Megawati Baru Kali Pertama Masuk Rumah Kelahiran Soekarno*
Senin, 17 Maret 2014 – 16:42 WIB
jpnn.com - SURABAYA - Megawati Soekarnoputri untuk pertama kalinya mengunjungi rumah di Surabaya yang diyakini sebagai tempat kelahiran ayahnya, Soekarno. Rumah yang diyakini pernah menjadi tempat lahirnya tokoh besar itu beralamat di Jalan Pandean IV/40, Peneleh, Surabaya.
Kunjungan Megawati ke rumah tempat kelahiran ayahnya itu bersamaan dengan agenda kampanye akbar PDI Perjuangan di Surabaya sore ini. Lokasi rumah bergaya Belanda itu harus dicapai setelah menyusuri gang selebar 1,5 meter
Siang tadi, Megawati bersama adiknya, Guruh Soekarnoputra memasuki rumah tempat lahir tokoh yang dikenal dengan sebutan Putra Sang Fajar itu. Putri Megawati, Puan Maharani juga ikut menyertai kunjungan Megawati itu. Pengurus teras PDIP seperti Tjahjo Kumolo, Hasto Kristianto, Djarot Saiful Hidayat, Ahmad Basarah, Eriko Sotarduga, dan Bambang Wuryanto pun turut serta dalam kunjungan ke rumah tempat kelahiran Bung Karno.
"Saya ini baru diberitahu kalau ini tempat kelahiran Bung Karno,” kata Megawati mengawali ceritanya usai mengungjungi rumah tempat kelahiran ayahnya itu. Menurutnya, sudah lama ada upaya mengaburkan jejak-jejak yang ditinggalkan Bung Karno.
Ketua Umum PDIP itu berharap pemerintah daerah Surabaya menelusuri kebenaran bahwa rumah di Jalan Pandean IV/40 Peneleh itu memang tempat Soekarno dilahirkan. Sepengetahuan Megawati, kakeknya atau ayah Soekarno adalah seorang guru bernama Soekemi Sosrodihardjo yang ditempatkan di Surabaya dan tinggal di rumah itu pada akhir tahun 1800-an. Sedangkan Soekarno lahir pada 6 Juni 1901.
“Saya berharap pemda mau menyelidiki kebenaran apakah benar ini tempat lahir beliau (Soekarno, red). Orang tua beliau sebagai guru, memang ditempatkan di Surabaya ini," kata Megawati.
Dituturkannya, rumah itu sudah berkali-kali ganti pemilik maupun penghuni. Karenanya Megawati berharap ada keseriusan pemerintah untuk mengungkap kebenaran tentang tempat lahir Bung Karno.
Sebelumnya Puan Maharani mengatakan, kunjungan ke tempat kelahiran Bung Karno itu merupakan upaya untuk mengingat dan memaknai sejarah, sebagaimana pesan Proklamator RI itu tentang Jas Merah yang berarti Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah . "Bung Karno memang hidup di masa lalu. Tapi masa lalu tak boleh mati dan ditinggalkan begitu saja. Ajaran dan cita-cita Bung Karno akan tetap hidup, menjadi guidance (petunjuk arah, red) perjuangan PDIP untuk masa depan," ucap Puan yang juga cucu Soekarno itu.(ara/jpnn)
Bagaimana kondisi rumah kelahiran Sukarno?
BBC News, Indonesia
6 Juni 2015
Presiden RI pertama lahir di Surabaya pada 6 Juni 1901, rumah tempat kelahirannya di Kampung Pandean pun telah menjadi cagar budaya. Bagaimana kondisinya?
Sukarno lahir di sebuah rumah sederhana di Pandean gang IV no.40, Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya. Diatas pintu rumah dipasang plakat berwarna kuning keemasan bertuliskan "Rumah Kelahiran Bung Karno" dengan logo Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya.
Meski rumah ini telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya melalui Surat Keputusan Walikota Surabaya pada 2013 lalu, tetapi tampak tidak terawat dari luar.
Cat tembok rumah yang berwarna putih tampak kusam, begitu pula dengan kusen kayu yang berwarna biru.
Ketika BBC Indonesia datang ke Kampung Pandean tersebut, keterangan seorang tetangga rumah kelahiran Bung Karno menyebutkan Jamilah pemilik rumah sedang berada di luar kota.
Azhari, seorang warga asli Kampung Pandean yang berusia lanjut, menyampaikan bahwa rumah tersebut sudah empat sampai lima kali pindah tangan kepemilikan.
Plakat di rumah Sukarno
Azhari mengatakan berdasarkan cerita yang dia dapat dari orang-orang tua di kawasan itu, ayah Sukarno yaitu Raden Soekemi Sosrodihardjo merupakan salah satu pendatang di kampung Pandean, dan pindah beberapa tahun kemudian dari daerah tersebut.
Sukarno remaja, menurut cerita yang didapat Azhari, kembali lagi ke kawasan Pandean dan Peneleh
"Dulu Bung Karno dulu masa kecilnya biasa-biasa saja, setelah beliau remaja, datang lagi ke daerah Pandean-Peneleh utk belajar agama, politik dan pergerakan bersama dengan HOS Cokroaminoto, di daerah ini dulu tumbuh subur organisasi pergerakan dan kepemudaan", tukas Azhari.
Penelusuran rumah Sukarno
Penelusuran rumah tempat kelahiran Sukarno dilakukan Institut Sukarno sejak 2007 lalu.
Pendiri lembaga Intitut Sukarno, Peter A Rohi mengatakan kajian dari sejumlah buku diketahui Sukarno pernah tinggal di Kampung Pandean- dan Peneleh.
"Berdasarkan buku yang kami kaji buku-buku sebelum tahun 66, disebutkan Sukarno lahir di kawasan Pandean dan pernah tinggal kawasan Pandean dan Peneleh ketika remaja, kami pun mencari informasi dari warga yang tinggal di daerah itu untuk mengkonfirmasinya," jelas Peter.
Kampung Pandean Surabaya
Berdasarkan keterangan dari warga setempat itulah, menurut Peter, dia mengetahui lokasi tempat Sukarno dilahirkan.
Sejak tahun 2007 lalu, Pemerintah Surabaya berupaya menelusuri letak rumah kelahiran Bung Karno dengan melakukan kajian terhadap hasil riset Institut Sukarno dan Dinas Pariwisata dan Budaya serta dokumen sejarah lainnya.
Pemerintah kota Surabaya pun menemukan rumah kelahiran Bung Karno di kampung Pandean, dan telah menetapkannya sebagai bangunan cagar budaya pada 2013 lalu, seperti dijelaskan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Surabaya, Wiwik Widayati.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata menyebutkan berupaya untuk membeli rumah ini, tetapi masih dalam proses penjajakan dengan pemilik rumah.
"Waktu itu ada masukan dari lembaga Institut sukarno dan memprosesnya sebagai bangunan cagar budaya, juga masukan dari anggota masyarakat," jelas Wiwik.
"Pemerintah kota mencoba telah ditetapkan jadi cagar budaya, rumah ini terpelihara sehingga diharapkan tidak terjadi perubahan bangunan itu tahap yang baru dilaksanakan, kami masih proses (untuk pembelian) sampai hari ini," jelas Wiwik.
Mengapa jadi kontroversi?
Tempat kelahiran Sukarno kembali dibicarakan setelah Presiden Jokowi salah menyebut Sukarno lahir di Blitar.
Kota tempat kelahiran Presiden RI pertama kembali menjadi pembicaraan setelah presiden Joko Widodo dalam pidato Peringatan Hari Pancasila Sakti menyebutkan Blitar sebagai kota kelahiran Sukarno. Padahal sumber-sumber sejarah menyebutkan Sukarno lahir di Surabaya. Mengapa berbeda?
Peter A Rohi menyebutkan perbedaan tersebut terjadi karena ada kesalahan dalam menerjemahkan buku tentang sukarno yang ditulis dalam bahasa Inggris oleh seorang jurnalis AS Cindy Adams.
"Selanjutnya buku itu diterjemahkan oleh tim penulis sejarah dari ABRI (TNI) dengan menyebutkan Bung Karno lahir di Blitar," jelas Peter.
Padahal dalam buku karya Cindy Adams , menurut Peter, Bung Karno mengatakan, "Karena bapak saya berpindah-pindah, maka ketika pindah ke Surabaya, di tempat itulah saya lahir," jelas Peter.
Dia menjelaskan dalam semua buku-buku biografi Bung Karno yang terbit sebelum tahun 1966, terang Peter, ditulis bahwa Bung Karno lahir di Surabaya.
Tetapi buku terjemahan karya Cindy Adams yang diterbitkan kembali pada 2007 lalu, menyebutkan Sukarno lahir di Surabaya.
Mengintip Rumah Kelahiran Presiden Pertama Ir Soekarno di Peneleh Surabaya
Faiq Azmi - detikNews
Minggu, 06 Jun 2021 09:54 WIB
Surabaya - Hari ini, tepat 6 Juni merupakan tanggal lahir Presiden Ir Soekarno. Ya, Bapak Proklamator itu lahir pada 6 Juni 1901. Soekarno lahir di rumah kampung padat penduduk, yakni Pandean IV, Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya.
Detikcom mendatangi rumah kelahiran Soekarno, Sabtu (5/6/2021) malam. Di depan Gang Pandean IV, terpasang prasasti yang bertuliskan 'Di Sini Tempat Kelahiran Bapak Bangsa DR IR Soekarno'.
Rumah kelahiran Bung Karno berjarak 200 meter dari prasasti di depan gang Pandean IV. Dari depan rumah, tampak material bangunan rumah lama yang masih kental. Meski cat di kusen pintu dan tembok telah diperbarui, namun tidak menghilangkan karakteristik bangunan lama.
Sebagai informasi, bahwa rumah kelahiran Bung Karno kini telah dibeli oleh Pemkot Surabaya dan masuk bangunan cagar budaya. Di bagian teras rumah, terdapat sebuah penanda bahwa tanah dan bangunan rumah tersebut telah dimiliki oleh Pemkot Surabaya. Tepatnya pada Agustus 2020 lalu, Pemkot harus merogoh kocek sebesar Rp 1,5 miliar dari sang pemilik rumah. Di atas pintu masuk rumah itu, terdapat sebuah penanda yang bertuliskan 'Rumah Kelahiran Bung Karno'.
Rumah Kelahiran Presiden Soekarno di Surabaya/ Foto: Faiq Azmi
Memasuki rumah tersebut, aroma lembab sangat terasa. Maklum saja, sejak dibeli Pemkot Surabaya, rumah ini tidak berpenghuni dan hanya ditengok oleh petugas dari Disparta Surabaya seminggu sekali. Kebetulan, di dalam rumah kelahiran Bung Karno berjajar banyak kursi, untuk kegiatan peringatan hari lahir yang rencananya dihadiri Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi, Minggu (6/6/2021).
Saat memasuki ruang tengah, tampak terpasang bacaan Ayat Kursi di atas kusen. Tampak di bagian dalam, arsitektur rumah lama sangat kental terasa. Di ruang tengah, terdapat dua ruang kamar tidur. Satu di antaranya, merupakan kamar di mana Bung Karno dilahirkan.
Namun sayangnya, sejumlah bagian rumah seperti atap dan dapur bagian belakang tampak kurang terawat. Bahkan di lantai dua, tidak ada penerangan lampu, serta banyak kayu bangunan yang sudah mulai lapuk. Maklum saja, rumah ini memang sudah tidak berpenghuni sejak Agustus 2020 lalu.
Sejumlah pemuda di kampung kelahiran Bung Karno mendirikan komunitas yakni Kampung Soekarno (Kampoes).
Wakil Kampoes Reza 'Gundul' mengatakan, sejak dibeli Pemkot, rumah kelahiran Bung Karno sering ditutup dan jarang ada warga atau masyarakat umum bisa masuk.
"Sejak Agustus dibeli Pemkot Surabaya memang tertutup. Hari ini dibuka, karena ada persiapan buat acara besok peringatan hari lahir, kebetulan Pak Wali Kota rawuh (datang)," ujar Reza.
"Sebelum dibeli pemkot, yang punya itu tangan ke-4, atau sudah dijual sebanyak 4 kali. Dulu sebelum dibeli pemkot, warga masih bisa keluar masuk untuk melihat atau bahkan masyarakat luar bisa datang untuk masuk," sambungnya.
Bagian dalam Rumah Kelahiran Presiden Soekarno di Surabaya/ Foto: Faiq Azmi
Reza menjelaskan, dari sejumlah kesaksian para sesepuh di kampung itu, presiden pertama Indonesia ini menempati rumah tersebut sejak lahir hingga awal SMP.
"Ada teman biolanya Bung Karno, di kampung sebelah satu angkatan, namun sudah wafat. Beliau sebelum wafat bercerita, bahwa Bung Karno itu kalau sore hafalan ngaji di teras rumah ini. Kalau salat langsung ke langgar (musala) depan rumahnya. Selepas SMP, Bung Karno pindah ke Peneleh, di rumah gurunya HOS Tjokroaminoto," bebernya.
Tugas komunitas Kampoes sendiri selama ini, merawat lingkungan sekitar rumah Bung Karno. Setiap tanggal 5 Juni pada malam hari, digelar syukuran dan tumpengan untuk memperingati hari lahir Bung Karno.
Rumah kelahiran Soekarno, riwayatmu kini
Masih banyak orang yang mengganggap Soekarno lahir di Blitar. Bagaimana sejarah bisa salah menyebut kota kelahiran Proklamator RI ini?
SURABAYA, Indonesia — Bangunan rumah di Pandean Peneleh, Gang IV, Nomor 40, Surabaya, itu terlihat biasa saja. Rumah dengan cat putih berkusen dan berdaun pintu kayu yang dicat biru itu tampak sederhana. Namun siapa yang menyangka jika rumah sederhana ini menyimpan sejarah yang luar biasa.
Di sinilah Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia, dilahirkan. Sekira satu abad silam, Koesno, nama kecil Soekarno, lahir di Pandean Peneleh, Gang IV, No. 40, Surabaya—sebuah kampung dengan gang kecil yang berada di pusat kota Surabaya. Gang ini letaknya persis di depan Kali Mas. Mobil tak bisa masuk gang kecil ini, motor pun harus dituntun sejak ujung gang.
Saat itu, ayah Soekarno, Raden Soekemi Sosrodihardjo, dipindahtugaskan dari Singaraja, Bali, sebagai guru di Sekolah Rakyat Sulung Surabaya pada 1900. Soekemi datang ke Surabaya bersama istrinya, Ida Ayu Nyoman Rai Srimben, yang tengah mengandung Soekarno. Mereka pergi ke Surabaya dengan menggunakan kapal. Saat itu, kapal yang mereka tumpangi berlabuh di Kali Mas, tak jauh dari rumah ini. Soekarno sendiri lahir pada 1 Juni 1901.
”Saya menduga sejarah kelahiran Bung Karno itu memang sengaja dikaburkan untuk menjauhkan Soekarno dengan massanya. Orde Baru khawatir kalau Soekarno disebut lahir di Surabaya yang mempunyai jumlah penduduk besar bisa menimbulkan gejolak.”
Namun sejatinya, Soekarno tak lama tinggal di rumah ini. Karena Soekarno kecil kemudian tinggal bersama dengan kakeknya, Raden Hardjokromo, di Tulungagung Jawa Timur. Baru kemudian pada 1915, Soekarno yang telah menyelesaikan pendidikannya di ELS kemudian melanjutkan ke HBS di Surabaya.
Ia dapat diterima di HBS atas bantuan seorang kawan bapaknya yang bernama H.O.S. Tjokroaminoto. Tjokroaminoto bahkan memberi tempat tinggal bagi Soekarno di pondokan kediamannya. Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu, seperti Alimin, Musso, Dharsono, Haji Agus Salim, dan Abdul Muis.
Sementara Blitar, yang selama ini sering disebut-sebut tempat kelahiran Proklamator RI ini, adalah tempat penugasan terakhir Soekemi Sosrodiharjo ketika dipindahkan dari dari Mojokerto dan dipromosikan menjadi penilik pada 1917.
Keterangan bahwa Soekarno terlahir di Surabaya ini berdasarkan dari buku-buku biografi tentang Soekarno, antara lain Soekarno sebagai Manusia (1933) dan Kamus Politik (1950).
Tiga terbitan ensiklopedi juga mendukung argumen tersebut, masing-masing:
Ensiklopedia Indonesia 1955, NV Penerbitan W. Van Hoeve Bandung
Ensiklopedia Indonesia terbitan PT Ikhtiar Baru (1986)
Ensiklopedia Nasional Indonesia, Penerbit Delta Pamungkas Jakarta (1997)
Ada juga beberapa buku lain seperti:
Pengukir Jiwa Soekarno karangan Soebagijo IN
Bung Karno Putra Sang Fajar karangan Solichin Salam
Ayah Bunda Bung Karno karangan Nurinwa Ki. S Hendrowinoto dkk
Riwayat Ringkas Penghidupan dan Perjuangan Ir. Soekarno karangan Nasution M.Y
Dalam semua buku-buku terbitan itu bahkan sampai mencantumkan jika Soekarno lahir di Pandean, Peneleh Gang IV, Nomor 40, Surabaya.
Tak hanya itu, sejumlah penulis asing juga kerap menuliskan Soekarno sebagai kelahiran Surabaya. Para penulis asing biasanya mengutip sumber arsip di Leiden, Belanda, sebagaimana yang tertulis dalam ijasah dan berkas perkara Soekarno ketika diadili. Sebagian lagi merujuk pada buku Soekarno: Autobiography as Told to Cindy Adams (1996) tulisan Cindy Adams dan Soekarno Mitos dan Realitas tulisan Bob Herring (1986).
Terkait sejarah yang menyebut Soekarno lahir di Blitar sebenarnya merujuk dari data yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Sejarah ABRI pada 1967. Data ini yang kemudian dirujuk oleh Sekretariat Negara. Data ini kemudian dikutip di buku-buku sejarah, terutama terbitan di atas 1967.
Ihwal mengapa bisa sampai keliru soal sejarah tempat kelahiran Soekarno, Peter A. Rohi, seorang jurnalis senior yang tinggal di Surabaya, mengatakan, hingga kini ia belum mengetahui apa penyebab pastinya. Peter yang juga ikut terlibat dalam pelurusan sejarah tempat lahir Soekarno hanya bisa menduga, bahwa itu terkait dengan kepentingan pemerintah Orde Baru saat itu.
“Saya menduga sejarah kelahiran Bung Karno itu memang sengaja dikaburkan untuk menjauhkan Soekarno dengan massanya. Orde Baru khawatir kalau Soekarno disebut lahir di Surabaya yang mempunyai jumlah penduduk besar bisa menimbulkan gejolak. Apalagi arek-arek Suroboyo dikenal punya jiwa patriotis,” kata Peter.
Rumah kelahiran Soekarno kini
Mural di tembok rumah kelahiran Soekarno di Surabaya. Foto oleh Amir Tedjo/Rappler
Rumah tempat kelahiran Soekarno kini ditempati oleh seorang warga bernama Jamilah beserta keluarganya. Ia membeli rumah ini sekitar 1990 lalu seharga Rp16 juta. Ia sendiri tak menyangka, jika rumah yang ditempatinya kini adalah rumah kelahiran Proklamator RI.
“Baru sekitar 2009 lalu banyak peneliti yang mulai mendatangi rumah ini,” kata Jamilah.
Rumah ini juga sudah dijadikan sebagai bangunan Cagar Budaya oleh Pemerintah Kota Surabaya sejak 2013 lalu oleh Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Namun meski sudah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya, kepemilikan rumah seluas 5×14 meter ini masih atas nama Jamilah.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya Agus Imam Sonhaji mengatakan, sejak 2014 Pemerintah Kota Surabaya sebenarnya sudah berusaha membeli rumah kelahiran Bung Karno ini. Pemkot waktu itu bahkan sudah melakukan tawar menawar dengan pihak ahli waris. Namun menurut Agus, pemilik rumah menetapkan harga yang terlalu tinggi yaitu sekitar Rp5 miliar.
“Padahal sesuai dengan appraisal nilainya hanya Rp700 juta, tapi pihak ahli waris meminta jauh di atasnya,” kata Imam.
Alotnya proses jual beli rumah tempat lahir Soekarno ini, disesalkan oleh Ketua DPRD Kota Surabaya Armuji. Ia mengatakan, ada kepentingan sejarah yang harus diselamatkan oleh Pemkot Surabaya, sehingga tak bisa dinilai dengan appraisal yang biasa.
Sebaliknya, Peter malah menyesalkan pemilik rumah yang menetapkan harga terlalu tinggi. Menurutnya, tak seharusnya pemilik rumah mematok harga yang terlalu tinggi karena rumah itu untuk kepentingan bangsa dan negara.
“Klise memang. Tapi saya sebagai penganut ajaran Soekarno memegang teguh ajaran Soekarno soal rela berkorban untuk bangsa dan negara,” kata Peter. —Rappler.com