*Bahagia Menunggu Burung Hantu*
Malam itu, rumah Pak Yitno di Kalidami terasa lebih hangat dari biasanya. Malam ke-8 bulan Suro, ketika angin bertiup pelan dan langit menggantung tanpa bintang. Di ruang tamu yang sederhana, keluarga besar Pak Yitno berkumpul, menanti sesuatu yang tidak biasa—seekor burung hantu coklat yang sudah menjadi bagian dari keluarga sejak semalam dan dibeli dari Pasar Splendid (Malang), pada hari Minggu.
Burung itu bukan piaraan biasa. Ia dibeli dari tempat jauh.
Malam itu mereka semua berkumpul. Kakek Yitno duduk di kursi panjang memandangi sangkar kosong yang bergoyang vperlahan. Di sebelahnya, Nenek Uti menegang HP untuk membuang gambar dan tulisan yang tidak diperlukan dari WA.
Ibun, sang ibu, sibuk menyiapkan susu botol untuk ketiga anaknya.
Sebelumnya Nadhira makan kebab, Nayla menguyah Bakpao, dan Naseefa makan roti Regal.
Tony, suaminya, duduk menyender ke dinding sambil memandangi anak-anak mereka yang mulai mengantuk: Nadhira, Nayla, dan Naseefa.
Tak ketinggalan, Paman Erlangga dan Tante Oktavia yang baru datang dari antar jemput makanan untuk kostumer, ikut duduk bersama.
Di tengah karpet, mereka tertawa pelan, saling bertukar cerita, dan sesekali melirik ke luar jendela.
“Bu, burung hantunya bakal datang malam ini ?” tanya Nadhira sambil bersandar di pangkuan Ibun.
“Kalau dia datang, itu rezeki,” jawab Ibun lembut. “Kalau tidak pun, kita tetap bersyukur. Yang penting... kita nunggu bareng-bareng.”
Mereka tidak sedang menanti kejutan atau hadiah. Yang mereka tunggu hanyalah kehadiran makhluk malam yang sudah seperti tanda—tanda bahwa segalanya baik-baik saja, bahwa rumah masih dijaga oleh kekuatan yang tak terlihat, dan bahwa mereka masih bersatu.
Menjelang tengah malam, suara angin berubah. Genteng terdengar berderak pelan, dan jendela bergetar. Semua hening. Tiba-tiba, terdengar suara serak namun khas dari kejauhan:
"Huuuuukkk… huuukkk…"
Mata Tony membulat. Ia berdiri, membuka jendela pelan-pelan. “Di atas pohon mangga,” bisiknya. “Dia datang.”
Anak-anak yang semula mengantuk langsung duduk tegak. Oktavia menatap ke luar, mulutnya separuh terbuka. Erlangga menyipitkan mata, memastikan.
Di atas pohon, bayangan coklat bertengger tenang. Di paruhnya, tampak sehelai daun sirih.
Kakek Yitno mengangguk pelan. “Daun sirih itu... tanda selamat.”
Nafas semua orang seperti menjadi lebih panjang. Burung itu tidak masuk rumah, tidak bersuara lagi. Tapi kehadirannya cukup. Ia hanya datang sebentar, lalu terbang ke atap, menghilang dalam gelap malam.
Setelah itu, rumah Pak Yitno kembali sunyi. Tapi sunyi yang berbeda—bukan karena sepi, tapi karena damai.
Malam itu, mereka tidak hanya menunggu burung hantu.
Mereka menunggu kebersamaan.
Dalam penantian itulah mereka menemukan bahagia yang sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar