Sabtu, 04 Januari 2025

MAHESA JENAR : ANTARA CERITA SILAT DAN CERITA RAKYAT

 MAHESA JENAR : ANTARA CERITA SILAT DAN CERITA RAKYAT


Nama Mahesa Jenar sangat populer di Jawa Tengah dan Yogyakarta, terutama bagi generasi tua. Penggemasr PSIS Semarang tentunya sangat sangat akrab dengan nama ini.  Saking populernya, banyak orang menganggap ia sebagai tokoh sejarah yang nyata dan pernah ada. Namun, siapa sebenarnya Mahesa Jenar? Apakah ia tokoh sejarah nyata atau hanya karakter fiksi dalam cerita silat?


Mahesa Jenar pertama kali diperkenalkan melalui cerita silat Nagasasra dan Sabuk Inten karya S.H. Mintardja. Kisah ini awalnya dimuat di koran Kedaulatan Rakyat pada tahun 1964, kemudian diterbitkan sebagai buku pada tahun 1966. 


Dalam cerita tersebut, Mahesa Jenar adalah seorang prajurit Kesultanan Demak yang bergelar  Rangga Tohjaya, murid dari Pangeran Handayaningrat (Ki Ageng Pengging Sepuh). 


Sebagai murid Perguruan Pengging, Mahesa Jenar tentu mempunyai hubungan erat dengan Ki Kebo Kenanga, putra dari Ki Ageng Pengging Sepuh. Sebagaimana tercatat dalam Sejarah, Ki Kebo Kenanga ini adalah murid  Syekh Siti Jenar, seorang sufi Jawa yang kontroversial. 


Karena akidahnya yang dinilai sesat, dan selalu membangkang terhadap Kesultanan Demak, akhirnya Syekh Siti Jenar dan para pengikutnya dihukum mati. Tidak berselang lama dari peristiwa ini, Ki Kebo Kenanga juga ikut dieksekusi mati. Kematian saudara seperguruan yang tragis ini tentu membawa pengaruh besar bagi pribadi Mahesa Jenar. 


Tidak disebutkan dalam novel apakah Mahesa Jenar terlibat, maupun dituduh terlibat dalam peristiwa Syekh Siti Jenar ini. Hanya saja, digambarkan bahwa ia sangat masygul sekali. Kebetulan, beberapa waktu pasca eksekusi Syekh Siti Jenar, Istana Kesultanan Demak diobok-obok maling.  


Dua buah pusaka penting, keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten raib. Posisi Mahesa Jenar sebagai murid Ki Kebo Kenanga semakin tersudut. Meskipun tidak terucap, semua orang seakan menuduh dia terlibat dalam peristiwa ini. 


Untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan, Mahesa Jenar  akhirnya mengundurkan diri dari militer, dan merantau, njajah desa milang kori, menjelajah tanah Jawa seorang diri. Meskipun demikian, sebenarnya kesetiaan Mahesa Jenar terhadap Demak tak pernah luntur. Ia bertekat untuk mencari pusaka yang hilang itu dan membawanya kembali ke Demak, dan menyerahkannya kepada sultan. 


Mahesa Jenar digambarkan sebagai tokoh dengan karakter khas Jawa: tegas, sederhana, dan menjunjung tinggi kebenaran. Meski memiliki kemampuan silat yang luar biasa, termasuk jurus Sasra Birawa yang dapat menghancurkan batu besar, ia tetap rendah hati. 


Mahesa Jenar lebih memilih kehidupan yang sederhana dibandingkan kemewahan istana. Dalam perjalanannya, ia turut menyelesaikan berbagai konflik, salah satunya di wilayah Banyubiru, sekaligus menjadi guru bagi Arya Salaka, putra pemimpin daerah tersebut.


Cerita ini menarik banyak perhatian karena S.H. Mintardja berhasil memadukan fakta sejarah dengan unsur fiksi. Tokoh-tokoh sejarah seperti Ki Ageng Pengging, Sultan Trenggono, hingga Sunan Prawata hadir dalam cerita, meskipun Mahesa Jenar sendiri adalah tokoh fiksi yang dirancang untuk menyatukan elemen-elemen kisah.


Konflik utama dalam cerita ini berkisar pada dua pusaka, Keris Nagasasra dan Sabuk Inten, yang dipercaya sebagai simbol legitimasi seorang pemimpin Jawa. Keris ini memang ada dalam tradisi Jawa dan kini disimpan di Keraton Surakarta. Mintardja menggunakan legenda keris ini sebagai fondasi cerita, sambil menyisipkan nilai-nilai moral khas Jawa melalui karakter Mahesa Jenar. 


Popularitas Mahesa Jenar makin tenar setelah kisah Nagasasra Sabuk Inten naik ke panggung kethoprak. Adalah grup kethoprak Sapta Mandala Kodam VII Diponegoro yang pertama kali mengadaptasi kisah Nagasasra Sabuk Inten ke panggung pentas. Saya tidak tahu, apakah kisah ini juga pernah diangkat ke panggung kethoprak mbeling majalah Mop oleh alm. Gunawan Pranyoto ( Mas Goen). 


Rekaman kaset kethoprak dengan lakon serial Naga Sasra Sabuk Inten, laris di pasaran. Bahkan kemudian serial ini diputar di berbagai stasiun radio. Beberapa seri yang pernah laris di pasaran antara lain Geger Banyu Biru, Wewadi Gunung Ijo, Samparan Nebus Dosa, Wirasaba Liwung dan Uling Kuning Mbarang Amuk. 


Dari panggung kethoprak inilah nama Mahesa Jenar dan kisahnya dikenal luas oleh masyarakat. Bahkan masyarakat pedesaan yang buta hurufpun mengenal kisah ini. Dari sinilah kisah Mahesa Jenar bergeser, dari sekedar cerita silat menjadi cerita rakyat. 


Mahesa Jenar makin membumi dengan dirilisnya lagu keroncong berjudul Mahesa Jenar yang dinyanyikan oleh Waldjinah. Lagu tersebut menggambarkan perjuangan Mahesa Jenar yang tulus dan tanpa pamrih dalam menjalankan misinya. Sosok ini dianggap sebagai simbol pahlawan sederhana yang lebih memilih pengabdian daripada kemewahan.


Namun, perdebatan tentang keberadaan Mahesa Jenar masih terus terjadi. Ada yang meyakini ia tokoh sejarah, sementara lainnya percaya ia hanya karakter rekaan. Entah karena kebetulan, ketidak tahuan atau sekedar ingin menarik perhatian,  sebuah makam di Desa Jogoloyo, Demak, diklaim sebagai makam Mahesa Jenar. 


Pembangunan makam Mahesa Jenar bahkan diinisiasi oleh Dinas Pariwisata setempat. Lucunya,  di Website Dinas Pariwisata Kabupaten Demak gelar Mahesa Jenar ditulis Ronggo Toh Jiwo.  Kabarnya, tempat ini kini menjadi destinasi wisata religi selain Masjid Agung Demak.


Meskipun Mahesa Jenar faktanya hanya tokoh fiksi, murni 100 persen imajinasi S.H. Mintardja, namun  ia telah menjadi simbol nilai-nilai luhur seperti kesederhanaan, keberanian, dan pengabdian tanpa pamrih—semangat yang tetap relevan hingga sekarang.


Lirik Keroncong Mahesa Jenar : 


Kaloningrat Pilih Tanding, Maesa Jenar

Satria Ing Pengging

Satria Digdya Lelana Ngupaya

Sabuk Inten Nagasasra


Tan Samaring Bebaya, Maesa Jenar

Bekti Ing Negara

Mandap Jurang Nasak Wana Wasa

Kayungyun Guayane Bangsa


Para Kang Ambek Angkara

Memalangi Sedya Utama

Nanging Pinesthi, Lebur Musna

Ketiban Aji Sasrabirawa


Nora Pamrih Kalenggahan, Maesa Jenar

Wani Datan Giris

Ngeronce Edining Asmara

Kelawan Wong Ayu Dyah Rara Wilis


#Fiksidankisahrakyat

#SejarahNusantara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kisah Gunung Semeru

 Dewa Brahma berubah menjadi kura-kura, punggungnya yang keras digunakan untuk mengangkut puncak Gunung Meru. Sementara Dewa Wisnu berubah m...