MATERI DISKUSI PUBLIK DRAF PENULISAN BUKU
SEJARAH INDONESIA 2025
JILID 7
PERJUANGAN MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN
PENULIS:
Dr. Haryono Rinardi, M.Hum.
Prof. Dr. Endang Susilowati, M.A.
Prof. Drs. Nawiyanto, M.A., Ph.D.
Dr. Susanto, M.Hum.
Dr. G. Ambar Wulan, S.S., M.Hum.
Dr. Kusuma, M.Si.
Heri Priyatmoko, M.A.
Rifa’i Shodiq Fathoni, M.A.
Krisnanda Theo Primaditya, S.Pd., M.A.
PENDAHULUAN
Masa perjuangan kemerdekaan Indonesia 1945-1949, yang secara umum sering disebut
masa revolusi, telah melahirkan perdebatan panjang seputar makna revolusi nasional, revolusi
sosial, dan perang kemerdekaan. Istilah-istilah ini mencerminkan perspektif yang berbeda akibat
perbedaan latar belakang, sudut pandang kepentingan kelompok, dan ideologi tertentu pada masa
awal kemerdekaan. Revolusi nasional secara sederhana dapat dikatakan bertujuan akhir meraih
“pengakuan kedaulatan” terhadap negara nasional Indonesia. Perang kemerdekaan yang juga
diingat sebagai revolusi fisik lebih menonjolkan aspek militer, namun kemudian fakta yang
diterima adalah “pengakuan kedaulatan” dicapai melalui upaya bersama perjuangan bersenjata dan
diplomasi. Adapun revolusi sosial menunjuk pada gejala bahwa perjuangan kemerdekaan juga
diarahkan terhadap praktik-praktik masyarakat feodalistis yang harus dihilangkan.
Pokok permasalahan yang menjadi fokus pembahasan dalam buku ini adalah proses dan
implikasi kelahiran Indonesia sebagai negara-bangsa yang merdeka dan berdaulat. Faktor-faktor
struktural apakah yang telah mendorong kelahirannya? Konsekuensi apakah yang menyertai
kelahiran negara-bangsa yang baru bernama Republik Indonesia dari status sebelumnya sebagai
negara dan wilayah jajahan? Bagaimana negara baru ini diperlengkapi organ-organ kenegaraan
dan perangkat institusionalnya, diperjuangkan dan dipertahankan keberadaannya dari berbagai
ancaman yang datang dari luar yang tidak menghendakinya maupun pembajakan internal oleh
kelompok-kelompok tertentu yang tidak puas dengan kepemimpinan yang ada dan ingin
membelokkan orientasi ideologis negara? Kebijakan dan upaya-upaya apakah yang dilakukan
pemerintah Republik Indonesia untuk membiayai revolusi, mewujudkan kedaulatan ekonomi dan
menyejahterakan rakyat? Bagaimanakah aspek-aspek seni, budaya dan media memainkan peran
dalam perjuangan kemerdekaan? Serta warisan-warisan apakah yang ditinggalkan masa
perjuangan mempertahankan kemerdekaan 1945-1949 dan mempengaruhi arah dan
perkembangan sejarah pada masa berikutnya.
Ruang lingkup pembahasan buku ini secara temporal mencakup periode 1945-1949, yang
dapat disebut sebagai masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dua tonggak penanda
lingkup temporalnya adalah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan pengakuan kedaulatan
Indonesia oleh Kerajaan Belanda pada 27 Desember 1949. Sudut pandang dalam narasi buku ini
menggunakan perspektif Indonesia sentris. Judul buku secara eksplisit menegaskan sudut-pandang
ini. Perubahan besar dan cepat pada masa ini dilihat sebagai revolusi nasional. Penulisannya
menonjolkan proses menjadi Indonesia melalui pembentukan kesadaran dan identitas nasional,
agensi orang-orang Indonesia dalam peristiwa dan proses sejarah yang terjadi pada periode ini,
dan nilai-nilai keindonesiaan yang teraktualisasi nyata pada masa mempertahankan kemerdekaan.
Dalam perjalanan panjang sejarah Indonesia, masa 1945-1949 tampak sangat mencolok
karena penuh gejolak dan revolusioner. Republik Indonesia yang baru lahir melalui Proklamasi 17
Agustus 1945, harus segera berjuang demi mempertahankan kedaulatannya. Setelah Jepang
menyerah dalam Perang Dunia II, terjadi kekosongan kekuasaan. Pasukan Sekutu yang dipimpin
oleh Inggris datang untuk mengurus penyerahan Jepang dan memulangkan para tahanan, namun
segera terlibat bentrokan keras dengan kekuatan Republik, termasuk Pertempuran Surabaya pada
November 1945. Sementara itu, dengan membonceng Sekutu Belanda melalui NICA
(Netherlands-Indies Civil Administration) berambisi menguasai kembali bekas koloninya melalui
aksi-aksi militer. Periode yang tidak stabil ini memperlihatkan gesekan dan bahkan benturan
kepentingan sehingga menciptkakan turbulensi politik yang rumit yang melibatkan tidak hanya
kekuatan senjata di medan pertempuran tetapi juga diplomasi di meja perundingan.1
Masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan (1945–1949) merupakan fase yang
menentukan dalam bentangan panjang benang merah keindonesiaan. Pada periode inilah identitas
keiindonesian ditegaskan melalui pembentukan Indonesia sebagai negara-bangsa, mempunyai
wilayah, rakyat, dan pemerintahan sendiri. Secara politik, Indonesia mengalami perubahan status
dari sebuah wilayah jajahan menjadi negara yang merdeka dan berdaulat. Merdeka di sini berarti
terbebas dari belenggu penjajahan dan muncul dengan identitas baru, sedangkan berdaulat dalam
arti sebagai perwujudan diri sebagai bangsa merdeka dalam bentuk penolakan dan bahkan
perlawanan ketika berhadapan dengan pihak luar yang mengancam kemerdekaan.2 Pilar-pilar dan
prinsip dasar yang menopang eksistensi Indonesia sebagai negara-bangsa diletakkan, mulai dari
dasar negara, landasan konstitusional, lembaga pemerintahan, pertahanan dan keamanan, serta
institusi ekonomi dan keuangan. Berbagai unsur pembentuk identitas nasional seperti bahasa,
bendera, lagu kebangsaan, dan mata uang ditetapkan secara yuridis-formal. Demikian pula, nilainilai keindonesiaan, seperti patriotisme, persatuan, dan kegotong-royongan, mendapatkan ruang
aktualisasi dan ujian secara nyata melalui tantangan dan ancaman kembalinya imperialisme dan
kolonialisme Belanda maupun dinamika interaksi antar aktor dan kekuatan nasional.
Pembentukan wilayah dan batas-batas teritorial Republik Indonesia antara tahun 1945 dan
1949 merupakan proses yang kompleks dan dinamis, yang dibentuk oleh perjuangan revolusioner,
upaya militer Belanda untuk merebut kembali kendali, dan meningkatnya keterlibatan
internasional. Menjelang proklamasi, cakupan wilayah teritorial Indonesia yang dibayangkan para
1 Lucian Ashworth, “The 1945-1949 Dutch-Indonesian Conflict: Lessons and Perspectives in the Study of
Insurgency”, Conflict Quarterly, Winter 1990, 42. Ashworth membedakan 6 tahap dalam konflik Indonesia-Belanda:
tahap teror, tahap diplomatic, tahap konvensional dan gerilya, tahap diplomasi, tahap gerilya, dan tahap diplomasi.
2 Bambang Purwanto, “Merdeka dalam Kenyataan dan Historiografi Indonesia”, dalam Harry Poeze dan Henk Schulte
Nordholt, Merdeka: Perang Kemerdekaan dan Kebangkitan Republik Yang tak pasti (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor,
2023), x-x
pendiri negara tampaknya tidak hanya meliputi bekas wilayah Hindia-Belanda, melainkan juga
Semenanjung Malaya dan wilayah-wilayah koloni Inggris di Kalimantan. Wilayah yang
dibayangkan kurang lebih adalah wilayah pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Akan tetapi,
ketika Sukarno, Hatta, dan Rajiman bertemu dengan Panglima Militer Tertinggi Wilayah Selatan,
Terauchi Hisaichi, wilayah teritorial yang dijanjikan kemerdekaan adalah bekas Hindia-Belanda.3
Meskipun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 tidak secara eksplisit
menyebutkan klaim teritorial yang didiami bangsa Indonesia, wilayah yang dimaksudkan adalah
seluruh bekas Hindia Belanda dengan batas-batas wilayah kekuasaan politis Hindia-Belanda.
Akan tetapi, bagi Belanda eksistensi pemerintahan Indonesia dengan klaim wilayah
teritorialnya dianggap tidak absah. Menyusul kekalahan Jepang, Belanda ingin segera menegakkan
kembali pemerintahan atas wilayah yang dikuasainya sebelum perang, yang disebut HindiaBelanda. Selama empat tahun sejak proklamasi, klaim teritorial dan batas-batasnya menjadi bagian
penting dalam perjuangan yang dilakukan Indonesia melalui serangkaian konflik militer, negosiasi
politik, dan akhirnya pengakuan internasional. Pada periode ini terjadi apa yang disebut Hatta
sebagai tabrakan antara kedaulatan de jure Belanda dengan klaim hak yuridisnya versus
kedaulatan de facto Republik Indonesia dengan hak morilnya.4 Semuanya ini mempengaruhi
dinamika wilayah teritorial dan batas-batasnya, bahkan juga legitimasi pemerintahan.
Secara umum proses terbentuknya wilayah teritorial Republik Indonesia selama periode
1945-1949 berlangsung melalui tiga fase, yakni Fase Proklamasi dan Kontrol Awal (1945-1946),
Fase Kedua: Agresi Militer Belanda dan Fragmentasi Wilayah (1947–1948), dan Fase Ketiga:
Diplomasi dan Pengakuan Internasional (1948–1949). Melalui ketiga fase ini, wilayah teritorial
Republik Indonesia dan batas-batasnya secara politis mengalami proses pembentukan, meskipun
belum mencapai titik akhir hingga dekade berikutnya. Masa perjuangan mempertahankan
kemerdekaan menyisakan masalah Papua sebagai wilayah sengketa antara Pemerintah RI dengan
Kerajaan Belanda yang belum terselesaikan melalui Konferensi Meja Bundar (KMB).
Dalam fase pertama (1945–1946), yakni segera setelah proklamasi, wilayah territorial
Indonesia mengalami perubahan cepat. Saat proklamasi wilayah territorial Republik Indonesia
adalah bekas wilayah Hindia-Belanda. Akan tetapi, kehadiran pasukan Sekutu (terutama pasukan
Inggris) telah mengurangi wilayah territorial Indonesia. Beberapa wilayah seperti Borneo,
Sulawesi, Sunda Kecil, dan Maluku berhasil dikembalikan kepada Belanda.5 Dengan bantuan
Sekutu, kekuasaan kolonial Belanda hendak ditegakkan kembali melalui Pemerintahan Sipil
3 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta), 442-442.
4 Mohammad Hatta, “Tudjuh Belas Agustus 1947”, Kumpulan Karangan IV (Jakarta: Penerbitan dan Balai Buku
Indonesia, 1954), 253.
5 Mohammad Hatta, “Tudjuh Belas Agustus 1947”, 253.
Hindia Belanda (NICA) di bekas wilayah Hindia Belanda yang di atasnya telah berdiri negara dan
pemerintahan baru bernama Republik Indonesia. Ketegangan meningkat, tetapi upaya diplomatik
awal seperti Perjanjian Linggarjati pada tahun 1946 mengakui kontrol de facto Republik atas
sebagian wilayah Indonesia, yakni Jawa dan Sumatera,6
yang menjadi landasan bagi negosiasi
antara kedua belah pihak di tahun-tahun berikutnya.
Fase kedua (1947-1948) ditandai oleh serangan militer Belanda yang dikenal sebagai
Agresi Militer Belanda I pada bulan Juli 1947 dan Agresi Militer Belanda II pada bulan Desember
1948. Serangan-serangan militer yang dilancarkan Belanda bertujuan untuk menghancurkan
Republik dan membangun kembali kendali Belanda. Hasilnya, Belanda berhasil menduduki
sebagian wilayah Jawa dan Sumatra dan mendirikan sejumlah negara federal, seperti Negara
Indonesia Timur. Upaya-upaya ini ditempuh untuk melemahkan klaim Republik atas persatuan
nasional dengan mempromosikan struktur federal di bawah pengaruh Belanda. Akibat Agresi
Militer Belanda I dan kesepakatan dalam Perjanjian Renville yang ditandatangani 9 Januari 1948
membuat wilayah territorial Republik Indonesia tinggal sebagian Jawa Tengah dan Jawa Timur,7
jauh lebih sempit dibanding yang disepakati dalam Perjanjian Linggarjati. Segi positif yang diraih
Indonesia dari aksi militer Belanda adalah meminjam istilah Hatta, “soal Indonesia” menjadi “soal
internasional” dan “Republik Indonesia telah masuk gelanggang politik internasional”.8
Fase ketiga adalah diplomasi dan pengakuan internasional (1948–1949). Fase ini ditandai
dengan besarnya perhatian internasional, khususnya dari negara-negara yang baru merdeka
terutama India dan negara-negara besar seperti Amerika Serikat. Hal ini mengubah keadaan
menjadi lebih menguntungkan bagi Indonesia. Perserikatan Bangsa-Bangsa membentuk Komite
Jasa Baik (yang kemudian menjadi Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia) untuk
menjadi penengah antara Belanda dan Republik. Kegagalan Agresi Militer Belanda II untuk
merobohkan RI, ditambah dengan meningkatnya tekanan global, menyebabkan diadakannya
Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada akhir 1949. Dalam perundingan Belanda setuju untuk
menyerahkan kedaulatan kepada negara federal baru bernama Republik Indonesia Serikat (RIS)
yang meliputi Republik Indonesia dengan wilayah sesuai Perjanjian Renville, ditambah dengan 15
negara bagian/daerah otonom yang tergabung dalam RIS.9 Perjanjian ini menandai berakhirnya
secara resmi pemerintahan kolonial Belanda dan dimulainya kedaulatan Indonesia di bawah
6 R.Z. Leirissa, “Jalur Linggarjati”, dalam A.B. Lapian dan P.J. Drooglever (Penyunting), Menelusuri Jalur
Linggarjati (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992), 4.
7 Ricklefs, Sejarah Indonesia, 476-477.
8 Mohammad Hatta, “Dua Tahun Merdeka”, Kumpulan Karangan IV (Jakarta: Penerbitan dan Balai Buku Indonesia,
1954), 248.
9 Agus Setiawan, Rita Krisdiana dan Allan Akbar, Konferensi Meja Bundar: Jalan Menuju terbentuknya Bank Sentral
Republik Indonesia (Jakarta: Bank Indonesia Institute, 2023), 200
kerangka federal, yang tidak lama kemudian bertransformasi menjadi Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) pada 17 Agustus 1950. Wilayah territorial Indonesia sebagai transformasi RIS
meliputi bekas Hindia-Belanda, kecuali Papua Barat.
Identitas teritorial Indonesia yang diperjuangkan tidak terbatas pada daratan, melainkan
juga wilayah perairannya. Peristiwa di perairan Cirebon menjelang Perjanjian Linggajati dimana
delegasi Belanda terpaksa menerima kawalan ALRI menunjukkan keberhasilan memaksa Belanda
mengakui kekuasaan perairan teritorial Indonesia.10 Sebagai negara kepulauan yang terdiri dari
ribuan pulau, identitas dan persatuan Indonesia sangat terkait dengan perairan di sekitarnya. Dalam
konteks wilayah kepulauan Nusantara, perairan adalah penghubung.11 Selama berabad-abad,
penduduk di Nusantara menyebar dan berinteraksi dengan menggunakan jalur laut. Konsepsi
wilayah laut sebagai jalur penghubung dalam kesadaran mayoritas masyarakat Indonesia
tampaknya melemah pada masa Hindia Belanda, yang berorientasi pada eksploitasi agraris, dan di
masa Jepang yang menekankan ekonomi autarki. Bahkan dalam konteks sejarah perdagangan antar
pulau Indonesia, periode Jepang disebut periode gelap.12
Akan tetapi, periode revolusi menyadarkan kembali pentingnya kedaulatan Indonesia atas
wilayah perairannya. Blokade laut yang dilakukan Angkatan Laut Belanda mendatangkan banyak
kesulitan bagi Indonesia yang secara ekonomi karena sumber pemasukan utamanya sangat
bergantung pada kegiatan perdagangan ekspor dan impor terutama melalui Singapura. Blokade
dilakukan Belanda untuk melumpuhkan pemerintah Republik dan membuka jalan untuk
penguasaan kembali bekas koloninya. Oleh karena itu, pemerintahan Republik berusaha keras
untuk menembus blokade Belanda dan salah satu caranya adalah dengan melakukan kegiatan
penyelundupan. Operasi ini melibatkan sejumlah tokoh dan jejaring, moda pengangkutan dan rute
tempuh, serta produk-produk penting yang diselundupkan masuk dan keluar Indonesia melalui
Singapura.13 Kegiatan penyelundupan ke dan dari Singapura menjadi penting secara strategis dan
simbolis bagi eksistensi Indonesia karena membangkitkan kesadaran pentingnya menegakkan
kedaulatan maritim negara di masa depan. Tanpa kedaulatan atas wilayah perairan, eksistensi
Republik Indonesia akan rentan terhadap ancaman yang datang dari kekuatan asing. Pengalaman
masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan menyadarkan adanya kebutuhan penting untuk
10 Burhanuddin Sanna, Pahlawan Samudera Kapten Samadikun (Jakarta: Dinas Sejarah TNI-AL, 1976), 24-25.
11 J.S. Furnivall, Netherlands India: A Study of Plural Economy (Cambridge: Cambridge University Press,1967), 4.
12 Singgih Tri Sulistiyono, “The Java Sea Network: Pattern in the Development of Interregional Shipping and Trade
in the Process of National Economic Integration in Indonesia, 1870s-1970s”, PhD Thesis, Universiteit Leiden, 2003,
210.
13 Lesta Alfatiana dan Ayu Wulandari, “Di Balik Layar Penyelundupan: Tokoh-Tokoh Dalam Perdagangan Gelap
Pemerintah Republi di Singapura, 1947-1949”, Lembaran Sejarah, 18(1), 2022; Kustiniyati Mochtar (ed), Memoar
Pejuang Republik Indonesia Seputar “Zaman Singapura” 1945-1970 (Jakarta: PT Gramedia, 1992).
memperlakukan perairan bukan sebagai pemisah, melainkan sebagai penghubung yang mengikat
kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan territorial yang tidak terpisahkan.
Selama perang kemerdekaan, perairan Indonesia juga berfungsi sebagai rute penting untuk
komunikasi, transportasi, dan rantai pasokan yang menghubungkan pulau-pulau di bawah kendali
Republik. Koridor maritim ini sangat diperlukan untuk pergerakan bahan makanan, produkproduk perdagangan, senjata, logistik dan perlengkapan militer, khususnya antara Jawa, Sumatra,
dan wilayah penting lainnya. Kontrol atas wilayah pesisir menjadi sangat penting secara strategis,
karena menawarkan posisi untuk pertahanan dan dukungan logistik dalam menghadapi serangan
militer Belanda. Kaum pejuang kemerdekaan dan masyarakat lokal diuji kemampuan
kemaritimannya dalam menggunakan perahu/kapal, rute dan pengetahuan tradisionalnya agar
hubungan antarpulau tetap berlangsung di tengah situasi darurat dan blokade laut yang
diberlakukan Belanda. Pengalaman sulit pada masa ini menggarisbawahi pentingnya ruang
maritim sebagai bagian dari wilayah teritorial negara.
Perjuangan kemerdekaan mendorong pergeseran konseptual dalam cara orang Indonesia
memandang wilayah maritim mereka. Secara tradisional, hukum kolonial yang menetapkan batas
laut teritorial sejauh 3 mil, memperlakukan laut antarpulau sebagai perairan internasional.
Ketentuan ini secara efektif membagi dan memisahkan banyak pulau yang menyusun wilayah
territorial negeri kepulauan. Namun, semangat revolusioner dan kebutuhan akan persatuan
nasional membawa pada kesadaran bahwa laut antarpulau merupakan bagian integral dari
kedaulatan Indonesia. Hal ini pada akhirnya menghasilkan perumusan Wawasan Nusantara, yang
memandang daratan dan lautan sebagai satu kesatuan. Meskipun doktrin ini secara resmi baru
dideklarasikan kemudian pada tahun 1957 melalui Deklarasi Djuanda dengan konflik atas Papua
sebagai pemicu urgensinya,14 pengalaman perjuangan pada masa perang dan kesadaran ruang
maritim yang strategis selama periode kemerdekaan adalah faktor kondisional. Dengan kata lain,
perjuangan untuk kemerdekaan juga meletakkan dasar bagi klaim Indonesia di masa depan atas
wilayah maritimnya di panggung internasional.
Selain wilayah territorial, masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan juga menjadi
fase penting dalam dekolonisasi ekonomi yang prosesnya lebih rumit dan lebih lama dibanding
dekolonisasi politik. Pemerintah RI bertekad merombak ekonomi kolonial yang merusak
kehidupan rakyat. Daya rusak kapitalisme jajahan yang dipraktikkan Belanda sangat besar karena,
seperti ditegaskan Hatta dalam pidato radio pada 17 Agustus 1946, kapitalisme jajahan melakukan
14 Yuda B. Tangkilisan, “Sovereignty on Seas: The Making of the Declaration of Djuanda 1957”, Proceedings of the
fourth Asia-Pacific Research in Social Sciences and Humanities, Arts and Humanities Stream (AHS-APRISH 2019).
penindasan ganda, yakni “penindasan kapital dan penindasan ras”.15 Penindasan ini memantik
reaksi kuat dalam bentuk semangat nasionalisme ekonomi. Gagasan kunci ideologi ini adalah
keyakinan bahwa sumber daya dan industri Indonesia harus melayani kepentingan rakyat, bukan
kepentingan asing. Kebijakan Indonesianisasi dan nasionalisasi kelembagaan dan asset ekonomi
yang dilakukan pasca proklamasi merefleksikan nasionalisme ekonomi. Pemerintah mendirikan
lembaga-lembaga ekonomi nasional yang penting, seperti pendirian BNI 1946 menjadi salah satu
institusi keuangan yang penting sebagai bank sentral Republik Indonesia.16 Lalu melakukan
penerbitan mata uangnya sendiri yang dikenal dengan nama Oeang Republik Indonesia (ORI)17
dan mempromosikan koperasi sebagai institusi vital untuk memberdayakan rakyat Indonesia.
Perjuangan Indonesia untuk kemerdekaan dari tahun 1945 hingga 1949 bukan hanya
revolusi politik dan militer, tetapi juga perlawanan budaya. Dalam menghadapi penindasan
kolonial dan konflik bersenjata, budaya menjadi alat yang ampuh untuk perlawanan, persatuan,
dan identitas nasional. Di seluruh Nusantara, seniman, penulis, musisi, pendidik, jurnalis, dan atlet
berkontribusi pada semangat kemerdekaan dengan mengekspresikan harapan, perjuangan, dan
cita-cita revolusi. Ekspresi budaya seperti lagu, puisi, sastra, surat kabar, siaran radio, pendidikan,
dan olahraga memainkan peran penting dalam membentuk kesadaran nasional bersama,
memperkuat solidaritas, dan menginspirasi masyarakat untuk memperjuangkan kebebasan.
Periode ini meletakkan dasar bagi budaya Indonesia modern yang sangat terkait dengan nilai-nilai
patriotisme, persatuan, dan ketahanan.
Selama perjuangan kemerdekaan, seni menjadi media yang digunakan oleh masyarakat
Indonesia untuk mengekspresikan perlawanan dan aspirasi mereka. Penulis dan penyair seperti
Chairil Anwar dan Idrus menggunakan karya mereka untuk menyuarakan intensitas emosional
saat itu—kesedihan, perlawanan, harapan, dan kebanggaan. Lagu-lagu seperti Halo-Halo Bandung
dan Indonesia Raya bukan hanya sekadar hiburan, tetapi juga lagu perlawanan, yang menggalang
dukungan masyarakat. Seniman visual membuat poster propaganda yang menyampaikan pesan
perlawanan dan patriotik yang kuat, yang sering dipajang di ruang publik atau dipublikasikan di
media cetak. Sebagai bentuk perlawanan, poster-poster propaganda menggambarkan Belanda
serba negatif atau yang diistilahkan Yuanda Zara dengan “demonisasi visual terhadap Belanda”.
Belanda dan tokoh-tokoh Belanda digambarkan misalnya sebagai monster jahat, tuan besar jahat
dan egois, tentara rakus dan kejam tapi lemah, Vander Plas: penjajah, pengadu domba dan dalang
15Mohammad Hatta, “Satu Tahun Indonesia Merdeka”, Kumpulan Karangan IV (Jakarta: Penerbitan dan Balai Buku
Indonesia, 1954), 247.
16 Agus Setiawan, Rita Krisdiana dan Allan Akbar, Konferensi Meja Bundar, 126-142.
17 Nawiyanto, Tony N. Tjahjono, dan Mirza Ardi Wibawa, Rupiah untuk Kedaulatan Negara (Jakarta: Bank Indonesia
Institute, 2024), 126-134.
jahat, serta Van Mook: Si pengadu domba dan dalang jahat.18 Bentuk-bentuk kreatif ini berakar
kuat dalam pengalaman kolektif perjuangan dan menjadikannya instrumen yang kuat untuk
mobilisasi emosional dan ideologis.
Selain seni, ekspresi budaya lainnya berupa radio dan surat kabar. Keduanya memainkan
peran penting dalam menginformasikan, menyatukan, dan menginspirasi penduduk Indonesia
selama periode revolusioner. Radio Republik Indonesia (RRI) yang didirikan tak lama setelah
proklamasi pada tahun 1945 menjadi suara Republik, menyiarkan pidato, lagu-lagu patriotik,
berita revolusioner, dan berita terkini dari garis depan. Meskipun Belanda berupaya untuk
menekannya, RRI tetap beroperasi dari berbagai kota, memastikan bahwa semangat Republik
mencapai bahkan ke daerah-daerah yang paling terpencil. Sementara itu, surat kabar revolusioner
seperti Suara Asia, Merdeka, dan Indonesia Raya menerbitkan berita, tajuk rencana, kartun politik,
dan literatur yang menentang narasi kolonial dan memperkuat sentimen nasionalis. Platform media
massa ini penting dalam membentuk opini publik dan menjaga persatuan nasional selama konflik.
Perlu ditambahkan pula, pendidikan ikut memberi sumbangan penting dalam perjuangan
kemerdekaan. Selain partisipasi kaum pelajar dalam bentuk kelasykaran dengan terlibat di medan
perang, sektor pendidikan terus beroperasi meskipun dengan sumber daya terbatas. Penggunaan
Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar utama merupakan tindakan budaya dan politik, yang
mendorong persatuan dan menjauhkan sistem pendidikan dari akar kolonialnya. Pendidikan
revolusioner menanamkan nilai-nilai patriotik, meningkatkan kesadaran politik, dan
memberdayakan generasi muda untuk berpartisipasi aktif dalam masa depan bangsa.
Masa perjuangan kemerdekaan dari tahun 1945 hingga 1949 membentuk dan
mengokohkan nilai-nilai keiindonesian terutama patriotisme, militansi, persatuan, gotong-royong,
dan pengorbanan. Patriotisme merupakan kekuatan pendorong di balik tekad rakyat Indonesia
untuk memperjuangkan kemerdekaan selama revolusi. Kecintaan terhadap tanah air ini melampaui
kepentingan pribadi, karena individu dari semua lapisan masyarakat secara aktif melawan
kekuatan kolonial. Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, memicu gelombang
antusiasme dan komitmen untuk mempertahankan kedaulatan bangsa, bahkan dalam menghadapi
kekuatan militer yang luar biasa. Rasa patriotisme yang mendalam ini tidak hanya memotivasi
para pejuang di medan perang tetapi juga mengilhami warga sipil untuk berkontribusi dengan cara
apa pun yang mereka bisa, mulai dari menyebarkan informasi hingga menyediakan makanan dan
tempat tinggal. Penyerahan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949 yang menandai
18 Muhammad Yuanda Zara, “Demonisasi Visual terhadap belanda pada masa Revolusi Indonesia,” dalam dalam
Bambang Purwanto, Abdul Wahid, Gerry van Klinken, Martijn Eickof, Yulianti, dan Ireen Hoogenboom (Editor),
Dunia Revolusi: Perspektif dan Dinamika Lokal pada Masa Perag Kemerdekaan Indonesia, 1945-1949 (Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2023).
berakhirnya kekuasaan kolonial secara resmi memperkuat bangsa Indonesia untuk memegang nilai
bahwa kemerdekaan diraih melalui perjuangan dan bukan sekadar pemberian cuma-cuma.
Terdapat pula militansi sebagai nilai khas perjuangan kemerdekaan Indonesia, khususnya
selama tahun-tahun revolusi 1945 hingga 1949, ketika rakyat Indonesia mempertahankan republik
yang baru diproklamasikan dari upaya rekolonisasi Belanda. Militansi ini terwujud tidak hanya
melalui perlawanan militer yang terorganisasi yang dilancarkan Tentara Republik Indonesia, tetapi
juga keterlibatan kaum sipil dalam perjuangan bersenjata. Salah satu sumber utama militansi
dalam perjuangan adalah ideologi perang jihad dalam Islam, tentang pengorbanan dan janji pahala
bagi mereka yang mati syahid dalam perjuangan. Resolusi jihad diserukan dalam berbagai
pertemuan para ulama di Jawa dan Sumatera di bulan-bulan setelah proklamasi.19 Militansi juga
tampak jelas dalam slogan “Merdeka atau Mati” dan tekad “lebih baik hancur lebur daripada
dijajah kembali”,20 yang mengekspresikan sikap tak kenal kompromi yang diambil oleh kaum
pejuang. Pertempuran Surabaya pada bulan November 1945 merupakan salah satu contoh paling
jelas dari semangat militansi ini, di mana ribuan pemuda dan pejuang terlibat dalam pertahanan
kota yang sengit dan berani mati menghadapi pasukan Inggris dan Belanda.
Selain itu, nilai lainnya yaitu persatuan yang merupakan nilai dasar dalam perjuangan
kemerdekaan Indonesia. Persatuan berfungsi sebagai kekuatan vital yang menyatukan berbagai
komunitas etnis, budaya, dan agama di kepulauan ini dalam upaya mencapai identitas nasional
bersama. Meskipun wilayah geografisnya sangat luas dan terdapat perbedaan sosial budaya di
antara penduduk Indonesia, proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 menandai
tekad kolektif untuk melawan penjajahan. Para pemimpin nasionalis seperti Sukarno dan
Mohammad Hatta menekankan pentingnya persatuan sebagai hal yang utama dalam pembentukan
negara-bangsa Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika atau yang diistilahkan Hatta “persatuan dalam
puspa ragam”,21 merangkum tekad persatuan untuk Indonesia yang sangat heterogen. Sukarno
menyatakan bahwa perbedaan ciri-ciri fisik seperti warna kulit, bentuk hidung dan dahi, tinggi
tubuh di antara etnik-etnik di Nusantara tidak menjadikan mereka orang asing dan orang-orang
pulau karena mereka adalah orang-orang Indonesia dan mereka adalah satu di bawah moto
Bhinneka Tunggal Ika.22 Dalam pidato proklamasi juga dinyatakan, “Kami bangsa Indonesia
dengan ini menjatakan Kemerdekaan Indonesia,” sebuah pernyataan yang merangkum visi inklusif
persatuan nasional yang melampaui batas-batas suku, ras, agama, dan berbagai pembeda lainnya.
19 Anthony Reid, Revolusi Nasional Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), 92-93.
20 William H. Frederick, Pandangan dan Gejolak: Maysrakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya
1926-1946 (Jakarta: Yayasan Karti Sarana dan PT Gramedia, 1989), 342-343.
21 Mohammad Hatta, “Kemana Arah Kebudajaan Kita?” dalam Kumpulan Karangan IV (Jakarta: Penerbitan dan
Balai Buku Indonesia, 1954), 88.
22 Donald Wilhelm, Emerging Indonesia (Jakarta: Indira, 1980), 18.
Selama periode 1945-1949, persatuan bukan hanya cita-cita aspiratif tetapi nilai yang dihayati dan
dimobilisasi yang memberdayakan perlawanan Indonesia sehingga pada akhirnya berhasil
mendapatkan pengakuan kedaulatan pada 1949. Pengalaman masa perjuangan mempertahankan
kemerdekaan membuktikan bahwa meskipun ada perbedaan, rakyat Indonesia dapat bersatu untuk
meraih tujuan yang sama, yakni mempertahankan kemerdekaan dari ancaman musuh.
Semangat gotong royong, atau kerja sama timbal balik, juga muncul sebagai nilai utama
selama revolusi. Menghadapi keterbatasan sumber daya dan militer kolonial yang lebih maju,
masyarakat Indonesia mengandalkan solidaritas komunal untuk bertahan hidup dan berjuang.
Desa-desa menjadi pusat dukungan tempat orang-orang berbagi makanan, intelijen, dan tenaga
kerja untuk membantu revolusi. Gotong royong mencerminkan ketahanan masyarakat dan menjadi
perekat sosial yang menyatukan masyarakat di masa-masa sulit. Masa perjuangan
mempertahankan Kemerdekaan Indonesia menjadi momen krusial dalam aktualisasi nilai
kegotong-royongan. Menurut Sukarno, “gotong-royong” adalah kosa kata tulen Indonesia, yang
merangkum hasil perasan dari lima mutiara berharga yang disebutnya dengan nama Pancasila.
Sukarno lebih jauh menyatakan, “Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan
keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua.”23
Nilai yang dijunjung tinggi dan sangat dihormati selama perang kemerdekaan adalah
pengorbanan. Masa perjuangan kemerdekaan diwarnai kesiapan menghadapi kesulitan dan
kerelaan menanggung penderitaan, bahkan mengorbankan nyawa demi kemerdekaan. Sebuah
perkiraan sarjana Belanda menyebutkan paling tidak sekitar 100.000 orang Indonesia menjadi
korban tewas pada masa perang ini. Di antara korban tewas adalah 2.500 orang yang tewas dalam
pertempuran di Surabaya,24 3.500 orang yang dilaporkan tewas dieksekusi militer Belanda di
Sulawesi Selatan antara Desember 1946-Februari 1947,25 dan terdapat pula sederet kasus korban
tewas lainnya akibat kekerasan yang dilakukan militer Belanda. Pada akhir tahun 1949 sebanyak
116 penduduk di berbagai desa di Sukabumi tewas ditembaki militer Belanda, dan tidak lama
kemudian disusul dengan 77 kematian akibat tindakan serupa.26
Kisah-kisah para pejuang yang
23 Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Bangsa Indonesia (Jakarta: PT Media Pressindo dan Yayasan Bung
Karno, 2012), 242.
24 Frederick, Pandangan dan Gejolak, 356.
25 Thijs Brocades Zaalberg dan Bart Luttikhuis, “Melampau Peringkat Kesalahan Kolonial,“ dalam Tim Penulis
ODGOI, Melewati Batas: Kekarasan Ekstrem Belanda dalam Perang Kemerdekaan, 1945-1946 (Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2023), 336-338.
26 Roel Frakking dan Martijn Eijkoff, “Dunia Revolusi: Legitimasi, Kekerasan, dan Loyalitas Selama Perang
Kemerdekaan”, dalam im Penulis ODGOI, Melewati Batas: Kekarasan Ekstrem Belanda dalam Perang
Kemerdekaan, 1945-1946 (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2023), 160-162; Roel Frakking, “Semakin
Keras Mereka Bertindak, akan Semakin Keras Permusuhan: Dinamika Kekerasan di Sulawesi Selatan,” dalam
Bambang Purwanto, Abdul Wahid, Gerry van Klinken, Martijn Eickof, Yulianti, dan Ireen Hoogenboom (Editor),
Dunia Revolusi: Perspektif dan Dinamika Lokal pada Masa Perag Kemerdekaan Indonesia, 1945-1949 (Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2023), 264.
gugur di medan perang dan rakyat desa yang berkorban dengan menyumbangkan harta miliknya
untuk mendukung perjuangan menjadi bentuk-bentuk nyata pengorbanan. Dalam pidato radio
memperingati lima tahun kemerdekaan pada 17 Agustus 1950, Mohammad Hatta mengakui nilai
pengorbanan ini. “Banjak sekali kurban jang harus diberikan dalam perjuangan lima
tahun…Kurban jiwa pemuda, pahlawan dan perwira….Kurban perasaan karena harus menderita
berbagai kesulitan jang hanja dapat diatasi dengan kejakinan….mendatangkan Indonesia yang
merdeka dan berdaulat….Kurban harta benda jang tidak sedikit sebagai akibat daripada
pertempuran, jang diderita dan diterima oleh rakjat dengan hati sabar jang tidak berhingga.”27
Perjuangan kemerdekaan Indonesia dari 1945 hingga 1949 bukan hanya momen penting
dalam mengamankan kebebasan dari penjajahan, tetapi juga periode dasar yang membentuk masa
depan negara dalam politik, ekonomi, urusan militer, dan kebijakan luar negeri. Saat Republik
berjuang untuk menegaskan kedaulatannya, secara bersamaan ia menetapkan prinsip, lembaga,
dan strategi yang akan memengaruhi arah nasionalnya dalam beberapa dekade berikutnya.
Revolusi tersebut menanamkan semangat nasionalisme, kemandirian, dan perlawanan terhadap
dominasi asing—nilai-nilai yang tertanam kuat dalam kebijakan Indonesia pascakemerdekaan.
Revolusi nasional juga mengajarkan Indonesia pentingnya dukungan internasional bagi eksistensi
negara. Warisan masa perjuangan kemerdekaan Indonesia menjangkau jauh dan mempengaruhi
perkembangan Indonesia dalam memperkuat persatuan dan kesatuan, membangun ekonomi
nasional demi terwujudnya masyarakat adil dan makmur, serta mengarahkan diplomasi
internasional masa selanjutnya.
Berakhirnya periode 1945-1949 ternyata juga masih menyisakan pertentangan di kalangan
bangsa Indonesia sendiri yakni kelompok yang berorientasi sosialis-komunis dengan nasionalis
dan agama. Apakah representasi keduanya terbelah ke dalam pandangan yang menganggap
“Revolusi belum selesai” dan “Revolusi sudah selesai”. Mohammad Hatta mewakili yang
berpandangan bahwa sesudah pengakuan kedaulatan maka “revolusi sudah selesai”, namun
sebaliknya Sukarno mengatakan “revolusi belum selesai”. Bagi Mohammad Hatta, setelah periode
perang kemerdekaan, bangsa Indonesia tinggal lagi memperbaiki kerusakan prasarana dan sarana
serta tatanan kehidupan akibat peperangan. Bagi Sukarno, di sisi lain, meskipun penjajahan
Belanda sudah berakhir, tetapi kolonialisme dan imperialisme masih terus mengancam
kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, semangat untuk melawannya harus dikobarkan dengan
slogan “revolusi belum selesai”. Sejarah pun kemudian mencatat bahwa dinamika revolusioner
berakhir dengan terjadinya tragedi nasional 1965, diganti dengan slogan “pembangunan”
27 Mohammad Hatta, “Pelaksanaan negara Kesatuan Republik Indonesia 5 Tahun,” dalam Kumpulan Karangan IV
(Jakarta: Penerbitan dan Balai Buku Indonesia, 1954), 263.
SISTEMATIKA PENULISAN
PENDAHULUAN
BAB 1. Masa Akhir Penjajahan Jepang
Pengantar
1.1. Kesadaran Nasionalis dan Identitas Politik
1.2. Nasionalisme Islam
1.3. Disiplin dan Budaya Militer
1.4. Bahasa Indonesia sebagai Indentitas Nasional
1.5. Perubahan Sosial dan Perlawanan
Penutup
BAB 2. Dari Perang Dunia II ke Proklamasi: Menegakkan Kedaulatan Negara
Pengantar
2.1. Situasi Menjelang Proklamasi
2.1.1. Perang Pasifik
2.1.2. Janji Jepang
2.1.3. Amanat dari Dalat, Saigon
2.2. Proklamasi Kemerdekaan
2.2.1. Seputar Proklamasi
2.2.2. Penyebaran Berita Proklamasi
2.2.3. Peristiwa Rapat Ikada
2.3. Revolusi Sosial
2.3.1. Peristiwa Tiga Daerah
2.3.2. Revolusi Sosial di Sumatra Timur
2.3.3. Revolusi Sosial di Aceh
2.3.4. Revolusi Sosial di Surakarta
2.3.5. Revolusi Sosial di Jakarta
2.4. Pembentukan Pemerintahan
2.4.1. Dari kabinet Presidensial ke Parlementer
2.4.2. Dinamika Politik Internal
Penutup
BAB 3. Perjuangan Diplomasi dan Militer
Pengantar
3.1. Perjuangan Diplomasi
3.1.1.Jalan diplomasi
3.1.2.Perundingan Hoge Veluwe
3.1.3.Perjanjian Linggajati
3.1.4.Perjanjian Renville dan keterlibatan PBB
3.1.5.Menuju Kesepakatan Roem-Roijen
3.1.6.Menyatu di Bawah Dwi Tunggal
3.1.7.Konferensi Meja Bundar
3.2. Penggalangan Dukungan Internasional
3.2.1. Diplomasi ke Australia
3.2.2. Diplomasi Beras ke India
3.2.3. Inter Asia Relations Conference
3.2.4. Diplomasi ke Timur Tengah
3.2.5. Diplomasi ke Vatican
3.2.6. New Delhi Conference
3.2.7. Perdebatan dalam Sidang Dewan Keamanan PBB
3.2.8. Diplomat Indonesia di PBB
3.3. Perjuangan Bersenjata
3.3.1. Organisasi Bersenjata di Bawah Pemerintah
3.3.2. Organisasi Bersenjata di Bawah Partai
3.3.3. Organisasi Bersenjata Swadaya
3.3.3.1. Barisan Banteng Republik Indonesia
3.3.3.2. Kebaktian Rakyat Sulawesi
3.3.3.3. Lasykar Rakyat
3.3.3.4. Lasykar Perempuan
3.3.3.5. Barisan Bersenjata dan Lasykar di Sumatra
3.3.3.6. Tentara Pelajar dan Tentara Republik Indonesia Pelajar
3.3.4.Palang Merah Indonesia (PMI)
3.3.5.Perjuangan Fisik
3.3.5.1. Perang Kemerdekaan Fase I (September 1945 – November 1946)
• Perang menghadapi Jepang (Pertempuran Lima Hari di
Semarang, Pertempuran Kota Baru Yogyakarta, Peristiwa
Lengkong Tangerang)
● Perang menghadapi Sekutu + NICA (Pertempuran Surabaya,
Pertempuran Ambarawa, Bandung Lautan Api, Medan Area,
Puputan Margarana, dan lain-lain)
3.3.5.2. Perang Kemerdekaan Fase II
● Agresi Militer Belanda I
● Agresi Militer Belanda II
● Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)
● Siasat Perang Gerilya
● Pertahanan Rakyat Semesta
Penutup
BAB 4. Ancaman Internal: Pemberontakan di Masa Perjuangan
Pengantar
4.1.
Pemberontakan PKI Madiun 1948
4.1.1. Situasi Politik Jelang Pemberontakan
4.1.1.1. Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) Hatta
4.1.1.2. Front Demokrasi Rakyat
4.1.2. Dari Wild West Solo Menuju ke Sasaran Madiun
4.1.3. Proses Pemberontakan
4.1.4. Penumpasan Pemberontakan
4.2. Pemberontakan DI/TII
4.2.1. Sang Tokoh Pergerakan Nasional
4.2.2. Kartosuwirjo dan Pilihan Islamisme
4.2.3. Hijrah dalam Pemikiran Kartosuwirjo
4.2.4. Kartosuwirjo dan Negara Proklamasi RI
4.2.5. Terbentuknya Tentara Islam Indonesia
4.2.6. Proklamasi Darul Islam dan Qanun Asasi DI
4.2.7. DI/TII dan Kekerasan Horozontal pasca KMB di Jabar
4.2.8. Potret Dislokasi Sosial di Titik-titik Konflik
Penutup
BAB 5. Memperjuangkan Kedaulatan Ekonomi
Pengantar
5.1. Kondisi Ekonomi Awal Kemerdekaan
5.2. Kebijakan Ekonomi Masa Awal kemerdekaan
5.2.1. Gagasan dan Rancangan Kebijakan
5.2.2. Bank Negara Indonesia 1946
5.2.3. Penerbitan ORI dan Peredarannya
5.2.4. Perang Uang: Uang Merah versus Uang Putih
5.3. Merebut Aset-Aset Ekonomi
5.3.1. Indonesianisasi Kepemilikan Asing
5.3.2. Menggalang Dana Revolusi
5.3.3. Menembus Blokade Belanda: Penyelundupan lintas batas
5.4. Meletakkan Dasar-dasar Kemakmuran
5.4.1. Pengembangan Sektor Pertanian Rakyat
5.4.2. Perkembangan Koperasi, Perdagangan, Industri dan infrastruktur
Penutup
BAB 6. Aspek Seni Budaya Masa Revolusi
Pengantar
6.1. Organisasi Seni Budaya pada Masa Revolusi
6.1.1.Pusat Badan Kesenian Indonesia (PBKI)
6.1.2.Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA)
6.1.3.Keimin Bunka Shidosho
6.2. Sastra dan Perjuangan
6.3. Seni dan Perjuangan
6.4. Lagu-Lagu Perjuangan
● Karya dan Pencipta Lagu Perjuangan
6.5. Olah Raga dan Perjuangan
6.5.1. Suasana Politik di Seputar Pelaksanaan PON 1948
6.5.2. Misi Politik PON
6.5.3. Solo penyelenggara PON Pertama
6.6. Lukisan dan Perjuangan
6.6.1.Sudjojono
6.6.2.Dullah
6.6.3.Tino Sidin
6.7.Pendidikan dan Perjuangan
6.7.1. Kebijakan Pendidikan
6.7.2.Jenjang Pendidikan pada Awal Kemerdekaan
6.7.3. Perkembangan Institusi Pendidikan
6.7.4. Partisipasi Kaum Terpelajar dalam Perjuangan
6.8. Media Massa dan Perjuangan
6.8.1. Upaya Pemerintah RI Mengelola Informasi Publik
6.8.1.1.Kelahiran PWI dan SPS
6.8.1.2.Kelahiran RRI
6.8.2.RRI Sebagai Media Suara Perjuangan Rakyat
6.8.3. Penerbitan Media Republiken
6.8.3.1. Merdeka
6.8.3.2. Antara
6.8.3.3. Kedaulatan Rakjat
Penutup
BAB 7. Warisan Masa Revolusi
Pengantar
7.1. Warisan Politik
7.1.1.Kekuatan Ketiga
7.1.2.Dari RIS ke Negara Kesatuan
7.1.3.Polarisasi Politik
7.1.4.Institusi Militer
7.1.5.Benih-Benih Disintegrasi
7.2. Warisan Ekonomi
7.2.1.Beban Utang Perang
7.2.2. Kembalinya Perusahaan Belanda
7.2.3. Kembalinya De Javasche Bank
7.2.4. Kerusakan Infrastruktur Ekonomi
7.3. Warisan Diplomasi
7.3.1. Masalah Irian Barat (Papua)
7.3.2. Politik Luar Negeri Bebas Aktif
7.3.3. Hubungan dengan Blok Timur dan Barat
Penutup
PENUTUP
Pembahasan buku ini memperlihatkan bahwa periode 1945–1949 merupakan fase paling
krusial dalam sejarah Indonesia. Pada periode ini Indonesia lahir sebagai negara-bangsa yang
merdeka dan berdaulat. Di tengah kancah politik global yang bergejolak, para pemimpin bangsa
berhasil memadukan semangat nasionalisme, kekuatan militer, dan diplomasi secara cerdas. Dari
proklamasi kemerdekaan yang heroik dan kemudian disambung dengan perjuangan diplomatik
dan militer, terlihat bagaimana persatuan menjadi benteng terkuat melawan ancaman baik dari
dalam maupun luar negeri. Pengorbanan para pejuang, baik yang berjuang di medan perang
maupun di meja perundingan, serta rakyat yang mendukung di garis belakang, menandai sebuah
periode kebangkitan di mana setiap elemen masyarakat, dari kaum intelektual hingga rakyat jelata,
bersatu untuk mengukir sejarah. Pada periode ini pula kesadaran kolektif bangsa Indonesia tentang
arti kemerdekaan, kedaulatan, dan identitas nasional memperoleh wujud nyata, setelah tumbuh
dan berkembang sebagai gagasan pada masa Hindia-Belanda dan dimatangkan pada masa
penjajahan Jepang. Periode 1945-1949 bukan sekadar masa perjuangan mempertahankan
kemerdekaan dari ancaman kolonialisme Belanda yang ingin kembali berkuasa, melainkan juga
fase penting terbentuknya identitas nasional, kristalisasi nilai-nilai ke-Indonesiaan, dan tampilnya
agensi orang-orang Indonesia dalam panggung nasional dan global. Pada masa ini pulalah pilarpilar dasar negara dibangun, identitas nasional ditegaskan, solidaritas dan komitmen kebangsaan
diuji serta diperkuat melalui jalan terjal penuh tantangan, baik secara fisik melalui perlawanan
bersenjata maupun secara diplomatik melalui perundingan-perundingan yang menentukan nasib
Republik.
Perjalanan dari proklamasi kemerdekaan hingga pengakuan kedaulatan yang diperoleh
Indonesia di Konferensi Meja Bundar pada 1949 menunjukkan dinamika yang kompleks dan
penuh tantangan. Di satu sisi, terlihat jelas bagaimana pemerintah Indonesia berupaya keras
membangun struktur pemerintahan yang kokoh, dari pembentukan kabinet hingga lembagalembaga negara dan organ-organ pemerintahan. Di sisi lain, ancaman disintegrasi muncul dalam
berbagai bentuk, mulai dari pemberontakan bersenjata seperti PKI Madiun dan DI/TII di Jawa
Barat hingga polarisasi politik yang semakin tajam antara berbagai elemen bangsa dan kekuatan
perjuangan pendukung revolusi kemerdekaan. Pemberontakan PKI di Madiun dan DI/TII di Jawa
Barat pada masa revolusi ini mencerminkan konflik tentang arah dan fondasi negara yang hendak
dibangun. Kedua pemberontakan ini hendak membajak Republik demi ideologi transnasional,
komunisme sebagaimana dikehendaki PKI atau Islam bagi DI/TII. Kegagalan dua pemberontakan
itu menunjukkan bahwa mayoritas rakyat lebih memilih jalan nasionalisme yang berakar pada
nilai-nilai keindonesiaan yang bersifat pluralistik dan inklusif di mana kebhinekaan dihargai.
Seluruh peristiwa ini menjadi cerminan bahwa proses pembentukan negara-bangsa bukan hanya
tentang deklarasi, tetapi juga tentang bagaimana mengelola perbedaan dan mengatasi konflik demi
satu tujuan bersama, yakni tegaknya kedaulatan negara-bangsa berdasarkan ideologi Pancasila,
bukan negara komunis atau negara agama, sebagai salah satu unsur utama identitas nasionalnya.
Perjuangan mempertahankan kemerdekaan bukan hanya soal politik dan militer, tetapi juga secara
esensial berhubungan dengan soal ekonomi. Tatanan ekonomi kolonial yang eksploitatif dan
menyengsarakan rakyat hendak dirombak dan digantikan dengan tatanan ekonomi nasional yang
berkeadilan dan menyejahterakan rakyat melalui pintu gerbang kemerdekaan. Periode 1945–1949
menjadi fase historis yang sarat makna karena menjadi momen konsolidasi antara cita-cita politik
dan ekonomi bangsa Indonesia yang merdeka. Proklamasi 17 Agustus 1945 bukan hanya menjadi
penanda berakhirnya status bangsa terjajah, tetapi juga menjadi landasan membangun ekonomi
nasional yang berdaulat. Dalam suasana perang dan krisis, Indonesia tidak hanya mengandalkan
kekuatan senjata dan diplomasi, tetapi juga berjuang untuk merebut aset-aset dan sumberdaya
ekonomi yang sebelumnya dikuasai kaum penjajah. Peran berbagai elemen masyarakat begitu
sentral dalam menopang revolusi, baik melalui dukungan finansial maupun keterlibatan langsung
dalam perjuangan revolusi. Langkah-langkah strategis seperti pengambilalihan aset asing,
penerbitan uang republik, dan pembentukan lembaga keuangan nasional mencerminkan kesadaran
bahwa kemerdekaan sejati tidak dapat dicapai tanpa kemandirian ekonomi. Di tengah
keterbatasan, para pemimpin bangsa tetap berupaya membangun fondasi ekonomi yang kuat
dengan mendorong bidang pertanian, industri rakyat, dan distribusi kebutuhan pokok secara
merata. Semangat gotong royong dan partisipasi luas masyarakat dalam perjuangan revolusi
menegaskan bahwa kemerdekaan bukan hanya milik segelintir elit, melainkan hasil perjuangan
kolektif yang bertumpu pada nilai-nilai keindonesiaan. Oleh karena itu, masa revolusi bukan hanya
tentang membebaskan diri dari penjajahan, tetapi juga tentang membentuk identitas ekonomi yang
berkeadilan dan berorientasi pada kesejahteraan seluruh rakyat.
Di tengah perjuangan yang tak kenal lelah, aspek-aspek lain dari kehidupan bangsa juga
turut berkembang. Melalui sastra, seni, budaya dan bahkan olahraga pengalaman perjuangan
mempertahankan kemerdekaan dimaknai bersama dan diartikulasikan. Semangat kemerdekaan,
gagasan dan identitas ke-Indonesian sebagai bangsa yang berdaulat diserbarluaskan kepada
khalayak luas. Lagu-lagu perjuangan, lukisan, dan tulisan-tulisan patriotik menjadi saksi bisu
betapa kreativitas seni dan budaya dapat menjadi kekuatan revolusioner. Demikian pula, lembagalembaga pendidikan, media massa, Radio Republik Indonesia dan pemancar radio perjuangan
lainnya telah memainkan peran sentral dalam membangun solidaritas dan menyatukan rakyat
dalam spirit perjuangan kemerdekaan. Patriotisme dan militansi perjuangan bukan hanya tertanam
dalam pertempuran fisik, tetapi juga meresap kuat dalam pelbagai lini kehidupan, membentuk
karakter pejuang yang pantang menyerah dalam melawan penjajahan dengan segala sifat buruknya
dalam rupa pemerasan, penindasan, diskriminasi dan ketidakadilan.
Masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang berpuncak pada pengakuan
kedaulatan Indonesia oleh Belanda meninggalkan warisan historis yang penting untuk dikelola.
Secara politik, pengakuan dari Belanda menegaskan legitimasi Indonesia sebagai negara merdeka,
menyusul dukungan dan pengakuan dari sejumlah negara sahabat. Pencapaian besar ini
menempatkan Indonesia sebagai negara berdaulat di mata dunia. Namun, revolusi juga
meninggalkan benih-benih disintegrasi dan polarisasi politik yang akan terus menjadi tantangan
untuk diselesaikan. Secara ekonomi, bangsa ini mewarisi utang perang yang besar dan kerusakan
infrastruktur. Hal itu memaksa pemerintah untuk bekerja ekstra keras membangun kembali fondasi
dan tatanan ekonomi nasional. Tidak diragukan, warisan dari masa perjuangan 1945–1949
menentukan arah Indonesia pada dekade-dekade berikutnya. Struktur pemerintahan, dinamika
sosio-politik dan ideologi, permasalahan ekonomi, hingga kebijakan luar negeri semuanya berakar
dari pengalaman pada masa perjuangan. Babak baru dalam sejarah bangsa pun dimulai, namun
dengan problem lama yang kompleks dan banyak di antaranya bersifat warisan. Warisan masa
revolusi menjadi ujian berat bagi kepemimpinan nasional di bawah Presiden Sukarno dalam upaya
membangun sebuah negara modern karena menghadapi dinamika politik yang semakin rumit.
Perjuangan membangun negara-bangsa secara politik dan ekonomi, serta meneguhkan identitas
nasional dan persatuan bangsa di tengah-tengah kuatnya dinamika internal maupun arus global
menjadi tantangan yang harus dijawab pemerintah Republik pada 1950-an hingga pertengahan
1960-an dan persoalan ini akan menjadi fokus pembahasan pada jilid selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar