Jumat, 11 Juli 2025

Kisah Ayahku tahun 1965

 [11/7 19.12] rudysugengp@gmail.com: Kisah Ayahku saat Tahun 1965.





Waktu itu di bulan November 1965 di dusun Mbedug, Desa Mangunreja, Kecamatan Ngadiluwih, Kabupaten Kediri.


Saat itu, ada keluarga yang jadi pengantin.


Ternyata, menantunya anggota partai PKI yang saat itu baru saja memberontak.


Beberapa orang yang tidak tahu menahu di lokasi tersebut dibawa oleh beberapa orang ke Brantas untuk dieksekusi.


Termasuk, ayah Musdi.


Beberapa wanita yaitu Bu De, Ibuku Rumiatun segera melacak ke tempat tersebut.


Di antara yang membawa ayahku dan pak De sebenarnya masih saudara.


"Kowe ora ngerti, Iki ngono wong-wong sing ora melu opo-opo ?"


"Opo maneh, Musdi Kuwi wis 5 tahun manggon Suroboyo. Deweke kerjo. Ora ono urusan karo PKI."


"Ayo...culno."


Saat itu, orang laki-laki tersebut ditaleni gulunya dan digeret koyo sapi.


"Yen ora mbok Culno.

Aku arep nggoleki pak De Mantri. Supoyo .. kowe di bedhil Kabeh !"


Tindakan bu De Mul, bu De Rum, lan Ibu Rumiatun tak gentar.


Walhasil, ayah Musdi dan pak De dibebaskan dan tidak jadi dibunuh.

[11/7 19.22] rudysugengp@gmail.com: Kisah ini sangat kuat dan menyentuh—mengandung nilai keberanian, solidaritas keluarga, keteguhan perempuan, dan kegetiran sejarah. Untuk membuat kisah ini sekeren dan seinspiratif mungkin, kita bisa menyusunnya dengan pendekatan narasi sinematik, dialog emosional, dan struktur dramatis. Berikut pendekatan penceritaan yang bisa Anda gunakan dalam bentuk cerita pendek, naskah film, atau narasi buku memoar:



---


Judul: “November Hitam di Mbedug”


Tema Utama:


Keberanian perempuan melawan ketidakadilan di masa gelap sejarah Indonesia.



---


Struktur Cerita (Dramatis dan Emosional)


1. Prolog (Pembuka Emosional)


> Narator (suara dalam hati):

“November 1965. Tanah Mbedug basah oleh ketakutan. Tapi di tengah gelap itu, tiga perempuan berjalan melawan maut.”




Adegan dibuka dengan suasana desa yang mencekam: bayang-bayang orang hilang, suara jeritan di kejauhan, dan isak perempuan di dapur yang lampunya redup. Di sinilah Ibu Rumiatun, Bu De Mul, dan Bu De Rum mendengar kabar bahwa Ayah Musdi dan Pak De telah dibawa oleh orang-orang bersenjata ke arah Sungai Brantas.



---


2. Konflik Meningkat


Mereka segera meninggalkan rumah, hanya membawa keberanian dan cinta keluarga.


> Dialog dramatis saat perjalanan:


Bu De Rum (gemetar tapi tegas):

“Opo dosane Musdi? Dheweke mung kerja nang Suroboyo. Ora melu partai opo-opo.”


Ibu Rumiatun:

“Anak-anake durung mangan. Tapi bojone digeret koyo sapi. Aku ora bakal tinggal meneng.”





Mereka berjalan cepat malam-malam, melewati pematang sawah, diterangi bulan pucat.



---


3. Titik Klimaks – Hadapan dengan Eksekutor


Di tepian Brantas, tampak beberapa pria terikat. Salah satunya adalah Ayah Musdi. Tangan diikat di belakang, leher dijerat tali.


Orang-orang bersenjata berdiri dengan wajah keras, beberapa di antaranya masih saudara jauh.


> Dialog konfrontatif (dalam bahasa Jawa asli agar lebih hidup):


Ibu Rumiatun (berteriak):

“Kowe ora ngerti opo-opo! Kuwi bojoku. Wong kerja nang Suroboyo, ora duwe urusan karo PKI!”


Eksekutor:

“Perintah atasan, Bu.”


Bu De Mul (marah sambil mendekat):

“Yen kowe tetep mateni wong-wong iki, aku arep nggoleki Pak De Mantri. Kowe kabeh tak laporke! Dadi kowe seng dijupuk, digeret, dipateni!”





Ketegangan memuncak. Ada momen hening. Lalu salah satu eksekutor, yang masih saudara, mengendurkan tali.


> “Ayo...culno. Kuwi Musdi pancen ora melu opo-opo.”





---


4. Resolusi – Tangis dan Pembebasan


Tali dilepaskan. Ayah Musdi jatuh terduduk, tubuh lemas. Ibu Rumiatun memeluknya sambil menangis. Malam itu, mereka kembali ke rumah—selamat dari tragedi, tapi luka di batin tak pernah hilang.



---


5. Epilog


> Narator (suara dalam hati):

“November 1965, darah bisa saja tumpah. Tapi karena keberanian tiga perempuan, nyawa terselamatkan. Di tanah Mbedug, cinta dan keberanian perempuan menyelamatkan sejarah keluarga kami.”





---


Unsur yang Bikin Keren & Inspiratif


Pahlawan utama adalah perempuan-perempuan desa, bukan tentara atau tokoh politik.


Setting desa dan sungai Brantas menambah kesan lokal yang kuat.


Bahasa Jawa dalam dialog memperkuat suasana dan emosi.


Dramatisasi tindakan heroik yang nyata, bukan fiktif.




---


Format yang Bisa Dikembangkan


1. Cerita pendek (6–10 halaman) – Untuk dimuat dalam buku memoar atau majalah sejarah keluarga.



2. Naskah film pendek / sandiwara radio – Cocok karena adegannya padat dan emosional.



3. Komik pendek – Ilustrasi bisa memperlihatkan suasana Brantas, wajah perempuan-perempuan pemberani, dan ketegangan malam itu.



4. Puisi naratif – Jika ingin menggambarkannya secara simbolik dan menyentuh.





---


Jika Anda Mau, Saya Bisa Bantu:


Menuliskan versi cerita pendek literer penuh.


Membuat naskah sandiwara radio (pakai narator, efek suara Brantas, teriakan malam).


Mendesain komik strip atau storyboard-nya.


Membuat versi poster inspiratif dengan kutipan:

“Aku ora bakal tinggal meneng, bojoku digeret koyo sapi!”

Apakah Anda ingin saya mulai dari versi cerita pendek dulu? Atau versi naskah sandiwara radio?

[11/7 19.22] rudysugengp@gmail.com: Menuliskan versi cerita pendek penuh berpa Naratif

[11/7 19.22] rudysugengp@gmail.com: Berikut adalah versi cerita pendek naratif penuh dari kisah inspiratif Ayah Anda pada tahun 1965 di Mbedug, Kediri:

November Hitam di Mbedug


Karya: Rudy Sugeng Prayitno

Dusun Mbedug, November 1965.

Angin sore menghembuskan bau daun jati kering dan asap kayu bakar. Suara kentongan dari kejauhan terdengar seperti pertanda bahaya, tapi tidak ada yang berani mengartikannya terang-terangan. Desa kami mendadak sunyi. Beberapa orang memilih tak keluar rumah. Anak-anak dilarang bermain hingga depan teras.

Di tengah suasana itu, keluarga kecil di sudut desa sedang sibuk menyiapkan acara pernikahan. Di antara tenda sederhana dan nasi gurih yang ditanak pagi-pagi, suasana tetap menegang. Bukan karena pengantin, tapi karena bisik-bisik yang menyertai: sang mempelai pria konon pernah terlibat dengan partai yang kini sedang diburu—PKI.

Tidak semua orang paham apa yang sedang terjadi. Tapi semua orang tahu: cukup satu tuduhan, maka hidup seseorang bisa dihapus dari bumi.

Ayahku, Musdi, baru lima tahun tinggal di Surabaya. Ia bekerja sebagai buruh bangunan dan hanya pulang saat lebaran atau ada kabar keluarga sakit. Hari itu, ia baru saja tiba dari Surabaya, hendak menjenguk saudaranya yang menikah. Ia tak tahu apa-apa soal politik atau partai. Tapi namanya tertulis di buku tamu acara. Itu cukup untuk membuatnya “dicurigai”.

Senja turun ketika dua orang datang ke rumah dengan wajah tertutup kain lusuh. Mereka menyebut nama ayahku.

> “Sampeyan diminta ikut kami sebentar.”

Tanpa sempat bertanya apa-apa, Ayah dan seorang kerabat lain langsung digiring keluar rumah. Leher mereka dijerat tali, tangan diikat. Gerak mereka seperti ternak digeret ke pasar, tapi kali ini bukan untuk dijual, melainkan untuk... entah apa.

Di balik bilik dapur, ibuku—Rumiatun—melihat dengan mata membelalak. Wajahnya pucat. Tanpa bicara, ia meraih selendang dan berlari keluar. Dua kakaknya, Bu De Mul dan Bu De Rum, menyusul di belakangnya.

Malam menyelimuti desa, hanya diterangi cahaya bulan separuh. Tiga perempuan itu menembus pematang, menyusuri jalan tanah menuju arah Sungai Brantas. Mereka tidak membawa senjata. Tidak membawa surat. Hanya tekad dan kemarahan.

Setibanya di tepi sungai, suara gemericik air bercampur dengan suara kasar para lelaki yang berjaga. Beberapa pria duduk di tanah, tangannya diikat, mata mereka penuh takut. Di antaranya, ayahku.

Bu De Mul maju lebih dulu. Wajahnya tak gentar. Ia menunjuk salah satu dari mereka yang membawa senjata.

> “Kowe, Rahman! Kowe sedulur karo aku! Opo kowe arep mateni sedulurmu dewe?”

Laki-laki itu—Rahman—bergetar sejenak. Tapi ia tetap berdiri tegak.

> “Iki perintah atasan. Sopo wae sing dicurigai melu PKI, kudu dieksekusi.”

> “Musdi ora melu opo-opo!” seru ibuku. “Deweke kerjo nang Suroboyo. Uwes limang taun ora urusan politik!”

Rahman mengalihkan pandangan, seolah tak ingin menatap mata perempuan-perempuan itu. Tapi Bu De Rum mendekat, suaranya mengancam.

> “Yen kowe tetep mateni wong-wong iki, aku arep nggoleki Pak De Mantri. Kabeh kejadian iki tak laporke! Lan kowe seng bakal diikat koyo ngene!”

Suasana mencekam. Yang lain menoleh satu sama lain, saling tunggu. Detik berlalu seperti jam. Hingga akhirnya, Rahman menghela napas.

> “Ayo... culno. Kuwi Musdi pancen ora melu opo-opo.”

Tali di leher ayahku dilepas. Ia jatuh terduduk di tanah, tubuhnya lemas. Ibuku memeluknya erat, tangisnya tumpah. Bu De Mul dan Bu De Rum memeluk kerabat yang lain.

Malam itu, mereka pulang bertiga dengan dua orang lelaki yang hampir saja kehilangan nyawa. Tak ada tepuk tangan. Tak ada ucapan terima kasih. Tapi mereka tahu, mereka telah menyelamatkan hidup.

Dan di hari-hari berikutnya, orang-orang mulai berani berbicara—pelan-pelan—bahwa di masa gelap, terkadang perempuanlah yang membawa cahaya.

Epilog :

Kini, setiap kali aku berdiri di tepi Sungai Brantas, aku membayangkan langkah-langkah kaki tiga perempuan desa yang berjalan tanpa takut. Mereka bukan pahlawan dalam buku sejarah. Tapi bagi keluargaku, mereka adalah penyelamat.

> "Karena kadang, sejarah diselamatkan bukan oleh senjata, tapi oleh keberanian seorang ibu yang tak rela suaminya digeret seperti sapi."

Jika Anda berkenan, saya bisa lanjutkan membuat versi ilustrasi, versi sandiwara radio, atau bahkan diubah ke format naskah film pendek. Ingin lanjut ke versi mana?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

November Hitam di Mbedug

 [11/7 21.16] rudysugengp@gmail.com: *November Hitam di Mbedug* Karya: Rudy Sugeng Prayitno Dusun Mbedug, November 1965. Angin sore menghemb...