*"Tugu Batu di Tepi Sungai Menur"*
Pada tahun 1974, saat langit Surabaya masih sering berselimut kabut tipis di pagi hari, dan Sungai Menur masih jernih mengalir dari utara Buk Tong ke arah Bratang, berdirilah sebuah tugu batu kecil di tepi sungai.
Letaknya tersembunyi di antara semak dan pohon keres seolah sengaja disembunyikan dari mata orang dewasa. Tapi anak-anak tahu. Mereka menyebutnya: Batu Batas.
Prayitno, siswa kelas 6 SDN Menur Pumpungan .II, sudah sering bermain dan mandi di sungai itu. Suatu hari, ia mengajak adiknya Budi, murid kelas 4 di SDN Menur Pumpungan IV, untuk ikut mandi di tempat yang sama. Mereka melompat dari jembatan bambu, berenang, dan tertawa di arus yang tenang.
Tapi saat senja turun, Budi terlihat diam di pinggir sungai, menatap tugu batu itu.
“Aku lihat bayangan orang berdiri di sana tadi,” katanya pelan.
Prayitno menoleh, tapi tak ada apa-apa. Hanya batu tua dengan ukiran aneh di sisi timurnya, separuh tertutup lumut dan bekas sesajen kering.
Keesokan malamnya, terjadi sesuatu yang aneh.
Setelah salat Magrib, Budi datang ke dapur dan berkata:
> “Bu... minta gula batu... yang manis... yang bening...”
Ibunya, Bu Rumiatun, mengira anaknya hanya ingin ngemil. Tapi keanehan muncul saat permintaan itu terus terjadi setiap malam, tepat setelah Magrib.
Jika diberi, Budi diam dan tersenyum.
Jika tidak, ia menangis keras—tidak seperti anak manja, tapi seperti ketakutan. Kadang bahkan menjerit, memeluk leher ibunya, sambil bergumam seperti berdoa atau bicara dalam bahasa yang tidak dimengerti.
Hal itu berlangsung selama 40 hari.
Pak Musdi, ayah mereka, akhirnya memanggil seorang tetua kampung yang pernah bekerja sebagai juru kunci makam di Menur.
Saat mendengar soal tugu batu di sungai, wajahnya langsung berubah.
> “Itu bukan sekadar batu,” katanya.
“Itu Watu Palemahan, penanda batas tanah dan makhluk. Dulu, tempat itu sering dipakai orang berdoa saat bulan Suro…”
Ia menyuruh agar Budi tidak dibawa ke sana lagi, dan selama tujuh hari berturut-turut, setiap magrib, di rumah Pak Prayitno dibakar kemenyan dan diputar bacaan solawat.
Setelah itu, Budi tak pernah lagi meminta gula setiap malam.
Hingga bertahun-tahun kemudian, tugu batu itu masih berdiri.
Kini nyaris hilang ditelan waktu dan tanggul sungai modern.
Tapi bagi mereka yang tahu cerita ini, jika berjalan menyusuri tepi Sungai Menur saat matahari condong ke barat, mereka akan memperlambat langkah, terutama jika mengingat batu kecil setinggi orang berbalut lumut, berdiri sendiri...
Dan mereka akan berkata dalam hati:
"Jangan ganggu, dan jangan pernah minta gula setelah Magrib..."


Tidak ada komentar:
Posting Komentar