Sabtu, 05 Juli 2025

Kisah 9 Tugu Batu

 [6/7 01.22] rudysugengp@gmail.com: Kisah 9

[6/7 01.22] rudysugengp@gmail.com: Bagaimana kisah Tugu Batu Pembatas sungai Menur yang mistis

[6/7 01.22] rudysugengp@gmail.com: Kisah Mistis Tugu Batu Pembatas Sungai Menur Surabaya

(Legenda rakyat Surabaya - dikembangkan dari cerita rakyat urban dan tradisi lisan)





---


Judul: Tugu Batu Menur dan Penjaga Sungai yang Tak Tampak


Latar waktu: era 1970-an

Latar tempat: Tepi Sungai Menur, Surabaya – tepat di dekat pohon bambu dan jembatan bambu tua

Tokoh:


Mbah Jariyo – sesepuh kampung, penjaga kunci cerita tugu


Prayitno – anak kelas 2 SD yang penasaran


Ibu Rumiatun – ibu Prayitno


Pak Tambir – penjual krupuk dan saksi zaman


Tugu Batu – benda mati yang "hidup"




---


Ringkasan Cerita:


Tugu Batu di tepi Sungai Menur tidak dibuat sembarangan. Konon, ia adalah penanda batas kekuasaan makhluk gaib air dan daratan, didirikan oleh seorang pertapa pada malam 1 Suro ratusan tahun lalu. Tugu itu diletakkan tepat di tempat di mana seorang anak desa dulu tenggelam secara misterius saat bermain, dan mayatnya baru muncul setelah 7 hari dan 7 malam… tepat di bawah tugu itu.



---


Narasi Cerita:


Pada tahun 1972, seorang anak kecil bernama Prayitno bermain di sekitar sungai. Ia sering jongkok di dekat tugu batu sambil melihat ikan atau memetik bunga rumput. Tapi tiap kali ia jongkok, ia merasa ada yang memanggil namanya dari dasar sungai.


> “Tinooo… Tinooo…”

Suaranya pelan, seperti desir air.




Suatu hari, ia hampir tercebur karena seperti ditarik oleh bayangan tangan di air. Untung saja Pak Tambir, penjual krupuk keliling, menariknya tepat waktu.


> "Nak, jangan terlalu dekat sama tugu itu kalau belum waktunya… Itu bukan batu biasa."




Malam harinya, Ibu Rumiatun marah dan melarang Tino bermain di sungai. Tapi Tino penasaran. Ia menyelinap di malam Jumat Kliwon, diam-diam ke tepi sungai.


Saat ia sampai, air sungai mendadak tenang, tidak mengalir. Bulan memantul di permukaan seperti kaca. Tugu batu mengeluarkan cahaya biru redup, dan di belakangnya berdiri sesosok bayangan tinggi besar berbaju putih dengan mata bersinar.


Bayangan itu menunjuk ke sungai dan berkata pelan,


> “Jaga batas ini… Jangan biarkan manusia rakus menguruk dan membuang sesaji sembarangan…”




Esok paginya, Tino ditemukan tertidur di dekat tugu, kakinya basah tapi tidak ada jejak masuk air.


Sejak saat itu, Tino menjadi anak yang suka membersihkan sungai dan menjaga kebersihan. Ia tak pernah cerita pada siapa-siapa, kecuali pada Mbah Jariyo, yang hanya mengangguk pelan dan berkata:


> “Kamu sudah lihat dia, ya? Sudah waktunya tugu itu dijaga oleh generasi baru…”





---


Misteri yang Berlanjut:


Warga percaya kalau ada yang berbuat jahat atau mencemari sungai dekat tugu, mereka akan mimpi buruk selama 3 hari, melihat air berubah jadi darah.


Saat musim kemarau panjang, tugu akan berkeringat, tetesan embun di batu akan keluar seperti air mata.


Tak ada yang pernah bisa memindahkan tugu, bahkan dengan alat berat—pasti mesinnya mati mendadak.




---


Penutup:


Hingga kini, Tugu Batu Sungai Menur masih berdiri, menjadi saksi bisu antara dunia manusia dan dunia tak kasatmata. Ia tidak hanya pembatas fisik, tapi juga pembatas antara ketamakan dan keseimbangan alam.


> "Selama tugu itu berdiri, Surabaya akan tetap dijaga dari bencana air besar." – Mbah Jariyo





---


Kalau kamu ingin, cerita ini bisa dikembangkan menjadi skenario sandiwara radio, film pendek, atau naskah drama anak. Mau dilanjutkan ke bentuk tertentu?

[6/7 01.23] rudysugengp@gmail.com: Warga percaya....

[6/7 01.24] rudysugengp@gmail.com: Tentu! Ini bagian lanjutan dari segmen “Warga percaya…” untuk memperkuat aura mistis Tugu Batu Sungai Menur:



---


Warga Percaya…


1. Tugu itu “hidup”

Meski tak pernah bergerak, warga meyakini bahwa Tugu Batu bisa berubah warna jika sedang terjadi pelanggaran alam di sekitarnya. Jika air sungai dicemari—tugu menghitam. Jika warga menjaga kelestarian—tugu berkilau keemasan saat subuh.



2. Tugu sebagai “penjaga mimpi”

Siapa pun yang menyentuh tugu dengan niat tidak baik (misalnya ingin merusak atau mencoretnya), malamnya akan bermimpi tentang tenggelam dan melihat wajah-wajah leluhur yang menangis di dasar sungai. Setelah mimpi itu, orang biasanya sakit selama 3 hari dan baru sembuh jika datang minta maaf sambil membawa bunga telon.



3. Tiap malam Jumat Legi, akan terdengar suara seperti air dipukul-mukul dan suara orang tertawa dari arah sungai dekat tugu. Tapi saat dilihat, tak ada siapa pun. Dulu sempat ada anak muda yang penasaran, mencoba mengintip, dan pulang dalam keadaan bisu selama sebulan.



4. Anak-anak yang bermain dekat tugu harus sopan.

Tidak boleh berkata kasar, buang air sembarangan, atau buang sampah ke sungai. Jika melanggar, mereka akan melihat bayangan hitam memantul di air, meski tidak ada siapa pun di sekitar. Konon, itu adalah sosok “Penjaga Air” yang selalu duduk di bawah akar bambu besar.



5. Saat Bulan Suro tiba, warga sekitar akan menaruh air bunga dan ketan putih di dekat tugu. Ini bukan menyembah, tapi “ngangsu berkah” agar air sungai tetap jernih dan kampung terhindar dari banjir dan wabah.





---


Kalimat penutup yang sering diucapkan oleh warga:


> “Sing nyapo tugu, uripe ora berkah.”

(Siapa yang mengganggu tugu, hidupnya tak akan berkah.)




Kalau bagian ini mau dimasukkan ke dalam narasi, buku cerita rakyat, atau dijadikan adegan dalam drama/sandiwara, saya bisa bantu susun versinya. Mau dilanjutkan ke bentuk apa?

[6/7 01.25] rudysugengp@gmail.com: Tak ada yang bisa memindahkan tugu

[6/7 01.26] rudysugengp@gmail.com: Bagian ini bisa dikembangkan sebagai salah satu unsur mistis dan sakral dari Tugu Batu Sungai Menur. Berikut pengembangannya:



---


"Tak Ada yang Bisa Memindahkan Tugu"


Cerita ini sudah berulang kali diceritakan oleh warga tua di sepanjang aliran Sungai Menur, terutama oleh Pak Moly dan Pak Bandono, dua orang tetua yang tinggal di sekitar Ngagel Wasana sejak zaman Belanda.


> “Wes dijiwit, ditarik, didorong, digali… ora iso!”

(Sudah dijepit, ditarik, didorong, digali… tetap tak bisa!)





---


Peristiwa Pertama: Tahun 1965


Saat terjadi kekacauan nasional, ada tentara yang ingin membersihkan wilayah Sungai Menur dari "tanda-tanda" aneh, termasuk tugu batu itu. Mereka datang dengan truk derek dan alat berat.


Namun:


Begitu alat berat dinyalakan, mesinnya mati mendadak.


Operatornya tiba-tiba menangis seperti anak kecil, padahal ia lelaki kekar berumur 40-an.


Saat mereka pulang, ban truk mereka pecah satu per satu, dan seorang tentara sakit demam menggigil selama 3 hari.



Malam itu, warga mendengar suara gamelan dari arah tugu, padahal tak ada yang mainkan.



---


Peristiwa Kedua: Tahun 1984


Dinas PU mencoba memperlebar aliran sungai, dan tugu dianggap penghalang. Mereka menggali di sekitar tugu dan menyiapkan crane kecil.


Tapi...


Mata bor mereka patah saat menyentuh tanah di bawah tugu.


Tanah di sekitar tugu tiba-tiba mengeluarkan air hangat berbau bunga kenanga.


Seorang petugas sempat mengeluh dadanya sesak, dan berkata:


> "Ada yang duduk di pundakku, besar dan berat… berambut panjang."





Akhirnya, proyek itu mengelilingi tugu, membiarkannya tetap di tempatnya.



---


Keyakinan Warga:


> “Tugu itu bukan sekadar batu. Itu penancap gaib. Kalau dipindah, aliran sungai akan lepas kendali, dan kampung bisa hilang terbawa banjir besar.”




Konon, hanya orang terpilih—yang pernah didatangi dalam mimpi oleh Penjaga Sungai—yang bisa menyentuh tugu tanpa akibat. Tapi sejauh ini, tak ada yang berani coba lagi.



---


Kalau kamu ingin, cerita ini bisa dijadikan satu bab khusus dalam buku cerita rakyat berjudul "Tugu yang Tak Bisa Dipindah", lengkap dengan ilustrasi penggalian, alat berat yang mogok, dan cahaya mistis dari batu.


Perlu saya bantu bentukkan versi itu?

[6/7 01.27] rudysugengp@gmail.com: Berikut adalah versi naratif lengkap bab berjudul:



---


Bab: Tugu yang Tak Bisa Dipindah


Buku: Legenda Sungai Menur – Cerita Mistis dari Tepian Kota Surabaya

(Bab 4 dari 12)



---


Tugu Itu Berdiri Sejak Zaman Penjajahan


Tak ada yang tahu pasti siapa yang pertama kali meletakkan Tugu Batu itu di tepi Sungai Menur. Bentuknya sederhana—seperti susunan batu kali berlumut, bertingkat tiga, tinggi tak sampai satu meter. Tapi setiap warga yang melintas akan menundukkan kepala, seperti menghormati sesuatu yang lebih tua dari zaman itu sendiri.


Orang-orang tua bilang, batu itu adalah penanda perjanjian antara manusia dan makhluk penjaga air. Diletakkan pada malam 1 Suro oleh seorang pertapa yang tinggal di bukit kecil di arah utara (dulu disebut Buk Tong).


> “Selama batu ini tidak dipindah, desa akan aman dari murka air.”

(Mbah Gondo, penutur legenda pertama, tahun 1948)





---


Tahun 1965: Upaya Pertama Memindahkan Tugu


Setelah peristiwa G30S, suasana kota kacau. Pasukan datang ke kampung membawa perintah “membersihkan titik-titik berkumpul orang”, termasuk sekitar sungai.


Seorang tentara berkata sinis:


> “Ini cuma batu kotor, nanti kami bersihkan.”




Mereka datangkan alat berat dari markas, dan mulai menggali sekeliling tugu. Tapi:


Begitu mata alat menyentuh tanah sekitar tugu, muncul suara “krkkkk!” seperti tulang patah.


Operatornya menjerit keras. Ia melihat bayangan hitam berdiri di dalam kabin alat beratnya.


Mesin tiba-tiba mati, dan tiga ban truk meletus satu per satu tanpa sebab.



Warga tak berani mendekat. Seorang ibu melihat anaknya kesurupan, matanya terbalik putih dan mulutnya berteriak:


> “Jangan sentuh batu penjaga! Jangan usik penjaga kami!”




Tentara akhirnya pergi. Malam itu, kampung sunyi. Tapi dari arah tugu terdengar suara gamelan dan perempuan menangis.



---


Tahun 1984: Upaya Kedua oleh Dinas PU


Pemerintah kota ingin memperlebar Sungai Menur. Petugas PU mengatakan tugu itu akan dipindahkan secara ilmiah.


Mereka datangkan crane, tukang bor, dan tim teknis.


Namun:


Bor patah di dalam tanah.


Air keluar dari dasar tugu—hangat, berbau bunga kenanga.


Salah satu petugas pingsan sambil menggumam, “Ada perempuan rambut panjang duduk di atas pundakku…”



Seorang mandor akhirnya menyerah. Ia berkata kepada warga:


> “Kami tidak bisa ganggu tempat ini. Ini… bukan urusan manusia saja.”




Proyek dialihkan. Tugu tetap dibiarkan berdiri, dikelilingi dengan pagar bambu tipis. Warga menyebutnya: “Tugu Pancer”, atau titik pusat penjaga air.



---


Keyakinan Warga


Hingga kini, warga percaya:


Siapa pun yang coba memindahkan tugu itu, hidupnya akan celaka.


Tugu hanya bisa disentuh oleh orang yang pernah mimpi didatangi Penjaga Sungai.


Batu itu bukan benda mati, tapi simpul gaib yang mengikat aliran air dan roh penjaga.



Setiap malam Jumat Kliwon, ada beberapa orang diam-diam datang membawa kembang telon, kemenyan, dan air bunga. Bukan menyembah batu, tapi sebagai bentuk hormat pada perjanjian lama yang tak pernah dilanggar.



---


Penutup Bab:


> “Tugu ini tak besar, tapi ia menahan murka air. Bukan kekuatan manusia yang menjaganya, tapi kekuatan janji antara dunia terlihat dan tak terlihat.”

(Catatan tangan Mbah Jariyo, 1979)





---


Jika berkenan, saya bisa bantu buatkan ilustrasi untuk bab ini — termasuk gambar:


Tentara dan alat berat rusak di tahun 1965


Cahaya dari dalam tugu saat malam Suro


Tukang PU pingsan saat menggali


Warga berziarah diam-diam dengan kembang telon



Ingin saya bantu buatkan juga?

[6/7 01.28] rudysugengp@gmail.com: Tentara dan alat berat rusak

[6/7 01.36] rudysugengp@gmail.com: Mengapa alat berat pencabut Tugu Rusak, ada misteri apa

[6/7 01.37] rudysugengp@gmail.com: Kerusakan alat berat saat mencoba mencabut Tugu Batu di tepi Sungai Menur bukan sekadar kegagalan teknis. Bagi warga setempat, itu adalah tanda penolakan dari alam gaib. Di balik kejadian itu, beredar berbagai versi misteri yang menguatkan keyakinan bahwa tugu tersebut tidak boleh diganggu.


Berikut adalah tiga misteri utama yang diyakini menyebabkan alat berat itu rusak secara tak wajar:



---


1. Tugu Batu Bukan Ditancapkan Manusia


Warga tua percaya, Tugu Batu itu ditanam oleh seorang pertapa sakti pada masa kuno. Tapi bukan ditanam ke tanah biasa—melainkan ke "pusat urat air gaib", tempat di mana aliran sungai dunia nyata bersentuhan dengan sungai halus milik makhluk tak kasatmata.


> “Yang nyabut tugu, sama saja dengan nyabut simpul antara dunia,” kata Mbah Jariyo.




Saat alat berat menyentuh tanahnya, bukan cuma tanah yang terguncang—alam seberang pun terganggu. Itulah sebabnya, mesinnya mati, ban pecah, dan operator terganggu jiwanya.



---


2. Dijaga oleh Sosok Gaib


Konon, Penjaga Tugu adalah makhluk perempuan berbaju putih panjang, bermata hitam, yang duduk di atas tugu pada malam-malam sepi. Ia disebut "Mbok Menur", sosok halus yang setia menjaga aliran sungai dari kerusakan dan keserakahan manusia.


Saat alat berat mencoba mengangkat tugu:


Operator melihat sosok wanita berdiri di kabin


Seorang tentara merasa pundaknya berat, dan punggungnya luka seperti dicakar


Mesin mendadak panas dan terbakar bagian dalamnya, meskipun baru servis



Warga berkata:


> “Sing nyentuh tugu tanpa ijin, disentuh balik karo sing jaga.”

(Yang menyentuh tugu tanpa izin, akan disentuh balik oleh penjaganya)





---


3. Tugu Menyimpan Janji Leluhur


Ada kepercayaan bahwa leluhur kampung Menur dahulu pernah mengikat janji dengan alam, bahwa sungai ini tak boleh dialihkan, dikotori, atau diuruk. Sebagai gantinya, kampung akan dijaga dari banjir besar, wabah, dan gagal panen.


Tugu menjadi simbol janji itu.


Maka ketika tentara atau dinas ingin mencabutnya, bukan cuma benda yang diganggu—tapi juga perjanjian suci antara manusia dan alam.


Dikatakan oleh warga tua:


> “Kalau tugu itu lepas, bukan cuma kampung ini yang kebanjiran—tapi roh-roh yang diam di air bisa bebas berkeliaran.”

(Pak Tambir, 1980)





---


Kesimpulan Mistis


Kerusakan alat berat bukan karena faktor teknis. Itu adalah reaksi spiritual dari alam yang tidak ingin dirusak.


Tugu itu tetap berdiri hingga kini bukan karena kokoh, tapi karena ia ditopang oleh kekuatan yang tak bisa dilihat.



---


Kalau ingin saya kembangkan jadi satu bab khusus atau cerita sandiwara radio dengan narator tua yang menceritakan ini di malam Jumat Legi, saya bisa bantu. Mau dibuatkan versinya?

[6/7 01.42] rudysugengp@gmail.com: Baik! Berikut ini versi sandiwara radio dari cerita "Mengapa Alat Berat Pencabut Tugu Rusak", dalam format naratif dengan dialog, latar suara, dan efek audio. Cocok untuk durasi 7–10 menit siaran malam Jumat Legi.



---


๐ŸŽ™️ Sandiwara Radio: “Tugu yang Tak Bisa Dicabut”


(Episode khusus “Cerita Gaib dari Sungai Menur”)


Penutur: Mbah Jariyo (suara tua, berat, dalam)

Tokoh lain:


Operator Alat Berat


Komandan Tentara


Pak Tambir (warga)


Efek suara: malam, air sungai, gamelan samar, mesin berat mogok, suara wanita gaib




---


๐ŸŽง PROLOG


๐ŸŽต [Suara gamelan lembut - kendang dan siter]

๐ŸŒŠ [Latar: aliran sungai mengalir pelan]


MBAH JARIYO (narator)

(pelan, dalam)

Dulur-dulur, malam Jumat Legi iki... tak critakakรฉ lelakon lawas. Tahun sangang atus seket lima, nang pinggiran kali Menur, Surabaya, ono tugu batu cilik...

Tapi sopo sing nyoba ngangkat, ora bakal iso. Mesin mati, wong loro-loro... nganti saiki tugune isih tegak.



---


๐ŸŽง ADEGAN 1 – TUGU DAN ALAT BERAT


๐ŸŽต [Suara burung malam, angin menyapu bambu]

๐Ÿ”Š [Mesin alat berat menyala: “BRRRMMMMM...!”]


KOMANDAN (tegas):

Cepat! Cabut batu itu! Bikin jembatan dan jalur air baru. Ini perintah negara!


OPERATOR (ragu):

Izin, Pak... alat ini baru diservis... tapi begitu deket batu itu, mesinnya kaya ngedrop...

*(te

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Herdi Pulang Sendiri

*"Herdi Pulang Sendiri”* Reuni, Hilang, Doa, dan Orang-Orang Baik di Sepanjang Jalan Pulang Bab 1: Pertemuan Tiga Serangkai Pukul 15.29...