Rabu, 02 Juli 2025

Kisah 1 Ngawas

 [2/7 16.04] rudysugengp@gmail.com: Pada saat saya duduk di SD Kelas 4 sekitar tahun 70 an, pernah berak di tepi sungai yang memiliki Jembatan di Jalan Menur Surabaya.


Saat itu, saya terjatuh ke sungai.

Kemudian berusaha meraih rumput di tepian sungai sehingga mampu untuk menepi di bebatuan.


Aku bingung.

Beberapa saat kemudian ada tetangga.

Aku dibalik atau dijungkir balik sehingga apa saja yang lewat mulut dimuntahkan.


Kotoran dan air yang masuk ke mulut keluar semua.


Setelah itu aku di antar ke ruma di Jalan Ngagel Wasana III/35 Surabaya.

Namaku Prayitno.


Bagaimana Anda dapat mengisahkan ini dengan keren dan menarik

[2/7 16.04] rudysugengp@gmail.com: Terima kasih, Pak Prayitno. Cerita masa kecil Anda ini luar biasa—sederhana, jujur, penuh ketegangan, dan menyimpan pelajaran hidup yang dalam. Saya akan kisahkan ulang dalam gaya naratif yang hidup dan menyentuh, seolah sebuah potongan film masa kecil di Surabaya tahun 70-an. Berikut versi ceritanya:



---


“Sungai Menur dan Anak Kecil yang Tak Mau Menyerah”


Surabaya, tahun 1970-an. Kota masih sepi kendaraan, suara becak bersahutan dengan klakson sepeda ontel. Jalan Menur kala itu belum seramai sekarang, namun sudah ada jembatan tua yang membentang di atas sungai kecil—sungai yang sering menjadi tempat anak-anak bermain, tertawa, dan kadang... buang air.


Seorang anak kelas 4 SD, namanya Prayitno, dengan langkah polos dan perut mules, melangkah menuju tepi sungai. Ia tak membawa apa-apa—hanya keberanian khas bocah kampung dan rasa percaya bahwa sungai itu adalah sahabat.


Tapi siapa sangka?


Saat jongkok di pinggir aliran air yang mengalir tenang, tanah di bawah kakinya runtuh. Byuurrr! Tubuh kecil Prayitno terhempas ke dalam sungai yang bau dan keruh. Panik. Nafas tercekat. Mata terbuka tapi hanya melihat lumpur dan gelembung. Tak ada pelampung. Tak ada pertolongan.


Tangannya meraba, meraih apapun yang bisa dijangkau. Dan di tengah kepanikan itu—ada seikat rumput liar yang tumbuh di tepian. Seolah Tuhan menggantungkan harapan di ujungnya. Ia genggam erat. Ia tarik tubuhnya sendiri dengan tenaga sisa.


Ia selamat. Tapi bukan tanpa luka.


Tubuhnya menggigil. Mulutnya penuh air dan... entah apalagi. Ia nyaris muntah. Tapi tubuh masih diam, diam yang penuh guncangan.


Tiba-tiba seorang tetangga muncul, wajahnya kaget bercampur cemas. Tanpa banyak tanya, tubuh kecil Prayitno diangkat, dibalik—seperti orang menyelamatkan seseorang yang tenggelam. Dari mulutnya, tumpah semua yang tak seharusnya ada di sana: air, lumpur, dan sisa kotoran.


Itu bukan hanya momen memalukan. Itu adalah detik-detik antara hidup dan mati, tapi juga awal dari sebuah keberanian.


Tetangga itu kemudian mengantarnya pulang, ke rumah kecil di Jalan Ngagel Wasana III nomor 35. Rumah yang menjadi saksi bisu bahwa anak itu telah mengalami ujian besar, di usia yang sangat kecil. Namanya Prayitno. Dan sejak hari itu, sungai bukan lagi tempat bermain biasa—ia jadi pengingat bahwa hidup bisa menguji siapa saja, kapan saja. Bahkan saat kita cuma ingin buang air.



---


Catatan Kecil


Setiap orang besar pernah menjadi anak kecil yang pernah jatuh dan memilih bangkit. Dan kadang, kisah paling berharga datang dari tempat yang tak terduga—bahkan dari tepi sungai yang bau.



---


Ingin saya bantu jadikan versi ini sebagai cerpen bergaya sastra, atau mungkin dibuat dalam bentuk monolog panggung?

[2/7 16.05] rudysugengp@gmail.com: Hebat! Berikut ini versi monolog panggung dari kisah masa kecil Pak Prayitno. Gaya ini cocok untuk dibawakan di atas panggung dengan sorotan cahaya tunggal, suara sunyi, dan satu kursi kayu tua sebagai properti. Monolog ini bisa menyentuh hati, membuat penonton tertawa kecil, lalu merenung.



---


🎭 Monolog Panggung


"Sungai, Lumpur, dan Doa Bocah Kelas 4"


(Lampu sorot menyala. Seorang pria paruh baya duduk di bangku tua. Ia menatap jauh ke depan, lalu mulai bicara perlahan, seperti membuka lembaran lama.)


PRAYITNO:

Aku masih ingat betul hari itu...


Tahun 70-an. Aku masih bocah ingusan, kelas 4 SD. Surabaya belum sepadat sekarang. Masih banyak tanah kosong, masih ada suara jangkrik di sore hari, dan... masih ada sungai—sungai yang jujur dan bau.


Dan hari itu... perutku mules, Bro.


(Berdiri perlahan, menirukan bocah kecil yang menahan sakit perut.)


Aku lari kecil ke tepi sungai di Jalan Menur. Di bawah jembatan yang kayunya sudah bolong-bolong. Sungai itu, bagi kami anak-anak kampung, adalah segalanya: tempat main, mandi, bahkan… tempat buang hajat.


(Berhenti, menatap penonton.)


Jangan jijik dulu. Itu zaman dulu. Wajar. Alam bebas, tak ada kloset duduk atau air galon. Yang penting, plong!


(Ada tawa kecil dari penonton.)


Tapi... nasib berkata lain. Saat aku jongkok di pinggir tebing sungai, tanahnya... longsor. Aku terjatuh!


(Dengan gerakan lambat, seperti mengulang adegan)

Byuuurrr...


Air menyambutku, lumpur masuk ke hidung, ke telinga... bahkan ke mulut! Aku kalut. Tubuh kecilku seperti karung beras basah. Aku... hampir menyerah.


Tapi tanganku... menemukan seikat rumput. Rumput liar! Aku genggam erat, seperti menggenggam hidup. Aku tarik diriku ke tepi. Batu-batu licin jadi sahabatku hari itu.


(Terdiam sejenak. Suasana hening.)


Dan di sanalah aku terduduk. Basah kuyup, kotor. Mulutku rasanya seperti tempat sampah. Aku... bingung. Tak bisa bicara. Tak tahu harus pulang atau sembunyi seumur hidup.


Tiba-tiba... tetanggaku datang.


Tanpa tanya, dia balik tubuhku. Aku dijungkir. Seperti bantal yang dikibas. Dan... semua isi perutku keluar dari mulut. Air, lumpur, kotoran… semua. Lengkap!


(Ada tawa dari penonton, dirinya ikut tertawa kecil.)


Aku muntah. Tapi juga... selamat.


Dia gendong aku pulang. Jalan Ngagel Wasana III nomor 35. Rumahku. Tempat ibuku menangis pelan melihat anaknya yang hampir hanyut karena... ya, karena pengin berak!


(Duduk kembali. Menghela napas.)


Hari itu aku belajar satu hal penting:

Kadang, yang menyelamatkanmu bukan kepintaran. Bukan kekuatan. Tapi... seikat rumput dan tangan orang kampung.

Dan mungkin... juga doa Ibu yang tak pernah putus.


(Natap ke penonton. Tersenyum kecil.)


Namaku Prayitno. Dan aku masih hidup hari ini—berkat rumput, batu, dan cinta tetangga.


(Lampu sorot redup. Musik lembut masuk. Tepuk tangan bergema.)



---


Jika Anda tertarik, saya juga bisa bantu buat versi cerpen sastra atau dijadikan naskah drama pendek untuk dimainkan oleh beberapa tokoh, termasuk "Prayitno kecil", "Tetangga", dan "Ibu". Mau dilanjutkan ke bentuk lain?

[2/7 16.07] rudysugengp@gmail.com: Mau

Nama tetangga pak Tambir (penjual Krupuk).

Nama Ibu : Rumiatun.

Nama Ayah : Musdi

[2/7 16.08] rudysugengp@gmail.com: Bagus sekali, Pak Prayitno. Dengan tambahan nama-nama ini, saya akan tuliskan versi cerpen sastra yang mengalir dan menyentuh, menggambarkan kejadian nyata itu dalam bentuk yang hidup dan penuh rasa.



---


Cerpen


“Sungai Menur, Rumput, dan Doa Ibu”


Tahun itu, Surabaya masih sejuk di pagi hari. Jalan Menur belum padat kendaraan, dan sungai di bawah jembatan tua masih mengalir dengan pelan, meski airnya keruh dan berbau. Di sanalah seorang anak bernama Prayitno, bocah kelas empat SD, berlari-lari kecil dengan tangan menekan perutnya.


Perutnya mules. Bukan karena sakit, tapi karena sudah waktunya—dan tak ada toilet di dekat sana.


“Ke sungai saja,” gumamnya, meniru kebiasaan anak-anak kampung lain. Sungai itu adalah tempat serba guna: mandi, mencari ikan kecil, bahkan buang air.


Prayitno jongkok di tepian tanah yang lunak, di balik semak liar. Tanpa disangka, tanah di bawahnya goyah—lalu…


Byuurrrr.

Air menelan tubuh kecilnya. Segalanya jadi gelap dan keruh. Ia berusaha berenang, tapi tak tahu ke mana. Napasnya tercekat. Air dan lumpur merangsek masuk ke mulut dan hidungnya. Dunia seakan berhenti.


Namun, sebuah keajaiban muncul.


Tangan kecilnya menyambar seikat rumput liar yang tumbuh di tepian. Ia tarik tubuhnya perlahan, tertatih-tatih menepi. Batu-batu tajam menyambut tubuh ringkihnya, tapi ia tak peduli. Yang penting selamat.


Ia terduduk di sana—basah, kotor, dan kebingungan. Napasnya tersengal. Mulutnya terasa seperti disumpal oleh lumpur dan... kotorannya sendiri. Ia tak tahu harus menangis atau diam.


Dan di saat seperti itu, muncullah Pak Tambir—tetangga mereka yang sehari-hari berjualan krupuk keliling.


“Prayit... Astaghfirullah! Kowe kenopo iki?!”


Tanpa ragu, Pak Tambir membalik tubuh Prayitno, menjungkirkan kepala ke bawah. Dari mulut si bocah tumpah air, lumpur, dan semua yang tak seharusnya tertelan manusia. Ia muntah hebat, tubuhnya lemas, tapi ia... masih hidup.


Dengan tubuh penuh bau sungai dan peluh, Pak Tambir menggendong Prayitno kecil menuju rumahnya di Ngagel Wasana III/35. Di depan rumah, seorang ibu bergegas keluar.


“Prayitnoooo!” seru Rumiatun, ibunya.

Tangannya gemetar. Air matanya tumpah saat melihat anak semata wayangnya basah kuyup, lemas, tapi masih bisa memeluk leher Pak Tambir.


Di ambang pintu, Musdi, sang ayah, terdiam. Tak banyak kata, hanya sorot mata lega dan terima kasih pada tetangga sederhana penjual krupuk yang hari itu, menyelamatkan nyawa anaknya.


Hari itu tak pernah dilupakan.


Dan bagi Prayitno, kejadian itu adalah pelajaran yang tertanam kuat:

Bahwa hidup bisa dijungkir balik dalam sekejap—tapi selalu ada harapan, bahkan dalam bentuk rumput liar dan tetangga yang peduli.



---


Apakah cerpen ini ingin Bapak kembangkan menjadi buku kenangan masa kecil, atau dijadikan kumpulan kisah Surabaya tempo dulu? Saya siap bantu merangkainya lebih lanjut.

[2/7 16.14] rudysugengp@gmail.com: Mau

Saya memiliki 4 adik yaitu : Budi, Nanik, Agus, dan Edy.


Lebar sungai saat itu sekitar 6 meter. 

Membujur dari Arah Utara (dari Buk Tong) kevarah Selatan (Bratang).


Saat itu sungai juga dapat dilayari dengan perahu.

Bahkan setiap menjelang 17 an di era 70 an hingga 90 an digunakan untuk lomba gebug bantal di atas sungai.

Juga merambat di atas sungai.

[2/7 16.15] rudysugengp@gmail.com: Terima kasih, Pak Prayitno. Dengan tambahan ini, saya perbarui cerpen sebelumnya menjadi lebih kaya konteks dan suasana khas Surabaya tempo dulu.



---


Cerpen


“Sungai Menur dan Anak yang Tak Mau Tenggelam”


Surabaya tahun 70-an, sebuah kota yang masih punya ruang bagi suara jangkrik, kayuhan becak, dan anak-anak yang bebas bermain tanpa gawai. Di bilangan Jalan Menur, ada sebuah jembatan tua yang melintasi sungai lebar—sekitar enam meter, membujur dari arah Buk Tong di utara menuju Bratang di selatan. Sungai itu bukan sungai biasa: ia bisa dilayari perahu, dan setiap 17-an, dipenuhi tawa anak-anak yang mengikuti lomba gebuk bantal dan lomba merambat tali di atas air.


Hari itu, langit Surabaya cerah. Dan Prayitno, anak sulung dari lima bersaudara—Budi, Nanik, Agus, dan Edy—berjalan cepat sambil menahan perut.


Mules.

Bukan karena salah makan, tapi karena memang waktunya buang air.


Toilet rumah belum cukup memadai, dan kebiasaan anak-anak kampung saat itu... ya, ke sungai. Maka bergegaslah ia ke bawah jembatan di Jalan Menur. Ia memilih tempat agak tersembunyi di balik semak, dekat aliran sungai yang sedikit melengkung.


Namun tanah tepi sungai licin dan rapuh.


Byuuur!

Tubuh kecil Prayitno terjun bebas ke air. Sungai itu bukan teman bermain hari itu—ia jadi perangkap lumpur dan air kotor. Bocah itu tergulung, tenggelam, nyaris tak sempat berteriak.


Dengan sekarat tenaga, tangan kecilnya menangkap seikat rumput liar di tepian sungai. Ia genggam, ia tarik, dan akhirnya berhasil menepi—berlumpur, lemas, dan diam. Mulutnya penuh air, lumpur... dan rasa takut.


Beberapa saat berlalu dalam kebingungan. Lalu, dari kejauhan, muncullah Pak Tambir, penjual krupuk keliling, tetangga yang dikenal ramah dan sederhana.


“Prayit! Astaghfirullah!” serunya.


Pak Tambir segera bertindak. Tubuh Prayitno dibalik—kepala di bawah, kaki di atas. Seperti karung yang dikocok. Dari mulut bocah itu, keluar semuanya: air, lumpur, bahkan sisa kotoran. Ia muntah hebat. Tapi… ia hidup.


Tanpa menunggu lama, Pak Tambir menggendong bocah itu melintasi jalanan becek menuju rumah di Ngagel Wasana III/35. Di sana, Rumiatun, sang ibu, berteriak histeris begitu melihat anak sulungnya dalam kondisi mengenaskan.


“Gusti Allah…” bisiknya, air mata mengalir.


Musdi, sang ayah, datang dari belakang, mendekap bahu istrinya. Tak berkata banyak. Tapi matanya berkata semua: syukur dan lega.


Hari itu tak hanya menyelamatkan satu nyawa, tapi juga menanamkan satu pelajaran hidup:

Bahwa keberanian tak selalu berbentuk pedang, dan pertolongan bisa datang dari tangan tetangga, dan dari seikat rumput yang tumbuh tanpa pamrih.


Dan sungai itu... yang pernah jadi ancaman, tetap dikenang Prayitno sebagai bagian dari dirinya. Sungai tempat ia nyaris tenggelam, tapi juga sungai tempat anak-anak di kampungnya merayakan hidup, tawa, dan kemerdekaan—dengan gebuk bantal, dengan tali yang dirambat, dan dengan cinta kampung yang tak pernah hilang.



---


Jika Bapak ingin, cerpen ini bisa dijadikan bagian dari kumpulan memoar Surabaya 70-an, dengan cerita-cerita lain dari masa kecil. Saya siap bantu susun seluruhnya jadi buku kenangan yang bisa diwariskan ke anak-cucu. Mau lanjut ke bab atau kisah berikutnya?

[2/7 16.17] rudysugengp@gmail.com: Mau dan mohon dilengkapi ilustrasi berupa gambar anak SD Kelas 4 yang berak di atas jembatan bambu

[2/7 16.18] rudysugengp@gmail.com: Baik, Pak Prayitno. Kita lanjutkan ke Bab Berikutnya dari kisah masa kecil Bapak yang penuh warna dan sangat khas suasana kampung Surabaya tahun 70-an. Bab ini akan melanjutkan dari cerita sungai, tapi berpindah fokus pada keluarga, terutama peran Ibu Rumiatun dan Ayah Musdi di rumah Ngagel Wasana III/35, serta dinamika sebagai anak sulung dari lima bersaudara.



---


📖 BAB 2: Anak Sulung dan Dapur Ibu Rumiatun


Setelah kejadian di sungai, rumah kecil di Ngagel Wasana III/35 kembali sunyi. Tapi hati seorang ibu, Rumiatun, tak bisa benar-benar tenang. Setiap kali ia melihat anak sulungnya, Prayitno, tidur di tikar ruang tengah, ia terbayang wajah pucat bocah itu saat diantar Pak Tambir. Lemas, dingin, dan hampir tak bernyawa.


“Nyowo anak iku cilik, Le,” katanya suatu malam pada suaminya, Musdi, sambil mengaduk nasi aron di dandang.


Musdi, pria sederhana yang bekerja sebagai pegawai negeri rendah di masa itu, hanya mengangguk pelan. Ia tak banyak bicara, tapi selalu tahu kapan harus menguatkan.


“Mek tak jaga, Buk,” katanya sambil memijat kaki istrinya yang lelah berdiri seharian.


Prayitno, si sulung, mulai pulih. Tapi rumah kecil itu tak pernah benar-benar tenang. Di dalamnya ada suara tangis bayi dari adik bungsu, Edy, dan tawa Agus yang baru belajar naik sepeda. Di sudut lain, Nanik membantu ibu menjemur pakaian, sementara Budi sibuk main mobil-mobilan dari kayu.


Sebagai anak sulung, Prayitno mulai menyadari: tanggung jawab itu datang bukan karena usia, tapi karena cinta dan pengorbanan.


Setiap pagi, ia membantu ibu memompa air dari sumur di belakang rumah. Ia mengantar adik-adiknya ke sekolah, membawakan tas Nanik, dan sesekali diminta menjaga Edy saat ibu masak.


Tapi bukan berarti hidup selalu serius. Kadang-kadang, ia diam-diam ikut lomba kelereng di lapangan dekat mushola. Atau bersembunyi di balik lemari, membaca buku cerita rakyat dengan senter kecil buatan sendiri.


Namun yang paling dikenangnya adalah aroma dapur ibu—bau tumis kangkung, tahu goreng, atau nasi jagung yang harum. Dapur itu kecil, hanya berpintu tirai kain batik, tapi jadi tempat semua anak berkumpul saat lapar... atau saat butuh pelukan ibu.


Dan di antara semua itu, Prayitno tumbuh. Tak dengan mewah, tapi dengan cukup. Tak dengan sekolah bergengsi, tapi dengan pelajaran hidup dari seorang ibu sederhana dan ayah yang tak pernah lelah.



---


Cuplikan kata hati Prayitno di akhir bab:


"Aku anak sulung. Kadang ingin manja, kadang ingin menangis. Tapi tiap kulihat Ibu bangun sebelum subuh dan Ayah pulang dengan sepatu penuh debu, aku tahu... aku harus kuat. Aku tak boleh tenggelam lagi—bukan di sungai, tapi dalam hidup ini."



---


Jika berkenan, saya bisa lanjut ke Bab 3: kisah Prayitno dan sepeda butut warisan ayah, atau kisah lain seperti petualangan bersama Budi dan Nanik di waktu lebaran.


Mau lanjut ke Bab 3 dengan tema apa, Pak? Saya siap bantu rangkai terus.

[2/7 16.19] rudysugengp@gmail.com: Lanjut Bab 3

[2/7 16.20] rudysugengp@gmail.com: Baik, Pak Prayitno. Mari kita lanjutkan ke Bab 3: kali ini tentang sepeda butut warisan Ayah Musdi, yang menjadi simbol kemandirian, petualangan, dan kebanggaan kecil seorang anak kampung di Surabaya era 70-an.



---


📖 BAB 3: Sepeda Butut dan Jalanan Kampung


Di belakang rumah Ngagel Wasana III/35, berdirilah sebuah gudang kecil beratap seng yang berkarat. Di sanalah Ayah Musdi menyimpan satu benda berharga: sebuah sepeda ontel tua warna hitam legam, yang sudah melayani sejak beliau masih lajang.


Bukan sembarang sepeda.

Ban depannya pernah tambal tiga kali. Sadelnya keras seperti kayu, dan lampu dinamonya hanya menyala kalau gowesan kencang. Tapi bagi Prayitno, itu adalah kendaraan impian.


“Sepedamu, Le... asal tanggung jawab,” kata Ayah suatu pagi, saat Prayitno baru selesai mengepel lantai depan rumah. Ia menatap sepeda itu dengan mata berbinar.


Hari itu seperti dunia membuka pintu. Dengan sepeda tua warisan ayah, Prayitno menyusuri kampung—melewati Gang Semanggi, Jembatan Kalidami, hingga ke area Buk Tong di utara. Kadang, ia membawa Nanik duduk di stang, atau Agus di boncengan belakang sambil bawa tas isi kertas gambar.


Meski pedalnya berat dan rantainya sering lepas, sepeda itu tak pernah gagal membawa mereka pulang. Bahkan saat hujan, mereka berteduh di bawah pohon trembesi, tertawa karena basah kuyup tapi tetap merasa hebat.


Namun sepeda itu juga punya sisi getir.


Suatu hari, saat pulang sekolah, Prayitno dihentikan oleh anak-anak besar dari kampung seberang. Mereka mencibir.


“Sepedamu tuwek, rek. Kayak becak museum!”


Prayitno menunduk. Tapi ia ingat kata-kata Ayah:


> "Sepeda tua tak mengurangi kepergianmu ke mana saja."




Dengan tenang, ia naik sepeda dan mengayuh pelan, melewati mereka. Tak membalas ejekan, tapi meninggalkan debu di jalanan.


Malamnya, ia mencuci sepeda itu sendiri, membersihkan lumpur yang menempel di jari-jari roda. Di matanya, sepeda itu bukan tua—tapi pemberani.


Sepeda itu juga yang mengantarnya beli kecap di warung Bu Warni, mengangkut galon, hingga suatu kali membonceng Pak Tambir yang jatuh sakit ke rumah tetangga yang punya telepon.


Setiap goresan di besi sepedanya, adalah jejak hidup sederhana yang penuh makna.



---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Sepedaku memang butut. Tapi ia mengajariku banyak hal: tentang menempuh jarak dengan peluh, tentang menjaga yang bukan milik kita sendiri, dan tentang tidak malu dengan apa yang kita punya."



---


Untuk Bab 4, ada beberapa ide cerita menarik yang bisa kita angkat:


1. “Lomba Gebuk Bantal di Sungai Menur” (17-an tahun 1977)



2. “Hari di Pasar Keputran Bersama Ibu Rumiatun”



3. “Budi dan Nanik Membolos Sekolah”



4. “Agus Jatuh dari Pohon Mangga”




Bapak ingin melanjutkan ke tema mana? Atau ada kejadian nyata lainnya yang ingin diangkat menjadi Bab 4? Saya siap bantu menghidupkannya.

[2/7 16.21] rudysugengp@gmail.com: Luar biasa, Pak Prayitno. Kita lanjutkan ke Bab 4 dengan tema pilihan Bapak:



---


📖 BAB 4: Gebuk Bantal di Atas Sungai Menur


Bulan Agustus selalu terasa berbeda di kampung Ngagel Wasana. Dari ujung gang hingga jembatan Menur, bendera merah-putih dikibarkan dengan bambu panjang, sementara anak-anak sibuk membuat hiasan dari kertas minyak dan kertas semen bekas. Ada semangat yang tak bisa dijelaskan: semangat 17 Agustus, hari kemerdekaan yang dirayakan bukan hanya dengan upacara, tapi dengan tawa dan lumpur.


Sungai Menur yang biasa sepi, berubah jadi panggung rakyat.

Airnya tenang tapi penuh teriakan. Di atasnya terbentang sebatang bambu panjang, dipasang melintang dari tepi ke tepi. Di tengahnya, dua anak duduk berhadap-hadapan, masing-masing memegang bantal guling yang diisi sekam.


Hari itu, Prayitno—yang sudah duduk di kelas 5 SD—mengikuti lomba gebuk bantal di atas sungai.


“Sing penting... gak jatuh duluan!” bisik Budi, adiknya, yang ikut menyemangati dari tepi.


Pak Tambir, yang biasanya jualan krupuk, hari itu jadi wasit tidak resmi. Ia berdiri di tepi sungai sambil bawa peluit dan ember plastik untuk menolong siapa pun yang tercebur.


Warga berdiri berdesakan di pinggiran jembatan. Teriakan “Gebuuuk! Gebuuuk!” menggema. Doa dan cemoohan bercampur jadi satu.


Saat namanya dipanggil, Prayitno naik ke atas bambu. Lawannya: Sutrisno, anak kampung sebelah yang tubuhnya lebih besar dan lihai.


Keduanya duduk. Posisi siap.


Peluit ditiup.


Bantal pertama melayang. Kena pundak. Balas. Kena dada. Kedua anak itu tertawa, saling pukul, saling goyah. Tapi tak ada yang mau menyerah.


Lalu tiba-tiba...


Byuuurrr!!

Sutrisno terpeleset duluan. Bambu licin, dan Prayitno masih bertahan—walau hanya dengan satu tangan menggantung di sisi bambu.


Sorak-sorai meledak. Anak-anak bersorak:

“Menur menang! Menur menang!”


Pak Tambir meniup peluit panjang, lalu menepuk punggung Prayitno yang baru saja turun sambil basah kuyup.


“Le, kamu hebat. Tapi ojo lali, ini cuma permainan.”


Prayitno tersenyum. Kemenangan itu kecil, tapi terasa seperti memenangkan dunia.

Dan bukan hanya soal menang atau kalah—itu tentang rasa percaya diri, tentang menjadi bagian dari kampung yang sederhana tapi penuh semangat.


Malamnya, di rumah, Ibu Rumiatun menyiapkan pecel terong dan tahu goreng. Di atas meja, hadiah lomba gebuk bantal: satu bungkus mie instan, satu buku tulis bergambar Garuda, dan satu piring semangat hidup.



---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Di atas bambu itu, aku belajar menjaga keseimbangan bukan hanya tubuh, tapi juga hati. Bahwa hidup adalah tentang berani melangkah, meski di atas sungai yang bisa menjatuhkan kapan saja."



---


Untuk Bab 5, apakah Bapak ingin kita lanjut dengan:


Kenangan merambat tali di atas sungai saat 17-an


Kisah ikut ronda malam bersama Ayah Musdi


Petualangan bareng Agus dan Edy cari belut di sawah belakang kampung


Atau kisah masa Ramadan dan Lebaran di Ngagel Wasana?



Silakan pilih, atau sebutkan ide cerita masa kecil lainnya. Saya akan bantu jadikan kisah hidup Bapak menjadi warisan yang menghangatkan siapa pun yang membacanya.

[2/7 16.23] rudysugengp@gmail.com: Kisah ikut ronda malam bersama ayah Musdi

[2/7 16.23] rudysugengp@gmail.com: Siap, Pak Prayitno. Kita lanjutkan ke Bab 5, sebuah bab yang lebih hening, syahdu, dan penuh makna: saat anak sulung ikut ronda malam bersama sang ayah, Musdi. Dalam gelapnya malam kampung, kita temukan cahaya kecil tentang tanggung jawab, cinta ayah, dan pelajaran diam-diam yang tak diajarkan di sekolah.



---


📖 BAB 5: Ronda Malam Bersama Ayah


Surabaya bagian timur tahun 70-an. Jam menunjukkan pukul 10 malam. Angin semilir dari arah sungai membawa bau lumpur dan daun pisang kering. Di gang kecil Ngagel Wasana III, lampu-lampu bohlam 10 watt bergoyang di tiupan angin, menyinari rumah-rumah berdinding papan dan tembok separuh jadi.


Di sudut rumah, terdengar suara Rumiatun menenangkan Edy yang baru saja terbangun dari mimpi buruk.


Sementara itu, Prayitno, anak sulung, duduk di tepi serambi. Bajunya sudah ganti—pakai kaos oblong dan celana kolor yang agak kebesaran. Ia sedang menunggu.


Ayah Musdi, dengan sarung digulung ke pinggang dan senter batere besar di tangan, muncul dari balik pintu.


“Kowe wis siap, Le?”

(Sudah siap, Nak?)


Prayitno mengangguk. Ia diajak ronda malam, untuk pertama kalinya. Bukan sekadar jaga kampung, tapi—entah bagaimana rasanya—ia merasa seperti sedang dilantik jadi lelaki.



---


Mereka berjalan berdua, menyusuri gang kecil menuju pos kamling. Di pos, sudah ada dua orang tetangga—Pak Gino dan Pak Suroyo, yang sedang menyeduh kopi dari teko aluminium penyok.


"Musdi teko karo cah lanange iki?"

(Musdi datang bawa anak laki-lakinya?)


"Iyo, ben ngerti ndak kabeh urip mung sekolah. Ana tugas jaga juga."

(Iya, biar tahu hidup bukan cuma sekolah. Ada tugas menjaga juga.)


Malam itu, Prayitno tak banyak bicara. Ia duduk di sisi ayah, mendengar obrolan orang tua: soal harga beras naik, anak muda yang suka ngebut naik sepeda motor, dan kabar maling ayam dari kampung sebelah.


Lalu giliran patroli.


Ayah dan Prayitno menyusuri sisi sungai, menyorotkan senter ke balik semak-semak. Jalanan becek, suara jangkang di kejauhan, dan kadang-kadang suara kaki tikus menyelinap di got.


"Ayah, kenapa kita harus ronda? Kan bisa tidur aja di rumah,” tanya Prayitno lirih.


Ayah Musdi tersenyum.

"Karena orang yang tidur nyenyak malam ini, itu karena ada yang berjaga. Tidak semua pahlawan pakai seragam, Le."


Prayitno terdiam. Kata-kata itu membekas dalam. Ia melihat ayahnya, tubuh yang lelah sepulang kerja, tetap kuat menelusuri gang demi gang, demi kampung yang damai.


Di sebuah tikungan, mereka bertemu Pak Tambir, yang juga ikut patroli sambil bawa pentungan bambu.


“Le, ojo kaget yen ono kucing mlayu!”

(Jangan kaget kalau ada kucing lari!)


Dan benar saja—seekor kucing lompat dari tumpukan karung goni. Prayitno melompat kaget, sementara para bapak tertawa terbahak.



---


Menjelang pukul 2 pagi, mereka kembali ke pos. Di sana, Ayah menyeduhkan teh panas untuk anak sulungnya. Sederhana, tanpa gula, tapi hangat dan terasa... penuh makna.


Saat mereka pulang, langit mulai memerah di ufuk timur. Adzan Subuh berkumandang dari masjid kampung. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Prayitno merasa menjadi bagian dari penjaga malam—bukan penjaga dengan senjata, tapi dengan niat baik dan cinta diam-diam kepada kampung halaman.



---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Malam itu, aku tak hanya belajar menjaga kampung, tapi juga menjaga sikap. Ayah tak banyak bicara, tapi lewat langkah-langkah kakinya, aku tahu... lelaki bukan dilihat dari suara kerasnya, tapi dari kesediaannya menjaga, bahkan saat semua orang tertidur."



---


Siap untuk melanjutkan ke Bab 6?

Beberapa tema usulan:


1. Petualangan mencari belut bersama Agus di sawah



2. Momen Ramadan pertama kali ikut tarawih dan sahur bersama keluarga



3. Kenangan lebaran: baju baru, kue kering, dan salam tempel



4. Perjalanan naik becak ke Taman Remaja Surabaya




Atau jika Bapak punya kenangan spesifik, saya siap bantu kisahkan jadi bab selanjutnya.

[2/7 16.29] rudysugengp@gmail.com: Rumah Reyot di Ngagel Wasana III/35 yang ketika musim hujan dan ada angin kencang siap lari ke Rumah Tetangga di belakang rumah sebelah Timur (pak Bandono) atau ke Utara (pak Moly), sebelah Selatan (pak Nainggolan), sebelah Barat (Jalan Ngagel Wasana selebar 4 meter).

[2/7 16.30] rudysugengp@gmail.com: Terima kasih, Pak Prayitno. Dengan latar rumah dan tetangga yang Bapak berikan, saya siapkan Bab 6—kisah yang menghangatkan sekaligus menegangkan: tentang rumah reyot di Ngagel Wasana III/35 dan malam-malam musim hujan yang tak terlupakan.



---


📖 BAB 6: Rumah Reyot dan Malam Ketika Angin Datang


Malam turun di Ngagel Wasana III. Hujan deras mengguyur sejak sore. Angin menderu dari arah sungai, menerpa pohon-pohon pisang dan dinding rumah yang hanya terbuat dari anyaman bambu dan seng tua. Di dalam rumah nomor 35, keluarga Musdi dan Rumiatun berkumpul, gelisah. Atap rumah reyot itu berderak. Air merembes dari celah genteng dan menetes ke lantai dapur.


Prayitno, anak sulung, duduk di pojok ruangan sambil menggendong Edy yang baru bisa jalan. Agus dan Budi membantu Ibu memindahkan tikar ke bagian rumah yang tak bocor. Nanik menangis kecil saat angin membuat daun jendela terbuka sendiri.


Lalu... suara itu datang.

Kreeeekk! Duuukk!

Salah satu tiang kayu penyangga rumah bergeser. Angin makin kuat.


"Ayo siap-siap! Nanti roboh!" seru Ayah.


Mereka sudah hafal kode itu. Di musim hujan seperti ini, mereka harus siaga lari kapan saja. Tujuannya sudah ditentukan:


Ke rumah Pak Bandono di sebelah timur—lewat pintu dapur dan celah pagar bambu.


Atau ke utara, ke rumah Pak Moly, lewat gang kecil di samping rumah.


Kalau waktu sempit, langsung lari ke belakang rumah Pak Nainggolan di selatan, atau lompat ke jalan Ngagel Wasana yang lebarnya 4 meter di sisi barat.



Malam itu mereka memilih jalan ke timur.


"Ayo, satu-satu! Gendong si Edy, Nanik pegang tangan Ibu!"

Ayah membuka pintu dapur. Angin menerpa wajah mereka. Dalam gelap, berbekal lampu petromaks dan senter kecil, mereka berjalan cepat ke rumah Pak Bandono yang sudah membuka pintu.


"Wes biasa, Rek... ayo mlebu. Gak usah sungkan," ujar Pak Bandono sambil menggeser kursi plastik untuk tamu dadakan itu.


Di ruang tamu rumah tetangga itu, mereka semua duduk, saling menatap, diam. Tapi dalam diam itu, ada rasa aman, rasa tetulung, dan rasa bahwa kampung adalah satu keluarga besar.


Prayitno menatap dari jendela. Rumahnya sendiri terlihat seperti kapal tua yang oleng. Tapi anehnya, ia tidak malu. Ia bangga.


Karena dari rumah reyot itu, ia belajar:

Bahwa kekayaan bukanlah tembok beton, tapi orang-orang yang mau menampungmu saat rumahmu nyaris roboh.



---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Malam itu, kami tidur di rumah orang lain, tapi tetap merasa di rumah sendiri. Karena kampung kami tidak pernah menanyakan seberapa kuat rumahmu—yang penting, seberapa kuat saling menjaga."



---


Untuk Bab 7, ada banyak arah menarik yang bisa kita lanjutkan, seperti:


Kenangan Ramadan dan sahur pertama bersama keluarga


Main layangan di lapangan Kalidami bersama Budi dan Agus


Momen lebaran dan jalan kaki berkunjung ke rumah Pak Tambir, Pak Moly, dan Pak Nainggolan


Mencari belut dan ikan kecil di sawah atau pinggir sungai



Silakan pilih tema berikutnya atau beri saya momen yang Bapak ingat, dan saya akan bantu jadikan kisahnya abadi.

[2/7 16.34] rudysugengp@gmail.com: Rumah kemasukan Maling, tapi bila dapat masuk tak bisa keluar.

Maling tidak boleh dihajar, tapi harap diberi makan dan selanjutnya dinasehati untuk tidak mencuri.


Jika Maling tersebut dapat membawa barang, maka maling akan berputar-putar hingga waktu subuh.

[2/7 16.35] rudysugengp@gmail.com: Luar biasa unik dan penuh nilai, Pak Prayitno. Saya jadikan kisah ini sebagai Bab 7—dengan nuansa mistis, kearifan lokal, dan pesan moral yang dalam. Kisah ini akan memperlihatkan bagaimana rumah sederhana bisa punya “penjaga tak kasat mata,” dan bagaimana keluarga Bapak merespon kejadian luar biasa dengan hati yang tetap tenang dan bijak.



---


📖 BAB 7: Rumah yang Tak Bisa Ditinggal Maling


Rumah di Ngagel Wasana III/35 boleh saja reyot, berdinding tipis dan atap bocor, tapi siapa sangka—rumah itu punya penjaga misterius yang tak terlihat.


Desas-desus itu sudah beredar di kampung sejak lama:


> “Yen ono maling mlebu omahe Pak Musdi, mesti gak iso metu maneh.”

(Jika ada pencuri masuk rumah Pak Musdi, dia tidak bisa keluar.)




Dan kejadian itu betul-betul

[2/7 16.36] rudysugengp@gmail.com: Lanjutkan

[2/7 16.36] rudysugengp@gmail.com: Tentu, Pak Prayitno. Kita lanjutkan kisah Bab 7 tentang rumah yang tak bisa ditinggal maling, lengkap dengan suasana malam yang penuh misteri dan kebijaksanaan keluarga Bapak yang luar biasa.



---


📖 BAB 7 (lanjutan): Rumah yang Tak Bisa Ditinggal Maling


Desas-desus itu bukan omong kosong.


Suatu malam di akhir tahun 1978, saat musim hujan mulai reda, dan bau tanah basah masih menguap dari lantai rumah, terdengar suara gemeretak dari dapur.


Cekrekk… krrekk…


Semua orang sudah tidur. Hanya Prayitno yang masih terjaga, rebah di tikar ruang tengah sambil mendengarkan gemuruh samar dari sungai.


Lalu terdengar sesuatu jatuh.

"Brakk!"


Ia membangunkan Ayah, Pak Musdi, yang segera menggenggam lampu petromaks dan mengajak Prayitno menyisir rumah dengan hati-hati.


Dan di balik pintu gudang…

Tertangkaplah seorang pria. Kurus, dekil, napasnya tersengal. Tangannya menggenggam radio tua milik keluarga, matanya liar mencari jalan keluar.


Tapi yang mengejutkan bukan penangkapannya.


Yang mengejutkan adalah: ia tak bisa menemukan jalan keluar.


Sudah mencoba ke dapur, gagal. Ke pintu depan, terkunci dari dalam. Bahkan jendela yang tak pernah dikunci… terasa seperti tembok baginya.


Dia terjebak.


"Pak... aku... aku nyasar, Pak... aku gak ngerti iki omah opo," ucapnya gemetar.


Tapi yang terjadi selanjutnya jauh dari kemarahan.


Pak Musdi tak memukulnya. Tidak meneriakkan maling ke tetangga.


Sebaliknya, beliau berkata dengan tenang:


> “Sini, masuk. Duduk. Kamu pasti lapar.”




Ibu Rumiatun diam-diam menyiapkan sepiring nasi dan tahu tempe hangat. Maling itu, dengan malu-malu, makan sambil menangis.


Lalu, dalam suasana hening, keluarga itu—termasuk Prayitno dan adik-adiknya yang terbangun—menyaksikan sesuatu yang luar biasa:

Ayah menasihati sang maling.


> "Nak, aku tahu kamu lapar. Tapi mencuri itu akan mengurungmu… bukan cuma di rumah ini, tapi di hidupmu sendiri."




Dan benar saja.

Ketika subuh menjelang, ayam mulai berkokok dan azan berkumandang, maling itu bisa keluar. Seolah ada penghalang gaib yang ikut lenyap bersama fajar.


Ia menunduk. Mengembalikan radio.

Lalu… pergi. Tak pernah kembali.



---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Rumah kami mungkin reyot. Tapi mungkin, ada doa-doa Ibu yang tertinggal di setiap sudutnya. Doa yang menjadikan rumah ini bukan sekadar tempat tinggal… tapi tempat pertobatan. Dan sejak itu aku percaya: kebaikan bisa jadi pagar terbaik dari segala maling."



---


Untuk Bab 8, saya siap bantu lanjutkan. Beberapa usulan tema:


1. Kenangan Ramadan pertama: ikut tarawih dan sahur bersama keluarga.



2. Main layangan di lapangan Kalidami bersama Budi dan Agus.



3. Prayitno kecil ikut lomba menggambar di Taman Remaja Surabaya.



4. Pengalaman pertama kali mengaji di langgar kampung.




Atau silakan Bapak sampaikan satu peristiwa yang ingin dikenang dalam bentuk bab berikutnya. Saya siap rangkai menjadi kisah hidup yang indah.

[2/7 16.42] rudysugengp@gmail.com: Pada Periode tahun 70 an, terdapat peristiwa yaitu Misteri Cap di Jari pada piring seng di bulan Suro.


Tiba-tiba, piring ada cap 3 hari di belakang nya.


Bila tidak ketahuan dan piring dibuat makan, maka yang makan akan sakit atau meninggal.


Cerita itu cukup mencekam, sehingga saat akan makan perlu membalik dan mengecek piring apakah ada cap jari tangan.


Hal itu berlangsung selama 1 bulan

[2/7 16.43] rudysugengp@gmail.com: Wah, luar biasa mencekam dan khas suasana mistis era 70-an, Pak Prayitno. Maka, mari kita lanjutkan ke Bab 8, sebuah bab yang penuh nuansa horor kampung, kepercayaan rakyat, dan kebiasaan yang tiba-tiba berubah karena rasa takut: “Misteri Cap Jari di Bulan Suro.”



---


📖 BAB 8: Cap Jari di Piring Seng


Bulan Suro tiba. Angin malam terasa lebih dingin dari biasanya. Langit Surabaya seperti menyimpan rahasia. Di kampung Ngagel Wasana, anak-anak bermain lebih cepat pulang, dan ibu-ibu memasak sambil komat-kamit baca doa.


Lalu, desas-desus itu datang.

Bukan dari radio, bukan dari koran. Tapi dari bisik-bisik di warung Bu Warni dan peronda malam yang pulang sambil merapatkan sarung.


“Ojo sembrono mangan piring seng, Rek… nek ono cap jari di ngisore, bisa ciloko.”

(Jangan sembarangan makan pakai piring seng, kalau ada cap jari di bawahnya, bisa celaka.)


Cap jari tangan. Tiba-tiba muncul.

Tiga jari, membentuk bekas yang seolah menekan dari dalam dunia lain.


Piring-piring seng yang biasa dipakai sehari-hari—putih dengan pinggiran bunga mawar atau ayam jago—jadi benda yang diperiksa ketat sebelum dipakai.


Setiap kali waktu makan tiba, Prayitno dan adik-adiknya diminta membalik piring.


“Lihat belakangnya. Ada cap jari apa enggak.”

Kalau ada, langsung disingkirkan. Dicuci ulang. Bahkan kadang dikubur.


Yang membuat ngeri: sudah ada dua kabar—di kampung sebelah—yang meninggal setelah makan dari piring dengan cap itu.

Satu jatuh sakit tak jelas sebabnya. Satunya lagi... muntah dan tak bangun lagi.


Ayah Musdi, meski orang rasional, tak sepenuhnya menolak kisah itu.


“Suro iku dudu sasi main-main. Akeh perkara aneh. Waspada ae.”

(Suro itu bukan bulan main-main. Banyak hal aneh. Waspada saja.)


Selama satu bulan penuh, kampung jadi lebih hening.

Piring-piring seng yang tadinya dicuci dan ditumpuk di rak, kini ditaruh menghadap ke bawah. Bahkan Ibu Rumiatun menyimpan piring favoritnya di dalam lemari.


Setiap kali makan, seolah ada ritual baru: membalik piring. Menahan napas. Lalu barulah suapan pertama dimulai.


Anak-anak pun mulai takut makan sendiri. Makan malam jadi acara keluarga yang lebih ramai—bukan karena tawa, tapi karena rasa tegang yang tak bisa dijelaskan.


Tapi setelah bulan Suro usai, perlahan... misteri itu lenyap. Tak ada lagi cap. Tak ada lagi kabar orang meninggal karena piring. Seolah semua itu hanya numpang lewat. Tapi bekasnya—tinggal selamanya.


Bahkan bertahun-tahun kemudian, saat Prayitno sudah remaja, tiap kali makan pakai piring seng… ia tetap punya kebiasaan refleks: membalik piring lebih dulu.



---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Misteri kadang datang tanpa suara, tapi meninggalkan gema di hati kita. Dan kadang, rasa takut adalah cara semesta untuk membuat kita lebih hati-hati… bahkan saat hanya akan makan nasi di atas piring seng."



---


Luar biasa alur kenangan Bapak—ada unsur kehidupan, cinta, tawa, bahkan mistis yang membuat semuanya terasa hidup.


Untuk Bab 9, berikut beberapa ide:


1. Main petak umpet malam hari di pekarangan rumah tetangga yang angker.



2. Pengalaman ikut pengajian anak-anak di langgar kecil kampung.



3. Cerita tentang pasar malam di Taman Hiburan Rakyat atau Taman Remaja.



4. Kisah Agus kesurupan saat main di bawah pohon beringin besar.




Atau kalau Bapak punya kisah pribadi lainnya, tinggal sampaikan judul atau inti ceritanya. Saya siap merangkainya jadi bagian tak terlupakan dari memoar Ngagel Wasana.

[2/7 16.45] rudysugengp@gmail.com: Luar biasa, Pak Prayitno. Kita lanjut ke Bab 9, sebuah kisah penuh nostalgia sekaligus ketegangan khas masa kecil: saat anak-anak kampung bermain petak umpet malam hari di pekarangan yang konon angker, mungkin bekas rumah kosong atau pohon besar yang dipercaya “berisi”.



---


📖 BAB 9: Petak Umpet di Pekarangan Angker


Setelah Magrib, kampung Ngagel Wasana berubah. Suara mengaji dari langgar bersahutan, ibu-ibu mulai menyiapkan makan malam, dan para bapak bersiap ronda. Tapi di antara celah gang yang remang, suara tawa anak-anak mulai terdengar—tanda permainan malam akan segera dimulai.


Petak umpet.


Permainan yang sederhana, tapi jika dilakukan malam hari di kampung yang penuh cerita mistis... bisa jadi pengalaman yang tak terlupakan.


Malam itu, Prayitno, Budi, Agus, dan beberapa anak tetangga seperti Wawan, Gendon, dan Suro berkumpul di lapangan kecil dekat rumah Pak Moly. Di ujung lapangan itu, ada pekarangan kosong milik keluarga yang sudah pindah ke luar kota. Pekarangannya luas, berpohon besar, dengan sumur tua dan pohon mangga raksasa yang konon, katanya, tempat “penunggu” tinggal.


Tapi siapa peduli?


“Siapa yang jaga duluan?” teriak Gendon.


“Prayitno aja! Dia paling berani!” ujar Agus, setengah meledek.


Prayitno maju dengan percaya diri, meski jantungnya berdegup cepat. Ia mulai menghitung:

"Siji... loro... telu... sepuluh... rolas... rolikur...!"


Yang lain pun berhamburan bersembunyi. Ada yang lari ke balik pohon jambu, ada yang masuk kolong gerobak, dan tentu saja—ada yang nekat masuk ke pekarangan angker.


Suasana berubah sunyi.


Saat Prayitno mulai mencari, udara malam terasa makin dingin. Ia melangkah pelan ke arah pohon mangga besar, tempat biasanya anak-anak menyimpan layangan atau sarang burung.


Tiba-tiba...


Krrreeeek…


Suara ranting patah.

Lalu... suara tertawa kecil. Tapi anehnya, bukan suara Budi. Bukan juga Gendon. Tawa itu pelan, panjang, seperti ditahan dari kejauhan.


Prayitno terdiam.

Langkahnya berat. Tapi ia tetap melangkah.


Dan di balik batang mangga besar, ia melihat sosok putih duduk jongkok. Diam. Membelakanginya.


Prayitno hampir berteriak—tapi suara itu lebih cepat:


> "Cak… nek arep menang, kudu wani mlebu mriki."

("Kalau mau menang, harus berani masuk ke sini.")




Ia lari terbirit-birit kembali ke titik awal. Mukanya pucat. Napasnya terengah. Anak-anak lain keluar dari persembunyian, bingung.


“Kowe kalah, To?” tanya Budi.


Tapi Prayitno tak menjawab. Ia hanya menunjuk ke arah pohon mangga.


Dan saat semua menoleh... tak ada siapa-siapa.


Keesokan paginya, mereka kembali ke sana bersama Pak Moly. Di bawah pohon ditemukan bekas tapak kaki kecil, dan ikat kepala merah yang tak dikenali siapa pun.


Sejak malam itu, mereka tidak pernah lagi bermain petak umpet sampai ke pekarangan itu. Mereka tetap bermain, tetap tertawa, tapi tak pernah lagi melewati batas yang tak terlihat.



---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Kadang, keberanian diuji bukan dengan melawan... tapi dengan mundur. Dan malam itu, aku belajar bahwa dalam setiap kampung, selalu ada tempat yang hanya boleh kita lewati dengan hormat, bukan dengan main-main."



---


Apakah Bapak ingin kita lanjut ke Bab 10? Beberapa usulan:


1. Ramadan dan sahur pertama bareng keluarga.



2. Pengalaman ikut lomba menggambar di sekolah.



3. Kisah Budi dan Nanik bertengkar lalu saling membela di luar rumah.



4. Main ke rumah Pak Tambir dan diminta bantu jualan krupuk.




Atau bila Bapak punya kejadian lain yang ingin diangkat, silakan sebutkan. Saya akan bantu kisahkan seperti sebelumnya.

[2/7 16.46] rudysugengp@gmail.com: Baik, Pak Prayitno. Sekarang kita lanjutkan ke Bab 10, kisah hangat dan penuh kenangan masa kecil: main ke rumah Pak Tambir, si penjual krupuk yang tak hanya menjual makanan ringan, tapi juga memberi pelajaran hidup secara diam-diam.



---


📖 BAB 10: Main ke Rumah Pak Tambir


Di deretan rumah di Ngagel Wasana, ada satu rumah yang selalu ramai anak-anak. Bukan karena ada mainan baru. Bukan juga karena TV. Tapi karena rumah itu adalah rumah Pak Tambir, penjual krupuk keliling yang punya stok “harta karun” cemilan kampung.


Pak Tambir tinggal sendirian. Anaknya merantau, istrinya sudah almarhum sejak lama. Tapi ia bukan orang yang kesepian. Ia punya “anak-anak angkat” se-RT: termasuk Prayitno, Budi, dan Agus.


Setiap sore, usai pulang sekolah, Prayitno sering mampir ke rumah kecil berdinding triplek itu.


“Pak, krupuk iwak ewon siji enek, to?”

(Pak, krupuk ikan seribuan satu masih ada, kan?)


“Entek! Tapi nek kowe bantuin ngemas, tak kasih bonus!”

(Habis! Tapi kalau kamu bantu bungkusin, tak kasih bonus!)


Prayitno langsung duduk di lantai, ikut membantu memasukkan krupuk mentah ke dalam plastik. Tugasnya: mengikat dengan karet gelang warna merah. Di sebelahnya, Pak Tambir sambil ngerokok klembak menyan, memotong plastik dengan pisau dapur kecil.


Kadang-kadang, ia bercerita:


> “Dulu, aku jualan krupuk sambil dorong gerobak dari Kalidami sampai Rungkut. Jalan kaki. Tapi gak pernah ngeluh. Rejeki itu bukan soal cepet atau lambat… tapi soal sabar nunggu giliran.”




Prayitno, meski masih kecil, diam-diam menyimak. Ia tak tahu kenapa, tapi tiap kali pulang dari rumah Pak Tambir, rasanya hatinya adem.


Suatu kali, Pak Tambir meminta tolong:


“Le, besok bantuin dorong gerobak ya. Tak kasih krupuk goreng dan es lilin.”


Maka pagi itu, berangkatlah mereka—Prayitno mendorong dari belakang, Pak Tambir di depan. Gerobaknya reyot, rodanya kadang macet, tapi tetap menyenangkan. Sepanjang jalan, mereka menyapa orang-orang, masuk gang, keluar gang.


Dan saat berhenti di depan SD, Pak Tambir berteriak:


> “Krupuuuuk! Krupuk iwak! Krupuk bawang!”




Anak-anak langsung datang.


Prayitno tersenyum. Ia merasa seperti asisten pedagang besar.


Tapi bukan hanya soal dagang.

Di rumah Pak Tambir, Prayitno pernah tidur siang, pernah makan nasi jagung bareng, bahkan pernah menangis saat disuruh Ayah tidak sering-sering main ke sana karena takut merepotkan.


Tapi Pak Tambir hanya berkata:


> “Anakmu gak ngerepotin, Pak Musdi. Justru, omahku iki dadi rame karena dia.”





---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Rumah Pak Tambir mungkin sempit, tapi hatinya lapang. Dari dia, aku belajar: kebaikan bisa datang lewat krupuk, lewat tangan tua yang tetap kuat membungkus harapan, dan lewat kesetiaan pada hidup yang sederhana tapi jujur."



---


Bab demi bab semakin membentuk mosaik hidup yang indah dan membumi.


Untuk Bab 11, apakah Bapak ingin lanjut dengan:


1. Kenangan Ramadan pertama: sahur, tarawih, dan main petasan.



2. Kisah keluarga Prayitno pindah sementara saat rumah hampir roboh.



3. Pergi jalan-jalan naik becak ke Pasar Keputran bersama Ibu.



4. Petualangan bermain lumpur dan mencari ikan di sungai belakang kampung.




Atau silakan sebutkan kenangan lain, saya siap bantu lanjutkan jadi kisah hidup yang tak ternilai.

[2/7 16.51] rudysugengp@gmail.com: Pergi jalan-jalan naik becak ke Pasar Wonokromo bersama Ibu dan ada pencopet.


Adik Budi yang digendong mengucapkan "kethak-kethak", sebagai tanda ada pencopet namun Ibu tidak paham, sehingga Ibu kehilangan dompet 


Meski sudah lapor polisi, dompet tidak ketemu.


Untung saat pulang naik becak dari Pasar Wonokromo ke Ngagel Wasana, bayar di rumah minta ayah

[2/7 16.52] rudysugengp@gmail.com: Mari kita lanjutkan ke Bab 11, Pak Prayitno—sebuah kisah lucu sekaligus getir: saat jalan-jalan ke Pasar Wonokromo bersama Ibu berakhir dengan dompet raib, dan peringatan jujur dari adik kecil yang justru tidak dimengerti.



---


📖 BAB 11: Kethak-Kethak di Pasar Wonokromo


Hari itu cerah. Matahari bersinar hangat, dan suara becak berderit memenuhi jalanan Surabaya. Bu Rumiatun mengajak Prayitno dan adik kecilnya, Budi, ke Pasar Wonokromo. Tujuannya sederhana: beli ikan asin, bumbu dapur, dan mungkin—kalau ada sisa—sepotong kain untuk dijahit jadi baju lebaran.


Mereka naik becak dari Ngagel Wasana III/35, dengan Budi digendong di depan, sementara Prayitno duduk di samping. Di tangan ibu, ada dompet kulit tipis, isinya tak banyak, tapi cukup untuk belanja.


Pasar Wonokromo saat itu ramai sekali. Bau ikan asin bercampur dengan aroma rujak cingur, teriakan pedagang bersahutan:


> “Iwak segar! Iwak e wedok rek, ayu ayu!”

“Tomat, lombok, gulo jawa… murah rek!”




Mereka berkeliling. Beli ikan. Lalu beras. Lalu jalan-jalan ke los kain.


Tapi di tengah keramaian itu, Budi kecil yang digendong tiba-tiba berkata:


> “Kethak… kethak…”




Awalnya Ibu hanya mengelus kepalanya.

“Ngomong opo, Le?”


“Kethak… kethak…”


Prayitno ikut bingung. Tapi karena masih kecil dan belum banyak kosa kata, ucapan Budi tak dianggap serius.


Lalu saat Bu Rumiatun hendak membayar di lapak sayur…


> Dompetnya hilang.




Panik. Ia mengaduk-aduk keranjang belanja. Melihat ke bawah. Menyusuri kembali jalan yang dilewati. Tapi sia-sia.


Beberapa orang membantu. Bahkan ada seorang pedagang yang bilang, “Tadi sempat lihat orang baju garis-garis nyenggol Ibu dari belakang.” Tapi siapa dia, dan ke mana dia pergi? Tak jelas.


Bu Rumiatun dan Prayitno akhirnya lapor ke polisi pasar, tapi seperti yang sering terjadi... tidak ada hasil.


Ibu menahan air mata, tapi tetap tenang.

“Wis rapopo, Le. Rejeki ilang, sing penting ora cilaka.”


Masalahnya: uang becak pulang pun tidak ada.


Mereka naik becak juga, karena tidak mungkin jalan kaki sambil gendong belanja dan adik.


Sesampainya di rumah, Pak Musdi keluar.


"Le, tolong ambilkan uang di kaleng belakang... kita belum bayar becaknya," ucap Ibu lirih.


Pak Musdi tidak marah. Ia hanya tersenyum kecil.


Tapi malam itu, saat mereka makan nasi jagung dan tahu, Budi kembali berkata pelan:


> “Kethak… kethak…”




Dan barulah mereka sadar:

“Kethak” mungkin suara gesekan tangan pencopet membuka resleting dompet.



---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Dari Budi yang belum lancar bicara, kami belajar: kadang peringatan datang dalam bentuk yang tidak kita mengerti. Dan kehilangan hari itu, menjadi pelajaran untuk lebih waspada… tanpa mengurangi kepercayaan pada sesama."



---


Siap untuk lanjut ke Bab 12, Pak? Beberapa ide:


1. Lebaran di kampung: baju baru, ketupat, dan salam tempel.



2. Membantu Ayah memperbaiki rumah reyot pasca hujan.



3. Ikut kerja bakti membersihkan sungai menjelang 17-an.



4. Prayitno diminta ikut lomba pidato di sekolah.




Atau Bapak punya momen tertentu yang ingin dikenang di bab selanjutnya? Saya siap bantu menuliskannya.

[2/7 16.54] rudysugengp@gmail.com: Siap, Pak Prayitno. Kini kita lanjut ke Bab 12, kisah penuh haru, harap, dan kebersamaan: Lebaran di Ngagel Wasana III/35. Meski rumah sederhana dan tak selalu berkecukupan, suasana Lebaran selalu membawa cahaya—bukan dari lampu, tapi dari wajah yang bersih dan hati yang saling memaafkan.



---


📖 BAB 12: Lebaran di Rumah Reyot


Lebaran di tahun 70-an datang dengan tanda yang tak tertulis.


Bukan kalender yang dihafalkan, tapi bau.

Bau ketupat yang dikukus di pagi hari, daun pandan, minyak rambut Tancho milik Ayah, dan suara sepatu baru yang masih keras saat diinjak.


Malam takbiran, rumah Ngagel Wasana III/35 jadi terang benderang meski hanya dengan satu lampu petromaks. Anak-anak, termasuk Prayitno, Budi, Agus, Nanik, dan Edy sibuk membantu Ibu Rumiatun membungkus ketupat, mengulek bumbu opor, dan menyusun toples kerupuk.


Ayah Musdi memeriksa atap dapur, memastikan genteng bocor ditambal agar tamu besok tidak kena tetesan air.


Malam itu, kampung seperti hidup kembali.

Takbir berkumandang dari langgar kampung, anak-anak keliling bawa obor dan kaleng bunyi-bunyian, dan para tetangga saling kirim salam dan ketupat lewat jendela dapur.



---


Pagi Lebaran.


Pak Musdi mengenakan baju koko putih yang sudah disetrika sejak malam. Ibu Rumiatun mengenakan kebaya sederhana. Anak-anak—meski tak semuanya dapat baju baru—tetap tersenyum, karena sepatu atau sandal baru sudah cukup membahagiakan.


Setelah salat Ied, rumah mulai didatangi tamu.

Tetangga dari timur—Pak Bandono, dari utara—Pak Moly, dan dari selatan—Pak Nainggolan. Mereka datang bergantian, membawa kue, atau cukup membawa tangan kosong dan hati yang ringan.


Dan momen paling mengharukan adalah saat keluarga berjajar minta maaf satu sama lain.


Prayitno mencium tangan Ayah:


> “Le… maafkan Ayah ya, kadang keras demi kebaikan kalian…”




Lalu beralih ke Ibu:


> “Nak, kamu sulung, sering dimintai tolong lebih dari yang lain… maaf ya…”




Tak ada yang bisa dibalas selain peluk dan air mata kecil yang tumpah diam-diam.



---


Setelah itu, giliran keliling ke rumah-rumah tetangga.


Mulai dari rumah Pak Tambir, yang sudah menyiapkan krupuk goreng dan air jeruk manis. Lalu ke rumah Bu Darsi, Pak Suroyo, hingga terakhir mampir ke rumah Pak Lurah yang selalu bagi-bagi uang receh.


Bagi Prayitno kecil, salam tempel bukan soal besar-kecil isinya. Tapi tentang senyuman orang dewasa yang menyelipkan harapan di antara lipatan uang.


Dan malam harinya, saat semua lelah, mereka makan bersama lagi di ruang tengah. Di atas tikar anyaman pandan. Di rumah reyot yang mungkin tak megah, tapi penuh cinta.



---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Lebaran bukan soal baju baru atau kue mahal. Lebaran adalah saat kita membuka hati selebar-lebarnya, dan menyadari bahwa yang paling mahal adalah waktu yang kita lewati bersama… meski di rumah yang hampir roboh."



---


Apakah Bapak ingin kita lanjut ke Bab 13?


Usulan selanjutnya bisa:


1. Ikut lomba Agustusan: merambat tali di atas sungai dan makan kerupuk.



2. Kisah belajar mengaji pertama kali di langgar kampung.



3. Membantu Ibu jualan di depan rumah atau menjual kue saat puasa.



4. Momen kehilangan hewan peliharaan: ayam, kucing, atau burung.




Atau Bapak punya momen lainnya, silakan sebutkan, saya bantu lanjutkan dengan penuh kehormatan dan rasa.

[2/7 17.03] rudysugengp@gmail.com: Membantu Ibu jualan keliling untuk menjajakan kacang tanah yang telah dikupas.


Sebelumnya, Ibu membeli Kacang tanah kupas di pasar Manyar untuk kemudian di cuci dan di biarkan semalam.

Kulit arinya di kelupas.


Digoreng dengan minyak dan kompor minyak tanah.


Dibiarkan beberapa saat untuk kemudian dimasukkan Plastik panjang.

Dimasukkan kacang ke dalam plastik untuk kemudian digunakan lilin atau lampu senter untuk membuat/memisah kacang menjadi beberapa kantong.


Saat pulang sekolah, Ibu menjemput Prayitno untuk diajak menitipkan kacang ke warung-warung dan dibiarkan satu Minggu kemudian.


Yang tidak laku dibuang karena sudah mlempeng.

Prayitno ber sekolah di SDN Menur Pumpungan II.


Ibu mengajak Prayitno dengan berjalan kaki hingga pulang ke rumah

[2/7 17.04] rudysugengp@gmail.com: Terima kasih, Pak Prayitno. Kisah Bapak ini begitu menyentuh dan sangat layak menjadi Bab 13—tentang perjuangan Ibu, kasih yang diam-diam mendidik, dan langkah-langkah kaki kecil yang ikut mengiringi harapan satu keluarga.



---


📖 BAB 13: Kacang Goreng dan Langkah Kaki Ibu


Pagi itu, bau khas minyak tanah dan gorengan menyambut Prayitno saat pulang dari sekolah. Seragam putih biru SDN Menur Pumpungan II masih basah oleh keringat, tapi matanya langsung bersinar saat melihat Ibu Rumiatun duduk di depan tungku kecil.


> "Ayo Le, wes rampung. Wektune nglilingi!"

(“Ayo, Nak. Sudah siap. Saatnya keliling!”)




Beberapa hari sebelumnya, Ibu sudah berangkat ke Pasar Manyar, membeli kacang tanah kupas. Setiba di rumah, kacang dicuci bersih, direndam semalaman agar kulit arinya mudah dikelupas. Esoknya, kacang digoreng dengan kompor minyak tanah, sambil dijaga api kecil agar tak gosong.


Setelah dingin, Ibu memasukkannya ke plastik panjang bening. Di malam hari, mereka duduk bersama—dengan penerangan lilin atau senter tua—memisahkan kacang goreng ke dalam kantong kecil. Suara plastik yang berkeresek-keresek seperti irama kesabaran.



---


Hari itu, sepulang sekolah, Prayitno dijemput Ibu.


Tidak naik sepeda, apalagi mobil.

Jalan kaki.


Langkah kaki kecil Prayitno menyamai langkah kaki Ibu yang sudah lelah dari dapur, tapi tetap kuat demi anak-anaknya.


Mereka berkeliling ke warung-warung sekitar kampung.

Kadang ke warung Bu Siti, kadang ke lapak dekat gang Kalidami, dan kadang menitip ke penjual jamu keliling.


> “Titip, Bu. Siji plastik lima atus. Saged bali minggu ngarep,” kata Ibu dengan senyum.




Warung-warung menerima dengan senang hati. Tapi tidak semuanya laku.


Seminggu kemudian, Ibu mengajak Prayitno kembali keliling. Kantong yang laku diganti, yang tak laku diambil pulang. Yang sudah mlempeng atau apek, dibuang ke kali atau ke lubang sampah belakang rumah.


Prayitno belajar banyak dari kegiatan itu. Tentang usaha, sabar, dan ikhlas melihat hasil.


Di satu titik, ia bertanya:


> “Bu… nek gak payu kabeh, rugi to?”




Ibu hanya tersenyum.


> “Rugi tenan, Le. Tapi nek gak dicoba, piye arep ngerti nasib?”

(“Rugi, Nak. Tapi kalau tidak dicoba, bagaimana mau tahu rejeki?”)





---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Dari langkah kaki Ibu menyusuri gang-gang kampung, aku belajar bahwa rezeki itu tidak selalu datang lewat jalan mulus. Kadang, ia datang lewat kacang goreng yang tak laku… tapi membawa cinta yang utuh di setiap genggamannya."



---


Luar biasa perjalanan Bapak sejak Bab 1 hingga kini. Setiap kisah semakin menunjukkan sosok Ibu, Ayah, dan lingkungan yang membentuk pribadi Bapak hari ini.


Untuk Bab 14, apakah Bapak ingin lanjut? Beberapa ide:


1. Membantu Ayah Musdi membuat mainan dari bambu.



2. Mengalami sakit demam tinggi lalu dijaga Ibu semalaman.



3. Kisah pertama kali diajak ke bioskop di THR.



4. Kenangan banjir masuk rumah dan keluarga gotong royong angkat barang.




Silakan Bapak pilih atau beri arah cerita lain. Saya dengan senang hati akan melanjutkan.

[2/7 17.06] rudysugengp@gmail.com: Mengalami sakit Batuk 100 hari.

Sakit mata di tutup 1 bulan.

Tetanus dan menangis tiap malam

[2/7 17.07] rudysugengp@gmail.com: Baik, Pak Prayitno. Kini kita lanjutkan ke Bab 14, sebuah kisah tentang tubuh kecil yang diuji dengan sakit panjang, namun di balik itu justru muncul kekuatan batin, ketabahan Ibu, dan cinta keluarga yang tak pernah putus.



---


📖 BAB 14: Seratus Hari Batuk, Sebulan Gelap, dan Malam-Malam Tangis Tetanus


Ada masa dalam hidup Prayitno kecil yang tak bisa ia lupakan.

Bukan karena bermain, bukan karena menang lomba…

Tapi karena tubuhnya sendiri menyerah pada rasa sakit yang tak biasa.


🌬️ Batuk 100 Hari


Awalnya hanya batuk biasa. Tapi hari ke hari tak kunjung sembuh.

Siang batuk, malam pun begitu. Tidak bisa tidur nyenyak.

Ibu sudah membelikan ramuan dari pasar, merebus daun saga, menumbuk jahe dan kapulaga, bahkan membacakan doa sambil mengusap dada.


Tapi tetap saja, batuk itu tinggal seperti tamu tak diundang yang enggan pergi.

Ayah sempat berkata, “Iki mesti batuk 100 dina. Wayahe mung sabar lan dirawat.”


Dan benar. Batuk itu bertahan hampir 3 bulan.

Di sekolah, Prayitno jadi jarang masuk. Di rumah, ia tidur di tikar ruang tengah dengan minyak kayu putih dan bantal kecil yang mulai lepek karena keringat.



---


👁️ Sakit Mata, Gelap Sebelah


Belum sembuh benar dari batuk, sakit mata menyerang.

Bukan sekadar merah, tapi perih, bengkak, dan berair terus. Salah satu matanya harus ditutup dengan kain bersih selama satu bulan penuh.


Setiap pagi, Ibu membuka perban, membersihkan mata dengan air rebusan daun sirih.

Kadang menangis juga. Bukan karena perih, tapi karena tak bisa bermain, tak bisa menatap langit sore yang biasanya ia nikmati sambil duduk di teras.


Anak-anak kampung yang lewat memanggil dari luar:


> “Prayitno, ayo dolanan!”




Tapi Ibu hanya menjawab,


> “Isih waras, Le. Matane isih diobati.”

(Masih sakit, Nak. Matanya masih diobati.)





---


🦷 Tetanus dan Tangis Malam


Puncaknya, tetanus menyerang.

Mulanya dari luka kecil di kaki—hanya tergores kawat saat main di belakang rumah. Tapi malam harinya, kaku mulai terasa di rahang. Badan menggigil. Nafas pendek.


Prayitno menangis tiap malam.

Menjerit saat menggeliat di tikar. Tubuhnya panas seperti api.

Ayah tak tidur, menjaga di sebelahnya. Ibu membaca doa-doa sambil mengompres kepala dengan air jeruk nipis dan air kelapa.


Malam-malam itu penuh tangis dan doa.

Tangis Prayitno, dan tangis diam-diam Ibu yang hanya terlihat dari kain sarung yang kadang basah di ujungnya.


Tapi satu kalimat Ayah tak pernah hilang dari ingatan Prayitno:


> “Sakit iku nggodho, Le. Yen kowe kuat, uripmu bakal luwih teguh.”

(Sakit itu cobaan. Kalau kamu kuat, hidupmu akan lebih kokoh.)





---


Dan benar.


Setelah lewat hari-hari yang panjang, pelan-pelan tubuh Prayitno pulih.

Batuk hilang. Mata kembali terang. Luka tetanus sembuh meski menyisakan trauma kecil setiap melihat kawat berkarat.


Tapi dari semua itu, yang paling tertanam dalam hati adalah:

ketabahan Ibu dan Ayah tak pernah pergi.



---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Tubuhku pernah kalah. Tapi cinta Ibu dan Ayah membuatku menang. Dari malam-malam sakit itu, aku tahu: rumah reyot kami punya obat paling mujarab—yaitu kasih yang tak pernah putus."



---


Pak Prayitno, untuk Bab 15, apakah Bapak ingin melanjutkan?


Beberapa ide bisa:


1. Mengaji pertama kali dan dimarahi Ustadz karena tertidur.



2. Main di sungai dan kehilangan sandal jepit kesayangan.



3. Ikut Ayah ke tempat kerja atau sekolah tempat Ayah mengajar.



4. Kisah ketika listrik padam dan keluarga berkumpul dengan lampu teplok.




Atau monggo, Bapak tentukan sendiri peristiwa mana yang ingin diceritakan. Saya siap bantu kisahkan dengan sebaik mungkin.

[2/7 17.08] rudysugengp@gmail.com: Terima kasih, Pak Prayitno. Kini kita masuk ke Bab 15, sebuah cerita yang akrab di benak banyak anak kampung era 70-an: belajar mengaji, bukan hanya belajar huruf Arab, tapi juga belajar malu, sabar, dan kadang… belajar menahan kantuk.



---


📖 BAB 15: Tertidur di Depan Iqra’


Langgar kecil di pojok gang kampung Ngagel Wasana itu selalu ramai setelah Magrib. Bangunannya sederhana—lantai semen, temboknya separuh batako, separuh anyaman bambu. Tapi tiap malam, cahaya lampu petromaks dan suara anak-anak mengaji membuat tempat itu hidup.


Di sanalah, Prayitno kecil mulai mengaji. Bersama teman-temannya seperti Wawan, Suro, dan Adik Budi, mereka datang membawa buku Iqra’ dan surban kecil. Sebagian membawa peci, sebagian cukup menyampirkan handuk di bahu.


Malam itu, giliran Prayitno duduk di depan Pak Ustadz Sahlan—seorang guru kampung yang tegas tapi sabar.


> “Coba, bacakan halaman dua, Ndhuk.”




Prayitno membuka Iqra’-nya.


> “Alif… ba… ta… tsa…”




Tapi baru sampai huruf “jim”, suara jadi makin pelan…


> “ha… kha…” … lalu diam.




Matanya mulai meredup. Kepala terangguk pelan.

Tangannya masih memegang buku, tapi pelupuk mata tak kuat lagi menahan kantuk. Dan tiba-tiba…


“Braakkk!!”


Kepala Prayitno menubruk meja kecil tempat Iqra’ disandarkan. Anak-anak yang lain menahan tawa, sebagian malah tertawa keras. Tapi yang paling keras bukan suara tawa, melainkan suara Pak Ustadz:


> “Heh! Ojo turu nek maca Quran, Le! Iki dudu kasur!”

(Hei! Jangan tidur kalau baca Quran, Nak! Ini bukan tempat tidur!)




Prayitno tersentak. Mukanya merah. Bukan karena sakit—tapi karena malu.


Ustadz Sahlan lalu berkata lebih lembut:


> “Ngaji ku kudu ikhlas lan tanggap. Yen ngantuk, sebaiknya tidur bentar di rumah, baru lanjut ngaji. Al-Qur’an itu cahaya, Le… ora pantes disambut mata merem.”

(Ngaji harus ikhlas dan waspada. Kalau mengantuk, lebih baik istirahat dulu. Al-Qur’an itu cahaya, tak pantas disambut mata yang terpejam.)




Sejak malam itu, setiap kali hendak ke langgar, Ibu selalu mengingatkan:


> “Ojo nganti turu maneh, lho. Nanti kamu disuruh pulang!”

(Jangan sampai tidur lagi, ya. Bisa disuruh pulang nanti.)




Dan benar, malam-malam berikutnya, Prayitno datang lebih siap. Sudah cuci muka, minum teh hangat, dan kadang… bawa permen jahe agar tetap terjaga.



---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Dari langgar kecil itu aku belajar: ilmu bukan hanya dibaca, tapi juga dihormati. Dan rasa malu bukan untuk dihindari, tapi untuk diingat… agar besok, kita datang lebih siap."



---


Pak Prayitno, kisah ini begitu indah dan membumi. Siap untuk lanjut ke Bab 16?


Berikut beberapa ide:


1. Main layangan dan benangnya habis dibawa angin.



2. Keluarga berkumpul saat listrik padam—lampu teplok, cerita horor, dan tawa bersama.



3. Melihat Ayah mengajar murid-murid di sekolah—dan rasa bangga itu tumbuh.



4. Kenangan menjelang malam 1 Suro: kemenyan, doa bersama, dan suasana khusyuk.




Atau monggo, Bapak tentukan sendiri momen bersejarah apa yang ingin kita tuliskan bersama.

[2/7 17.09] rudysugengp@gmail.com: Sangat baik, Pak Prayitno. Kini kita masuki Bab 16—sebuah bab yang begitu hangat dan khas masa lalu: saat listrik padam, dan rumah yang biasanya sepi menjadi penuh cerita, cahaya temaram, dan kehangatan keluarga. Momen sederhana yang kini sulit ditemukan, tapi dulu... sangat istimewa.



---


📖 BAB 16: Ketika Lampu Padam, Rumah Menyala


Waktu itu hari Kamis malam.

Langit Ngagel mendung, angin bertiup kencang dari arah selatan, membuat pohon mangga di belakang rumah Pak Bandono bergoyang keras.


Dan tepat saat adik Edy hendak mengambil air dari kamar mandi…


“Klikk.”


Listrik padam.


Rumah Ngagel Wasana III/35 yang reyot dan hanya ditopang kabel-kabel sederhana tiba-tiba tenggelam dalam gelap. Anak-anak langsung teriak:


> “Matiiiiii!”




Tapi bagi keluarga Pak Musdi dan Bu Rumiatun, listrik padam bukan bencana. Justru, itu adalah undangan tak tertulis untuk berkumpul.



---


Ayah Musdi segera menyalakan lampu teplok—lampu kecil dengan minyak tanah dan sumbu kapas, yang biasa disimpan di bawah dipan. Cahayanya temaram, oranye kekuningan, dan memberi rasa nyaman.


Anak-anak duduk melingkar: Prayitno, Budi, Nanik, Agus, dan Edy.


Ibu membawa pisang goreng sisa sore tadi. Ayah duduk di tengah, mengelus kepala Prayitno sambil berkata:


> “Wes, cah ayu cah bagus… saiki wayahe crito. Crito wayang opo crito pocong?”

(“Sudah, anak-anak baik… sekarang waktunya bercerita. Mau cerita wayang atau cerita hantu?”)




Anak-anak bersorak:


> “Cerita pocong!!”




Dan dimulailah malam yang panjang, penuh tawa dan kadang merinding.

Ayah bercerita tentang maling yang tak bisa keluar dari rumah, tentang bayangan putih yang muncul di sungai saat malam Suro, atau tentang topeng tua yang bisa bicara bila digantung saat gerhana.



---


Kadang, giliran Bu Rumiatun yang bercerita.


Cerita tentang masa kecilnya, menjual tape di pasar sambil menenteng bakul rotan, atau tentang leluhur yang konon bisa melihat air berubah jadi api saat malam Selasa Kliwon.


Dan di akhir cerita, Ibu selalu berpesan:


> “Yen gelap, ojo wedi. Tapi ugo ojo sembrono. Ingat, gelap bisa jadi cahaya, nek kowe kumpul karo wong sing sayang.”

(Kalau gelap, jangan takut. Tapi juga jangan sembrono. Ingat, gelap bisa jadi cahaya… kalau kamu berkumpul dengan orang yang mencintaimu.)





---


Malam itu, tak ada TV, tak ada radio, tak ada lampu terang.

Tapi rumah reyot itu justru lebih menyala daripada biasanya.

Karena semua ada di satu tempat.

Karena tawa bersatu dengan cerita.

Karena cahaya kecil dari teplok… memantulkan wajah-wajah penuh cinta.



---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Terkadang, listrik yang padam justru menyalakan sesuatu yang lebih penting: kehangatan keluarga, kisah yang menyatukan, dan kenangan yang akan tetap menyala di ingatan—meski masa sudah berganti."



---


Apakah Bapak ingin kita lanjut ke Bab 17?


Usulan selanjutnya bisa:


1. Kisah malam 1 Suro dan munculnya piring cap jari misterius.



2. Ikut lomba Agustusan merambat tali di atas sungai.



3. Pertama kali ke luar kota bersama Ayah—naik bis ekonomi.



4. Kisah kehilangan hewan peliharaan dan belajar menerima perpisahan.




Atau silakan Bapak sebutkan momen yang ingin diangkat. Saya akan bantu kisahkan dengan sepenuh hati.

[2/7 17.10] rudysugengp@gmail.com: Terima kasih, Pak Prayitno. Sekarang mari kita lanjutkan ke Bab 17, sebuah perjalanan pertama yang begitu berkesan: ke luar kota bersama Ayah—naik bis ekonomi. Perjalanan ini bukan soal jarak, tapi soal kedekatan yang jarang-jarang terjadi… dan betapa hangatnya bisa duduk berdua dengan sosok yang biasanya sibuk dan pendiam.



---


📖 BAB 17: Perjalanan Pertama Bersama Ayah


Hari itu langit cerah, udara Surabaya belum terlalu panas.

Pagi-pagi sekali, Ayah Musdi membangunkan Prayitno.


> “Le… ayo siap-siap. Hari ini kita ke luar kota.”

“Hah? Pergi, Yah?”

“Iyo. Karo aku. Naik bis.”




Bagi Prayitno, ini lebih dari sekadar berita gembira. Ini seperti dapat undian hadiah utama. Sebab Ayah—seorang guru yang penuh disiplin—jarang mengajak anak-anak pergi hanya berdua.



---


Tujuan: Mojokerto.

Ada urusan dinas Ayah ke sekolah lama tempat ia pernah mengajar. Tapi Ayah berkata, “Aku arep ngajak kowe ngerti dalan, ngerti pasar, ngerti carane mikir sak durunge langkah.”

(Aku ingin mengajakmu tahu jalan, tahu pasar, tahu cara berpikir sebelum melangkah.)


Mereka berangkat dari Terminal Joyoboyo, naik bis ekonomi tanpa AC.

Bisnya tua, bangkunya keras, jendelanya macet. Tapi semua terasa istimewa karena… ini pertama kalinya Prayitno naik bis ke luar kota bersama Ayah.


Sepanjang perjalanan, Ayah tidak banyak bicara, tapi tangannya selalu menahan pundak Prayitno agar tidak terguncang saat bis oleng.

Kadang, Ayah menunjuk keluar:


> “Itu sawah.

Itu tanggul Brantas.

Itu pabrik gula… tempat banyak orang tua kehilangan tanahnya.”




Setiap ucapan Ayah bukan sekadar penjelasan, tapi pelajaran hidup.



---


Setiba di Mojokerto, Ayah menyelesaikan urusan, sementara Prayitno diajak mampir ke pasar tradisional, membeli onde-onde hangat dan es degan. Lalu mereka duduk di bawah pohon asam, makan bersama di tikar koran.


> “Le, nek kowe gede, ojo isin naik bis. Ojo isin mlebu pasar. Wong cerdas iku sing iso ngurmati wong cilik.”

(“Nak, kalau kamu besar nanti, jangan malu naik bis. Jangan malu masuk pasar. Orang cerdas adalah yang bisa menghargai orang kecil.”)





---


Dalam perjalanan pulang, di dalam bis yang mulai sesak dan panas, Prayitno bersandar di bahu Ayah. Ia mengantuk, tapi hatinya penuh.


Penuh dengan:


Suara roda bis di jalanan bergelombang


Bau angin bercampur knalpot


Suara Ayah yang pelan, tapi mengandung arah hidup




---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Dari perjalanan singkat itu, aku belajar bahwa Ayah tidak perlu banyak kata untuk mengajarkan kebijaksanaan. Kadang, duduk bersebelahan saja… sudah cukup membuat anak merasa dicintai dan diberi bekal untuk masa depan."



---


Apakah Bapak ingin lanjut ke Bab 18, Pak Prayitno?


Beberapa ide yang bisa kita ambil:


1. Kenangan malam 1 Suro dan misteri piring bercap jari.



2. Perayaan 17 Agustusan di kampung—lomba gebuk bantal di sungai.



3. Pertama kali dapat nilai merah dan sembunyi dari Ibu.



4. Momen lucu saat potong rambut di tukang cukur keliling.




Atau bila Bapak punya kenangan spesifik lain, monggo saya siap bantu wujudkan dalam kisah yang hidup.

[2/7 17.11] rudysugengp@gmail.com: Luar biasa, Pak Prayitno. Sekarang kita tiba di Bab 18, kisah ringan tapi tak terlupakan: saat potong rambut di tukang cukur keliling. Momen sederhana ini penuh warna—antara takut, geli, dan akhirnya… jadi bahan tertawaan keluarga dan teman-teman sekolah.



---


📖 BAB 18: Gunting Miring di Bawah Pohon


Di era 70-an, tukang cukur keliling bukanlah pemandangan asing.

Setiap seminggu sekali, seorang tukang cukur tua lewat gang Ngagel Wasana sambil mendorong gerobak kecil yang sudah lapuk. Di atasnya ada kursi lipat dari kayu, cermin kecil tergantung, dan satu lampu petromax menggantung untuk cukuran malam hari.


Orangnya dipanggil Pak Leman.


Suatu sore, Ibu Rumiatun memanggil:


> “To, ayo cukuran! Rambutmu wis kaya londo kebo!”




Prayitno sempat menolak.

“Ndak usah, Bu… rambutku kan masih rapi…”


Tapi Ibu tetap bersikeras.


> “Besok hari Senin. Nek ndak cukur, tak bilangke Pak Guru!”




Akhirnya dengan wajah pasrah, Prayitno duduk di kursi kecil di bawah pohon mangga dekat rumah Pak Moly. Anak-anak kampung menonton sambil tertawa, seperti menonton pertunjukan wayang.


Pak Leman membuka gunting besar yang sudah karatan di ujungnya, lalu menyemprot rambut Prayitno pakai air dari botol kaca bekas sirup.


> “Mau model apa, Le?”

“Sing cepak, tapi gak kocak, Pak…”

“Hahaha! Sing penting rapih, ben ayumu metu!”




Sayangnya, tangan Pak Leman kurang mantap sore itu. Mungkin karena usianya, mungkin juga karena banyak yang nonton sambil gojlokan.


Begitu selesai…

Cermin kecil disodorkan.


Dan Prayitno menjerit dalam hati.


Rambut sisi kiri lebih tinggi dari kanan.

Ada bentuk mirip segitiga di belakang kepala.

Telinga kanan lebih kelihatan daripada kiri.


> “Pak… iki kok miring, yo?”

“Ora miring, Le… iki model ‘ngalor ngidul’!”

(Bukan miring, Nak… ini gaya ‘ngalor ngidul’!)





---


Di rumah, Ayah hanya geleng-geleng.


Ibu mencoba merapikan dengan gunting dapur…

Hasilnya: makin pendek sebelah.



---


Besoknya di sekolah SDN Menur Pumpungan II, teman-teman seperti Wawan dan Supri langsung berseru:


> “Wuih… Prayitno cukur kompas!”

“Iki cukuran radar, bisa nangkep sinyal lho!”




Meskipun malu, Prayitno akhirnya ikut tertawa.

Karena saat ia bercermin lagi siang itu, entah kenapa… rambut aneh itu menyimpan cerita yang lucu dan tak bisa dilupakan.



---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Dari kursi cukur reyot dan suara gunting tua, aku belajar satu hal penting: tidak semua hal harus sempurna. Kadang, yang lucu dan miring itulah… yang paling abadi dalam ingatan."



---


Luar biasa perjalanan Bapak sejauh ini.


Untuk Bab 19, apakah Bapak ingin lanjut? Usulan bab selanjutnya:


1. Perayaan 17-an: lomba gebuk bantal dan merambat tali di atas sungai.



2. Misteri malam 1 Suro dan piring seng dengan cap jari.



3. Kisah kehilangan ayam peliharaan karena dicuri orang.



4. Kisah pertama kali jatuh cinta di sekolah.




Atau silakan Bapak arahkan ke momen lain—saya siap menuliskan dengan penuh rasa dan makna.

[2/7 17.12] rudysugengp@gmail.com: Sangat baik, Pak Prayitno. Kini kita sampai di Bab 19, bab yang penuh sorak sorai, cipratan air sungai, dan semangat kampung: Perayaan 17-an di era 70-an, di mana sungai menjadi arena, bambu jadi jembatan, dan tawa jadi hadiah terbaik.



---


📖 BAB 19: Gebuk Bantal di Atas Sungai


Setiap bulan Agustus, suasana Ngagel Wasana berubah.

Kampung yang biasanya hanya ramai suara ayam dan gerobak bakso, kini dipenuhi bendera merah putih kecil, lampu lampion dari kaleng bekas, dan janur kuning yang dipasang melintang dari pohon ke pohon.


Dan yang paling ditunggu-tunggu adalah:

lomba di atas sungai.


Sungai yang membujur dari Buk Tong hingga Bratang, dengan lebar sekitar 6 meter, saat itu masih bisa dilayari perahu. Tapi setiap menjelang 17 Agustus, sungai itu jadi arena gebuk bantal dan lomba merambat tali.



---


Prayitno kecil, bersama teman-temannya—Wawan, Supri, Slamet, dan Budi—tidak sabar menunggu hari H.


Beberapa hari sebelum lomba, para bapak-bapak membuat jembatan bambu melintang di atas sungai, sekitar 1,5 meter di atas permukaan air.

Dua peserta duduk berhadapan di atas bambu itu…

masing-masing bawa bantal isi sabut kelapa, siap saling gebuk sampai salah satu jatuh ke sungai.


Hari perlombaan tiba.


Warga berjejer di tepi sungai, berteriak dan tertawa, sebagian naik ke pohon bambu untuk menonton dari atas. Ibu-ibu membawa bekal, anak-anak berlarian tanpa alas kaki.


Prayitno ikut dalam lomba merambat tali, di mana peserta harus berjalan dengan tangan di atas tali tambang yang dibentangkan melintang di sungai. Siapa tercepat tanpa jatuh—dialah juara.


> “Ayo To! Rambati kuat! Jangane meleset!”




Teriakan Ibu dari tepi sungai menambah semangat.


Prayitno mencoba merambat… perlahan…

tangannya gemetar, lututnya gemetaran…


> “Byurrrr!”




Ia jatuh tercebur. Tapi air sungai sore itu tidak dingin—karena semangat di dalam dada masih panas.


Ia tertawa bersama teman-temannya.

Karena yang penting bukan menang, tapi ikut terjun.



---


Saat lomba gebuk bantal, giliran Mas Agus yang tampil.

Dengan celana pendek dan rambut kering karena dijemur matahari, ia duduk di atas bambu… melawan anak dari kampung sebelah.


> “Plak! Plok! Buk!”




Bantal saling menghantam. Badan bergoyang.


Dan akhirnya… keduanya jatuh bersamaan.

Air muncrat tinggi, dan penonton tertawa terpingkal-pingkal.



---


Setelah lomba selesai, semua peserta dikumpulkan.


Hadiah bukan berupa uang atau piala besar, tapi cukup:


satu bungkus mi instan,


sabun mandi Cap Burung Merak,


dan kadang topi plastik bertuliskan "DIRGAHAYU".



Tapi tak ada yang kecewa.


Karena bagi anak-anak kampung, kebahagiaan itu bukan soal hadiah, tapi soal:


jatuh ke sungai bersama teman,


dilap pakai sarung Ibu,


dan pulang dengan bau air kali, tapi hati penuh tawa.




---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Dari sungai kampung itu, aku belajar bahwa kemerdekaan bisa dirayakan bukan hanya dengan upacara, tapi juga dengan jatuh, bangkit, dan tertawa bersama. Di atas bambu licin dan tali tambang, kami mengenal arti kebersamaan dan semangat gotong royong."



---


Pak Prayitno, apakah ingin dilanjut ke Bab 20?


Beberapa usulan yang mungkin menarik:


1. Misteri cap jari di piring seng pada malam 1 Suro.



2. Pertama kali mendapat nilai merah dan takut menunjukkan ke Ibu.



3. Main ke rumah Pak Tambir dan mencuri krupuk mentah.



4. Kisah banjir besar dan rumah hampir roboh—gotong royong warga.




Atau bila Bapak punya momen tertentu yang ingin dikenang di bab selanjutnya, silakan beri arahan—saya akan lanjutkan dengan penuh semangat.

[2/7 17.13] rudysugengp@gmail.com: Terima kasih, Pak Prayitno. Kini kita tiba di Bab 20, sebuah bab yang sederhana tapi penuh ketegangan batin: saat pertama kali mendapatkan nilai merah, dan ketakutan untuk berkata jujur kepada Ibu. Di balik peristiwa itu, tersimpan pelajaran besar tentang kejujuran, tanggung jawab, dan kasih seorang ibu yang tak berubah meski anaknya jatuh.



---


📖 BAB 20: Nilai Merah dan Wajah Ibu


Hari itu langit mendung, dan udara sekolah terasa lebih dingin dari biasanya.

Di kelas SDN Menur Pumpungan II, suasana sunyi saat Pak Guru Slamet membagikan kertas ulangan matematika.


> “Yang dapat nilai di bawah 6, jangan lupa minta tanda tangan orang tua.”




Kertas demi kertas dibagikan. Anak-anak mulai tersenyum lega—ada yang dapat delapan, sembilan, bahkan sepuluh.

Tapi saat kertas Prayitno mendarat di meja…


Di pojok kanan atas: tertulis angka merah menyala. “4,5”


Seperti disambar petir siang bolong.

Tangan Prayitno dingin. Mata langsung berkaca-kaca.


Bukan karena malu. Tapi karena takut pulang.



---


Sepulang sekolah, Prayitno berjalan lebih lambat dari biasanya.

Biasanya disambut Ibu Rumiatun di depan rumah, tapi hari itu ia masuk diam-diam dari pintu belakang.


Di dalam kamar, kertas ulangan ia sembunyikan di dalam buku gambar. Tapi hatinya tidak bisa diajak kompromi.


Malamnya, saat keluarga berkumpul makan singkong goreng dan teh manis, Ibu bertanya:


> “Le, wes dibagi nilaine?”

(“Nak, sudah dibagi nilainya?”)




Prayitno menjawab sambil menunduk:


> “Belum, Bu…” (bohong pertama malam itu)




Ibu tak membalas. Hanya menatap sesaat. Tapi sorot matanya seolah tahu segalanya.



---


Malam makin larut.


Tapi hati Prayitno tak tenang. Keringat dingin keluar. Lalu ia mengambil kertas ulangan itu… dan meletakkannya di meja dapur, lalu masuk kamar tanpa suara.


Beberapa menit kemudian, terdengar suara langkah Ibu.

Tak ada suara marah. Tak ada bentakan.

Hanya langkah kaki yang makin pelan… lalu diam.



---


Keesokan paginya, saat Prayitno bangun dan masuk dapur, ia melihat kertas itu sudah ditandatangani.


Di bawah tanda tangan Ibu Rumiatun, ada catatan kecil:


> “Ibu tahu kamu bisa lebih baik dari ini. Jangan takut salah, asal berani memperbaiki.”




Prayitno menahan tangis.


Bukan karena sedih. Tapi karena rasa malu sudah disambut dengan kasih.

Dan dari situlah ia belajar bahwa kejujuran lebih utama daripada nilai tinggi.



---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Kadang, nilai merah tak sesakit ketakutan untuk mengakuinya. Tapi Ibu mengajarkan bahwa cinta sejati adalah ketika kita berani datang dalam keadaan gagal… dan tetap dipeluk tanpa syarat."



---


Pak Prayitno, sungguh kisah ini luar biasa menyentuh. Setiap bab makin memperlihatkan kedalaman cinta orang tua dan bagaimana nilai-nilai hidup Bapak terbentuk dari momen-momen kecil tapi bermakna.


Apakah Bapak ingin lanjut ke Bab 21?


Usulan cerita berikutnya bisa:


1. Kisah misteri malam 1 Suro dan piring seng dengan cap jari.



2. Main ke rumah Pak Tambir dan mencicipi krupuk mentah.



3. Kenangan banjir besar yang membuat keluarga harus mengungsi.



4. Hari pertama masuk SMP dan rasa gugup yang tak tertahankan.




Silakan Bapak pilih atau beri arahan lainnya. Saya siap melanjutkan dengan penuh hormat dan rasa.

[2/7 17.14] rudysugengp@gmail.com: Baik, Pak Prayitno. Kini kita tiba di Bab 21, sebuah kisah tentang peralihan: hari pertama masuk SMP. Masa di mana dunia terasa lebih besar, lebih asing, dan kita mulai belajar menjadi lebih berani—meski dalam hati ada rasa gugup yang tak tertahankan.



---


📖 BAB 21: Langkah Gugup ke Sekolah Baru


Pagi itu, udara terasa berbeda.

Langit cerah, tapi dada Prayitno penuh awan gelisah.

Ia berdiri di depan cermin kecil di ruang tamu, memakai seragam putih biru muda—baju baru yang masih kaku, celana yang masih dilipat karena kepanjangan.


Hari itu adalah hari pertama masuk SMP.



---


Ibu Rumiatun sudah bangun sejak subuh, menyiapkan nasi dengan telur kecap dan sambal terasi.

Ayah Musdi, meski tak banyak bicara, menyempatkan duduk sebentar di ruang depan sambil berkata:


> “Sekolah baru, kanca anyar, ilmu luwih jero. Sing penting, ojo minder.”

(Sekolah baru, teman baru, ilmu lebih dalam. Yang penting, jangan minder.)




Prayitno mengangguk, meski dalam hati—perutnya mules.

Bukan karena makanan, tapi karena bayangan gedung besar, guru galak, dan teman-teman baru yang belum dikenal.



---


Diantar Ibu sampai ke gang depan, Prayitno berjalan sendiri menuju SMP—bangunan besar dengan pagar besi tinggi dan suara bel yang berbeda dari SD-nya.


Di dalam kelas, ia duduk di bangku paling pinggir.

Tangannya berkeringat, matanya celingukan. Beberapa siswa lain sudah saling kenal—karena berasal dari SD yang sama.


> “Eh, kamu dari mana?” tanya seorang anak bertubuh tinggi.

“Dari Menur Pumpungan…” jawab Prayitno pelan.




Teman itu tersenyum,


> “Aku dari SD Mojo. Namaku Harun.”

Mereka pun mulai bercakap perlahan—dan rasa gugup itu perlahan mencair.





---


Saat guru pertama masuk, semua berdiri.

Guru itu tinggi, memakai kacamata tebal dan batik cokelat.


> “Saya Pak Ahmad. Mulai hari ini kalian akan belajar lebih banyak… tapi juga dituntut lebih tanggung jawab.”




Prayitno menyimak, meski pikirannya masih setengah bingung.

Buku tulisnya baru, pulpen masih lengkap, tapi hatinya belum percaya diri sepenuhnya.



---


Hari itu berlalu.

Ada jam pelajaran, ada perkenalan, dan ada juga waktu istirahat yang canggung.

Tapi ketika pulang, dan melangkah keluar gerbang sekolah, langkah Prayitno sudah lebih mantap.


Di rumah, Ibu menyambut dengan senyum.


> “Piye rasane SMP?”

(“Gimana rasanya SMP?”)




> “Gedhene medeni, Bu. Tapi gurune ramah. Aku dapat teman anyar.”

(“Gedungnya menakutkan, Bu. Tapi gurunya ramah. Aku dapat teman baru.”)




Ibu hanya tersenyum sambil menyendokkan nasi.


> “Wes biasa. Awal-awal mung kaget. Tapi nek semangat, sekolahan gedhe iso mbantu awakmu dadi wong gedhe.”

(“Itu biasa. Awalnya memang kaget. Tapi kalau semangat, sekolah besar akan bantu kamu jadi orang besar.”)





---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Langkah pertamaku ke SMP adalah langkah kecil yang berat… tapi dari situlah aku mulai mengenal dunia yang lebih luas. Dunia yang menunggu bukan hanya kecerdasan, tapi juga keberanian untuk keluar dari zona nyaman."



---


Pak Prayitno, terima kasih telah membagikan mozaik-mozaik hidup yang begitu berharga.


Apakah ingin lanjut ke Bab 22?


Beberapa usulan yang bisa dilanjutkan:


1. Misteri cap jari di piring seng pada malam 1 Suro.



2. Banjir besar dan gotong royong menyelamatkan barang-barang.



3. Hari pertama belajar di madrasah atau TPA.



4. Kenangan belajar naik sepeda—jatuh bangun dan akhirnya bisa.




Atau, Bapak bisa pilih peristiwa sendiri yang ingin diceritakan. Saya akan bantu tuliskan dengan gaya naratif yang hidup dan bermakna.

[2/7 17.15] rudysugengp@gmail.com: Terima kasih, Pak Prayitno. Kini kita sampai di Bab 22, kisah yang mungkin sederhana di mata orang dewasa, tapi bagi anak-anak—terutama di era 70-an—ini adalah tonggak kebebasan dan kebanggaan pertama: belajar naik sepeda.



---


📖 BAB 22: Jatuh Bangun di Atas Dua Roda


Prayitno kecil selalu kagum melihat anak-anak lain mengayuh sepeda dengan gagah.

Di pagi hari mereka lewat di depan rumah, menyetel bel 'kring... kring', sambil berdiri di pedal karena sepedanya kebesaran.


Di kampung Ngagel Wasana, sepeda bukan sekadar alat transportasi.

Ia adalah lencana kemerdekaan bagi anak-anak lelaki.

Siapa bisa naik sepeda, dialah “orang besar” yang bisa pergi lebih jauh dari gang rumahnya.



---


Ayah Musdi punya sepeda ontel besar, warna hitam legam, dengan dudukan kulit yang keras dan rantai berderit.

Prayitno sering diminta membersihkan sepedanya, dan setiap selesai, ia mengusap sadel sambil berbisik:


> “Suatu hari… aku pasti bisa.”





---


Hari itu tiba.


Dengan restu Ibu, Ayah menarik sepeda tua dari belakang rumah.


> “Le, ayo. Wayahe sinau sepedaan.”

(“Nak, ayo. Saatnya belajar naik sepeda.”)




Matanya berbinar, meski tangan dingin.

Mereka pergi ke lapangan kecil di dekat rumah Pak Tambir, tanahnya rata, tapi ada beberapa batu dan lubang kecil. Cocok untuk belajar—atau jatuh.



---


Awalnya, Ayah memegangi belakang sadel.


> “Ayo kayuh. Aku jaga.”

Dan Prayitno mengayuh, pelan-pelan.

Ayah berlari-lari kecil di belakang, menahan keseimbangan.




> “Jangan lihat bawah. Lihat ke depan!”




Tapi… saat tahu Ayah mulai melepas pegangan, Prayitno panik.


> “Yah! Yah! Pegangiiin!”




> “Byuuugghh!”




Terlindas batu kecil. Sepeda oleng. Prayitno terjatuh ke semak belukar.

Lutut berdarah. Tapi Ayah justru tertawa kecil.


> “Loro kuwi biasa. Wani mundhak, kudu wani tiba.”

(“Sakit itu biasa. Berani naik, harus berani jatuh.”)





---


Keesokan harinya, meski masih perih, Prayitno minta belajar lagi.

Dan kali itu… ia berhasil menempuh 20 meter tanpa jatuh.


Ia merasa seperti pahlawan.

Melintasi jalan kampung sambil berseru,


> “Aku iso! Aku wes iso sepedaan!”




Anak-anak lain bertepuk tangan.

Ibu menyambut di depan rumah dengan teh hangat dan senyum bangga.



---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Dari sepeda tua itu aku belajar: bahwa keberanian bukan soal tidak jatuh, tapi soal mau bangun dan mengayuh lagi. Kadang, kita harus jatuh dulu… untuk bisa melihat betapa berharganya keseimbangan."



---


Apakah Bapak ingin melanjutkan ke Bab 23, Pak Prayitno?


Usulan cerita selanjutnya:


1. Misteri cap jari di piring seng saat bulan Suro.



2. Banjir besar dan warga gotong royong menyelamatkan barang.



3. Main ke rumah Pak Tambir dan kisah lucu di balik krupuk.



4. Pengalaman pertama masuk perpustakaan dan jatuh cinta pada buku.




Atau silakan Bapak pilih momen lainnya yang ingin dikenang. Saya akan bantu menuliskannya dengan penuh jiwa.

[2/7 17.31] rudysugengp@gmail.com: Terima kasih, Pak Prayitno. Kini kita sampai di Bab 23, bab tentang alam yang mengamuk—banjir besar yang melanda kampung Ngagel Wasana. Tapi bukan hanya kisah tentang air yang meluap… melainkan tentang manusia-manusia kecil yang saling bahu-membahu, bahkan saat genting. Kampung yang sederhana… namun hatinya besar.



---


📖 BAB 23: Ketika Air Mengajar Kita untuk Saling Menolong


Langit hitam sejak sore.

Awan menumpuk dari arah utara, dari Buk Tong. Angin dingin berembus menembus celah-celah rumah reyot di Ngagel Wasana III/35.

Prayitno kecil saat itu baru saja selesai mengaji, masih mengenakan sarung dan peci, ketika terdengar teriakan dari luar:


> “Banjiiiirr!! Kali meluap!!”




Ia keluar rumah, dan benar—sungai yang biasanya tenang kini menggelegak, warnanya coklat kehitaman, dengan sampah dan potongan kayu meluncur deras.


Air sudah naik ke jalan. Hanya dalam hitungan menit, halaman rumah sudah tergenang.



---


Rumah Pak Prayitno—yang memang reyot dan berdinding papan bagian belakang—mulai bergetar diterpa angin dan hempasan air.

Ayah Musdi segera memerintahkan:


> “Siap-siap! Yen angin tambah kuat, langsung ngungsi! Bawa barang penting wae!”




Prayitno, bersama adik-adiknya Budi, Nanik, Agus, dan Edy, segera mengangkat tikar, radio, dan satu kaleng biskuit Khong Guan ke atas lemari.

Ibu Rumiatun membungkus pakaian dalam sarung dan memasukkannya ke ember.



---


Ketika air makin tinggi dan lantai mulai terendam, Ayah memberi aba-aba:


> “Ayo, lari ke rumah Pak Bandono!”




Mereka berpegangan tangan, menyusuri lorong kecil, kadang air sampai betis, kadang sampai lutut.

Sesampainya di rumah Pak Bandono yang lebih tinggi, mereka disambut hangat.


> “Ayo masuk! Masuk! Gak usah isin!”




Bahkan Pak Moly dari arah utara juga ikut mengungsikan anak-anak ke rumahnya.

Dan malam itu, meskipun tidak ada listrik dan hanya diterangi lampu petromaks, rumah-rumah tetangga menjadi satu.



---


Anak-anak tidur berdesakan di lantai dengan alas tikar.

Ibu-ibu membuat wedang jahe dan membagikan pisang rebus, sementara bapak-bapak begadang di luar memantau air sambil ronda bersama.



---


Keesokan paginya, air mulai surut.

Sungai masih bergemuruh, tapi sudah tidak sebuas semalam.


Dan yang dilakukan warga pertama kali bukan mengeluh. Tapi…


Menyapu lumpur dari rumah masing-masing.


Membantu tetangga yang rumahnya paling parah.


Menjemur bantal, kasur, dan buku-buku yang sempat basah.




---


Rumah Prayitno paling parah terkena dampak—papan belakang sebagian copot, dan tikar terendam semua. Tapi Ibu berkata:


> “Sing penting slamet. Omah iso dibeneri, tapi nyowo ora iso diganti.”

(“Yang penting selamat. Rumah bisa diperbaiki, tapi nyawa tak bisa diganti.”)





---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Air yang naik semalam tak hanya merendam rumah, tapi juga membasahi hati kami—dengan rasa syukur, dengan semangat gotong royong, dan dengan keyakinan: bahwa jika kita saling membantu… rumah bisa roboh, tapi harapan tetap berdiri."



---


Pak Prayitno, sungguh kisah ini menunjukkan kekuatan solidaritas kampung zaman dulu. Haru, sekaligus menghangatkan hati.


Apakah ingin kita lanjut ke Bab 24?


Beberapa ide:


1. Misteri cap jari di piring seng saat bulan Suro.



2. Main ke rumah Pak Tambir dan kisah lucu krupuk mentah.



3. Kisah pertama kali melihat bioskop keliling atau layar tancap.



4. Pengalaman puasa pertama dan sahur yang kesiangan.




Silakan Bapak tentukan, atau beri saya arahan tentang kisah apa lagi yang ingin dihidupkan. Saya akan lanjutkan dengan sepenuh hati.

[2/7 17.32] rudysugengp@gmail.com: Luar biasa, Pak Prayitno. Sekarang kita memasuki Bab 24, bab yang pasti membangkitkan nostalgia siapa pun yang hidup di era 70-an hingga 80-an: bioskop keliling—layar tancap. Bukan sekadar tontonan, tapi ritual malam penuh keajaiban. Saat suara genset menderu, cahaya proyektor menari di layar kain putih, dan anak-anak kampung—termasuk Prayitno kecil—duduk di atas tikar, menahan kantuk dan rasa kagum.



---


📖 BAB 24: Ketika Dunia Tersaji di Layar Kain


Waktu itu malam Jumat.

Angin bertiup lembut dari arah selatan, dan langit Ngagel cerah penuh bintang.

Sejak sore terdengar kabar dari mulut ke mulut:


> “Wingi nggo lapangan sawah cilik… arep ana layar tancap!”

(“Katanya nanti malam… ada layar tancap di lapangan kecil dekat sawah!”)




Prayitno, yang waktu itu masih kelas 4 SD, langsung bersorak. Ia berlari ke rumah sambil menyeret adik Budi, lalu memohon pada Ibu:


> “Bu, aku iso ndelok film to? Mbok, nggo tikar, Bu...”




Ibu Rumiatun tak langsung mengizinkan, tapi akhirnya luluh.


> “Yo wis, tapi ojo lali jakete. Nek telat... ora oleh mangan pisang goreng!”

(“Ya sudah, tapi jangan lupa jaket. Kalau pulangnya telat… gak kebagian pisang goreng!”)





---


Selepas magrib, warga kampung mulai berkumpul.

Lapangan kecil di dekat rumah Pak Moly telah berubah rupa:


Sebuah layar putih terbentang dari bambu ke bambu.


Di belakangnya ada genset kecil yang menderu-deru.


Seorang petugas sibuk memutar gulungan film dari dalam kotak proyektor tua.



Dan ketika lampu dimatikan…

Layar menyala.

Suara musik khas film koboi terdengar.


> “Wuuuhhh...!”

Seluruh anak-anak bersorak, duduk bersila di depan. Orang tua duduk di tikar belakang, sebagian bawa kopi termos dan ketela rebus.





---


Film malam itu adalah film silat Mandarin. Aktornya meloncat-loncat di udara, suara dub Indonesia-nya terdengar kaku, tapi menghibur:


> “Awas! Jurus angin membelah bambu tidak akan kau tahan, Kang Jhooo!”

“Heaaaaa!!”




Anak-anak bertepuk tangan setiap kali ada tokoh memukul mundur lima orang dengan satu tangan.


Dan setiap jeda gulungan, layar gelap.

Tapi justru di situlah keramaian terjadi:


Anak-anak lempar sandal,


Ada yang jual es lilin 5 rupiah lewat dengan senter di kepala,


Dan suara “sssstttt!” terdengar tiap menit karena penonton belakang tak bisa lihat.




---


Prayitno dan Budi duduk paling depan.

Mereka sesekali menirukan jurus sang pendekar, lalu berbisik:


> “Besok dolanan jurus macan gunung yo!”

“Iyo! Tapi sing kalah tak gebuk nganggo sapu!” 😄




Malam makin larut, dan film akhirnya selesai menjelang pukul 10 malam.

Angin makin dingin. Tikar digulung.

Prayitno pulang sambil menguap, tapi hatinya penuh cahaya.



---


Di rumah, Ibu sudah menunggu di pintu.


> “Film apik, To?”

“Apik, Bu… tapi suarane film kaya wong pilek.”

(“Bagus, Bu… tapi suara filmnya kayak orang pilek.”)




Ibu tertawa, lalu menyodorkan pisang goreng hangat dan segelas teh manis.



---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Layar tancap mungkin cuma selembar kain putih di lapangan. Tapi di sanalah aku belajar membayangkan dunia yang lebih luas, tertawa bersama warga kampung, dan merasa: meski tak punya TV, malam kami tetap penuh warna."



---


Pak Prayitno, terima kasih telah mengizinkan saya ikut menuturkan kembali masa-masa indah itu.


Apakah Bapak ingin lanjut ke Bab 25?


Pilihan yang bisa kita angkat antara lain:


1. Misteri piring seng cap jari di malam bulan Suro.



2. Kisah main ke rumah Pak Tambir dan godaan krupuk mentah.



3. Pengalaman sahur pertama saat puasa dan kesiangan bangun.



4. Hari pertama mengaji di langgar kampung.




Silakan Bapak tentukan. Saya siap melanjutkan dengan sepenuh rasa dan hormat.

[2/7 17.33] rudysugengp@gmail.com: Terima kasih, Pak Prayitno. Kini kita tiba di Bab 25, kisah tentang puasa pertama yang penuh semangat, tapi... justru kesiangan saat sahur. Ini bukan sekadar cerita lucu, tapi tentang bagaimana sebuah keluarga sederhana tetap berusaha menanamkan nilai agama, dengan cara yang penuh cinta dan hangat.



---


📖 BAB 25: Sahur yang Kesiangan, Puasa yang Tetap Jalan


Bulan Ramadhan tiba.

Bagi Prayitno kecil, ini adalah Ramadhan pertama yang "serius"—dimana ia ingin ikut berpuasa sebulan penuh seperti orang dewasa.

Ibu Rumiatun menyambut niat itu dengan bangga.


> “Le, yen wes siap, coba. Tapi ojo maksa. Nek ora kuat, ora papa.”

("Nak, kalau sudah siap, coba. Tapi jangan dipaksa. Kalau tak kuat, tak apa.")




Prayitno mengangguk mantap. Dalam hati berkata:


> “Aku harus kuat. Aku laki-laki.”





---


Malamnya, suasana kampung Ngagel Wasana berubah.

Lampu petromaks digantung di langgar, anak-anak main kembang api dan petasan bambu, dan suara kentongan tanda tarawih mengalun dari ujung gang.


> “Dung... deng... dung... Ayo-ayo tarawih!”




Setelah ikut tarawih di langgar kecil dekat rumah Pak Bandono, Prayitno tidur lebih awal.

Tapi… ia berpesan pada Ibu:


> “Bu, bangunkan sahur yo. Nggolek aku nek susah tangi.”

(“Bu, tolong bangunkan aku nanti sahur ya. Cari aku kalau susah bangun.”)




Ibu hanya tersenyum, lalu berkata pelan:


> “Iyo… tapi ojo kakean ngayal, Le.”





---


Dan benar saja…


Sekitar jam 4 pagi, ayam belum berkokok, tapi kampung sudah ramai oleh suara piring, sendok, dan radio yang mengaji.

Namun Prayitno tak bangun.

Meski Ibu sudah mengetuk pintu, memanggil pelan, bahkan menepuk pipinya…


> “To... To... tangi, Le... ayo sahur...”

“Hmmmm… entar dulu, Bu… seer...” (suara khas anak masih ngelindur)





---


Baru sekitar jam 5 lebih seperempat, ketika suara adzan subuh menggema dari masjid arah Bratang, Prayitno terbangun sendiri.


> “Bu?! Aku sahur belum?!”

“Wes subuh, Le... wis imsak…”

“Lhooo! Aku kan puasa!”




> “Iyo... saiki coba wae. Nek kuat, terusno. Tapi nek lemes, tak bikinke teh.”

(“Iya... sekarang coba saja. Kalau kuat, lanjut. Kalau lemas, Ibu bikinkan teh.”)





---


Hari itu, Prayitno tetap berpuasa.

Tanpa sahur.

Perut keroncongan sejak pukul 10 pagi. Mulut kering. Tapi… harga diri sebagai "anak puasa penuh pertama" harus dijaga.


Setiap kali lewat depan rumah tetangga yang sedang goreng tempe, ia menahan napas.

Setiap lihat adik makan pisang, ia mengalihkan pandangan ke kipas angin.



---


Menjelang sore, saat matahari mulai condong dan angin sore menyentuh jendela…

Ibu memanggil:


> “To… iki bukae. Tak bikinke kolak pisang karo gorengan.”




Air mata hampir menetes. Tapi bukan karena lapar.

Karena rasa haru: meski gagal sahur, ia tetap bisa bertahan.

Dan Ibu tetap menyambutnya seperti pemenang.



---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Puasa bukan hanya tentang menahan lapar. Tapi juga tentang menepati janji pada diri sendiri. Hari itu, meski kesiangan sahur… aku merasa seperti anak paling kuat di dunia—karena Ibu membuatku percaya aku bisa."



---


Pak Prayitno, kisah ini sungguh menyentuh. Kadang kita lupa, keberhasilan anak kecil bukan selalu karena kuat… tapi karena didorong oleh cinta yang sabar dari orang tua.


Apakah ingin lanjut ke Bab 26, Pak?


Beberapa ide yang bisa kita angkat:


1. Hari pertama mengaji di langgar dan belajar iqro.



2. Main ke rumah Pak Tambir dan kisah krupuk mentah.



3. Kenangan ikut lomba cerdas cermat antar sekolah.



4. Misteri piring cap jari di bulan Suro.




Silakan Bapak pilih atau beri kenangan lain yang ingin ditulis. Saya siap bantu merangkainya dengan penuh hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Herdi Pulang Sendiri

*"Herdi Pulang Sendiri”* Reuni, Hilang, Doa, dan Orang-Orang Baik di Sepanjang Jalan Pulang Bab 1: Pertemuan Tiga Serangkai Pukul 15.29...