I. ILMU PENYELIDIKAN SEJARAH
1). Ilmu sejarah.
Setiap angkatan dari ummat manusia memandang masa lampau dengan caranya sendiri yang khas, Demikian halnya, karena setiap angkatan, pada gilirannya, berusaha menciptakan kembali sebuah gambaran zaman lampau jang dapat difahami olehnya; jelasnya: ia berusaha memahamkan zaman lampau hingga zaman itu dapat menempati kedudukan yang sesuai dengan pandangan hidupnya.
Adapun bangsa itu merupakan kesatuan yang mengatasi dan melebihi perbedaan angkatan masing-masing. Bangsa itu, dalam perbendaharaan nasionalnya, menghubungkan peristiwa yang, angkatan demi angkatan, dialaminya dalam kesatuan yang mencerminkan dan menampakkan gaya, corak dan arah hidup nasionalnya. Karena itu, setiap angkatan dari suatu bangsa, masing-masing harus menyelidiki, apa gerangan dialami, diderita dan diusahakan oleh angkatan dahulu. Bukan pengalaman saja yang penting, karena itu agak passif; yang penting ialah cara bagaimana bangsa itu menyambut dan menjawab tantangan dari alam sekitar, baik yang insani maupun yang mengatasi kekuatan manusia. Ahli sejarah bertugas menetapkan bentuk-bentuk pengalaman suatu bangsa beserta reaksi atasnya, lantas mencari arti kedua hal itu dalam rangkaian sebab-akibat dalam pertumbuhan kebudayaan bangsa itu.
Ilmu sejarah sekedar membatasi sasaran penyelidikan ke-usaha meneropong waktu lampau bagaikan waktu lampau "wie es eigentlich gewesen war" (Ranke). Itulah menjadi maksud pelajaran sejarah yang pertama-tama. Apabila maksud itu dicapai dengan sungguh-sungguh, maka hasil dan manfaat pelajaran sejarah memang besar, dan dengan sendirinya akan memuat ajaran-ajaran dan petunjuk yang berfaedah dan berilham untuk waktu yang akan datang. Mengetahui sejarah adalah syarat untuk turut serta membina sejarah.
Akan tetapi jikalau orang pertama-tama belajar sejarah untuk mencari faedah dan ilham, minatnya sedemikian itu pada lazimnya akan menyebabkan dia menyimpang dari jalan kebenaran objektif. Hal mempelajari zaman lampau, justru untuk menemui disana sumber ilham untuk hari depan, itu pun bukan ilmu sejarah, melainkan pragmatisme sedjarah belaka. (Pragmatisme = paham melihat segala sesuatu melulu dari segi untung-ruginya). Pragmatisme begitu akan mengelabui mata dan mempersempit luasnya pemandangan, sehingga orang tidak melihat apakah yang terjadi sebenarnya dalam zaman yang bukan zamannya sendiri. Seseorang yang hanya berminat akan ajaran-ajaran dari sejarah sukar dapat melepaskan diri dari prasangka, yang membahayakan pengetahuan objektif, apalagi sukar baginya melihat sejarah sebagai kesatuan dan keseluruhan. Sejarah dianggapnya sebagai tempat tertimbunnya teladan dan ajaran-ajaran bagus, yang dilepaskan dari rangka yang khusus dan spesifik. Hilanglah begitu arus kesatuan dan irama sejarah yang menghidupkan kejadian masing-masing dan memberi arti kepada - nya.
2). Tradisi sejarah.
Selain dari faham serba-faedah, pun paham hidup lain serta pandangan dunia pada umumnya, mempengaruhi ahli sejarah dalam usaha membina kembali gambaran zaman lampau. Paham evolusionisme, faham sejarah serba-kembali (cyclisme), industrialisasi mengenai sumber-sumber sejarah, dan lain-lain; semuanya menyebabkan pengarang sejarah memandang zaman dahulu dari sudut tertentu. Pujangga-pujangga dalam keraton Mataram-Islam menjadikan gambaran zaman lampau yang amat berlainan dengan lukisan-lukisan tentang zaman dahulu pada kraton Mataram-Hindu atau pada Prapanca di Majapahit. Karena itu dalam tiap-tiap tulisan tentang sejarah senantiasa terdapat 2 perkara yang harus diperhatikan :
1). peristiwa zaman dahulu yang dikemukakan si pengarang, dan
2). gejala-gejala pandangan dunia yang timbul dalam zaman pengarang sendiri.
"We read history not only for the light that it throws on the past, but also for the light that it throws on the world of the writer. We cannot fully understand an age unless we understand how that age regarded the past, for every age makes his own past, and this recreation of the past one of the elements that go to the making of the future."
(Chr. Dawson: Dynamics of World History, 1957, p.35).
Maka peristiwa zaman dahulu sebagai dicerminkan oleh pandangan zaman kemudian itulah tradisi sejarah namanya. Pusaka rohani suatu bangsa memuat antara lain suatu paham tertentu tentang pengalaman-pengalaman senja dalam zaman yang telah lalu. Itulah merupakan pendapat umum yang berlaku tentang babakan waktu dahulu, tentang tokoh-tokoh negara dan kebahagiaan/kesengsaraan rakyat dalam zaman lalu itu. Tiap-tiap pendapat atau tradisi sebegitu merupakan unsur kebudayaan yang seirama dengan jumlah unsur budaya pada waktu pengarang sejarah. Dalam zaman feodal umpamanya, segala sesuatu dalam zaman lampau akan diteropong dari sudut dan faham feodal. Dalam zaman merdeka, zaman lampau terutama akan dihargai menurut banyak-sedikitnya sumbangan kearah kemerdekaan, sehingga pentingnya peristiwa lain diabaikan saja. Dengan begitu teranglah bahwa tradisi sejarah tidak dapat dibenarkan dihadapan budi kritis ahli sejarah dengan begitu saja. Ahli sejarah bertugas menguraikan berita tentang zaman lampau, dan menyendirikan unsur-unsur faham pengarang, perseorangan atau kolektif, dari kelompokan kejadian yang diberitakan nya. Sesudah penyaringan, baru saja ia dapat menyusun kembali gambaran zaman lampau.
Dalam Indonesia terdapat 4 macam tradisi sejarah :
a). tradisi sejarah kuno, sebagai termaktub dalam kitab Nagarakertagama, Pararaton dan prasasti-prasasti;
b), tradisi sejarah zaman tengah, didapat dalam buku-buku sebagai Hikayat Pandji, Usana Bali, Pamancangah, Carita Parahyangan, dan lain-lain;
c). tradisi sejarah baru: Sejarah Melayu, Silsilah Kutai, Salasilah Raja Pasai, Babad Tanah Jawi, Tarich Bajo dan Bugis, dll.
d), tradisi sejarah kolonial, yang melukiskan gambar sejarah Indonesia dari sudut Eropa-sentris dan bukan nasional.
e), tradisi sejarah nasional itu pun seakan masih harus digubah, karena itulah belum ada.
Dalam tradisi sebegini, sejarah bangsa Indonesia harus dipandang bukan dari sudut keraton atau dari sudut kaum bangsawan/ksatria saja, bukan pula dari sudut laba- rugi pemerintahan penjajahan, melainkan dari sudut pergulatan bangsa untuk mencapai dan melaksanakan cita kesejahteraan dan kemerdekaan kebudayaan. Tradisi itu tidak harus tumbuh atas tiruan Barat atau lanjutan tradisi lama asli, akan tetapi atas usaha memikirkan kembali kehidupan bangsa atas latar-belakang nasional. Soal bagaimanakah kita membentuk tradisi nasional begitu, pantaslah dijawab dengan semboyan: "kembali ke :
3). Sumber-sumber sejarah.
Ilmu heuristik adalah ilmu bantu sejarah yang menyelidiki sumber sejarah yang aslı, yang "first-hand" secara langsung dengan kritis. Sumber? sejarah yang pokok ialah kesaksian orang sezaman dan setempat yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri kejadian-kejadian sejarah, Dalam laku sejarah, kesaksian-kesaksian itu, jikalau diserahkan kepada orang lain secara turun-temurun, tentu bertambah dengan tambahan aneka-warna melalui tradisi sejarah, yang makin lama makin banyak menyimpang dari kejadian semula. Karena itu ahli sejarah yang ingin tahu "bagaimana terjadinya sebenarnya", haruskah pulang ke sumber-sumber kesaksian pertama. Wajiblah ia memiliki aliran tradisi hingga mencapai asal dan hulunya.
Ilmu sejarah bergantung atas pengetahuan dan penetapan kesaksian orang sezaman dan setempat, dan karena nya ilmu tadi dibagi dalam tiga bagian, justru menurut ada dan tidak-adanya kesaksian orang sezaman dan setempat itu dan derajat atau wujud kesaksian tadi. Inilah ikhtisar :
Derajat kesaksian berdasarkan atas :
disebut: TERTINGGI
sumber tertulis sezaman sejarah dan setempat, disebut: TENGAH
asli dan dalam negeri. sumber tertulis sezaman proto, bukan setempat, sejarah luar negeri disebut: TERENDAH
sumber tak tertulis, pra-sejarah dan - sezaman & setempat. Sejarah
Mempelajari sumber ilmu sejarah disebut historiografi, atau ilmu naskah, antara lain ilmu prasasti. Sumber ilmu protosejarah merupakan sasaran ilmu etnologi, sedangkan sumber prasejarah diselidiki oleh arkeologi.
4). Sejarah Nasional, Sekarang banyak diterbitkan buku-buku dengan kepala: "Sejarah Indonesia", akan tetapi kebanyakan dari buku itu digubah atas dasar sumber-sumber yang diambil dari buku karangan orang bukan Indonesia. Dengan begitu buku-buku itu bersandarkan atas kesaksian yang bernilai "tengah" saja, atau "second-hand", Jadi pengalaman bangsa kita dikemukakan melalui cermin orang asing. Sudah barang tentu bahwa pengarang buku-Indonesia dalam memakai sumber? yang didapat nya disini, memilih dan menitikberatkan bahan-bahan menurut langgamnya dan tradisinya sendiri. Bahan yang penting di hadapan rasa nasional Indonesia akan diabaikan saja atau kurang diperhatikan seperlunya, sedangkan ramuan sejarah yang hanya penting dalam pandangan orang luar akan dikemukakannya menurut penilaian dan mutu-mutu luar negeri. Sesungguhnya buku-buku seperti tadi tidak memuaskan pengarang-sejarah kita, tetapi jangankan menciptakan sejarah nasional sendiri, mereka lebih suka "menyadur" atau mengolah buku-buku asing tadi. Artinya perumusan diubah, bukan dengan kembali bersumber asli, melainkan berpedoman rasa dan semangat semata-mata, Tetapi semangat- pun, bercerai dari dasar objektif, hanya sanggup memalsukan sejarah, tidaklah menasionalisasikan sejarah Indonesia. Dengan tepat ditulis oleh Ismail: writing Asian history from an Asia-centric viewpoint is a very different thing from merely putting colonial history on its head. When Asian historian limit themselves to a reversal of the story as told by colonial historians, substituting pluses for minus- es and minuses, for pluses, the only result is that a colonial myth is replaced by a national myth." (Journal of Southeast Asian Studies II, 1961. Lihat juga: Sudjatmoko An approach to Indonesian history: Towards an open future, Cornell Univ. 1960)
Dalam penjelasan umum mengenai Undang-undang Pendidikan dan pengajaran, pemerintah telah mengeluarkan pendapatnya begini; (U.U.-RI no. 4/1950 dan No.38/1954, penjelasan umum part.
9)dalam pendidikan dan pengajaran di Republik Indonesia diutamakan sifat nasional dalam arti bal.wa pendidikan dan pengajaran itu didasar- kan atas kebudayaan kita sendiri. Dalam pendidikan demikian, pengajaran sejarah akan menjadi pengajaran yang penting sekali. Bermacam peristiwa jang terjadi dalam sejarah kita harus ditinjau kembali, dengan mempelajari sumber-sumber kita sendiri, sehingga dapat disusun kitab sejarah Indonesia, yang bersifat lain daripada jika dilihat dengan kacamata asing.
Seruan untuk kembali ke sumber asli diulangi lagi dalam Seminar Sejarah, Jogjakarta 1957; dalam Konferensi Internasional para ahli sejarah Asia tenggara yang pertama, yang dilangsungkan di Singapura, Jan. 1961 dan dalam Seminar Sejarah Antar IKIP Yogyakarta, 1968. Petunjuk yang berguna didapat pada Dr.Sartono Kartodirdjo: Historiografi, 1961 dan pada Drs. R. Moh. Ali: Pengantar Ilmu sejarah Indonesia, tjet. II, 1963.
5). Ilmu naskah sejarah.
Guna mempelajari sejarah Indonesia dari naskah-naskah kita sendiri, kita pertama harus mengetahui naskah-naskah resmi. Naskah itu diselidiki dengan saksama baik mengenai bentuk lahir maupun mengenai isi.. Strukturnya menunjukkan suasana dan abad dalam mana ia digubah, isinya menunjukkan peristiwa sejarah sendiri dalam konteks sejarah. Mengerti akan isi dan maksud naskah itu tidak mungkin andaikata tidak diletakkan dasar pengetahuan umum tentang naskah dahulu. Kalau dasar itu tidak ada maka penggunaan dan pengutipan (penjiplakan) naskah dengan sembarangan saja menyerupai pemalsuan sejarah.
Ilmu naskah sejarah memuat 3 cabang, jang saling memperlengkapkan, Ketiga cabang disebut dengan istilah Junani:
(1). palaeography (palaeo kuno, grafiti tulisan) ialah Ilmu yang mempeladjari naskah kuno yang tercatat atas bahan rapuh seperti papyrus, kulit, lontar, tembikar, lilin, Atas bahan begitu sekedar terdapat catatan pendek saja, sehingga sarjana terutama mempelajari bentuk huruf dan berusaha menetapkan sejarah abjad. Karena itu palaeografi sekarang terutama terlihat dalam pelajaran sejarah dan silsilah abjad. Penerbitan Yang terpenting adalah:
F.K. Holle: "Bijdrage tot de paleografie van Ned." Indië, 1877-1882.
J.H.Kern: "Paleografie van de Indische Archipel" 1882 (V.G.VI)
L. C. Damais: "Les écritures d'origine indienne et indonésienne" B.S.E.I. 1956.
(2). epigrafi ( tulisan atas) ilmu ini mempelajari tulisan-tulisan diatas bahan keras batu dan logam. Perhatian terutama adalah mengenai isi dan struktur pernyataan resmi, umpamanya undang-undang, peraturan, putusan raja, pengakuan hak, prasasti, ketentuan agama, perjanjian antara raja, dan lain-lain. Karena di Indonesia hampir semua tulisan begitu berupa prasasti maka ilmu prasasti dan epigrafi disini sama maksudnya. (Lihat "Ensiklopedi Indonesia" dibawah kata: prasasti). Sarjana yang banyak berjasa untuk epigrafi Indonesia antara lain Brandes, Kern, Damais, Krom, Poerbatjaraka, Stutterheim, Goris dan de Casparis. Daftar penerbitan yang terpenting dimuat dalam fasal VI dibawah ini.
(3). diplomatik (diploma = yang dilipat, naskah kertas). Ilmu ini mempelajari naskah zaman baru: perjanjian antara negara, charter dan lain-lainya. Segala bahan diplomatik untuk Indonesia terdapat dalam "Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum" diterbitkan oleh Stapel dan Heeres, 1907-1954, dijilid
Dalam uraian ini ilmu epigrafi berupa pokok, kedua ilmu naskah lain dipergunakan sebagai ilmu pertolongan saja. (Perhubungan antara ketiga ilmu diterangkan oleh Prof. R.Agrain Comment on fait l'histoire, 1948, chap. III).
II. Definisi dan klasifikasi prasasti
praçasti (Skr.), berarti :
pujian, tulisan berupa sajak untuk memuji raja (metrical eulogistic inscription; McDonnell, "Sanskrit Dictionary" 182a) karena pujian itu berdasarkan suatu anugerah atau kurnia yang diberikan ('turun') oleh raja kepada bawahannya, maka anugerah sendiri juga disebut praçasti; anugerah itu memberi hak istimewa (privilege) yang berlangsung terus: "purwaçarirareng praçastyalama tang rinaksan iwo" (Nagarakrtagama, 81-1-2 (hak-hak istimewa yang sejak dulu dilindungi oleh praçasti kuno); agar supaya hak tersebut sah dan dapat dipertahankan secara yuridis, praçasti dirumuskan dalam bahasa resmi hukum dengan gaya hukum tertentu (chancery language); supaya hak itu dapat dipertahankan lama, isi praçasti ditulis diatas bahan yang tak bisa lapuk logam atau batu;
supaya hak itu dijamin oleh masyarakat, maka saksi harus menyaksikan pengumumannya, dan pengumumannya harus disertai oleh upacara resmi, yang harus diulangi sewaktu waktu.
Karena itu semua, definisi lengkap dari prasasti adalah begini: "Prasasti adalah suatu putusan resmi, tertulis diatas batu atau logam, dirumuskan menurut kaidah-kaidah tertentu, berisikan anugerah dan hak, yang dikurniakan dengan beberapa upacara.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar