Oleh Nafiysul Qodar diperbarui 04 Jun 2023, 06:10 WIB
Liputan6.com, Jakarta - Bir Ali. Nama ini begitu akrab di telinga jemaah haji Indonesia, terutama yang singgah lebih dulu di Madinah sebelum menunaikan ibadah umrah dan haji di Kota Makkah Al-Mukarromah.
Kawasan yang memiliki nama asli Dzulhulaifah ini menjadi miqat makani atau batas tempat memulai ibadah umrah dan haji (berihram) bagi para jemaah yang berangkat dari Madinah, termasuk jemaah haji Indonesia gelombang I.
Sejak Kamis 1 Juni 2023 kemarin, ribuan jemaah haji Indonesia yang telah tinggal selama sekitar sembilan hari di Madinah secara bertahap berbondong-bondong ke Bir Ali untuk berihram sebelum melaksanakan umrah di Kota Makkah.
Dzulhulaifah sendiri merupakan nama sebuah kawasan di lembah Aqiq yang berada di pinggiran Kota Madinah mengarah ke Makkah. Kawasan ini ditetapkan Nabi Muhammad SAW sebagai miqat haji atau umrah bagi para penduduk Madinah, termasuk orang-orang yang datang dari arah kota tersebut.
Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim. Dari Abdullah bin Abbas RA, ia berkata “Nabi SAW menetapkan miqat untuk penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, penduduk Syam di Juhfah, penduduk Nejd di Qarnul Manazil dan penduduk Yaman di Yalamlam.”
Nabi SAW bersabda “Miqat-miqat tersebut sudah ditentukan bagi penduduk masing-masing kota tersebut dan juga bagi orang lain yang hendak melewati kota-kota tadi padahal dia bukan penduduknya namun ia ingin menunaikan ibadah haji atau umrah. Barangsiapa yang kondisinya dalam daerah miqat tersebut, maka miqatnya dari mana pun dia memulainya. Sehingga penduduk Makkah, miqatnya juga dari Makkah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan begitu, maka seluruh jemaah haji Indonesia gelombang I akan mengambil miqat di Dzulhulaifah atau Bir Ali sebelum melaksanakan ibadah umrah di Makkah. Sebab, jemaah haji gelombang I lebih dulu berada di Madinah selama sekitar sembilan hari sebelum bergeser ke Makkah.
Lantas kenapa Dzulhulaifah disebut juga Bir Ali?
Menurut Abdul Qodir Al-Jaziri Al-Hambali (W. 977 H) seorang ulama mazhab Hambali dari Mesir. kawasan Dzulhulaifah oleh para jemaah haji dikenal dengan sebutan Abyar Ali atau Bir Ali karena di kawasan lembah aqiq tersebut terdapat banyak sumur.
Bir sendiri berasal dari kata Bi'ru yang berarti sumur. Konon jumlah sumur di kawasan tersebut ada 13, termasuk sebagian yang sudah tidak keluar air.
Sementara nama 'Ali' dalam kata Bir Ali banyak perbedaan pendapat. Ada pendapat yang mengatakan bahwa sebutan itu dinisbatkan kepada Sayyidina Ali RA, tetapi pendapat ini cukup lemah.
Merujuk kepada Sultan Ali bin Dinar
Sumber lain mengatakan, sebutan 'Ali' dinisbatkan kepada Sultan Ali bin Dinar, seorang raja dari Darfur (wilayah bagian barat Sudan) yang menunaikan ibadah haji dan mengambil miqat di Dzulhulaifah pada tahun 1898 M/1315 H.
Ketika tiba di Dzulhulaifah, beliau merasa prihatin dengan kondisi tempat miqat tersebut. Agar lebih nyaman, beliau berinisiatif memperbaiki fasilitas dan membuatkan sumur-sumur, sehingga jemaah yang mengambil miqat haji atau umrah di tempat ini tercukupi kebutuhan airnya.
Hal itulah yang menjadikan Dzulhulaifah dikenal dengan sebutan Abyar Ali atau Bir Ali. Namun, pendapat ini juga banyak yang kurang sepakat. Karena, nama Bi'ru Ali atau Abyar Ali sudah ditemukan dalam buku-buku para ulama jauh sebelum Sultan Dinar bin Ali menunaikan ibadah haji, seperti disebutkan oleh Jamaluddin al-Mathari (741 H), al-Jaziri (977 H), al-Muknasi (1213 H).
Di Bir Ali ada sebuah masjid yang menjadi tempat jemaah haji atau umrah melakukan salat Sunnah ihram dua rakaat. Masjid tersebut bernama Masjid Asy-Syajarah. Jemaah haji Indonesia sering menyebutnya dengan Masjid Bir Ali.
Lantas siapa Ali yang namanya disematkan dalam sebutan Bir Ali? Wallahu a'lam bishshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar