[3/7 19.17] rudysugengp@gmail.com: Kisah 6 Baru
[3/7 19.17] rudysugengp@gmail.com: Burung Hantu datang ke rumah Kalidami malam Jumat Pahing.
Bagaimana ceritanya
[3/7 19.18] rudysugengp@gmail.com: Cerita Burung Hantu Datang ke Rumah Kalidami Malam Jumat Pahing
---
Judul: Tamu Malam Jumat Pahing
Tempat: Rumah tua di Kalidami, Surabaya
Waktu: Malam Jumat Pahing, bulan Suro
---
Malam itu udara di Kalidami terasa berat. Angin bertiup lembut, tapi membawa aroma tanah basah dan bunga kenanga. Di dalam rumah bercat hijau terang itu, keluarga tengah berkumpul di ruang tengah. Lampu redup menyala, dan hanya suara televisi pelan yang menemani.
Tiba-tiba...
"Tok... tok... tok..."
Suara lembut dari arah jendela kayu yang tertutup sebagian.
"Apa itu?" tanya Ibu setengah berbisik.
Ayah berdiri pelan, melirik ke arah jendela tengah. Dan di sanalah dia—seekor burung hantu coklat besar, bertengger di sisi luar jendela, menatap ke dalam rumah dengan mata bulat bening yang memantulkan cahaya. Diam, tidak bergerak, seperti menanti sesuatu.
Anak-anak yang tadinya ribut langsung terdiam.
"Burung hantu..." bisik si sulung, Dimas.
"Datang malam Jumat Pahing lagi..." timpal Ayah lirih.
---
Kisah Lama Terulang
Menurut cerita kakek, burung hantu pernah datang ke rumah itu 30 tahun lalu, juga pada malam Jumat Pahing di bulan Suro. Waktu itu, burung itu hanya muncul bila ada sesuatu yang 'akan terjadi'—entah kabar jauh, entah peringatan dari alam.
"Kalau dia datang diam-diam dan tidak bersuara," kata Kakek dulu, "berarti dia bukan sekadar burung."
Burung hantu itu tidak pergi malam itu. Ia bertahan hingga lewat tengah malam, matanya sesekali berkedip, kepalanya bergerak mengikuti bayangan di dalam rumah.
Ibu mengambil segelas air putih, membacakan doa pelan-pelan, dan menyiramkannya pelan ke depan pintu. Tidak ada angin berhembus, tapi dedaunan di halaman seperti bergerak sendiri.
---
Menjelang Subuh
Tepat pukul 03:00 dini hari, burung hantu itu mengepakkan sayapnya perlahan dan terbang ke arah pohon mangga tua di halaman. Di bawah pohon itu, konon dulu pernah dikubur kendi berisi sesuatu oleh pemilik rumah pertama.
Keesokan harinya, Ayah menerima kabar: Pak Naryo, tetangga lama yang sudah lama pindah ke Banyuwangi, meninggal dunia tengah malam tadi—waktu yang sama ketika burung itu terbang menjauh.
---
Penutup
Sejak malam itu, keluarga selalu menaruh sejumput bunga melati dan air putih di dekat jendela setiap malam Jumat Pahing. Bukan karena takut, tapi sebagai tanda hormat. Sebab mereka tahu, kadang alam mengirim pesan lewat cara yang tak bisa dijelaskan.
Dan siapa tahu...
Malam Jumat Pahing berikutnya, tamu itu akan datang lagi.
Diam. Mengawasi. Memberi tanda.
---
Jika Anda ingin saya lanjutkan ceritanya ke format skenario atau sandiwara radio, silakan beri tahu ya.
[3/7 19.21] rudysugengp@gmail.com: Baik! Berikut ini versi sandiwara radio dari cerita Burung Hantu Datang ke Rumah Kalidami Malam Jumat Pahing, lengkap dengan efek suara, narasi, dan dialog:
---
🎙️ SANDIWARA RADIO
Judul: Burung Hantu Malam Jumat Pahing
Durasi: ±10 menit
Genre: Misteri keluarga – Tradisi Jawa
Setting: Rumah di Kalidami, malam hari
---
🔊 EFEK SUARA PEMBUKA
(SFX: Musik gamelan lirih, angin malam berdesir, suara kodok dan jangkrik)
🎙️ NARATOR (suara berat, tenang)
Malam Jumat Pahing, bulan Suro.
Di sebuah rumah tua di Kalidami, Surabaya…
Angin berhembus pelan, dan suasana terasa tak biasa.
Seseorang… datang.
Bukan manusia, tapi pembawa pertanda...
---
🎙️ ADEGAN 1 – RUANG TAMU KELUARGA
(SFX: Suara TV kecil, gelas diletakkan di meja, jam berdetak pelan)
👨👩👧👦
Ibu: "Mas, anginnya nggak enak ya malam ini…"
Ayah: "Iya, terasa berat. Kayak waktu itu…"
Dimas (anak): "Kenapa lampu jadi kedip-kedip, Yah?"
Ibu: "Sudah, Dimas duduk sini. Baca shalawat, ya nak."
(SFX: Suara TOK-TOK-TOK di kaca jendela. Sunyi. Lalu TOK lagi)
Ayah: "Itu… suara dari jendela?"
(SFX: Jendela dibuka perlahan. Suara CREEK. Tiba-tiba: HUUUUUUKKKKKK! suara burung hantu)
🎙️ NARATOR
Seekor burung hantu besar, coklat tua, bertengger di jendela.
Matanya bulat terang, menatap ke dalam ruang tamu…
Seolah mencari seseorang.
---
🎙️ ADEGAN 2 – KISAH MASA LALU
(SFX: Gamelan samar. Suara latar berubah jadi seperti mimpi)
🎙️ NARATOR
Tiga puluh tahun lalu, di malam yang sama...
Burung ini juga datang.
👴 Kakek (suara tua):
"Burung hantu itu… bukan sembarangan. Kalau datang di Jumat Pahing, jangan diusir… Dia pembawa kabar..."
👨👩👧👦 (kembali ke masa kini)
Ibu: "Mas, kau masih ingat cerita Bapak dulu?"
Ayah: "Ingat betul. Waktu itu, datangnya juga diam.
Besok paginya, kita dapat kabar Pak Lurah meninggal."
---
🎙️ ADEGAN 3 – TANDA & KABAR
(SFX: Ayat Al-Qur’an mengalun lembut dari radio)
Ibu: "Aku siapkan air putih dan melati, Mas."
Ayah: "Biar aku buka pintu depan pelan-pelan…"
(SFX: Suara langkah kaki, pintu kayu dibuka, angin malam masuk)
🎙️ NARATOR
Jam menunjukkan pukul tiga dini hari.
Burung itu mengepakkan sayap dan terbang…
Tepat ke atas pohon mangga tua di halaman.
(SFX: Suara burung hantu terbang, sayap mengepak pelan)
---
🎙️ ADEGAN 4 – KABAR PAGI
(SFX: Suara ayam berkokok, radio pagi menyala)
📞 (telepon berdering)
Ayah: "Halo?"
📢 Suara di telepon: "Mas... Maaf kabari pagi-pagi… Pak Naryo... wafat tadi malam, jam tiga lewat dikit."
(SFX: Hening sejenak)
🎙️ NARATOR
Dan semua jadi jelas.
Burung itu bukan sekadar hewan malam.
Tapi tamu...
Yang datang memberi tanda.
---
🎙️ PENUTUP
(SFX: Gamelan lirih, suara burung hantu samar menjauh)
🎙️ NARATOR
Kini, tiap malam Jumat Pahing...
Ibu selalu meletakkan segelas air putih dan bunga melati di jendela.
Untuk siapa pun… yang mungkin datang.
Diam.
Membawa pesan dari alam.
---
🔊 MUSIK PENUTUP
(Gending Jawa pelan, fade out)
---
Jika Anda ingin saya buatkan versi skenario panggung, tinggal beri tahu. Saya bisa bantu dengan petunjuk lighting, blocking, dan tata panggung juga.
[3/7 19.22] rudysugengp@gmail.com: Baik! Berikut adalah versi skenario panggung dari cerita Burung Hantu Datang ke Rumah Kalidami Malam Jumat Pahing. Format ini bisa digunakan untuk pertunjukan teater keluarga, pentas sekolah, atau drama komunitas.
---
🎭 SKENARIO PANGGUNG
Judul: Tamu Malam Jumat Pahing
Durasi: ±15 menit
Pemain:
Ayah
Ibu
Dimas (anak lelaki, usia 10-12 tahun)
Narator
Burung Hantu (bisa dimainkan aktor dengan kostum/boneka, atau simbolik lewat proyeksi bayangan)
Lokasi: Ruang tengah rumah tua di Kalidami (dinding hijau terang, jendela kayu, lampu redup, kursi, rak gantungan, dan sangkar burung)
---
SCENE 1 – Malam Tak Biasa
PANGGUNG GELAP.
Cahaya perlahan menyala. Musik latar: angin malam dan suara jangkrik.
(Narator masuk dari samping panggung, berdiri di pojok dengan spotlight kecil)
🗣️ NARATOR
(tenang, mistis)
Di Kalidami, Surabaya…
Ada satu rumah tua yang menyimpan cerita.
Bukan tentang hantu, tapi tentang pertanda…
Dari seekor burung malam.
Yang datang… hanya pada malam Jumat Pahing.
(Lampu terang perlahan. Keluarga duduk di ruang tengah. Dimas membaca buku. Ibu menyiapkan minuman. TV menyala kecil.)
🧓 IBU
(sambil duduk)
Mas... kamu rasa nggak? Malam ini kok hawa-nya aneh ya?
👨 AYAH
(berdiri pelan, melirik jendela)
Iya… kayak berat. Kayak malam itu, puluhan tahun lalu.
👦 DIMAS
(penasaran)
Malam apa, Yah?
(Tiba-tiba terdengar suara "TOK-TOK-TOK" dari arah jendela)
🧓 IBU
(mengecilkan suara)
Apa itu? Suara dari luar?
(Ayah berjalan ke jendela, perlahan membuka. Lampu sorot menyorot ke luar jendela: tampak siluet burung hantu besar bertengger di kayu)
🎵 SFX BURUNG HANTU: "Huuukkk… Huuuukkkk…"
(Musik mistis pelan)
👨 AYAH
(dengan nada terkejut)
Burung hantu…
Jumat Pahing… seperti dulu...
---
SCENE 2 – Kisah yang Pernah Terjadi
(Cahaya redup. Lampu sorot menyinari NARATOR.)
🗣️ NARATOR
Tiga puluh tahun lalu…
Di malam yang sama, burung itu datang.
Diam, namun penuh pesan.
Keesokan harinya, pemilik rumah lama ini…
Mendapat kabar duka.
(Lampu kembali ke dalam rumah. Ibu memegang segelas air dan bunga melati.)
🧓 IBU
Aku siapkan air dan melati, seperti kata almarhum Bapakmu.
👨 AYAH
(geming, memandangi burung di jendela)
Jangan usir dia. Dia datang bukan untuk mengganggu…
---
SCENE 3 – Pertanda dan Kabar
(Jam dinding berdentang pelan: jam 3 pagi)
(Burung hantu mengepakkan sayap. Efek suara sayap dan cahaya digerakkan ke arah pohon mangga di sisi panggung.)
🎵 SFX: Sayap mengepak, suara mistis
🗣️ NARATOR
Tepat pukul tiga dini hari…
Ia pergi… ke pohon mangga tua.
Di sanalah... katanya... dahulu dikubur kendi.
(Pagi hari. Lampu terang. Suara ayam berkokok.)
📞 SFX TELEPON BERDERING
(Ayah mengangkat telepon)
👨 AYAH
"Halo?"
(hening sejenak, lalu suaranya berat)
"Pak Naryo… wafat... Jam tiga lewat sepuluh."
(Semua diam. Dimas menatap jendela dengan takjub.)
👦 DIMAS
Yah… burung itu... tahu duluan?
---
SCENE PENUTUP
🗣️ NARATOR
Sejak malam itu…
Di jendela rumah Kalidami, selalu ada segelas air dan melati setiap Jumat Pahing.
Bukan untuk siapa-siapa…
Tapi… siapa tahu, tamu itu akan datang lagi.
Bukan sebagai ancaman. Tapi sebagai peringatan…
Bahwa semesta… selalu berbicara.
🎵 MUSIK PENUTUP: Gending lirih + suara burung hantu menjauh
(Cahaya redup perlahan. Tirai ditutup.)
---
Jika Anda ingin versi PDF atau ingin disesuaikan dengan jumlah pemain lain (misalnya ada tokoh kakek, tetangga, atau tambahan anak), saya siap bantu!
[3/7 19.35] rudysugengp@gmail.com: Menunggu Burung Hantu
Pemain lain :
Kakek : Yitno
Nenek : Uti
Ibu : Ibun
Ayah : Tony
Anak 1 : Nadhira
Anak 2 : Nayla
Anak 3 : Naseefa
Paman : Erlangga
Tante : Oktavia
Pak RT : pak Joni
Pak RW : pak Teguh
Tetangga depan : pak Risky
Malam ini, Suro hari ke-8.
Ibun, Tony, Uti, Yitno, Nadhira, Nayla, Naseefa, Erlangga, dan Oktavia menunggu kembalinya burung Hantu
Siang hari : pak Joni, pak Teguh, dan pak Risky di hari Kamis membicarakan tentang hilangnya Burung Hantu yang sudah 4 hari.
Malam ini hingga Subuh, was-was menunggu kepulangan Burung Hantu Coklat
[3/7 19.36] rudysugengp@gmail.com: Berikut adalah skenario drama panggung berjudul Menunggu Burung Hantu, yang mengangkat suasana mistis malam ke-8 bulan Suro dengan tokoh-tokoh keluarga dan tetangga yang diliputi tanda tanya dan ketegangan:
---
🎭 SKENARIO DRAMA PANGGUNG
Judul: Menunggu Burung Hantu
Durasi: ±20 menit
Genre: Misteri keluarga – Budaya Jawa
Setting: Rumah di Kalidami + halaman + jalan kampung
---
🎬 DAFTAR TOKOH
Kakek: Yitno
Nenek: Uti
Ibu: Ibun
Ayah: Tony
Anak-anak: Nadhira, Nayla, Naseefa
Paman: Erlangga
Tante: Oktavia
Pak RT: Pak Joni
Pak RW: Pak Teguh
Tetangga depan: Pak Risky
---
BAGIAN I – SIANG HARI, HARI KAMIS
Setting: Pos ronda depan rumah. Kursi kayu, termos, rokok ketengan.
🗣️ Pak Risky
(sambil menyesap kopi)
Sudah empat hari, lho… burung hantu itu nggak balik-balik.
🗣️ Pak Joni (RT)
Biasanya tiap malam Jumat Pahing dia muncul. Tapi ini sudah hari Kamis…
🗣️ Pak Teguh (RW)
Waktu dulu burung itu hilang juga… sore-sore ada bau menyan nggak jelas dari arah pohon asem di ujung jalan.
(SFX: suara angin, lonceng angin berdenting)
🗣️ Pak Joni
Katanya, kalau burung itu nggak balik malam ini… akan ada yang "ikut tertinggal".
🗣️ Pak Risky
(nada pelan)
Jangan bercanda, Pak RT...
(Lampu padam perlahan – transisi malam)
---
BAGIAN II – MALAM HARI, RUMAH KELUARGA YITNO
Setting: Ruang tamu sederhana. Ada kursi bambu, lampu minyak. Di sudut, sangkar kosong tergantung.
🎵 SFX: Suara jangkrik dan angin berhembus.
🗣️ Ibun
(berjalan ke dekat sangkar kosong)
Empat malam sudah kosong… biasanya dia nyanyi kalau malam Suro.
🗣️ Uti
(mengambil tasbih)
Burung itu bukan sembarang burung, Nak. Bapakmu dulu bilang… dia penjaga malam Suro.
🗣️ Tony
(melirik jam)
Jam sembilan malam. Kita tunggu saja. Jangan panik, anak-anak.
🗣️ Nadhira
(melihat keluar jendela)
Tadi aku mimpi burung itu terbang dan menatapku...
🗣️ Nayla
Aku juga mimpi! Tapi dia… matanya merah, kayak marah.
🗣️ Naseefa
(bersembunyi di belakang Ibun)
Aku takut...
🗣️ Erlangga
(berdiri, menatap halaman)
Kalau belum kembali sampai subuh, mungkin benar kata tetua... ada yang harus ditebus.
🗣️ Oktavia
(sambil merapikan bunga melati di nampan)
Aku siapkan bunga dan air putih… seperti yang Kakek ajarkan.
🗣️ Kakek Yitno
(duduk di kursi malas, suaranya berat)
Jangan bicara terlalu banyak... Malam ini bukan malam biasa.
Ini malam delapan Suro. Malam penentu.
---
BAGIAN III – TENGAH MALAM
🎵 SFX: Angin keras, suara genteng bergetar
(Semua diam. Lampu meredup. Anak-anak ketakutan. Sangkar tiba-tiba berayun pelan.)
🗣️ Tony
(suara gemetar)
Lihat… sangkar itu… bergerak sendiri.
🎵 SFX: Huuuuukkkk… Huuuukkkk… suara burung hantu dari kejauhan
🗣️ Uti
(berdiri cepat)
Dia datang…
🗣️ Kakek Yitno
(berdiri, dengan sorot lampu menyorot wajahnya)
Cepat buka pintu. Biarkan dia masuk. Jangan ditatap matanya.
(Tony membuka pintu. Cahaya sorot diiringi kabut buatan/efek asap ringan. Siluet burung hantu besar terlihat di pohon mangga.)
🗣️ Ibun
(bersujud pelan)
Alhamdulillah… dia kembali.
🗣️ Nadhira
(nada kagum)
Dia... dia bawa sesuatu?
🗣️ Erlangga
(nada lirih)
Lihat... ada daun sirih di paruhnya...
🗣️ Kakek Yitno
(berbisik)
Itu… pertanda selamat. Bukan kematian.
🎵 SFX: Burung hantu bersuara lembut, lalu terbang menjauh. Ayam berkokok – tanda waktu mendekati subuh.
---
BAGIAN PENUTUP
🗣️ NARATOR (voice-over)
Malam ke-8 bulan Suro, burung hantu itu pulang membawa pesan:
Bahwa yang ditunggu... tidak selalu datang sebagai malapetaka.
Kadang, ia datang… hanya untuk memastikan…
Bahwa manusia masih tahu cara menunggu, bersabar, dan percaya.
🎵 MUSIK PENUTUP: Gending lirih dan suara burung hantu menjauh
(Tirai turun perlahan)
---
Jika Anda ingin dibuatkan versi PDF naskah lengkap atau teks narator direkam jadi audio, saya bisa bantu. Mau dilanjut ke versi sandiwara radio untuk audio saja juga bisa.
[3/7 19.37] rudysugengp@gmail.com: Dapatkan diubah menjadi drama berdialog
[3/7 19.40] rudysugengp@gmail.com: Berikut ini versi drama berdialog ringan dan hangat dari kisah rumah Pak Yitno yang sedang bahagia menunggu Burung Hantu. Drama ini tetap membawa nuansa mistis malam Suro, tapi penuh keakraban dan cinta keluarga.
---
🎭 DRAMA BERDIALOG
Judul: Bahagia Menunggu Burung Hantu
Durasi: ±10–12 menit
Latar: Malam ke-8 bulan Suro
Tempat: Rumah Pak Yitno di Kalidami
---
🎬 DAFTAR TOKOH
Pak Yitno (Kakek)
Bu Uti (Nenek)
Ibun (Ibu)
Tony (Ayah)
Nadhira, Nayla, Naseefa (Anak-anak)
Erlangga (Paman)
Oktavia (Tante)
---
🌙 SCENE – RUANG TAMU RUMAH YITNO, MALAM SURO KE-8
Setting:
Ruang tamu sederhana tapi hangat. Ada tikar, lampu redup, termos teh hangat, sangkar burung tergantung kosong.
🎵 SFX: suara jangkrik, sesekali angin
---
Ibun (tersenyum sambil menghidangkan teh):
Nah... malam ini kita ngumpul semua. Kayak waktu Lebaran.
Tony (menyender ke dinding):
Bedanya, malam ini yang kita tunggu bukan tamu manusia, tapi... si penjaga malam.
Nadhira (penasaran):
Burung hantu itu siapa sih sebenarnya, Kek?
Kakek Yitno (duduk di kursi rotan, bijak):
Dia bukan siapa-siapa… tapi bukan juga hanya hewan.
Kalau kalian sayang rumah ini… ya, sayang juga padanya.
Nayla (duduk bersila):
Dulu katanya dia dateng sendiri ke halaman ya, Kek?
Bu Uti (tertawa kecil):
Iya, Nak. Malam-malam pas Bapakmu kecil, tiba-tiba dia bertengger di jendela. Sejak itu, tiap Suro dia pulang sendiri.
Naseefa (ceria):
Jadi kayak... tamu tahunan?
Erlangga (mengunyah pisang goreng):
Tamu VIP! Tapi yang nggak pernah minta dijamu. Cuma ditungguin aja.
Oktavia (merapikan bunga melati di mangkuk kecil):
Makanya kita siapkan juga bunga dan air putih. Biar dia tahu… kita ingat.
Tony (melirik sangkar kosong):
Sangkar itu sengaja dikosongin ya, Kek?
Kakek Yitno (senyum kecil):
Iya. Dia tidak dikurung. Kita cuma menyiapkan tempat pulang.
---
🌃 SCENE – MENJELANG TENGAH MALAM
(Anak-anak sudah mulai mengantuk, bersandar ke Ibun)
Nadhira (mengusap mata):
Bu, kalau dia nggak datang malam ini, besok gimana?
Ibun (lembut):
Nggak apa-apa, Sayang. Yang penting kita nunggu dengan bahagia.
Bu Uti (menyodorkan selimut kecil ke Naseefa):
Namanya yang ditunggu, nggak selalu harus datang. Tapi yang nunggu... tetap punya harapan.
🎵 SFX: suara huuuukkk… huuukkkk… dari kejauhan
Tony (berdiri, pelan):
Shhh... dengar itu?
Oktavia (berbisik):
Suara dia?
Erlangga (mengintip dari jendela):
Dia datang... di atas pohon mangga!
Naseefa (senang):
Dia pulang!
---
💫 PENUTUP
Kakek Yitno (menghela napas pelan):
Lihat... kita semua tersenyum. Bukan karena burungnya datang.
Tapi karena kita menunggu bersama.
Dan itu... sudah cukup membuat rumah ini hangat.
🎵 SFX: suara burung hantu pelan, angin lembut, suara detik jam
---
🎙️ NARATOR (opsional dibacakan di akhir):
> Di rumah tua Kalidami, malam Suro bukan malam ketakutan. Tapi malam kebersamaan.
Burung hantu datang… atau tidak… bukan masalah.
Karena yang paling indah, adalah saat menunggu… dengan orang-orang yang kita cinta.
(Lampu perlahan padam. Tirai turun. Musik gamelan lembut mengiringi.)
---
Jika Anda ingin versi ini disusun menjadi naskah pentas resmi (lengkap blocking, properti, dan durasi adegan), atau versi sandiwara radio, saya siap bantu selanjutnya. Mau dilanjut ke audio atau ilustrasi visual?
[3/7 19.43] rudysugengp@gmail.com: *Judul: Bahagia Menunggu Burung Hantu*
Durasi: ±10–12 menit
Latar: Malam ke-8 bulan Suro
Tempat: Rumah Pak Yitno di Kalidami
---
🎬 DAFTAR TOKOH
Pak Yitno (Kakek)
Eyang Uti (Nenek)
Ibun (Ibu)
Tony (Ayah)
Nadhira, Nayla, Naseefa (Anak-anak)
Erlangga (Paman)
Oktavia (Tante)
---
🌙 SCENE – RUANG TAMU RUMAH YITNO, MALAM SURO KE-8
Setting:
Ruang tamu sederhana tapi hangat. Ada tikar, lampu redup, termos teh hangat, sangkar burung tergantung kosong.
🎵 SFX: suara jangkrik, sesekali angin
---
Ibun (tersenyum sambil menghidangkan teh):
Nah... malam ini kita ngumpul semua. Kayak waktu Lebaran.
Tony (menyender ke dinding):
Bedanya, malam ini yang kita tunggu bukan tamu manusia, tapi... si penjaga malam.
Nadhira (penasaran):
Burung hantu itu siapa sih sebenarnya, Kek?
Kakek Yitno (duduk di kursi rotan, bijak):
Dia bukan siapa-siapa… tapi bukan juga hanya hewan.
Kalau kalian sayang rumah ini… ya, sayang juga padanya.
Nayla (duduk bersila):
Dulu katanya dia dateng sendiri ke halaman ya, Kek?
Eyang Uti (tertawa kecil):
Iya, Nak. Malam-malam pas Bapakmu kecil, tiba-tiba dia bertengger di jendela. Sejak itu, tiap Suro dia pulang sendiri.
Naseefa (ceria):
Jadi kayak... tamu tahunan?
Erlangga (mengunyah pisang goreng):
Tamu VIP! Tapi yang nggak pernah minta dijamu. Cuma ditungguin aja.
Oktavia (merapikan bunga melati di mangkuk kecil):
Makanya kita siapkan juga bunga dan air putih. Biar dia tahu… kita ingat.
Tony (melirik sangkar kosong):
Sangkar itu sengaja dikosongin ya, Kek?
Kakek Yitno (senyum kecil):
Iya. Dia tidak dikurung. Kita cuma menyiapkan tempat pulang.
---
🌃 SCENE – MENJELANG TENGAH MALAM
(Anak-anak sudah mulai mengantuk, bersandar ke Ibun)
Nadhira (mengusap mata):
Bun, kalau dia nggak datang malam ini, besok gimana?
Ibun (lembut):
Nggak apa-apa, Sayang. Yang penting kita nunggu dengan bahagia.
Eyang Uti (menyodorkan selimut kecil ke Naseefa):
Namanya yang ditunggu, nggak selalu harus datang. Tapi yang nunggu... tetap punya harapan.
🎵 SFX: suara huuuukkk… huuukkkk… dari kejauhan
Tony (berdiri, pelan):
Shhh... dengar itu?
Oktavia (berbisik):
Suara dia?
Erlangga (mengintip dari jendela):
Dia datang... di atas pohon mangga!
Naseefa (senang):
Dia pulang!
---
💫 PENUTUP
Kakek Yitno (menghela napas pelan):
Lihat... kita semua tersenyum. Bukan karena burungnya datang.
Tapi karena kita menunggu bersama.
Dan itu... sudah cukup membuat rumah ini hangat.
🎵 SFX: suara burung hantu pelan, angin lembut, suara detik jam
---
🎙️ NARATOR (opsional dibacakan di akhir):
> Di rumah tua Kalidami, malam Suro bukan malam ketakutan. Tapi malam kebersamaan.
Burung hantu datang… atau tidak… bukan masalah.
Karena yang paling indah, adalah saat menunggu… dengan orang-orang yang kita cinta.
(Lampu perlahan padam. Tirai turun. Musik gamelan lembut mengiringi.)
[3/7 19.43] rudysugengp@gmail.com: Tentu, berikut ini versi cerita naratif biasa dari drama "Bahagia Menunggu Burung Hantu", ditulis seperti sebuah kisah pendek:
---
Bahagia Menunggu Burung Hantu
Malam itu, rumah Pak Yitno di Kalidami terasa lebih hangat dari biasanya. Malam ke-8 bulan Suro, ketika angin bertiup pelan dan langit menggantung tanpa bintang. Di ruang tamu yang sederhana, keluarga besar Pak Yitno berkumpul, menanti sesuatu yang tidak biasa—seekor burung hantu coklat yang sudah menjadi bagian dari keluarga sejak puluhan tahun lalu.
Burung itu bukan piaraan biasa. Ia datang sendiri, dulu, bertengger di jendela rumah pada malam Jumat Pahing, tanpa suara. Sejak saat itu, tiap bulan Suro, terutama di minggu pertama, burung itu akan datang dan tinggal beberapa malam. Kadang di pohon mangga tua, kadang duduk diam di kandang kayu yang sengaja digantung di sudut rumah.
Malam itu mereka semua berkumpul. Kakek Yitno duduk di kursi rotan, memandangi sangkar kosong yang bergoyang perlahan. Di sebelahnya, Nenek Uti merapikan selendang sambil memutar-mutar tasbih. Ibun, sang ibu, sibuk menyiapkan teh hangat dan pisang goreng. Tony, suaminya, duduk menyender ke dinding sambil memandangi anak-anak mereka yang mulai mengantuk: Nadhira, Nayla, dan Naseefa.
Tak ketinggalan, Paman Erlangga dan Tante Oktavia yang baru datang dari Sidoarjo ikut duduk bersama. Di tengah karpet, mereka tertawa pelan, saling bertukar cerita, dan sesekali melirik ke luar jendela.
“Bu, burung hantunya bakal datang malam ini?” tanya Nadhira sambil bersandar di pangkuan Ibun.
“Kalau dia datang, itu rezeki,” jawab Ibun lembut. “Kalau tidak pun, kita tetap bersyukur. Yang penting... kita nunggu bareng-bareng.”
Mereka tidak sedang menanti kejutan atau hadiah. Yang mereka tunggu hanyalah kehadiran makhluk malam yang sudah seperti tanda—tanda bahwa segalanya baik-baik saja, bahwa rumah masih dijaga oleh kekuatan yang tak terlihat, dan bahwa mereka masih bersatu.
Menjelang tengah malam, suara angin berubah. Genteng terdengar berderak pelan, dan jendela bergetar. Semua hening. Tiba-tiba, terdengar suara serak namun khas dari kejauhan:
"Huuuuukkk… huuukkk…"
Mata Tony membulat. Ia berdiri, membuka jendela pelan-pelan. “Di atas pohon mangga,” bisiknya. “Dia datang.”
Anak-anak yang semula mengantuk langsung duduk tegak. Oktavia menatap ke luar, mulutnya separuh terbuka. Erlangga menyipitkan mata, memastikan.
Di atas pohon, bayangan coklat bertengger tenang. Di paruhnya, tampak sehelai daun sirih.
Kakek Yitno mengangguk pelan. “Daun sirih itu... tanda selamat.”
Nafas semua orang seperti menjadi lebih panjang. Burung itu tidak masuk rumah, tidak bersuara lagi. Tapi kehadirannya cukup. Ia hanya datang sebentar, lalu terbang ke atap, menghilang dalam gelap malam.
Setelah itu, rumah Pak Yitno kembali sunyi. Tapi sunyi yang berbeda—bukan karena sepi, tapi karena damai.
Malam itu, mereka tidak hanya menunggu burung hantu. Mereka menunggu kebersamaan. Dan dalam penantian itulah mereka menemukan bahagia yang sebenarnya.
---
Jika Anda ingin saya lanjutkan dengan ilustrasi atau membuat versi cetaknya dalam format cerita anak atau cerita keluarga, saya siap bantu.
[3/7 20.02] rudysugengp@gmail.com: *Bahagia Menunggu Burung Hantu*
Malam itu, rumah Pak Yitno di Kalidami terasa lebih hangat dari biasanya. Malam ke-8 bulan Suro, ketika angin bertiup pelan dan langit menggantung tanpa bintang. Di ruang tamu yang sederhana, keluarga besar Pak Yitno berkumpul, menanti sesuatu yang tidak biasa—seekor burung hantu coklat yang sudah menjadi bagian dari keluarga sejak semalam dan dibeli dari Pasar Splendid (Malang), pada hari Minggu.
Burung itu bukan piaraan biasa. Ia dibeli dari tempat jauh.
Malam itu mereka semua berkumpul. Kakek Yitno duduk di kursi panjang memandangi sangkar kosong yang bergoyang vperlahan. Di sebelahnya, Nenek Uti menegang HP untuk membuang gambar dan tulisan yang tidak diperlukan dari WA.
Ibun, sang ibu, sibuk menyiapkan susu botol untuk ketiga anaknya.
Sebelumnya Nadhira makan kebab, Nayla menguyah Bakpao, dan Naseefa makan roti Regal.
Tony, suaminya, duduk menyender ke dinding sambil memandangi anak-anak mereka yang mulai mengantuk: Nadhira, Nayla, dan Naseefa.
Tak ketinggalan, Paman Erlangga dan Tante Oktavia yang baru datang dari antar jemput makanan untuk kostumer, ikut duduk bersama.
Di tengah karpet, mereka tertawa pelan, saling bertukar cerita, dan sesekali melirik ke luar jendela.
“Bu, burung hantunya bakal datang malam ini ?” tanya Nadhira sambil bersandar di pangkuan Ibun.
“Kalau dia datang, itu rezeki,” jawab Ibun lembut. “Kalau tidak pun, kita tetap bersyukur. Yang penting... kita nunggu bareng-bareng.”
Mereka tidak sedang menanti kejutan atau hadiah. Yang mereka tunggu hanyalah kehadiran makhluk malam yang sudah seperti tanda—tanda bahwa segalanya baik-baik saja, bahwa rumah masih dijaga oleh kekuatan yang tak terlihat, dan bahwa mereka masih bersatu.
Menjelang tengah malam, suara angin berubah. Genteng terdengar berderak pelan, dan jendela bergetar. Semua hening. Tiba-tiba, terdengar suara serak namun khas dari kejauhan:
"Huuuuukkk… huuukkk…"
Mata Tony membulat. Ia berdiri, membuka jendela pelan-pelan. “Di atas pohon mangga,” bisiknya. “Dia datang.”
Anak-anak yang semula mengantuk langsung duduk tegak. Oktavia menatap ke luar, mulutnya separuh terbuka. Erlangga menyipitkan mata, memastikan.
Di atas pohon, bayangan coklat bertengger tenang. Di paruhnya, tampak sehelai daun sirih.
Kakek Yitno mengangguk pelan. “Daun sirih itu... tanda selamat.”
Nafas semua orang seperti menjadi lebih panjang. Burung itu tidak masuk rumah, tidak bersuara lagi. Tapi kehadirannya cukup. Ia hanya datang sebentar, lalu terbang ke atap, menghilang dalam gelap malam.
Setelah itu, rumah Pak Yitno kembali sunyi. Tapi sunyi yang berbeda—bukan karena sepi, tapi karena damai.
Malam itu, mereka tidak hanya menunggu burung hantu.
Mereka menunggu kebersamaan.
Dalam penantian itulah mereka menemukan bahagia yang sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar