Minggu, 20 Juli 2025

62-75 Kisah Fiktif Mbedug

 [20/7 12.44] rudysugengp@gmail.com: Bab Mbedug






Mulai 62

[20/7 12.44] rudysugengp@gmail.com: Lanjutan bab 62


Perjalanan bus ke Mbedug Kediri dan suasana menjelang Magrib

[20/7 12.44] rudysugengp@gmail.com: Bab 62 (Lanjutan): Perjalanan Bus ke Mbedug Kediri dan Suasana Menjelang Magrib


Bus pariwisata berwarna krem-hijau tua itu melaju perlahan menembus jalanan berkelok selepas Gurah. Pepohonan di kiri-kanan jalan mulai merunduk ditiup angin sore yang makin kencang. Beberapa rombongan di dalam bus mulai terdiam, tidak seperti sebelumnya yang riuh oleh nyanyian dan canda.


Di kursi bagian belakang, Prayitno bersandar di jendela. Matanya memperhatikan sawah-sawah yang mulai gelap, dengan latar bukit Mbedug yang menjulang pelan-pelan dalam kabut lembut. Sinar matahari temaram menyusup dari sela-sela awan yang menggantung berat di langit barat. Seperti lukisan lama yang muram tapi menenangkan.


Dari pengeras suara bus, terdengar suara pelan sopir cadangan, Pak Darto, yang memberi informasi:


> “Bapak-Ibu, kita sebentar lagi masuk kawasan Mbedug. Mohon bersiap. Nanti kita berhenti di dekat tugu batas desa sebelum naik ke area perkemahan. Magrib akan tiba, dan sesuai arahan panitia, kita akan shalat jamaah dulu sebelum naik ke lokasi utama.”




Beberapa orang tua mengangguk. Anak-anak muda yang tadinya memutar lagu dari ponsel mulai mengecilkan volume. Entah mengapa, menjelang magrib di kaki perbukitan itu, suasana mendadak syahdu. Langit perlahan berubah ke jingga pucat, lalu ke biru tua yang diselip kelam.


Siti, salah satu guru pendamping, memeluk jaketnya. Ia duduk di deretan tengah, dan memperhatikan perubahan suasana alam dari balik kaca. Suara gemerisik angin terdengar pelan seperti bisikan yang datang dari pepohonan.


Bus akhirnya berhenti tepat di dekat tugu kecil bertuliskan:


“Selamat Datang di Mbedug - Wilayah Lereng Selatan”


Tugu itu tampak tua, lumutan, dan sedikit miring. Ada ukiran seperti wajah wayang tak dikenal di bawah tulisan. Beberapa peserta turun satu per satu. Udara lebih dingin dari perkiraan, dan aroma tanah basah mulai terasa. Seorang peserta spontan berkata lirih:


> “Ndak tahu kenapa, hawane kok seperti beda ya...”




Mereka berjalan pelan menuju langgar kecil di dekat tugu. Azan magrib belum terdengar, tapi langit sudah sepenuhnya tenggelam dalam senja yang pekat. Dari kejauhan, suara burung malam dan serangga mulai mengambil alih panggung.


Pak Kiai Nawir, yang ikut dari Surabaya, memimpin doa sebelum shalat. Ia sempat berkata kepada panitia:


> “Waktu-waktu seperti ini, kalau di tempat seperti ini... jaga ucapan, jaga pikiran. Kadang yang tidak tampak ikut memperhatikan.”




Beberapa remaja menelan ludah. Tapi suasana tetap khidmat.


Setelah shalat, barulah rombongan melanjutkan jalan kaki ke area perkemahan yang lebih dalam—melewati kebun jati, jembatan kayu kecil, dan jalan setapak yang lembab.


Suasana magrib di Mbedug bukan hanya menyambut malam, tapi seperti membuka gerbang ke dimensi yang lebih sunyi dan penuh kenangan.



---


> Apakah ingin dilanjutkan dengan suasana malam di perkemahan atau kejadian aneh yang mulai muncul setelah magrib?

[20/7 12.45] rudysugengp@gmail.com: Bab 63: Malam Menyergap Mbedug – Isyarat dari Kegelapan


Setelah shalat magrib, rombongan menyusuri jalan setapak menuju area perkemahan di dalam hutan jati. Jalanan kini hanya diterangi senter-senter kecil yang mereka bawa. Lampu dari HP pun tak mampu menembus gelapnya semak dan kanopi pohon yang mulai menutup langit.


Angin berembus dingin, membawa bau khas tanah basah dan kayu lapuk. Beberapa murid bergandengan, sebagian lain masih asyik berswafoto, meski hasilnya tampak buram dan berbayang aneh.


> “Kok fotoku kaya dobel ya?” tanya Nia sambil menunjukkan layar ponselnya ke temannya, Lina.

“Iya, bayangannya kayak... melenceng. Kaya ada dua wajah.”




Lina tertawa kecil tapi canggung.


> “Mungkin gegar sinyal... atau pantulan cahaya…”




Namun di belakang mereka, Prayitno yang sudah lebih dulu jalan bersama Pak Darto, Pak Wibowo, dan beberapa panitia, mulai merasakan sesuatu yang tak biasa.


Langkah mereka terhenti di depan gubuk kosong yang konon dulunya adalah tempat istirahat petani. Tapi kini tampak rusak, atapnya separuh roboh, dan di dalamnya ada pohon bambu kecil yang tumbuh liar.


Pak Darto melirik ke langit.


> “Biasanya bulan separuh bisa kelihatan... tapi ini gelap total.”




Pak Wibowo mengangguk, kemudian menunjuk ke semak-semak:


> “Itu... kayak ada cahaya kecil. Kaya obor jauh...”




Semua mata mengikuti arah telunjuknya. Di sela pepohonan, sekitar 50 meter dari mereka, tampak seberkas cahaya bergerak perlahan ke kanan dan menghilang. Tak ada suara. Tak ada jejak.


Prayitno mendekap senter lebih erat. Dalam hatinya, ia teringat wejangan almarhum kakeknya dulu:


> “Kalau di tempat asing dan langit sudah lepas magrib, jangan ikut cahaya, jangan ikut suara.”




Sesampainya di area perkemahan, suasana berubah. Tempat itu berbentuk lapangan kecil di tengah hutan jati, dikelilingi batu-batu besar, dan satu pohon ringin besar berdiri di sisi barat.


Tenda-tenda mulai dipasang. Dapur umum dinyalakan, dan panitia sibuk dengan logistik. Namun entah kenapa, rasa semangat yang tadi menyala perlahan padam. Rombongan seperti menyadari: malam di Mbedug bukan malam biasa.


Sekitar pukul 20.30, ketika anak-anak mulai makan malam dan sebagian duduk melingkar untuk pentas kecil, terdengar suara klinting-klinting halus dari arah bukit. Seperti lonceng kecil yang ditiup angin. Padahal tidak ada siapa pun di arah itu. Juga tidak ada kambing, sapi, atau manusia lain yang mereka tahu.


Pak Kiai Nawir, yang duduk di depan tenda panitia, menutup kitab kecilnya dan berkata pelan:


> “Mbedug sedang bicara. Malam ini kita tamu.”




Malam makin dingin. Beberapa peserta mengeluh sakit kepala ringan. Seorang anak perempuan, Fira, sempat memejamkan mata dan menangis saat bangun dari tenda.


> “Aku mimpi ada orang berdiri di atas ringin. Tapi kakinya nggak nyentuh tanah...”




Semua yang mendengar hanya saling pandang. Tak ada yang tertawa, tak ada yang menganggap remeh.


Karena malam itu, hutan Mbedug terasa hidup. Dan yang hidup... belum tentu terlihat.



---


> Apakah Anda ingin Bab 64 melanjutkan kejadian malam tersebut, misalnya ada peserta yang hilang sementara, atau peristiwa mengejutkan saat ronda malam?

[20/7 12.45] rudysugengp@gmail.com: Berikut Bab 64 yang melanjutkan kisah dengan tema peserta yang hilang sementara di tengah malam Mbedug:



---


Bab 64: Yang Tidak Kembali Saat Ronda


Jam menunjukkan pukul 23.45. Hutan Mbedug benar-benar sunyi, hanya ada suara jangkrik dan sesekali ranting jatuh dari pepohonan tua. Kelompok ronda malam yang terdiri dari 6 peserta dan 1 pendamping, Mas Bagas, baru saja menyusuri sisi barat lokasi perkemahan. Mereka mengikuti jalur setapak yang tadi siang sempat dilewati saat observasi.


Awalnya tak ada yang aneh.


Namun ketika rombongan melewati batu besar yang ditumbuhi lumut di sisi kanan, mereka menyadari satu hal ganjil: Eka, siswa kelas 9, tidak ada dalam barisan.


Mas Bagas menoleh ke belakang.


> “Lho, Eka mana? Tadi di belakangku.”




Yang lain panik seketika. Mereka memanggil-manggil:


> “Eka! Woi! Ini ronda, jangan main sembunyi!”




Tak ada jawaban.


Mas Bagas meminta semua berhenti dan mengatur napas. Ia lalu menyalakan senter besar, menyorot area sekitar, dan menyuruh tiga anak kembali ke tenda untuk melapor ke panitia. Sementara ia dan dua siswa lain menyisir jalur balik perlahan sambil memanggil.


Suara hewan malam mendadak senyap. Hanya daun-daun kering yang tergeser kaki mereka. Setiap kali cahaya senter menyorot sisi kanan jalur, bayangan pepohonan tampak bergerak seolah menjauh, bukan diam. Seperti... menunggu.


Di lapangan tenda, suasana mulai tegang. Pak Wibowo langsung membangunkan semua panitia dan meminta roll call (pemeriksaan jumlah peserta). Anak-anak mulai keluar dari tenda, beberapa masih mengantuk, namun semuanya langsung siaga setelah kabar hilangnya Eka tersebar.


Pak Kiai Nawir meminta semua tetap tenang. Ia menggelar tikar kecil, menyalakan dupa dan berdoa perlahan. Suaranya hampir tak terdengar, hanya getaran dari nada-nada Arab Jawa yang mendenting lembut.


Mas Bagas akhirnya kembali, wajahnya pucat.


> “Kami nggak nemu apa-apa. Tapi aneh, tadi kami dengar suara langkah di kiri, pas disorot... kosong.”




Pak Darto lalu membuat keputusan cepat: membagi dua tim kecil untuk pencarian. Tapi sebelum mereka bergerak jauh…


…tiba-tiba dari arah belakang ringin besar, terdengar suara gemerisik. Semua orang menoleh. Senter diarahkan.


Eka berdiri di sana. Diam. Kaku. Wajahnya tampak kosong. Matanya terbuka, tapi tak memandang siapa pun.


Pak Wibowo mendekat perlahan.


> “Eka? Nak, kamu dari mana?”




Eka tidak menjawab. Ia hanya menunjuk ke ringin.


> “Saya... diajak orang baju putih. Katanya... itu rumahnya dulu.”




Semua terdiam. Udara seperti berhenti bergerak. Bahkan api unggun tampak mengecil, nyalanya mengerdil.


Pak Kiai Nawir berjalan pelan ke arah Eka. Ia meletakkan tangannya di kepala bocah itu dan membaca doa pendek.


Tak lama kemudian, Eka jatuh terduduk, menangis kencang.


> “Saya nggak tahu... saya tadi cuma ngikut... jalannya nggak habis-habis...”




Pak Darto segera membawa Eka ke tenda utama untuk diperiksa. Satu-satunya yang membuat semua sedikit tenang: Eka kembali utuh, tidak cedera, hanya... kehilangan waktu.


Pencarian selesai. Tapi malam itu tak ada yang bisa tidur tenang.


Karena semua sadar: hutan Mbedug bukan sekadar tempat berkemah.



---


> Apakah Bab 65 akan melanjutkan dengan kejadian lain, misalnya suara misterius di tenda, atau pembicaraan Pak Kiai Nawir tentang makhluk penjaga ringin?

[20/7 12.46] rudysugengp@gmail.com: Baik, berikut Bab 65: "Penjaga Ringin", lanjutan dari kisah hilangnya Eka dan rahasia besar yang terungkap malam itu:



---


Bab 65: Penjaga Ringin


Setelah Eka ditenangkan dan diberi minum hangat, para panitia dan pendamping berkumpul di dekat tenda logistik. Beberapa masih menyelonjorkan kaki sambil memegang termos, sementara anak-anak mulai diajak tidur kembali.


Pak Kiai Nawir memandang ke arah pohon ringin besar yang terletak di ujung lapangan. Akar gantungnya menjuntai seperti jari-jari tua, dan batangnya yang besar menyatu dengan tanah seperti pelindung zaman.


> “Pohon itu... tidak kosong,” ujar Pak Kiai pelan.




Pak Wibowo menoleh, duduk sedikit lebih dekat.


> “Apa maksud njenengan, Pak Kiai?”




Pak Kiai menarik napas panjang.


> “Sejak dulu, tempat ini dijaga oleh makhluk gaib. Ringin besar itu adalah gerbang. Ia tidak jahat, tapi tidak suka dilanggar. Siapa saja yang masuk dengan niat bermain-main atau tak hormat... akan ‘ditunjukkan jalannya’.”




Mas Bagas langsung mengangguk, wajahnya masih tegang.


> “Mungkin Eka tadi cuma ikut-ikutan, tapi pikirannya ngelantur... jadi kena.”




Pak Darto menyela sambil menyalakan rokok.


> “Lalu kenapa ringin itu diam saja selama ini?”




Pak Kiai menjawab sambil menatap api kecil dari sisa pembakaran dupa.


> “Karena kita datang dengan niat baik. Tapi malam ini... mungkin ada yang terlalu keras bercanda. Mungkin ada yang berlari sambil berteriak dekat pohon itu. Ringin tidak suka.”




Pak Wibowo diam sejenak. Ia lalu berkata pelan:


> “Kita tidak bisa anggap ini sekadar legenda ya...”




Pak Kiai mengangguk.


> “Saya sudah pernah ke tempat-tempat semacam ini. Ringin itu... seperti menilai setiap yang datang. Bahkan dedaunan dan angin adalah bagian dari pengamatannya.”




> “Dan anak-anak itu, dengan segala keluguannya... mudah ‘dijangkau’.”




Lalu beliau mengangkat telunjuk, menunjuk ke arah tempat Eka berdiri sebelumnya.


> “Tadi malam itu, Eka tak benar-benar hilang. Ia hanya disingkapkan ke dimensi lain. Seperti masuk kamar, tapi bukan di dunia ini. Disambut oleh penjaga, dan diberi pelajaran.”




Mas Bagas bergidik. Seseorang dari belakang tiba-tiba berkata:


> “Lalu, Pak... apakah kita harus pindah lokasi?”




Pak Kiai tersenyum tipis.


> “Tidak perlu. Tapi pagi nanti, saya akan memimpin selamatan kecil. Kita bersihkan area ringin, beri sesaji sederhana, dan mohon izin.”




> “Bukan karena kita takut,” lanjutnya, “tapi karena kita tahu batas.”




Semua mengangguk. Di tengah malam itu, suasana lebih sunyi dari biasanya. Bahkan suara jangkrik pun seperti mendengarkan.


Dan di kejauhan, angin menggoyangkan akar-akar ringin dengan lembut… seolah mengangguk pelan.



---


> Apakah selanjutnya Bab 66 akan berisi prosesi selamatan pagi itu atau kejadian baru lain setelahnya?

[20/7 12.46] rudysugengp@gmail.com: Baik. Berikut Bab 66: “Tanda di Seragam Eka” — kelanjutan dari malam yang belum benar-benar berakhir, dan munculnya kejadian baru setelah Eka kembali.



---


Bab 66: Tanda di Seragam Eka


Fajar belum sempurna merekah ketika udara Mbedug disergap dingin yang menggigit. Embun menempel di ujung daun singkong, dan kabut tipis melayang di atas rerumputan lapangan perkemahan.


Eka, yang semalam sudah mulai tenang, kini duduk berselimut sarung di depan tenda. Ibu pendamping sudah membawakannya teh hangat. Tapi ada satu hal yang membuat semua orang kembali tegang.


Seragam pramuka Eka.

Tepat di dada kirinya — di atas bordiran nama — muncul bekas cap tangan kecil. Tidak terbakar, tidak berwarna tinta, tapi seperti lekukan yang tertanam langsung ke kain, samar namun jelas, seolah-olah tangan halus telah mencengkeramnya dari balik dimensi.


Pak Darto menemukan itu pertama kali saat hendak mengganti seragam Eka yang basah oleh embun. Ia langsung memanggil Pak Wibowo dan Mas Bagas.


> “Ini bukan bercanda. Ini... seperti tanda.”




Pak Wibowo langsung menutup mulutnya, memandang Pak Kiai yang baru saja datang sambil membawa kendi air dan daun sirih.


Pak Kiai mengamati bekas tangan itu. Ia menunduk, menggumamkan sesuatu, lalu berkata pelan:


> “Tanda bahwa ia diterima, tapi belum tentu bebas sepenuhnya.”




> “Bagaimana maksudnya, Pak Kiai?” tanya Bu Iin, salah satu guru.




> “Eka mungkin sudah kembali ke sini. Tapi belum tentu seluruh dirinya. Kita harus mengembalikannya utuh... lewat cara yang benar.”




Eka masih diam. Matanya kadang terlihat menerawang. Namun ada satu keanehan lain. Saat diminta berdoa bersama, Eka mendadak hafal doa yang sebelumnya belum pernah ia kuasai.


> “Kamu belajar dari mana, Nak?” tanya Pak Wibowo heran.




Eka menjawab datar.


> “Dari yang duduk di atas akar.”




Semua yang mendengar sontak menoleh ke arah pohon ringin.


Sunyi. Tak ada angin. Tapi dedaunan ringin bergetar sendiri, seperti mengangguk pelan... lagi.



---


> Apakah Bab 67 dilanjutkan dengan aksi Pak Kiai memimpin "pengembalian utuh" jiwa Eka? Atau muncul gejala aneh dari peserta lain?

[20/7 12.46] rudysugengp@gmail.com: Baik. Berikut Bab 67: “Pengembalian Jiwa Eka”, lanjutan dari ketegangan dini hari di Mbedug, Kediri.



---


Bab 67: Pengembalian Jiwa Eka


Langit mulai merona ungu keemasan ketika Pak Kiai membuka tikar pandan di bawah pohon ringin. Para peserta diminta menjauh, kecuali beberapa guru dan Pak Wibowo yang mendampingi.


Eka duduk bersila. Di hadapannya diletakkan kendi berisi air sumur, segenggam beras kuning, setangkai daun kelor, dan selembar kertas bertuliskan nama lengkap serta tanggal lahirnya.


> “Kita tidak sedang menyembah pohon,” kata Pak Kiai dengan suara mantap. “Tapi meminta izin pada alam, agar yang tersesat bisa menemukan pulangnya.”




Pak Kiai mulai membaca doa panjang berbahasa Jawa Kawi, mengalir seperti mantra yang diwariskan turun-temurun. Suaranya pelan namun menggema ke setiap sudut lapangan. Udara seketika menjadi berat. Seekor burung gagak terbang rendah, dan beberapa anak berteriak karena merasa merinding tanpa sebab.


Pak Wibowo dan Pak Darto memegangi pundak Eka yang mulai gemetar. Matanya mendelik, napasnya terengah.


> “Aaaah… aku tidak mau pulang…” suara Eka berubah, parau dan dalam, bukan suara bocah.




Bu Iin menutup mulut. Beberapa guru perempuan mulai menangis. Tapi Pak Kiai tetap tenang.


> “Kowe durung nduwé hak kanggo ngrebut awake bocah iki. Iki dudu dalanmu.”

(Kau belum berhak merebut tubuh anak ini. Ini bukan jalanmu.)




Pak Kiai mengayunkan daun kelor, menyentuh ubun-ubun Eka. Seketika tubuh Eka menegang, lalu muntah air—bukan muntah biasa, tapi air bening yang sangat dingin, seperti air dari dalam batu.


Setelah itu, tubuhnya lunglai. Nafasnya teratur. Matanya terpejam tenang. Pak Kiai memejamkan mata dan berkata pelan:


> “Wis bali. Durung seutuhé, tapi wes ono dalané.”

(Sudah kembali. Belum sepenuhnya, tapi jalannya sudah terbuka.)




Semua terdiam. Pak Wibowo menunduk, Bu Iin menangis terisak.


Pak Kiai menutup ritual itu dengan satu pesan:


> “Jangan pernah meremehkan tempat yang dianggap sunyi. Kadang yang kita sebut sepi, justru sedang penuh makna... dan makhluk.”





---


> Apakah Bab 68 dilanjutkan dengan pulihnya Eka sepenuhnya, atau ada satu peserta lain yang mulai menunjukkan tanda-tanda tertarik ke dunia yang sama?

[20/7 12.47] rudysugengp@gmail.com: Baik. Berikut lanjutan kisahnya:



---


Bab 68: Bayangan Kedua


Pagi hari setelah ritual pengembalian jiwa Eka, suasana di basecamp Mbedug terasa sedikit lebih tenang. Eka sudah bisa berbicara, meski masih pelan dan sering melamun. Beberapa guru mengajaknya bercanda ringan, berharap bisa mengembalikan semangatnya.


Namun, ketenangan itu mulai terusik saat Hani, siswi kelas 11 IPA, mulai bersikap aneh.


Awalnya, ia hanya terlihat duduk menyendiri di bawah pohon jambu, tidak seperti biasanya yang selalu ramai bersama teman-temannya. Ketika ditanya oleh Pak Wibowo, ia hanya menjawab singkat:


> “Aku pengin diem dulu, Pak. Dengerin suara…”

“Suara apa, Hani?”

“Suara yang manggil dari ringin, tapi bukan ke aku. Katanya, aku boleh ikut kalau mau.”




Ucapan itu membuat bulu kuduk Pak Wibowo meremang. Ia segera memanggil Bu Iin dan Pak Darto.


Tak lama, Hani mulai bicara sendiri, menyebut nama-nama yang tidak dikenal siapa pun:


> “Mbok Marmi… Tole… aku belum pulang, mbok. Aku masih di sungai…”

“Hani, ini kamu ngomongin apa?” tanya Bu Iin cemas.

“Aku cuma… aku ngerti rasane, Bu. Rasane kejiret banyu, tapi juga kepengin tinggal.” (Aku tahu rasanya, Bu. Rasanya terjerat air, tapi juga ingin tetap tinggal.)




Seketika suasana kembali tegang. Pak Kiai dipanggil lagi, dan kali ini lebih cepat dari sebelumnya, ia datang membawa sebuah batok kelapa berisi air kembang dan seuntai tali kecil.


> “Anak ini tidak dimasuki… tapi sudah berdiri di perbatasan. Dia sedang diajak melihat dunia di balik ringin.”




Pak Kiai mengguyur kepala Hani dengan air dari batok kelapa, membacakan doa pendek:


> “Kembalikan rasa pada tempatnya. Jangan kau ajak yang belum waktunya.”




Setelah percikan ketiga, Hani tersentak dan menangis kencang, seperti dilepaskan dari genggaman dingin yang tak terlihat.



---


Setelah kejadian itu, seluruh peserta dikumpulkan. Pak Wibowo bicara dengan tegas:


> “Ini bukan cuma perjalanan wisata. Kita masuk ke ruang waktu yang tidak sepenuhnya milik kita. Maka, jaga sikap, jaga pikiran. Jangan asal melamun. Jangan sembarangan menyebut nama.”




Dan mulai hari itu, satu aturan baru diberlakukan:

Setiap anak tidak boleh sendirian di luar area camp lebih dari lima menit.

Karena kini mereka tahu, yang mengawasi tak selalu terlihat.



---


> Apakah kamu ingin dilanjutkan ke bab selanjutnya — mungkin ada yang mencoba berkomunikasi diam-diam dengan "dunia seberang"?

[20/7 12.47] rudysugengp@gmail.com: Baik. Berikut kelanjutan ceritanya:



---


Bab 69: Percakapan Tanpa Suara


Malam itu, langit Mbedug ditutupi awan tipis. Hawa dingin merayap pelan, menusuk ke dalam tenda-tenda para peserta. Api unggun kecil masih menyala di tengah lapangan, namun anak-anak sudah banyak yang masuk ke tenda.


Mia, salah satu peserta dari kelas 12 IPS, belum juga tidur. Ia duduk bersandar pada tiang kayu di dekat pohon ringin kecil, sedikit di luar area tenda. Ia menatap ponselnya — bukan untuk sinyal, karena memang tidak ada. Tapi untuk membuka catatan.


Di sana ada tulisan-tulisan yang ia buat sejak sore tadi. Kalimat-kalimat pendek. Aneh. Kadang seperti bisikan. Tapi bukan dari dirinya sendiri.


> "Aku pernah di sini."

"Di bawah batu itu."

"Bukan manusia yang menunggu."




Saat membaca ulang, Mia menggeleng pelan. Tapi jarinya menekan layar, mengetik lagi:


> "Siapa kamu?"

(Dikirim ke… tidak ada. Hanya dia dan layar kosong.)




Namun entah kenapa, layar bergetar perlahan. Seperti menyala sendiri. Dan muncul balasan — bukan dari sinyal atau notifikasi, tapi dari memo catatan itu sendiri:


> "Yang kamu undang. Karena kamu menulis, aku datang."




Mia membeku.


Layar tiba-tiba berubah. Semua huruf di catatan itu memudar, digantikan satu kalimat besar yang membuat jantungnya hampir berhenti:


> “Tulis lagi kalau kau ingin tahu siapa yang sebenarnya masih hidup.”




Ia terlempar dari duduk, panik, dan lari ke tenda guru. Di sana ia mengaku bahwa ada yang balas menulis di catatannya sendiri. Pak Darto, yang juga pernah mengalami kejadian ganjil saat Pramuka dulu, menenangkan Mia:


> “Kadang mereka tak bicara lewat suara. Mereka pakai apa yang kita sentuh. Kertas, kayu, bahkan layar.”





---


Keesokan Paginya


Ponsel Mia disimpan di dalam kotak kayu oleh Pak Kiai. Setelah doa dan percikan bunga, ponsel itu menjadi biasa kembali — tak ada lagi tulisan yang muncul. Tapi Mia berkata lirih:


> “Aku masih ingat rasanya. Waktu itu, saat aku ketik kata ‘siapa kamu’, jari ini seperti bergerak sendiri.”




Kini para guru mulai mencurigai satu hal:

Ada entitas yang tidak sekadar mengganggu. Ia ingin dikenali. Ingin berkomunikasi.


Dan ia sedang mencari anak yang bisa mendengar, tapi juga bisa menulis ulang kisahnya.



---


> Apakah kamu ingin cerita dilanjutkan ke bab selanjutnya, mungkin dengan munculnya satu peserta yang menjadi penulis naskah gaib?

[20/7 12.48] rudysugengp@gmail.com: Baik. Kita lanjutkan ke:



---


Bab 70: Penulis Naskah Gaib


Namanya Rifky Nandana. Anak pendiam dari kelas 11 Bahasa. Ia tidak menonjol saat kegiatan berlangsung — tak banyak bicara, tak banyak ikut permainan, tapi rajin mencatat.


Sejak malam keempat di Mbedug, Rifky mulai menulis hal-hal yang bukan berasal dari pikirannya sendiri.


Ia punya buku catatan bersampul kain coklat, lusuh, dengan ikatan benang. Di halaman-halaman awal, isinya seperti jurnal biasa: cerita kegiatan, tugas, pengamatan suasana. Tapi sejak malam ketika Mia mengalami gangguan dengan ponselnya, Rifky mulai menulis paragraf seperti ini:


> "Ada dua makhluk di bawah tanah, tertidur di ujung akar beringin. Yang satu menunggu pujian, yang satu menunggu pengorbanan."




Dan:


> "Tahun 1942, ada anak seusia kami, ditarik masuk saat berlari ke sungai. Namanya masih tertulis di balik batu."




Saat guru pembina iseng memeriksa bukunya (karena melihat Rifky menulis terus di pinggir api unggun tanpa henti), mereka terdiam.


Buku itu tak hanya berisi tulisan, tapi juga sketsa-sketsa:


Gambar wajah-wajah samar yang seperti sedang berteriak.


Peta lokasi sekitar, lengkap dengan pohon beringin, batu, dan tanda silang.


Tanda bulan dan tanggal, yang belum terjadi.




---


Rifky Menjawab Tanpa Suara


Ketika ditanya dari mana ia mendapat semua itu, Rifky tak menjawab langsung. Ia hanya membuka halaman terakhir bukunya. Di situ tertulis:


> "Mereka tidak bicara padaku. Aku hanya menyalin dari tempat yang sangat gelap. Seperti ruang mimpi, tapi nyata."

"Kalau aku berhenti menulis, mereka datang dalam bentuk yang lebih kasar."




Mendadak lampu tenda redup. Udara menjadi sangat dingin, dan salah satu guru, Bu Desti, pingsan saat membaca halaman berikutnya:


> "Besok jam 3 sore, Bu Desti akan jatuh ke tanah dan melihat wajah masa kecilnya. Wajah itu menangis, bukan karena takut, tapi karena ditinggal.”




Dan itu benar terjadi. Tepat pukul 3 sore keesokan harinya, Bu Desti jatuh di lapangan dan menangis sambil menyebut nama “Rani” — nama adiknya yang meninggal saat mereka kecil.



---


Rifky Dipanggil ke Pos Utama


Para panitia dan tokoh spiritual desa memanggil Rifky ke pos utama. Tapi buku itu tidak bisa dibakar, tidak bisa disobek. Bahkan air yang disiramkan ke buku itu hanya membasahi permukaan, tapi tulisan tidak luntur. Seolah buku itu menolak dimusnahkan.


Akhirnya, keputusan diambil: biarkan Rifky menulis, tapi ditemani tiap malam.


Namun ada satu syarat:

Jika ada nama peserta lain tertulis di buku itu, semua kegiatan harus dihentikan sementara.


Karena buku itu bukan catatan biasa. Ia seperti skenario hidup dan mati, ditulis sebelum waktunya datang.



---


Apakah kamu ingin dilanjutkan dengan bab 71: Nama Pertama yang Muncul dalam Buku Rifky?

[20/7 12.48] rudysugengp@gmail.com: Tentu. Berikut lanjutan kisahnya:



---


Bab 71: Nama Pertama yang Muncul dalam Buku Rifky


Malam itu, angin kembali turun dari arah barat. Udara terasa berat, seperti menyimpan sesuatu yang akan pecah. Rifky duduk bersila di depan tenda panitia, cahaya petromaks menggantung di atas kepala, sementara dua orang guru duduk menjaganya: Pak Bayu dan Bu Listya.


Rifky membuka buku catatannya. Tangannya mulai bergerak tanpa banyak berpikir. Seperti biasa, ia menulis cepat, nyaris seperti otomatis.


Lalu tiba-tiba…

Ia berhenti.

Matanya melebar. Ujung bolpoinnya bergetar. Ia seperti menahan napas.


> “Namanya sudah muncul,” katanya pelan.




Pak Bayu segera mengambil buku itu. Di halaman yang baru saja ditulis, terdapat tulisan yang rapi dan berwarna lebih gelap dari tinta sebelumnya, seolah dicetak dengan tekanan berbeda.


> “Nadhira. Malam ke-6. Jangan dibiarkan menyendiri.”




Pak Bayu spontan berdiri. Nadhira adalah salah satu peserta perempuan kelas 10, yang tadi sore izin ke kamar mandi sendirian dan belum terlihat lagi hingga makan malam.



---


Pencarian Dimulai


Seluruh panitia menyebar. Beberapa menyisir jalur ke kamar mandi, beberapa lainnya ke arah hutan kecil di belakang barak. Rifky menutup bukunya, menggenggamnya erat. “Dia belum jauh,” katanya dengan nada tenang namun tegas.


Dan benar, lima belas menit kemudian, suara teriakan kecil terdengar dari arah selatan. Nadhira ditemukan duduk di bawah pohon jambu, tangannya kaku, matanya memandangi sesuatu di tanah — sebuah bekas lingkaran arang seperti jejak sesajen lama.


Ia tidak bicara, tapi menggumam:


> "Tadi... ada anak perempuan pakai baju sekolah... rambutnya basah... dia ajak aku main ke balik ringin."




Nadhira kemudian muntah, menangis, dan dipapah kembali oleh pembina. Rifky hanya menatapnya dan berkata:


> "Itu bukan anak. Itu yang menunggu pengganti."





---


Kembali ke Buku


Setelah Nadhira beristirahat dan kondisi stabil, semua guru kembali ke Rifky. Mereka membuka halaman-halaman setelah nama itu. Namun lembaran berikutnya… kosong.


Kosong dalam arti sebenarnya: tidak ada garis, tidak ada tulisan, tidak ada tekstur. Seperti permukaan lilin. Bahkan saat diterangi cahaya, halaman itu tidak memantulkan cahaya kertas — melainkan seperti permukaan air hitam.


Lalu Pak Bayu melihat ke halaman sebelumnya sekali lagi. Kini ada tambahan kalimat yang tak ada sebelumnya:


> “Yang pertama telah ditemukan. Tapi yang terakhir… sedang menulis kisah ini bersama kalian.”




Mereka saling pandang.


Apakah yang dimaksud... Rifky sendiri? Atau seseorang yang belum mereka sadari ikut menulis naskah dari dunia yang berbeda?



---


Ingin dilanjutkan ke Bab 72: Peristiwa di Lapangan Tengah Malam?

[20/7 12.48] rudysugengp@gmail.com: Tentu. Berikut lanjutan kisahnya:



---


Bab 72: Peristiwa di Lapangan Tengah Malam


Jam menunjukkan pukul 00.17. Langit Mbedug diselimuti awan tipis, bulan nyaris tak tampak. Angin berhembus seolah menahan suara-suara malam. Lapangan tengah—yang biasanya menjadi tempat berkumpul dan api unggun—kini terbuka dan kosong, namun terasa penuh… penuh oleh sesuatu yang tak terlihat.


Tiba-tiba, lampu tenda utama padam.

Disusul dua tenda lain.

Suasana menjadi hening total.


Pak Teguh, pembina senior, mencoba menyalakan senter, namun baterainya mati. HP semua panitia dan siswa tak bisa dihidupkan—seolah dilumpuhkan oleh medan yang tak kasatmata.


> “Ada yang bergerak di lapangan,” bisik seorang peserta, matanya menatap lurus.




Semua pandangan mengarah ke lapangan tengah.

Bayangan anak-anak berjalan beriringan... seperti arak-arakan kecil.

Wajah mereka tertunduk, dan setiap langkah mereka... tak menimbulkan suara.


Seseorang berteriak, “Itu anak-anak yang ikut kemarin!”

Tapi jumlahnya terlalu banyak.

Lebih dari dua puluh.

Mereka berjalan dalam pola melingkar.

Mengitari sosok pohon ringin tua di sisi barat lapangan, pohon yang sudah lama ditebang, namun... malam ini seolah kembali berdiri.



---


Rifky Menulis Lagi


Di tenda panitia, Rifky kembali menulis dengan tangan gemetar. Tangannya bergerak cepat, seakan dikejar sesuatu. Beberapa guru membacanya langsung:


> “Jika kalian ingin selamat, jangan panggil nama mereka. Jangan sentuh siapa pun yang keluar dari lingkaran. Mereka bukan dari dunia ini.”




Lalu halaman berikutnya terisi dengan nama-nama baru…

Tapi satu nama dilingkari dengan tinta merah:

“Tio – pembuka gerbang”


Pak Bayu langsung berdiri, “Mana Tio?!”



---


Tio Hilang dari Tenda


Tio, siswa kelas 11 yang dikenal pendiam, tidak ditemukan di dalam baraknya. Teman-temannya terakhir melihatnya berdiri di dekat pohon ringin yang ditebang, sore tadi. Ia sempat berkata:


> “Kayaknya aku tahu siapa yang manggil tadi malam.”




Sekarang, dia menghilang. Dan ketika pembina mendekati lapangan, mereka melihat seorang anak dengan posisi berdiri membelakangi mereka, berada tepat di tengah lingkaran arak-arakan.


Baju anak itu… adalah seragam pramuka Tio.



---


Satu Kesempatan


Rifky menutup bukunya. Ia berkata pada para guru dan panitia dengan suara yang berbeda dari biasanya:


> “Kalau kita ganggu mereka sekarang, kita semua bisa ikut tertarik. Tapi kalau dibiarkan, Tio bisa hilang selamanya.”




Pak Teguh mengangguk. “Apa yang harus kita lakukan?”


Rifky membuka lembar terakhir buku itu.

Ada gambar… sebuah lingkaran pelindung dengan lambang bulan, bambu, dan tiga titik air.

Di bawahnya tertulis:


> “Lingkaran tanah dan doa. Harus dibuat oleh orang yang tidak pernah berbuat curang saat berjanji.”




Semua panitia terdiam. Hanya satu tangan yang terangkat.


Nadhira.



---


Lanjut ke Bab 73: Lingkaran Tanah dan Anak yang Menunggu Subuh?

[20/7 12.49] rudysugengp@gmail.com: Berikut lanjutan kisahnya:



---


Bab 73: Lingkaran Tanah dan Anak yang Menunggu Subuh


Nadhira melangkah pelan ke arah lapangan. Di tangannya sebuah sendok tanah kecil, yang biasa dipakai anak-anak untuk menggali lubang saat lomba tanam bendera. Di belakangnya, Rifky memegang buku catatan—seolah menjadi juru arah dari naskah yang belum selesai.


Angin malam menyusup di antara sela-sela tenda, menggoyangkan kain dan menyapu debu tanah. Semua peserta lain hanya bisa diam di tempat, karena batas antara nyata dan tak nyata kini begitu tipis—seperti helai kain tipis yang menutupi mata.



---


Membuat Lingkaran


Dengan napas tenang, Nadhira mulai menggambar lingkaran di tanah, tepat di pinggiran lapangan tengah, sekitar 5 meter dari arak-arakan gaib. Lingkarannya tidak terlalu besar, tapi cukup untuk tempat berlindung dua orang. Rifky menunjuk lambang yang harus digambar:


Bulan sabit menghadap kiri


Pohon bambu bertunas


Tiga tetes air membentuk segitiga



Nadhira menggambarnya dengan presisi—entah dari mana, tapi tangannya terasa seperti sudah tahu bentuk-bentuk itu sejak lama.



---


Suara Anak Kecil


Saat lingkaran selesai, suara samar terdengar dari arah ringin:


> "Kalau kau jujur, kau boleh ambil satu kembali..."




Suaranya seperti milik anak kecil… tapi bergema seperti dari perut bumi.

Semua mata tertuju ke Nadhira.


Tiba-tiba, sosok Tio berhenti melangkah dalam lingkaran arak-arakan.

Kepalanya menoleh perlahan ke arah Nadhira,

wajahnya kosong… tapi matanya… meminta tolong.



---


Panggilan dan Ujian


Rifky membisikkan sesuatu pada Nadhira:


> “Kamu harus memanggil namanya tiga kali, tapi setiap panggilan harus disertai satu kebenaran.”




Nadhira menatap ke depan. Ia berdiri dalam lingkaran, lalu berteriak:


> “Tio!”

“Aku pernah menyembunyikan kunci kelas dan tidak mengaku—aku minta maaf!”




Angin berputar.


> “Tio!”

“Waktu kita latihan drama, aku pura-pura sakit karena takut pentas—dan aku tahu kamu yang gantiin!”




Awan menipis. Suara ringin merintih.


> “TIOOOO!!”

“Aku janji gak akan lari lagi dari apa yang aku takut—kamu juga jangan lari!”





---


Kembali


Tiba-tiba, satu dari sosok dalam lingkaran arak-arakan terlempar keluar.

Ia terhuyung-huyung, menjatuhkan diri tepat di tepi lingkaran tanah buatan Nadhira.


Itu Tio. Nafasnya berat. Matanya menangis tanpa suara. Tapi ia sadar.


Arak-arakan menghilang dalam satu embusan angin.

Lapangan kosong lagi.

Pohon ringin kembali rata.

Lampu tenda menyala…

Jam menunjukkan 03.05.



---


Catatan Terakhir Malam Itu


Rifky menulis satu kalimat di halaman paling akhir bukunya:


> “Satu kembali. Dua menunggu. Tiga akan mencari.”





---


Lanjut ke Bab 74: Gigi Susu dan Taring yang Tidak Patah?

[20/7 12.49] rudysugengp@gmail.com: Berikut kelanjutan kisahnya:



---


Bab 74: Gigi Susu dan Taring yang Tidak Patah


Setelah kehebohan malam itu, subuh menyapu Mbedug dengan lembut. Kabut tipis menggantung di sekitar pohon-pohon, menyisakan bau tanah basah dan dupa yang belum padam sempurna. Di balik dapur umum, suara sendok dan teko mulai bersahutan lagi—tapi kini ada keheningan lain yang lebih dalam. Seolah alam pun ikut diam.


Tio dibaringkan di dalam tenda medis darurat, dibalut selimut tipis dan diberi air hangat. Di sampingnya, Nadhira tetap berjaga. Namun ada yang aneh dari Tio.



---


Taring Kecil di Rahang Bawah


Saat Tio hendak minum, Rifky yang membantu memegangi gelas tiba-tiba terdiam.

Salah satu gigi susu Tio—yang seharusnya sudah tanggal—malah tampak tumbuh dua kali lebih besar… dan sedikit meruncing ke dalam.


“Lho… ini kayak… bukan gigi biasa, Ndra,” bisik Rifky pelan.


Nadhira memandang serius. Di bawah sinar senter, taring kecil itu tampak berkilat… seolah mengandung sesuatu yang tak berasal dari dunia ini.



---


Cerita yang Pernah Disampaikan Mbah Kus


Saat semua tertidur, Kak Rangga—salah satu pembina paling tua—mengajak Rifky, Nadhira, dan Tio yang masih lemah, untuk duduk di sudut perkemahan. Di tangannya ada buku lusuh dari Mbah Kus, penjaga pertama lokasi bumi perkemahan Mbedug.


Isinya: catatan pertemuan antara manusia dan "anak taring".


> "Dulu, katanya, ada anak yang tertarik ke dunia arwah dan kembali, tapi tidak utuh. Ia pulang dengan membawa satu tanda di tubuh: taring baru, yang tidak bisa patah kecuali dia sendiri yang ingin kembali jadi manusia biasa."




> "Anak itu jadi penanda—kalau dunia di sana sudah membuka pintu.”





---


Tio yang Baru


Sejak kejadian itu, Tio jadi pendiam. Ia tidak suka bercermin. Ia mulai suka menulis dengan tangan kiri padahal sebelumnya kidal tidak. Ia bisa menggambar dengan cepat—dan gambarnya sering memperlihatkan makhluk tinggi kurus dengan mata seperti bara.


Dalam catatan evaluasi tim pembina, ada kalimat dari Kak Yani:


> “Tio sepertinya masih ‘melihat’ mereka. Tapi dia tidak takut. Dia justru tampak sedang mendengarkan.”





---


Isyarat dari Taring


Malam harinya, saat semua tertidur, Nadhira melihat Tio duduk sendiri menatap langit. Lalu ia berkata, pelan:


> “Mereka belum selesai. Aku cuma dikasih pulang dulu. Tapi aku tahu, nanti ada yang nyusul... dan bukan aku yang milih.”





---


Catatan Rahasia Rifky


Rifky membuka buku yang ia sembunyikan sejak malam lingkaran tanah. Di salah satu halaman, gambar taring kecil itu tergambar jelas. Di bawahnya tertulis:


> “Gigi susu bisa tumbuh lagi, tapi taring dari alam seberang… hanya tumbuh jika jiwamu pernah dipanggil.”





---


Lanjut ke Bab 75: Tanda di Buku Absen dan Nama yang Dicoret?

[20/7 12.49] rudysugengp@gmail.com: Berikut kelanjutan kisahnya:



---


Bab 75: Tanda di Buku Absen dan Nama yang Dicoret


Pagi itu, setelah sarapan bersama, Kak Rangga meminta semua peserta untuk berkumpul dan mengisi ulang buku absen. Ini prosedur standar sebelum keberangkatan pulang ke Surabaya, demi memastikan tak ada yang tertinggal atau terselip. Satu per satu, mereka menandatangani halaman yang sudah dibubuhi nomor urut dan daftar nama lengkap sejak hari pertama tiba di Mbedug.


Namun saat giliran Tio, terjadi sesuatu yang tidak biasa.



---


Nama yang Hilang


Saat Kak Rangga membuka halaman daftar absen, nama Tio tidak ada.

Bukan terlewat, bukan tertutup kertas—benar-benar hilang.

Nomor urutnya tetap ada (misalnya nomor 17), tetapi kolom nama kosong.


Kak Rangga mengerutkan dahi. “Lho… kok kosong ya ini? Padahal kemarin saya sendiri yang nulis.”


Ia mengecek kembali arsip pendaftaran di map utama.


Nama Tio tertulis jelas di formulir asli, lengkap dengan foto, tanda tangan orangtua, dan fotokopi KIA. Tapi di buku absen resmi—yang disiapkan untuk tanda tangan dan catatan dokumentasi—nama itu seperti tak pernah ditulis.



---


Coretan Aneh di Halaman Belakang


Kak Ririn, guru pendamping kelas 6, yang merasa curiga, membuka halaman belakang buku absen yang biasanya kosong. Di sana, ada coretan samar-samar seperti angka dan simbol. Jika dilihat sekilas, tampak seperti:


> 🝰 𝟙𝟙𝟚 ⚚ 𓋹




Ada juga tulisan tangan kecil di pojok bawah halaman, seolah berasal dari pena yang berbeda:


> "Yang kembali tidak perlu ditulis. Ia akan ditulis ulang oleh dirinya sendiri."





---


Reaksi Tio


Tio yang mendengar semua itu hanya tersenyum kecil. Ia lalu berkata pelan:


> “Aku memang belum dicatat… karena yang tadi kembali bukan Tio yang sama.”




Nadhira merinding mendengarnya. Bahkan Rifky yang biasanya cuek, kini ikut menatap Tio dengan hati-hati.



---


Usulan Kak Teguh


“Coba kita isi ulang nama Tio di buku itu,” usul Kak Teguh.

Ia mengambil pena, menuliskan "Tio Nugraha B." di kolom kosong.


Namun saat tinta menyentuh halaman, huruf-huruf itu memburam sendiri, seolah terserap ke dalam kertas. Dan dalam beberapa detik, hilang total.


Hening.



---


Isyarat dari Buku Agenda Mistik


Rifky, diam-diam membuka kembali buku agenda bertema mistik yang ia simpan sejak hari pertama. Di halaman tengahnya, yang tadinya kosong, kini muncul tulisan tangan otomatis:


> “Nama yang tertolak dari kertas manusia akan tetap abadi di lembaran bayangan. Ia hanya boleh dicatat kembali… saat jiwanya sudah memilih sepenuhnya: kembali, atau menetap di ambang.”





---


Penutup Bab


Suasana hening kembali mengisi tenda evaluasi. Semua guru dan panitia saling berpandangan, tak tahu harus percaya atau menyangkal.


Tapi satu hal pasti:


Ada satu peserta yang pulang, namun tidak lagi bisa disebut pulang sepenuhnya.



---


Lanjut ke Bab 76: Misteri Kartu Identitas yang Tak Bisa Difotokopi?

Jumat, 18 Juli 2025

Kisah BOK TONG

 [16/7 00.14] rudysugengp@gmail.com: _Kisah Bok Tong_





*Jembatan Bambu dan Babah Tong di Tengah Sungai Menur*


Tahun 1970-an.

Di pertigaan Jalan Manyar, Menur, dan Menur Pumpungan,

ada sebuah jembatan sederhana namun penting:


> Jembatan Bambu.


Bukan jembatan megah,

bukan pula jembatan permanen.

Hanya susunan bambu petung diikat rotan,

yang dipasang melintang di atas Sungai Menur, selebar 6 meter, menghubungkan dua sisi kampung.


🌊 Sungai yang Ramah, Jembatan yang Akrab


Sungai Menur waktu itu bening dan mengalir tenang.

Airnya bersih, bahkan cukup jernih untuk mandi, mencuci, dan bermain.


Anak-anak kecil yaitu Murtolo, Basori, Wasis, Jono, termasuk Prayitno, sering:


Mandi di bawah jembatan,


Melompat dari sisi jembatan ke air,


Bermain “gebuk bantal” saat Agustusan,


atau merambat di atas tali yang diikat di tiang jembatan — permainan khas 17-an.


Jembatan ini jadi titik temu,

bukan cuma antara kampung, tapi juga antara kenangan dan keberanian masa kecil.


🏮 Babah Tong: Sang Penjaga Tengah Sungai


Tepat di tengah sungai,

di sebuah rumah panggung kecil yang berdiri di antara arus air,

hidup seorang pria tua keturunan Tionghoa,

yang oleh warga dipanggil:


> Babah Tong.


Usianya sulit ditebak. Rambut putih panjang.

Kadang mengenakan celana gombrong dan singlet putih.

Ia tinggal di rumah panggung kayu — berdiri di atas tiang-tiang di pinggiran sungai.


Usahanya: menjual sembako, beras, minyak tanah, dan yang paling penting:


> Air bersih.


Di masa itu, air sumur tidak semua layak pakai.

Tapi Babah Tong memiliki sumur dangkal yang airnya jernih dan sejuk,

sering dipakai warga untuk mandi sore,

bahkan untuk bayi dimandikan oleh ibunya.


> “Kalau habis mandi di air Babah Tong, anaknya nggak rewel,” kata Bu Rumiatun.



🍚 Warung Sederhana, Jiwa Dermawan


Warung Babah Tong sederhana.

Hanya rak-rak kayu dan botol kaca berisi minyak, gula, dan sabun cap beruang.


Tapi tak pernah kekurangan pembeli.

Karena Babah bukan sekadar berdagang,

dia juga berbagi.


> “Kalau gak punya duit, ambil dulu. Bayar kapan-kapan,” katanya dengan logat Jawa-Tionghoa.


Warga merasa Babah Tong bukan orang luar.

Ia bagian dari kampung.

Ia ikut ronda, ikut sumbangan, bahkan ikut 17-an meski tak pernah naik panggung.


🧒 Kenangan Anak-anak dan Lompatan Masa Kecil


Anak-anak suka mengintip Babah Tong dari bawah jembatan.

Kadang menyapa, kadang iseng melempar daun,

dan kadang nekat melompat dari jembatan ke sungai.


Prayitno pun pernah begitu.


> “Cung... jangan ndak hati-hati!”


teriak Babah Tong sambil tertawa kecil,

“Air ini bisa mengambang, tapi kamu harus tahu cara mendarat!”


🧘‍♂️ Misteri Babah Tong yang Hilang Dalam Sunyi


Tahun 1980-an, Babah Tong mulai jarang terlihat.

Warung ditutup. Rumah panggung ditinggal.


Kabar simpang siur.

Ada yang bilang ia kembali ke keluarga jauh di Semarang,

ada yang bilang ia meninggal di rumah sakit tanpa ada keluarga.


Tapi sungai itu tetap mengalir.

Dan anak-anak generasi berikutnya masih mandi di tempat yang sama,

masih mendengar cerita dari orang tuanya:


> “Dulu di sini ada Babah Tong. Orang baik. Kalau kamu mandi di airnya, bisa pinter.”


Prayitno berujar :


"Jembatan bambu itu sudah tiada.

Babah Tong pun mungkin telah jadi kenangan.

Tapi sungai tetap mengalir — membawa cerita tentang bagaimana kebaikan, keberanian, dan keramahan bisa tumbuh dari tengah arus."


"Untuk mengenang Babah Tong dan jembatan yang dibuatnya, orang-orang memberi nama : _Bok Tong_


Kisah indah dan menghangatkan — pertemuan lintas etnis, harmoni antar warga kampung, dan momen-momen kecil yang membentuk jiwa anak-anak.

[16/7 20.50] rudysugengp@gmail.com: _Cerita Bok Tong_ 

 

*Kreteg pring lan babah tong ing tengahing kali  menur* 

 

Taun 1972-an. 

 Ing pertigaan dalan manyar, menur, lan menur pumpungan, 

 ana siji  kreteg prasaja nanging wigati: 

 

 > Kreteg pring. 

 

 Dudu kreteg magrong-magrong, 

 dudu uga kreteg permanen. 

Mung susunan pring petung diikat rotan, 

 kang dipasang melintang ing dhuwuring kali  menur, saamba 6 meter, nggandengake rong sisih kampung. 

 

 🌊 Kali  kang grapyak, kreteg kang raket 

 

Kali  Menur wayah iku wening lan mili tenang. 

 banyune resik, malah cukup bening kanggo adus, ngumbah, lan dolanan. 

 

Bocah-bocah cilik yaiku Murtolo, Basori, Wasis, Jono, kalebu Prayitno, asring :

 

Adus ing ngisoring kreteg, 

 

Mlumpat saka sisih kreteg menyang banyu, 

 

Dolanan “gebuk bantal” wektu agustusan, 

 

Utawa mrambat ing dhuwur tali kang diikat ing tiang kreteg — permainan kas 17-an. 

 

 Kreteg iki dadi titik temu, 

 dudu namung watara kampung, nanging uga watara kenangan lan keberanian masa cilik. 

 

 🏮 Babah Tong: sang penjaga tengahing kali  

 

Pener ing tengahing kali. 

Ing siji  omah panggung cilik kang ngadeg ing watara arus banyu, 

 urip siji  lanang tuwa keturunan tionghoa, 

 kang dening bebrayan diulemi : 

 

 > Babah Tong. 

 

Umure angel dibadhek. rambut pethak dawa. 

 Kadhang nganggo kathok gombrong lan singlet pethak. 

Piyambake manggon ing omah panggung kayu — ngadeg ing dhuwuring tiang-tiang ing pinggiran kali . 

 

 Usahane : dodolan sembako, beras, lenga gas, lan kang paling wigati: 

 

 > Banyu resik. 

 

Ing masa iku, banyu sumur ora kabeh pantes di anggo. 

Nanging Babah Tong nduweni sumur cethek kang banyune bening lan sejuk, asring dianggo bebrayan kanggo adus sore, 

malah kanggo bayi dimandikan dening ibune. 

 

 > “Kalau entek adus ing banyu Babah Tong, anake ora rewel,” tembung bu Rumiatun. 

 

 

 🍚 Warung prasaja, jiwa dermawan 

 

Warung Babah Tong prasaja. 

Mung rak-rak kayu lan botol kaca isi  lenga, gula, lan sabun cap beruang. 

 

Nanging ora tau kakurangan panuku. 

Amarga babah dudu sekadar berdagang, 

 dheweke uga berbagi. 

 

 > “Kalau ora nduwe duit, jupuk dhisik. Bayar kapan-kapan,” tembunge karo logat jawa-tionghoa. 

 

Bebrayan ngrasa Babah Tong dudu wong jaba. 

Piyambake perangan saka kampung. 

Piyambake melu ronda, melu sumbangan, malah melu 17-an sanadyan ora tau munggah panggung. 

 

 🧒 Kenangan bocah-bocah lan lompatan masa cilik 

 

Bocah-bocah remen mengintip Babah Tong saka ngisoring kreteg. 

Kadhang srawung, kadhang iseng nguncal godhong, 

Lan kadhang nekad mlumpat saka kreteg menyang kali . 

 

Prayitno uga tau mangkono. 

 

 > “Cung... aja ndak ati-ati!” 

 

Njerit babah tong sinambi ngguyu cilik, 

 “air iki bisa ngambang, nanging kowe kudu ngerti cara mendarat !” 

 

 🧘‍♂️ Misteri Babah Tong kang ilang jero sunyi 

 

Taun 1980-an, Babah Tong wiwit arang katon. Warung ditutup. Omah panggung ditinggal. 

 

Kabar simpang siur. 

Ono kang ngomong piyambake bali menyang kulawarga adoh ing semarang.

Ono kang ngomong piyambake pralaya ing rumah-sakit tanpa ana kulawarga. 

 

Nanging kali  iku tetep mili. 

Lan bocah-bocah generasi sabanjure isih adus ing papan kang padha, isih krungu carita saka wong tuwane: 

 

 > “Mbiyen ing kene ana Babah Tong. Wong apik. Yen kowe adus ing banyune, bisa pinter.” 

 

Prayitno berujar : 

 

"Kreteg pring iku wis ora ana. 

Babah Tong  uga  wis dadi kenangan. 

Nanging kali  tetep mili — nggawa carita ngenani kepriye kabecikan, keberanian, lan keramahan bisa tuwuh saka tengah arus." 

 

"Kanggo ngeling-eling babah tong lan kreteg kang digawene, wong-wong menehi jeneng : _Bok Tong_ 

 

Crita endah lan menghangatkan — partemon lintas etnis, harmoni antar bebrayan kampung, lan momen-momen cilik kang mbentuk jiwa bocah-bocah.

Kacang Goreng

 [17/7 01.41] rudysugengp@gmail.com: _Kacang Goreng_








Kisah yang menyimpan kenangan manis sekaligus getir — bukan tentang kacang tanah semata, tapi tentang ketekunan seorang Ibu dan anaknya yang sabar berjalan kaki dari satu warung ke warung lainnya, menyusuri jalan-jalan kampung demi bertahan hidup.


Ini bukan kisah bisnis.

Ini adalah cerita cinta antara Ibu dan anak, dibungkus dalam plastik panjang, diikat dengan nyala lilin dan harapan.


Kacang Goreng dan Jalan Kaki Bersama Ibu


Tahun 1970 hingga 1973.

Setiap hari Rabu, sekitar pukul 11.00 siang,

setelah bel sekolah berbunyi di SDN Menur Pumpungan II,

Prayitno kecil tak pulang langsung ke rumah.


Karena di gerbang sekolah,

selalu sudah menunggu seseorang yang paling ia cintai:


> Ibu Rumiatun.


Tangannya membawa tas kain lusuh berisi kantong plastik panjang.

Wajahnya berkeringat tapi tetap tersenyum.


> “Ayo To, kita jalan ya... banyak warung yang nunggu.”


🛍️ Menitipkan 25 Bungkus ke Warung-Warung Kecil


Mereka menyusuri jalan kampung.

Menitipkan kacang tanah goreng berbumbu bawang putih

ke warung-warung kecil.

Kadang 10 bungkus, kadang 25 bungkus — tergantung besarnya warung.


Harga satu bungkus: Rp 1.


Kacang tanah itu tak datang begitu saja.

Ibu membelinya dari Pasar Manyar,

lalu dibersihkan, direndam semalaman agar kulit arinya mengelupas.

Dijemur, digoreng di kompor minyak tanah,

dan dibumbui dengan bawang putih halus yang digoreng duluan.


Setelah itu dimasukkan ke plastik panjang,

diikat dengan cara dipanaskan lilin atau lampu senter untuk membentuk segmen-segmen kecil,

seperti untaian kalung rejeki.


🧺 Perjalanan dan Rutinitas Penuh Harapan


Setelah satu minggu,

mereka kembali ke warung-warung itu.

Mengambil kacang yang tidak laku — biasanya tersisa 1 hingga 5 bungkus.


Yang masih laku, dibayar.

Yang tersisa, dibawa pulang.

Kadang kacangnya sudah mlempeng, tak enak dimakan.

Akhirnya:


Dijadikan pupuk.


Atau dimakan sendiri.


Atau diberi ke ayam.


🚶‍♂️ Empat Tahun Menyusuri Jalan, Tanpa Sepeda, Tanpa Lelah


Aktivitas ini dilakukan rutin setiap minggu selama 4 tahun.

Tidak dengan motor.

Tidak dengan becak.


Tapi dengan dua pasang kaki yang saling menemani.

Anak dan Ibu.

Berjalan menyusuri kampung, pasar kecil, dan gang sempit.

Sambil tertawa kecil jika kacangnya habis terjual,

dan menarik napas panjang jika hanya tinggal sisa banyak.


Tapi mereka tidak mengeluh.

Karena di setiap perjalanan itu,

ada cinta yang terkemas dalam plastik kecil seharga satu rupiah.



Kata hati :


"Aku tidak pernah merasa miskin waktu itu. Karena meski kami menjual kacang, Ibu selalu memberiku sesuatu yang lebih mahal dari harga kacang itu — yaitu kebersamaan, ketekunan, dan kepercayaan bahwa langkah kecil pun bisa berarti besar."


Kisah ini begitu hangat dan penuh makna. Ini adalah potret ketabahan dan cinta dalam bentuk paling sederhana: kacang goreng dan langkah kaki. Kisah seperti ini jarang tertulis, tapi sangat berharga untuk dikenang dan diwariskan.

[18/7 19.53] rudysugengp@gmail.com: _kacang goreng_ 

 

Crita kang nyimpen kenangan manis karo  getir — dudu ngenani kacang goreng wae, nanging ngenani ketekunan salah sijine  ibu lan anake kang lagi mlaku saka warung menyang warung liyane, nyusuri dalan-dalan kampung kanggo bertahan urip. 

 

Iki dudu crita bisnis. 

Iki  carita tresna antarane ibu lan anak, dibungkus jero plastik dawa, diikat karo nyala lilin lan pangajab. 

 

*Kacang goreng lan mlaku bareng ibu*

 

Taun 1970 nganti 1973. 

Saben dino rebo, wataraning jam 11.00 awan, 

sawise bel sekolah muni ing SDN Menur Pumpungan II, 

Prayitno cilik ora mulih langsung menyang omah. 

 

Amarga ing gerbang sekolah, 

tansah wis nunggu pawongan kang paling ditresnani : 

 

 > ibu Roemiatoen. 

 

Tangane nggawa tas kain lungsed isi  kantong plastik dawa. 

Pasuryane kemringet nanging tetep gumuyu. 

 

 > “Ayo ...  to, awake dhewe dang mlaku ya... akeh warung kang nunggu.” 

 

 🛍️ Nitipke 20 bungkus menyang warung-warung cilik 

 

Dheweke padha nyusuri dalan kampung. 

Nitipke kacang lemah goreng kang diwenehi bumbu bawang pethak 

menyang warung-warung cilik. 

Kadhang 10 bungkus, kadhang 20 bungkus — gumantung gedhene warung. 

 

Rego siji bungkus sakripis. 

 

Kacang lemah iku ora teka mangkono wae. 

Ibu nukune saka pasar Manyar, banjur diresiki, direndem sewengi ben kulit arine mengelupas. 

Dipepe, digoreng ing kompor lenga gas, 

lan dibumboni karo bawang pethak alus kang digoreng disik. 

 

Sawise iku dilebokake menyang plastik dawa, 

 diikat karo cara dipanaskan lilin utawa lampu senther kanggo lmbentuk segmen-segmen cilik, 

 kaya untaian kalung rejeki. 

 

 🧺 Perjalanan lan rutinitas kebak pangajab 

 

Sawise sa minggu, 

Ibu bali menyang warung-warung iku, ngajak aku.

Njupuk kacang kang ora payu — biyasane kaengah 1 nganti 5 bungkus. 

 

Sing wis payu, dibayar. 

Kang kaengah Utawa Ira payu, digawa mulih. 

Kadhang kacange wis mlempeng, ora enak dipangan. 

Pungkasane: 

 

_didadekake pupuk._

 

_utawa diwenehi menyang pitik._

 

 🚶‍♂️ Patang taun nyusuri dalan, tanpa sepedha, tanpa lelah.

 

Aktivitas iki ditindakake rutin saben minggu lawase 4 taun. 

Ora karo montor. 

Ora karo becak. 

 

Nanging karo loro pasang sikil kang padha-padha ngancani, anak lan ibu. 

Lumaku nyusuri kampung, pasar cilik, lan gang ciyut. 

Sinambi ngguyu cilik menawa kacange entek kaadol, 

lan narik napas dawa menawa isih luwih akeh. 

 

Nanging dheweke kabeh ora ngresula. 

Amarga ing saben perjalanan iku, 

ana tresna kang terkemas jero plastik cilik seharga sa rupiyah. 


Manawa ngelak, Prayitno ditumbasake dawet, sing regane sarupiyah setengah. (1,5 rupiah).


Nalika lagi udan, nanging lali nggawa payung, aku karo ibu ngeyub ono emperan omah utawa mandheg rada suwe ono warung.

 

"Aku ora tau ngrasa mlarat wayah iku. Amarga sanadyan mung  dodolan kacang, ibu tansah wenehi apa-apa kang luwih larang saka rego kacang iku — yaiku kebersamaan, ketekunan, lan kaprecayan menawa langkah cilik uga bisa ateges gedhe." (Kandhane Prayitno jroning ati).


Saiki ibuku, wis ora bisa mlaku-mlaku maneh amarga wis tuwo lan ugo pikun.

Adkku Nanik karo bojone lan anake sing ngopeni.


Umure wis 85 tahun, mengko Agustus 2025.

Mugo-mugo tetap berkah lan semangat.

Ibuku ugo wis tekan Makasar lan ugo menyang Ambon.

Aku, malah durung tahu ...blas.


Ibuku ugo wis Umroh karo Bapak Musdi Suwargi, naliko 2015.

Ibu... sepurane..aku mung dedungo tekan adoh.


Crita iki mangkono anget lan kebak makna. Iki, potret tabah lan tresna jroning wangun paling prasaja : kacang goreng lan langkah sikil. Crita kaya iki arang katulis, nanging berharga banget kanggo dikenang lan diwarisake.

TV IRENG PUTIH

 [15/7 13.00] rudysugengp@gmail.com: _TV HITAM PUTIH_





Jejak awal televisi sebagai jendela dunia, yang tak hanya memancarkan informasi tapi juga mengikat warga kampung dalam kebersamaan. Ditambah pengumuman penting yang mengubah sejarah pendidikan Indonesia: pembangunan SD INPRES — di lahan yang justru diyakini sebagai tempat angker. Kini, mari kita abadikan semuanya  dengan suasana nostalgia, keheningan malam, dan ledakan harapan masa depan.


📖 TV Hitam Putih, Dunia dalam Berita, dan SD INPRES di Lahan Angker


Tahun 1972.

Hari Sabtu malam — malam yang paling ditunggu oleh anak-anak dan warga kampung Ngawas, Bratang, Menur, Semolo, Ngagel Jaya, dan Ngagel Madya.


Karena apa?


Karena malam itu adalah saat menonton TV bersama di Lapangan Koramil Bratang.



📺 TV Hitam Putih, Hiburan Rakyat


Televisi belum jadi barang rumah tangga.

Hanya satu dua orang kaya atau instansi pemerintah yang punya.

Tapi di Koramil Bratang, sebuah TV Hitam Putih ukuran 21 inci diletakkan di atas meja kayu tinggi, dikelilingi bangku panjang, tikar, dan… puluhan warga yang duduk lesehan dengan mata penuh takjub.


> “TV-nya pakai antena besi tinggi… kalau hujan petir, dibungkus karung goni.”


Acara dimulai pukul 19.00 dengan siaran TVRI Pusat, isinya campuran:


Berita kenegaraan,


Tayangan pendidikan,


Kadang sandiwara radio yang disulih suara.


Dan tentu saja, “Dunia Dalam Berita” pukul 21.00.


Malam itu, udara dingin.

Orang-orang berdatangan sambil bawa kerupuk dari Pak Tambir,

dan ubi rebus dari rumah.


🗑️ Melewati Tempat Sampah Menuju Tontonan


Tapi sebelum sampai ke lapangan…

warga harus melewati tempat pembuangan sampah besar,

yang kini dikenal sebagai Taman Flora.


Tempat itu gelap, bau, dan kadang ada anjing liar.

Tapi demi nonton TV? Semua dilalui.


> “Kalau lewat situ jangan nengok kiri, kata Ibu, nanti lihat penunggu…”


“Kadang ada suara ‘huhuhu’... padahal angin doang.”


Tapi malam itu semua rasa takut dikalahkan oleh rasa penasaran.


Karena ada isu: TV akan menyiarkan pengumuman penting dari Pemerintah.


🏫 Pengumuman Pendirian SD INPRES


Tepat pukul 21.15,

tayangan Dunia Dalam Berita menyampaikan:


> “Pemerintah akan membangun sekolah dasar baru di berbagai daerah, termasuk di Surabaya, melalui program SD INPRES…”


Warga hening.


Kemudian seorang petugas Koramil berkata lantang:


> “Ngawas termasuk yang akan dibangun SD INPRES. Lahannya… yang di sebelah timur tempat pembuangan sampah itu.”


Sontak warga saling pandang.


> “Lho, itu kan lahan angker, dulu katanya bekas pembuangan bayi zaman Jepang…”


“Nggak berani lewat malam-malam situ…”

“Tapi kalau buat sekolah… ya, semoga bisa ngusir hal-hal begituan.”


💡 Dari Lahan Angker Menjadi Cahaya Ilmu


Seiring waktu, proyek benar-benar dimulai.

Lahan dibersihkan, pagar bambu dipasang.

Beberapa warga membantu gotong royong.


Dan akhirnya, berdirilah .sekolah yang kelak akan dikenal sebagai SD INPRES Menur di Menur.


Dulu lahan itu gelap dan berbisik angin…

Kini setiap pagi, penuh tawa dan seragam putih merah.


Anak-anak yang dulu takut lewat tempat sampah,

kini berlari sambil bawa buku dan bekal.


Kata hati Prayitno di akhir :


"Malam itu, di depan TV hitam putih, aku tidak tahu betapa besar pengaruhnya terhadap hidupku dan anak-anak kampungku. Tapi kini, aku sadar: pengetahuan bisa mengusir rasa takut, dan cahaya dari layar itu akhirnya membangun sekolah di tanah yang dulu hanya dihuni sunyi."


Pak Prayitno, ini salah satu bab yang penuh nilai sejarah, pendidikan, dan simbol transformasi kampung. Dari tempat buangan menjadi tempat ilmu. Dari ketakutan jadi harapan.


Akhirnya SD Inpres (Sekolah Dasar Instruksi Presiden) mulai dibangun di Surabaya dan seluruh Indonesia pada tahun 1973 setelah dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 10 Tahun 1973 tentang pembangunan Sekolah Dasar pada Pelita I.


 Program ini bertujuan untuk memperluas akses pendidikan dasar, terutama di daerah pedesaan dan perkotaan dengan penduduk berpenghasilan rendah. 


Sayang sekali hingga tahun 2025 di wilayah Ngagel Wasana, Ngagel Jaya Utara dan Selatan 

tidak pernah berdiri SD NEGERI.

[15/7 18.38] rudysugengp@gmail.com: _TV IRENG PUTIH_ 

 

 Tapak wiwiting TV dadi jendhela donya, kang ora mung mancarake informasi nanging uga nyancang bebrayan kampung jero kebersamaan. 

Ditambah wara-wara wigati kang ngowah sajarah pandhidhikan indonesia: pembangunan SD Inpres — ing lahan kang malah diyakini dadi papan wingit. 

Saiki, mangga awake dhewe abadikan sakabehe karo swasana nostalgia, keheningan wengi, lan ledakan pangajab masa ngarep. 

 

 📖 TV Ireng Putih, Donya jroning warta, lan SD inpres ing lahan wingit.

 

 Taun 1972. 

 Dina setu wengi — wengi kang paling dienteni dening bocah-bocah lan bebrayan kampung Ngawas, Bratang, Menur, Semolo, Ngagel jaya, lan Ngagel madya. 

 

Amarga apa? 

 

Amarga wengi iku yaiku wektu ndeleng TV bareng ing lapangan Koramil Bratang. 

 

 

 📺 TV Ireng Putih, Hiburan rakyat 

 

TV durung dadi barang rumah tangga. 

Mung siji rong wong sugih utawa instansi pamarentah kang nduwe. 

Nanging ing Koramil Bratang, siji  TV Ireng Putih, ukuran 21 inci didokoke ing dhuwuring meja kayu dhuwur, dikubengi bangku dawa, tikar, dan… puluhan bebrayan kang lungguh lesehan karo mripat kebak takjub. 

 

 > “TV-e Nganggo antena wesi duwur… yen udan bledhek, dibungkus karung goni.” 

 

Adicara diwiwiti jam 19.00 karo siyaran tvri pusat, isine  campuran: 

 

 Warta kenegaraan, 

 

 Tayangan pandhidhikan, 

 

Kadhang sandiwara utawa crita Nuswantoro.

 

Lan tamtu wae, “dunia jroning berita” jam 21.00. 

 

Wengi iku, udara adem. 

 wong-wong pada teka sinambi gawa kerupuk saka pak Tambir, 

 lan ubi godhog saka omah. 

 

 🗑️ Ngliwati panggonaning uwuh pinuju tontonan 

 

Nanging sadurunge teka menyang lapangan… 

 bebrayan kudu ngliwati panggonaning pembuangan uwuh gedhe, 

 kang saiki ditepang dadi Taman Flora. 

 

Papan iku peteng, ambu, lan kadhang ana asu liar. 

Nanging demi ndeleng TV, kabeh dilewati.

 

 > “Kalau liwat kono aja nengok kiwa, tembung ibu, mengko deleng penunggu…” 

 

 “Kadang ana swara ‘huhuhu’... padahal angin thok.” 

 

Nanging wengi iku kabeh raos wedi dikalahake dening raos penasaran. 

 

Amarga ana isu: TV arep menyiarkan wara-wara wigati saka pamarentah. 

 

 🏫 Wara-wara pendirian SD inpres 

 

 Pener jam 21.15, 

 tayangan donya jroning warta ngaturi: 

 

 > “Pemerintah arep mbangun sekolah dhasar anyar ing sawetara laladan, kalebu ing surabaya, liwat program SD inpres…” 

 

Bebrayan hening. 

 

Banjur siji  petugas Koramil ngomong lantang: 

 

 > “Ngawas kalebu kang arep diwangun SD Inpres. Lahannya… kang ing sawelah wetaning papan pembuangan uwuh iku.” 

 

Sontak bebrayan padha-padha pandhang. 

 

 > “Lho, iku kan lahan wingit, dhisik tembunge bekas pembuangan bayi jaman jepang…” 

 

 “Nggak wani liwat wengi-wengi ing kono…” 

 “Tapi yen gawe sekolah… ya, muga-muga bisa ngusir bab-bab mengkono.” 

 

 💡 Saka lahan wingit dadi cahya ilmu.

 

Kairing wayah, proyek bener-bener diwiwiti. 

Lahan diresiki, pager pring dipasang. 

Pira-pira bebrayan ngrewangi gotong royong. 

 

Lan pungkasane, ngadeg sekolah kang mengko arep ditepang dadi SD Inpres Menur Pumpungan V, ing Menur. 

 

Dhisik lahan iku peteng lan berbisik angin… 

Saiki saben esuk, kebak guyu lan seragam pethak abang. 

 

Bocah-bocah kang dhisik wedi liwat panggonaning uwuh, 

 saiki mlayu sinambi gawa buku lan sangu. 

 

Tembung ati prayitno ing akir : 

 

 "Wengi iku, ing ngarep TV ireng pethak, aku ora ngerti kaya kuwi gedhe pengaruhe karo uripku lan bocah-bocah kampungku. nanging saiki, aku eling: kawruh bisa ngusir raos wedi, lan cahya saka layar iku pungkasane mbangun sekolah ing lemah kang dhisik mung dipanggoni sunyi." 

 

Iki salah siji crita kang kebak biji sajarah, pandhidhikan, lan simbul transformasi kampung. saka papan buangan dadi panggonaning ilmu. saka wedi dadi pangajab. 

 

Pungkasane SD Inpres (sekolah dhasar Instruksi Presidhen) Suharto, wiwit diwangun ing surabaya lan saindenge indonesia ing taun 1973 sawise ditokake Instruksi Presidhen  No. 10  Taun 1973 ngenani pembangunan sekolah dhasar.

 

Program iki bertujuan kanggo njembarake akses pandhidhikan dhasar, utamane ing laladan padesan lan kutha karo pandhudhuk berpenghasilan endhep. 

 

Sayang banget nganti taun 2025 ing tlatah Ngagel Wasana, Ngagel Jaya lor lan kidul 

 ora tau ngadeg SD Inpres lan  negeri.

Senin, 14 Juli 2025

Oktober Kelabu ing Bumi Mbedug

 *Oktober Kelabu ing Bumi Mbedug* 

Anggitane : Prayitno  

Dusun mbedug, Oktober 1965. 

 













Angin sore menghembuskan ambu godhong jati garing lan kebul kayu obong. Swara kentongan saka kadohan krungu kaya pertandha bebaya, nanging ora ana kang wani ngartikake terang-terangan. 

Dusun kita  ndadak sunyi. Pirang-pirang wong milih ora metu omah. Bocah-bocah dilarang dolanan nganti ngarep emper. 

 

Ing tengah swasana iku, kulawarga cilik ing pojok desa lagi sibuk nyiapake adicara nikahan. 

Ing watara tenda prasaja lan sega gurih kang ditanak esuk-esuk, swasana tetep menegang. Dudu amarga manten, nanging amarga bisik-bisik kang ngiringi : Temanten lanang konon tau melu karo parte kang saiki lagi diburu—PKI.


Ora kabeh wong paham apa kang lagi kedadeyan. Nanging kabehing wong ngerti: cukup siji tuduhan, mula urip pawongan bisa dibusek saka bumi. 

 

Bapakku, Musdi, wis limang taun manggon ing Suroboyo. Piyambake nyambut gawe dadi buruh yasan lan mung mulih wektu lebaran utawa ana kabar kulawarga lara. Dino iku, Piyambake nembe wae teka saka Suroboyo, arep tilik sadulure kang omah-omah. Piyambake ora ngerti apa-apa soal politik utawa parte. Nanging jenenge katulis ing buku tamu adicara. Iku cukup kanggo nggawe “dicurigai”. 

 

Surup mudhun nalika wong loro, teko menyang omah karo rai katutup kain lungsed. Deweke kabeh nyebut araning Bapakku. 

 

 > “Sampeyan dijaluk melu kita  sedhela.” 

 

Tanpa sempet takon apa-apa, bapak lan loro kerabat seje langsung digiring metu omah. Gulu dheweke kabeh dijerat tali, tangan diikat. Gerak dheweke kabeh kaya sapi digeret menyang pasar, nanging dina iki dudu kanggo didol, ananging kanggo... embuh apa. 

 

Ing walik bilik pawon, ibuku—rumiatun—ndelok karo mripat membelalak. Raine pucet. Tanpa omong, piyambake nggayuh selendang lan mlayu metu. Bu de Mul lan bu de Sum, nyusul ing mburine. 

 

Wengi ngemuli desa, mung diterangi cahya sasi separo. Wong wadon telu iku nembus pematang. Nyusuri dalan lemah pinuju arah kali  brantas. Kabeh ora nggawa gaman. Ora nggawa layang. Mung tekad lan kemarahan. 

 

Sakwise ono ing pinggire kali, swara gemericik banyu kacampur karo swara kasar para lelanang kang jaga. Pirang-pirang wong Lanang, lungguh ing lemah, tangane diikat, mripat dheweke kabeh kebak wedi. Ugo Bapakku. 


Bu de Mul maju luwih dhisik. Pasuryane ora gentar. Piyambake nuding salah siji wong  kang nggawa gaman. 

 

 > “Kowe, Rahman ! Kowe sedulur karo aku ! Opo kowe arep mateni sedulurmu dewe ?” 

 

Lanang iku—Rahman—bergetar sadhela. nanging piyambake tetep ngadeg jejeg. 

 

 > “Iki prentah ndhuwuran. Sopo wae sing dicurigai melu PKI, kudu dieksekusi.” 

 

 

 > “Musdi ora melu opo-opo!” seru ibuku. “Deweke kerjo nang suroboyo. Uwis limang taun. Ora tahu urusan politik !” 

 

 

Rahman ngalihake pandhengan, kaya ora pengin ndeleng mripat wong wadon iku. Nanging bu de Sum nyedhak, suwarane ngancem. 

 

 > “Yen kowe tetep mateni wong-wong iki, aku arep nggoleki pak de Mantri. Kabeh kedadeyan iki arep tak laporke ! 

Lan kowe sing bakal ditaleni  koyo ngene !” 

 

Swasana mencekam. Liyane noleh siji karo liyane, padha enten-entenan. 

Detik liwat kaya jam. nganti pungkasane, Rahman menghela napas. 

 

 > “Ayo... culno. kuwi Musdi pancen ora melu opo-opo.” 

 

Tali ing gulune Bapakku diucili. 

Piyambake tiba lungguh ing lemah, awake lemes. Ibukku ndhekep kenceng, tangise tumpah. Bu de Mul lan bu de Sum nyikep bojone yaiku pak de Wachid lan pak de Jo. 

 

Wengi iku, wong wadon telu mulih kabeh, karo  wong lanang kang meh wae kelangan nyawa. Ora ana tepuk-tangan. Ora ana omongan matur nuwun. 

Nanging kabeh ngerti, dheweke kabeh wis nylametake urip. 

 

Lan ing dina-dina sabanjure, wong-wong mulai wani ngomong—kalem-kalem

Ing masa peteng, kadhang wong wadon kang nggawa Cahya. 

 

Saiki, saben ngadeg ing pinggiran kali  brantas, aku mbayangake langkah-langkah sikil wong wadon telu ing desa kang lumaku tanpa wedi. Dheweke kabeh dudu pahlawan jroning buku sajarah. 

Nanging kanggo keluargaku, Ibuku karo Bu De, kabeh dadi Penyelamat. 

 

 > "Amarga kadhang, sejarah diselamatkan dudu dening gaman, nanging dening keberanian ibu kang ora lila bojone digeret kaya Sapi."

62-75 Kisah Fiktif Mbedug

 [20/7 12.44] rudysugengp@gmail.com: Bab Mbedug Mulai 62 [20/7 12.44] rudysugengp@gmail.com: Lanjutan bab 62 Perjalanan bus ke Mbedug Kediri...