Sabtu, 17 Juni 2023

Wali Kota Surabaya Kembalikan Nama SD Negeri, Tempat Dulu Ayah Bung Karno Pernah Mengajar

Sumber : JawaPos.com

Dimas Nur Aprianto

Sabtu, 17 Juni 2023 | 15:28 WIB


JawaPos.com–Sekolah Dasar Negeri (SDN) Alun-alun Contong I/87 resmi berganti nama menjadi SDN Sulung Surabaya. Nama itu bukan nama baru. Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengembalikan nama sekolah Alun-Alun Contong di Jalan Sulung Sekolahan No 1/87, Kecamatan Bubutan, Surabaya, tersebut. Hal itu tidak lepas dari peristiwa sejarah di belakangnya.

Acara peresmian nama SDN Sulung itu berlangsung pada Sabtu (17/6). Kegiatan pengembalian nama itu dihadiri Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi bersama sejumlah Wakil Ketua dan Anggota DPRD Surabaya. Sejumlah tokoh pemerhati sejarah, akademisi hingga komunitas Begandring Soerabaia juga hadir dalam acara peresmian tersebut.

Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengatakan, latar belakang pengembalian nama SDN Sulung tersebut, sebagai upaya untuk mengingat kembali sejarah bangsa. Hal tersebut berdasar data penelusuran sejarah komunitas Begandring Soerabaia. Dimana ayah Presiden Soekarno (Bung Karno), dahulu pernah mengajar di SD tersebut.

”Ayah dari Presiden Soekarno itu mengajar di SD Sulung, sehingga menjadi garis lurus antara Peneleh (rumah lahir Soekarno) sampai SD Sulung ini. Namun tiba-tiba (diubah) menjadi SDN Alun-alun Contong, sejarahnya hilang. Ini yang akhirnya harus kita kembalikan lagi namanya,” kata Wali Kota Eri Cahyadi.

Eri menyampaikan, sebuah bangsa atau kota ini tidak akan bisa menjadi besar kalau tidak mengingat sejarah. Terlebih, Kota Surabaya telah melahirkan banyak tokoh-tokoh pejuang dan pahlawan yang membela bangsa.

”Di Kota Surabaya ini lahir Bung Karno. Ayahnya bagaimana berjuang untuk pendidikan mengajar di SD Sulung. Guru politiknya (Bung Karno) yang luar biasa menjadi tokoh nasional, HOS Tjokroaminoto juga di Surabaya,” terang Eri.

Eri mengajak seluruh elemen masyarakat, agar dapat meneruskan api perjuangan para pahlawan. Sebagai Kota Pahlawan, sudah seharusnya warga Surabaya juga memiliki jiwa-jiwa kepahlawanan.  

”Karena itulah sejak dini, saya meminta kepada dinas pendidikan, baik PAUD, SD-SMP, bahkan nanti SMA kita minta izin, untuk memberikan pelajaran terkait sejarah kebangsaan,” ungkap Eri.

Menurut dia, bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak lupa dengan sejarahnya. Melalui Sekolah Kebangsaan tersebut, para pelajar Surabaya tidak melupakan sejarah perjuangan para pahlawan.

”Bagaimana perjuangan Soekarno itu bisa merebut kemerdekaan. Dan salah satu perjuangan itu dimulai ketika Soekarno lahir. Ayahandanya itu adalah guru di SD Sulung, sehingga di sinilah dimulai api perjuangan Bung Karno,” jelas Eri.

Wali Kota Eri juga sempat mengajar Sekolah Kebangsaan di SDN Sulung. Diikuti pelajar dari jenjang SD hingga SMP di Kota Surabaya. Dia mengajak anak-anak meneladani jiwa-jiwa kepahlawanan Bung Karno.

”Tidak pernah Soekarno bertempur melawan orang-orang pribumi, orang Indonesia. Tidak ada dulu pejuang berantem dengan warganya, yang ada adalah bertempur melawan Belanda. Lha kok sekarang kita ini ada tawuran antar warga, tawuran antar sekolah,” ujar Eri.

Dia menyebut, tawuran antar pelajar itu karena nilai-nilai kebangsaan tidak masuk ke dalam jiwa arek-arek Suroboyo. Hal itu menjadi tanggung jawab bersama, baik itu orang tua, guru, wali kota, maupun DPRD Surabaya.

”Makanya, sejak dini anak-anak tersebut harus dimasukkan nilai-nilai kepahlawanan dan agama melalui Sekolah Kebangsaan. Sehingga nanti kita turun (mengajar) ke sekolah, kita juga berbagi dengan DPRD siapa yang mengajar. Maka semangat pahlawan ini dimasukkan, ditambahkan semangat agama, akhlakul karimah, insya Allah kita bisa menghilangkan kegiatan-kegiatan negatif di Kota Surabaya,” ucap Eri.

Jumat, 16 Juni 2023

Sejarah Rumah BK di Surabaya


Megawati Baru Kali Pertama Masuk Rumah Kelahiran Soekarno*


Senin, 17 Maret 2014 – 16:42 WIB

 

jpnn.com - SURABAYA - Megawati Soekarnoputri untuk pertama kalinya mengunjungi rumah di Surabaya yang diyakini sebagai tempat kelahiran ayahnya, Soekarno. Rumah yang diyakini pernah menjadi tempat lahirnya tokoh besar itu beralamat di Jalan Pandean IV/40, Peneleh, Surabaya.


Kunjungan Megawati ke rumah tempat kelahiran ayahnya itu bersamaan dengan agenda kampanye akbar PDI Perjuangan di Surabaya sore ini. Lokasi rumah bergaya Belanda itu harus dicapai setelah menyusuri gang selebar 1,5 meter

Siang tadi, Megawati bersama adiknya, Guruh Soekarnoputra memasuki rumah tempat lahir tokoh yang dikenal dengan sebutan Putra Sang Fajar itu. Putri Megawati, Puan Maharani juga ikut menyertai kunjungan Megawati itu. Pengurus teras PDIP seperti Tjahjo Kumolo, Hasto Kristianto, Djarot Saiful Hidayat, Ahmad Basarah, Eriko Sotarduga, dan Bambang Wuryanto pun turut serta dalam kunjungan ke rumah tempat kelahiran Bung Karno.

"Saya ini baru diberitahu kalau ini tempat kelahiran Bung Karno,” kata Megawati mengawali ceritanya usai mengungjungi rumah tempat kelahiran ayahnya itu. Menurutnya, sudah lama ada upaya mengaburkan jejak-jejak yang ditinggalkan Bung Karno.

Ketua Umum PDIP itu berharap pemerintah daerah Surabaya menelusuri kebenaran bahwa rumah di Jalan Pandean IV/40 Peneleh itu memang tempat Soekarno dilahirkan. Sepengetahuan Megawati, kakeknya atau ayah Soekarno adalah seorang guru bernama Soekemi Sosrodihardjo yang ditempatkan di Surabaya dan tinggal di rumah itu pada akhir tahun 1800-an. Sedangkan Soekarno lahir pada 6 Juni 1901.

“Saya berharap pemda mau menyelidiki kebenaran apakah benar ini tempat lahir beliau (Soekarno, red). Orang tua beliau sebagai guru, memang ditempatkan di Surabaya ini," kata Megawati.

Dituturkannya, rumah itu sudah berkali-kali ganti pemilik maupun penghuni. Karenanya Megawati berharap ada keseriusan pemerintah untuk mengungkap kebenaran tentang tempat lahir Bung Karno.

Sebelumnya Puan Maharani mengatakan, kunjungan ke tempat kelahiran Bung Karno itu merupakan upaya untuk mengingat dan memaknai sejarah, sebagaimana pesan Proklamator RI itu tentang Jas Merah yang berarti Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah . "Bung Karno memang hidup di masa lalu. Tapi masa lalu tak boleh mati dan ditinggalkan begitu saja. Ajaran dan cita-cita Bung Karno akan tetap hidup, menjadi guidance (petunjuk arah, red) perjuangan PDIP untuk masa depan," ucap Puan yang juga cucu Soekarno itu.(ara/jpnn)



Bagaimana kondisi rumah kelahiran Sukarno?

BBC News, Indonesia

6 Juni 2015

Presiden RI pertama lahir di Surabaya pada 6 Juni 1901, rumah tempat kelahirannya di Kampung Pandean pun telah menjadi cagar budaya. Bagaimana kondisinya?

Sukarno lahir di sebuah rumah sederhana di Pandean gang IV no.40, Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya. Diatas pintu rumah dipasang plakat berwarna kuning keemasan bertuliskan "Rumah Kelahiran Bung Karno" dengan logo Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya.


Meski rumah ini telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya melalui Surat Keputusan Walikota Surabaya pada 2013 lalu, tetapi tampak tidak terawat dari luar.


Cat tembok rumah yang berwarna putih tampak kusam, begitu pula dengan kusen kayu yang berwarna biru.


Ketika BBC Indonesia datang ke Kampung Pandean tersebut, keterangan seorang tetangga rumah kelahiran Bung Karno menyebutkan Jamilah pemilik rumah sedang berada di luar kota.

Azhari, seorang warga asli Kampung Pandean yang berusia lanjut, menyampaikan bahwa rumah tersebut sudah empat sampai lima kali pindah tangan kepemilikan.

Plakat di rumah Sukarno

Azhari mengatakan berdasarkan cerita yang dia dapat dari orang-orang tua di kawasan itu, ayah Sukarno yaitu Raden Soekemi Sosrodihardjo merupakan salah satu pendatang di kampung Pandean, dan pindah beberapa tahun kemudian dari daerah tersebut.

Sukarno remaja, menurut cerita yang didapat Azhari, kembali lagi ke kawasan Pandean dan Peneleh

"Dulu Bung Karno dulu masa kecilnya biasa-biasa saja, setelah beliau remaja, datang lagi ke daerah Pandean-Peneleh utk belajar agama, politik dan pergerakan bersama dengan HOS Cokroaminoto, di daerah ini dulu tumbuh subur organisasi pergerakan dan kepemudaan", tukas Azhari.

Penelusuran rumah Sukarno

Penelusuran rumah tempat kelahiran Sukarno dilakukan Institut Sukarno sejak 2007 lalu.

Pendiri lembaga Intitut Sukarno, Peter A Rohi mengatakan kajian dari sejumlah buku diketahui Sukarno pernah tinggal di Kampung Pandean- dan Peneleh.

"Berdasarkan buku yang kami kaji buku-buku sebelum tahun 66, disebutkan Sukarno lahir di kawasan Pandean dan pernah tinggal kawasan Pandean dan Peneleh ketika remaja, kami pun mencari informasi dari warga yang tinggal di daerah itu untuk mengkonfirmasinya," jelas Peter.


Kampung Pandean Surabaya

Berdasarkan keterangan dari warga setempat itulah, menurut Peter, dia mengetahui lokasi tempat Sukarno dilahirkan.

Sejak tahun 2007 lalu, Pemerintah Surabaya berupaya menelusuri letak rumah kelahiran Bung Karno dengan melakukan kajian terhadap hasil riset Institut Sukarno dan Dinas Pariwisata dan Budaya serta dokumen sejarah lainnya.

Pemerintah kota Surabaya pun menemukan rumah kelahiran Bung Karno di kampung Pandean, dan telah menetapkannya sebagai bangunan cagar budaya pada 2013 lalu, seperti dijelaskan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Surabaya, Wiwik Widayati.

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata menyebutkan berupaya untuk membeli rumah ini, tetapi masih dalam proses penjajakan dengan pemilik rumah.

"Waktu itu ada masukan dari lembaga Institut sukarno dan memprosesnya sebagai bangunan cagar budaya, juga masukan dari anggota masyarakat," jelas Wiwik.

"Pemerintah kota mencoba telah ditetapkan jadi cagar budaya, rumah ini terpelihara sehingga diharapkan tidak terjadi perubahan bangunan itu tahap yang baru dilaksanakan, kami masih proses (untuk pembelian) sampai hari ini," jelas Wiwik.


Mengapa jadi kontroversi?

Tempat kelahiran Sukarno kembali dibicarakan setelah Presiden Jokowi salah menyebut Sukarno lahir di Blitar.

Kota tempat kelahiran Presiden RI pertama kembali menjadi pembicaraan setelah presiden Joko Widodo dalam pidato Peringatan Hari Pancasila Sakti menyebutkan Blitar sebagai kota kelahiran Sukarno. Padahal sumber-sumber sejarah menyebutkan Sukarno lahir di Surabaya. Mengapa berbeda?


Peter A Rohi menyebutkan perbedaan tersebut terjadi karena ada kesalahan dalam menerjemahkan buku tentang sukarno yang ditulis dalam bahasa Inggris oleh seorang jurnalis AS Cindy Adams.

"Selanjutnya buku itu diterjemahkan oleh tim penulis sejarah dari ABRI (TNI) dengan menyebutkan Bung Karno lahir di Blitar," jelas Peter.

Padahal dalam buku karya Cindy Adams , menurut Peter, Bung Karno mengatakan, "Karena bapak saya berpindah-pindah, maka ketika pindah ke Surabaya, di tempat itulah saya lahir," jelas Peter.

Dia menjelaskan dalam semua buku-buku biografi Bung Karno yang terbit sebelum tahun 1966, terang Peter, ditulis bahwa Bung Karno lahir di Surabaya.

Tetapi buku terjemahan karya Cindy Adams yang diterbitkan kembali pada 2007 lalu, menyebutkan Sukarno lahir di Surabaya.



 Mengintip Rumah Kelahiran Presiden Pertama Ir Soekarno di Peneleh Surabaya

Faiq Azmi - detikNews

Minggu, 06 Jun 2021 09:54 WIB

Surabaya - Hari ini, tepat 6 Juni merupakan tanggal lahir Presiden Ir Soekarno. Ya, Bapak Proklamator itu lahir pada 6 Juni 1901. Soekarno lahir di rumah kampung padat penduduk, yakni Pandean IV, Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya.

Detikcom mendatangi rumah kelahiran Soekarno, Sabtu (5/6/2021) malam. Di depan Gang Pandean IV, terpasang prasasti yang bertuliskan 'Di Sini Tempat Kelahiran Bapak Bangsa DR IR Soekarno'.


Rumah kelahiran Bung Karno berjarak 200 meter dari prasasti di depan gang Pandean IV. Dari depan rumah, tampak material bangunan rumah lama yang masih kental. Meski cat di kusen pintu dan tembok telah diperbarui, namun tidak menghilangkan karakteristik bangunan lama.


Sebagai informasi, bahwa rumah kelahiran Bung Karno kini telah dibeli oleh Pemkot Surabaya dan masuk bangunan cagar budaya. Di bagian teras rumah, terdapat sebuah penanda bahwa tanah dan bangunan rumah tersebut telah dimiliki oleh Pemkot Surabaya. Tepatnya pada Agustus 2020 lalu, Pemkot harus merogoh kocek sebesar Rp 1,5 miliar dari sang pemilik rumah. Di atas pintu masuk rumah itu, terdapat sebuah penanda yang bertuliskan 'Rumah Kelahiran Bung Karno'.


Rumah Kelahiran Presiden Soekarno di Surabaya/ Foto: Faiq Azmi

Memasuki rumah tersebut, aroma lembab sangat terasa. Maklum saja, sejak dibeli Pemkot Surabaya, rumah ini tidak berpenghuni dan hanya ditengok oleh petugas dari Disparta Surabaya seminggu sekali. Kebetulan, di dalam rumah kelahiran Bung Karno berjajar banyak kursi, untuk kegiatan peringatan hari lahir yang rencananya dihadiri Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi, Minggu (6/6/2021).


Saat memasuki ruang tengah, tampak terpasang bacaan Ayat Kursi di atas kusen. Tampak di bagian dalam, arsitektur rumah lama sangat kental terasa. Di ruang tengah, terdapat dua ruang kamar tidur. Satu di antaranya, merupakan kamar di mana Bung Karno dilahirkan.


Namun sayangnya, sejumlah bagian rumah seperti atap dan dapur bagian belakang tampak kurang terawat. Bahkan di lantai dua, tidak ada penerangan lampu, serta banyak kayu bangunan yang sudah mulai lapuk. Maklum saja, rumah ini memang sudah tidak berpenghuni sejak Agustus 2020 lalu.


Sejumlah pemuda di kampung kelahiran Bung Karno mendirikan komunitas yakni Kampung Soekarno (Kampoes).


Wakil Kampoes Reza 'Gundul' mengatakan, sejak dibeli Pemkot, rumah kelahiran Bung Karno sering ditutup dan jarang ada warga atau masyarakat umum bisa masuk.


"Sejak Agustus dibeli Pemkot Surabaya memang tertutup. Hari ini dibuka, karena ada persiapan buat acara besok peringatan hari lahir, kebetulan Pak Wali Kota rawuh (datang)," ujar Reza.


"Sebelum dibeli pemkot, yang punya itu tangan ke-4, atau sudah dijual sebanyak 4 kali. Dulu sebelum dibeli pemkot, warga masih bisa keluar masuk untuk melihat atau bahkan masyarakat luar bisa datang untuk masuk," sambungnya.



Bagian dalam Rumah Kelahiran Presiden Soekarno di Surabaya/ Foto: Faiq Azmi

Reza menjelaskan, dari sejumlah kesaksian para sesepuh di kampung itu, presiden pertama Indonesia ini menempati rumah tersebut sejak lahir hingga awal SMP.


"Ada teman biolanya Bung Karno, di kampung sebelah satu angkatan, namun sudah wafat. Beliau sebelum wafat bercerita, bahwa Bung Karno itu kalau sore hafalan ngaji di teras rumah ini. Kalau salat langsung ke langgar (musala) depan rumahnya. Selepas SMP, Bung Karno pindah ke Peneleh, di rumah gurunya HOS Tjokroaminoto," bebernya.


Tugas komunitas Kampoes sendiri selama ini, merawat lingkungan sekitar rumah Bung Karno. Setiap tanggal 5 Juni pada malam hari, digelar syukuran dan tumpengan untuk memperingati hari lahir Bung Karno.



Rumah kelahiran Soekarno, riwayatmu kini

Masih banyak orang yang mengganggap Soekarno lahir di Blitar. Bagaimana sejarah bisa salah menyebut kota kelahiran Proklamator RI ini?


SURABAYA, Indonesia — Bangunan rumah di Pandean Peneleh, Gang IV, Nomor 40, Surabaya, itu terlihat biasa saja. Rumah dengan cat putih berkusen dan berdaun pintu kayu yang dicat biru itu tampak sederhana. Namun siapa yang menyangka jika rumah sederhana ini menyimpan sejarah yang luar biasa.


Di sinilah Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia, dilahirkan. Sekira satu abad silam, Koesno, nama kecil Soekarno, lahir di Pandean Peneleh, Gang IV, No. 40, Surabaya—sebuah kampung dengan gang kecil yang berada di pusat kota Surabaya. Gang ini letaknya persis di depan Kali Mas. Mobil tak bisa masuk gang kecil ini, motor pun harus dituntun sejak ujung gang.


Saat itu, ayah Soekarno, Raden Soekemi Sosrodihardjo, dipindahtugaskan dari Singaraja, Bali, sebagai guru di Sekolah Rakyat Sulung Surabaya pada 1900. Soekemi datang ke Surabaya bersama istrinya, Ida Ayu Nyoman Rai Srimben, yang tengah mengandung Soekarno. Mereka pergi ke Surabaya dengan menggunakan kapal. Saat itu, kapal yang mereka tumpangi berlabuh di Kali Mas, tak jauh dari rumah ini. Soekarno sendiri lahir pada 1 Juni 1901.


”Saya menduga sejarah kelahiran Bung Karno itu memang sengaja dikaburkan untuk menjauhkan Soekarno dengan massanya. Orde Baru khawatir kalau Soekarno disebut lahir di Surabaya yang mempunyai jumlah penduduk besar bisa menimbulkan gejolak.”

Namun sejatinya, Soekarno tak lama tinggal di rumah ini. Karena Soekarno kecil kemudian tinggal bersama dengan kakeknya, Raden Hardjokromo, di Tulungagung Jawa Timur. Baru kemudian pada 1915, Soekarno yang telah menyelesaikan pendidikannya di ELS kemudian melanjutkan ke HBS di Surabaya.


Ia dapat diterima di HBS atas bantuan seorang kawan bapaknya yang bernama H.O.S. Tjokroaminoto. Tjokroaminoto bahkan memberi tempat tinggal bagi Soekarno di pondokan kediamannya. Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu, seperti Alimin, Musso, Dharsono, Haji Agus Salim, dan Abdul Muis.


Sementara Blitar, yang selama ini sering disebut-sebut tempat kelahiran Proklamator RI ini, adalah tempat penugasan terakhir Soekemi Sosrodiharjo ketika dipindahkan dari dari Mojokerto dan dipromosikan menjadi penilik pada 1917.


Keterangan bahwa Soekarno terlahir di Surabaya ini berdasarkan dari buku-buku biografi tentang Soekarno, antara lain Soekarno sebagai Manusia (1933) dan Kamus Politik (1950). 


Tiga terbitan ensiklopedi juga mendukung argumen tersebut, masing-masing:


Ensiklopedia Indonesia 1955, NV Penerbitan W. Van Hoeve Bandung

Ensiklopedia Indonesia terbitan PT Ikhtiar Baru (1986) 

Ensiklopedia Nasional Indonesia, Penerbit Delta Pamungkas Jakarta (1997)

Ada juga beberapa buku lain seperti: 


Pengukir Jiwa Soekarno karangan Soebagijo IN

Bung Karno Putra Sang Fajar karangan Solichin Salam

Ayah Bunda Bung Karno karangan Nurinwa Ki. S Hendrowinoto dkk

Riwayat Ringkas Penghidupan dan Perjuangan Ir. Soekarno karangan Nasution M.Y

Dalam semua buku-buku terbitan itu bahkan sampai mencantumkan jika Soekarno lahir di Pandean, Peneleh Gang IV, Nomor 40, Surabaya.


Tak hanya itu, sejumlah penulis asing juga kerap menuliskan Soekarno sebagai kelahiran Surabaya. Para penulis asing biasanya mengutip sumber arsip di Leiden, Belanda, sebagaimana yang tertulis dalam ijasah dan berkas perkara Soekarno ketika diadili. Sebagian lagi merujuk pada buku Soekarno: Autobiography as Told to Cindy Adams (1996) tulisan Cindy Adams dan Soekarno Mitos dan Realitas tulisan Bob Herring (1986). 


Terkait sejarah yang menyebut Soekarno lahir di Blitar sebenarnya merujuk dari data yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Sejarah ABRI pada 1967. Data ini yang kemudian dirujuk oleh Sekretariat Negara. Data ini kemudian dikutip di buku-buku sejarah, terutama terbitan di atas 1967.


Ihwal mengapa bisa sampai keliru soal sejarah tempat kelahiran Soekarno, Peter A. Rohi, seorang jurnalis senior yang tinggal di Surabaya, mengatakan, hingga kini ia belum mengetahui apa penyebab pastinya. Peter yang juga ikut terlibat dalam pelurusan sejarah tempat lahir Soekarno hanya bisa menduga, bahwa itu terkait dengan kepentingan pemerintah Orde Baru saat itu.


“Saya menduga sejarah kelahiran Bung Karno itu memang sengaja dikaburkan untuk menjauhkan Soekarno dengan massanya. Orde Baru khawatir kalau Soekarno disebut lahir di Surabaya yang mempunyai jumlah penduduk besar bisa menimbulkan gejolak. Apalagi arek-arek Suroboyo dikenal punya jiwa patriotis,” kata Peter.


Rumah kelahiran Soekarno kini


Mural di tembok rumah kelahiran Soekarno di Surabaya. Foto oleh Amir Tedjo/Rappler 

Rumah tempat kelahiran Soekarno kini ditempati oleh seorang warga bernama Jamilah beserta keluarganya. Ia membeli rumah ini sekitar 1990 lalu seharga Rp16 juta. Ia sendiri tak menyangka, jika rumah yang ditempatinya kini adalah rumah kelahiran Proklamator RI. 


“Baru sekitar 2009 lalu banyak peneliti yang mulai mendatangi rumah ini,” kata Jamilah.


Rumah ini juga sudah dijadikan sebagai bangunan Cagar Budaya oleh Pemerintah Kota Surabaya sejak 2013 lalu oleh Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Namun meski sudah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya, kepemilikan rumah seluas 5×14 meter ini masih atas nama Jamilah.


Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya Agus Imam Sonhaji mengatakan, sejak 2014 Pemerintah Kota Surabaya sebenarnya sudah berusaha membeli rumah kelahiran Bung Karno ini. Pemkot waktu itu bahkan sudah melakukan tawar menawar dengan pihak ahli waris. Namun menurut Agus, pemilik rumah menetapkan harga yang terlalu tinggi yaitu sekitar Rp5 miliar.


“Padahal sesuai dengan appraisal nilainya hanya Rp700 juta, tapi pihak ahli waris meminta jauh di atasnya,” kata Imam.


Alotnya proses jual beli rumah tempat lahir Soekarno ini, disesalkan oleh Ketua DPRD Kota Surabaya Armuji. Ia mengatakan, ada kepentingan sejarah yang harus diselamatkan oleh Pemkot Surabaya, sehingga tak bisa dinilai dengan appraisal yang biasa.


Sebaliknya, Peter malah menyesalkan pemilik rumah yang menetapkan harga terlalu tinggi. Menurutnya, tak seharusnya pemilik rumah mematok harga yang terlalu tinggi karena rumah itu untuk kepentingan bangsa dan negara. 


“Klise memang. Tapi saya sebagai penganut ajaran Soekarno memegang teguh ajaran Soekarno soal rela berkorban untuk bangsa dan negara,” kata Peter. —Rappler.com

Jamilah Akui Berat Melepas Rumah Lahir Soekarno yang Kini Resmi Milik Negara

Sumber bahan : Konten Media Partner

18 Agustus 2020 6:32

Tiga puluh tahun menempati rumah kelahiran presiden pertama RI, Soekarno, kini Siti Jamilah bersama keluarganya harus rela melepas rumah tersebut. Rumah yang terletak di Jalan Peneleh Gang Pandean IV nomor 40, Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya, itu resmi diserahkan ke Pemkot Surabaya, Senin (17/8).

"Sebenarnya saya berat melepas rumah ini karena ada banyak kenangan disini. Ibu saya meninggal disini, saya juga menikah disini," ujar Siti Jamilah saat ditemui Basra, usai prosesi penyerahan rumah lahir Soekarno kepada Pemkot Surabaya.

Jamilah lantas berkisah jika dirinya dan keluarga mulai menempati rumah dengan dua kamar tidur itu sejak tahun 1990. Namun kala itu dirinya tak mengetahui jika rumah tersebut sangat bersejarah. Jamilah merupakan orang kesekian yang menempati rumah tersebut.

"Saya tangan keempat yang membeli rumah ini. Awalnya tidak tahu kalau ini rumah lahirnya Pak Karno," tukas perempuan paruh baya ini.

Awalnya tak banyak yang kenal dan tahu mengenai sejarah rumah tersebut. Sejarah bermula akhir tahun 1900, saat ayah Soekarno, Raden Soekemi Sosrodiharjo yang berprofesi sebagai guru di sekolah dasar pribumi di Singaraja, Bali, dipindahtugaskan mengajar ke Sekolah Rakyat Sulung di Surabaya. Soekemi memboyong istrinya, Ida Ayu Nyoman Rai yang tengah mengandung Soekarno. Ia lahir di rumah yang sekarang didiami keluarga Siti Jamilah.

Pasca ditetapkan sebagai ‘Bangunan Cagar Budaya’ pada 2013 silam sebagai “Rumah Kelahiran Bung Karno” oleh Pemkot Surabaya, banyak warga yang berkunjung ke rumah tersebut.

"Banyak yang datang, ada yang sendirian, ada yang bersama komunitasnya. Sejak tahu rumah ini bersejarah, saya merasa bangga bisa tinggal di rumah ini," tukas Jamilah.

Mencari rumah tersebut tidak terlalu sulit, tinggal cari Jalan Peneleh. Setelah itu, tinggal mencari gang Pandean IV nomor 40 yang ada di sisi kiri jalan dan menyusuri gang dengan lebar sekitar 3,5 meter.

Di atas daun pintu rumah tersebut terpasang pelat kuning yang menjelaskan sebagai bangunan cagar budaya dengan SK Walikota Surabaya nomor 188.45/321/436.1.2/2013.

Setelah resmi diserahkan ke Pemkot Surabaya, nantinya Jamilah dan keluarganya harus rela meninggalkan rumah tersebut. Pasalnya rumah tersebut akan difungsikan sebagai museum.

"Katanya mau dijadikan seperti rumah Pak Hos (Museum HOS Tjokroaminoto), jadi ya harus pindah dari sini, tapi masih belum tahu kapan pindahnya, sekarang masih cari-cari rumah baru," imbuh Jamilah.

Meski enggan mengungkapkan nominalnya, namun Jamilah mengakui jika mendapatkan kompensasi dari Pemkot Surabaya karena telah dengan sukarela melepas rumah tersebut.

Sementara itu, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menyampaikan terima kasih kepada para ahli waris rumah kelahiran Bung Karno yang telah sudi dan berkenan merelakan rumahnya diserahkan kepada Pemkot Surabaya.

Menurutnya, rumah tersebut adalah rumah kebanggaan bersama dan merupakan simbol kebanggaan bersama.

"Terima kasih para ahli waris yang sudah sudi dan berkenan merelakan rumah kebanggaan kami, ini simbol kebanggaan kami. Nanti rumah ini akan kami jadikan museum, apalagi di kawasan ini banyak sejarahnya dan sudah kami beri titik-titik, seperti langgar, makam dan beberapa benda lainnya,” kata Risma seusai menerima rumah kelahiran Bung Karno itu.

Ia mengatakan, niat baik para ahli waris ini tentu akan sangat bermanfaat bagi bangsa dan negara Indonesia.

Sebab, nanti anak-anak Surabaya dan anak luar Surabaya bisa belajar sejarah di rumah ini, termasuk bagaimana perjuangan Bung Karno dengan segala keterbatasannya tapi mampu membuat Indonesia sejajar dengan negara-negara lain di dunia.

Menurutnya, rumah ini punya arti yang sangat besar dan kuat bagi anak-anak. Makanya, dia berkali-kali memohon kepada para ahli waris rumah itu untuk ikhlas supaya rumah tersebut bisa dijadikan tempat belajar bagi anak-anak, baik anak Surabaya maupun luar Surabaya.

"Saya yakin anak-anak dari luar daerah juga akan belajar ke sini, terutama belajar bagaimana besarnya Bung Karno di tengah keterbatasannya kala itu," tutur Risma.

Karena akan dijadikan museum, makanya sejak beberapa waktu lalu Pemkot Surabaya sudah memperbaiki beberapa infrastruktur di kawasan tersebut, termasuk pedestriannya.

Menelusuri Jejak Rumah Kelahiran Bung Karno di Surabaya

 Jumat , 10 Jun 2011, 16:38 WIB



Red: Stevy Maradona


    

REPUBLIKA.CO.ID, Hampir semua rumah peninggalan Belanda di kawasan Jalan Pandean, Surabaya masih asli. Antara satu rumah dan rumah lainnya nyaris tak ada berbeda, bentuk, model, dan coraknya bergaya kolonial. Sejak dulu, tidak ada yang spesial di kampung itu. Namun akhir - akhir ini, warga dikejutkan dengan penelitian yang menggemparkan.


Tidak hanya bagi warga setempat, masyarakat Indonesia pun dibuat tercengang dengan penemuan bahwa rumah kelahiran Soekarno, Presiden pertama RI yang juga Sang Proklamator, berada di sebuah gang sempit yang berukuran tidak lebih dari tiga meter di Kota Pahlawan, Surabaya. Bukan di Blitar sebagaimana yang diketahui masyarakat Indonesia selama ini.


Bung Karno dilahirkan di Surabaya, tepatnya di sebuah rumah kontrakan Jalan Lawang Seketeng, sekarang berubah menjadi Jalan Pandean IV/40. Ayahnya Raden Soekemi seorang guru sekolah rakyat dan ibunya Ida Ayu Rai seorang perempuan bangsawan Bali.


"Setelah kami lakukan penelitian dan melalui kajian cukup lama, ternyata rumah kelahiran Soekarno bukan di Blitar, melainkan di Surabaya," ujar Ketua Umum "Soekarno Institute", Peter A Rohi.



 

Ukuran bangunan rumah itu 6x14 meter. Terdiri dari satu ruang tamu, satu ruang tengah yang biasa ditempati keluarga bersantai, dan dua kamar. Di belakang ada dapur yang terdapat juga sebuah tangga kayu untuk naik ke lantai dua. Di lantai atas tersebut, hanya digunakan untuk menjemur pakaian.


"Dari dulu, ya seperti ini. Kami tidak mengubahnya, atau merenovasi," ujar Siti Djamilah, pemilik rumah saat ini.


Ia mengaku menempati bangunan itu sejak 1990. Ketika itu, ia ikut kedua orangtuanya. Kakak Djamilah dan suaminya, H. Zaenal Arifin juga menetap rumah itu.


Kemudian, 1998 Djamilah menikahi Choiri. Setelah kedua orang tua Djamilah meninggal, mereka hanya tinggal berempat. "Kami tidak menyangka bahwa rumah ini adalah tempat kelahiran Bung Karno. Sebuah kebanggaan dan anugerah karena kami tinggal di rumah tokoh kelas dunia. Tidak hanya presiden, tapi seorang yang patut menjadi teladan bangsa Indonesia," tutur Choiri, suami Djamilah.


"Kami sudah melalui kajian dan penelitian panjang sejak masa reformasi. Bahkan penelitian juga kami lakukan di Belanda. Buku-buku sejarah masa lalu juga membuktikan bahwa di Surabaya inilah Bung Karno dilahirkan. Syukurlah sekarang bisa diresmikan," ujar Peter A. Rohi.


"Di Jakarta ada prasasti Barack Obama, padahal dia Presiden Amerika Serikat. Masak Presiden Indonesia tidak ada prasastinya? Kami memasangnya di rumah kelahiran Soekarno," katanya, menambahkan.


_Pasang Prasasti_


Dijelaskan Peter, pemasangan prasasti digelar 6 Juni 2011 karena disamakan dengan tanggal kelahiran Soekarno, yakni 6 Juni 1901. Peter menyayangkan sikap pemerintah yang menyatakan bahwa Soekarno lahir di Blitar. Padahal, kata dia, berbagai buku-buku sejarah dan arsip nasional ditegaskan bahwa Soekarno dilahirkan di Surabaya.


Ia berani menunjukkan puluhan koleksi buku sejarah yang menuliskan kelahiran Soekarno. Di antaranya, buku berjudul "Soekarno Bapak Indonesia Merdeka" karya Bob Hering, "Ayah Bunda Bung Karno" karya Nurinwa Ki S. Hendrowinoto tahun 2002, "Kamus Politik" karangan Adinda dan Usman Burhan tahun 1950.


Lainnya, "Ensiklopedia Indonesia" tahun 1955, "Ensiklopedia Indonesia" tahun 1985, dan "Im Yang Tjoe" tahun 1933 yang sudah ditulis kembali oleh Peter A Rohi dengan judul "Soekarno Sebagi Manoesia" pada tahun 2008.


"Bahkan mantan Kepala Perpustakaan Blitar sudah mengakui bahwa Soekarno tidak dilahirkan di Blitar, melainkan di Surabaya," tuturnya. Pihaknya berharap, ke depan masyarakat Indonesia lebih mengetahui dan mengakui bahwa kota kelahiran Soekarno yang selama ini dikenal adalah keliru.


"Dulu pascatragedi G30S/PKI, semua buku sejarah ditarik dan diganti di Pusat Sejarah ABRI pimpinan Nugroho Notosusanto. Tapi saya heran, kenapa ada pergantian kota kelahiran Soekarno? Semoga pemerintah ke depan sudah mengakui bahwa lahirnya presiden pertama Indonesia ada di Surabaya," papar Peter.


Walikota Surabaya Tri Rismaharini juga mengaku sangat yakin bahwa Bung Karno bukan dilahirkan di Blitar. Pihaknya juga telah mengirim surat ke Pemerintah Pusat untuk meluruskan persoalan ini dan optimistis pemerintah mengakuinya.


"Kami masih menunggu respon dari Pemerintah Pusat. Tapi tahun 2010, walikota Surabaya saat itu, Bambang DH, sudah menandatangani prasasti sekaligus mengirimkan surat ke pemerintah pusat," tutur Tri Rismaharini.


_Jadi Museum_


Menurut Risma, pihaknya sudah menemui keluarga pemilik rumah, Choiri, agar bersedia menjualnya dan akan dijadikan museum atau tempat cagar budaya.


"Saya sudah memberikan tugas kepada Dinas Pariwisata Kota Surabaya untuk negosiasi harga dengan pemilik rumah. Nantinya rumah kelahiran Bung Karno akan dijadikan museum dan untuk kawasan sejarah," ujar Tri Rismaharini ketika ditemui di sela pemasangan prasasti dan peresmian rumah kelahiran Bung Karno, Senin (6/6).


Sayang, orang nomor satu di Surabaya tersebut enggan menyebutkan anggaran yang dikeluarkan. "Harga masih negosiasi. Saya sudah minta ke Bu Wiwik (Kepala Dinas Pariwisata) untuk mengalokasikan dana dari Perubahan Anggaran Keuangan (PAK) Kota Surabaya. Lebih bagus lagi kalau masih ada barang-barang aslinya, agar bisa menceritakan ke anak-anak bahwa di Surabaya Bapak Proklamator dilahirkan," tutur Risma.


Sementara itu, keluarga Bung Karno, Prof. Haryono Sigit, mengakui bahwa orangtua Bung Karno pernah tinggal di rumah itu. Ia juga menyerahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Kota Surabaya untuk mengelola rumah tersebut. "Mau diapakan rumah itu, bukan wewenang saya. Saya serahkan ke Pemkot," tukas mantan Rektor ITS Surabaya tersebut.


Direktur Utama Surabaya Herritage, Freddy H Istanto mengatakan, jika nantinya rumah kelahiran Soekarno dijadikan museum maka yang harus diperhatikan adalah sistem pengelolaannya.


Choiri, selaku pemilik rumah mengatakan, secara prinsip pihaknya tidak mempermasalahkan dan siap menjual rumahnya ke Pemkot Surabaya. Terkait harga, ia mengaku masih melakukan negosiasi untuk menentukan harga yang pas. "Tapi kami masih banyak saudara kok di Surabaya, sambil mencari rumah, kami mungkin tinggal di rumah saudara dulu," timpal Djamilah.


sumber : Antara

Rabu, 14 Juni 2023

Alas Roban

 Tulisan tanpa sumber dapat dipertanyakan dan dihapus sewaktu-waktu.

Cari sumber: "Alas Roban" 



Jalan Alas Roban atau Jalur Alas Roban adalah salah satu jalur jalan tanjakan yang cukup curam yang berada di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Jalur ini menghubungkan Kota Batang dan Semarang dan merupakan bagian dari Jalur Pantura. Jalanan yang menanjak berkelok dan kepadatan kendaraan saat arus mudik acap kali menyebabkan kecelakaan di daerah tersebut. Dari Kendal menuju Pekalongan harus melawati kawasan Alas Roban yang konon merupakan salah satu Jalur Tengkorak di Jawa Tengah. Alas artinya Hutan, berarti kawasan ini adalah hutan belantara yang dibelah untuk dibuat jalan raya. Medannya lumayan sulit. Banyak kelokan dan tanjakan curam. Untuk mengurangi risiko kecelakaan, maka saat ini sudah dibuatkan jalur alternatif di kawasan Alas Roban. Jalur alternatif lingkar Utara dan Selatan. Kendaraan pribadi dan sepeda motor melalui jalur lingkar alternatif utara. Kendaraan berat biasanya memanfaatkan jalur selatan berupa jalan beton. Walaupun relatif lebih jauh, namun tidak banyak tikungan tajam dan tanjakan curam. Di sepanjang jalur ini pula banyak sopir memarkir kendaraan beratnya untuk beristirahat.


Alas Roban terletak di jalur Kecamatan Gringsing, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Jalan curam berkelok, kanan-kirinya ditumbuh pohon-pohon tinggi, membuat merinding siapapun yang melintasi jalur ini. Kurangnya penerangan jalan juga membuat suasana seram semakin melekat dengan tempat ini. Sekilas, jalan di Alas Roban tidak berbeda dengan jalan-jalan lain di tengah hutan Indonesia.


Jalan ini dibangun pada masa penjajah Hindia Belanda dan merupakan bagian dari Jalan Raya Pos dan sekarang dikenal dengan Alas Roban. Jalur penghubung Jawa Tengah dengan Jawa Barat ini merupakan gagasan dari Herman Willem Daendels yang mempekerjakan rakyat Indonesia secara paksa.


Alas Roban merupakan salah satu titik rawan macet di Jalur Pantai Utara Pulau Jawa (Pantura). Bentuk jalan yang menikung dan menanjak membuat kendaraan besar seperti truk pengangkut barang harus ekstra hati-hati saat melintasinya. Kondisi seperti itu rawan menimbulkan kemacetan panjang saat arus lalu lintas sedang padat seperti saat musim mudik Lebaran. Tak jarang, kecelakaan kendaraan dijumpai di titik ini juga karena ada lingkungan sekitar Alas Roban masih berbentuk hutan dan minim penerangan.


Saat ini Jalur Alas Roban ini ada tiga jalur yang bisa dilewati, yakni Jalan Poncowati atau Jalan Sentul Alas Roban (jalur lama), jalur lingkar selatan, dan jalur utara (Jalur Pantura). Jalur lama biasanya banyak dilewati truk gandeng dan bus. Jalur selatan juga dilewati truk besar, sedangkan jalur utara kendaraan pribadi dan roda dua.

Sabtu, 10 Juni 2023

Bangun Nikah

Berapa beaya Bangun Nikah ?

Sebenarnya tidak ada ketentuan.

Yang penting persyaratan dan dapat menyelesaikan masalah dalam rumah tangga.

Masjid x, untuk Ustadz sukarela 400 ribu, saksi 100 ribu rupiah.

Masjid Z, ditentukan komplit 1.900.000 rupiah.

Sabtu : 10 Juni 2023

(15.10 - 15.40)

Susunan acara :

1. Pembukaan oleh saksi, prakata nikah.

2. Sambutan Ustadz.

3. Ustadz minta ijin ke Wali untuk menikahkan dengan mengucap kalimat penyerahan Wali ke Ustadz 

4. Ustadz menyalami Temanten laki-laki untuk mengucapkan ijab kabul dan yang lain mengucapkan Syah.

5. Lanjut doa oleh pembawa acara.

6. Selesai.

7. Foto bersama.

Bangun nikah menurut perspektif hukum Islam termasuk urf, yakni kebiasaan masyarakat yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. tradisi ini dapat diterima masyarakat secara umum dan diyakini oleh sebagian masyarakat untuk meredam dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan rumah tangga.

Apakah boleh bangun nikah dalam Islam?

Hasil Penelitian yaitu dalam tinjauan hukum islam, hukum Mbangun nikah boleh-boleh saja, dengan unsur Tajammul (memperindah) dan ihtiyat (kehati-hatian), dan begitupun Mbangun nikah tidak boleh apabila ada unsur untuk merusak akad yang pertama.

Apa gunanya bangun nikah?

Kegiatan itu adalah Bangun Nikah suatu bentuk mediasi dengan cara pembaharuan akad nikah atau melakukan akad kembali, yang mana tradisi ini dapat merekatkan hubungan suami istri yang renggang dan kurang harmonis.

Apa saja syarat bangun nikah?

Syarat Nikah

Beragama Islam. Syarat calon suami dan istri adalah beragama Islam serta jelas nama dan orangnya. ...

2. Bukan mahram. Bukan mahram menandakan bahwa tidak terdapat penghalang agar perkawinan bisa dilaksanakan. ...

3. Wali nikah bagi perempuan. ...

4. Dihadiri saksi. ...

Sedang tidak ihram atau berhaji. ...

6. Bukan paksaan.


Apa hukumnya memperbaharui nikah?

Di mana kesimpulannya adalah hukum tajdidun nikah (memperbarui nikah tanpa terjadinya cerai) adalah boleh, bertujuan untuk memperindah atau ihtiyat (kehati-hatian) dan tidak termasuk pengakuan talak (tidak wajib membayar mahar).


 Bolehkah bangun nikah tanpa wali?

Hukum nikah tanpa wali dari pihak perempuan pada dasarnya tidak sah. Dalam hal ayah Anda tidak mau menjadi wali nikah, Anda dapat meminta kerabat Anda yang memenuhi syarat untuk menjadi wali nikah. Jika semua wali nasab tidak ada atau tidak mau, Anda baru dapat mengajukan wali hakim ke Pengadilan Agama.








Senin, 05 Juni 2023

5 Batas Wilayah Miqat Haji, Jadi Tempat Jemaah Memulai Ihram


Berliana Intan Maharani - detikHikmah

Senin, 05 Jun 2023 08:02 WIB

Jakarta - Batas wilayah miqat haji perlu diketahui oleh para calon jemaah sebelum mulai mengerjakan ibadah hajinya. Miqat yang terkait dengan batas wilayah dimulainya ibadah haji disebut sebagai miqat makani.

Mengutip dari buku Fikih Sunnah Jilid 3 karya Sayyid Sabiq, miqat makani adalah batas wilayah jemaah haji memulai ibadahnya dengan berihram. Orang yang melaksanakan ibadah haji ataupun umrah tidak boleh melewati tempat-tempat ihram tanpa mengenakan pakaian ihram di tempat tersebut.

Apabila orang yang hendak pergi berhaji melewati miqat makani tanpa berihram, hal itu termasuk pelanggaran sehingga mewajibkan adanya denda. Penetapan batas-batas miqat makani telah disampaikan oleh Rasulullah SAW lewat hadits shahih berikut:

إِنَّ رَسُول الله الله وَفَّتَ لأهل الْمَدِينَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ وَلِأَهْلِ الشَّامِ الْجُحْفَةَ ولأن هل نَجْدٍ قَرْنَ الْمَنَازِلِ وَلأِهْل الْيَمَنِ يَلَمْلَمَ. هُنَّ هُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِ أَهْلِهِنَّ مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ. وَمَنْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ حَتَّى أَهْل مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ

Artinya: Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu berkata, "Sesungguhnya Rasulullah saw. telah menetapkan batas (miqat makani) buat penduduk Madinah adalah Dzul Hulaifah, buat penduduk Syam adalah Juhfah, buat penduduk Najd adalah Qarnul-manazil, buat penduduk Yaman adalah Yalamlam. Semua berlaku buat penduduk tempat itu dan orang-orang yang melewatinya yang berniat melaksanakan ibadah haji dan umrah. Dan barangsiapa yang berada lebih dekat dari tempat-tempat itu, maka miqatnya adalah dari tempat tinggalnya sampai-sampai penduduk Makkah (miqatnya) dari Mekkah. (HR. Bukhari dan Muslim)

Berdasarkan hadits tersebut, Rasulullah SAW menyebutkan ada 5 batas wilayah miqat haji yang menjadi tempat jemaah memulai ihramnya. Berikut ini penjelasan selengkapnya dilansir dari buku Ensiklopedia Fikih Indonesia: Haji & Umrah karya Ahmad Sarwat.

Batas Wilayah Miqat Haji

1. Dzul Hulaifah

Dzul Hulaifah adalah batas wilayah miqat bagi penduduk Madinah dan jemaah haji dari negara manapun yang tiba melalui rute tersebut. Jarak antara wilayah miqat ini kurang lebih 450 kilometer dari kota Makkah.

Jemaah haji yang berasal dari Indonesia, khususnya gelombang pertama, akan mengambil miqat di tempat ini. Hal itu karena sebelum mendatangi Makkah, mereka berziarah terlebih dahulu ke Masjid Nabawi di Madinah.

Kemudian pada hari yang telah dijadwalkan, jemaah haji di Madinah baru bergerak menuju Makkah sehingga memulai niat haji, berihram, dan bertalbiah dari titik ini.

2. Al-Juhfah

Al-Juhfah merupakan wilayah miqat bagi penduduk Arab Saudi bagian Utara, negara-negara Afrika Utara dan Barat, serta penduduk negeri Syam seperti Lebanon Yordania, Syiria, dan Palestina yang melewati rute mereka.

Di dekat Al-Juhfah terdapat sebuah kota bernama Rabigh yang kalau diukur jaraknya sekitar 190 kilometer sebelum Kota Makkah. Posisi Kota Rabigh ini berada sebelum garis miqat Al-Juhfah sehingga jemaah yang memulai ihramnya dari Rabigh hukumnya tetap sah.

3. Qarnul Manazil

Qarnul Manazil adalah miqat bagi penduduk Najd, negara-negara teluk, Irak (bagi yang melewatinya), Iran, dan penduduk Arab Saudi bagian timur di sekitar Pegunungan Sarat. Wilayah miqat ini kini dikenal dengan nama As-Sail atau As-Sayl Al-Kabir.

Posisi Qarnul Manazil berada di sebelah timur Kota Makkah dan di utara Thaif yang berjarak sekitar 80 kilometer dari makkah. Jemaah haji yang tiba ke Makkah lewat jalur ini harus sudah mulai berihram sejak dari titik ini.

4. Yamlamlam

Yamlam merupakan miqat bagi penduduk negara Yaman dan bangsa lain yang melaluinya. Di masa lalu saat masih menggunakan kapal laut, Yamlam menjadi miqat untuk jemaah haji Indonesia, Malaysia, dan sekitarnya.

Jarak Yalamlam terletak sekitar 10 km dari Kota Makkah dan menjadi titik yang paling luas, berwujud seperti lembah besar di sebelah selatan Kota Jeddah.

5. Dzatu 'Irqin

Dzatu 'Irqin merupakan batas wilayah miqat bagi penduduk negeri Irak dan wilayah sekitarnya seperti Kufah dan Bashrah. Wilayah ini berjarak sekitar 94 kilometer dari Kota Makkah. Saat ini, nama wilayah ini sering disebut dengan Adh-Dharibah.

Itulah 5 batas wilayah miqat haji yang menjadi tempat jemaah memulai ihram dan berniat melaksanakan ibadahnya.

Minggu, 04 Juni 2023

Sejarah Dzulhulaifah dan Asal Usul Nama Bir Ali, Tempat Miqat Jemaah Indonesia dari Madinah

Oleh Nafiysul Qodar diperbarui 04 Jun 2023, 06:10 WIB

Liputan6.com, Jakarta - Bir Ali. Nama ini begitu akrab di telinga jemaah haji Indonesia, terutama yang singgah lebih dulu di Madinah sebelum menunaikan ibadah umrah dan haji di Kota Makkah Al-Mukarromah.

Kawasan yang memiliki nama asli Dzulhulaifah ini menjadi miqat makani atau batas tempat memulai ibadah umrah dan haji (berihram) bagi para jemaah yang berangkat dari Madinah, termasuk jemaah haji Indonesia gelombang I.

Sejak Kamis 1 Juni 2023 kemarin, ribuan jemaah haji Indonesia yang telah tinggal selama sekitar sembilan hari di Madinah secara bertahap berbondong-bondong ke Bir Ali untuk berihram sebelum melaksanakan umrah di Kota Makkah.

Dzulhulaifah sendiri merupakan nama sebuah kawasan di lembah Aqiq yang berada di pinggiran Kota Madinah mengarah ke Makkah. Kawasan ini ditetapkan Nabi Muhammad SAW sebagai miqat haji atau umrah bagi para penduduk Madinah, termasuk orang-orang yang datang dari arah kota tersebut.

Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim. Dari Abdullah bin Abbas RA, ia berkata “Nabi SAW menetapkan miqat untuk penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, penduduk Syam di Juhfah, penduduk Nejd di Qarnul Manazil dan penduduk Yaman di Yalamlam.”

Nabi SAW bersabda “Miqat-miqat tersebut sudah ditentukan bagi penduduk masing-masing kota tersebut dan juga bagi orang lain yang hendak melewati kota-kota tadi padahal dia bukan penduduknya namun ia ingin menunaikan ibadah haji atau umrah. Barangsiapa yang kondisinya dalam daerah miqat tersebut, maka miqatnya dari mana pun dia memulainya. Sehingga penduduk Makkah, miqatnya juga dari Makkah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dengan begitu, maka seluruh jemaah haji Indonesia gelombang I akan mengambil miqat di Dzulhulaifah atau Bir Ali sebelum melaksanakan ibadah umrah di Makkah. Sebab, jemaah haji gelombang I lebih dulu berada di Madinah selama sekitar sembilan hari sebelum bergeser ke Makkah.

Lantas kenapa Dzulhulaifah disebut juga Bir Ali?

Menurut Abdul Qodir Al-Jaziri Al-Hambali (W. 977 H) seorang ulama mazhab Hambali dari Mesir. kawasan Dzulhulaifah oleh para jemaah haji dikenal dengan sebutan Abyar Ali atau Bir Ali karena di kawasan lembah aqiq tersebut terdapat banyak sumur.

Bir sendiri berasal dari kata Bi'ru yang berarti sumur. Konon jumlah sumur di kawasan tersebut ada 13, termasuk sebagian yang sudah tidak keluar air.

Sementara nama 'Ali' dalam kata Bir Ali banyak perbedaan pendapat. Ada pendapat yang mengatakan bahwa sebutan itu dinisbatkan kepada Sayyidina Ali RA, tetapi pendapat ini cukup lemah.

Merujuk kepada Sultan Ali bin Dinar

Sumber lain mengatakan, sebutan 'Ali' dinisbatkan kepada Sultan Ali bin Dinar, seorang raja dari Darfur (wilayah bagian barat Sudan) yang menunaikan ibadah haji dan mengambil miqat di Dzulhulaifah pada tahun 1898 M/1315 H.

Ketika tiba di Dzulhulaifah, beliau merasa prihatin dengan kondisi tempat miqat tersebut. Agar lebih nyaman, beliau berinisiatif memperbaiki fasilitas dan membuatkan sumur-sumur, sehingga jemaah yang mengambil miqat haji atau umrah di tempat ini tercukupi kebutuhan airnya.

Hal itulah yang menjadikan Dzulhulaifah dikenal dengan sebutan Abyar Ali atau Bir Ali. Namun, pendapat ini juga banyak yang kurang sepakat. Karena, nama Bi'ru Ali atau Abyar Ali sudah ditemukan dalam buku-buku para ulama jauh sebelum Sultan Dinar bin Ali menunaikan ibadah haji, seperti disebutkan oleh Jamaluddin al-Mathari (741 H), al-Jaziri (977 H), al-Muknasi (1213 H).

Di Bir Ali ada sebuah masjid yang menjadi tempat jemaah haji atau umrah melakukan salat Sunnah ihram dua rakaat. Masjid tersebut bernama Masjid Asy-Syajarah. Jemaah haji Indonesia sering menyebutnya dengan Masjid Bir Ali.

Lantas siapa Ali yang namanya disematkan dalam sebutan Bir Ali? Wallahu a'lam bishshawab.

Lagu nasional

  Lagu nasional Tanah Airku Tanah air ku tidak kulupakan Kan terkenang selama hidupku Biarpun saya pergi jauh Tidak kan hilang dari kalbu Ta...