MATERI DISKUSI PUBLIK DRAF PENULISAN BUKU
SEJARAH INDONESIA 2025
JILID 6
PERGERAKAN KEBANGSAAN
EDITOR
Prof. Dr. Purnawan Basundoro, M.Hum.
Prof. Dr. Phil. Gusti Anan, M.Hum.
PENULIS:
Prof. Dr. Phil I Ketut Ardhana, M.A.
Prof. Dr. Farida R. Wargadalem, M.Si.
Dr. Anastasia Wiwik Swastiwi, M.A.
Dr. Abd Rahman Hamid
Dr. Ilham Daeng Makkelo, M.Hum.
Dr. Samidi, M.A.
Dr. Johny Alfian Khusyairi, M.A.
Dr. Nopriyasman, M.Hum.
Drs. Mawardi Umar, M.Hum., M.A.
Pradipto Niwandhono, S.S., M.Hum., Ph.D.
Drs. Ferry Raymond Mawikere, M.Hum., M.A.
Deddy Arsya, M.Hum.
PENDAHULUAN
Jilid ini mengkaji periode 1900–1945 yang merupakan salah satu babak penting dalam sejarah kebangkitan rakyat Indonesia, ketika masyarakat Indonesia bukan sekadar menjadi korban dari eksploitasi kolonialisme Belanda, tetapi tampil sebagai pelaku aktif yang menyusun jalan menuju kemerdekaan.
Di tengah dominasi kekuasaan Hindia Belanda yang memuncak secara teritorial dan administratif, rakyat Indonesia merespons dengan cara-cara kreatif, yaitu mengadaptasi pendidikan kolonial, mengorganisasi pergerakan sosial, dan membangun solidaritas lintas etnis, agama, dan kelas sosial.
Kebijakan-kebijakan kolonial seperti Politik Etis, justru dibalikkan oleh kaum terpelajar menjadi alat untuk membongkar ketimpangan dan mengartikulasikan cita-cita kebangsaan.
Pengalaman hidup sebagai warga jajahan melahirkan kesadaran bersama tentang ketertindasan sekaligus keyakinan akan kemampuan untuk merdeka.
Penjajahan Jepang yang hadir kemudian bukan hanya menggantikan kolonial Belanda, tetapi juga mengakibatkan penderitaan baru sekaligus membuka ruang politis baru melalui mobilisasi massa dan inisiasi pembentukan struktur kenegaraan.
Dalam pusaran perubahan ini, rakyat Indonesia tidak sekadar bertahan, tetapi menyusun ulang arah sejarahnya sendiri yang berpuncak pada semakin matangnya semangat nasionalisme modern dan proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Narasi ini hendak menegaskan bahwa sejarah Indonesia tidak semata tentang dominasi asing, melainkan tentang daya hidup, pilihan-pilihan sadar, dan perjuangan rakyatnya dalam merebut kembali masa depannya yang telah dirampas oleh kekuatan asing.
Sama dengan periode-periode lainnya, ada banyak peristiwa bersejarah yang terjadi di Hindia Belanda pada kurun waktu antara 1900-1945. Sebagian peristiwa tersebut merupakan kelanjutan atau realisasi dari berbagai peristiwa bersejarah yang terjadi pada masa sebelumnya, dan sebagian lagi menjadi dasar dari berbagai peristiwa yang terjadi pada masa berikutnya.
Ekspansi teritorial terbatas yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda pada abad ke-19, misalnya, berubah menjadi penguasaan seluruh kawasan dari Sabang sampai Merauke, sehingga terbentuklah apa yang dinamakan eenheid staat van Nederlandsch Indie (negara kesatuan Hindia Belanda) pada awal abad ke-20. Negara kesatuan Hindia Belanda ini menjadi dasar dari keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak tahun 1945.
Kritik yang diajukan sejumlah politisi dan juga sejarawan Belanda pada dekade-dekade terakhir abad ke-19 terhadap eksploitasi yang berlebihan oleh pemerintahnya di Hindia Timur direspons oleh Ratu Wilhelmina dalam pidatonya 17 September 1901 dengan mengatakan bahwa bangsa Belanda memiliki kewajiban moral untuk meningkatkan kedudukan hukum serta memperbaiki kehidupan sosial-ekonomi penduduk Hindia Belanda.
Pidato Ratu tersebut menjadi dasar pelaksanaan Politik Etis pada awal abad ke-20. Politik Etis mencakup tiga paket kebijakan, dan salah satu di antaranya berupa introduksi pendidikan untuk penduduk tanah jajahan.
Paket kebijakan ini melahirkan kaum terpelajar Bumiputera yang memiliki rasa cinta tanah air dan ingin mengenyahkan kaum kolonialis dari negerinya. Semangat mereka tersebut mampu memerdekakan Indonesia tahun 1945 dan tetap merdeka hingga saat sekarang.
Pembentukan unit-unit administratif berjenjang, mulai dari Onderafdeeling, Afdeeling, Gemeente, Residentie, Gewest, Zelfbestuur, Gouvernement, Provincie hingga tingkat Staatyang mulai gencar diperkenalkan pada abad ke-19 diterapkan secara utuh pada awal abad ke-20, dan menjadi dasar pembentukan unit-unit administrasi pemerintah Republik Indonesia, seperti kecamatan, kabupaten, kota, keresidenan, daerah istimewa atau daerah khusus, provinsi dan negara selepas proklamasi kemerdekaan hingga dewasa ini. Bahkan, nama-nama sebagian besar unit-unit administratif yang dibentuk pada awal abad ke-20 tersebut tetap dipakai hingga saat sekarang.
Ada banyak peristiwa lain yang terjadi pada awal abad ke-20 yang mempunyai keterkaitan, secara langsung atau tidak, dengan masa-masa sebelum dan sesudahnya. Berbagai peristiwa yang terjadi selama empat setengah dekade permulaan abad ke-20 menjadi dasar lahirnya pernyataan kritis analitis mengenai dinamika hubungan kaum kolonialis dan bangsa Indonesia, serta menampilkan sisi-sisi dinamis dan unik sejarah Indonesia saat itu.
Seperti dikemukakan di atas, pada awal ke-20 pemerintah Hindia Belanda betul-betul berhasil menguasai seluruh Hindia Timur. Penguasaan yang menyeluruh ini menjadi dasar dari lahirnya pernyataan kritis bahwa Belanda, sesungguhnya, hanya menguasai seluruh Hindia Belanda dalam waktu sekitar tiga setengah atau empat dekade saja.
Tiga setengah atau empat dekade bukanlah waktu yang lama, namun besar artinya bagi pemerintah Hindia Belanda dan orang Indonesia. Pada kurun waktu yang relatif singkat tersebut pemerintah Hindia Belanda berhasil menegaskan batas-batas teritorial dan administratif negeri jajahannya.
Batas-batas itu bahkan ditegaskan dalam peta wilayah dan administratif yang banyak digantungkan di dinding-dinding kelas (sekolah), kantor-kantor pemerintah, dalam berbagai atlas, buku geografi, buku sejarah, dan buku-buku rujukan lainnya.
Di satu sisi, peta-peta tersebut menyampaikan pesan bahwa pemerintah Hindia Belanda memiliki kedaulatan di wilayah yang termasuk ke dalam peta tersebut, dan di sisi lain peta itu membekas dalam memori orang Indonesia, khususnya penduduk Bumiputera, bahwa mereka merupakan bagian dari negara yang baru dibentuk atau terbentuk tersebut.
Penguasaan yang menyeluruh tersebut memberi peluang bagi pemerintah Hindia Belanda untuk memaksimalkan cengkeraman politik-administrasi, eksploitasi ekonomi dan penetrasi budayanya.
Pada saat itulah pemerintahan sipil dengan struktur dan pranata politikadministrasi yang rumit, mulai dari pusat (Batavia) hingga daerah terpencil, dibentuk dan menjalankan fungsinya. Ada tujuh departemen (kementerian) yang dibentuk, ada ratusan onderafdeeling, puluhan afdeeling, belasan geemente yang dibentuk, serta sejumlah gewest dan daerah swaspraja yang dipertahankan keberadaannya saat itu.
Untuk menjaga pertahanan dan keamanan wilayah yang luasnya sekitar 50 kali lebih luas dari Negeri Belanda, pemerintah memperkuat bala tentara (Leger) dan angkatan lautnya (Zeemacht), serta memperkuat keberadaan polisi (termasuk polisi rahasianya atau yang lazim disebut Politieke Inlichtingen Dienst/PID).
Untuk menciptakan rust en orde (ketenangan dan ketertiban) maka berbagai kerusuhan atau perlawanan (pemberontakan) saat itu, yang umumnya dalam skala kecil, segera ditumpas secara represif dan pelakunya dipenjara serta banyak pula yang dibuang.
Untuk memantapkan kekuasaan, berbagai regulasi (hukum) dibuat. Untuk meningkatkan ‘taraf hidup’ rakyat jajahan (dan juga untuk kemudahan serta keuntungan bagi para pengusaha yang menanamkan modalnya) berbagai paket kebijakan sosial-ekonomi diperkenalkan.
Berbagai prasarana dan sarana transportasi (laut, sungai, dan darat) juga dibangun. Salah satu yang paling besar artinya untuk pembentukan dan menjaga keutuhan negara jajahannya (staatvorming en behouding) adalah pembentukan perusahaan perkapalan nasional Hindia Belanda, Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM). Untuk memudahkan penyampaian informasi antara negeri induk dengan Tanah Jajahan serta antardaerah di negara koloni dihadirkan pelayanan komunikasi berupa pos, telepon dan telegraf.
Di samping itu, industri cetak, penerbitan dan media massa juga diperkenalkan. Tidak itu saja, sebagai respons terhadap perkembangan zaman, maka berbagai kota baru dan modern dengan berbagai fasilitasnya juga dibangun.
Kota pada awal abad ke-20 berkembang menjadi pusat modernitas, diawali dengan ditetapkannya kota-kota penting di Hindia Belanda menjadi kota otonom sebagai implementasi diterapkannya Undang-Undang Desentralisasi (Decentralisatie Wet) tahun 1903.
Undang undang memberi kemudahan bagi pembangunan kota, memungkinkan kota berkembang menjadi kota modern. Infrastruktur perkotaan dan berbagai fasilitas pendukung untuk kehidupan warga yag lebih nyaman.
Kota menjadi ruang terbuka yang bisa diakses oleh semua orang, sekaligus menjadi sumber informasi. Namun demikian, kota juga menjadi etalase paling transparan bagi terbentuknya golongan-golongan sosial yang didasarkan pada warna kulit serta profesi. Pembangunan kota didesain sedemikian rupa untuk menguntungkan golongan Eropa (dan yang disetarakan dengan golongan tersebut), dan merugikan golongan Bumiputera.
Pemerintah kolonial juga membangun fasilitas pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai tinggi. Fasilitas ini pada awalnya lebih banyak diperuntukkan untuk kepentingan pemerintah kolonial, tetapi kebijakan politik etis yang memungkinkan golongan Bumiputera mendapatkan fasilitas tersebut secara terbatas, ternyata berdampak sangat luas.
Mereka yang telah tercerahkan karena dididik di lembaga pendidikan kolonial, kemudian berbalik arah melawan mereka. Pendidikan kolonial telah melahirkan tokoh-tokoh pergerakan yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, ibarat senjata yang makan tuannya sendiri. Pada periode ini surat kabar serta penerbitan berkembang pesat, yang memungkinkan berbagai gagasan yang lahir dari para pemimpin pergerakan disebarluaskan dengan cepat.
Di sisi lain, kekuasaan yang menyeluruh itu memiliki makna tersendiri bagi puluhan atau bahkan ratusan kelompok masyarakat yang mendiami Nusantara. Untuk pertama kalinya, mereka disatukan ke dalam satu kesatuan politik, administrasi, hukum, dan berbagai kebijakan sosial, ekonomi, serta budaya yang diinisiasi oleh pemerintah kolonial.
Untuk pertama kalinya pula mereka disatukan dalam satu kesatuan geografis, seperti yang disajikan dalam peta Hindia Belanda, dan satu kesatuan sejarah, senasib sepenanggungan sebagai warga jajahan. Semua pengalaman di atas menjadi dasar terjadinya berbagai perubahan sosial, politik, ekonomi, budaya, pola pikir, gaya hidup, bahkan perjuangan mereka yang umumnya dilandasi oleh semangat kebersamaan.
Sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang suka merantau, suasana zaman serta berbagai kebijakan yang diperkenalkan oleh pemerintah Hindia Belanda membuat mudah dan dinamisnya pergerakan anak-anak bangsa dari satu daerah ke daerah lain.
Pergerakan pergerakan tersebut tidak hanya dilandasi oleh pemenuhan kebutuhan fisik, tetapi juga mentalspiritual. Pergerakan-pergerakan ini telah melahirkan kontak antar-anak muda terpelajar, yang kebetulan saat itu lahir dari sekolah-sekolah yang didirikan oleh Belanda, sebagai perwujudan dari Politik Etis, dan juga lahir dari sekolah-sekolah Islam modern yang didirikan oleh para pembaharu Islam. Kontak antar-anak muda terpelajar menyebabkan ada saling tukar pengalaman dan gagasan di antara mereka.
Pertemuan dan dialog itu menumbuhkan ikatan senasib sepenanggungan yang menjadi dasar untuk memperbaiki diri dan mengenyahkan penjajahan.
Mobilitas dengan tujuan pemenuhan kebutuhan mental-spiritual tidak hanya dilakukan antardaerah dan antarpulau di Hindia Belanda, tetapi juga mancanegara. Dua kawasan mancanegara yang menjadi tujuan perantauan orang Indonesia pada awal abad ke-20 itu adalah Belanda (Eropa) dan Mesir (Timur Tengah).
Perantauan ke negeri-negeri tersebut memungkinkan para pemuda Indonesia mengenal dunia luar, berbagai pengalaman orang dan bangsa luar, serta berkenalan dengan berbagai ide baru di dunia luar. Pengalaman orang dan bangsa luar serta ide-ide baru tersebut kemudian digunakan sebagai pendorong semangat perjuangan melawan kolonialisme Belanda.
Penguasaan pemerintah Hindia Belanda yang menyeluruh dan berbagai kebijakan yang dijalankannya juga memungkinkan terjadinya mobilitas vertikal dan horizontal orang Indonesia.
Saat itu ada cukup banyak orang Indonesia yang mengalami peningkatan taraf kehidupan sosial dan ekonominya. Muncul cukup banyak orang kaya baru, seperti saudagar dan pengusaha (enterprener lokal), dan muncul cukup banyak kelompok masyarakat dengan peran dan status sosial baru, seperti amtenar (para pegawai), guru, mantri dan dokter Bumiputera, para penulis, kaum terpelajar, yang sebagian dari mereka juga bisa dikategorikan sebagai kelompok schakel-society, yaitu kelompok masyarakat yang menghubungkan antara Bumiputera dengan Belanda.
Akibat pembukaan perkebunan, pabrik, pasar, pembangunan berbagai infrastruktur transportasi, termasuk terminal dan pelabuhan, melahirkan kelas pekerja, seperti mandor, buruh dan kuli. Di sisi lain, mobilitas horizontal telah menyebabkan makin derasnya arus perpindahan penduduk dari suatu pulau ke pulau lain, dari dan ke daerah lain dalam satu pulau, atau perpindahan dari desa ke kota. Tidak hanya di kalangan penduduk Bumiputera, mobilitas vertikal dan horizontal juga terjadi pada kaum Indo, Tionghoa, Arab, dan India.
Perpindahan-perpindahan yang dipermudah oleh hadirnya berbagai prasarana dan sarana transportasi atau didukung oleh kebijakan pemerintah, seperti kebijakan emigrasi, menciptakan daerah-daerah, kota-kota, dan permukiman-permukiman baru yang heterogen penduduknya dan beragam keadaan lingkungan sosialnya.
Berbagai perubahan yang dialami dan pertemuan antarkelompok anak bangsa telah menghadirkan gagasan-gagasan kreatif dan inovatif, yaitu gagasan yang menjadi bagian dari lahirnya kesadaran nasional karena ketidakadilan penguasa. Gagasan kreatif dan inovatif tersebut awalnya diwujudkan dalam pembentukan organisasi yang menjadi wadah perjuangan.
Secara historis, ada sesuatu yang menarik dari gagasan itu karena memperlihatkan adanya evolusi yang menampilkan karakter khas sejarah, yakni change and continuity, perubahan dan keberlanjutan dari ide tersebut.
Ide kreatif salah satunya datang dari Kyai Haji Samanhudi untuk menghimpunkan para saudagar batik, yang umumnya beragama Islam di Surakarta yang diperlakukan kurang/tidak adil oleh pemerintah kolonial, ke dalam suatu organisasi. Organisasi yang dimaksud adalah Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan tahun 1905. Sebagai organisasi pertama dan cikal bakal dari sebuah evolusi terlihat jelas bahwa ruang gerak SDI masih terbatas, hanya pada saudagar (batik) yang beragama Islam di sebuah kota.
Evolusi ini dilanjutkan dengan ide kreatif sekelompok anak muda terpelajar yang mendirikan organisasi dengan tujuan memajukan pendidikan dan budaya daerahnya, sebuah budaya etnik yang wilayahnya lebih luas dari sebuah kota.
Contoh organisasi seperti ini adalah Budi Utomo yang didirikan tahun 1908. Walaupun telah mencakup kawasan yang lebih luas dan bergerak dalam lapangan sosial dan budaya, Budi Utomo masih belum menyentuh aspek politik dalam tujuannya dan masi terbatas untuk satu daerah (etnik). Namun dibandingkan dengan SDI, dalam proses evolusi keberadaan organisasi, Budi Utomo telah lebih maju.
Klimaks dari proses evolusi keberadaan dan perjuangan melalui organisasi ini terlihat dari lahirnya Indische Partij (IP) pada tahun 1912, yang didirikan dan beranggotakan berbagai etnik dan bangsa, mencakup seluruh wilayah Hindia Belanda, dan telah menjadikan politik sebagai dasar serta tujuannya. Aspek perjuangan politik IP juga terlihat dari tegasnya pernyataannya dalam mengemukakan kesamaan hak dan mengkritisi praktik penjajahan Belanda di Indonesia.
Periode sesudah kelahiran IP hingga penghujung dekade 1920-an ditandai dengan munculnya berbagai organisasi sosial dan partai politik yang kritis dan berani melakukan perlawanan terhadap penjajah. Organisasi yang muncul terdiri dari organisasi pemuda yang mengatasanamakan daerah atau agama, organisasi kedaerahan (etnik dan bangsa), organisasi adat, organisasi keagamaan, dan organisasi perempuan.
Beberapa contoh dari organisasi ini adalah Tri Koro Darmo, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Minahasa, Jong Batak, Jong Islamieten Bond, Katholieke Jongelingen Bond, Paguyuban Pasundan, Sjarikat Adat Alam Minangkabau, Indische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia), Muhammadiyah, Jamiatul Khair, Al Irshad Al Islamiyyah, Nahdlatul Ulama, Persatuan Islam (Persis), Poetri Mardhika, Wanita Oetomo, Amai Setia, Aisyah, Poetri Indonesia, Wanita Katolik, Chung Hwa Hui, dan lain-lain. Sementara itu partai-partai politik yang lahir pada periode ini menampilkan watak dan pola perjuangan yang beragam, ada yang moderat ada pula yang radikal.
Selain ditandai dengan berdirinya banyak organisasi yang digunakan untuk melakukan perlawanan kepada penjajah, pada awal abad ke-20 juga ditandai dengan perlawanan dalam bentuk gerakan protes (protest movements) ataupun gerakan sosial dalam berbagai bentuk.
Gerakan sosial yang cukup penting adalah yang dilakukan oleh Samin Surosentiko di daerah Blora, dan meluas ke daerah sekitar, yang dikenal dengan nama Gerakan Samin. Gerakan sosial serupa terjadi di daerah lain, dengan nama berbeda-beda, namun pada umumnya merupakan respon terhadap kebijakan pemerintah kolonial yang semakin menekan.
Di perkotaan muncul gerakan protes yang pada umumnya terkait dengan perebutan tanah. Di Kota Surabaya muncul gerakan melawan para pemilik tanah partikelir, mirip dengan gerakan serupa yang terjadi di kota-kota pinggiran Batavia, yang pada umumnya dilakukan oleh masyarakat menengah ke bawah.
Sebagai bagian dari diskursus intelektual atau perbedaan pola perjuangan, maka pertengahan 1920-an terdapat organisasi sosial dan partai politik yang menunjukkan sikap radikal (melakukan demonstrasi dan pemogokan) atau langsung melawan (memberontak) terhadap penjajah, ada pula yang memilih jalan perjuangan dengan cara menyatukan kekuatan untuk meraih kemenangan melalui jalan persatuan.
Di kalangan pemuda semangat tersebut diwujudkan dengan pelaksanaan Sumpah Pemuda (yang pertama antara 30 April hingga 2 Mei tahun 1926 dan yang kedua antara 27-28 Oktober 1928), di kalangan kaum perempuan diwujudkan dalam pelaksanaan Kongres Perempuan Indonesia (2225 Desember 1928), dan di kalangan partai politik diwujudkan dalam pembentukan Pemufakatan PerhimpunanPerhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) (17-18 Desember 1927).
Aktivitas politik cukup mendominasi perkembangan Indonesia pada dekade 1930-an tersebut, ditandai dengan lahirnya banyak organisasi politik. Pada periode ini pula terjadi beberapa peristiwa penting: pertama, beberapa tokoh politik mendapatkan perlakuan khusus oleh pemerintah kolonial.
Sukarno dibebaskan dari tahanan di Bandung oleh Gubernur Jenderal Bonifacius Cornelis de Jonge pada tahun 1931, tetapi kemudian ditangkap lagi dan dibuang ke Ende pada tahun 1934. Tokoh-tokoh politik Bumiputera lain juga diperlakukan sama: penangkapan dan pembuangan Hatta (1934), Sjahrir (1934), dan disusul oleh penangkapan serta pembuangan belasan pejuang kemerdekaan lainnya.
Kedua, perpecahan partai politik dan fusi partai politik.
Ketiga, sikap politik kooperatif dan non-kooperatif terhadap penjajah.
Keempat, perlawanan (pemberontakan) terhadap penjajahan oleh anak kapal.
Kelima, nasionalisme berbasis semangat kedaerahan (etnis), bangsa, dan golongan (perempuan).
Keenam, hadirnya diskursus intelektual tentang kebudayaan Indonesia dan penyampaian penyebarluasan ide/gagasan melalui media massa dan penerbitan. Dekade 1930-an juga ditandai dengan masifnya pengaruh ekonomi dan politik global terhadap Indonesia, seperti resesi ekonomi dan Perang Dunia ke-2.
Jilid ini diakhiri dengan pembahasan mengenai penjajahan Jepang di Indonesia. Periode penjajahan memiliki karakteristik yang berbeda dengan periode sebelumnya. Operator penjajahan Jepang di Indonesia adalah tentara dan memberlakukan prinsip kemiliteran kepada rakyat Indonesia. Eksploitasi yang dilakukan oleh mereka adalah untuk mendukung kemenangan perang melawan Sekutu.
Mereka melakukan kontrol yang sangat ketat serta melakukan mobilisasi rakyat untuk membantu melawan Sekutu, dengan membentuk organisasi militer dan semimiliter. Rakyat dimobilisasi untuk memasuki berbagai organisasi tersebut. Saat Jepang diambang kekalahaan, mereka menginisiasi pembentukan sebuah lembaga yang bertugas merumuskan berbagai kelengkapan negara, seperti dasar negara dan konstitusi negara.
Periode Jepang menjadi penutup pintu sejarah penjajahan di Indonesia dengan proklamasi kemerdekaan yang dibacakan pada tanggal 17 Agustus 1945.
SISTEMATIKA PENULISAN
PENDAHULUAN
BAB I BABAK BARU KOLONIALISME BELANDA
A. Penguatan Negara Kolonial
1. Pertahanan dan Keamanan
2. Struktur Administrasi dan Birokrasi
3. Kewarganegaraan dan Sistem Peradilan
a. Kewarganegaraan
b. Sistem Peradilan
B. Cara Pandang Baru
1. Lahirnya Politik Etis
2. Kebijakan Pendidikan dan Pengajaran
3. Emigrasi Penduduk
C. Pintu Semakin Terbuka
1. Investasi Asing
2. Pera Interpreneur Lokal
D. Infrastruktur Komunikasi dan Transportasi
1. Pelayaran Antarpulau dan Sungai
2. Jalan Darat
3. Pos, Telegraf dan Telepon
BAB II PERKEMBANGAN KOTA AWAL ABAD KE-20
A. Modernisasi Kota-kota di Indonesia
1. Undang-Undang Desentralisasi dan Pendirian Kota-kota Otonom
2. Infrastruktur dan Fasilitas Perkotaan sebagai Ruang Ekspresi Warga Kota
3. Perbaikan Kampung Perkotaan
B. Ekonomi Perkotaan dan Kaum Buruh
1. Ruang Ekonomi Perkotaan dalam Pasar, Perusahaan, dan Industri
2. Kaum Buruh dan Perjuangan Hak sebagai Wujud Kesadaran Kebangsaan
C. Permasalahan Perkotaan
1. Permukiman Liar
2. Kebakaran
3. Banjir
4. Penyakit
BAB III WARGA KOTA DAN GAYA HIDUPNYA
A. Golongan-golongan Sosial
1. Golongan Eropa dan Indo
2. Golongan Bumiputera
3. Golongan Timur Asing
B. Perkembangan Pendidikan
1. Pendidikan Dasar dan Menengah
2. Pendidikan yang Diselenggarakan Masyarakat Lokal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar