Kamis, 05 Juni 2025

Terjebak Haji di Perkebunan

 CNBC Insight

*Travel Ternama Jebak Jemaah Haji RI, Disuruh Kerja Paksa di Perkebunan*


MFakhriansyah, CNBC Indonesia

05 June 2025 12:00


Jakarta, CNBC Indonesia -  Tingginya antusiasme umat Muslim Indonesia pergi haji membuka peluang bisnis bagi agen travel swasta untuk membantu perjalanan ke Tanah Suci. Sayang, peluang ini sering disalahgunakan.


Banyak travel menipu jemaah demi keuntungan semata. Modusnya beragam, dari penelantaran hingga yang paling ekstrem, yakni membawa jemaah untuk mempekerjakan mereka secara paksa.


Kasus ini pernah terjadi ratusan tahun lalu oleh travel Al-Segaf yang mengarahkan para jemaah haji untuk kerja paksa di perkebunan. 



Pekerja Paksa

Pada akhir abad ke-19, seorang warga Arab bernama Sayid Muhammad bin Ahmad al-Segaf mendirikan perusahaan travel haji bernama Firma Al-Segaf. Kantornya berpusat di Singapura.


Travel ini berkembang cepat dan menjadi pilihan utama jemaah haji dari Hindia Belanda (sekarang Indonesia) dan Singapura ke Makkah. Nama Al-Segaf memang sudah dikenal luas di kawasan Malaya sebagai pengusaha besar.


Selain travel, dia juga memiliki perkebunan karet di Pulau Cocob, Johor. Gabungan bisnis haji dan perkebunan menjadikannya salah satu orang terkaya di Semenanjung Melayu.


Namun, seiring waktu, bisnis karet mengalami tekanan. Upah buruh melonjak, sehingga perusahaan kesulitan membayar pekerja. Agar kebun tidak terbengkalai, Al-Segaf butuh tenaga kerja murah.


Di sinilah niat buruk muncul ketika melihat peluang dari kesulitan yang dialami para jemaah haji asal Indonesia. 


Sejarawan Henry Chambert-Loir dalam Naik Haji di Masa Silam (2013) menyebut, para jemaah haji Indonesia sering terlantar di Makkah karena kehabisan ongkos perjalanan pulang ke Tanah Air. Ini terjadi karena mereka memaksakan berhaji, tanpa persiapan finansial matang. 


Melihat situasi tersebut, Al-Segaf memanfaatkan celah. Dia menawarkan bantuan berupa pinjaman uang kepada para jemaah agar bisa kembali ke Tanah Air. Namun, ada syaratnya, yakni mengganti nominal uang pinjaman hingga lunas dengan bekerja di perkebunan karet miliknya di Johor. 


Para jemaah yang tergiur jelas menerima tawaran daripada harus terlantar di negara orang. Mereka pun setuju. Berdasarkan "Surat dari Konsul Belanda di Jedah ke Konsul Belanda di Singapura" (27 Juni 1896) diketahui, rata-rata setiap jemaah mendapat pinjaman sekitar US$50 dengan skema cicilan selama 80 kali pembayaran.


Namun, semua itu hanyalah taktik licik Al-Segaf. Sesampainya di perkebunan karet, para jemaah dipaksa bekerja dalam waktu lama dengan upah rendah. Kebutuhan hidup tinggi ditambah kewajiban melunasi cicilan membuat mereka terpaksa mengajukan pinjaman lagi demi bertahan hidup.


Secara matematis, skema ini hampir mustahil dilunasi. Akhirnya, mereka terperangkap dalam lingkaran hutang yang membelenggu. Pada titik inilah mereka terjerat kerja paksa. 


Pemerintah Turun Tangan

Selama berada di Pulau Cocob, para jemaah asal Indonesia hidup dalam kesengsaraan. Mereka terjebak dalam jeratan hutang, kerja paksa dan tanpa kebebasan. Situasi ini berlangsung bertahun-tahun. Jumlah korban pun terus bertambah.


Kondisi memprihatinkan ini akhirnya menarik perhatian pemerintah kolonial. Melalui Konsulat Belanda di Jeddah, kabar tentang nasib para jemaah sampai ke pemerintah Hindia Belanda di Batavia (kini Jakarta). Lalu diteruskan ke pemerintah Belanda di Den Haag. Terakhir sampai ke pemerintah Inggris sebagai penguasa Singapura. 


Masalah ini pun menjadi perhatian serius ketiga pihak, terutama Menteri Luar Negeri Belanda. Dalam arsip "Surat Menteri Luar Negeri Belanda untuk Konsul Belanda di Singapura" tertanggal 10 April 1895, disebutkan kalau sang menteri menaruh fokus besar di kasus ini. 


"Perhatian khusus tertuju pada laporan penjualan para jemaah haji sebagai budak pekerja paksa oleh firma lokal di Singapura terhadap para jemaah asal Hindia Belanda yang tidak mampu membayar ongkos pulang. [...] Saya meminta Yang Mulia melakukan penyelidikan serius." ungkapnya.


Pada saat bersamaan, sebagai respons, Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengambil sejumlah langkah untuk menekan agen travel tersebut. Gubernur Jenderal memang tak bisa membebaskan para jemaah dari jeratan utang dan hanya bisa melakukan langkah agar Firma Al-Segaf berhenti beroperasi.


Dia mengusulkan agar semua kapal jemaah haji tidak singgah di Singapura. Lalu mendorong pemerintah Inggris di sana untuk memberlakukan aturan ketat terhadap operasional Firma Al-Segaf.


Singkat cerita, setelah melalui serangkaian lobi dan kerja sama antar pemerintah, praktik licik Al-Segaf dapat berhenti. Para jemaah haji asal Indonesia pun perlahan berhasil dipulangkan ke Tanah Air. Sayid Muhammad bin Ahmad al-Segaf kemudian tak lagi jadi pengusaha travel. 


(mfa/mfa)

Selasa, 03 Juni 2025

Ketandan Tunjungan

 Tirto.ID

*Dari Makam ke Wisata Budaya: Kisah Kampung Ketandan Surabaya*

Warga Ketandan, Surabaya, mencoba memperkenalkan sejarah kampungnya yang menjadi bagian dari perjalanan panjang Kota Pahlawan.

Kontributor: Muhammad Akbar Darojat Restu

Terbit 1 Jun 2025 14:20 WIB,

tirto.id - Sebuah plakat bertuliskan "Kampung Wisata Ketandan Surabaya" terpacak di salah satu tepi Jalan Tunjungan, Surabaya Pusat. Banyak orang melewatinya, namun seolah tak ada yang peduli.

Kampung ini berada di balik ragam niaga perkotaan, seperti cafe, restoran, dan gedung-gedung bertingkat. Seperti pada umumnya, kampung ini dihun orang-orang biasa. Ibu-ibu menggendong anak di depan rumah, ada pula yang menawarkan jajanan pasar. Pemuda menjajakan bakso menggunakan gerobak, dan ada juga bapak-bapak yang bersantai di warung.

Tapi di balik pemandangan yang biasa itu, tersembunyi sejarah yang luar biasa. Kampung ini telah mengiringi perjalanan Kota Surabaya hingga usianya yang menginjak angka 732 tahun pada Sabtu (31/5/2025) kemarin.

Sisi historis itulah yang membuat kampung ini jauh lebih menarik ketimbang hanya disebut sebagai "Kampung Segi Emas Empat Surabaya" karena lokasinya yang diapit oleh Jalan Tunjungan, Jalan Embong Malang, Jalan Blauran, dan Jalan Praban.

*Mbah Buyut Tondo dan Pekuburan*

Seorang perempuan duduk di sebuah kursi plastik berwarna hijau di Balai Rukun Warga (RW) Kampung Ketandan. Ia memakai kacamata hitam dan mengenakan baju batik berwarna krem. Perempuan itu bernama Nia Kurniati, Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kampung Ketandan.

Di sebuah penghujung sore, ia bercerita bahwa Kampung Ketandan adalah salah satu kampung tertua di Surabaya. Sebabnya, kampung ini sudah ada jauh sebelum Kolonial Belanda menginjakkan kaki di Surabaya.

Menurutnya, sosok Mbah Buyut Tondo dipercaya oleh penduduk setempat sebagai sang pembabat alas kampung ini. Kepercayaan ini diwariskan turun temurun.

_Meski demikian, tak ada yang tahu pasti siapa, bagaimana, dan apa tujuan Mbah Buyut Tondo membabat kampung ini. Para sesepuh biasanya hanya menunjuk pada kompleks permakaman Mbah Buyut Tondo yang konon sudah berusia ratusan tahun._

"Di kompleks pemakaman itu ada Mbah Buyut Tondo, tiga kerabatnya, dan dua pengawalnya. Jadi, total ada enam makam di sana," kata Nia Tirto, Selasa (27/5/2025).

Ia menambahkan, para sesepuh percaya bahwa kampung ini dulunya adalah kompleks permakaman karena banyak nisan dan punden yang ditemukan oleh warga. Nisan-nisan itu ada yang ditulis dalam bahasa Indonesia, ada juga dalam bahasa Tionghoa. Usia nisan itu, tutur Nia, sudah ratusan tahun.

*nisan Tionghoa*

_salah satu nisan Tionghoa yang ditemukan oleh warga Kampung Ketandan. tirto.id/Muhammad Akbar Darojat Restu Putra_

Ia lalu menunjukkan salah satu nisan bertuliskan Tionghoa yang dijepret untuk dimasukkan dalam aplikasi Google Lens. Dari aplikasi ini, melalui fitur terjemahan, Nia menunjukkan bahwa Nisan itu adalah milik orang Tionghoa yang meninggal sekitar tahun 1800-an.

"Makam Tionghoa disebut Ketandan Bong, sementara makam pribumi Ketandan Punden. Dulu banyak ditemukan nisan ketika kami memperbaiki gorong-gorong. Saat menggali tanah pada kedalaman 1 meter, warga banyak menemukan nisan," tuturnya.

Kompleks permakaman itu kemudian berubah menjadi permukiman sekitar tahun 1900-an. Makam-makam di kampung ini dipindahkan ke kompleks permakaman Kembang Kuning.

"Banyak makam yang dipindahkan ke Kembang Kuning. Tapi masih ada beberapa makam di sini yang bahkan di dalam rumah penduduk setempat," ujarnya.

_Seturut buku Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya 1900-1960an (2013) karya oleh Purnawan Basundoro, perubahan ini kemungkinan terkait dengan migrasi besar-besaran yang dilakukan oleh penduduk luar daerah ke Surabaya pada tahun 1920-an, juga proyek Kampongverbetering (perbaikan kampung) yang dicanangkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Sebabnya, saat itu Surabaya menjadi kota yang paling maju di Hindia Belanda yang dipicu oleh peningkatan industrialisasi._

Menurut Nia, kendati kampung ini bekas kompleks permakaman, tak ada warga yang merasa kampungnya angker. Sembari bercanda, Nia mengatakan bahwa kampung ini tak seperti kampung yang ada di film-film horor ala Indonesia: karena bekas permakaman, maka kampungnya jadi menyeramkan.

"Warga di sini hidupnya aman-aman saja. Warga pun tak pernah melihat 'penampakan', kendati yang kami injak ini dulunya adalah bekas permakaman,” ungkapnya.

*Jadi Kampung Wisata*

Belakangan, Kampung Ketandan dijadikan sebagai salah satu kampung wisata. Menurut Nia, warga merintisnya sejak tahun 2016 dan diresmikan oleh Pemkot Surabaya pada tahun 2018.

Tekad menjadikan Kampung Ketandan menjadi kampung wisata terkait dengan sejumlah situs yang dianggap bersejarah. Selain Makam Mbah Buyut Tondo yang sudah berusia ratusan tahun, kampung ini juga memiliki Masjid An-Nur yang didirikan pada tahun 1915.

Masjid yang berukuran 10x15 m ini mula-mula hanya sebuah langgar yang kemudian direnovasi oleh warga untuk dijadikan masjid. Menurut Nia, renovasi yang dilakukan oleh warga tak mengubah keotentikan masjid tersebut.

"Kami enggak mengubah sama sekali. Cuman mengganti beberapa, tapi tetap arsitektur dalam dan luar itu masih. Bahkan kayunya masih sama. Cuman yang tadinya kayunya cat putih diganti hijau. Terus ditambah merenovasi kamar mandi. Tapi bagian dalam, ornamen-ornamennya itu masih asli. Cuman ya memang ada penambahan keramik, terus ada penggantian plafon karena memang kan buat kenyamanan jamaah juga," kata Nia menjelaskan.

Ia menambahkan, kampung ini juga memiliki Balai Budaya Cak Markeso Ketandan yang disebut oleh warga sebagai joglo. Tempat ini difungsikan oleh warga sebagai ruang bersama, dari latihan tari hingga melukis.

"Tari yang dipelajari adalah tari tradisional, mulai dari tari remo hingga tari kreasi. Kami di sini dapat support gurunya dari Dinas Pariwisata dan Balai Pemuda. Jadi gratis buat warga, khususnya anak-anak di sekitar lingkungan kampung ini. Sanggar melukis juga dilakukan di sana. Keduanya diadakan setiap hari Minggu," ujarnya.

Menurutnya, joglo tersebut menjadi ciri khas Kampung Ketandan jika dibandingkan dengan kampung-kampung lain di Surabaya.

_Selain memiliki joglo, kampung ini juga memiliki Balai Serbaguna yang dulunya adalah Sekolah Dasar (SD) Mbah Buyut Tondo yang kini difungsikan sebagai tempat mengaji bagi anak-anak. Perubahan ini karena sekolah tersebut berhenti beroperasi pada tahun 1980-an saat muridnya tinggal sedikit.'

Balai Budaya Cak Markesot di Kampung Ketandan. tirto.id/Muhammad Akbar Darojat Restu Putra

*Antara Merawat dan Berinovasi*

Nia mengatakan warga di kampung ini berusaha untuk tidak lengah di tengah kepungan modernitas. Oleh karenanya, hal-hal yang baik yang diwariskan oleh nenek moyang berusaha mereka jaga. Tak heran bila banyak orang di kampung ini tidak cuek ketika ada tamu bertandang ke kampungnya. Ini menjadi penghilang stereotipe bahwa tak selamanya warga kampung kota bersikap acuh tak acuh terhadap orang lain.

Ia pun bercerita bahwa anak-anak yang ada di kampung juga masih melakukan permainan tradisonal seperti lompat tali dan engkle, selain bahwa Karang Taruna di sini memiliki kegiatan aktif menonton film jadul Indonesia.

_"Film Suzanna dan film Dono Kasino Indro itu masih kami tayangkan. Anak-anak sekarang kan enggak tahu apa itu film DKI. Tahunya mereka yang sekarang ya. Nah, anak-anak Karang Taruna yang menggalakkan layar tancap setiap malam minggu. Menurut saya kebanggaan kami terhadap kampung ini karena kampung yang berbudaya," ungkapnya._

Namun, tambahnya, bukan berarti kampung ini menjadi anti dengan modernitas. Apalagi kampung ini adalah kampung wisata. Menurut Nia, warga justru mau melakukan inovasi, salah satunya dengan membuat kampung ini menjadi lebih hijau.

"Untuk inovasi mau buat green canopy dari pohon anggur. Kemarin sempat ada pohon anggur, cuman karena sudah terlalu tua jadi kami tebang semua. Nanti green canopy-nya ditaruh di sekitar joglo dan depan Masjid An-Nur. Terus inovasi yang lain ya semakin mengaktifkan warga untuk peduli lingkungan. Di sekitar rumah masing-masing saja, minimal ditanam lima pot, entah besar atau kecil. Kalau setiap rumah ada pot, otomatis nanti hijaunya merata," pungkasnya.

tirto.id - News

Kontributor: Muhammad Akbar Darojat Restu

Penulis: Muhammad Akbar Darojat Restu

Editor: Irfan Teguh Pribadi

Senin, 02 Juni 2025

PENIPUAN HAJI

 CNBC Insight

*Ditipu Travel, Ribuan Calon Jemaah Haji RI Telantar di Singapura*

MFakhriansyah, CNBC Indonesia

02 June 2025 13:10

Jakarta, CNBC Indonesia - Di Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama Islam, ibadah haji memiliki makna sangat penting. Selain sebagai bentuk pemenuhan rukun Islam, haji juga kerap dianggap sebagai simbol status sosial di tengah masyarakat.

Tingginya makna spiritual dan sosial ini membuat minat masyarakat Indonesia untuk menunaikan ibadah haji selalu tinggi setiap tahunnya. Sayangnya, antusiasme tersebut membuka peluang bagi oknum agen travel haji yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan penipuan.

Salah satu kasusnya pernah terjadi ratusan tahun lalu yang membuat ribuan calon jemaah haji asal Indonesia terlantar di Singapura. Bagaimana kisahnya?

*Iming-Iming Biaya Murah*

Besarnya antusiasme masyarakat Indonesia (saat itu Hindia Belanda) untuk menunaikan ibadah haji harus terbentur dengan biaya yang sangat mahal. Pada masa penjajahan Belanda, ongkos pergi haji jauh lebih tinggi dibandingkan masa kini.

Dulu, perjalanan haji tidak menggunakan pesawat seperti sekarang, melainkan kapal laut. Waktu tempuhnya bisa mencapai 1-2 bulan, baik saat berangkat maupun pulang, sehingga total durasi perjalanan bisa memakan waktu berbulan-bulan.

Lamanya perjalanan tentu sebanding dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan. Para calon haji kala itu harus menyiapkan dana untuk berbagai keperluan, seperti transportasi kapal, akomodasi selama di perjalanan, kebutuhan selama beribadah di Makkah, hingga ongkos kembali ke tanah air.

Bupati Serang dan Jakarta, Achmad Djajadiningrat, dalam memoarnya Herinneringen van Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat (1936), menyebut bahwa biaya haji pada awal 1900-an berkisar antara 500 hingga 800 gulden. Sebagai gambaran, jika harga emas saat itu sekitar 2 gulden per gram, maka 500 gulden setara dengan 250 gram emas.

Dengan harga emas saat ini sekitar Rp1,8 juta per gram, maka 250 gram emas bernilai sekitar Rp434 juta. Artinya, biaya haji sebesar 500 gulden pada awal 1900-an setara dengan kurang lebih Rp434 juta saat ini.

Pada titik ini, para agen travel haji yang dulu disebut syekh haji menawarkan paket ibadah haji berbiaya rendah. Mereka membujuk para calon jemaah melalui tawaran biaya haji yang tak semestinya.

Bagi pemilik dana pas-pasan yang minim pengetahuan, tawaran haji murah jelas terdengar sangat menggiurkan. Banyak calon jemaah langsung menyetujui tawaran dan menyerahkan uang kepada syekh haji.

Mereka berharap bisa segera berangkat ke Tanah Suci. Sayang, mereka tak sadar kalau sedang diperdaya oleh agen travel yang hanya ingin mengambil uang tanpa pernah berniat memberangkatkan mereka. 

Dalam praktiknya, para calon jemaah memang diberangkatkan, tapi bukan dengan kapal penumpang yang layak. Namun, pergi menggunakan kapal barang sewaan dengan fasilitas sangat terbatas. 

Sejarawan Dien Madjid dalam Berhaji di Masa Kolonial (2008) mencatat, kapal-kapal tersebut tidak memiliki kamar tidur, toilet, hingga perbekalan yang cukup. Namun, para jemaah menerima kondisi itu karena mengira semua adalah hal wajar dan bagian dari ujian menuju rumah Allah.

Kesadaran mulai muncul saat kapal berhenti di titik transit penting kapal-kapal ke Timur Tengah, yakni Singapura. Akibat biaya perjalanan yang murah, syekh haji meminta calon jemaah turun dari kapal, alias tidak melanjutkan perjalanan ke Makkah dan membuat mereka terlantar tanpa kejelasan nasib. 

Pada akhir abad ke-19, ada ribuan jemaah yang mengalami nasib sengsara itu. Tahun 1893, misalnya, dalam Laporan konsulat Belanda di Jeddah, seharusnya ada 5.193 jemaah haji asal Indonesia.

Namun, yang kembali ke Tanah Air hanya 1.984. Ribuan orang sisanya tak bisa pulang akibat tipu daya agen haji. Mereka kehabisan uang dan perbekalan.

*Haji Singapura*

Saat ditelantarkan, para calon jemaah haji memiliki dua pilihan, yakni melanjutkan perjalanan ke Makkah atau pulang ke Tanah Air dengan menanggung rasa malu. Jika memilih melanjutkan perjalanan, maka mereka harus bekerja terlebih dahulu.

Dalam catatan Henry Chambert-Loir dalam Naik Haji di Masa Silam (2013), mereka biasanya bekerja di perkebunan selama berbulan-bulan. Setelah uang terkumpul, barulah mereka bisa meneruskan perjalanan ke Makkah. 

Sementara, pilihan pulang ke Tanah Air dilakukan dengan manipulasi sertifikat haji. Para calon jemaah membayar sertifikat yang menyatakan bahwa mereka telah menunaikan ibadah haji.

Padahal, sebenarnya belum pernah sampai ke Tanah Suci. Langkah ini diambil agar mereka tidak dipermalukan saat kembali ke kampung halaman.

Dengan sertifikat palsu tersebut, mereka tetap bisa menyandang gelar "bapak haji" atau "ibu haji", dan menikmati kehormatan sosial yang menyertainya. Orang-orang yang nekat melakukan praktik ini kemudian dikenal dengan sebutan "Haji Singapura". 

(mfa/sef)

Minggu, 01 Juni 2025

CERITA ASLI HARI LAHIR PANCASILA

 Kompas.com


*Sejarah Hari Lahir Pancasila 1 Juni, Dicetuskan Soekarno, Dilarang Soeharto*


 Kompas.com, 31 Mei 2024, 20:00 WIB


Aditya Priyatna Darmawan, Mahardini Nur Afifah Tim Redaksi 


KOMPAS.com – Hari Lahir Pancasila diperingati pada tanggal 1 Juni setiap tahunnya. 


Momentum ini menjadi hari libur nasional untuk menghargai perjuangan para tokoh kemerdekaan dalam merancang dasar negara Indonesia Pancasila. 


Lantas bagaimana sejarah Hari Lahir Pancasila yang diperingati setiap 1 Juni?


*Sejarah Hari Lahir Pancasila 1 Juni*

 Dikutip dari Kompas.com (9/9/2023), pencetusan peringatan Hari Lahir Pancasila setiap 1 Juni tak luput dari peran Badan Penyelidikan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). 


Sidang pertama BPUPKI digelar untuk merancang dasar negara Indonesia, pada 29 Mei 1945 hingga 1 Juni 1945 silam. 


Acara tersebut berlangsung di gedung Chuo Sangi In yang beralamat di Jalan Pejambon 6, Jakarta. Saat ini, gedung itu dikenal sebagai Gedung Pancasila. 


 Sidang itu awalnya tidak langsung menelurkan dasar negara. Baru pada 1 Juni 1945, Soekarno menyampaikan pidato gagasan dasar negara Indonesia merdeka sebagai Pancasila. 


Semula pidato yang disampaikan Soekarno itu belum memiliki judul. Namun mantan ketua BPUPKI Dr. Radjiman Wedyodiningrat menamakannya sebagai “Lahirnya Pancasila”. 


Setelah Soekarno berpidato, isi gagasan yang ada di dalamnya pun diterima oleh para anggota BPUPKI pada 1 Juni 1945. 


Kemudian, Pancasila disahkan sebagai dasar negara Indonesia merdeka pada 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). 


Kata Pancasila sendiri diambil dari bahasa Sansekerta, "Panca" berarti lima dan "Sila" yang berarti dasar atau asas. 


 *Kesaksian Bung Hatta lewat wasiat*


 Cerita mengenai pidato Soekarno yang menjadi ide utama lahirnya Pancasila itu diceritakan Mohammad Hatta atau Bung Hatta dalam wasiatnya. 


Dilansir dari Kompas.com (1/6/2022), wasiat yang ditandatangani 16 Juni 1978 tersebut ditujukan kepada putra pertama Soekarno dan Fatmawati, Guntur Soekarnoputra. 


Dalam wasiatnya, Bung Hatta memulai dengan cerita ketika Radjiman Wedyodiningrat yang merupakan Ketua BPUPKI mempertanyakan dasar negara Indonesia. 


“Dekat pada akhir bulan Mei 1945, dr. Radjiman, Ketua Panitia Penyelidikan Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia, membuka sidang Panitia itu dengan mengemukakan pertanyaan kepada rapat: 'Negara Indonesia merdeka yang akan kita bangun itu, apa dasarnya?'," tulis Bung Hatta. 


Saat itu, kebanyakan anggota rapat tidak berani menjawab pertanyaan Radjiman karena takut menimbulkan persoalan filosofi yang berkepanjangan. 


Namun, Soekarno menjawab pertanyaan tersebut dengan menyampaikan pidatonya berjudul "Lahirnya Pancasila" pada tanggal 1 Juni 1945.


Pidato Bung Karno ini mengemukakan bahwa Pancasila yang memuat lima sila sebagai dasar negara Indonesia merdeka. 


Bung Hatta mengatakan, pidato Soekarno menarik perhatian para anggota panitia dan kemudian disambut tepuk tangan riuh hadirin sidang. 


“Sesudah itu sidang mengangkat suatu Panitia Kecil untuk merumuskan kembali Pancasila yang diucapkan Bung Karno,” tulis Bung Hatta. 


Adapun Panitia Kecil tersebut terdiri dari 9 orang, yakni Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, H.A. Salim, Ahmad Soebardjo, Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin. 


Setelah itu, 9 panitia ini mengubah susunan Pancasila dan menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama. 


Sila kedua, yang dalam rumusan Bung Karno disebut Internasionalisme atau perikemanusiaan diganti dengan sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. 


Sila ketiga, sila Kebangsaan Indonesia diganti dengan Persatuan Indonesia. 


Sila keempat, Mufakat atau Demokrasi diganti dengan sila Kerakyatan. 


Terakhir, sila kelima yang oleh rumusan Bung Karno disebut Keadilan Sosial diganti dengan sila Kesejahteraan Sosial. 


Perubahan rumusan Pancasila oleh Panitia 9 ini diserahkan kepada Panitia Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 22 Juni 1945 dan diberi nama “Piagam Jakarta”. 


 Kemudian, “Piagam Jakarta” dijadikan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sehingga Pancasila dan UUD menjadi dokumen negara pokok. 


“Pancasila dan Undang-Undang Dasar yang sudah menjadi satu Dokumen Negara itu diterima oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945 dengan sedikit perubahan," tulis Hatta. 


Adanya sedikit perubahan yang dimaksud Bung Hatta yakni menghilangkan kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi penduduknya” pada sila pertama Pancasila. 


“Sungguhpun 7 perkataan itu hanya mengenai penduduk yang beragama Islam saja. Pemimpin-pemimpin umat Kristen di Indonesia Timur berkeberatan kalau 7 kata itu dibiarkan saja, sebab tertulis dalam pokok daripada pokok dasar Negara kita sehingga menimbulkan kesan, seolah-olah dibedakan warga negara yang beragama Islam dan bukan Islam," bunyi wasiat Hatta. 


Berdasarkan kesaksian Bung Hatta yang dituangkan dalam wasiat itu, tanggal 1 Juni ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila karena pada tanggal tersebut Bung Karno pertama kali mencetuskan Pancasila dalam pidatonya. 


*Soekarno minta peringatan Hari Lahir Pancasila setiap 1 Juni*


 Bertepatan dengan hari ulang tahun ke-19 Pancasila, tepatnya pada 1 Juni 1964, Presiden Soekarno meminta diadakannya acara peringatan Hari Lahir Pancasila. 


Soekarno saat itu menuntut peringatan tersebut karena menilai banyak orang mulai menyelewengkan Pancasila. 


Peringatan Hari Lahir Pancasila pertama pada 1 Juni 1964 dimulai dengan upacara kenegaraan di Istana Merdeka. Acara tersebut mengusung slogan Pancasila Sepanjang Masa. 


Pada acara itu, Soekarno menguraikan kembali rumusan Pancasila berikut dengan kelima silanya. 


Presiden Pertama RI ini kali terakhir memperingati Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 1966, sebelum lengser dari jabatannya.


*Peringatan Hari Lahir Pancasila dilarang pada era Soeharto*


Presiden Soeharto mengambil alih posisi kepala negara dan pemerintahan dari Soekarno setelah tragedi G30S/PKI meletus pada 1965. 


Ia juga menetapkan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila untuk memperingati keberhasilannya menggagalkan peristiwa yang dianggap sebagai kudeta tersebut. 


Soeharto sempat memperingati Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 1967 dan 1968. 

_Namun, Presiden Kedua RI ini melarang peringatan Hari Lahir Pancasila mulai tahun 1970 melalui Komando Operasi Pemulihan dan Ketertiban (Kopkamtib)._


_Hal tersebut dilakukan sebagai upaya Soeharto untuk menghapus warisan kepemimpinan era Soekarno._


 Kemudian pada 1 Juni 2016, Presiden Joko Widodo menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2016 untuk kembali menetapkan 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila. 


Mulai tahun 2017, setiap 1 Juni ditetapkan sebagai hari libur nasional atau tanggal merah untuk memperingati Hari Lahir Pancasila.

HARI LAHIR PANCASILA

 Resmi Catatan 1 Juni 2025


BUNG KARNO di SURABAYA


(Bulan Juni 2025 ke mana ?)


1. SDN Sulung Surabaya 

Sejak 1900 ayah Bung Karno dan Ibu Srimben, Kos di rumah Jl. Pandean IV/44, karena pindah tugas ke SDN Sulung (pernah bernama SDN Alun-alun Contong I). Beliau mengajar di HIS mulai Januari 1900 s.d 28 Desember 1901. Sejak 17 Juni 2023 resmi menjadi SDN Sulung.

Saya berkunjung sejak 2011.


2. Kantor Pos Kebon Rojo

Tempat sekolah Bung Karno saat duduk di HBS/setara SMA (1915 - 1920). 

Sekolah Bung Karno saat ini menjadi gudang.

Diresmikan oleh Ibu Walikota Tri Rismaharini, 9 November 2011.

Siswa SDN Krembangan Selatan III, IV, dan V dapat undangan.


3. Rumah Lahir Bung Karno 

Pandean IV/44 berubah menjadi Pandean IV/40.

Saat terakhir ditempati Ibu Jamilah hingga dibeli Pemkot Surabaya, 17 Agustus 2020.

Tgl. 6 Mei 2023, resmi menjadi tempat belajar dan mengenal sejarah Lahir Bung Karno.

Rumah dua lantai ini, direnovasi tanpa mengubah bentuk aslinya. Setelah jadi, lantai atas tidak dapat dinaiki.

Saya beruntung sudah pernah naik di lantai atas.

Saya berkunjung mulai 2011, kondisi rumah masih berpenghuni hingga di renovasi dan terakhir bulan Juni 2024.


4. Museum HOS TJOKROAMINOTO 

Tempat Bung Karno Indekost di Jl. Peneleh VII/29-31. 

Tgl. 27 November 2017 oleh Ibu Tri Rismaharini (Walikota Surabaya) dijadikan Museum Gratis. 

Tanggal 1 Januari 2024 semua Museum yang dikelola Pemkot Surabaya lewat Tiket online, HTM 5 K.

Rumah 2 lantai ini, juga masih asli.

Bagian atas yang merupakan kos-kosan para Pejuang seperti Bung Karno, Alimin, Muso, dan Kartosuwiryo kadang boleh dinaiki, kadang tidak boleh.

Tergantung situasi dan aturan yang ditentukan.

Saya berkunjung sejak 2013 ketika masih dikelola oleh Bu RT hingga menjadi museum.


5. Stasiun Semut 

Tempat Bung Karno sebagai Tenaga Outsourcing saat sudah menikah dengan Siti Oetari/putri dari HOS COKROAMINOTO.


6. Rumah Pemberian Bung Karno.

Rumah ini diberikan oleh Bung Karno kepada keluarga HOS Cokroaminoto di Ngagel Jaya Selatan No. 93 Surabaya. Rumah tersebut sudah berubah menjadi milik perorangan 2016.


Selain keluarga, beberapa Guru, tenaga Kependidikan, dan siswa : SDN Krembangan Selatan IV, SDN Bursa, SDN Lakbansa, SDN WK 4 dan V sudah ke TKP.



Senin, 26 Mei 2025

Judul Buku SNI 25

 *Fadli Zon Beberkan 11 Jilid di Penulisan Buku Sejarah Indonesia*


Adrial akbar - detikNews

Senin, 26 Mei 2025 15:04 WIB.


Jakarta - Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengungkap ada 6 faktor yang membuat penulisan ulang sejarah Indonesia harus dilakukan. Fadli Zon juga mengungkapkan sejumlah judul dalam buku penulisan sejarah ini.

1. "Yang pertama adalah menghapus bias kolonial dan menegaskan perspektif Indonesia-sentris, apalagi sekarang ini kita 80 tahun Indonesia merdeka sudah saya kira waktunya kita memberikan satu pembebasan total dari bias kolonial ini dan menegaskan perspektif Indonesia sentris," kata Fadli dalam rapat bersama Komisi X di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (26/5/2025).


2. Kedua, sejarah RI akan ditulis ulang untuk menjawab tantangan terbaru.

3. Alasan selanjutnya, untuk membentuk identitas nasional yang kuat.


4. "(Alasan keempat) menegaskan otonomi sejarah, sejarah otonom.

5. (Kelima) kemudian relevansi untuk generasi muda," sebutnya.


6. "Dan (keenam) reinventing Indonesian identity," lanjut dia.



Fadli Zon juga mengungkap jilid-jilid yang terdapat dalam buku penulisan sejarah ini. Dalam slide yang ditampilkan, ada 11 jilid.


1. Sejarah Awal Nusantara

2. Nusantara dalam Jaringan Global: India dan Cina

3. Nusantara dalam Jaringan Global: Timur Tengah

4. Interaksi dengan Barat: Kompetisi dan Aliansi

5. Respons Terhadap Penjajahan

6. Pergerakan Kebangsaan

7. Perang Kemerdekaan Indonesia

8. Masa Bergejolak dan Ancaman Integrasi

9. Orde Baru (1967-1998)

10. Era Reformasi (1999-2024)


Sebelumnya, Fadli Zon menargetkan penulisan sejarah Indonesia rampung pada Agustus 2025 bertepatan dengan HUT ke-80 RI. 

Fadli Zon menjelaskan akan ada beberapa pembaruan dalam sejarah yang ditulis ulang itu.


"Sekarang baru dalam proses, yang menuliskan ini para sejarawan.


Tahun ini (rencananya diluncurkan, red.), (saat) 80 tahun Indonesia merdeka," kata Menteri Kebudayaan Fadli Zon dilansir Antara, Senin (5/5).


Fadli kemudian menjelaskan proyek penulisan sejarah versi terbaru itu dikerjakan 100 lebih sejarawan dan para ahli dari berbagai universitas di Indonesia. Untuk bagian-bagian yang direvisi, ditambahkan, ataupun diluruskan pun mengikuti hasil kajian para ahli, dan buku-buku sejarah Indonesia yang dituliskan sebelumnya.


"Kami akan update dan menambah beberapa jilid tentu mendasarkan kepada buku-buku yang sudah ada. 

Kami melibatkan lebih dari 100 sejarawan dari semua perguruan tinggi, dari banyak perguruan tinggi yang memang sejarawan, yang ahli di bidangnya untuk punya kompetensi menulis, dan juga editing (menyunting, red) di dalam buku itu," jelas Fadli Zon.

Minggu, 25 Mei 2025

Alasan Truman keluar

 *Begini Kritik Arkeolog yang Keluar dari Tim Penulisan Ulang Sejarah Indonesia*


Harry Truman Simanjuntak, profesor arkeologi, khawatir sejarah disesuaikan ulang dengan keinginan penguasa, bukan murni atas fakta.


25 Mei 2025 | 07.20 WIB


TEMPO.CO, Jakarta - Arkeolog Harry Truman Simanjuntak mengkritik istilah resmi dalam proyek penulisan ulang sejarah Indonesia yang dimotori oleh Kementerian Kebudayaan. Menurut Truman, profesor dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional—kini telah melebur ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)—sejarah yang mau dibentuk dikhawatirkan sesuai keinginan penguasa, bukan murni atas fakta.


“Setiap orang berhak menyusun sejarah sepanjang ada data yang dimiliki. Soal benar atau tidak, masyarakat keilmuwan yang akan menilai,” katanya saat dihubungi Tempo pada Jumat, 23 Mei 2025.


Truman, yang merupakan pimpinan Center of Prehistory and Austronesian Studies Indonesia, mengatakan penggunaan istilah sejarah resmi masih akan dipertanyakan meski penyusunannya melibatkan para ahli. Dia mengaku heran soal proyek penulisan tersebut. “Sejak kapan pemerintah memiliki kuasa dan kewenangan untuk menulis sejarah resmi, sedangkan versi lain tidak dikatakan resmi,” katanya.


Menurut Truman, penulisan ulang sejarah Indonesia merupakan pembaruan versi sebelumnya. Berbagai penemuan baru sudah terungkap sejak belasan tahun yang lalu. Sayangnya, dalam proses tersebut, muncul istilah baru yang justru menimbulkan perdebatan.


Truman mengundurkan diri dari Tim Penulisan Ulang Sejarah Indonesia sejak 22 Januari 2025. Sempat menjadi editor untuk bagian jilid satu tentang sejarah, dia memutuskan berhenti lantaran memiliki perbedaan pendapat secara akademis dengan anggota lainnya. Padahal, durasi kerja tim belum genap sepuluh hari.


Dalam diskusi perdana tim, Trumen bercerita, peserta sudah diberikan outline, kemudian hanya diminta diisi konten-konten yang relevan. 

Hal ini dianggap janggal karena outline tersebut semestinya didiskusikan dulu oleh para editor—terdiri dari sejarawah dan prasejarawan.


Penerima Sarwono Award 2015 ini juga tidak setuju dengan istilah ‘sejarah awal’ pada jilid satu, yang menurut dia, semestinya menggunakan kata ‘prasejarah’. 

Untuk urusan istilah, sudah ada perbedaan dari sisi epistemologis, metode, hingga pendekatan ilmiah.


“Dari sudut keilmuan, ini sudah salah. Sejarah itu setelah mengenal tulisan, kalau awal sejarah kita adalah periode Hindu-Budha, dan itu bukan prasejarah,” ujarnya. Truman mengaku berdebat dengan salah satu editor dan sejarawan lain.


Menteri Kebudayaan Fadli Zon sebelumnya menyebut hasil kerja tim itu akan diterbit menjadi buku sejarah resmi Indonesia. 

Buku itu bakal dijadikan acuan utama pendidikan sejarah di semua jenjang. Proyek 10 jilid ini ditargetkan rampung pada 17 Agustus, bertepatan dengan peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia ke-80.


Fadli mengatakan proyek ini melibatkan lebih dari 100 sejarawan dengan berbagai keahlian. Para ilmuwan ini menulis, merevisi, dan menyunting isi buku sesuai referensi serta kajian ilmiah, termasuk dari buku-buku sejarah yang telah diterbitkan.


“Sekarang baru dalam proses,” ujar Fadli Zon di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, pada 5 Mei lalu.




arkeolog

sejarah-indonesia

M. Faiz Zaki


Menjadi wartawan di Tempo sejak 2022. Lulus dari Program Studi Antropologi Universitas Airlangga Surabaya. Biasa meliput isu hukum dan kriminal.


Edisi 25 Mei 2025

Terjebak Haji di Perkebunan

 CNBC Insight *Travel Ternama Jebak Jemaah Haji RI, Disuruh Kerja Paksa di Perkebunan* MFakhriansyah, CNBC Indonesia 05 June 2025 12:00 Jaka...