MATERI DISKUSI PUBLIK DRAF PENULISAN BUKU
SEJARAH INDONESIA 2025
JILID 4
INTERAKSI AWAL DENGAN BARAT:
KOMPETISI DAN ALIANSI
PENULIS:
Dr. Phil. Zacky Khairul Umam
Prof. Dr. Oman Fathurahman, M.Hum.
Prof. Dr. Jajat Burhanuddin, M.A.
Prof. Dr. Susanto Zuhdi, M.Hum.
Dr. Bondan Kanumoyoso, M.Hum.
Dr. Daya Negri Wijaya, M.A.
Dr. Achmad Sunjayadi, M.Hum.
Dr. Ester Yambeyapdi, M.Hum.
Dr. Devi Riskianingrum
Dr. Nur Aida Kubangun, M.Pd.
Dr. Umi Barjiah, M.A.
Frial Ramadhan Supratman, M.A., M.Sos.
Jajang Nurjaman, S.Hum., M.A.
Muhammad Buana, LL.M.
PENDAHULUAN
Jilid empat buku Sejarah Nasional Indonesia membahas interaksi antara Nusantara dengan bangsa-bangsa Barat. Abad 16 dibuka dengan kehadiran bangsa Eropa yang diwakili oleh Portugis untuk pertama kalinya di Kepulauan Nusantara. Di abad sebelumnya ekspedisi Laksamana Cheng Ho yang merupakan utusan dari Kekaisaran Cina dibawah Dinasti Ming telah mendatangi berbagai kota pelabuhan Nusantara antara tahun 1405-1433. Ekspedisi Cheng Ho menjadi awal dari era perdagangan yang tidak terputus yang membentang sejak abad 15 hingga ke abad 18. Kedatangan ekspedisi Cheng Ho telah memicu kegiatan perdagangan jarak jauh sehingga hubungan antara satu kota pelabuhan dengan kota pelabuhan lainnya menjadi semakin intensif.
Kedatangan Portugis segera disusul oleh kedatangan bangsa Eropa lainnya. Mereka berlomba-lomba untuk menemukan jalan tersingkat menuju kepulauan Maluku yang merupakan penghasil rempah-rempah yang terletak di Indonesia Timur. Jika Portugis datang ke Nusantara dari arah barat melalui Samudera Hindia dan kemudian sampai ke kota emporium Malaka, maka Spanyol yang datang kemudian justru datang dari arah timur melalui Samudera Pasifik dan tiba di
Kepulauan Filipina sebelum akhirnya sampai di Maluku Utara. Kedatangan Spanyol dan Portugis segera disusul oleh bangsa Eropa lainnya seperti Inggris, Denmark, dan Belanda.
Berbeda dengan kekuatan Eropa lainnya yang datang sebagai kekuatan maritim yang mewakili Kerajaan di Eropa, para pelaut Belanda datang mewakili Kongsi-kongsi dagang yang berbasis di kota-kota pelabuhan di negeri itu. Pada tahun 1602 berbagai kongsi dagang itu menyatukan diri dalam sebuah maskapai dagang yang diberi nama VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie / Maskapai Dagang Hindia Timur). VOC memiliki keistimewaan sebagai Perusahaan karena maskapai dagang ini oleh negeri Belanda diberi hak oktroi. Melalui hak ini VOC dapat melakukan perjanjian dengan negara lain, merekrut tentara, mencetak uang, membangun benteng, dan bahkan menyatakan perang dengan kerajaan atau negara di Asia. Keberadaan VOC dengan hak oktroi menyebabkannya memiliki kekuatan bagaikan negara. Posisi sebagai maskapai dagang sekaligus perusahaan raksasa semakin menguat ketika pada tahun 1619 VOC merebut kota Jayakarta dan di atas reruntuhan kota ini membangun kota baru yang diberi nama Batavia.
Buku jilid 4 ini menguraikan interaksi yang dinamis antara bangsa-bangsa barat dengan berbagai kerajaan, masyarakat, dan kekuatan lokal di Nusantara. Kehadiran Bangsa Barat bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan perkembangan antara Nusantara abad 16-18.
Dalam periode ini pengaruh Islam juga semakin menguat melalui jaringan perdagangan dan transmisi berbagai pengetahuan serta aktivitas sosial budaya. Aspek lain yang menjadi penanda penting perkembangan periode ini adalah munculnya berbagai pemukiman yang dihuni oleh masyarakat kosmopolitan di berbagai kota-kota pelabuhan yang terletak di jalur-jalur perdagangan yang utama.
Upaya VOC untuk menegakkan hegemoni untuk melancarkan kepentingan dagang mereka mendapat berbagai tentangan dari kekuatan-kekuatan lokal. Pada periode ini konflik terbuka menjadi penanda penting bahwa upaya monopoli dagang VOC tidak diterima begitu saja karena mendapat perlawanan dalam bentuk konflik dagang, pembatalan perjanjian, dan bahkan peperangan. Interaksi yang dinamis tidak selalu berujung pada konflik, tetapi kadangkala juga menghasilkan aliansi. Berbagai aliansi antara kekuatan-kekuatan Barat dan lokal menjadi ciri dari periode yang dibahas dalam buku ini. Aliansi tidak hanya terjadi antara kekuatan lokal dalam rangka kepentingan politik dan ekonomi, tetapi juga antara kekuatan Barat dan kekuatan Nusantara.
Periode awal interaksi Nusantara dengan Barat tidak hanya berujung kepada konflik dan aliansi, tetapi juga membentuk komunitas dan Masyarakat baru yang bercirikan karakter hybrid.
Ciri ini dapat dilihat dalam masyarakat-masyarakat yang hidup di bawah kolonisasi VOC dimana budaya Barat dan lokal saling bertemu dan menghasilkan budaya baru yang disebut dengan budaya Indisch. Pada periode ini pengaruh agama Kristen yang dibawa oleh Bangsa Barat juga mulai menyebar di antara masyarakat-masyarakat lokal di Nusantara. Agama Katolik menyebar melalui interaksi dengan bangsa Portugis dan Spanyol, sementara agama Kristen Protestan mulai dikenal melalui interaksi dengan bangsa Belanda.
Kosmopolitanisme menjadi ciri utama dari periode yang dibahas dalam buku jilid 4.
Meskipun pengaruh global semakin deras masuk ke berbagai sendi kehidupan masyarakat, tetapi proses pembentukan karakter ke-Indonesiaan juga terus berjalan. Proses penyatuan berbagai masyarakat yang sangat beragam secara etnisitas, bahasa, agama, dan budaya, dapat terlihat jelas dalam penggunaan bahasa lingua franca yang digunakan untuk berkomunikasi antara berbagai kelompok masyarakat. Bahasa lingua franca yang digunakan adalah bahasa Melayu dan hal ini yang menjelaskan mengapa bahasa ini kemudian dipilih untuk menjadi bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia.
SISTEMATIKA PENULISAN
BAB 1 NUSANTARA DALAM JARINGAN PERDAGANGAN GLOBAL
1. Nusantara dan Ekonomi Politik Global abad ke-15
2. Teknologi Pelayaran Portugis
3. Estado da India: Jaringan Perdagangan Luso-Asia
4. Penaklukan Portugis di Malaka 1511
5. Jaringan Perdagangan Portugis-Malaka
6. Pertikaian Portugis-Johor
7. Sengketa Portugis Aceh
8. Aliansi Sunda-Portugis dan Perdagangan Lada
9. Eksklusivisme Portugis dan Visi Kesejahteraan Bersama Ratu Kalinyamat
10. Bangsa Iberia dan Perdagangan di Maluku Abad ke-16
BAB 2 HEGEMONI DAN DIPLOMASI
1. Tiga Kerajaan Besar: Aceh, Mataram dan Gowa-Tallo
2. Kekuatan Militer dan Angkatan Perang
3. Kekuatan Militer dan Maritim
4. Sistem Persenjataan
5. Hewan sebagai Pendukung Angkatan Perang
6. Kontribusi Wilayah Taklukan dan Tentara Asing
7. Ekspansi dan Unifikasi Teritorial
8. Khusus Kasus Aceh: Hubungan Diplomasi dengan Usmani
BAB 3 DINAMIKA KEAGAMAAN BARU: AKTIVISME DAN INTELEKTUALISME ISLAM
1. Islamisasi Tahap Lanjut
2. Nusantara Dalam Nomenklatur Arab
3. Perluasan Jaringan Intelektual Islam
4. Intelektual Birokrat di Kesultanan
5. Transmisi Ilmu Pengetahuan Islam
6. Kreativitas dan Produksi Pengetahuan
7. Eropa dan Aktivisme Islam
BAB 4 MONOPOLI VOC DAN PEMBENTUKAN KOLONI
1. Konteks Kelahiran dan Ambisi Global
a. Merger Perusahaan Belanda menjadi VOC pada 1602
b. Kekuatan maritim Belanda dan kompetisi dengan kekuatan Eropa lain
2. Memasuki Kepulauan Indonesia: Perjumpaan Awal
a. Perjalanan awal ke Kepulauan Indonesia
b. Interaksi dengan Kota-Bandar penting seperti Banten dan Melaka
c. Batavia: Pembentukan dan Perkembangan Pusat Perdagangan
d. Konflik VOC Dengan Pangeran Jayakarta dan Inggris
e. Perkembangan Awal Kota Batavia
f. Simpul Perdagangan Asia
g. Pertahanan Kota
h. Pembentukan Masyarakat Koloni
i. Kehidupan Penduduk di Sekitar Batavia
BAB 5 DINAMIKA PERDAGANGAN DAN EKSPLOITASI DI INDONESIA TIMUR
1. Papua Dalam Jaringan Maritim Nusantara
a. Konfigurasi Pantai, Jalur Pelayaran Kawasan Timur Nusantara
b. Konektivitas Maritim Pesisir Barat Papua dengan Nusantara
c. Pelayaran Hongi: Koneksi Sorong – Raja Ampat dengan Kepulauan Maluku
d. Konektivitas Semenanjung Onin dengan Kesultanan Tidore Hingga Awal Abad XIX
e. Komoditi Pedalaman dan Pesisir: Budak, Burung Cendrawasih dan Kain Timor (Timur)
f. Biakkers: Konektivitas antar Pulau dan Pedalaman Hingga Akhir Abad XIX
g. Zona Perdagangan Seram – Gorom di Pesisir Barat Papua dan Lingkup Pengaruhnya
h. Sosolot Semenanjung Onin, Jaringan Perdagangan dan Pengaruhnya
i. Fakfak, Pusat Jaringan Perdagangan Pesisir dan Pedalaman
2. Budak Perken di Kepulauan Banda
a. Budak, Perkenier, dan Kebijakan VOC di Banda
b. Kehidupan Budak di Perken: Pembentukan Masyarakat Perkebunan
c. Perdagangan Budak
BAB 6 RIVALITAS DAN RESISTENSI MASYARAKAT TERHADAP HEGEMONI
1. Perlawanan Kerajaan Aceh dan Johor
2. Perlawanan Rakyat Kepulauan Ambon, Maluku, dan Papua
3. Mataram Memilih Melawan: Jejak Resistensi Sultan Agung (1627-1629)
4. Perlawanan Banten terhadap Belanda: Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683) dan Syech Yusuf Al-Makassari (1626-1699)
5. Rivalitas Kesultanan Gowa-Tallo dengan VOC
6. Rivalitas dan Resistensi Sultan Haji Fisabililihah dan Sultan Mahmud Riayat Syah kepada VOC
7. Perang VOC melawan Penguasa Banjarmasin
8. Peristiwa Geger Pecinan 1740
9. Perlawanan Rakyat Pasca Geger Pecinan di Pesisir Pantai Utara Jawa
BAB 7 PEMBENTUKAN DIASPORA NUSANTARA
1. Mobilitas Laut dan Pelabuhan Dagang sebagai Jalur Pembentukan Diaspora Nusantara
2. Orang Banda, Bugis, dan Buton sebagai Aktor Kunci dalam Jaringan Diaspora Maritim
3. Hibriditas Budaya sebagai Hasil Interaksi dan Perpindahan Komunitas Diaspora
BAB 8 ERA KEMUNDURAN MASKAPAI DAGANG BELANDA
1. Akhir Keberadaan VOC: Korupsi Internal
2. Tekanan Eksternal dan Kompetisi Global
a. Peran Perang Eropa: Perang Anglo Saxon
b. Munculnya Perusahaan Dagang Tandingan (Perusahaan Inggris, Spanyol, Portugal, Denmark)
3. Pembubaran VOC
4. Warisan Budaya dan Politik VOC
a. Pengenalan sistem hukum dan administrasi Eropa
b. Munculnya Bahasa Melayu sebagai Lingua Franca
c. Dampak sosial-ekonomi jangka panjang di kepulauan Indonesia
d. Budaya Korupsi
e. Pengaruh VOC pada kebijakan kolonial belanda periode berikutnya
BAB 9 PERKEMBANGAN KATOLIK DAN PROTESTAN DI ERA PERDAGANGAN GLOBAL
1. Misi Katolik dan Penerimaan Masyarakat
a. Penyebaran agama dan interaksi budaya
b. Persaingan kekuasaan dan Pengaruh Antara Portugis, Belanda, dan Gereja
c. Pembentukan Komunitas Kristen Lokal di Tengah Interaksi Budaya
2. Kristen Protestan Dalam Dinamika Masyarakat Nusantara
a. Awal Kristenisasi di Berbagai Koloni VOC
b. Pendidikan dan Bahasa Sebagai Wahana Misi
c. Konversi dan Pembentukan komunitas
PENUTUP
Dimensi waktu dalam jilid ini mencakup rentang antara tahun 1500 hingga 1800, suatu periode yang dalam historiografi Eropa sering disebut sebagai era modern awal (early modern period). Ini adalah masa yang dipandang sebagai latar belakang penting dari lahirnya Zaman
Pencerahan (Enlightenment) dan terbentuknya gagasan modernitas di Barat. Namun, penting untuk dipahami bahwa konstruksi historiografis seperti ini kerap dilandasi oleh narasi kemajuan peradaban Eropa yang dikembangkan pada abad ke-19, sebagai bagian dari pembenaran ideologis atas hegemoni kolonial mereka. Dalam konteks Nusantara, penggunaan istilah “modern awal” ini bersifat teknis dan harus dipahami secara nisbi. Ia bukanlah satu-satunya kerangka pemahaman, melainkan pelengkap dalam membaca dinamika yang sangat kompleks dan tidak seragam.
Dalam perkembangan mutakhir ilmu sejarah, pendekatan yang dikenal sebagai multiple modernities, seperti yang dikemukakan oleh S. N. Eisenstadt, memberi ruang bagi pembacaan yang lebih inklusif terhadap pengalaman non-Barat, termasuk di Nusantara. Perspektif ini mengakui bahwa modernitas tidak muncul sebagai satu bentuk tunggal yang berakar dari Eropa, melainkan lahir dalam keragaman sejarah dan kebudayaan lokal. Oleh karena itu, interaksi awal antara dunia Barat dan Nusantara—yang menjadi inti bahasan dalam jilid ini—perlu dilihat melalui lensa tersebut, agar tidak terjebak pada narasi dominan Eropa semata.
Perjumpaan awal masyarakat Nusantara dengan kekuatan-kekuatan Barat seperti Portugis, Spanyol, Belanda (VOC), dan Inggris, berlangsung dalam konteks dunia yang tengah mengalami transformasi global. Namun interaksi ini tidaklah bersifat satu arah. Masyarakat lokal memiliki dinamika internal yang kuat. Kesultanan-kesultanan di seluruh kepulauan—seperti Aceh, Demak, Banten, Makassar, Ternate, dan Tidore—memiliki struktur politik, budaya, dan jaringan ekonomi yang beragam. Mereka bukanlah entitas pasif, melainkan aktor penting dalam membentuk arah dan corak interaksi dengan pihak asing.
Pada masa itu, wilayah yang kelak menjadi Indonesia merupakan sebuah kawasan bahari yang sangat terbuka. Tidak ada satu otoritas tunggal yang mengatur seluruh kepulauan, tetapi terdapat jaringan budaya dan perdagangan yang saling terhubung. Bahasa Melayu sebagai lingua franca menjadi pengikat utama. Bahasa ini dipergunakan secara luas oleh para pedagang, pemuka agama, dan rakyat biasa. Ia menjadi cikal bakal Bahasa Indonesia modern, yang pada masa itu sudah ditulis menggunakan aksara Jawi (modifikasi Arab-Persia) dan digunakan oleh berbagai komunitas, termasuk Muslim di Asia Tenggara serta kelompok-kelompok multietnik lainnya yang bermukim di pusat-pusat kolonial seperti Batavia, Ambon, dan Banda.
Aspek kebaharian ini pula yang menjadi fondasi pembentukan simpul-simpul kebudayaan Nusantara. Interaksi melalui laut, lebih daripada daratan, menjadi medium utama penyebaran budaya, agama, dan pengetahuan. Dalam konteks ini, para pedagang Muslim memiliki peran besar dalam membentuk jaringan transregional yang menghubungkan pelabuhan-pelabuhan Nusantara dengan dunia Islam di India, Timur Tengah, dan Afrika Timur. Konteks kosmopolitan ini memungkinkan adanya pertukaran budaya yang intens dan melahirkan masyarakat hibrid yang terbuka terhadap unsur asing, termasuk dari Barat.
Namun, perlu dicatat bahwa kesultanan-kesultanan di Nusantara tidak merupakan satu kesatuan politik yang saling terkoordinasi. Mereka memiliki akar genealogis dan ideologi kedaulatan yang berbeda, meski banyak yang menjadikan Islam sebagai dasar legitimasi kekuasaan. Beberapa kesultanan terinspirasi oleh model politik dari kekhalifahan Islam,
Kesultanan Mughal, atau Persia, dan tidak sedikit pula yang mengklaim garis keturunan simbolik dari Iskandar Zulkarnain (Alexander Agung). Ketika perwakilan bangsa Eropa mulai berdatangan sejak abad ke-16, para penguasa lokal ini dipandang sebagai entitas politik yang sah dan setara.
Hubungan antara mereka tidak serta merta bersifat konfrontatif. Bahkan, dalam banyak kasus, aliansi strategis dibentuk atas dasar kepentingan bersama.
Meski demikian, sejak paruh kedua abad ke-17, strategi politik adu domba atau divide et impera mulai diterapkan oleh VOC dengan intensitas yang meningkat. Hal ini berdampak besar terhadap stabilitas internal kesultanan, seperti terlihat dalam konflik internal di Banten, perpecahan di Kesultanan Gowa-Tallo, serta keterlibatan VOC dalam urusan internal Kesultanan Mataram.
Perpecahan elite lokal dan ketergantungan pada kekuatan militer VOC menjadikan beberapa kesultanan kehilangan otonomi dan akhirnya tunduk pada pengaruh kolonial.
Namun tidak semua wilayah mengalami hal serupa. Kesultanan Aceh, misalnya, menunjukkan daya tahan yang luar biasa dalam mempertahankan kemerdekaannya. Bahasa solidaritas keislaman dan semangat jihad yang kemudian dikenal dalam Prang Sabi di abad ke-19 sudah memiliki akar dalam interaksi Aceh dengan kekuatan Barat sejak abad ke-17 dan ke-18. Hal ini memperlihatkan bahwa interaksi tersebut tidak hanya membentuk dominasi, tetapi juga perlawanan yang berakar pada keyakinan religius dan identitas politik lokal.
Hibriditas budaya yang terbentuk selama periode ini melahirkan warisan sosial yang kompleks. Dalam bidang hukum, budaya, dan agama, pengaruh Barat menyatu dengan tradisi lokal. Islam, Protestanisme, dan Katolik berkembang dalam interaksi yang dinamis. Meski kolonialisme meninggalkan luka historis, ia juga menjadi medan pertemuan budaya yang menghasilkan masyarakat yang kosmopolitan. Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan bangsa menggambarkan kenyataan ini: bahwa dalam keberagaman budaya dan politik, tetap ada ikatan yang menghubungkan masyarakat Nusantara, bahkan jauh sebelum kemerdekaan 1945.
Dengan demikian, periode 1500–1800 merupakan masa krusial yang membentuk fondasi sejarah Indonesia modern. Interaksi awal dengan Barat bukan hanya tentang penjajahan, tetapi juga tentang negosiasi, resistensi, dan pertukaran atau perjumpaan budaya. Ia adalah cerminan dari sejarah global yang dihidupi dalam konteks lokal. Dalam dunia yang saling terhubung, sejarah
Nusantara menampilkan watak adaptif, kritis, dan plural. Pemahaman ini menjadi penting untuk membaca sejarah kita secara lebih adil, kontekstual, dan tidak semata-mata dari sudut pandang Barat


Tidak ada komentar:
Posting Komentar