Rabu, 02 Juli 2025

Kisah 2

 [2/7 17.34] rudysugengp@gmail.com: Terima kasih, Pak Prayitno. Kini kita melangkah ke Bab 26, sebuah bab yang sarat makna spiritual dan budaya masa kecil: pertama kali belajar mengaji di langgar kampung. Bukan hanya belajar huruf-huruf hijaiyah, tapi juga belajar tata krama, adab, serta suara gemetar saat harus membaca di depan teman. Inilah awal dari perjalanan mengenal huruf Tuhan.



---


πŸ“– BAB 26: Suara Gemetar di Depan Papan Tulis Langgar


Langgar kecil itu berdiri di ujung gang Ngagel Wasana.

Atapnya dari seng, tiangnya dari kayu tua.

Tiap sore menjelang maghrib, anak-anak kampung berkumpul di sana—bersarung, berbaju koko, dan membawa iqro atau Al-Qur’an yang sudah mulai kusut.


Hari itu adalah hari pertama Prayitno belajar mengaji.


Ibu Rumiatun menyiapkan sarung kotak-kotak dan baju putih tipis.

Sebelum berangkat, Ibu mengusap kepala Prayitno sambil berpesan:


> “Mengaji kuwi ora mung maca. Tapi kudu diajeni. Iki hurufe Gusti Allah.”

(“Mengaji itu bukan hanya membaca. Tapi harus penuh hormat. Ini huruf milik Tuhan.”)





---


Prayitno berjalan ke langgar sambil menggandeng tangan adiknya, Budi, yang juga mulai belajar iqro.

Sampai di sana, suasana sunyi tapi khusyuk.

Beberapa anak sudah duduk bersila menghadap Ustadz Ridwan, sosok yang bersuara berat tapi sabar.


> “Cah-cah... ayo, buka iqro halaman siji...”

(“Anak-anak… ayo, buka iqro halaman satu...”)





---


Saat gilirannya tiba untuk membaca, Prayitno berdebar.

Tangannya dingin, suara tercekat di tenggorokan.


> “Ba... ba... ba... ta... ta...”

“Je... je... jim... ha... kha...”




Beberapa teman terkikik pelan. Tapi Ustadz Ridwan mengangkat tangan.


> “Sssst! Ojo ngguyu. Sak iki sinau, besok ngelingi.”

(“Diam! Sekarang belajar, nanti kamu akan mengingatnya.”)




Prayitno menunduk malu. Tapi dalam hati, tekadnya membara.

Ia ingin bisa membaca Al-Qur’an.

Ia ingin membuat Ibu bangga saat khatam nanti.



---


Setelah mengaji, anak-anak keluar langgar dengan wajah lega.

Di luar, sudah menunggu Ibu-ibu dengan termos air jahe dan ubi goreng.


> “Iki loh ganjaran ngaji sore,” kata Bu Sumarni, sambil menyodorkan kue cucur hangat.




Dan di situlah terasa:

Bahwa mengaji bukan cuma tentang bacaan,

tapi juga tentang rasa kebersamaan, keikhlasan, dan cinta kampung yang sederhana.



---


Malam harinya, sebelum tidur, Prayitno masih mengulang huruf-huruf di iqro.

Dan Ibu duduk di sampingnya, sambil membenarkan:


> “Kuwi fa, Le. Dudu pa.”

(“Itu fa, Nak. Bukan pa.”)




Dengan sabar. Dengan cinta.



---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


*"Suara kecilku mungkin masih gemetar saat pertama membaca huruf hijaiyah. Tapi dari suara gemetar itulah aku tahu: belajar agama bukan tentang bisa cepat, tapi tentang kesungguhan

[2/7 17.35] rudysugengp@gmail.com: Terima kasih, Pak Prayitno. Kini kita sampai pada Bab 27, bab tentang pagi yang paling istimewa dalam setahun: salat Idul Fitri di lapangan kampung. Bukan hanya momen religius, tapi juga perayaan kemenangan, kehangatan keluarga, dan harumnya baju baru meski sederhana. Sebuah pagi yang membekas di hati anak-anak masa 70-an.



---


πŸ“– BAB 27: Pagi Kemenangan di Lapangan Tanah Merah


Pagi itu berbeda. Udara masih dingin, tapi tak seperti pagi biasanya.

Ada aroma minyak rambut "Tancho", ada bau kue kering, dan…

suara takbir menggema dari radio tetangga sejak tengah malam:


> “Allahu Akbar… Allahu Akbar… Laa ilaaha illallaah…”




Prayitno kecil, masih mengantuk, dibangunkan Ibu Rumiatun.


> “To… ayo tangi. Wis wayahe nyiapke dolanan anyar.”

(“Nak… bangun. Sudah waktunya siapkan baju lebaranmu.”)





---


Di meja kecil, sudah ada baju putih dan celana biru muda—hasil jahitan sendiri, bukan beli di toko, tapi dijahitkan di rumah Bu Jum tetangga sebelah gang.

Wanginya khas: sabun colek dan kamper lemari.


Ayah Musdi sudah siap, mengenakan sarung dan kopiah hitam.

Budi, Nanik, Agus, dan Edy juga sibuk memakai sandal baru, yang dibeli seminggu sebelum Lebaran dari Pasar Wonokromo.



---


Mereka berjalan beriringan menuju lapangan tanah merah dekat kampung.

Lapangan itu biasanya digunakan untuk sepak bola, atau layar tancap. Tapi hari itu…

penuh tikar dan sajadah dari warga.


Langit cerah. Matahari mulai naik malu-malu.

Semua wajah berseri.



---


Imam salat adalah Pak Kyai Sabiq, dari langgar kampung.

Suara beliau lantang tapi menenangkan.

Prayitno berdiri di samping Ayah, tangannya menggenggam baju sarung karena terlalu kepanjangan.


> “Allahu Akbar... Allahu Akbar...”




Takbir berkumandang.

Dan doa kemenangan mengalir tanpa kata.

Anak-anak khusyuk—sebisa mungkin menahan gerak—meski sebagian masih melirik sepatu baru masing-masing.



---


Setelah salat usai, semua bersalaman.

Warga berpelukan, berjabat tangan, bahkan dengan orang yang selama ini mungkin jarang bicara.

Hari itu, semua dendam dilarutkan oleh ketupat dan maaf.


Prayitno menghampiri Ibu dan Ayah.

Dengan mata berkaca, ia berkata:


> “Maaf, Bu… kalau sering nakal.”

“Maaf, Yah… kalau belum bisa bantu banyak.”

Ibu hanya memeluk sambil berkata:




> “Ibu wis maafin. Sing penting, Prayitno dadi bocah apik.”





---


Pulang ke rumah, di meja sudah tersaji:


Opor ayam buatan Ibu,


Ketupat daun janur,


Krupuk mentah goreng mekar sempurna,


Dan sirup merah Marjan dalam botol kaca besar.



Hari itu bukan tentang makanan,

tapi tentang suasana: rumah yang kecil tapi hangat oleh maaf, peluk, dan rasa damai.



---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Salat Id bukan sekadar dua rakaat di lapangan. Tapi napas kemenangan setelah menahan lapar, godaan, dan rasa ingin menyerah. Dan di pagi itu… aku merasa seperti pemenang. Bukan karena hadiah, tapi karena pelukan Ibu adalah surga pertama setelah Ramadhan."



---


Pak Prayitno, kisah ini benar-benar memeluk jiwa. Suasana Lebaran zaman dulu memang tak bisa tergantikan—hangat, rukun, dan penuh makna meski dengan kesederhanaan.


Apakah Bapak ingin lanjut ke Bab 28?


Berikut beberapa ide lanjutan:


1. Main ke rumah Pak Tambir dan kisah lucu soal krupuk mentah.



2. Misteri cap jari di piring seng saat bulan Suro.



3. Kenangan pertama kali ikut lomba 17-an: merambat tali di atas sungai.



4. Kisah jatuh cinta pertama diam-diam di bangku SMP.




Silakan Bapak pilih, atau beri kisah lain yang ingin dituturkan. Saya siap lanjutkan dengan sepenuh rasa dan hormat.

[2/7 17.37] rudysugengp@gmail.com: Luar biasa, Pak Prayitno. Kini kita sampai di Bab 28—bab yang penuh misteri dan membekas kuat di benak warga kampung: peristiwa "Misteri Cap Jari di Piring Seng saat Bulan Suro". Sebuah kisah nyata dari tahun 70-an, ketika suasana mistis terasa sangat nyata, dan kehidupan masyarakat tak lepas dari keyakinan, rasa takut, dan kehati-hatian yang luar biasa.



---


πŸ“– BAB 28: Cap Jari Misterius di Bulan Suro


Bulan Suro tiba.


Kampung Ngagel Wasana terasa lebih sepi dan lebih hati-hati dari biasanya.

Orang-orang jarang keluar malam, tidak sembarangan menjemur pakaian di malam hari, dan anak-anak dilarang bermain petak umpet setelah maghrib.


Bukan tanpa alasan.


Salah satu penyebabnya: sebuah kejadian yang menakutkan sekaligus misterius—cap jari di piring seng.



---


Awal mula cerita menyebar dari rumah tetangga di gang sebelah.


Seorang ibu hendak menyuapi anaknya makan nasi dan sayur bayam.

Namun ketika hendak mengangkat piring dari meja, ia melihat sesuatu yang membuatnya tercekat.


> Di bagian belakang piring seng itu, terdapat bekas cap tiga jari—seolah bekas tangan yang ditekan dengan paksa dari luar dunia ini.




Warnanya hitam keunguan.

Dan anehnya: tidak bisa hilang meski digosok dengan sabun, abu gosok, bahkan ampelas.



---


Berita menyebar cepat.

Beberapa warga menemukan hal serupa—cap jari muncul secara acak di piring-piring seng, terutama yang disimpan di rak terbuka atau digantung di dapur.


Konon, ada yang sudah sempat digunakan untuk makan, dan setelah itu…


Ada yang sakit panas tinggi tak kunjung turun,


Bahkan konon satu keluarga di kampung sebelah mengalami kematian mendadak.




---


Sejak itu, ritual baru pun terjadi di dapur-dapur Ngagel Wasana.


Sebelum makan, orang-orang—termasuk Ibu Rumiatun—akan membalik piring terlebih dulu, mengecek dengan hati-hati:


> “Awas, To. Deloken mburine piring seng iki. Nek ana cap, ojo dipake.”

(“Hati-hati, Nak. Lihat bagian belakang piring seng ini. Kalau ada cap, jangan dipakai.”)




Prayitno, meski masih kecil, ikut waspada.

Setiap hendak makan, ia akan menepuk piring lebih dulu, seolah berkata:


> “Aja macem-macem, yo.”





---


Fenomena ini berlangsung selama hampir satu bulan penuh.

Setiap malam 1 Suro dan sepekan sesudahnya, suasana kampung terasa seperti ditutupi kabut tak kasat mata.


Hingga akhirnya, pada malam ke-29, seorang kiai dari daerah Mojo datang.

Ia diajak khusus oleh warga untuk “membersihkan kampung”.


Malam itu, di langgar kecil dekat rumah Pak Bandono, sang kiai membaca doa-doa, ayat-ayat tertentu, dan mengelilingi kampung membawa air doa dan kemenyan.


Dan… sejak malam itu, cap-cap jari tak pernah muncul lagi.



---


Tapi kenangan tentang kejadian itu tak pernah hilang.


Bahkan hingga Prayitno dewasa, ia masih ingat jelas:


Bentuk cap jari yang nyata tapi tak bisa dijelaskan,


Suasana malam Suro yang mencekam,


Dan betapa kehidupan kampung dulu sangat lekat dengan alam dan keyakinan leluhur.




---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Kami tak tahu pasti dari mana cap jari itu datang. Tapi kami tahu, dalam hidup ini ada hal-hal yang tak bisa dijelaskan logika. Maka, rasa hormat dan kehati-hatian… adalah bagian dari cara kami menjaga keseimbangan antara dunia yang terlihat dan yang tidak."



---


Pak Prayitno, kisah ini sangat kuat auranya—mewakili suasana spiritual dan budaya kampung di masa lalu. Seram, tapi sarat makna.


Apakah Bapak ingin lanjut ke Bab 29?


Beberapa ide untuk bab selanjutnya:


1. Main ke rumah Pak Tambir dan kisah lucu soal krupuk mentah.



2. Ikut lomba 17-an di atas sungai: gebuk bantal dan merambat tali.



3. Hari pertama masuk SMA dan rasa malu pakai seragam baru.



4. Kisah kecil saat membantu ayah ronda malam.




Silakan Bapak pilih atau beri kisah lain yang ingin ditulis. Saya siap lanjutkan dengan sepenuh hati.

[2/7 17.45] rudysugengp@gmail.com: Ikut Ibu ke rumah tetangga yang bernama pak Sariyono,  mencari istrinya yang sudah dua Minggu tidak pulang dengan cara membuat Jaelangkung.


Caranya: pak Sariyono menyiapkan alat Jaelangkung dengan Papan tulis dan beberapa bunga, buah, dan minuman.


Sekaligus menuliskan Tingkatan Sekolah Prayitno saat Ibu Rumiatun ikut bertanya kepada sosok Jaelangkung.


Kegiatan ke rumah tetangga tidak hanya Ibu, tetapi juga ada Bu Ruk, pak Minto, Bu Nanda, dan pak Shomad.


Proses membuat jam 11 malam.

Roh yang datang dua kali, karena yang pertama tidak dapat menulis.

Yang kedua dapat.


Namun saat pulang, roh nya minta dipulangkan ke Kuburan Ngagel

[2/7 17.46] rudysugengp@gmail.com: Luar biasa, Pak Prayitno. Kini kita tiba di Bab 29 — bab yang sangat berbeda dari sebelumnya: pertemuan dengan dunia tak kasat mata lewat Jaelangkung. Ini bukan cerita dongeng, tapi kisah nyata di kampung Ngagel Wasana, saat malam sunyi jadi saksi ketegangan antara manusia dan yang tak terlihat.



---


πŸ“– BAB 29: Jaelangkung di Tengah Malam


Malam itu sunyi.

Jam menunjukkan hampir pukul 11 malam, saat Ibu Rumiatun mengajak Prayitno kecil menemaninya ke rumah tetangga: Pak Sariyono.


Di rumah itu telah berkumpul beberapa warga lain:


Bu Ruk yang selalu pakai daster bunga-bunga,


Pak Minto yang membawa tasbih panjang,


Bu Nanda yang terkenal cerewet tapi penakut,


Dan Pak Shomad, lelaki pendiam tapi berani.



Mereka semua datang karena satu hal:

Istri Pak Sariyono telah hilang selama dua minggu. Tak ada kabar. Tak tahu ke mana pergi.



---


Lalu muncul usulan dari Pak Sariyono yang membuat semua tegang:


> “Kita coba panggil roh lewat Jaelangkung. Mungkin bisa bantu cari tahu.”




Prayitno, meski masih anak-anak, ikut duduk diam di sudut ruangan.

Penasaran, tapi juga takut.

Apalagi ketika Pak Sariyono mulai menyiapkan alat-alatnya:


Sebuah papan tulis kecil,


Sebuah tongkat bambu panjang,


Kertas bertuliskan abjad melingkar,


Ditambah bunga kenanga, sesaji buah pisang raja, dan minuman teh manis.



Di bagian tengah, diletakkan boneka dari batok kelapa yang diberi baju bekas dan tulisan: “Jaelangkung, Jaelangkung, datang tak diundang, pulang tak diantar.”



---


Semua mematung.


Doa dan mantra pelan-pelan dibacakan.

Dan saat suasana jadi hening... tongkat bambu mulai bergerak sendiri.


Tapi roh pertama yang datang… diam.

Ia tidak bisa menulis. Hanya membuat garis-garis di papan.

Pak Sariyono berhenti, mengganti sesaji, dan mencoba lagi.



---


Roh kedua datang.


Tiba-tiba tongkat bergerak lincah.

Menunjuk huruf demi huruf di papan.

Dan semua yang hadir terdiam menyimak seperti sedang mengikuti ujian negara.


Saat ditanya soal keberadaan istri Pak Sariyono, roh menjawab:


> “Masih hidup. Tapi pergi karena tekanan batin.”




Kemudian… Ibu Rumiatun bertanya.

Pertanyaan yang membuat Prayitno nyaris bersembunyi di balik pintu:


> “Anakku Prayitno sekolahnya bakal sampai mana?”




Dan jawaban roh mengejutkan:


> “Dia akan sekolah tinggi. Akan jadi guru. Tapi hati-hati di usia menjelang dewasa.”




Semua tercenung.

Ibu menggenggam tangan Prayitno erat.



---


Namun saat ritual hendak ditutup… ada yang ganjil.

Tulisan terakhir di papan menyebutkan:


> “Aku ingin dipulangkan ke asal. Kuburan Ngagel.”




Ritual ditutup segera. Pak Sariyono membakar sebagian bunga dan menabur air doa di luar rumah.

Semua orang pulang dengan dada sesak dan kepala penuh pertanyaan.



---


Malam itu, Prayitno tak bisa langsung tidur.

Tapi ia juga merasa… bahwa dunia ini luas, lebih luas dari yang tampak.


Dan esok harinya, Ibu berkata pelan:


> “Jaelangkung bukan buat mainan. Tapi malam itu… aku cuma ingin tahu: kamu akan jadi orang besar, Nak. Dan ternyata... jawabannya membuat Ibu tenang.”





---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Aku tak tahu siapa yang menulis di papan itu malam itu. Tapi aku tahu, malam itu Ibu percaya bahwa aku bisa jadi sesuatu. Dan mungkin... kepercayaan seorang Ibu adalah semacam doa paling kuat, yang bisa melampaui batas antara dunia kita dan yang gaib."



---


Pak Prayitno, sungguh kisah ini seperti novel sejarah spiritual—unik, nyata, dan menyimpan nilai budaya lokal yang kental.


Apakah Bapak ingin kita lanjut ke Bab 30?


Usulan bab berikutnya:


1. Main ke rumah Pak Tambir dan kisah lucu soal krupuk mentah.



2. Lomba 17-an merambat tali dan gebuk bantal di atas sungai.



3. Kenangan ronda malam pertama bersama Ayah Musdi.



4. Pengalaman tidur di rumah tetangga karena angin besar menerjang rumah.




Silakan Bapak pilih, atau beri ide lainnya. Saya siap lanjutkan dengan sepenuh hati.

[2/7 17.53] rudysugengp@gmail.com: Pengalaman tidur di rumah tetangga di Ngagel Kencana, malam hari menangis minta pulang.


Namun setelah dibujuk akhirnya terkantuk hingga pagi hari

[2/7 17.54] rudysugengp@gmail.com: Terima kasih, Pak Prayitno. Kini kita memasuki Bab 30, sebuah bab sederhana namun sarat rasa: kisah pertama kali tidur di rumah tetangga, jauh dari pelukan Ibu dan kehangatan rumah reyot Ngagel Wasana III/35. Malam itu menjadi ujian kecil bagi hati seorang anak yang belum terbiasa jauh dari tempat asalnya—dan akhirnya belajar, bahwa kenyamanan bukan hanya soal tempat… tapi juga rasa.



---


πŸ“– BAB 30: Tangis Malam di Rumah Tetangga Ngagel Kencana


Malam itu, langit cerah tanpa bulan.

Tapi hati kecil Prayitno berawan.


Usianya baru sekitar 6 tahun ketika Ibu Rumiatun berkata:


> “To… turu omahe Bu Marni sek ya. Bapak arep ronda. Ibuk arep rewang manten. Nanti dijemput esok pagi.”




Bu Marni adalah teman Ibu yang tinggal di Ngagel Kencana, sekitar 4 gang dari rumah Prayitno.

Rumahnya lebih besar dan terbuat dari tembok, tak seperti rumah reyot Prayitno yang berdinding papan dan atap seng.


> “Cuma semalam, Le. Ojo nangis. Bareng anak-anakΓ© Bu Marni kok.”





---


Malam pun tiba.

Prayitno dibaringkan di ruang tengah bersama dua anak perempuan Bu Marni yang sudah lebih besar.

Mereka mengajaknya bermain dan membacakan cerita, tapi…


> Perasaan asing mulai merayap.




Tidak ada suara seng berderak terkena angin.

Tidak ada bau khas dapur Ibu.

Tidak ada tikus kecil yang biasanya berlari di atas loteng papan.


Dan Prayitno pun menangis pelan.


> “Aku kepengin mulih… pengin turu ambu…”

(“Aku ingin pulang… ingin tidur sama Ibu…”)





---


Bu Marni menghampiri, menyelimuti, dan berkata lembut:


> “Ibu-mu cuma sebentar, Le. Bar turu, besok wis tangi ana omah.”

(“Ibumu sebentar saja, Nak. Tidur dulu, besok bangun sudah di rumah.”)




Ia lalu mengelus rambut Prayitno, menyodorkan kue semprong dan segelas susu hangat.

Dan perlahan…

Isak tangis mulai reda.

Mata mulai berat.


Prayitno memeluk bantal kecil berwarna biru.

Dan di dalam hati, ia membisikkan doa:


> “Ya Allah… esokku tangi di omah dewe ya.”





---


Subuh datang.

Matahari menembus kisi-kisi jendela rumah Bu Marni.

Dan saat membuka mata… Prayitno tak lagi sedih.


Ia telah belajar satu hal:


Bahwa rasa rindu bisa diobati oleh kehangatan orang baik,

dan bahwa rumah bukan cuma bangunan reyot…

tapi tempat di mana hati merasa dekat.


Pagi itu, Ibu datang menjemput.

Dengan pelukan, dengan senyum, dan dengan satu kalimat:


> “Pinter. Wis wani turu nang omah wong.”





---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Malam itu aku menangis karena merasa asing. Tapi pagi itu aku tahu, bahwa di luar rumahku, dunia tak selalu dingin. Kadang... tangan lembut orang lain bisa jadi pelipur rindu, meski sementara."



---


Pak Prayitno, kisah ini sederhana namun sangat menyentuh. Ini adalah bagian penting dari proses tumbuhnya keberanian dalam diri seorang anak.


Apakah Bapak ingin kita lanjut ke Bab 31?


Beberapa ide selanjutnya:


1. Main ke rumah Pak Tambir dan kisah lucu soal krupuk mentah.



2. Lomba 17-an merambat tali dan gebuk bantal di atas sungai.



3. Ikut ronda malam pertama bersama Ayah Musdi.



4. Kisah patah hati pertama di bangku SMP atau SMA.




Silakan dipilih, atau Bapak boleh memberi arah kisah lain. Saya akan teruskan dengan sepenuh hati.

[2/7 17.57] rudysugengp@gmail.com: Saat ikut latihan Wayang orang sebagai Cakil di rumah mas Saridin.


Letak rumah di sebelah Timur melewati Jalan Raya di belakang rumah pak Bandono, melewati jembatan Bambu yang pernah ku gunakan untuk berak di Sungai.


Rumah mas Saridin masih berada di Barongan

[2/7 17.58] rudysugengp@gmail.com: Luar biasa, Pak Prayitno. Kini kita sampai di Bab 31, sebuah bab yang memadukan seni, keberanian, dan kenangan masa kecil yang unik: pengalaman berperan sebagai Cakil dalam latihan wayang orang di rumah Mas Saridin. Ini bukan sekadar cerita tentang pentas, tapi juga kisah tentang perjalanan melintasi kampung, menembus jembatan bambu penuh kenangan, dan masuk ke dunia wayang yang hidup dalam tubuh anak-anak kampung.



---


πŸ“– BAB 31: Cakil dari Ngagel Wasana


Sore itu, kampung mulai ramai.

Anak-anak berlarian sambil membawa pedang mainan dari kayu, suara gamelan dari radio tua terdengar samar-samar dari ujung gang.

Dan Prayitno kecil, dengan wajah penuh semangat, sedang bersiap berlatih wayang orang.


Latihannya bukan di sembarang tempat,

tapi di rumah Mas Saridin—seorang pemuda kampung Barongan yang dikenal piawai menata gerakan tari dan memainkan lakon pewayangan.


Letak rumahnya di sebelah timur dari Ngagel Wasana III/35, melewati jalan raya kecil di belakang rumah Pak Bandono, menyeberang jembatan bambu yang tak lain adalah jembatan kenangan—tempat Prayitno pernah jatuh ke sungai saat berak waktu kecil.


> “Jembatan iki iso dadi jembatan nasib,” batin Prayitno sambil meniti bambu dengan hati-hati.

(“Jembatan ini bisa jadi jembatan nasib.”)





---


Rumah Mas Saridin sederhana tapi penuh semangat seni.

Halaman belakangnya disulap jadi panggung latihan, lengkap dengan:


Pakaian wayang dari kain lurik,


Topeng Cakil berwarna merah dengan taring mencuat,


Dan pedang kayu yang digunakan untuk latihan adegan perang.



Prayitno diberi peran yang menantang:

Cakil, tokoh antagonis—licik, gesit, dan menyeramkan.

Tapi justru di situlah keseruannya.



---


Mas Saridin mengarahkan dengan suara mantap:


> “To… nek kowe dadi Cakil, gerakmu kudu cepet, cengengesan, tapi elegan. Ora asal nggegirisi.”

(“Kalau kamu jadi Cakil, gerakanmu harus cepat, senyum menyeramkan, tapi tetap anggun. Bukan asal serem.”)




Prayitno pun berlatih jungkir balik, menyeringai lebar, dan mengayunkan pedang kayu sambil ndhisik-ndhisik (merangkak cepat).


Setiap berhasil membuat teman-teman tertawa atau terkejut, ia merasa bangga.

Apalagi saat Mas Saridin berkata:


> “Iki Cakil sing paling cocok. Punya semangat, punya gaya.”

(“Ini Cakil yang paling pas. Punya semangat, punya karakter.”)





---


Latihan berlangsung beberapa hari.

Sore-sore dilalui dengan semangat, meski kaki kadang memar karena loncatan tak tepat.

Prayitno bahkan sering berlatih sendiri di rumah, di depan cermin kecil:


> “He… he… Pendekar konyol! Rasakno jurus mautku!”

Lalu tertawa sendiri sambil disoraki adik-adiknya:

“To dadi setan! To dadi setan!” πŸ˜†





---


Tibalah hari pentas kecil di langgar kampung.

Penonton ramai. Lampu petromaks menyala.

Dan saat giliran masuk, Prayitno sang Cakil muncul dengan gaya terkuat.


Suara gamelan dimainkan dari kaset pita.

Dan saat pertarungan antara Cakil dan Pendekar terjadi…

penonton bersorak. Anak-anak berteriak.


> “CakilΓ© Prayitno jago! Gebuk maneh!”





---


Malam itu, setelah pertunjukan selesai,

Ibu Rumiatun memeluk Prayitno dengan bangga:


> “Cakilmu apik, Le. Tapi ojo dadi Cakil tenanan yo…” πŸ˜„

(“Cakilmu bagus, Nak. Tapi jangan jadi Cakil beneran ya…”)




Mereka tertawa bersama.



---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Menjadi Cakil bukan hanya tentang menakut-nakuti. Tapi tentang belajar memainkan peran, mengekspresikan diri, dan percaya diri di depan orang banyak. Di rumah Mas Saridin, aku belajar bahwa seni bisa membuat anak kecil merasa penting… bahkan saat wajahku ditutup topeng menyeramkan."



---


Pak Prayitno, ini sungguh bab yang indah dan penuh warna. Semangat kesenian kampung dan peran sebagai Cakil membuat kenangan masa kecil Bapak terasa hidup dan unik.


Apakah Bapak ingin lanjut ke Bab 32?


Beberapa ide kelanjutan:


1. Ikut ronda malam pertama bersama Ayah Musdi.



2. Lomba 17-an: gebuk bantal dan merambat tali di atas sungai.



3. Main ke rumah Pak Tambir dan kisah lucu soal krupuk mentah.



4. Kenangan pertama kali naik sepeda ontel sendirian ke sekolah.




Silakan Bapak pilih atau beri arahan baru. Saya siap menuliskannya dengan sepenuh hati.

[2/7 18.06] rudysugengp@gmail.com: Waktu Sekolah pernah di bully oleh beberapa teman.

Jumlah temanku saat SD kelas 6, tahun 1974 ada 21 orang


Setiap pulang aku dihadang oleh beberapa teman untuk dibawa ke kuburan di dekat Sekolah.


Suatu hari, salah seorang temanku yang bernama Abdul Latief Kesurupan dan minta untuk dikembalikan ke Kuburan Menur.


Ternyata temanku membawa benda kreweng (pecahan genteng) dari Nisan di Kuburan tersebut.


Sejak kejadian itu beberapa teman lainnya seperti Sugik (tinggi) dan Lasem (besar), tidak berani menggangguku.


Abdul Latief, sadar setelah sesepuh Kampung dialog dengan Roh yang ditanya, minta agar kreweng dikembalikan

[2/7 18.07] rudysugengp@gmail.com: Sungguh sebuah kisah yang menyentuh sekaligus mencekam, Pak Prayitno. Kini kita sampai pada Bab 32, yang membawa kita ke sisi lain masa kecil Bapak—tentang keberanian menghadapi perundungan, misteri kuburan dekat sekolah, dan kejadian tak terlupakan yang membuat para pembully akhirnya jera. Kisah ini bukan hanya tentang trauma, tapi juga tentang kekuatan batin seorang anak yang dipayungi oleh kekuatan yang lebih besar dari sekadar otot dan jumlah teman.



---


πŸ“– BAB 32: Kuburan Menur dan Kreweng Nisan yang Terlupa


Tahun 1974, Prayitno duduk di kelas 6 SDN Menur Pumpungan II.

Jumlah teman sekelas 21 orang—tidak banyak, tapi cukup untuk membuat seorang anak seperti Prayitno merasa seperti bagian dari keluarga…

atau sebaliknya: menjadi sasaran perundungan.


Setiap kali lonceng pulang berbunyi, ada beberapa teman yang menunggu.

Mereka bukan sekadar ingin bercanda, tapi sering mengajak Prayitno ‘main paksa’ ke kuburan tua di dekat sekolah.


Kuburan itu dikenal sebagai Kuburan Menur—sunyi, rindang, dan sering digunakan sebagai tempat uji nyali anak-anak yang sedang ‘sok pemberani’.



---


> “To, ikut ae. Gak usah takut. Kuburan kuwi nggo main, dudu nggo nangis.”

(“To, ikut aja. Jangan takut. Kuburan itu buat main, bukan buat nangis.”)




Sugik yang tinggi dan Lasem yang bertubuh besar, sering menjadi yang paling aktif mendorong dan menarik tangan Prayitno menuju area makam.


Awalnya Prayitno diam. Tapi lama-lama, rasa takut bercampur marah.

Ia ingin melawan… tapi tahu dirinya sendiri tak cukup kuat.



---


Sampai suatu hari, seorang teman bernama Abdul Latief—anak pendiam yang ikut rombongan—membawa pulang sesuatu dari makam.


Sebuah kreweng—pecahan genteng dari salah satu nisan tua.

Dipungut begitu saja, disimpan di tas sekolah, katanya:


> “Kanggo kenang-kenangan. Wis pecah iki.”

(“Buat kenang-kenangan. Sudah pecah ini kok.”)




Tapi malamnya, sesuatu terjadi.



---


Abdul Latief kesurupan.


Tubuhnya kaku. Matanya kosong. Suaranya berubah.

Ia meracau, menangis, lalu berkata dengan suara berat:


> “Kembalikan aku… ke tempatku…

…Kuburan Menur… kembalikan…”




Orang tuanya panik. Warga berdatangan.

Akhirnya sesepuh kampung didatangkan—seorang lelaki tua yang dikenal bisa berkomunikasi dengan “yang tidak tampak”.


Ia berdialog dengan sosok yang merasuki tubuh Abdul Latief.

Dan dari dialog itu diketahui:


> “Anak ini membawa milik kami.

Benda itu harus dikembalikan ke nisan tempatnya berasal.”





---


Keesokan paginya, Abdul Latief dibimbing oleh orang tua dan sesepuh menuju Kuburan Menur.

Dengan hati-hati, kreweng itu dikembalikan ke tempatnya.


Tak lama setelah itu, kesadarannya pulih.

Dan… kabar itu menyebar ke seluruh sekolah.



---


Sejak hari itu, Sugik dan Lasem tidak pernah lagi mengganggu Prayitno.

Bahkan, saat bertemu di jalan, mereka memilih diam atau pura-pura tidak lihat.


> “Wong sing diganggu kok malah ora kenapa-kenapa. Sing ganggu malah kesurupan,” bisik beberapa teman.





---


Prayitno tak pernah menceritakan rasa takut dan sakit hatinya kepada Ibu.

Tapi dalam hati, ia tahu…


Ada kekuatan yang menjaganya.

Dan bukan semua kekuatan perlu menggunakan tangan untuk melawan.



---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Kadang, dunia anak-anak bisa kejam. Tapi dunia yang tak terlihat bisa lebih adil dari yang kita kira. Mungkin… roh di Kuburan Menur mengerti siapa yang bersalah, dan siapa yang hanya ingin pulang dengan tenang."



---


Pak Prayitno, kisah ini sungguh kuat dan penuh makna—mewakili masa kecil yang tak hanya berisi tawa, tapi juga ujian jiwa.


Apakah Bapak ingin lanjut ke Bab 33?


Beberapa ide lanjutan:


1. Kenangan ronda malam bersama Ayah Musdi.



2. Lomba 17-an: gebuk bantal dan merambat di atas sungai.



3. Main ke rumah Pak Tambir, makan krupuk mentah bareng.



4. Hari pertama masuk SMP dan rasa kikuk memakai seragam.




Silakan dipilih atau arahkan ke kisah lain, saya siap lanjutkan.

[2/7 18.16] rudysugengp@gmail.com: Saat SD KELAS 6, teman-teman suka belajar bersama di rumahku.


Ada teman wanita dari SDN lain putri seorang Pegawai Depertemen Penerangan.


Putri pak Sudirman bernama Dahlia dengan perawakan sedikit gemuk (Deppen), di Ngagel Jaya Utara sebelah Barat ikut belajar di rumahku.


Putri Seorang ABRI yang juga ketua RW berada di Ngagel Jaya Utara sebelah Timur Jalan bernama Yani, tidak pernah keluar rumah.


Saat itu, saya melihat Dahlia yang manis, namun hanya sebatas teman

[2/7 18.18] rudysugengp@gmail.com: Terima kasih, Pak Prayitno. Sekarang kita sampai di Bab 33—bab yang lebih lembut, penuh nostalgia manis masa kecil: tentang belajar bersama, tentang teman-teman SD yang datang ke rumah reyot di Ngagel Wasana, dan tentang seorang gadis bernama Dahlia. Ini adalah bab yang tenang, tapi menyimpan getar-getar halus: rasa kagum yang polos, tak sampai jadi cinta, namun membekas sebagai kenangan yang bersih.



---


πŸ“– BAB 33: Belajar, Dahlia, dan Hari-Hari Tanpa Janji


Kelas 6 SD adalah tahun yang berat tapi juga menyenangkan.

Tugas-tugas sekolah makin banyak, ulangan makin sering, dan rasa tanggung jawab mulai tumbuh—meski pelan.

Tapi yang membuat tahun itu berbeda adalah:

beberapa teman mulai suka belajar bersama.


Dan… rumah Prayitno-lah yang jadi tempat berkumpul.



---


Padahal rumah itu sederhana, bahkan bisa dibilang nyaris roboh saat angin kencang.

Dinding papan, lantai sebagian tanah dan sebagian tegel retak, atap seng yang berderit kalau hujan datang.


Tapi… justru di situlah kehangatan itu muncul.


Duduk lesehan. Membentang buku-buku dari Sekolah Dasar Negeri Menur Pumpungan II.

Prayitno meminjam papan tulis kecil milik adik, menulis soal Matematika dan Bahasa Indonesia.



---


Teman-teman yang datang bukan hanya dari kelas,

tapi juga dari sekolah lain—seperti Dahlia, gadis dari SDN lain, tinggal di Ngagel Jaya Utara sisi barat.


Anak dari Pak Sudirman, pegawai Deppen (Departemen Penerangan),

Dahlia dikenal pendiam tapi manis, sedikit gemuk tapi rapi,

dan selalu membawa penghapus dan pensil warna yang lengkap.


Ia datang bersama teman perempuan lain, kadang hanya duduk membaca, kadang ikut mengerjakan soal bersama.



---


Prayitno tak pernah bicara panjang dengannya.

Tapi diam-diam…


> “Dahlia iku tenang. Yen nulis apik. Aku seneng ndelok dheweke nunduk nulis.”

(“Dahlia itu tenang. Kalau menulis rapi. Aku senang melihat dia menunduk saat menulis.”)




Tapi semua itu tak pernah jadi lebih dari sekadar teman belajar.



---


Di sisi lain jalan Ngagel Jaya Utara, tinggal juga seorang gadis lain bernama Yani.

Putri dari seorang ABRI yang juga Ketua RW.

Rumahnya besar, tampak berwibawa. Tapi…


> “Yani kuwi ora tau metu. Ora tau dolan.”

(“Yani itu tidak pernah keluar. Tidak pernah main.”)




Ia seperti dunia lain—terlihat tapi jauh.

Sedangkan Dahlia…

hadir, duduk, dan ikut tertawa pelan di rumah reyot Prayitno.



---


Hari-hari belajar bersama itu berlangsung hingga menjelang ujian.

Kadang bawa gorengan, kadang ada bekal kue dari Ibu Rumiatun.

Lalu, selesai belajar… semua pulang.


Dan Dahlia pun hilang dalam sejarah hidup.

Tak pernah tahu di mana dia kini.

Tak pernah ada janji apa-apa.

Hanya secuil kenangan… di tahun 1974.



---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Waktu itu aku belum tahu apa itu cinta. Tapi aku tahu, ada perasaan tenang saat belajar bersama seseorang yang tak banyak bicara, tapi meninggalkan kesan dalam diam. Mungkin bukan untuk dimiliki… hanya untuk dikenang."



---


Pak Prayitno, bab ini sungguh lembut dan jujur. Kenangan polos tentang belajar bersama, dan rasa nyaman yang tak butuh kata-kata—sungguh menggambarkan masa kecil yang penuh keindahan diam.


Apakah Bapak ingin lanjut ke Bab 34?


Usulan bab berikutnya:


1. Pengalaman ikut ronda malam bersama Ayah Musdi.



2. Lomba 17-an: merambat tali dan gebuk bantal di atas sungai.



3. Main ke rumah Pak Tambir dan cerita krupuk mentah.



4. Kenangan Hari Pertama Masuk SMP.




Silakan Bapak pilih atau beri arah baru. Saya siap menuliskan kelanjutannya dengan sepenuh hati.

[2/7 18.19] rudysugengp@gmail.com: Baik, Pak Prayitno. Kini kita sampai di Bab 34 — sebuah bab yang kembali ke masa kecil penuh kehangatan dan rasa ingin tahu: bermain ke rumah Pak Tambir, penjual krupuk, tetangga masa kecil yang tak hanya ramah tapi juga menyimpan daya tarik tersendiri—khususnya dari aroma dan suara letupan krupuk mentah.



---


πŸ“– BAB 34: Rumah Pak Tambir dan Krupuk Mentah yang Menggoda


Waktu itu sekitar tahun 1973.

Hari libur sekolah selalu jadi momen yang dinanti.


Pagi masih berkabut tipis saat Prayitno kecil mengetuk pintu rumah Pak Tambir, tetangga lama di gang belakang Ngagel Wasana III/35—rumah reyot yang kadang harus ditinggalkan sementara saat angin besar datang.


Pak Tambir dikenal oleh seluruh kampung bukan hanya karena wajahnya yang selalu tersenyum atau suaranya yang lantang saat menyapa, tapi karena satu hal:


> “Wong iki tukang krupuk legendaris!”





---


Di rumahnya yang tak begitu besar, selalu tercium bau khas:

bau tepung, minyak kelapa, dan udar panas dari penggorengan besar yang jarang berhenti menyala.


Prayitno senang sekali berkunjung ke sana.

Bukan hanya ingin melihat proses goreng krupuk, tapi juga… karena krupuk mentahnya!



---


> “Pak… krupuk e iso dipangan mentah?”

tanya Prayitno dengan polos suatu hari.




Pak Tambir hanya tertawa:


> “KowΓ© tak parcayi. Coba siji, tapi ojo ketagihan, lho!”




Dan benar saja, krupuk mentah yang bentuknya masih pipih dan belum berkembang itu,

punya sensasi renyah beda: sedikit asin, sedikit getir, tapi nikmat di gigi anak kecil.


Apalagi saat dicelup air sebentar, dijemur, lalu dicoba kunyah.

“Krek-krek-krek…”

Suara itu seperti nada bahagia masa kecil.



---


Tapi bukan hanya krupuk yang membuat rumah Pak Tambir menarik.


Di sana juga banyak cerita-cerita lucu dan suara radio butut yang memutar lagu-lagu campursari dan berita dari RRI.

Prayitno bahkan sering ikut membantu menata krupuk mentah di tampah,

menjemurnya di halaman, lalu membantu memunguti yang terbang ditiup angin.


> “Wong cilik kudu trampil, To. Ora mung sekolah, tapi ngerti urip.”

(“Anak kecil harus cekatan, To. Bukan cuma sekolah, tapi juga belajar hidup.”)




Itulah wejangan Pak Tambir yang sederhana tapi membekas.



---


Sore harinya, sebelum pulang, kadang Pak Tambir memberi bonus:


> “Iki krupuk telung biji. Gawa mulih. Tapi ojo dipangan sadurunge mangan, yo?”

(“Ini krupuk tiga biji. Bawa pulang. Tapi jangan dimakan sebelum makan ya?”)




Tapi… ya, namanya juga anak kecil.

Sampai di gang, satu krupuk langsung masuk mulut.

Yang dua… entah bertahan sampai di rumah atau tidak. πŸ˜„



---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Rumah Pak Tambir bukan hanya tempat membuat krupuk. Itu adalah tempat aku belajar tentang kerja keras, tawa sederhana, dan rasa syukur dari tangan orang-orang kecil yang besar hati. Krupuk mentah mungkin tak lezat bagi orang dewasa. Tapi bagiku... itu rasa masa kecil yang tak pernah hilang."



---


Pak Prayitno, bab ini sangat hangat dan menyenangkan. Kita bisa benar-benar mencium aroma masa kecil melalui cerita ini.


Apakah Bapak ingin lanjut ke Bab 35?


Berikut beberapa usulan:


1. Pengalaman ikut ronda malam pertama bersama Ayah Musdi.



2. Lomba 17-an: gebuk bantal dan merambat tali di atas sungai.



3. Hari pertama masuk SMP dan rasa kikuk memakai seragam baru.



4. Bermain di sawah atau kebun bersama adik-adik.




Silakan dipilih atau beri ide kisah lain, saya siap terus menuliskannya untuk Bapak dengan penuh rasa.

[2/7 18.24] rudysugengp@gmail.com: Bermain di kebun, karena saat itu memiliki kebun bayam, kangkung, sawi, dan kemangi.


Pak Durachim sebagai pencangkul kebun selalu melempar balung hewan untuk dikumpulkan dan dijual.


Saat itu balung hewan sapi digunakan untuk bahan campuran membuat piring.


Tiap seminggu sekali ada orang yang memetik kemangi, dan ibu dapat uang

Kalau Bayam, Sawi, atau Kangkung tanah akan diambil oleh pedagang bila sudah panen.


Ibu menerima uang, sebagian untuk pencangkul, dimakan keluarga

[2/7 18.25] rudysugengp@gmail.com: Terima kasih, Pak Prayitno. Kini kita sampai di Bab 35, sebuah bab yang menyejukkan—bukan hanya karena suasana alamnya, tapi juga karena kenangan akan kebun kecil yang menjadi sumber rezeki, pelajaran hidup, dan tempat bermain penuh imajinasi. Kali ini bukan soal sekolah, bukan tentang sungai atau rumah reyot, tapi tentang tanah yang ditanami cinta dan kerja keras keluarga.



---


πŸ“– BAB 35: Kebun Kehidupan, Balung Sapi, dan Uang dari Daun Kemangi


Di balik rumah sederhana di Ngagel Wasana,

terhampar sebidang kebun kecil—tidak luas, tapi cukup untuk ditanami harapan.

Di sanalah bayam, kangkung, sawi, dan kemangi tumbuh dengan liar namun teratur,

disiram oleh tangan-tangan penuh kasih,

dan dijaga oleh sosok tangguh bernama: Pak Durachim.



---


Pak Durachim bukan anggota keluarga, tapi sudah seperti saudara sendiri.

Ia adalah pencangkul kebun, bekerja dengan sabar dan teratur.

Tiap pagi datang dengan cangkul di bahu, sarung disampirkan di pinggang, dan sapu tangan di leher.


Tapi bukan hanya mencangkul.

Pak Durachim juga punya kebiasaan unik:


> “Nek nemu balung sapi, langsung dicemplungkΓ© dekat pager.”

(“Kalau nemu tulang sapi, langsung dilempar dekat pagar.”)




Dan benar, setiap kali cangkulnya menyentuh tanah dalam,

sering muncul balung—tulang-belulang sapi yang sudah tua, kering, dan tampak rapuh.



---


> “Iki sing nggoleki tukang piring, To. Balung iki digiling, dicampur bahan piring seng,” kata Pak Durachim.




Ternyata, tulang-tulang itu dijual.

Bukan untuk makan hewan, tapi untuk industri rumah tangga.


Prayitno dan adik-adik sering diminta mengumpulkan dan mencuci tulang,

lalu mengeringkannya di atas tampah.

Kalau sudah cukup banyak, dijual ke pengepul—uangnya ditambahkan ke tabungan keluarga.



---


Di kebun itu juga ada kemangi—wangi dan subur.

Setiap seminggu sekali, datanglah seorang ibu pedagang pecel dari pasar,

memetik dengan hati-hati, menimbang, dan memberi uang ke Ibu Rumiatun.


> “Bu… kemangi-nya enak. Tak tambahi seribu ya,” ucap si pedagang.




Bukan jumlahnya yang membuat bahagia,

tapi rasa dihargai dari hasil tanah sendiri.



---


Sementara itu, sayur-sayuran lain seperti bayam, kangkung, dan sawi,

akan dipanen secara berkala.

Kadang dibeli pedagang sayur keliling.

Kadang langsung diambil pembeli dari kampung.


Uangnya dibagi:

Sebagian untuk Pak Durachim sebagai upah,

sebagian untuk dapur, dan

selebihnya dimakan bersama keluarga.



---


Tapi bagi Prayitno, kebun itu lebih dari sekadar sumber uang.

Itu adalah tempat petualangan dan permainan.


Menyusup di antara barisan kangkung seolah masuk hutan.


Bermain “pedang-pedangan” dari batang bayam.


Berburu belalang atau kodok kecil di antara rerumputan.


Atau sekadar duduk mencium aroma kemangi sambil membayangkan jadi raja kecil.




---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Dari kebun itu aku belajar: bahwa hidup bisa tumbuh meski lahannya sempit. Bahwa uang bisa datang bukan dari emas, tapi dari daun, akar, dan tulang. Dan bahwa tangan Ibu, Pak Durachim, dan semangat kecil kami… bisa menyambung hidup dengan cara paling bersahaja."



---


Pak Prayitno, bab ini adalah potret tentang ketekunan dan kehangatan hidup sederhana. Tanah yang Bapak ceritakan seolah bukan hanya ladang sayur, tapi juga ladang kenangan yang tak lekang oleh waktu.


Apakah Bapak ingin lanjut ke Bab 36?


Berikut beberapa usulan:


1. Ikut ronda malam pertama bersama Ayah Musdi.



2. Lomba 17-an: gebuk bantal dan merambat tali di atas sungai.



3. Kenangan Hari Pertama Masuk SMP.



4. Cerita tentang suara aneh atau misteri malam di kampung.




Silakan dipilih atau beri arahan cerita baru. Saya siap menuliskannya, Pak.

[2/7 18.26] rudysugengp@gmail.com: Terima kasih, Pak Prayitno. Sekarang kita sampai di Bab 36, bab yang membuka tirai ke sisi lain kehidupan kampung di tahun 70-an: malam hari yang sunyi tapi menyimpan misteri, suara-suara aneh yang datang tanpa wujud, dan bisik-bisik warga tentang hal-hal tak terlihat. Ini adalah kisah antara kenyataan dan keyakinan, antara rasa takut dan rasa percaya.



---


πŸ“– BAB 36: Suara Aneh di Malam Kampung


Di kampung Ngagel Wasana, ketika malam turun dan lampu petromaks satu per satu dinyalakan, suasana berubah.


Angin terasa lebih dingin, suara jangkrik lebih nyaring, dan bayangan di balik dinding rumah reyot kadang terasa seperti bergerak sendiri.


Dan di malam-malam tertentu, saat bulan sabit menggantung rendah dan langit berawan tipis, sering terdengar suara-suara aneh.



---


> “Krek… krek… krek…”




Bukan tikus.

Bukan kucing.

Bukan pula suara langkah orang ronda.


Melainkan suara seretan seperti benda berat digeser di atas tanah,

datang dari belakang rumah Pak Bandono…

lalu berhenti tepat di dekat pintu belakang rumah Prayitno.


Ibu Rumiatun, yang tengah menanak nasi dengan tungku minyak tanah, kadang langsung membalik badan.


> “Mus… krungu gak?”

(“Mus, kamu dengar tidak?”)




Ayah Musdi, sambil tetap menyiapkan termos untuk ronda, menjawab tenang:


> “Ojo digagas. Nek digagas, dadi tenanan.”

(“Jangan dipikirkan. Kalau dipikirkan, bisa jadi kenyataan.”)





---


Tapi malam itu, suara itu tidak hanya terdengar…


Prayitno kecil yang sedang membaca buku di dekat lampu minyak,

merasa rambut tengkuknya berdiri.


Lalu terdengar suara "Heh… heh…"

bukan tawa… tapi napas berat dari balik jendela bambu.


Ia menahan napas. Tidak berani bergerak.

Hanya matanya yang melirik ke Ibu, yang langsung membaca doa sambil menaburkan garam ke arah pintu.


> “Iki malam Suro, To… kudu eling. Ojo nyawang sembarangan.”

(“Ini malam Suro, To… harus hati-hati. Jangan melihat sembarangan.”)





---


Warga sekitar juga sering bercerita.


Ada yang mendengar orang memanggil namanya, tapi saat menoleh, tak ada siapa-siapa.


Ada pula yang mengaku melihat bayangan putih melayang di atas sungai, saat ronda jam 2 pagi.


Bahkan, Pak Nainggolan pernah bilang ada suara perempuan menangis dari loteng rumah kosong yang sudah bertahun-tahun ditinggal penghuninya.




---


Waktu itu, kepercayaan pada hal gaib adalah bagian dari hidup.

Bukan untuk ditakuti, tapi untuk dihormati.


> “Sing penting ati resik, ora usil, lan ojo sembrono. Sing gaib ora bakal ganggu wong sing ora geguyu.”

(“Yang penting hati bersih, tidak usil, dan tidak sembrono. Yang gaib tak akan mengganggu orang yang tidak macam-macam.”)





---


Prayitno tumbuh dengan kisah-kisah itu.

Kadang takut. Kadang penasaran.

Tapi satu hal yang ia pegang:

selalu pamit jika ingin keluar malam,

dan tidak tertawa di dekat pohon besar atau tempat gelap.


Itu pelajaran dari para orang tua kampung.

Bukan sekadar larangan, tapi cara menjaga harmoni antara dunia kita dan dunia mereka.



---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Kadang bukan mataku yang melihat, tapi tubuhku yang merasa. Kampungku mengajarkanku bahwa malam bukan hanya waktu tidur… tapi waktu untuk eling, waspada, dan percaya bahwa tidak semua yang ada, harus terlihat."



---


Pak Prayitno, bab ini membawa suasana khas kampung tempo dulu: magis, sunyi, dan penuh rasa tak terjelaskan. Saya bisa merasakan nuansa malam Suro dari cerita Bapak.


Apakah Bapak ingin kita lanjut ke Bab 37?


Berikut beberapa ide lanjutan:


1. Pengalaman ronda malam bersama Ayah Musdi.



2. Lomba 17-an gebuk bantal dan merambat tali di atas sungai.



3. Kenangan pertama kali naik sepeda sendiri ke sekolah.



4. Tradisi berburu belut atau memancing saat musim hujan.




Silakan dipilih atau beri arahan baru, saya siap menuliskannya dengan penuh semangat.

[2/7 18.27] rudysugengp@gmail.com: Naik sepeda Kebo jenis Torpedo ke Sekolah

[2/7 18.28] rudysugengp@gmail.com: Luar biasa, Pak Prayitno. Kini kita tiba di Bab 37, sebuah bab yang mengisahkan momen kebebasan pertama, rasa bangga, gugup, dan kemenangan kecil seorang anak SD: naik sepeda kebo sendiri ke sekolah. Sepeda tua, jalan kampung yang bergelombang, dan kaki mungil yang harus menjangkau pedal berat — semua berpadu jadi kisah pahlawan kecil dari Ngagel Wasana.



---


πŸ“– BAB 37: Torpedo, Debu, dan Langkah Mandiri ke Sekolah


Tahun 1974.

Prayitno sudah kelas 6 SD di SDN Menur Pumpungan II.

Dan hari itu menjadi hari bersejarah dalam hidupnya.


Bukan karena ulangan, bukan karena pembagian rapor.

Tapi karena untuk pertama kalinya… Prayitno berangkat sekolah naik sepeda sendiri.



---


Sepeda itu bukan sembarang sepeda.

Sepeda kebo — jenis Torpedo — berwarna hitam, berkarat di banyak bagian, dan rem belakangnya harus diinjak mundur.


> “To, ati-ati. Nge-rem e kudu njeret pedal ke mburi,” pesan Ayah Musdi saat menyerahkan sepeda warisan itu.




Sepeda itu lebih besar dari tubuh Prayitno.

Naik ke atasnya seperti naik kuda.

Tapi semangatnya lebih besar dari rasa takutnya.



---


Pagi itu, dengan baju putih dan celana pendek biru yang digulung sedikit,

Prayitno mendorong sepeda dari rumah reyot di Ngagel Wasana III/35.


Ibu Rumiatun mengusap kepala sambil membawa bekal dalam bungkus daun pisang:


> “Ati-ati, Le. Aja balapan karo wong gede.”




Lalu…

dengan satu tarikan napas panjang,

Prayitno menaiki Torpedo itu.


Kakinya menyilang dari tengah, karena tak cukup tinggi untuk duduk dan mengayuh biasa.



---


Perjalanan menuju sekolah tidak mudah.


Jalanan bergelombang, kadang berlubang,

harus melewati gang kecil, sawah, dan jembatan sungai Menur —

tempat ia dulu pernah jatuh saat berak di tepinya.


Tapi kali ini berbeda.


Ia bukan lagi anak kecil yang diantar Ibu.

Ia adalah anak laki-laki yang mengayuh masa depannya sendiri.



---


Di sepanjang jalan,

sepeda Torpedo itu menderit… pedalnya berat… dan rantainya kadang lepas.

Tapi ia tidak mengeluh.


Sesekali berseru dalam hati:


> “Sepurane, Torpedo… aku isih sinau.”

(“Maafkan aku, Torpedo… aku masih belajar.”)




Di tikungan dekat pohon asem,

seorang teman menyapanya dari kejauhan:


> “To… kuwi sepedamu dhewe?”

(“To… itu sepedamu sendiri?”)




Dengan bangga, Prayitno mengangguk.

Walau napasnya ngos-ngosan, hatinya melambung.



---


Sesampainya di sekolah, ia menyandarkan sepeda kebo itu di bawah pohon randu.

Teman-teman menoleh.

Beberapa kagum.

Beberapa mencibir, karena sepedanya tampak tua.


Tapi ia tak peduli.

Ia sudah sampai. Ia berhasil.

Dengan keringat sendiri, dan pedal yang nyaris membunuh betisnya.



---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Hari itu aku belajar bahwa tak perlu sepeda baru untuk merasa besar. Cukup dengan keberanian menaiki yang tua, dan keyakinan untuk tidak turun sebelum sampai. Torpedo membawaku lebih dari sekadar sekolah — ia mengantarku pada rasa percaya diri."



---


Pak Prayitno, bab ini sungguh menyentuh. Saya bisa membayangkan Bapak kecil mengayuh sepeda besar itu, dengan semangat yang mengalahkan rasa takut dan kaki kecil.


Apakah Bapak ingin lanjut ke Bab 38?


Beberapa ide lanjutan:


1. Lomba 17-an di atas sungai: gebuk bantal & merambat tali.



2. Ikut ronda malam pertama bersama Ayah Musdi.



3. Tradisi mandi di kali saat musim hujan bersama teman.



4. Kisah masa awal masuk SMP: rasa kikuk & seragam baru.




Silakan Bapak pilih atau beri arah baru, saya siap menuliskannya untuk Bapak.

[2/7 18.29] rudysugengp@gmail.com: Terima kasih, Pak Prayitno. Kini kita tiba di Bab 38, bab yang menyegarkan—tentang tawa dan cipratan air, tentang persahabatan dan keberanian kecil saat menyatu dengan alam. Inilah kisah masa kecil yang tak akan pernah terganti: tradisi mandi di kali saat musim hujan. Kali bukan sekadar tempat bermain, tapi arena keakraban, keberanian, dan rasa bebas tanpa batas.



---


πŸ“– BAB 38: Mandi Hujan, Meluncur di Kali, dan Tawa Anak Kampung


Musim hujan di kampung Ngagel selalu membawa cerita.

Air yang turun dari langit bukan cuma membasahi bumi,

tapi juga menghidupkan jiwa-jiwa kecil yang rindu bermain di luar.


Bagi Prayitno kecil dan teman-teman sekampung,

musim hujan adalah musim kebebasan.


Dan pusat segala kegembiraan itu adalah:

sungai Menur yang membujur dari utara ke selatan,

dari Buk Tong menuju Bratang,

lebar sekitar enam meter, penuh bebatuan dan aliran yang tidak terlalu deras.



---


Begitu hujan turun deras sejak pagi,

anak-anak mulai berkumpul — kadang tanpa aba-aba.

Membawa celana pendek, kadang tanpa baju, kadang hanya bersarung.

Tidak ada perintah. Tidak ada larangan yang kuat.


> “Ayo, To! Kali e wis banter! Arek-arek wes meluncur!”




Dan benar, di tepi kali sudah berdiri 3 sampai 5 anak kecil

siap meluncur dari tepian licin menuju air yang meluap.



---


Prayitno ikut turun.

Langkahnya hati-hati — karena batu licin dan tanah basah bisa menjebak.

Tapi begitu kaki menyentuh air, semua rasa takut berubah jadi sorak.


“Byuuurrrr!!”


Tubuhnya meluncur,

kadang terlentang, kadang tengkurap, kadang terbentur batu kecil.

Tapi… semua disambut dengan tawa.



---


Di bawah jembatan bambu dekat rumah Pak Tambir,

anak-anak biasa berlomba membuat alur air kecil di tanah liat,

atau mencari ikan-ikan kecil, kecebong, dan udang sungai.


Yang lebih berani, mencoba merambat di tali tambang yang terbentang melintang,

sambil bergoyang dan tertawa,

hingga — “byarrr!” — jatuh ke sungai karena kehilangan keseimbangan.



---


Setelah lelah bermain, anak-anak duduk di bebatuan,

menikmati hujan yang masih rintik,

sambil melihat air mengalir membawa daun-daun dan ranting.


Kadang ada yang membawa ketela rebus atau pisang goreng dari rumah,

dimakan sambil menggigil,

tapi hati hangat.



---


Ibu Rumiatun pernah marah ketika Prayitno pulang dengan badan penuh lumpur.


> “Le… nek masuk angin, sopo sing repot?”

(“Nak… kalau kamu masuk angin, siapa yang repot?”)




Tapi Ibu tetap menyeduhkan teh panas dan menyelimuti tubuhnya dengan kain jarik.


> “Main boleh… tapi ojo lali mulih.”

(“Boleh main… tapi jangan lupa pulang.”)





---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Di kali, aku belajar berani. Di kali, aku belajar tertawa tanpa alasan. Di kali, aku tahu bahwa hujan bukan kutukan — tapi hadiah bagi anak-anak yang tahu cara menikmatinya."



---


Pak Prayitno, bab ini penuh warna dan tawa. Saya bisa merasakan derasnya air, geli di kaki karena pasir dan batu, serta aroma tubuh basah yang dipeluk jarik Ibu di sore hari.


Apakah Bapak ingin kita lanjut ke Bab 39?


Berikut beberapa ide yang bisa diteruskan:


1. Lomba 17-an gebuk bantal dan merambat tali di atas sungai.



2. Ikut ronda malam bersama Ayah Musdi.



3. Hari pertama masuk SMP dan rasa canggung.



4. Perjalanan jauh ke rumah saudara naik kereta atau bus.




Silakan dipilih atau boleh Bapak arahkan ke cerita lain. Saya siap meneruskan, Pak.

[2/7 19.28] rudysugengp@gmail.com: Perjalanan naik bus ke Doplangan Sepur, Desa Rembang, Ngadiluwih Kediri dari Terminal Jayabaya (Surabaya).


Saat itu hari Jumat, pak Musdi  melarangnya karena diminta berangkat hari Sabtu.


Ternyata, bus ban belakang mbledos dan harus diperbaiki.

Sebenarnya secara normal perbaikan itu antara 15 hingga 30 menit.


Namun saat itu baru selesai setelah dua jam.


Mencari bus pengganti, semuanya penuh penumpang.


Saat pukul 11.30, sudah selesai dan posisi di daerah Jombang.


Perkiraan akan sampai pukul 14.00.

Perjalanan Surabaya Kediri saat itu berlangsung 6 hingga 7 jam.


Namun perjalanan itu baru sampai pukul 17.00.


Suasana menjelang Magrib, perjalanan ke dusun Mbedug, desa Mangunreja begitu mencekam saat itu.

[2/7 19.29] rudysugengp@gmail.com: Terima kasih, Pak Prayitno. Kisah ini luar biasa dan penuh ketegangan. Kini kita sampai di Bab 39 — perjalanan panjang dari Surabaya ke pedalaman Kediri, bukan hanya soal jarak dan waktu, tapi juga tentang keputusan yang tak sejalan dengan restu orang tua, hambatan di jalan, dan suasana mencekam saat senja menyelimuti dusun.



---


πŸ“– BAB 39: Doplangan Sepur, Ban Mbledos, dan Senja Mencekam di Mbedug


Hari itu hari Jumat, dan hati Prayitno dipenuhi semangat.

Tujuan: Dusun Mbedug, Desa Mangunreja, Ngadiluwih Kediri —

tempat sanak saudara tinggal di dekat rel kereta Doplangan Sepur.


Tapi pagi sebelum berangkat,

Ayah Musdi sempat melarang:


> “To, ojo lungo dina iki. Lungguho ben esuk Setu wae.”

(“To, jangan berangkat hari ini. Berangkat saja besok pagi, Sabtu.”)




Tapi semangat bocah belasan tahun kadang lebih kuat dari petuah orang tua.

Prayitno tetap berangkat — dari Terminal Jayabaya, Surabaya.

Membawa tas kecil, bekal nasi bungkus, dan mimpi tentang perjalanan ke desa.



---


Baru saja bus berangkat dan masuk wilayah Krian,

bunyi “DOORRR!!” mengagetkan seluruh penumpang.


Ban belakang meledak.

Debu mengepul. Bus oleng sebentar, lalu berhenti di pinggir jalan.

Supir turun sambil ngedumel, kenek mengibas-ngibaskan tangan hitamnya.


Perbaikan ban yang biasanya cukup 15 sampai 30 menit…

kali ini molor jadi dua jam lebih.


Bukan karena tak bisa diperbaiki,

tapi karena bengkel terdekat antri dan cadangan ban habis.



---


Setelah selesai, semua naik kembali. Tapi waktu sudah menunjukkan pukul 11.30 siang.

Baru sampai Jombang.

Dengan kecepatan bus saat itu, perkiraan baru sampai Kediri pukul 17.00.


Sepanjang jalan, tak ada bus cadangan kosong.

Semua penuh.

Orang-orang duduk berdesakan, ada yang berdiri,

dan ada pula yang berjongkok di lorong.


Namun Prayitno bertahan.

Sambil menatap jendela…

ada perasaan ganjil muncul di dada.


> “Apa benar harusnya aku berangkat besok, seperti kata Bapak?”





---


Matahari mulai turun saat bus masuk wilayah Wates.

Langit berwarna oranye gelap, bayangan pepohonan memanjang.

Perasaan makin tak karuan saat memasuki jalan pedesaan menuju Mbedug.


Suasana sepi, hanya terdengar suara jangkrik dan angin menggesek ilalang.

Kadang terlihat asap tipis dari dapur rumah warga,

tapi tak satu pun orang terlihat di jalan.



---


Saat turun di perempatan kecil, jalan setapak menuju Dusun Mbedug seperti menuju dunia lain.


Lampu petromaks di kejauhan temaram,

dan suara aneka binatang malam mulai mendominasi:

burung hantu, tokek, dan gesekan pohon bambu.


Prayitno berjalan cepat, tas digenggam erat.

Langkahnya menjejak jalan tanah yang mulai becek.

Tak ada angkot. Tak ada motor.

Hanya dirinya…

dan suara hatinya yang berbisik:


> “Benarkah aku terlalu nekat?”





---


Akhirnya, sekitar pukul 17.15, ia sampai di rumah saudara di dekat rel kereta Doplangan Sepur.

Pintu dibuka, wajah-wajah kaget menyambutnya:


> “Lhooo, Prayit? Kowe nekad berangkat saiki? Dheweke ora pamit karo Bapak to?”

(“Lho, Prayit? Kamu nekat berangkat hari ini? Tidak pamit ke Bapak?”)




Ia hanya tersenyum kecut, kelelahan.

Tapi dalam diam, ia tahu…

perjalanan hari itu adalah pelajaran.


Tentang restu,

tentang kesabaran,

dan tentang betapa mencekamnya perjalanan… jika tidak ditemani doa.



---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Terkadang, semangat tak bisa menggantikan restu. Dan perjalanan panjang akan terasa lebih ringan… bila disertai izin dan doa orang tua. Dari Doplangan Sepur, aku belajar… bahwa keberanian harus tahu batas."



---


Pak Prayitno, bab ini sarat makna. Dari petuah ayah, hingga realita perjalanan yang tak selalu sesuai rencana. Sungguh sebuah refleksi yang dalam dan jujur.


Apakah Bapak ingin lanjut ke Bab 40?


Beberapa usulan:


1. Pengalaman ronda malam pertama bersama Ayah Musdi.



2. Lomba gebuk bantal & merambat tali saat 17-an di atas sungai.



3. Kisah pertama kali berani naik kereta api sendirian.



4. Suasana Lebaran di kampung & tradisi sungkem.




Silakan dipilih, Pak — atau boleh Bapak arahkan ke kisah baru lainnya. Saya siap menuliskannya untuk Bapak.

[2/7 19.31] rudysugengp@gmail.com: Luar biasa, Pak Prayitno. Kini kita sampai di Bab 40 — kisah yang sarat makna tentang kemandirian pertama di perjalanan jauh, tentang degup jantung yang lebih kencang dari deru mesin lokomotif. Naik kereta api sendirian untuk pertama kalinya bukan sekadar perpindahan tempat, tapi adalah langkah awal membentuk kepercayaan diri, keberanian, dan tanggung jawab.



---


πŸ“– BAB 40: Kereta Api Sendirian dan Tiket dari Uang Sendiri


Waktu itu, Prayitno masih remaja.

Kelas 2 SMP, saat usia baru menginjak tahap "setengah dewasa", tapi belum benar-benar dianggap besar.


Suatu hari, ada keperluan mendesak ke Kediri,

dan untuk pertama kalinya dalam hidup,

Prayitno diberi izin untuk naik kereta api sendirian oleh Ayah Musdi dan Ibu Rumiatun.


Tiket dibelikan dengan uang yang ia kumpulkan sendiri dari hasil menyisihkan uang saku dan sedikit bantuan Ibu.

Harga tiket saat itu masih terjangkau,

dan kereta ekonomi masih penuh suara jerit pedagang dan gesekan kaki penumpang.



---


Stasiun Gubeng Surabaya.

Pagi hari, udara masih segar.

Tapi jantung Prayitno berdetak lebih kencang dari suara peluit petugas.


Dengan tas kecil, bekal nasi bungkus berisi tempe goreng, dan uang pas-pasan,

ia masuk ke stasiun tanpa ditemani siapa pun.


Matanya liar menatap sekeliling,

mencari gerbong yang tepat —

kereta ekonomi jurusan Kediri, via Kertosono.



---


Di dalam kereta, suasana semrawut tapi hangat.


Ada pedagang kerupuk dan kopi hitam yang berteriak sambil menyeimbangkan nampan.


Ada penumpang yang duduk di lantai, karena kursi penuh.


Ada anak kecil yang menangis, ada pula kakek yang membaca koran tua.



Prayitno duduk di kursi kayu yang menghadap ke arah jendela.

Angin dari jendela terbuka berhembus langsung ke wajah.


Ia memejamkan mata sejenak,

lalu membuka mata dengan senyum tipis:


> “Aku iso. Aku pancen iso.”

(“Aku bisa. Aku memang bisa.”)





---


Sepanjang perjalanan, ia mencatat dalam hati:


Nama stasiun yang dilewati: Sepanjang, Krian, Mojokerto, Jombang…


Waktu tempuh antar stasiun…


Jenis suara roda saat melintasi jembatan dan perlintasan.



Ia merasa seperti penjelajah jalur besi.



---


Tapi tidak semua mulus.


Di tengah perjalanan, ada pengamen yang menyanyikan lagu dangdut keras-keras,

dan seorang pria tak dikenal menawarkan rokok.

Prayitno menolak dengan sopan,

namun tetap siaga, mengingat pesan Ayah:


> “Aja gampang ngobrol karo wong ora dikenal. Sing sopan, tapi waspada.”

(“Jangan mudah ngobrol dengan orang tak dikenal. Tetap sopan, tapi waspada.”)





---


Sampai di Stasiun Kediri sekitar jam 12 siang.

Terik, tapi terasa menyenangkan.

Ia turun dari kereta dengan langkah ringan tapi penuh kemenangan.


Di luar stasiun, saudaranya sudah menunggu.


> “Lho, Prayitno? Dhewekan? Hebat tenan!”

(“Lho, Prayitno? Sendirian? Hebat sekali!”)




Dan untuk pertama kalinya,

ia merasa diakui bukan lagi anak kecil.



---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Kereta api itu bukan sekadar alat angkut. Ia adalah guru pertamaku tentang dunia di luar pagar rumah. Di sana aku belajar arah, waktu, dan sikap. Naik kereta sendirian bukan soal destinasi… tapi tentang keberanian yang akhirnya pulang membawa rasa percaya diri."



---


Pak Prayitno, bab ini sangat indah dan penuh nilai. Saya bisa membayangkan betapa deg-degannya perasaan saat pertama kali bepergian sendirian, dan betapa bangganya saat berhasil.


Apakah Bapak ingin lanjut ke Bab 41?


Berikut beberapa ide:


1. Lomba 17-an gebuk bantal dan merambat tali di atas sungai.



2. Pengalaman ronda malam pertama bersama Ayah Musdi.



3. Suasana Lebaran dan tradisi sungkem di rumah.



4. Pengalaman nyaris hilang saat di pasar atau keramaian.




Silakan dipilih atau arahkan ke cerita lain, Pak. Saya siap menuliskannya untuk Bapak.

[2/7 19.32] rudysugengp@gmail.com: Terima kasih, Pak Prayitno. Kini kita sampai pada Bab 41, bab yang menyentuh dan sarat emosi: tentang Lebaran di masa kecil, yang mungkin sederhana tapi penuh makna dan rasa hangat keluarga. Waktu di mana baju baru tak sepenting pelukan Ibu, dan hidangan tak semahal doa Ayah dan tradisi sungkem yang mengguncang hati.



---


πŸ“– BAB 41: Lebaran, Sungkem, dan Uang Receh yang Harum


Setelah sebulan penuh berpuasa,

kampung Ngagel Wasana berubah wajah.

Rumah-rumah yang biasanya gelap di malam hari,

mendadak bercahaya dari lentera, lilin, dan lampu petromaks.


Anak-anak memukul kaleng bekas sambil berteriak:


> “Lebaran… Lebaran…!”

Suara takbir dari surau Pak Bandono terdengar lirih namun menggema.





---


Pagi Lebaran, udara masih sejuk.

Ayah Musdi sudah rapi dengan sarung, baju koko putih, dan peci hitam.

Ibu Rumiatun sibuk menata ketupat, sayur labu, opor ayam, dan kue kering dari toples seng.


Dan Prayitno kecil…

masih mengantuk, tapi segera dibangunkan oleh bau harum opor dan suara burung gereja.



---


Sebelum salat Id, Ayah memberi wejangan singkat:


> “Lebaran iki dudu mung soal mangan lan dolanan. Iki wektu kanggo nyuwun ngapura. Ojo isin.”

(“Lebaran ini bukan cuma soal makan dan main. Ini waktu untuk minta maaf. Jangan malu.”)




Setelah salat Idul Fitri di lapangan kecil dekat sungai Menur,

warga kembali ke rumah masing-masing.

Saat itulah, tradisi paling sakral dimulai: sungkem.



---


Di ruang tamu yang sederhana, dengan kursi dari kayu dan meja beralas taplak robek,

Prayitno berdiri menghadap Ayah dan Ibu.


Tangannya gemetar.

Ia menunduk, bersimpuh, dan mencium punggung tangan Ayah dan Ibu sambil berkata:


> “Pak… Bu… nyuwun pangapunten lahir batin.”

(“Pak… Bu… mohon maaf lahir batin.”)




Dan saat itu,

mata Ayah memerah. Ibu menangis pelan sambil mengelus kepala.


> “Dadio wong sing apik, yo To…”

(“Jadilah anak yang baik, ya To…”)





---


Setelah itu, barulah waktu yang paling ditunggu datang…

Uang Lebaran!


Biasanya diberikan oleh saudara, tetangga, atau kenalan keluarga.

Recehan 25 rupiah, 50 rupiah, bahkan kadang 100 rupiah,

diselipkan dalam amplop atau kertas warna-warni yang harum.

Kadang uangnya masih bau minyak kayu putih,

karena disimpan di dompet orang tua.


> “Iki, To… tuku es krim sing diidam-idamke,” kata Bu Nanda, tetangga sebelah.





---


Tapi Lebaran bukan hanya soal uang atau baju.

Itu adalah momen ketika semua dendam diluruhkan,

semua salah diampuni,

dan semua wajah tersenyum dengan ikhlas meski dinding rumah masih reyot.


Warga saling berkunjung:


> “Sugeng Riyadi, Pak Moly…”

“Minal Aidin, Bu Nainggolan…”

“Nyuwun pangapunten, Pak Tambir…”





---


Prayitno kecil melihat dan belajar:

bahwa maaf lebih berharga dari pakaian baru,

dan bahwa pelukan Ibu lebih hangat dari semua opor di dunia.



---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Lebaran adalah saat ketika tangis bukan karena sedih, tapi karena syukur. Bukan karena kehilangan, tapi karena rasa pulang. Di balik ketupat dan salam tempel, ada cinta keluarga yang tak pernah berubah — meski rumah reyot dan uang pas-pasan."



---


Pak Prayitno, bab ini terasa sangat hidup dan menyentuh. Seolah saya bisa mencium aroma ketupat dan merasakan suara sandal jepit berdecit di lantai basah pagi hari.


Apakah Bapak ingin lanjut ke Bab 42?


Beberapa ide lanjutan:


1. Pengalaman ronda malam pertama bersama Ayah Musdi.



2. Lomba gebuk bantal & merambat di sungai saat 17-an.



3. Kisah saat kesasar atau hampir hilang di tempat ramai.



4. Pertama kali ikut kerja bakti atau gotong royong kampung.




Silakan dipilih atau arahkan ke cerita lain yang Bapak inginkan. Saya siap lanjut menuliskannya.

[2/7 19.33] rudysugengp@gmail.com: Terima kasih, Pak Prayitno. Kini kita sampai di Bab 42, sebuah kisah penuh ketegangan dan pelajaran yang melekat kuat hingga hari ini: pengalaman tersesat saat berada di tempat ramai. Bagi anak-anak tahun 70-an, jalanan kota Surabaya adalah petualangan besar. Tapi satu langkah lepas dari genggaman ibu — bisa jadi awal dari kecemasan yang tak terlupakan.



---


πŸ“– BAB 42: Tersesat di Pasar, Tangisan, dan Pelajaran Menemukan Arah


Hari itu suasananya cerah.

Ibu Rumiatun mengajak Prayitno kecil dan adiknya, Budi, naik becak menuju Pasar Wonokromo.

Waktu itu, pasar masih ramai dan padat,

dengan kios-kios berjejer, suara tawar-menawar, dan aroma khas antara ikan asin dan tape ketan.


Prayitno berjalan sambil menggandeng tangan Ibu.

Sesekali menoleh ke kanan dan kiri, matanya penuh rasa ingin tahu.



---


Saat itu Ibu sedang sibuk memilih kacang tanah kupas,

mencari yang terbaik untuk digoreng dan dijual kembali di rumah.

Prayitno, yang penasaran melihat pedagang burung di sisi lain pasar,

melepas tangan Ibu — hanya sebentar.


> “Aku lihat burung sebentar, ah…”

pikirnya tanpa pamit.




Langkahnya kecil, melewati orang-orang dewasa,

hingga akhirnya —

hilang dari pandangan.



---


Beberapa menit kemudian,

Prayitno menoleh ke belakang.


> “Lho… Ibu di mana?”




Keramaian tak memberinya petunjuk.

Semua tampak asing.

Orang-orang tinggi. Suara makin bising.

Ia berdiri di tengah lorong pasar — sendirian.


> “Ibu… Bu… Buuu…!”




Tangisnya mulai pecah.

Suaranya tenggelam oleh suara pedagang dan teriakan penjual es.



---


Seorang penjual sayur yang melihatnya, mendekat:


> “Dek… kowe kelangan simbok to?”

(“Dek… kamu kehilangan ibumu ya?”)




Prayitno mengangguk sambil menangis.

Tangan kirinya masih menggenggam koin 25 rupiah yang diberi ibu untuk jajan.


Penjual itu menuntunnya ke pos keamanan pasar,

di mana ada petugas pasar yang sigap menenangkan anak-anak hilang.



---


Sementara itu, Ibu Rumiatun panik.

Ia mencari ke segala arah,

memanggil-manggil dengan suara serak:


> “Toooo… Toooo…!!”




Dan ketika akhirnya suara tangis terdengar dari ujung pasar…

Ibu berlari.

Dipeluknya Prayitno yang matanya sudah sembab.


> “Ngapa kok ninggal, Le? Aku wes bingung tenan!”

(“Kenapa kamu pergi, Nak? Ibu sudah sangat panik!”)




Prayitno hanya bisa menangis sambil memeluk erat pinggang Ibu.

Takut dan lega bercampur jadi satu.



---


Dalam perjalanan pulang naik becak,

Ibu tak banyak bicara.

Hanya sesekali mengelus kepala Prayitno,

lalu berkata pelan:


> “Ojo nganti ngulang maneh. Nek lungo, pamit. Karo Ibu wae ra popo. Sing penting ora ilang.”

(“Jangan sampai mengulang lagi. Kalau mau pergi, bilang. Sama Ibu saja tak apa. Yang penting tidak hilang.”)





---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Dari tersesat, aku belajar bahwa tangan Ibu adalah kompas terbaik. Di tengah keramaian dan kebisingan dunia, suara Ibu yang memanggil namaku — adalah petunjuk arah pulang yang paling sejati."



---


Pak Prayitno, bab ini sungguh menyentuh dan penuh pesan. Saya bisa membayangkan paniknya suasana di tengah pasar, dan betapa hangatnya pelukan Ibu setelah semuanya berakhir.


Apakah Bapak ingin kita lanjut ke Bab 43?


Beberapa pilihan cerita selanjutnya:


1. Pertama kali ikut ronda malam bersama Ayah Musdi.



2. Lomba 17-an gebuk bantal & merambat tali di atas sungai.



3. Pengalaman kerja bakti atau gotong royong kampung.



4. Kisah naik perahu menyusuri sungai saat musim banjir.




Silakan dipilih atau beri arah cerita lainnya, Pak. Saya siap menuliskan lanjutannya.

[2/7 19.34] rudysugengp@gmail.com: Terima kasih, Pak Prayitno. Kini kita masuk ke Bab 43, bab penuh air dan adrenalin: kisah menyusuri sungai dengan perahu saat musim banjir. Ini bukan sekadar petualangan bocah kampung, tapi juga cerita tentang keberanian, solidaritas, dan hubungan yang erat dengan alam — sungai bukan hanya bagian dari lingkungan, tapi juga bagian dari kehidupan.



---


πŸ“– BAB 43: Sungai Meluap, Perahu Meluncur, dan Nyali Anak Kampung


Tahun 70-an.

Musim hujan turun tanpa ampun.

Langit mendung berhari-hari.

Sungai yang membujur dari Buk Tong hingga Bratang,

yang biasanya tenang dan dangkal, kini berubah jadi aliran deras dan penuh lumpur.


Sungai itu…

sungai Menur,

yang lebarnya sekitar enam meter,

bergelora dan meluap — menciptakan kanal-kanal kecil di tepi kampung.



---


Warga biasa siaga bila hujan tak berhenti tiga hari berturut-turut.

Air bisa masuk pekarangan,

menyapu kandang ayam, peralatan kayu, bahkan sampah-sampah dari hulu.


Tapi bagi anak-anak seperti Prayitno kecil dan kawan-kawannya,

banjir adalah masa panen kegembiraan.


> “Ayo, nggawe prau-prauan saka seng lan papan!”

(“Ayo bikin perahu-perahuan dari seng dan papan!”)





---


Perahu seadanya dibuat dari papan bekas, pelepah pisang, atau gabus.

Tali tambang diikat di ujung, agar tidak hanyut terlalu jauh.

Terkadang, ada juga yang menggunakan perahu asli milik tetangga,

yang biasa digunakan saat lomba gebuk bantal atau merambat di atas sungai tiap 17-an.


Hari itu, air sungai mencapai pinggang orang dewasa.

Prayitno naik ke perahu kecil bersama dua temannya: Sugik dan Budi.


Perahu meluncur dari jembatan bambu dekat rumah Pak Tambir,

melewati aliran yang deras,

membelah air seperti para pelaut kecil dari Ngagel.



---


Di kiri kanan,

air membawa rumbia, ranting, pelepah pisang, bahkan sandal orang dewasa.


Anak-anak bersorak.

Baju basah. Tubuh penuh lumpur.

Tapi hati — panas oleh keberanian dan tawa.



---


Sesekali perahu terbalik,

dan mereka tertawa sambil berenang ke tepian.


Tidak ada ketakutan.

Hanya semangat dan suara:


> “Luruuuuuung...!! Sing nyemplung kalah!”

(“Luruuuuung...!! Yang tercebur kalah!”)




Warga dewasa hanya memperingatkan dari kejauhan:


> “Ayo… ojo nganti keseret! Nek banter, langsung minggir!”





---


Saat senja datang,

aliran makin deras.

Langit memerah.

Perahu ditarik ke darat.

Tubuh gemetar, tangan keriput,

tapi hati… penuh kemenangan.


Ibu Rumiatun menyambut Prayitno yang pulang basah kuyup dengan saputangan:


> “Sungai e pancen banjir, tapi anak e ojo kebanjiran nekat.”

(“Sungainya memang banjir, tapi anaknya jangan kebanjiran nekat juga, ya.”)





---


Malam itu, tubuh Prayitno digosok minyak kayu putih,

diselimuti jarik, dan diberi teh manis hangat.

Tapi hatinya masih melayang…

menyusuri sungai yang kini mulai kembali tenang.



---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Sungai itu mengajarkanku tentang arah, tentang arus, dan tentang batas. Kadang kita bisa melawan, kadang harus mengikuti. Tapi yang paling penting — adalah pulang dengan selamat, dan membawa cerita yang tak akan pernah hanyut."



---


Pak Prayitno, bab ini penuh semangat dan gambaran kuat tentang keberanian anak kampung menyatu dengan alam. Saya bisa membayangkan suara air, tawa bocah, dan perahu reyot yang mengayuh petualangan.


Apakah Bapak ingin lanjut ke Bab 44?


Beberapa ide:


1. Lomba 17-an gebuk bantal dan merambat tali di atas sungai.



2. Pengalaman ikut ronda malam pertama bersama Ayah Musdi.



3. Pertama kali tampil pentas di sekolah atau kampung.



4. Cerita misteri atau horor di kampung (makam, pohon besar, dll).




Silakan Bapak pilih, saya akan lanjutkan dengan sepenuh hati.

[2/7 19.36] rudysugengp@gmail.com: Terima kasih, Pak Prayitno. Kini kita tiba di Bab 44, bab yang berisi deg-degan lain — bukan karena banjir atau kesasar, tapi karena berdiri di depan banyak orang untuk pertama kalinya. Saat suara jadi gugup, kaki terasa gemetar, tapi hati berusaha tetap tegak. Inilah kisah pentas pertama, saat Prayitno kecil mencoba menaklukkan panggung — di sekolah atau kampung.



---


πŸ“– BAB 44: Pentas Pertama, Suara Serak, dan Keberanian yang Tumbuh


Suatu hari, guru kelas di SDN Menur Pumpungan II mengumumkan:


> “Anak-anak, kita akan ikut acara pentas seni antar SD se-Kecamatan Gubeng. Yang bisa menari, menyanyi, membaca puisi, silakan maju!”




Ruangan langsung ramai.

Beberapa anak spontan tunjuk tangan.

Sebagian hanya menunduk, takut ditunjuk.

Prayitno… ragu-ragu. Tapi hatinya ingin mencoba.


Ia memilih maju.

Bukan untuk menari. Bukan baca puisi.

Tapi ingin mencoba menyanyi lagu daerah.


> “Aku pingin nyanyi lagu ‘Gundul Pacul’, Bu Guru…”

katanya pelan.





---


Latihan dimulai sore hari di ruang kelas yang disulap jadi tempat berlatih.

Dibimbing oleh Bu Sri, guru kelas yang sabar tapi tegas.


Setiap sore, anak-anak berkumpul.

Ada yang membawa baju pentas dari rumah.

Ada yang masih salah lirik.

Ada yang… suaranya fales tapi semangatnya penuh.


Prayitno latihan dengan suara serak-serak basah,

kadang tersendat karena gugup, tapi terus mencoba.



---


Hari pementasan tiba.


Lokasinya di balai desa, dengan panggung dari papan dan backdrop kertas minyak berwarna.


Penonton memenuhi halaman,

duduk di bangku panjang atau berdiri sambil kipas-kipas pakai kalender.


Prayitno berdiri di belakang tirai,

jantung berdebar.


> “To… ojo gugup. Nyanyi wae karo atimu,”

bisik Bu Sri menyemangati.





---


Tiba gilirannya.

Namanya dipanggil.

Tepuk tangan terdengar,

dan ia melangkah ke depan mikrofon.


Lagu “Gundul-Gundul Pacul” pun mengalun.

Suara speakernya agak cempreng.

Lampu seadanya menyorot wajahnya yang penuh keringat.


Namun ia terus menyanyi…


> “Gundul-gundul pacul… cul gundul…”




Anak-anak kecil tertawa sambil ikut tepuk tangan.

Beberapa guru tersenyum,

dan ibunya yang hadir di pojok ruangan mengusap mata — entah karena haru atau cemas.



---


Lagu selesai.

Tepuk tangan riuh.

Prayitno membungkuk, lalu turun panggung dengan napas berat…

tapi hatinya ringan.


Di balik panggung, Bu Sri menepuk bahu:


> “Bagus, To. Nek wani tampil, berarti wani maju.”

(“Bagus, To. Kalau berani tampil, berarti berani maju dalam hidup.”)





---


Sepulangnya ke rumah, Ayah Musdi hanya berkata pendek:


> “Kowe nyanyi tenan to? Hebat, Le.”

(”Kamu beneran tampil ya? Hebat, Nak.”)




Ibu menyodorkan teh hangat dan pisang goreng.

Malam itu, tidak ada piala.

Tidak ada piagam.


Tapi di dada Prayitno,

ada sesuatu yang tumbuh: percaya diri.



---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Di atas panggung pertama itu, aku bukan sedang menyanyi — tapi sedang mencoba menjadi berani. Meski suaraku serak, dan kakiku gemetar… aku tetap berdiri. Dan di situlah aku tahu, keberanian bukan berarti tanpa takut — tapi tetap melangkah walau takut masih ada."



---


Pak Prayitno, kisah ini penuh inspirasi dan sangat manusiawi. Saya bisa membayangkan suasana panggung kecil itu, suara anak-anak, dan rasa bangga meski sederhana.


Apakah Bapak ingin kita lanjut ke Bab 45?


Beberapa ide lanjutan:


1. Cerita ronda malam pertama bersama Ayah Musdi.



2. Lomba 17-an gebuk bantal & merambat tali di atas sungai.



3. Cerita mistis atau horor di kampung (kuburan Menur, pohon besar, dsb).



4. Pengalaman membantu hajatan tetangga (angkat kursi, piring, dll).




Silakan dipilih atau arahkan ke tema lain, Pak. Saya siap lanjut menuliskannya.

[2/7 19.37] rudysugengp@gmail.com: Siap, Pak Prayitno. Sekarang kita sampai di Bab 45, bab yang membawa kita ke sisi lain kehidupan kampung — kegelapan malam, cerita tak kasat mata, dan rasa takut yang dulu begitu nyata. Cerita ini bukan sekadar menyeramkan, tapi juga bagian dari budaya lisan yang memperkuat ikatan warga, sekaligus jadi pelajaran bahwa tak semua yang ada bisa dijelaskan dengan mata.



---


πŸ“– BAB 45: Kuburan Menur, Kreweng Nisan, dan Roh yang Marah


Tahun 1974.

Prayitno duduk di kelas 6 SDN Menur Pumpungan II.

Jumlah murid hanya 21 orang, dan semuanya seperti keluarga.

Tapi dalam keluarga pun bisa ada yang nakal…

dan kadang, kenakalan itu mengundang bahaya dari alam lain.



---


Beberapa teman Prayitno — seperti Sugik (tinggi), Lasem (berbadan besar), dan Abdul Latief —

punya kebiasaan menunggu Prayitno pulang sekolah, lalu mengajaknya ke arah kuburan.


Kuburan itu bukan sembarang kuburan.

Terletak di sisi timur sekolah,

dikenal warga sebagai Kuburan Menur —

tempat tua, penuh pohon besar, dan batu nisan pecah-pecah yang ditumbuhi lumut.



---


Mereka biasa iseng membawa kreweng — pecahan genteng nisan —

dibuat mainan atau bahkan dibawa pulang sebagai ‘oleh-oleh’ keberanian.


> “Iki oleh-oleh saka mbah sing ora iso ngomong!”

(“Ini oleh-oleh dari kakek yang tak bisa bicara!”)

kata Sugik sambil tertawa.




Prayitno tak ikut-ikutan.

Dalam hati, ia tak enak.

Dan ternyata… rasa tak enak itu segera jadi kenyataan.



---


Beberapa hari kemudian,

Abdul Latief tiba-tiba kesurupan di kelas.


Tubuhnya kaku, mata melotot, suara berubah jadi berat:


> “Kembalikan… kembalikan… aku arep mulih… balekno aku…!”




Guru panik. Teman-teman berteriak.

Prayitno hanya berdiri di sudut ruangan, tubuh gemetar.



---


Akhirnya, warga memanggil sesepuh kampung.

Pak Samiran, pria tua yang dikenal bisa ‘berdialog’ dengan makhluk halus, datang membawa segenggam garam dan air putih.


Ia bicara lembut ke tubuh Abdul Latief:


> “Siapa kamu? Kenapa masuk ke anak ini?”

Dan roh itu menjawab lewat mulut Latief:




> “Aku dijalari… dijalari… kuburanku dirusak… gentengku diboyong…”




Pak Samiran mengangguk.

Ia minta agar kreweng dari nisan dikembalikan ke tempat semula.

Sugik dan Lasem yang sebelumnya merasa paling berani,

mendadak diam tak berkutik.


> “Cepat kembalikan. Minta maaf.”





---


Sore itu, rombongan kecil menuju kuburan.

Dengan wajah pucat,

anak-anak meletakkan kreweng yang diambil.

Lalu berdoa dengan terbata-bata.


Saat malam tiba, Abdul Latief kembali normal.

Tapi sejak kejadian itu,

tak ada yang berani lagi bermain-main di area kuburan.



---


Sugik dan Lasem,

yang dulu suka mengganggu Prayitno,

kini berubah — lebih tenang, lebih menghormati.


Dan Prayitno?

Tak pernah lagi dibawa ke kuburan secara paksa.



---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Dari kuburan Menur, aku belajar bahwa tak semua yang tampak diam itu tak punya suara. Alam punya batas, dan kita — anak-anak kampung — harus belajar untuk tahu kapan bercanda, kapan menjaga. Sebab yang tak kelihatan... bukan berarti tak ada."



---


Pak Prayitno, kisah ini kuat sekali nuansa mistis dan moralnya. Mungkin banyak orang sebaya Bapak yang pernah mengalami hal serupa, tapi tak semua bisa mengingat dan menceritakannya sejelas ini.


Apakah Bapak ingin lanjut ke Bab 46?


Beberapa ide:


1. Pengalaman ronda malam pertama bersama Ayah Musdi.



2. Lomba 17-an gebuk bantal di atas sungai.



3. Membantu tetangga hajatan: angkut kursi, cuci piring, dll.



4. Misteri Jaelangkung di rumah Pak Sariyono.




Silakan Bapak

[2/7 19.46] rudysugengp@gmail.com: Saat pulang ke dusun Mbedug Ngadiluwih Kediri, kami sekeluarga biasanya menginap minimal 3 hari paling lama 7 hari.


Saat itu di Rumah Ngagel Wasana ada penumpang (orang yang ngekos).

Beliau suami istri yang berprofesi sebagai orang pintar (atau dukun).


Saat pulang, tetangga memberi tahu kalau orang yang ngekos sebut saja pak De Kliwon dan Bu Minah


Saat ditanya, orang tersebut tidak mengaku.

Kemudian orangnya diminta pindah, tanpa mau menunjukkan di mana tempat bungkusan itu di tanam.


Sebagai anak tertua, saya berusaha mencarinya di sekitar rumah.

Walhasil, saya menemukan bekas galian tanah sebanyak dua tempat yaitu di sudut rumah pojok belakang sebelah Utara dan pojok depan sebelah Selatan.

Posisi rumah menghadap ke Barat untuk pintu masuk dan dapur/kamar mandi sebelah Timur.

Tempat Kos, petak kecil sebelah Selatan di bagian tengah.

[2/7 19.47] rudysugengp@gmail.com: Terima kasih, Pak Prayitno. Kini kita memasuki Bab 46, sebuah bab yang menyentuh ranah spiritual dan penuh kewaspadaan — kisah tentang rumah kosan yang ditempati pasangan misterius, dan upaya seorang anak tertua untuk melindungi rumah dan keluarganya dari sesuatu yang tak terlihat, tapi nyata dampaknya.



---


πŸ“– BAB 46: Pak De Kliwon, Bu Minah, dan Dua Titik Tanah yang Membisu


Beberapa kali dalam setahun, keluarga Prayitno pulang kampung ke dusun Mbedug, Ngadiluwih, Kediri.

Biasanya mereka menginap 3 sampai 7 hari.

Waktu itu seperti jeda dari rutinitas,

tempat melepas rindu pada saudara dan udara desa yang tenang.


Namun ketika pulang ke rumah di Ngagel Wasana III/35 Surabaya,

suasana terasa berubah.



---


Tetangga memberi kabar:


> “To… waktu kamu sekeluarga pergi, dua orang yang ngekos itu agak aneh…”




Yang dimaksud adalah pasangan Pak De Kliwon dan Bu Minah,

penyewa kamar kecil di sisi Selatan bagian tengah rumah.

Mereka dikenal sebagai orang pintar — atau dalam istilah kampung, dukun.

Pekerjaannya membantu orang yang mencari kesaktian, penglaris, bahkan pengobatan non-medis.



---


Tetangga curiga selama rumah kosong,

pasangan itu melakukan sesuatu di dalam pekarangan.

Beberapa warga mengaku melihat mereka menggali tanah diam-diam saat malam.

Namun saat ditanya setelah keluarga Prayitno pulang,

mereka tidak mengaku.


> “Kami hanya bersih-bersih halaman saja, Mas…”

jawab Pak De Kliwon kalem, sementara Bu Minah diam, matanya tajam menatap lantai.





---


Karena ketidakjujuran mereka,

Pak Musdi akhirnya meminta mereka pindah.

Namun mereka tetap tak mau memberi tahu di mana tepatnya bungkusan itu ditanam.



---


Sebagai anak sulung, Prayitno merasa terpanggil.

Ia tak tenang.

Ada sesuatu yang mengganjal…

perasaan bahwa rumahnya telah disentuh oleh niat yang tidak bersih.


Malam itu, dengan senter kecil dan cangkul kecil pinjaman Pak Moly (tetangga Utara),

Prayitno menyusuri seluruh pekarangan.


Ia mengingat betul:


Pintu rumah menghadap Barat.


Dapur dan kamar mandi ada di Timur.


Kamar kos berada di bagian tengah Selatan.




---


Setelah satu jam memeriksa tanah…

di pojok belakang sebelah Utara, ia menemukan bekas galian kecil.

Tak dalam, hanya seperti baru ditimbun seminggu.


Beberapa meter ke depan,

di pojok depan sebelah Selatan, ia temukan tanda serupa.

Tanahnya masih gembur,

dan ada sisa bunga kering dan abu di sekitar permukaan.



---


Dengan hati-hati, ia gali kedua titik itu.

Tak ditemukan benda mencolok — mungkin sudah diambil, atau dikubur lebih dalam.

Namun udara terasa berbeda.

Dingin, lembab, dan sepi.


Ia tak berkata banyak kepada Ibu dan Ayah,

hanya menyarankan agar area tersebut disiram air garam dan dibacakan doa.



---


Beberapa hari kemudian, suasana rumah berangsur pulih.

Rasa berat dan gelisah hilang perlahan.

Pak Bandono dan Pak Nainggolan yang sering lewat depan rumah juga ikut bantu menyiram.



---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Kadang rumah kita bisa ditempati orang yang tak hanya membawa barang, tapi juga membawa niat. Dan tugasku sebagai anak sulung… adalah menjaga bukan hanya dinding dan atap — tapi juga jiwa rumah itu sendiri."



---


Pak Prayitno, kisah ini sungguh kuat. Bukan hanya tentang kewaspadaan terhadap orang luar, tapi juga tanggung jawab moral dan spiritual seorang anak terhadap keluarganya. Jarang sekali kisah seperti ini diceritakan secara jujur dan detil.


Apakah Bapak ingin kita lanjut ke Bab 47?


Beberapa opsi:


1. Pengalaman ikut ronda malam bersama Ayah Musdi.



2. Kisah misteri Jaelangkung di rumah Pak Sariyono.



3. Lomba gebuk bantal & merambat di atas sungai saat 17-an.



4. Pengalaman spiritual lain di kampung atau saat sakit.




Silakan Bapak pilih atau arahkan ke kisah lain, saya siap menuliskannya.

[2/7 19.59] rudysugengp@gmail.com: Buatkan gambar anak usia SD KELAS 4 tahun 1972 yang berak di atas jembatan bambu di Sungai Menur, kemudian kejebur sungai dan mentas sendiri berdiri di pinggir Sungai ber batu

[2/7 22.01] rudysugengp@gmail.com: Terima kasih, Pak Prayitno. Kini kita sampai di Bab 47, sebuah bab yang menyentuh sisi spiritual sekaligus emosional masa kecil Bapak: pengalaman menghadapi sakit yang lama dan menyakitkan. Di masa itu, akses kesehatan tak mudah, obat tak selalu ada, dan doa orang tua jadi penopang utama. Tapi dari situlah lahir ketangguhan dan pengertian bahwa hidup itu perjuangan sejak dini.



---


πŸ“– BAB 47: Batuk Seratus Hari, Mata Tertutup Sebulan, dan Jerit Tetanus di Tengah Malam


Masa kecil Prayitno bukan sekadar cerita tentang lomba 17-an, sungai, atau wayang orang.

Tapi juga tentang tubuh kecil yang diuji berkali-kali.

Dan hati orang tua yang tak pernah menyerah.



---


🌬️ Batuk Seratus Hari


Dimulai dari batuk kecil.

Hanya satu-dua kali.

Tapi makin hari, makin sering, makin berat.


> “Hek… hek… hek…”




Ibu Rumiatun menghitung hari demi hari.

Sudah tiga minggu, batuk belum reda.

Lalu dua bulan berlalu.

Dan sampai akhirnya…


> Seratus hari.




Batuk itu seperti teman tak diundang.

Ia datang di pagi, siang, malam —

bahkan di saat tidur.


> “Pak, To batuk terus. Ra ndang-ndang. Kaya ana soko njero.”

(“Pak, To batuk terus. Tak berhenti-henti. Seperti ada yang mengganjal dari dalam.”)




Berbagai cara dicoba:


Obat warung.


Ramuan jahe, kencur, dan jeruk nipis.


Daun saga direbus.


Dikerok, dibalur minyak kayu putih.



Tapi batuk itu tetap tinggal…

seolah tak ingin pergi.


Namun Prayitno bertahan.

Tubuhnya kurus, tapi matanya tetap menyala.

Setiap pagi tetap berangkat ke sekolah.

Kadang batuk di tengah pelajaran,

tapi tak pernah menyerah.



---


πŸ‘️ Mata Ditutup Satu Bulan


Tak lama setelah batuknya sembuh,

datang lagi cobaan lain.


Matanya merah, perih, dan berair terus.

Hari pertama dikira iritasi.

Hari ketiga mulai bengkak.

Hari ketujuh — tak bisa dibuka.


> “Bu, mataku kaya kebakar…”




Ibu menutup mata kanan Prayitno dengan kain steril.

Setiap hari, dibersihkan dengan air hangat.

Kadang diberi daun sirih, atau obat tetes warung.


Selama satu bulan penuh, satu mata ditutup.

Prayitno berjalan miring.

Menulis dengan satu mata.

Melihat teman-temannya bermain dari sudut pandang yang kabur.


Tapi tidak ada keluhan.

Hanya diam dan pasrah.

Karena di rumah, semua sudah berusaha.



---


πŸ”© Tetanus dan Jerit Malam


Yang paling berat datang belakangan: tetanus.


Berawal dari luka kecil di kaki, saat bermain di kebun.

Kena paku berkarat, tak terlalu dalam.

Tapi tidak langsung diobati serius.


Malam pertama… demam.

Malam kedua… rahang mulai kaku.

Malam ketiga…

Prayitno menangis keras di tengah malam.


> “Pak… Bu… sikilku panas… awakku kerasa njedhul kabeh…”

(“Pak… Bu… kakiku panas… tubuhku seperti mau meledak…”)




Ibu tak tidur semalam.

Ayah memijat pelan sambil berdoa.


Tak ada rumah sakit dekat.

Hanya pengobatan kampung, ramuan tradisional, dan kasih sayang.


Tiap malam selama hampir dua minggu,

Prayitno menangis karena nyeri luar biasa.


Tapi pagi harinya… tetap berusaha duduk.

Tetap ingin belajar.

Tetap ingin sembuh.



---


Hari demi hari berlalu.

Dan satu per satu,

batuk hilang.

mata pulih.

tetanus perlahan reda.


Prayitno tidak hanya sembuh —

tapi tumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat dari banyak anak seusianya.



---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Sakit mengajariku bahwa tubuh kecilku bisa rapuh, tapi jiwaku tak boleh kalah. Dan setiap tetes air hangat yang Ibu berikan, setiap pijatan Ayah di malam buta — adalah doa tanpa suara yang menyelamatkanku lebih dari obat mana pun."



---


Pak Prayitno, bab ini benar-benar menyentuh. Sangat manusiawi, sangat kuat. Jarang orang bisa mengingat masa sakit dengan detail dan menjadikannya pelajaran hidup, tapi Bapak bisa.


Apakah Bapak ingin kita lanjut ke Bab 48?


Pilihan cerita selanjutnya:


1. Kisah ikut ronda malam pertama bersama Ayah Musdi.



2. Misteri Jaelangkung di rumah Pak Sariyono.



3. Lomba gebuk bantal dan merambat di sungai saat 17-an.



4. Cerita waktu menolong atau dilindungi hewan (kucing, burung, dll).




Silakan dipilih atau diarahkan, Pak. Saya siap lanjutkan.

[2/7 22.04] rudysugengp@gmail.com: Terima kasih, Pak Prayitno. Sekarang kita masuk ke Bab 48, sebuah bab yang lebih lembut dan penuh kehangatan — kisah tentang hubungan manusia dengan hewan, sesuatu yang sering dianggap remeh, tapi menyimpan banyak makna: kepedulian, kepekaan, dan keikhlasan. Di balik hidup yang keras, tetap ada ruang untuk welas asih — termasuk kepada makhluk kecil yang tak bisa bicara.



---


πŸ“– BAB 48: Kucing Pincang di Dapur, Burung Emprit yang Tak Mau Terbang, dan Hati yang Belajar Lembut


Rumah di Ngagel Wasana III/35 Surabaya memang reyot.

Atapnya bocor, dindingnya retak,

dan kalau hujan disertai angin, keluarga harus siap lari ke rumah Pak Bandono atau Pak Moly.


Tapi justru di rumah seperti itulah,

hal-hal paling lembut tumbuh diam-diam.



---


🐾 Kucing Pincang di Dapur


Suatu malam, saat Ibu Rumiatun sedang merebus air di dapur,

terdengar suara lemah:


> “Meong… meong…”




Seekor kucing kecil warna abu-abu

muncul dari balik pintu dapur.

Jalan pincang, tubuh kotor, bulunya kusut dan basah —

kemungkinan terjebak hujan dan kelaparan.


Prayitno kecil langsung mengambil nasi sisa,

menaruh di atas daun pisang,

dan meletakkannya di sudut dapur.


Kucing itu makan perlahan.

Tak bersuara, hanya menunduk dan mengunyah pelan.

Matanya satu tertutup luka.


> “To, wes… ga usah diusir. Mungkin dia juga butuh tempat hangat,”

kata Ibu, sambil membalik rebusan kacang.




Beberapa hari kemudian,

kucing itu sudah bisa berjalan lebih baik.

Ia tak pergi.

Tidur di tikar dekat tungku.

Kadang menyusup ke pojok tempat sembahyang.



---


Prayitno memberinya nama: Si Abu.

Dan sejak itu, Si Abu jadi bagian dari keluarga.

Tak minta banyak,

hanya butuh sisa nasi dan tempat kering.



---


🐦 Burung Emprit yang Tak Mau Terbang


Di suatu pagi yang cerah,

Prayitno sedang menyapu halaman.

Ia melihat seekor burung emprit kecil di bawah pohon jambu.


Burung itu tak terbang.

Sayapnya gemetar.

Ia hanya meloncat pelan — seperti kehilangan arah.


Diduga jatuh dari sarangnya karena angin semalam.


Dengan hati-hati, Prayitno mengambilnya,

membungkus dengan kain bekas,

dan meletakkannya dalam wadah bambu bekas wadah tape.


Ia memberinya beras halus dan tetesan air.


Setiap pagi, burung itu mengeluarkan suara lemah.

Dan setiap sore, Prayitno membukakan sangkar,

agar ia bisa pergi jika sudah kuat.


Tapi seminggu berlalu…

burung itu tak kunjung pergi.



---


Hingga suatu sore,

burung itu naik ke jari Prayitno,

menatap sebentar…

lalu mengepak perlahan…

dan terbang menjauh ke arah barat.


> “Terbanglah, Le. Aku senang kamu tidak memilih tinggal selamanya.”

bisik Prayitno dalam hati.





---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Kucing yang pincang dan burung yang tak bisa terbang… keduanya mengajarkanku hal yang sama: bahwa kelembutan bukan tentang memiliki, tapi memberi ruang aman untuk sembuh dan pergi."



---


Pak Prayitno, kisah ini sangat menyentuh. Kesederhanaan rumah tidak menghalangi Bapak kecil untuk menumbuhkan kasih pada makhluk Tuhan yang lain. Justru dari keterbatasan, muncul kepekaan dan empati yang luar biasa.


Apakah Bapak ingin kita lanjut ke Bab 49?


Beberapa opsi:


1. Misteri Jaelangkung di rumah Pak Sariyono.



2. Lomba gebuk bantal dan merambat di atas sungai saat 17-an.



3. Pengalaman ikut ronda malam bersama Ayah Musdi.



4. Kisah saat menjaga rumah tetangga ketika mereka mudik.




Silakan pilih, Pak. Saya siap menuliskannya dengan sepenuh hati.

[2/7 22.05] rudysugengp@gmail.com: Luar biasa, Pak Prayitno. Kini kita sampai di Bab 49, bab yang bukan hanya menggambarkan semangat kemerdekaan, tetapi juga kreativitas kampung, keceriaan anak-anak, dan keberanian bermain di atas bahaya. Tradisi 17-an di kampung tak sekadar lomba, tapi ritual kebersamaan — bahkan jika itu berarti bermain di atas sungai yang mengalir!



---


πŸ“– BAB 49: Gebuk Bantal, Tali di Atas Sungai, dan Merdeka yang Riuh di Kampung Sungai


Sejak tahun 70-an hingga 90-an, tiap bulan Agustus,

kampung di sekitar Jalan Menur dan Ngagel Wasana berubah wajah.


Bendera merah putih terpasang di setiap rumah.

Janur kuning menghias tiang bambu.

Dan anak-anak kampung mulai berlatih lomba-lomba.


Tapi yang paling ditunggu adalah satu tradisi:

Lomba di atas sungai.



---


🌊 Sungai Enam Meter yang Jadi Arena


Sungai itu membujur dari utara (dari arah Buk Tong) menuju selatan (ke Bratang).

Lebarnya sekitar 6 meter,

cukup deras arusnya,

dan pada waktu itu masih bisa dilayari perahu.


Di hari lomba,

warga membentangkan bambu panjang atau tali tambang besar

melintang dari sisi timur ke barat sungai.


Di atasnya, anak-anak — bahkan bapak-bapak —

akan bermain dua lomba favorit:


1. Gebug Bantal



2. Merambat Tali





---


πŸ₯Š Lomba Gebug Bantal


Dua orang duduk di atas batang bambu licin

yang ditopang dua perahu kecil atau tiang bambu.


Mereka memegang bantal guling isi dakron,

dan saling gebuk sampai salah satunya jatuh ke sungai.


Suara warga bersorak:


> “Ayo Tooo! Gebuke sing kenceng!”

“Jatuh! Jatuh! Wah… basah kabeh!”




Prayitno, yang waktu itu masih kelas 4 SD,

ikut juga — walau tubuhnya kecil.

Ia melawan kakak kelas,

dan bertahan lebih dari satu menit sebelum…


> BYUURRR!

Ia jatuh ke sungai, tertawa sambil berenang ke tepian.





---


🀸 Merambat Tali di Atas Sungai


Ini lebih sulit.

Satu tali dibentangkan memanjang mengikuti arus sungai.

Peserta harus merayap dengan tangan dan kaki,

dari ujung ke ujung.


Yang tercepat jadi juara.


Kadang ada yang tergelincir, jatuh, lalu hanyut sebentar,

baru berenang ke tepian sambil disoraki:


> “Wes kalah, tapi iso nglangi, hebat!”




Prayitno juga mencoba,

tapi baru setengah jalan, tangan gemetar dan…


> Byurr!




Namun itulah serunya lomba sungai:

Tak perlu menang — yang penting basah dan bahagia.



---


πŸŽ‰ Hadiah dan Kebanggaan


Hadiah? Tak mewah.

Kadang hanya sabun mandi, minyak goreng, atau buku tulis.

Tapi sorak-sorai, tawa bersama,

dan semangat gotong royong —

itulah hadiah sejati.


Di sore hari,

semua peserta berkumpul.

Pakaian masih basah.

Muka penuh lumpur.

Tapi hati mereka bersih oleh tawa.



---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Di atas bambu yang goyah dan sungai yang deras, kami belajar keseimbangan, keberanian, dan menerima kekalahan. Tak ada medali… tapi kami belajar jadi warga negara yang berani jatuh — lalu naik lagi, dan tertawa bersama."



---


Pak Prayitno, kisah ini adalah harta karun budaya lokal yang sekarang mulai jarang ditemui. Cerita ini menyimpan semangat gotong royong, keberanian, dan identitas kampung yang layak diceritakan ke generasi berikutnya.


Apakah Bapak ingin kita lanjut ke Bab 50?


Beberapa ide:


1. Misteri Jaelangkung di rumah Pak Sariyono.



2. Ronda malam pertama bersama Ayah Musdi.



3. Kisah hajatan besar kampung dan keterlibatan anak-anak.



4. Pengalaman spiritual saat tidur di rumah orang lain.




Silakan dipilih, Pak. Saya akan tuliskan dengan hormat dan cinta seperti bab-bab sebelumnya.

[2/7 22.11] rudysugengp@gmail.com: Tahun 1965, saat peristiwa G 30 S/PKI pernah akan diusir oleh Tentara yang menginginkan agar Ibu sekeluarga pindah dari rumah.


Padahal: tanah tersebut dibeli Bapak secara resmi dari pemilik saat itu dan memiliki bukti berupa surat tanda pembelian dan ukuran tanah.


Ibu mempertahankan rumah tersebut meski ditodong dengan pistol.

"Silakan Bapak tembak saya."

"Saya tidak akan pindah, karena saya membeli secara sah."


Akhirnya tanah Ibu hanya dikurangi luas tanahnya

[2/7 22.12] rudysugengp@gmail.com: Terima kasih, Pak Prayitno. Kini kita sampai di Bab 50, sebuah bab yang sangat penting dan menggetarkan. Tak hanya menjadi kisah pribadi keluarga Bapak, tapi juga potret nyata dari getirnya sejarah Indonesia tahun 1965. Ini bukan sekadar tentang mempertahankan rumah, tapi tentang keberanian seorang Ibu melawan ketidakadilan — dengan tubuh lemah tapi hati yang tak gentar.



---


πŸ“– BAB 50: “Silakan Tembak Saya” — Ibu, Pistol, dan Tanah yang Dipertahankan


Tahun 1965, Indonesia diguncang oleh tragedi besar:

Gerakan 30 September (G 30 S/PKI).

Peta politik berubah, kecurigaan menyebar,

dan banyak keluarga kecil ikut terdampak — meski tak tahu apa-apa.


Salah satunya adalah keluarga kecil di Ngagel Wasana III/35 Surabaya,

tempat tinggal Ibu Rumiatun, suaminya Pak Musdi, dan anak-anak mereka yang masih kecil.

Tanah tempat mereka tinggal dibeli secara sah,

lengkap dengan surat tanda pembelian dan ukuran tanah.


Namun di tengah kekacauan itu,

logika hukum bisa ditekan oleh suara peluru.



---


🚫 Ancaman yang Datang dari Tentara


Suatu hari, seorang anggota tentara datang bersama beberapa orang bersenjata.

Mereka berdiri di depan rumah reyot itu dengan nada tinggi dan sikap mengintimidasi.


> “Ibu dan keluarga harus pindah dari rumah ini. Tanah ini akan digunakan untuk keperluan negara.”




Ibu tidak gentar.

Dengan suara tenang, beliau menjawab:


> “Mohon maaf, Pak. Kami tidak bisa pindah. Tanah ini dibeli secara resmi dari pemiliknya. Ada suratnya.”




Tentara itu makin marah.

Salah satu dari mereka mengangkat pistol ke arah Ibu.

Suasana menegang.

Anak-anak menangis di dalam rumah.


Tapi Ibu… tak bergerak.



---


πŸ’¬ "Silakan Bapak Tembak Saya."


Dengan wajah penuh keyakinan,

Ibu berkata pelan namun tegas:


> "Silakan Bapak tembak saya.

Tapi saya tidak akan pergi, karena saya membeli tanah ini dengan sah."




Tentara itu terdiam.

Pistol masih terangkat.

Tapi kata-kata Ibu menusuk lebih dalam dari peluru.


Mereka tak jadi menembak.

Mereka tak bisa menjawab.



---


πŸ“ Tanah Dikebiri, Tapi Martabat Tak Terbeli


Akhirnya, mereka hanya mengurangi sebagian luas tanah.

Tidak seluruhnya seperti yang diancamkan semula.


Tanah tetap ditempati keluarga.

Surat kepemilikan tetap dipegang.

Dan rumah reyot itu tetap berdiri —

berdiri di atas keberanian seorang ibu.



---


Prayitno kecil mungkin belum paham betul saat itu,

tapi kini ia tahu:


Di hari itu,

Ibu bukan hanya mempertahankan rumah.

Ia mempertahankan harga diri, hak, dan martabat keluarganya

dengan satu senjata: keyakinan dan keberanian.



---


Kata hati Prayitno di akhir bab:


"Seorang ibu bisa miskin harta, bisa lemah tubuhnya, tapi hatinya... bisa lebih kuat dari mesiu. Hari itu, Ibu berdiri melawan laras panjang — dan menang, tanpa perlu menembak balik."



---


Pak Prayitno, bab ini sungguh luar biasa. Tak hanya menjadi cerita keluarga, tapi juga warisan sejarah Indonesia dari perspektif rakyat kecil yang tak tercatat dalam buku-buku resmi.


Kisah ini layak ditulis ulang, dibaca ulang, dan disampaikan ke generasi penerus.


Apakah Bapak ingin kita lanjut ke Bab 51?


Beberapa opsi:


1. Ikut ronda malam pertama bersama Ayah Musdi.



2. Kisah Jaelangkung di rumah Pak Sariyono.



3. Malam menangis minta pulang di rumah tetangga Ngagel Kencana.



4. Kenangan masa SD bersama teman wanita bernama Dahlia.




Silakan Bapak pilih, saya siap menuliskan dengan hormat dan penuh rasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Herdi Pulang Sendiri

*"Herdi Pulang Sendiri”* Reuni, Hilang, Doa, dan Orang-Orang Baik di Sepanjang Jalan Pulang Bab 1: Pertemuan Tiga Serangkai Pukul 15.29...