Kamis, 15 Agustus 2024

Siliwangi, Kalijaga, Nyi Ageng Serang

 [15/8 03.42] rudysugengp@gmail.com: PRABU SILIWANGI 


Kelahiran: 1401, Kawali

Meninggal: 31 Desember 1521, Pakwan Pajajaran

Anak: Prabu Kian Santang, Nyimas Rara Santang. Pangeran Walangsungsang.

Cucu: Pangeran Cerbon, Nyai Pakungwati, Nyai Rasamalasih, Nyai Lara Sajati, Nyai Laraskonda, lainnya

Kakek-Nenek: Niskala Wastu Kancana

Kakek Buyut: Linggabuana

Orang tua: Dewa Niskala, Umadewi.


 Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi III (bahasa Sunda: ᮞᮢᮤᮘᮓᮥᮌᮙᮠᮛᮏ, translit. Sri Baduga Maharaja atau (bahasa Sunda: ᮕᮨᮻᮘᮥᮞᮤᮜᮤᮝᮍᮤ, translit. Perebu Siliwangi) juga dikenal sebagai Ratu Jayadewata (1401–1521) putra Prabu Dewa Niskala putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana lahir 1401 M di Kawali Ciamis, mengawali pemerintahan zaman Pakuan Pajajaran yang memerintah Kerajaan Sunda Galuh selama 39 tahun (1482–1521). Pada masa inilah Pakuan Pajajaran yang sekarang terletak di Kota Bogor mencapai puncak perkembangannya.


Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima tahta Kerajaan Galuh di Kawali Ciamis dari ayahnya Prabu Dewa Niskala putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana dari Permaisuri Mayangsari putri Prabu Bunisora, yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewataprana. Yang kedua ketika ia menerima tahta Kerajaan Sunda di Pakuan Bogor dari mertua dan uwanya, Prabu Susuktunggal putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana dari Permaisuri Ratna Sarkati putri Resi Susuk Lampung. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Kerajaan Sunda - Kerajaan Galuh dan dinobatkan dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.


Di Tatar Pasundan, Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam Sanghyang Siksa Kandang Karesian sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Niskala Wastu Kancana (kakeknya). Menurut tradisi lama, orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun memopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda.


Nama Siliwangi adalah berasal dari kata "Silih" dan "Wawangi", artinya sebagai pengganti Prabu Wangi. Tentang hal itu, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai silih yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya saja):


Waktu mudanya Sri Baduga atau Prabu Jayadewata terkenal sebagai pengembara ksatria pemberani dan tangkas. Istri pertamanya, Nyai Ambetkasih putri pamannya, Ki Gedeng Sindangkasih putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana dari Kerajaan Surantaka ibu kotanya Desa Kedaton sekarang di Kecamatan Kapetakan Cirebon, penguasa di Pelabuhan Muarajati Cirebon berbatasan langsung dengan Kerajaan Sing Apura. Saat Wafat digantikan menantunya, Prabu Jayadewata. Dalam berbagai hal, orang sezamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi.


Bahkan satu-satunya saat menyamar dengan nama Keukeumbingan Rajasunu yang pernah mengalahkan Ratu Kerajaan Japura Prabu Amuk Murugul putra Prabu Susuktunggal putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana waktu bersaing memperebutkan Subang Larang putri Ki Gedeng Tapa/ Giridewata atau Ki Gedeng Jumajan Jati, penguasa Kerajaan Sing Apura putra Ki Gedeng Kasmaya, Penguasa Cirebon Girang putra Prabu Bunisora (Adik Mahaprabu Niskala Wastu Kancana), (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam) dari Kerajaan Sing Apura berbatasan dengan Kerajaan Surantaka. Dari pernikahannya dengan Permaisuri Subanglarang, prabu Siliwangi diangkat oleh kigedeng tapa jadi Raden pamanah rasa. Dan saat menjadi pasutri lahir lah anak pangeran walangsungsang, nyimas Rara Santang dan prabu kian Santang(Raden kian santang)


Setelah terbuka jati diri Sang Prabu pamanah rasa masih kerabat, lalu diantarkannya menemui ayah Prabu Amuk Murugul, yaitu Prabu Susuktunggal kakak lain Ibu Prabu Dewa Niskala ayahnya Prabu pamanah rasa, di Kerajaan Sunda Bogor sekarang dan dijodohkan dengan Nyai Kentring Manik Mayang Sunda putri Prabu Susuktunggal, yang nanti melahirkan Prabu Sanghyang Surawisesa kelak jadi pengganti Sri Baduga Maharaja di Pakuan Pajajaran dan Sang Surasowan jadi Adipati di Pesisir Banten atau Banten Girang. Sang Surasowan berputra Adipati Arya Surajaya dan putri Nyai Kawung Anten. Nyi Kawung Anten kelak menikah dengan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati dan melahirkan Pangeran Sabakingkin alias Maulana Hasanuddin, pendiri Kesultanan Banten tahun 1552 M.


Prabu pamanah rasa juga menikahi Ratu Istri Rajamantri putri Prabu Gajah Agung putra Prabu Tajimalela atau Prabu Agung Resi Cakrabuana putra Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata putra untuk mendirikan Kerajaan Sumedang larang tahun 900 M. Nama kerajaannya berubah-ubah, Kerajaan Tembong Agung saat Prabu Aji Putih, zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata Insun medal Insun madangan. Artinya Aku dilahirkan, Aku menerangi. Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.[1]


Ratu Pucuk Umun Sumedang keturunan Prabu Gajah Agung menikah dengan Pangeran Pangeran Kusumahdinata atau Pangeran Santri putra Pangeran Pamelekaran atau Pangeran Muhammad, sahabat Sunan Gunung Jati. Ibu Pangeran Santri Ratu Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Dari pernikahan itu lahir Prabu Geusan Ulun yang memerintah Sumedang Larang (1578-1610) M bersamaan dengan berakhirnya Pakuan Pajajaran tahun 1579 M, menerima mahkota emas,namun itu ditolak oleh prabu Siliwangi, tetapi kerajaan Sumedang larang masih boleh menjadi penerus kerajaan Pajajaran.


Kebijakan dalam kehidupan sosial

Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja):


Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibu kota di Jayagiri dan ibu kota di Sunda Sembawa.

Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan "dasa", "calagra", "kapas timbang", dan "pare dongdang".

Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa.


Dengan tegas di sini disebut "dayeuhan" (ibu kota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu "dasa" (pajak tenaga perorangan), "calagra" (pajak tenaga kolektif), "kapas timbang" (kapas 10 pikul) dan "pare dondang" (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, "upeti", "panggeureus reuma".


Dalam koropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa "kapas sapuluh carangka" (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat.


"Pare dondang" disebut "panggeres reuma". Panggeres adalah hasil lebih atau hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan kemudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti "tempat tidur" persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan. Dondang harus selalu digotong. Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut "dondang" (berayun). Dondang pun khusus dipakai untuk membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, "pare dongdang" atau "penggeres reuma" ini lebih bersifat barang antaran.


Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk "dasa" dan "calagra" (Di Majapahit disebut "walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya: menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di "serang ageung" (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi).


Dalam kropak 630 disebutkan "wwang tani bakti di wado" (petani tunduk kepada wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagara. Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut setelah zaman kerajaan. Belanda yang di negaranya tidak mengenal sistem semacam ini memanfaatkanna untuk "rodi". Bentuk dasa diubah menjadi "Heerendiensten" (bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar). Calagara diubah menjadi "Algemeenediensten" (dinas umum) atau "Campongdiesnten" (dinas Kampung) yang menyangkut kepentingan umum, seperti pemeliharaan saluran air, jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis pertama dilakukan tanpa imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan dengan imbalan dan makan. "Preangerstelsel" dan "Cultuurstelsel" yang keduanya berupa sistem tanam paksa memanfaatkan tradisi pajak tenaga ini.


Dalam akhir abad ke-19 bentuknya berubah menjadi "lakon gawe" dan berlaku untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk mereka yang melalaikannya. Dari sinilah orang Sunda mempunyai peribahasa "puraga tamba kadengda" (bekerja sekadar untuk menghindari hukuman atau dendaan). Bentuk dasa pada dasarnya tetap berlangsung. Di desa ada kewajiban "gebagan" yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para pembesar setempat.


Jadi "gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum atas perintah kepala desa", menurut sejarahnya bukanlah gotong royong. Memang tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam bentuk tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut karyabhakti dan sudah dikenal pada masa Tarumanagara dalam abad ke-5.


Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa "piteket" karena langsung merupakan perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga penetapan batas-batas "kabuyutan" di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang dinyatakan sebagai "lurah kwikuan" yang disebut juga desa perdikan, desa bebas pajak.


Ketika memerintah Prabu Siliwangi dikenal sebagai pemimpin yang menganut gaya kepemimpinan Egalitarianisme. Egalitarianisme sendiri memiliki arti sebagai paham yang memegang teguh azas kesetaraan dalam kehidupan sosial. hal tersebut sering digambarkan dalam berbagai literasi menenai Prabu Siliwangi.[1]


Peristiwa-peristiwa pada masa pemerintahannya

Beberapa peristiwa menurut sumber-sumber sejarah:


Carita Parahiyangan

Dalam sumber sejarah ini, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian:


"Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa".

(Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama).

Dari Naskah ini dapat diketahui, bahwa pada saat itu telah banyak Rakyat Pajajaran yang beralih agama (Islam) dengan meninggalkan agama lama.


Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2.

Naskah ini menceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat atau lebih dikenal Sunan Gunung Jati menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. Syarif Hidayat masih cucu Sri Baduga dari Lara Santang. Ia dijadikan raja oleh uanya (Pangeran Cakrabuana) dan menjadi raja merdeka terlepas dari Pajajaran di Tatar Pasundan (Jawa Barat dan Banten).


Ketika itu Sri Baduga baru saja menempati Istana Sang Bhima (sebelumnya di Surawisesa). Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjaga kemungkinan datangnya serangan Pajajaran.


Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan dari Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar. Setelah berunding, akhirnya Jagabaya menyerahkan diri dan masuk Islam.


Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) keraton Ki Purwa Galih. Cirebon adalah daerah warisan Cakrabuana (Walangsungsang) dari mertuanya (Ki Danusela) dan daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang santri Syekh Quro).


Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga (sebelum menjadi Susuhunan) sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Karena Syarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuana dan juga masih cucu Sri Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh penguasa Pajajaran.


Demikianlah situasi yang dihadapi Sri Baduga pada awal masa pemerintahannya. Dapat dimaklumi kenapa ia mencurahkan perhatian kepada pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan dan menyusun Pagelaran (formasi tempur) karena Pajajaran adalah negara yang kuat di darat, tetapi lemah di laut


Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya memiliki enam buah Kapal Jung 150 ton dan beberapa lankaras (?) untuk kepentingan perdagangan antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun).


Keadaan makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkan dengan perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak. Ada empat pasangan yang dijodohkan, yaitu:


1 Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi).

2 Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor.

3 Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun.

4 Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa).

Perkawinan Pangeran Sabrang Lor alias Yunus Abdul Kadir dengan Ratu Ayu terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon.


Persekutuan Cirebon-Demak inilah yang sangat mencemaskan Sri Baduga di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa.

menghubungi Panglima Imperium Portugis Afonso de Albuquerque di Malaka yang ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai milik Kesultanan Samudera Pasai. Sebaliknya upaya Pajajaran ini telah pula meresahkan pihak Demak.


Pangeran Cakrabuana dan Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetap menghormati Sri Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah ketegangan yang melumpuhkan sektor-sektor pemerintahan. Sri Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan Cirebon. Terhadap Islam, ia sendiri tidak

membencinya karena salah seorang permaisurinya, Subanglarang, adalah seorang muslimah dan ketiga anaknya—Walangsungsang alias Cakrabuana, Lara Santang, dan Raja Sangara—diizinkan sejak kecil mengikuti agama ibunya (Islam).


Karena permusuhan tidak berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka masing masing pihak dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya. Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai zaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut mencatat kemajuan zaman Sri Baduga dengan komentar "The Kingdom of Sunda is justly governed; they are honest men" (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur).


Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.


Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf Arab Pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa Gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam zaman Pajajaran.


Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi dalam Prasasti Tembaga Kebantenan disebut Susuhunan di Pakuan Pajajaran, memerintah selama 39 tahun (1482 - 1521). Ia disebut secara anumerta Sang Lumahing (Sang Mokteng) Rancamaya karena ia dipusarakan di Rancamaya.


Sunda Wiwitan

Dalam kepercayaan tradisional Sunda Wiwitan, tokoh Prabu Siliwangi dihormati sebagai gambaran pemimpin ideal masyarakat Sunda. Ia dihormati dan diakui sebagai karuhun atau leluhur para menak atau bangsawan Sunda.


 #jawa #aneh #sunda  #jawakuno #reelsfb,シ #baduyluar #silsilahpajajaran #jawabarat #cirebon #galuh #sejarahsunda #sribadugasiliwangi #siliwangi #prabusiliwangi #sisilahsiliwangi #silsilahsribadugasiliwangi #pajajaran #sejarahpajajaran #sejarahsiliwangi #sejarahnusantara #sejarahprabusiliwangi  #kendedes #radikabahariahmadrafardhan #Radenwijaya #Sundagaluh #kasepuhancirebon #kiansantang #perangbubat #bubat #pertempuranbubat


Kematian Prabu Siliwangi🙏🏻👇🏻👇🏻


https://www.facebook.com/share/p/N4TNdfbg4Lb79X8M/?mibextid=xfxF2i

[15/8 03.51] rudysugengp@gmail.com: (Sinau sejarah leluhur nuswantoro) 

SILSILAH TRAH SUNAN KALIJAGA


Sunan Kalijaga adalah salah satu dari Wali Songo. Beliau adalah salah satu leluhur trah Kraton Mataram Islam.

Disebutkan didalam serat yang tertulis dalam Babad dijelaskan bahwa silsilah Sunan Kalijaga sbb: 


Arya Teja I , Adipati Tuban menurunkan Arya Teja Laku menjadi punggawa di Kraton Majapahit. Arya Teja Laku (Arya Teja II ) menurunkan:

1. Arya Lembu Sura, Bupati Surabaya

2. Dewi Umuni, menikah dengan Prabhu Brawijaya II bergelar Dewi Panurun


Arya Lembu Sura bupati ing Surabaya, menurunkan putra 6: 

1. Arya Nembé punggawa ing Majapahit, 

2. Arya Lembu Sana bupati ing Surabaya, 

3. Arya Kendhi Wiring punggawa  Majapahit, 

4. Retna Panjawi menikah dengan Prabu Brawijaya III, 

5. Arya Sendhi punggawa ing Majapahit, 

6. Dèwi Surati menikah dengan Panji Suralaya.


Arya Nembé punggawa di Kraton Majapahit, menurunkan putra 2: 

1. Arya Tèja III Adipati di Tuban, 

2. Arya Danu punggawa ing Majapahit.


Arya Tèja III Adipati ing Tuban, puputra 6: 

1. Pangèran Ibrahim ing Garesik, 

2. Rara Johar menikah dengan Sunan Majagung , 

3. Rara Manik menikah dengan Syech Maulana Malik Maghribi menurunkan Raden Kidang Tilangkas atau Ki Ageng Tarub II, Ki Ageng Tarub II menurunkan Dewi Nawangsih

4. Rara Nila kasebut nama Nyai Ageng Manila menikah dengan Sunan Ngampèl Denta menurunkan Ratu Panggung ( Permaisuri Raden Patah, Raja Demak Bintoro )

5. Rara Pakaja menikah dengan Raja Pandhita Ngali Murtala ing Garesik, 

6. Tumenggung Wilwatikta ing Jepara, 


Tumenggung Wilwatikta menurunkan putra 3: 1. Perempuan menikah dengan Arya Timus, bupati Jepara, 

2. Raden Sahid bergelar Sunan Kalijaga, 

3. Radèn Wijil.


Sunan Kalijaga memiliki tiga orang istri, yakni Dewi Sarah, Siti Zaenab ( Putri Sunan Gunung Jati ), dan Siti Hafsah ( Putri Sunan Ampel Denta )


Sunan Kalijaga peputra 8: 

Dari Siti Zaenab :

1. Ratu Pembayun, menikah dengan  Sultan Trenggana, Raja Demak Bintoro 

2. Raden Ayu  Panengah menikah dengan Ki Ageng Ngerang III

3. Susuhunan Adi ing Kalijaga, 

4. Pangèran Samudra 

5. Raden Abdurrahman ( naik haji )


Dari Dewi Sarah :

1. Raden Umar Said (Sunan Muria), 

2. Dewi Rukayah, 

3. Dewi Sofiah.


I. Kanjeng Ratu Pembayun menikah dengan Sultan Trenggana menurunkan : 

1. Ratu Mas Cempaka , menjadi Permaisuri Sultan Hadiwijaya Pajang bergelar Ratu Mas Pajang menurunkan Pangeran Benawa. Pangeran Benawa menurunkan Ratu Mas Hadi. Ratu Mas Hadi menikah dengan Panembahan Hadi Hanyokrowati menurunkan Sultan Agung.


2. Pangeran Timur , Panembahan Madiun ,  Bupati I Kadipaten Madiun menurunkan Retno Dumilah. Retno Dumilah menikah dengan Panembahan Senopati menurunkan Panembahan Juminah. Panembahan Juminah menikah dengan Ratu Mas Hadi ( janda Panembahan Hadi Hanyokrowati menurunkan Pangeran Balitar. Pangeran Balitar menurunkan Kanjeng Ratu Mas Balitar. Kanjeng Ratu Mas Balitar menikah dengan Sunan Pakubuwana I menurunkan Sunan Amangkurat IV.

Sunan Amangkurat IV menurunkan :

1. Pangeran Mangkunagara menurunkan KGPAA Mangkunagara I menjadi Pendiri Puro Mangkunagaran.

2. Pangeran Probosuyoso kelak menjadi Raja Kraton Mataram selanjutnya bergelar Susuhunan Pakubuwana II

3. Pangeran Mangkubumi kelak menjadi pendiri Kraton Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I.


II. Raden Ayu Panengah menikah dengan 

Ki Ageng Ngerang III menurunkan :

1. Ki Pendjawi atau Ki Ageng Pati

2. Nyai Ageng Kemiri ing Pati


Ki Ageng Pati atau Ki Pendjawi menikah dengan putri Nyai Ageng Kemiri ing Pati menurunkan:

1. Kangjeng Ratu Waskita Jawi 

2. Adipati Pragola Pati I


Kangjeng Ratu Waskita Jawi menikah dan menjadi Permaisuri Panembahan Senopati, Raja Mataram I. Berputra Panembahan Hadi   Hanyokrowati ( Raja Mataram II )


Adipati Pragola Pati menurunkan :

1. Adipati Pragola Pati II

2. Raden Londoh ( Pangeran Ronggopati )


III. Susuhunan Adi ing Kalijaga peputra 2: 

1. Ratu Mas  Kadilangu, 

2. Sunan Adi Kadilangu, 


Sunan Adi Kadilangu menurunkan Sunan Kadilangu sèda ing Kanitèn, beliau menurunkan :

Panembahan Kadilangu sèda Kepuh, beliau menurunkan :

Panembahan Natapraja ing Kadilangu, beliau menurunkan putra 2: 

1. Perempuan menikah dengan Panembahan Wijil Kadilangu, 

2. Pangèran Natapraja ing Kadilangu.


Putri perempuan yang menikah dengan Panembahan Wijil ing Kadilangu, puputra 2: 

1. Pangèran Wijil sèda ing Kartasura, 

2. Radèn Ayu Danupaya.


Pangèran Wijil sèda ing Kartasura menurunkan putra bernama Pangèran Wijil Inthik-Inthik,

Pangeran Wijil Inthik Inthik menurunkan putra 2: 

1. Pangèran Wijil kaping IV, 

2. Radèn Kusuma.


Pangèran Wijil kaping IV puputra 5: 

1. Pangèran Wijil kaping V, 

2. Tumenggung Mangkupraja ing Demak, 

3. Radèn Ayu Kaji Sumenep, 

4. Radèn Ayu Kertadipa, 

5. Radèn Wirakusuma.


Pangèran Wijil V menurunkan Pangèran Wijil VI,beliau menurunkan putra Pangèran Wijil VII


Sumber data :


1. Diambil dari Petikan Serat Soejarah karya Pujangga Harttati th 1935.


2. Silsilah Sunan Kalijaga yang ditulis oleh KRMAA Sosronagoro Patih Kraton Surakarta yang tertulis dalam naskah yang tersimpan di Perpustakaan Negeri Berlin, Jerman dengan kode Ms. Or. Fol. 3163


3. Lukisan Sunan Kalijaga yang tertempel di Pendopo Astana Kadilangu.


Al-Fatihah kagem Kanjeng Sunan Kalijaga


Semoga bisa menambah wawasan pengetahuan sejarah untuk semua🙏

[15/8 15.13] rudysugengp@gmail.com: PEJUANG WANITA NYAI AGENG SERANG

(Tanah jawa hebat punya panglima perang

Seorang perempuang)


Panglima Perang Diponegoro, Nyi Ageng Serang, Raden Ayu Serang atau Nyai Ageng Serang (1752–1828) , Wafat sebelum perang Jawa Usai di tahun 1828. Salah satu diantara para bangsawan yg mendukung Pangeran Diponegoro.Strategi Brilianya adalah menggunakan Daun Talas  yaitu menutupi kepala prajuritnya dengan daun tersebut, jadi dari jauh terlihat seperti kebun. Memimpin sebagai Panglima perang Diponegoro pada usia 73 tahun, Wafat usia 76 Tahun.Pasukanya berperang di daerah Purwodadi, Semarang, Demak, Kudus, Yowono dan Rembang.


Santri harus bangga dan punya peran penting dalam perjuangan negara seperti beliau

Perempuan yang punya karya luar biasa..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lagu nasional

  Lagu nasional Tanah Airku Tanah air ku tidak kulupakan Kan terkenang selama hidupku Biarpun saya pergi jauh Tidak kan hilang dari kalbu Ta...