahan dan Jolotundo, dan patung Wisnu di atas Garuda paling indah sekarang masih tersimpan di museum Trowulan dan diduga berasal dari candi Belahan.
Narasi cerita Garudeya pada candi Kidal dipahatkan dalam 3 relief dan masing-masing terletak pada bagian tengah sisi-sisi kaki candi kecuali pintu masuk. Pembacaannya dengan cara prasawiya (berjalan berlawanan arah jarum jam) dimulai dari sisi sebelah selatan atau sisi sebelah kanan tangga masuk candi. Relief pertama menggambarkan Garuda dibawah 3 ekor ular, relief kedua melukiskan Garuda dengan kendi di atas kepalanya, dan relief ketiga Garuda menggendong seorang wanita. Di antara ketiga relief tersebut, relief kedua adalah yang paling indah dan masih utuh.
Dikisahkan bahwa Kadru dan Winata adalah 2 bersaudara istri resi Kasiapa. Kadru mempunyai anak angkat 3 ekor ular dan Winata memiliki anak angkat Garuda. Kadru yang pemalas merasa bosan dan lelah harus mengurusi 3 anak angkatnya yang nakal-nakal karena sering menghilang di antara semak-semak. Timbullah niat jahat Kadru untuk menyerahkan tugas ini kepada Winata. Diajaklah Winata bertaruh pada ekor kuda putih Uraiswara yang sering melewati rumah mereka dan yang kalah harus menurut segala perintah pemenang. Dengan tipu daya, akhirnya Kadru berhasil menjadi pemenang. Sejak saat itu Winata diperintahkan melayani segala keperluan Kadru serta mengasuh ketiga ular anaknya setiap hari. Winata selanjutnya meminta pertolongan Garuda untuk membantu tugas-tugas tersebut. (relief pertama).
Ketika Garuda tumbuh besar, dia bertanya kepada ibunya mengapa dia dan ibunya harus menjaga 3 saudara angkatnya sedangkan bibinya tidak. Setelah diceritakan tentang pertaruhan kuda Uraiswara, maka Garuda mengerti. Suatu hari ditanyakanlah kepada 3 ekor ular tersebut bagaimana caranya supaya ibunya dapat terbebas dari perbudakan ini. Dijawab oleh ular "bawakanlah aku air suci amerta yang disimpan di kahyangan serta dijaga para dewa, dan berasal dari lautan susu". Garuda menyanggupi dan segera mohon izin ibunya untuk berangkat ke kahyangan. Tentu saja para dewa tidak menyetujui keinginan Garuda sehingga terjadilah perkelahian. Namun berkat kesaktian Garuda para dewa dapat dikalahkan. Melihat kekacauan ini Bathara Wisnu turun tangan dan Garuda akhirnya dapat dikalahkan. Setelah mendengar cerita Garuda tentang tujuannya mendapatkan amerta, maka Wisnu memperbolehkan Garuda meminjam amerta untuk membebaskan ibunya dan dengan syarat Garuda juga harus mau menjadi tungganggannya. Garuda menyetujuinya. Sejak saat itu pula Garuda menjadi tunggangan Bathara Wisnu seperti nampak pada patung-patung Wisnu yang umumnya duduk di atas Garuda. Garuda turun kembali ke bumi dengan amerta. (relief kedua).
Dengan bekal air suci amerta inilah akhirnya Garuda dapat membebaskan ibunya dari perbudakan atas Kadru. Hal ini digambarkan pada relief ketiga dimana Garuda dengan gagah perkasa menggendong ibunya dan bebas dari perbudakan. (relief ketiga)
Ruwatan
Berbeda dengan candi-candi Jawa Tengah, candi Jawa Timuran berfungsi sebagai tempat pen-dharma-an (kuburan) raja, sedangkan candi-candi Jawa Tengah dibangun untuk memuliakan agama yang dianut raja beserta masyarakatnya. Seperti dijelaskan dalam kitab Negarakretagama bahwa raja Wisnuwardhana didharmakan di candi Jago, Kertanegara di candi Jawi dan Singosari, Hayam Wuruk di candi Ngetos, dsb.
Dalam filosofi Jawa asli, candi juga berfungsi sebagai tempat ruwatan raja yang telah meninggal supaya kembali suci dan dapat menitis kembali menjadi dewa. Ide ini berkaitan erat dengan konsep Dewaraja yang berkembang kuat di Jawa saat itu. Dan untuk menguatkan prinsip ruwatan tersebut sering dipahatkan relief-relief cerita moral dan legenda pada kaki candi, seperti pada candi Jago, Surowono, Tigowangi, Jawi, dan lain lain. Berkaitan dengan prinsip tersebut, dan sesuai dengan kitab Negarakretagama, maka candi Kidal merupakan tempat diruwatnya raja Anusapati dan dimuliakan sebagai Siwa. Sebuah patung Siwa yang indah dan sekarang masih tersimpan di museum Leiden - Belanda diduga kuat berasal dari candi Kidal. Sebuah pertanyaan, mengapa dipahatkan relief Garudeya? Apa hubungannya dengan Anusapati?.
Kemungkinan besar sebelum meninggal, Anusapati berpesan kepada keluarganya agar kelak candi yang didirikan untuknya supaya dibuatkan relief Garudeya. Dia sengaja berpesan demikian karena bertujuan meruwat ibunya, Kendedes, yang sangat dicintainya, namun selalu menderita selama hidupnya dan belum sepenuhnya menjadi wanita utama.
Dalam prasati Mula Malurung, dikisahkan bahwa Kendedes adalah putri Mpu Purwa dari pedepokan di daerah Kepanjen – Malang yang cantik jelita tiada tara. Kecantikan Ken Dedes begitu tersohor hingga akuwu Tunggul Ametung, terpaksa menggunakan kekerasan untuk dapat menjadikan dia sebagai istrinya prameswari. Setelah menjadi istri Tunggul Ametung, ternyata Ken Dedes juga menjadi penyebab kematian suaminya yang sekaligus ayah Anusapati karena dibunuh oleh Ken Arok, ayah tirinya.
Hal ini terjadi karena Ken Arok, yang secara tak sengaja ditaman Boboji kerajaan Tumapel melihat mengeluarkan sinar kemilau keluar dari aurat Kendedes. Setelah diberitahu oleh pendeta Lohgawe, bahwa wanita mana saja yang mengeluarkan sinar demikian adalah wanita ardanareswari, yakni wanita yang mampu melahirkan raja-raja besar di Jawa. Sesuai dengan ambisi Ken Arok maka diapun membunuh Tunggul Ametung serta memaksa kawin dengan Kendedes. Sementara itu setelah mengawini Kendedes, Ken Arok masih juga mengawini Ken Umang dan menurut cerita tutur Ken Arok lebih menyayangi istri keduanya daripada Ken Dedes; Sehingga Ken Dedes diabaikan.
Berlandaskan uraian di atas, maka pemberian relief Garudeya pada candi Kidal oleh Anusapati bertujuan untuk meruwat ibunya Ken Dedes yang cantik jelita namun nestapa hidupnya. Anusapati sangat berbakti dan mencintai ibunya. Dia ingin ibunya menjadi suci kembali sebagai wanita sempurna lepas dari penderitaan dan nestapa.
di Juli 28, 2017 Tidak ada komentar:
Berbagi
CANDI SUMBERAWAN
Terletak sekitar 6 km ke arah barat laut dari Candi Singosari, perjalanan menuju Candi Sumberawan dihiasi dengan kehidupan masyarakat desa dengan latar pegunungan. Di tepian jalan yang kecil, bergelombang, dan berbatu, sesekali tampak petani tengah berjalan memikul pacul tanpa alas kaki. Senyum pun kerap kali dilontarkan. Perjalanan menuju candi ini memang agak sulit. Selain harus berhati-hati dalam berkendara, petunjuk jalan dan arah yang kurang detil memaksa pengunjung mau tak mau untuk berhenti sejenak dan bertanya arah kepada penduduk lokal.
Picture
Setelah bertanya arah beberapa kali, kami sampai di kawasan serupa tempat pemandian umum terbuka di mana beberapa anak terlihat sedang mandi, juga perempuan tengah mencuci baju. Tampak di sebelah kanan, sebuah plang sederhana dari kayu menunjukkan jarak 400 meter menuju candi serta bentuk panah mengarah pada jalan setapak di antara pinggiran sawah dan parit berair jernih. Tak yakin dengan arah, seorang ibu dengan seember cucian di atas kepalanya meyakinkan kami bahwa itu adalah jalan menuju candi yang kami maksud. Motor pun kami tuntun sambil kami berjalan pelan.
Hamparan sawah yang baru ditanam serta aliran air yang begitu bening membuat kami terkagum. Setelah menyebrangi jembatan sempit, kami sampai di antara rindang pepohonan. Motor kami parkir di sini. Seorang tukang bakso menjamin aman kendaraan, serta memberitahu posisi candi di balik rindang hijau. Tapi kami tak langsung pergi, melainkan duduk sejenak menikmati pesona dan sejuknya alam sekitar: hamparan sawah, rindangnya pepohonan, serta gemericik mata air pegunungan. Semangkuk bakso mengisi rasa lapar kami. Sesekali terdengar kicau merdu burung dan nyanyian serangga di balik pepohonan.
Picture
Melangkah mengikuti jalan setapak di antara pepohonan, akhirnya kami tiba di Candi Sumberawan. Dikelilingi hanya oleh pagar kawat dengan papan pengumuman yang telah berlumut dan informasi seadanya, tampak sebuah bangunan berbatu andesit, begitu menonjol dan menarik pandangan kami
Sebuah Stupa Misterius
Tak banyak paparan bisa kita temukan mengenai candi yang berlokasi di sebuah telaga kaki Gunung Arjuna (650 DPL), Desa Toyonarto, Kab. Malang ini. Candi Sumberawan pertama kali ditemukan kembali pada tahun 1845 oleh Belanda. Tahun 1937, pemugaran dilakukan terhadap kaki candi.
Picture
Candi Sumberawan merupakan canti tunggal yang hanya terdiri dari kaki, badan, dan kepala yang meruncing ke atas. Pada batur candi terdapat selasar berlapis-lapis dengan kaki berbentuk bujur sangkar. Sedangkan bagian selanjutnya, adalah lapis berbentuk segi delapan yang menopang genta. Perpaduan geometris yang menggabungkan bentuk persegi dan lingkaran yang diciptakan, sungguh menjadi kombinasi yang unik dan cerdas. Ujung atas candi sengaja dibiarkan kosong karena bagian tersebut masih belum ditemukan. Tidak ada tangga atau relief apapun yang mengarah pada patung dewa, benda, maupun sosok suci, sehingga mengindikasikan Candi Sumberawan sebagai sebuah wujud stupa utuh. Diduga, bentuk Candi Sumberawan mirip dengan stupa induk di tingkat Arupadhatu di puncak Candi Borobudur, yang melambangkan pencapaian menuju Nirwana. Candi dengan bentuk stupa biasanya dibangun sebagai bentuk Buddha dengan fungsi untuk menyimpan relik Sang Buddha atau ziarah. Bentuk stupa dapat pula diasosiasikan dengan gunung yang menjadi makna dari sebuah kebesaran dan keagungan: Sang Maha Pencipta.
Sumber Kedamaian dan Keselarasan Alam
Candi Sumberawan merupakan satu-satunya stupa dengan ukuran terbesar yang ditemukan di Jawa Timur. Candi ini memberi indikasi mulai menyebarnya Buddha di Singosari. Diprediksi, Candi Sumberawan dibangun sekitar abad ke-14 hingga 15 Masehi pada masa Majapahit. Menurut sejarah, Raja Hayam Wuruk sempat berkunjung di tahun 1359 M. Pada Kitab Negarakertagama, kawasan di mana Candi Sumberawan berada, dinamai Kasurangganan yang berarti taman yang dipenuhi oleh bidadari/malaikat (Garden of Angels). Sebutan tersebut tidaklah berlebihan mengingat letak candi yang dikelilingi oleh hutan dan berada tepat di sebuah telaga yang airnya langsung bersumber dari mata air pegunungan di mana nyanyian kodok hampir tak pernah berhenti. Tidak hanya indah dilihat mata, tetapi juga memberikan nuansa kedamaian dan ketenangan. Itulah kemudian mengapa candi dinamakan “Sumberawan.”
Picture
Masih di area candi, bisa kita temukan dua buah petirtaan. Di sebelah kiri, menuruni beberapa pijakan anak tangga, terdapat sebuah kolam kecil terbuka dengan patung yang mengaliri air. Air yang tidak pernah surut dan begitu jernih serta segar tersebut keluar dari gentong yang dipegang oleh patung Sang Dewi yang telah berlumut. Perlambang kesuburan dan fertilitas alam yang diasosiaskan dengan femininitas perempuan. Di sisi lain, adalah petirtaan dengan pijakan berbentuk segi delapan di mana pijakan yang paling bawah atau terdekat dengan air, memiliki relief kura-kura sebagai binatang air. Pengunjung diperbolehkan untuk mengambil air atau mengguyur badan pada petirtaan dengan izin dari juru kunci candi.
Picture
Candi Sumberawan masih dipergunakan oleh kalangan tertentu sebagai tempat yang sakral dan suci. Ini terlihat adanya sesajen bunga dan dupa yang dibakar menghadap candi. Masyarakat lokal juga masih menghormati dan menganggap candi sebagai tempat yang dikeramatkan. Hal tersebut berkaitan dengan peran penting candi yang mengalirkan sumber mata air bersih dan irigasi sawah bagi masyarakat di desa sekitar. Suasana yang damai dan sakral, mengundang banyak orang untuk melakukan ritual atau peribadahan di sekitar candi. Pengelola atau juru kunci mengizinkan pengunjung untuk melakukan semedi atau berdoa sambil menginap di ruangan khusus yang dibangun di dekat Candi Sumberawan. Tentu untuk menginap, dibutuhkan persyaratan khusus dan waktu yang tepat.
Picture
Mengunjungi Candi Sumberawan, tidak hanya memberikan sedikit potret mengenai sejarah masa lalu Jawa pada era Hindu-Buddha, melainkan sebuah pengalaman spiritual di mana kedamaian dan keindahan alam merupakan perpaduan yang mengiringi kehidupan fisik dan rohani manusia. Dari telaga mata air pegunungan yang berada di kawasan Candi Sumberawan, ternyata menyimpan siklus yang mengaliri berkah bagi kesuburan sawah-ladang penduduk, serta ketergantungan manusia terhadap kelestarian alam semesta bagi kehidupan.
Tips Perjalanan
Dari Kota Malang, Anda bisa menaiki kendaraan umum ke arah Singosari (sekitar 1,5-2 jam perjalanan) dan turun tepat di gapura bertuliskan Wisata Candi Singosari. Lokasi Candi Sumberawan masih terdapat di kawasan wisata candi serta situs bersejarah lainnya, tepatnya 6 km ke arah barat laut dari Candi Singosari. Jangan segan untuk bertanya pada penduduk sekitar karena penunjuk arah tidak terlalu jelas dan informatif.
Karena memiliki banyak candi dan situs bersejarah dengan jarak yang berjauhan, sebaiknya menyewa kendaraan bermotor di Kota Malang untuk mempermudah penelusuran menuju berbagai situs Kerajaan Singosari. Namun, terdapat banyak ojek yang bisa disewa untuk pulang-pergi. Sebaiknya tawarkan harga untuk berkeliling ke lokasi lebih dari satu candi dan situs lainnya dengan harga sekitar Rp 50 ribu untuk sewa sekitar setengah hari.
Biasanya, tarif kunjungan dikenakan biaya sebesar Rp 2.000, tapi sebaiknya berikanlah donasi lebih kepada penjaga atau juru kunci candi karena mereka dibayar dengan sangat rendah, bahkan secara sukarela. Rumah makan hanya banyak ditemukan di sekitar Candi Singosari, dengan variasi bakso dan hidangan Jawa Timur-an.
di Juli 28, 2017 Tidak ada komentar:
Berbagi
CANDI JAGO
Foto: https://www.instagram.com/p/BFRWRMaHxnl
Candi Jago di Malang - merupakan candi yang berdiri sejak abad XIII pada masa kerajaan Singhasari (Singosari). Nama Candi Jago ini berasal dari kata Jajaghu. Letak Candi Jago adalah pada Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, yang bisa dtempuh sejauh 22 km ke arah timur dari kota Malang. Penduduk setempat sering menyebut Candi Jago sebagai Cungkup, ada juga yang menyebutnya sebagai Candi Tumpang.
Kali ini nnoart.com akan mengulas mengenai Candi Jago, yang merupakan salah satu peninggalan sejarah di Malang yang juga saat ini berfungsi juga sebagai salah satu objek wisata sejarah di Malang. Informasi yang diberikan dalam tulisan ini sebagian besar disadur dari Wikipedia serta beberapa lainnya dengan mengamati langsung di lapangan serta bertanya pada pengelola setempat.
Letak Candi Jago
Sebelum mempelajari banyak hal mengenai Candi Jago, ada baiknya untuk mengetahui terlebih dahulu lokasi tepat dari candi ini. Mungkin ada diantara pembaca yang lebih tertarik untuk menggali informasi lebih detailnya secara langsung di lapangan atau hanya sekedar untuk jalan-jalan saja.
Bagi pembaca yang ingin mengunjungi Candi Jago, dapat langsung melihat Google Maps di atas, yang menunjukan langsung lokasi dari candi ini di dusun Jago, Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Koordinatnya adalah pada 8°0′20,81″LU 112°45′50,82″BT atau bisa langsung klik pada "view larger map" pada Google Map di atas untuk menuju halaman peta yang lebih besar.
Cara Menuju Candi Jago
Jika dari kota Malang, berkendaralah sejauh kurang lebih 22 km ke arah timur, melalui Madyopuro – Cemorokandang – kecamatan Pakis – Tumpang atau bisa dengan mengikuti jalan Laksda Adisucipto (jalan menuju bandara), terus melewati Pakis hingga masuk Tumpang. Ikuti terus jalan utama hingga tiba di Pasar Tumpang yang berada di pusat kecamatan Tumpang. Candi Jago terletak kurang lebih 500 meter dari Pasar Tumpang. Oh iya, bagi yang ingin naik angkutan umum bisa ke Terminal Arjosari dan naik angkutan umum Malang – Tumpang hingga tiba di Pasar Tumpang. Anda bisa naik ojek dari sini atau berjalan kaki kurang lebih 10 menit.
Candi Jago berada diantara permukiman warga, tepat berada di depan SD Negeri Tumpang 02 di Jalan Wisnuwardhana. Pengelola candi menggunakan pagar kawat berduri untuk membatasi antara candi dengan permukiman warga.
Sejarah Candi Jago
Foto: https://www.instagram.com/p/BFRWRMaHxnl
Nama sebenarnya dari candi ini adalah Jajaghu (menurut kitab Negarakertagama dan Pararaton). Jajaghu merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut suatu tempat suci. Jajaghu sendiri artinya ‘keagungan’, yang seiring berjalannya waktu sekarang hanya disebut sebagai candi Jago, walaupun terkadang ada yang menyebutnya sebagai Candi Tumpang karena lokasinya atau warga setempat lebih sering menyebutnya Cungkup.
Candi Jago didirikan pada abad XIII tepatnya pada masa kejayaan Kerajaan Singhasari. Pada awal mula didirikan oleh Raja Kertanegara, Candi Jago dijadikan sebagai makam raja kerajaan Singhasari yang keempat yaitu Wishnuwardhana yang juga merupakan ayah dari Raja Kertanegara. Raja Wishnuwardhana sendri wafat pada tahun 1268 M. Candi tambahan didirikan dan ditambahkan Arca Manjusri oleh Adityawarman (sekarang tersimpan di Museum Nasional bernomor inventaris D. 214).
Raja Kerajaan Singasari waktu itu, Wisnuwardhana, merupakan penganut agawa Syiwa Buddha yang merupakan aliran keagamaan perpaduan Hindhu Buddha (informasi dalam Pupuh 41 Gatra ke-4 Negarakertagama). Selama masa pemerintahan kerajaan Singasari, kerajaan yang terletak kurang lebih 20 kilometer dari Candi Jago, aliran Syiwa Buddha ini terus berkembang.
Hasil gambar untuk CANDI jago
Pembangunan Candi Jago dalam kitab Negarakertagama serta Pararaton berlangsung selama 12 tahun yaitu pada 1268 M – 1280 M. Walaupun Candi Jago lebih identik dengan kerajaan Singosari, namun disebut juga dalam Negarakertagama serta Pararaton bahwa Raja dari Kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk, sering mengunjungi candi ini sepanjang tahun 1359 M. Hubungan antara Candi Jago dengan Kerajaan Singhasari bisa juga dilihat dari pahatan teratai (padma) yang menghiasi tatakan arca-arcanya, dimana terlihat menjulur keatas dari bonggolnya. Motif teratai ini merupakan motif teratai populer pada masa Kerajaan Singasari. Dalam sejarah Candi, perlu dicermati juga kebiasaan raja-raja zaman dulu yang biasanya memugar candi-candi yang dibangun oleh raja-raja sebelumnya. Ada dugaan bahwa Raja Adityawarman dari Melayu, yang masih memiliki hubungan darah dengan Hayam Wuruk, pernah memugar Candi Jago pada tahun 1343 M.
di Juli 28, 2017 Tidak ada komentar:
Berbagi
CANDI BADUT
Candi Badut berlokasi di Jawa
Candi Badut
Lokasi di Pulau Jawa
Informasi umum
Gaya arsitektur Candi peralihan
Kota Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Negara Indonesia
Koordinat 7,957778°LS 112,598333°BT
Selesai 760
Detail teknis
Ukuran 17,27 m x 14,04 m
Hasil gambar untuk candi badut
Candi Badut adalah sebuah candi yang terletak di kawasan Tidar, di bagian barat kota Malang. Secara administratif candi badut terletak di Kelurahan Karang Besuki, Kecamatan Sukun, Kota Malang, Jawa Timur. Lokasi candi ini berada di dekat Universitas Ma Chung, sekitar 15 menit berjalan kaki dari sana ke arah Timur. Lokasi ini juga dapat ditempuh dengan kendaraan umum jurusan Tidar arah menuju Institut Teknologi Nasional. Lokasi tersebut dapat dilihat di [1].
Kata Badut diduga berasal dari bahasa Sanskerta Bha-dyut yang berarti sorot Bintang Canopus atau Sorot Agastya.
Usia
Candi ini diperkirakan berusia lebih dari 1400 tahun, merupakan yang tertua di Jawa Timur dan diyakini adalah peninggalan Prabu Gajayana, penguasa kerajaan Kanjuruhan sebagaimana yang termaktub dalam prasasti Dinoyo bertahun 760 Masehi. Candi Badut ini meninggalkan jejak purbakala sebagai peninggalan sejarah yang perlu di jaga dan dilestarikan keadaannya.
Bangunan
Para ahli menyatakan bahwa Candi Badut merupakan peralihan gaya bangunan Klasik dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Pada ruangan induk candi yang berisi lingga dan yoni, simbol Siwa dan Parwati. Sebagaimana umumnya percandian Hindu di Jawa, pada bagian dinding luar terdapat relung-relung yang semestinya berisi arca. Dua relung di kanan dan kiri pintu mestinya berisi arca Mahakala dan Nandiswara, relung utara untuk arca Durga Mahisasuramardini, relung timur untuk arca Ganesha, dan di sisi selatan terdapat relung untuk arca Agastya yakni Siwa sebagai Mahaguru. Namun di antara semua arca itu hanya arca Durga Mahisasuramardini yang tersisa di Candi Badut.
Penemuan
Candi ini ditemukan pada tahun 1921 berupa gundukan bukit batu, reruntuhan dan tanah. Orang pertama yang memberitakan keberadaan Candi Badut adalah Maureen Brecher, seorang kontrolir bangsa Belanda yang bekerja di Malang. Candi Badut dipugar kembali pada tahun 1925-1927 di bawah pengawasan B. De Haan dari Jawatan Purbakala Hindia Belanda. Dari hasil penggalian yang dilakukan pada saat itu diketahui bahwa bangunan candi telah runtuh sama sekali, kecuali bagian kaki yang masih dapat dilihat susunannya.
di Juli 28, 2017 Tidak ada komentar:
Berbagi
CANDI BOCOK
Hasil gambar untuk candi bocok
Kawasan Malang Barat rupanya juga menyimpan peninggalan sejarah. Salah satunya adalah Candi Bocok yang terletak di Dusun Bocok, Desa Pondokagung, Kasembon.
Keberadaan Candi ini tidak banyak dikenal oleh masyarakat luas. Salah satu sebabnya adalah Candi ini tidak tercantum dalam situs resmi Kabupaten Malang, dan juga catatan perjalanan wisata Malang Raya. Keadaan yang miris meskipun sebenarnya Candi ini letaknya cukup mudah digapai.
Dari jalan bisa Malang-Kediri, anda bisa belok kiri atau ke Selatan dari pertigaan Pom Bensin Kasembon, kemudian ke arah selatan menuju PLTA Siman dan PLTA Mandalan. Dari PLTA akan menemui Kasembon Rafting, obyek wisata alam arung jeram. Tetapi perjalanan anda masih terus hingga akhirnya ke Dusun Bacok. Dari Kantor Desa Pondokagung ada jalan persimpangan ke arah timur dan di sana akan ada Candi Bocok. Letaknya cukup mudah dan jika ragu tersesat lebih baik tanya kepada masyarakat sekitar.
Hasil gambar untuk candi bocok
Dari koran Malang Post, dikatakan jika Candi Bocok adalah candi yang sangat penting keberadaanya, karena di sana terdapat Arca Siwa, sebuah Arca yang kini posisinya disimpan oleh Muljianto, juru kunci Candi. Disimpannya Arca di rumah Muljianto disebabkan karena jika ditaruh di luar akan mengundang pencuri untuk mengambilnya, dan itu dibuktikan dengan beberapa kali kejadian.
Arca pernah dicuri pada tahun 1973, pelakunya dua orang dan akhirnya arca ditemukan di Surabaya. Di tahun 1986, Muljianto juga sempat didatangi oleh orang Bali, mereka memberikan tawaran berupa mobil, sepeda motor dan uang tunai Rp60 juta rupiah, jumlah yang sedemikian besar di masa itu tidak membuat sang juru kunci tergoda. Di tahun 2001, ada lagi penawar yang datang dengan membawa ganti patung serupa yang mirip aslinya, namun tetap tidak membuat Muljianto bergoyang. Penolakan-penolakan itulah yang akhirnya mengundang pencuri untuk datang sehingga arca kini diletakkan di dalam rumah. Apalagi konon dari sindikat yang ada pernah melakukan tawaran hingga milyaran kepada barang siapa yang bisa mencurinya.
Menurut Arkeolog Dwi Cahyono, Arca Siwa di Candi Bocok sangat istimewa karena merupakan peninggalan Hayam Wuruk dan dibuat dengan sangat detail. Selain Candi Bocok ada Candi Sapto yang berada di sana, sementara di daerah sekitar yang sudah masuk wilayah Kediri ada beberapa prasasti.
Diperkirakan Arca Siwa yang ada di Candi adalah Arca Dewaraja. Artinya, Raja Majapahit yang diarcakan dengan dewa yang dia puja selama hidup. Ketika hidup memuja Siwa, maka Ista Dewata-nya adalah diarcakan sebagai Siwa. Biasanya diarakan bersama Sakti-nya (Istri) yakni Parwati. Dewaraja sendiri merupakan konsep pemujaan yang menganggap Raja memiliki sifat dewa.
Tentang keberadaan Candi, dalam arsip Belanda yang berjudul Hindoe Javanche Kunst tahun 1923, dikatakan jika Candi Botjok pernah diteliti pada tahun 1902. NJ Kroom salah satu Arkeolog Belanda menyebut jika Candi tersebut berdiri pada 1358 Saka atau 1436 Masehi.
di Juli 28, 2017 Tidak ada komentar:
Berbagi
CANDI JAWAR
Gambar terkait
Di wilayah Malang Selatan, tepatnya di daerah Dusun Kaliputih, Desa Mulyoasri, Kecamatan Ampel Gading terdapat sebuah Candi peninggalan Agama Hindu. Candi Jawar namanya, sebuah Candi yang terletak di ketinggal 1400 di atas permukaan laut.
Candi Jawar ditemukan sekitar tahun 1982-1983 dengan kondisi terpendam di dalam tanah. Candi ini punya lantai yang berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 6×6 meter dengan tinggi 60cm pada bagian alas atau batur. Di sini terdapat empat batu berlubang yang digunakan untuk menegakkan tiang. Sedang keempat sisi Candi Jawar ini dihias relief tapak dara, pilaster, dan teratai.
Saat ditemukan kondisinya memang terbengkalai, tetapi dari penemuan itu terdapat peninggalan lain seperti guci, uang kuno, patung-patung yang sayangnya saat ini sudah tidak nampak bekasnya karena merupakan barang antik yang bisa jadi sudah berpindah tangan.
Candi ini digunakan oleh sekitar 74 keluarga Hindu di Kecamatan Ampel Gading, kompleks bangunan di sana mulai dibangun dan direnovasi pada 9 September 2014 sehingga fungsinya memang digunakan sebagai pura untuk beribadah umat Hindu.
Konon, lokasi ditemukannya candi tersebut dulunya digunakan oleh para pendeta, Raja, hingga toko spirtual, diceritakan jika dulu Raden Wijaya sebagai pendiri Majapahit kerap ke Candi Jawar yang dekat dengan Semeru tersebut untuk menghadap kepada Sang Hyang Widhi.
Candi Jawar dengan pendopo soko limo-nya mengarah ke arah timur, yaitu tepat ke Gunung Semeru. Sehingga penataan sendiri memang dikhususnya untuk menghormati pencipta melalui agama Hindu.
Untuk pergi ke sana memang tidak terlalu sulit, dari Kota Malang perjalanan dilakukan menuju ke Ampel Gading. Perjalanan ini ditempuh selama dua jam. Kemudian sesampai di Desa Mulyosari rute akan lebih menantang, tetapi akan dibayarkan dengan kondisi pemandangan yang luar biasa. Semerbak aroma dingin dari Puncak Mahameru sangat terasa, terkadang di siang hari kabut masih saja tebal menyambut para wisatawan.
di Juli 28, 2017 Tidak ada komentar:
Berbagi
CANDI TELIH
Hasil gambar untuk candi telih
Diantara seluruh Candi yang ada di Malang, Candi Telih bisa dikatakan sebagai Candi yang terlupakan, karena hampir tidak ada pengunjung di Candi ini. Kalaupun ada, kebanyakan adalah penduduk sekitar yang biasa mencari kayu bakar. Sementara pengunjung lain biasanya adalah penghobi motor trail.
Salah satu alasan kenapa jarang pengunjung di Candi tersebut adalah soal lokasinya yang sangat terpencil. Di lerang Gunung Mujur yang masuk daerah Singosari.
Lokasi Candi berada di ketinggian 1600 meter diatas permukaan laut. Untuk kesana juga membutuhkan nyali besar karena akan melewati jalan setapak sejauh 4 km dan hanya bisa dilalui dengan jalan kaki atau motor trail.
Jika ingin ke sana perjalanan bisa dimulai dari Dusun Donogragal, Desa Donowarih, Karangploso, menuju candi yang masuk wilayah Kecamatan Singosari itu.
Seperti diceritakan tim Jelalah 1000 Candi dari Radar Malang, Sekitar satu kilo pertama jalanan masih nyaman dilalui. Baru setelah sekitar dua kilometer dari titik pemberangkatan, jalanan makin sulit, bergelombang, berdebu dan menanjak. Tidak hanya itu, semakin ke atas, jalan makin menanjak dan sempit. Kemudian di kanan-kirinya banyak tumbuhan menjalar yang siap menampar wajah sewaktu-waktu.
Dari ukuran, Candi Telih itu termasuk kecil. Tingginya sekitar dua meter dan lebar bangunan dasarnya sekitar 2,5 meter. Candi memiliki dua bagian, bagian utama adalah bangunan candi yang letaknya di hamparan tanah yang posisinya lebih tinggi, sedangkan bagian kedua berupa tumpukan batu yang berada di lahan bagian bawah yang berjarak sekitar empat meter. Candi di bagian bawah itu memiliki tinggi sekitar 1,5 meter dan lebar 1,25 meter.
Menurut Juru Kunci Candi Telih, awal penemuan dari Candi ini terjadi pada tahun 60-an saat sedang ada Gestapu (G30S PKI). Saat ditemukan kondisinya sangat mengenaskan karena sebagian Candi hancur karena cuaca sekitar ataupun terkena reruntuh pohon. Karena itu sang ayah kemudian menata hingga kondisinya lebih rapi seperti ini.
Seorang Arkeolog yang pernah dipublikasikan di Malang Post yaitu Dwi Cahyono menerangkan jika memang tidak banyak sumber yang menerangkan asal muasal Candi. Hal ini terjadi akibat tidak ada satupun prasasti yang ada, bisa jadi prasasti masih tertimbun di tanah. Namun, bentuk Candi yang secara sepintas adalah peninggalan dari Singosari yang dipengaruhi oleh tradisi Megalitik.
Unsur megalitik terlihat dari susunan batu berundak dan ditemukannya menhir di pusat pendopo teras. Sayang, ketiadaan tahun membuat identifikasi semakin sulit. Ditambah lagi penataan Candi hanya ditumpuk saja dan tidak didasarkan pada konstruksi arkeologis.
Sementara, Menurut Suryadi, budayawan asal Tumpang, keberadaan Candi Telih diperkirakan sudah sejak zaman Tumapel di masa pemerintahan Tunggul Ametung. Namun, ada juga yang menyebut candi itu peninggalan Ken Arok atau masa Kerajaan Singhasari (1222–1227 M). Termasuk ada yang menyebut Candi Telih dibangun di akhir masa Singhasari. Candi Telih digunakan sebagai tempat pemujaan terhadap dewa gunung. Tradisi pemujaan itu tetap berlangsung hingga zaman Kerajaan Singhasari.
Jika dilihat dari posisi Candi Telih yang menghadap ke Gunung Arjuno, keberadaan Candi ini bisa diidentifikasikan sebagai tempat pertapaan yang bisa menjadi tempat penyimpanan dan pemujaan arwah lelulur karena orientasi persemayaman arwah ada di puncak Arjuno. Alasan ini karena dalam ritus megalitik ada konsep Di Hyang, yaitu pemujaan terhadap arwah leluhur. Dalam hal ini puncak Arjuno yang dianggap sebagai gunung suci.
candizamanprasejarah.blogspot.com
Amazing Malang
Li Ninghat
[21/3 19.29] rudysugengp@gmail.com: beritalima.com
Menu Mobile
Beritalima.com
*Sejarah Dan Kemegahan Candi – Candi Di Kabupaten Malang*
Redaksi
Jumat, 28 September 2018 | 05:25 WIB
MALANG, beritalima – Di Jawa Timur, beragam candi tersebar di berbagai kota dimana setiap candi memiliki ciri khas tersendiri sesuai dengan pengaruh kerajaan yang berkuasa di masa laluCandi di Jawa Timur yang pertama adalah candi singhasari. Candi Singhasari atau Singosari merupakan salah satu yang diciptakan sebagai bentuk penghormatan Raja Kertanegara, yaitu raja yang membawa masa puncak kejayaan Kerajaan Singhasari.
Terletak di daerah Singosari, Kabupaten Malang, candi yang bercorak Hindu ini dibangun pada sekitar tahun 1300 M. Karena jarak yang tidak jauh dan mengarah pada Gunung Arjuna, maka fungsinya diperkirakan masih berkaitan dengan aktivitas para pertapa dan ritual keagamaan di gunung tersebut. Lokasi candi yang dekat dengan Kota Batu dan Kota Malang sebagai pusat wisata juga menambah ketenaran candi peninggalan salah satu kerajaan kuat di Pulau Jawa yakni Kerajaan Singosari.
Candi Singosari i salah satu destinasi wisata sejarah yang berda di Kabupaten Malang. salah satu candi peninggalan Kerajaan Singosari kebanyakan Candi-Candi yang ada di Jawa Timur mempunyai Bentuk dan ciri bangunannya sangat unik, Candi Singosari memiliki dua tingkatan bangunan karena memiliki hiasan candi luar yang umumnya rata. Namun, Candi Singosari ini memiliki hiasan yang tidak rata.
Candi Singosari ini berlokasi di Singosari, sekitara 9 km dari Malang ke arah Surabaya. Ada beberapa pengunjung maupun warga yang menyebutkan Candi Menara karena candi ini memiliki ukuran yang tertinggi di masanya dulu. Dan setidaknya, jika dibandingkan dengan candi yang lain. Saat ini Candi Singosari masih utuh.
Dinamakan Candi Singosari karena letaknya yang berada di wilayah Singosari, proses pembangunannya adalah dengan cara menumpukkan batu andhesit yang menghadap ke barat hingga mencapai ketinggian tertentu. Kemudian candi tersebut diukir dari atas ke bawah.
Candi Singosari sendiri berdiri di atas alas seluas 14 m x 14 m, sedangkan tinggi bangunan candi mencapai 15 m. Pintu utama candi menghadap ke barat dan terdapat ruang utama yang terdapat arca Lingga dan Yoni. Di halaman Candi Singosari terdapat beberapa arca, diantaranya yaitu arca Siwa, Durga dan Lembu Nandini.
Candi Singosari yang berdiri kokoh merupakan saksi kejayaan kerajaan Singosari yang didirikan oleh Ken Arok. Berdasarkan beberapa bukti sejarah candi yang dituliskan pada Kitab Negarakertagama dan Prasasti Gajah Mada yang ditemukan di pelataran. Candi Singosari dibangun sebagai penghormatan kepada Raja Kertanegara.
Bagi pengunjung yang cinta akan budaya bisa datang ke Singosari bersama keluarga untuk bersantai sambil menitmati keindahan Candi Singosari yang bergitu megah yang menandakan betapa tingginya peradaban Jawa yang bisa menciptakan bangunan yang megah dan kokoh, wisatawan bisa mendapatkan penjelasan dari juru kunci mengenai sejarah dan keberadaan candi secara lengkap, pengunjung akan terhanyut seakan terbawa atau berada pada masa kerajaan Singosari yang terkenal dengan Raja Ken Arok.
Candi Jago berada di kawasan Tumpang. sekitar 22 kilometer jika wisatawan dari Kota Malang. Karena letaknya di Tumpang, ada beberapa orang yang menyebut jika ini adalah Candi Tumpang. Namun, warga setempat lebih menyebutnya sebagai cungkup.
Nah untuk nama Candi Jago sendiri sebenarnya memiliki makna keagungan .dari kata jajaghu. Panel relief Candi Jago memang sangat rapi, mulai dari kaki hingga dinding bagian ruang atasnya. Dan bisa dikatakan tak ada ruang kosong karena semua diisi hiasan dengan jalinan cerita mengenai perpisahan. Dan oleh karenanya, banyak yang menduga jika candi ini mengandung ajaran Hindu dan Buddha.
Candi yang berdiri sejak abad XIII pada masa kerajaan Singhasari (Singosari). Nama Candi Jago ini berasal dari kata Jajaghu. Letak Candi Jago adalah pada Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Pengunjung untuk dapat sampai ke Candi dengan jarak tempuh 22 km ke arah timur dari kota Malang. Penduduk setempat sering menyebut Candi Jago sebagai Cungkup, ada juga yang menyebutnya sebagai Candi Tumpang.
Kali ini akan mengulas mengenai Candi Jago, yang merupakan salah satu peninggalan sejarah di Malang yang juga saat ini berfungsi juga sebagai salah satu objek wisata sejarah di Malang. Informasi yang diberikan dalam tulisan ini sebagian besar disadur dari Wikipedia serta beberapa lainnya dengan mengamati langsung di lapangan serta bertanya pada pengelola setempat.
*Wisata Sejarah Malang ke Candi Jawar Ombo*
Candi Jawar Ombo sebuah bangunan peninggalan masa Hindu-Buddha yang ditemukan penduduk pada tahun 1983 dalam keadaan terpendam di dalam tanah.Penduduk setempat menyebutnya Candi Jawarombo, yang masuk wilayah Desa Mulyoasri, Kecamatan Ampel Gading, Kabupaten Malang, Jawa Timur.Candi ini tinggal bagian batur (alas) berdenah bujur sangkar dengan ukuran 6x6m dan tinggi 60cm.Pada lantai batur terdapat empat umpak batu yang berlubang pada bagian tengahnya untuk menegakkan tiang.Kaki candi berupa pelipit setengah lingkaran dan segi empat.
Keempat sisi batur dihiasi relief-relief yang menggambarkan teratai (lotus), pilaster, dan Tapak Dara.Pada sisi bangunan dihiasi dengan lima teratai, empat Tapak Dara dan 10 pilaster yang ditempatkan berselang-seling. Sedangkan pahatan sosok manusia pada relief digambarkan seperti wayang, gaya pahatan seperti relief-relief bangunan candi masa kerajaan Majapahit.
Situs Candi Jawar Ombo menghadap puncak Gunung Mahameru/Gunung Semeru, gunung tertinggi di Jawa Timur.Pintu masuk candi ada di selatan dengan adanya sisa-sisa bangunan gapura yang terbuat dari batu. Dilokasi ini ditemukan arca batu yang memegang gada, hal ini adalah ciri dari arca Dvarapala.Dvarapala merupakan arca yang ditempatkan di depan pintu atau gerbang menuju bangunan suci candi, yang dipercaya memiliki kekuasaan untuk melindungi dari berbagai serangan kekuatan jahat.
*Wisata Sejarah Malang ke Candi Sumberawan*
Candi Sumberawan adalah salah satu candi yang memiliki kaki, badan dan kepala yang runcing. Candi ini sendiri tidak memiliki tangga dan relief yang mengarah pada bagian patung dewa dan sosok yang suci. Sehingga sering candi ini disebut sebagai salah satu wujud dari stupa yang melambangkan pencapaian untuk menuju ke nirwana. Lokasi candi memang kurang detail, namun bisa dikatakan wisata sejarah Malang yang satu ini masih sangat alami.
Candi Sumberawan terletak di Desa Toyomarto, kecamatan Singosari. Candi ini mungkin tidak berbentuk selayaknya candi pada umumnya, candi Sumberawan hanya berbentuk seperti stupa dan merupakan candi Budha dan peninggalan dari kerajaan Singhasari.
Candi Sumberawan adalah peninggalan sejarah yang berasal dari sekitar abad 14 atau awal abad 15. Dalam prasasti Negarakertagama disebutkan bahwa, Candi Sumberawan diidentifikasikan sebagai Kasurangganan atau Taman Surga Nimfa dan telah dikunjungi oleh Raja Hayam Wuruk dari Majapahit di 1359. Candi Sumberawan pertama kali ditemukan pada tahun 1904 dan pada 1937 diadakan pemugaran oleh pemerintahan Hindia Belanda pada bagian khaki candi.
Candi sumberawan merupakan satu-satunya candi yang berbentuk stupa di Jawa Timur.
Candi Sumberawan tidak memiliki tangga naik ruangan di dalamnya yang biasanya digunakan untuk menyimpan benda suci. Jadi, hanya bentuk luarnya saja yang berupa stupa, tetapi fungsinya tidak seperti lazimnya stupa yang sesungguhnya. Diperkirakan candi ini dahulu memang didirikannya untuk pemujaan. Suasana yang teduh dan tenang di sekitar candi menjadikan tempat ini cocok untuk melakukan meditasi.
*Wisata Sejarah Malang ke Candi Kidal*
Sebenarnya Candi Kidal adalah wisata sejarah Malang yang menjadi tempat untuk persemayaman Raja Anusapati. Dan Candi Kidal ini adalah wisata sejarah Malang yang juga merupakan candi peninggalan dari Dinasti Singosari.
Candi hindu di Jawa Timur ini berada di Tumpang. Jika Anda ingin berkunjung ke kawasan ini, setidaknya Anda harus berkendara sekitar 20 km dari Kota Malang ke arah timur. Dapat dikatakan juga jika candi ini adalah candi pemujaan yang paling tua untuk kawasan Jawa Timur karena sudah ada sejak pemerintahan Airlangga sekitar 11–12 M.
*Candi Kidal* merupakan salah satu candi i, dan diperkirakan dibangun pada tahun 1248 Masehi. Dibangun untuk menghormati Raja kedua kerajaan singasari yaitu Raja Anusapati dan juga candi tersebut sebagai tempat doa kepada Ken Dedes Ibu dari Anusapati Anusapati memerintah pada tahun 1227 Masehi hingga 1248 Masehi, hingga akhirnya Anusapati meninggal dan diduga dibunuh oleh Panji tohjaya yang ingin menguasai kerajaan singasari pada masa itu. Hal ini, juga berhubungan dengan keris Empu Gandring dan kutukanya.
Candi Kidal juga merupakan salah satu yang masih berdiri kokoh hingga sekarang, Selain Candi Kidal, anda juga bisa mempelajari sejarah candi-candi kerajaan Hindu lainya seperti:
Candi ini terletak 20 kilometer di sebelah timur kota Malang, tepatnya di desa Rejokidul, kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang Jawa timur. Aristektur candi Kidal juga khas candi-candi kerajaan di Jawa Timur. Candi ini pernah dipugar pada tahun 1990, guna untuk menjaga salah satu warisan nenek moyang yang bersejarah. Candi ini juga menceritakan sebuah mitologi agama Hindu, Garudeya. Dimana menceritakan mengenai pembebasan perbudakan dan dari cerita itu kita bisa mengambil pesan moral yang bisa kita jadikan pelajaran. Hingga saat ini Candi Kidal masih cukup terjaga dan terawat.
Disekitar candi kidal masih banyak pohon-pohon rindang dan besar, dan juga terdapat taman disekitar candi yang terawat terawat dengan baik. Selain itu, disekitar candi ini juga terdapat rumah-rumah penduduk yang menghuni desa sekitar. Karena Candi Kidal terletak di pedesaan, candi ini tidak terlalu popular seperti candi Singosari, Candi Jago, ataupun candi Jawi. Dan Candi ini juga tidak terlalu banyak diulas oleh tokoh-tokoh sejarah maupun dalam catalog wisata. Karena candi ini memang tidak terlalu banyak fasilitas dari pemerintah.
*Wisata Sejarah Malang ke Pertirtaan Watu Gede*
Jika Anda ingin ke kawasan wisata sejarah Malang yang agak berbeda, Anda bisa mengunjungi Petirtaan Watugede. Ini adalah sebuah pemandian kuno yang memiliki bentuk segiempat persegi panjang dengan batu bata kuno di bagian pinggirnya yang memiliki ukuran sangat besar. Dan masih utuh untuk saat sekarang ini yang memiliki fungsi sebagai dinding untuk kolamnya.
Sejarah menyebutkan jika pertirtaan ini adalah tempat pemandian yang digunakan oleh raja dan putri raja saat masa Kerajaan Singosari. Dan tempat ini juga memiliki aliran air yang sangat jernih. Airnya yang keluar tidak pernah berhenti dan selalu mengalir. Selain bisa wisata sejarah Malang, Anda juga bisa menikmati pemandian yang segar.
Apabila anda ingin mengunjungi tempat wisata lainnya di Malang, Anda bisa mengecek tempat-tempat tersebut
Petirtaan Watugede merupakan salah satu lokasi wisata yang sarat dengan nilai sejarah. Konon, petirtaan ini menjadi lokasi pemandian Kendedes, permaisuri Raja Singhasari yang tersohor karena kecantikannya.
Tak heran, jika banyak pengunjung yang datang ke lokasi pemandian ini untuk mendapatkan berkah kecantikan dan awet muda. Pemandian yang pertama kali ditemukan tahun 1925 oleh Arkeolog Belanda ini, berlokasi di desa Watugede, kecamatan Singosari, kabupaten Malang. Lokasi pemandian ini berjarak sekitar 2 km dari candi Singosari.
Melongok ke dalam pemandian, pengunjung akan menemukan sebuah kolam kuno berbentuk persegi panjang. Dinding-dinding kolam terbuat dari batu bata kuno yang tersusun rapi dan kuat. Pondasi dinding yang kokoh dengan kondisi sebagian sudah tak utuh seolah-olah mengentalkan kesan kuno pada kolam ini.
Tepi kolam dihiasi dengan beberapa patung kecil yang menjadi pintu keluar air yang nantinya akan mengisi kolam. Uniknya, air yang keluar dari mulut arca ini tak pernah berhenti, meskipun pada musim kemarau. Kolam ini memiliki sebuah tangga batu yang memudahkan pengunjung masuk ke dalam kolam.
Uniknya, salah satu batu pada tangga memiliki permukaan yang berlubang-lubang, dengan jarak lubang yang beraturan. Konon, lubang pada batu tersebut menjadi penunjuk waktu bagi putri-putri raja yang sedang mandi di kolam tersebut. Batu tangga yang berlubang tersebut dikenal dengan nama Watu Dakon.
Tak jauh dari kolam, terdapat sebuah sumur yang seringkali dijadikan sebagai tempat meletakkan sesaji. Di sekitaran sumur juga terdapat tiga buah batu yang konon sering dijadikan sebagai batu pengasah pedang.
Pedang yang diasah tersebut merupakan senjata yang digunakan untuk melaksanakan hukuman pancung.
Hukuman pancung tersebut diberikan kepada lelaki yang nekat menyusup ke dalam area pemandian. Pasalnya, pemandian ini hanya boleh dikunjungi oleh putri Raja beserta dayang-dayangnya. Tak hanya itu, di dekat sumur juga terdapat gua yang berfungsi sebagai tempat berlindung bagi para putri saat bahaya mendekat. Sayangnya, gua ini sekarang telah berada dalam kondisi tertutup.
Tak hanya sarat dengan nilai sejarah, pemandian ini memiliki suasana yang tenang dan teduh. Kamu akan menemukan banyak pohon rindang di sekitaran pemandian. Tak heran jika hawa sejuk bisa kamu nikmati di pemandian ini. Kamu bisa menikmati pemandian dengan suasana khas lereng gunung yang nyaman. Silahkan bagi pengujung yang tertarik berkunjung. (utg)
[21/3 20.10] rudysugengp@gmail.com: Poskota.com
*Candi-Candi Peninggalan yang Menjadi Bukti Peradaban Kerajaan Singasari*
Selain prasasti, Kerajaan Singasari juga meninggalkan candi-candi bersejarah yang menjadi bukti keberadaannya. Mau tahu apa saja? Kalau penasaran, langsung temukan jawabnya di bawah ini, ya!
Adanya penemuan tentang peninggalan peradaban sebuah kerajaan memang sangatlah penting karena mengandung informasi eksistensi kerajaan tersebut. Sama seperti di Kerajaan Singasari yang keberadaanya dapat diketahui dari peninggalan bersejarahnya yang berupa prasasti maupun candi.
Pada artikel kali ini, secara khusus akan membahas mengenai candi-candi peninggalan kerajaan tersebut beserta informasi terkait secara lengkap. Nantinya, ulasan ini juga dapat membantu untuk menentukan destinasi wisata sejarah yang bisa kamu kunjungi.
Sepertinya kamu sudah nggak sabar ingin segera membaca artikel lengkapnya, ya? Kalau gitu, daripada buang-buang waktu, langsung cek saja ulasannya berikut ini.
Candi-Candi Peninggalan Kerajaan Singasari
Berikut ini adalah beberapa candi-candi yang merupakan bukti peninggalan Kerajaan Singasari:
1. Candi Jawi
Peninggalan purbakala ini dulunya dikenal dengan nama Jajawa. Bangunan tersebut digunakan untuk menaruh abu Raja Kertanegara yang meninggal karena serangan Jayakatwang.
Menurut Kitab Negarakertagama, Candi Jawi awalnya didirikan sebagai tempat ibadah bagi umat Siwa-Buddha. Diketahui, Raja Kertanegara juga menganut agama tersebut.
Tempatnya memang bisa dibilang jauh dari pusat Singasari. Namun para ahli menduga kalau pengikut setia sang raja berada di sini sehingga ia rela membangun tempat peribadatan yang jauh dari istana.
Bangunan tersebut berada pelataran yang cukup luas berukuran 40 x 60 m². Di sekelilingnya dibuat parit yang ditanami bunga teratai. Tingginya sekitar 24,5 meter, lebar 9,5 meter, dan panjang 14,2 meter. Melihat bentuknya yang ramping, sekilas mungkin mirip dengan Candi Prambanan.
Batu penyusunnya pun bisa dibilang unik. Kaki candi dibangun dengan menggunakan batu berwarna gelap. Kemudian, badannya terdiri dari batu-batuan berwarna putih. Sementara itu, atapnya tersusun dari batu gelap dan putih. Konon, bangunan tersebut pernah tersambar oleh petir dan dibangun kembali dengan batuan yang berbeda.
Sementara itu, pada dindingnya juga terdapat relief yang begitu unik dan pahatannya masih terlihat dengan jelas. Sayangnya, belum ada seorang pun yang dapat membaca karena kurangnya sumber referensi.
Candi Jawi ini lokasinya berada di kaki Gunung Welirang, tepatnya di Desa Candi Wates, Prigen, Pasuruan, Jawa Timur. Dulunya, pernah dikunjungi oleh Raja Hayam Wuruk dari Majapahit sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur.
Pada saat ditemukan, bangunan tersebut berada dalam kondisi yang rusak berat. Pemugaran pertamanya dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda sekitar tahun 1938. Setelah itu, dipugar kembali oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1975.
Kalau mau berkunjung, kamu tidak perlu membayar tiket. Cukup membayar biaya parkir kendaraanmu.
2. Candi Singasari
Bangunan yang memiliki nama lain Candi Cungkup atau Menara tersebut berada di Desa Candi Renggo, Kecamatan Singasari, Kabupaten Malang. Para ahli memperkirakan candi tersebut dibangun sekitar tahun 1300 Masehi.
Sama seperti Candi Jawi, peninggalan Kerajaan Singasari yang satu ini juga digunakan sebagai pendarmaan atau tempat menaruh abu milik Raja Kertanegara. Di sekelilingnya, dulu terdapat beberapa candi kecil. Namun sekarang, sudah hilang tidak berbekas.
Bangunan yang berada di kawasan antara lembah Gunung Arjuna dan Pengunungan Tengger tersebut ditemukan pertama kali pada tahun 1803 oleh Nicolaus Engelhard. Pada saat itu, lokasinya masih berbentuk hutan jati.
Jika dibandingkan dengan Candi Jawi, bangunan ini terkesan lebih sederhana. Hal itu dikarenakan pada kakinya tidak terdapat relief apa pun. Hiasan kepala kala-nya juga memiliki pahatan yang tidak terlalu tajam. Para ahli menduga kalau candi tersebut mungkin dulu belum selesai dibangun.
Sementara itu, puncak candi memiliki atap yang berbentuk pagoda bersusun yang mengerucut. Sayangnya, bagian atapnya diduga sudah rusak.
Peninggalan bersejarah ini dulunya pernah mengalami pemugaran pada tahun 1930-an yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Namun sepertinya proyek tersebut berhenti di tengah jalan.
Candi Jawi berada di sebuah kompleks yang memiliki luas sekitar 200 x 400 m². Sementara itu, bangunannya sendiri terletak di tengah-tengah halaman. Pada halaman tersebut ditanami rumput-rumput yang membuat lingkungan menjadi lebih asri.
Untuk biaya masuknya sendiri, para pengunjung tidak dikenakan biaya. Namun, kalau mau memberikan dana sukarela untuk membantu pengelolaan diperbolehkan.
Terdapat Beberapa Arca
Arca Dwarapala
Sumber: Kebudayaan Kemdikbud
Nah, selain bangunannya saja yang terlihat megah, di dalam Candi Singasari juga terdapat beberapa arca. Arca-arca tersebut memiliki bentuk yang berbeda sesuai arah mata angin.
Yang di sisi timur adalah Arca Ganesha. Kemudian yang di sebelah utara adalah Arca Dugamahisasuramardhini. Dan, yang di berada di selatan yaitu Resi Aghastya.
Namun, yang masih ada di situ hanyalah Arca Aghastya saja yang kondisinya bisa dibilang rusak. Sementara itu, yang lain sudah dipindahkan ke Museum Leiden di Belanda.
Selain itu, di kawasan ini kamu juga akan menemukan sepasang Arca Dwarapala. Bentuknya tinggi besar seperti raksasa dengan mata melotot dan memiliki taring. Tingginya sekitar 3,7 meter sehingga ini merupakan patung Dwarapala paling besar di Indonesia.
Kedua Dwarapala tersebut dipercaya sebagai penjaga kawasan Candi Singasari. Namun, ada pula yang percaya bahwa arca tersebut juga menjaga Gunung Arjuna. Maka dari itu, ukurannya dibuat begitu besar.
3. Candi Kidal
Salah satu candi peninggalan dari Kerajaan Singasari ini terletak di lereng barat Pegunungan Tengger. Tepatnya, berada di Desa Kidal, Kecamatan Tumpang, Malang, Jawa Timur. Bangunan tersebut dibangun sekitar tahun 1248 Masehi sebagai tempat persemayaman untuk Raja Anusapati.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh para ahli sejarah, candi-candi di wilayah Jawa Timur kebanyakan memang digunakan sebagai tempat pemakaman raja. Tujuannya adalah supaya raja yang sudah meninggal tersebut menjadi suci atau terlahir kembali menjadi dewa. Hal tersebut berbeda dari candi di Jawa Tengah yang dijadikan tempat suci untuk beribadah.
Bangunan yang terbuat dari batu andesit ini memiliki bentuk geometris vertikal dengan tiga bagian yang masih lengkap, yaitu kaki, tubuh, dan atap. Bagian kakinya terdapat anak tangga yang memiliki ukuran kecil.
Di bagian ini pula terdapat relief tentang Garudeya. Ceritanya adalah tentang perjuangan Garuda untuk membebaskan sang ibu dari perbudakan dengan cara menggunakan penebusan air suci. Kemudian, pada pintu masuknya terdapat kepala kala atau Dewa Siwa yang digunakan sebagai simbol penjaga bangunan suci.
Selanjutnya, bagian badan dari candi tersebut memiliki ukuran yang lebih kecil jika dibandingkan dengan luas kaki candi. Atapnya sendiri terdiri dari tiga tingkatan yang menyerupai stupa.
Candi Kidal pernah mengalami pemugaran pada tahun 1900-an lalu. Lingkungan di sekitarnya masih asri. Cocok jika kamu ingin berwisata sambil menikmati hawa sejuk.
Sementara itu, pengunjung yang datang cukup mengisi buku pengunjung. Untuk masuk sebenarnya tidak dikenai biaya apa pun, tapi kalau mau memberikan dana sukarela diperbolehkan.
4. Candi Sumberawan
Peninggalan sejarah yang satu ini letaknya berada di kaki bukit Gunung Arjuna, tepatnya di Desa Toyomarto, Kecamatan Singasari, Kabupaten Malang. Kurang lebih berjarak sekitar 6 km dari Candi Singasari.
Apabila dilihat dari bentuknya yang menyerupai stupa, diduga bangunan tersebut merupakan peninggalan umat Buddha pada masa itu. Tingginya yaitu sekitar 5,23 meter, dengan panjang dan lebar masing-masing 6,25 meter.
Candi Sumberawan ini pertama kali ditemukan sekitar tahun 1904 dalam kondisi yang sudah tidak utuh. Kemudian baru dipugar oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1937. Itupun hanya pada bagian kakinya saja.
Sementara itu, bagian dindingnya hanya polos dan tidak ditemukan relief apa pun. Kemudian dilihat dari kenampakannya yang tidak memiliki tangga, para ahli sejarah menduga kalau bangunan ini dulunya hanya digunakan sebagai tempat untuk beribadah dan menyimpan benda suci saja.
Sumberawan sendiri merupakan nama yang terdiri dari dua kata, yaitu sumber dan rawa-rawa. Jika digabung artinya adalah bersumber dari rawa. Hal tersebut berkaitan dengan sumber mata air yang mengalir di sekitar candi tersebut.
Di samping candi ini, terdapat sebuah penampungan dari air yang dianggap suci. Menurut cerita rakyat yang beredar, air itu asalnya dari bagian bawah candi.
Dulunya, air tersebut menjadi rebutan antara para Dewa dan Raksasa untuk menambah kesaktian. Akan tetapi untuk sekarang, air suci itu kini dimanfaatkan untuk upacara keagamaan.
Kondisi di sekitar candi peninggalan Kerajaan Singasari ini masih begitu asri sehingga cocok untuk dijadikan tempat bermeditasi. Atau kalau sekedar menikmati udara segar juga bisa.
Biaya untuk masuk ke Candi Sumberawan sangat terjangkau, lho. Kamu hanya cukup membayar Rp5.000 saja.
5. Candi Jago
Sumber: Kebudayaan Kemdikbud
Berdasarkan tulisan yang terdapat pada Kitab Negarakertagama, Candi Jago awalnya dibangun pada tahun 1268 Masehi dan baru selesai tahun 1280 Masehi. Bangunan tersebut dibuat oleh Raja Ketanegara sebagai tempat pendarmaan ayahnya, yaitu Wisnuwardhana.
Lokasinya berada di Dusun Jago, Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Kalau dilihat dari sejarahnya, candi tersebut berlatar agama Siwa Buddha.
Catatan mengenai keberadaan candi peninggalan Kerajaan Singasari ini terdapat pada buku History of Java (1917) yang ditulis oleh Stamford Raffles. Namun sebelumnya, bangunan tersebut sudah diteliti oleh beberapa arkeolog seprrti J.L.A. Brandes, Friederich, Brumund, dan Fergusson.
Selain Candi Singasari, bangunan yang terbuat dari batu andesit ini dulunya juga sering dikunjungi oleh Raja Hayam Wuruk. Tak hanya dikunjungi saja, candi tersebut juga pernah mengalami pemugaran pada tahun 1343 oleh Raja Adityawarman. Selain memugar, ia juga menambahkan Arca Manjusri dan membangun beberapa candi kecil di sekitarnya.
Peninggalan yang berbentuk punden berundak ini memiliki tinggi sekitar 9,97 meter, panjang 23,71 meter, dan lebar 14 meter. Dulunya, mungkin lebih besar lagi karena kini hanya tersisa hanyalah kaki dan badan candi saja.
Di sekitar candi juga terdapat sebuah tatakan yang terbuat dari besar dengan diameter sekitar sat meter. Kemudian di bagian puncak bisa ditemukan pahatan bunga Padma.
Selain itu ditemukan pula Arca Amoghapasha. Sayangnya, benda purbakala tersebut sudah rusak karena bagian kepala dan tangannya sebagian patah dan hilang.
Kisah yang terdapat pada relief Candi Jago
Nah, pada bagian kaki candi tersebut terdapat ukiran relief-relief yang membentuk beberapa cerita. Adapun kisah-kisah tersebut adalah:
a. Relief Kresnayana
Sama seperti namanya, relief yang terukir pada candi peninggalan Kerajaan Singasari ini menceritakan tentang kisah cinta perjalanan Sri Kresna untuk menjemput belahan jiwanya, yaitu Dewi Rukmini. Konon, kisah tersebut terinspirasi dari kehidupan Wisnuwardhana.
b. Relief Kalawayana
Selanjutnya, yang satu ini masih ada hubungan dengan relief yang sebelumnya. Di sini, ceritanya adalah tentang peperangan yang terjadi antara Sri Kresna dan Prabu Kalayawana.
c. Relief Kunjakarna
Di urutan ketiga ada relief Kunjakarna yang diilhami dari kisah Buddha Mahayana. Ceritanya adalah tentang seseorang yang begitu taat beribadah bernama Kunjakarna. Ia memiliki teman bernama Purnawijaya yang sudah masuk ke neraka.
Setelah mendapatkan penglihatan dari dewa kalau neraka adalah tempat yang mengerikan, ia kemudian memohon supaya bisa menyelamatkan sahabatnya. Karena kelakuannya selama ini yang baik, dewa pun kemudian mengambulkan permintaan itu.
d. Relief Pancatantra
Sementara itu, relief Pancatantra berkisah tentang tiga orang pangeran yang tidak bisa mendengar kemudian diajari oleh seorang brahmana mengenai kehidupan dan kebijaksanaan. Sesuai dengan namanya, pancatantra berisikan lima ajaran pokok yang diajarkan dengan menggunakan cerita fabel.
Ajaran-ajaran tersebut adalah tentang perbedaan (Mitrabedha), kedatangan (Mitraprapti), dan peperangan dan perdamaian (Kakolukiya). Kemudian, ada juga tentang kehilangan dan keberuntungan (Landhansa) dan tindakan terburu-buru (Apariksitakaritwa).
e. Relief Perthayajna dan Arjunawiwaha
Relief Perthayajna dan Arjunawiwaha merupakan relief terakhir yang terukir pada candi peninggalan Kerajaan Singasari. Ukiran tersebut berkisah tentang Pandawa yang dibuang ke hutan karena kalah dari Kurawa.
6. Candi Songgoriti
Peninggalan Kerajaan Singasari terakhir yang dibahas pada artikel ini adalah Candi Songgoriti. Bangunan ini terbuat dari batu andesit berukuran 14,36 x 10 meter. Sayangnya, bentuknya sudah tidak utuh lagi.
Lokasinya berada di sebuah lembah antara Gunung Arjuna dan Gunung Kawi. Tepatnya, berada di Desa Songgokerto, Kecamatan Batu, Kota Batu.
Beberapa sumber mengatakan kalau Candi Songgoriti adalah tempat di mana Ken Dedes dan Ken Arok pertama kali bertemu. Pada saat itu juga, Ken Arok jatuh cinta dan berniat untuk memilikinya. Tidak mempedulikan fakta kalau sang pujaan sudah memiliki suami.
Di dalam badan candi tersebut sebenarnya terdapat beberapa arca. Hanya saja ada sebagian yang rusak, bahkan hilang.
Bangunan tersebut pertama kali ditemukan oleh Van Ijsseldijk sekitar tahun 1799 Masehi. Kemudian, baru dipugar ratusan tahun kemudian yaitu pada 1849 Masehi oleh Pemerintahan Hindia Belanda.
Di dekat candi ini ada sebuah mata air hangat dan dijadikan wisata. Namun menurut legenda, dulu yang keluar hanyalah air biasa yang dingin. Namun karena sering digunakan sebagai tempat untuk mencuci benda pusaka, airnya kemudian berubah menjadi panas.
Sementara itu, kamu bisa masuk dan berwisata sejarah ke sini hanya dengan membayar Rp10.000 saja. Jam bukanya pun tidak ada batasan, alias 24 jam.
Candi Peninggalan Sejarah Kerajaan Singasari Mana yang Ingin Kamu Kunjungi?
Itulah tadi informasi lengkap mengenai bangunan-bangunan peninggalan Kerajaan Singasari yang dapat kamu simak di PosKata. Bagaimana? Setelah membacanya, kira-kira candi mana yang ingin kamu kunjungi untuk berwisata nanti?
Untuk kamu yang mungkin masih mencari informasi menarik seputar kerajaan tersebut, tak perlu khawatir. Langsung cek saja artikel-artikel yang lainnya.
Kalau misalnya ingin membaca ulasan lengkap tentang kerajaan-kerajaan lain di nusantara seperti Kerajaan Demak, Majapahit, Samudra Pasai atau yang lain, di sini juga ada, kok. Maka dari itu, baca terus, yuk!