Sabtu, 31 Agustus 2024

Kisah 1

 [31/8 16.07] rudysugengp@gmail.com: RATU TURUK BALI


Ratu Turuk Bali adalah putri dari Prabu Semeiningrat Raja dari Kerajaan Gelang-Gelang/Gegelang (Sekarang Madiun). waktu itu Gelang-Gelang merupakan Kerajaan bawahan Singasari. 


Ketika cukup umur, Turuk Bali dijodohkan dengan anak Prabu Sastrajaya dari Kerajaan Kediri yang bernama Jaya Katwang. Sama seperti Gelang-Gelang, Kediri kala itu juga menjadi bawahan Singasari. 


Sepeninggal Prabu Semeiningrat, menantunya Jaya Katwang diangkat menjadi Raja Di gelang-Gelang, dan Ketika Gelang-Gelang dirajai olehnya itulah ia memberontak pada Singasari. Pemberontakannya berhasil, sehingga ia kemudian membangkitkan Kerajaan Kediri menjadi Kerajaan Pusat dari Kerajaan-Kerajaan bawahan Singsari lainnya.Ketika menjabat sebagai Raja Kediri, tentu yang menjadi Ratunya adalah Turuk Bali. 


Buah hasil perkawinan Ratu Turuk Bali dan Jaya Katwang menghasilkan satu Putra yang begitu terkenal namanya Ardaraja. Sayanngya umur dari Kerajaan Kediri yang dibangkitkan oleh Jaya Katwang itu pendek saja. Kediri hancur diserbu oleh Raden Wijaya bersama sekutu mongolnya. Ketika tentara Majapahit dan Mongol berhasil mengepung Kedaton dan menangkap Jaaya Katwang, Ratu Turuk Bali diksiahkan bunuh diri.

[31/8 16.08] rudysugengp@gmail.com: SILSILAH KELUARGA  RAJA DEMAK BINTORO


Raden Patah, Adipati Demak Bintoro bertahta di Kraton Glagah Wangi dengan gelar :


" Syah Alam Akbar Senopati Jimbun Sirrolah Kalifatul Rasul Ammirilmukminin Tajudin Ngabdulhamidhah " 

Beliau juga disebut sebagai Sultan Ngadil Surya I. 

Bertahta tahun Jimawal Sinangkalan Mantri Tunggal Catur Aji ( th 1413 ) beliau jumeneng Nata 27 Tahun. 


A. RADEN PATAH RAJA DEMAK I

Raden Djoko Probo atau  Raden Patah adalah Putra dari Raja Majapahit Brawijaya V, Beliau menikah dengan Ratu Panggung  putri  Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manilo

Menurunkan :

1. Raden  Suryo  atau  Pangeran Sabrang Lor atau Adipati Unus ( Raja Demak II )

2. Raden Songko atau Pangeran Adipati  Anom atau Pangeran Sekar Sedo Lepen

3. Raden Trenggono

4. Raden Ayu Kirana  atau Ratu Mas Purnamasidi menikah dengan Panembahan Banten

5. Raden Ayu Wulan atau Ratu Mas Nyowo  menikah dengan Panembahan Cirebon

6. Raden Tangkowo atau Pangeran Kundurawan  menjadi Tumenggung di Sumenep

7. Raden Jaladara , meninggal muda

8. Raden Tedjo , Pangeran Pamekasan Madura 

9. Raden Alit atau Pangeran Sekar atau Pangeran Ragil ( leluhur  Ki Ageng Karang Lo )


B. RADEN SONGKO, PANGERAN SEKAR SEDO LEPEN

Raden Songko bergelar Pangeran Adipati Anom atau Pangeran Sekar Sedo Lepen atau Pangeran Sekar yang wafat di sungai. 

Menurunkan :

1. Pangeran Haryo Jipang atau Haryo Panangsang menikah dengan Putri Sunan Kudus

2. Ratu Timoer menikah dengan Panembahan Timur  Bupati Madiun I

3. Pangeran Haryo Mataram


C. SULTAN TRENGGONO  RAJA DEMAK III

Sultan Trenggono adalah Raja Demak ke tiga, Beliau adalah putra Raden Patah raja Demak I dari istri nya yang bernama Asyikah atau Ratu Panggung .Ratu  Asyikah adalah Putri Sunan Ampel.

Wafat  pada tahun 1546

Memerintah Kraton Demak pada tahun Alip sinangkalan Banyu Suci Dadi Nabi ( th 1417)

Sultan Trenggono mempunyai dua istri yaitu Kanjeng Ratu Pembayun ( Putri Sunan Kalijaga ) dan Putri  Nyai Ageng Maloko. 


Dari  Putri Nyai  Ageng Maloko  menurunkan :

1. Ratu Pembayun 

2. Sunan Prawoto

3. Ratu Mas Pemancingan  menikah dengan Panembahan Jogorogo ing Pemancingan

4. Retno Kencana ( Ratu Kalinyamat ) menikah dengan Pangeran Hadiri ( Penguasa Jepara )

5. Ratu Mas Ayu menikah dengan Pangeran  Orang Ayu putra Pangeran Wonokromo 

6. Ratu Mas Kumambang


Dari Kanjeng Ratu Pembayun ( Putri Sunan Kalijaga ) menurunkan : 

7. Pangeran Timur , Panembahan Madiun ,  Bupati I Kadipaten Madiun

8. Ratu Mas Cempaka , menjadi Permaisuri Sultan Hadiwijaya Pajang bergelar Ratu Mas Pajang.

9. Pangeran Tg Mangkurat ( dari Garwa Pangrembe  )


Sumber data : Soejarah Jawa oleh Pujangga Hartati


oleh KRT Koes Sajid Djayaningrat.


#fbpro

#fyp

[31/8 16.14] rudysugengp@gmail.com: LIMA KITAB KUNO YANG MENJADI BUKTI BAHWA NUSANTARA HEBAT DI MASA LALU


1). KITAB NEGARA KERTAGAMA


Negara kertagama memiliki arti Negara dengan tradisi ( agama ) yang suci. 

Kitab ini pertama kali ditemukan di tahun 1894 di istana Raja Lombok. Seorang peneliti bernama J.L.A Brandes menyelamatkannya sebelum di bakar bersama seluruh buku di perpustakaan kerajaan. Naskah ini adalah naskah tunggal yang berhasil ditemukan dan selamat setelah selesai di tulis pada tahun 1365.


Kitab ini ditulis oleh empu Prapanca yang merupakan nama samaran dari Dang Acarya Nadendra. Seorang bekas pembesar agama Buddha di Kerajaan Majapahit saat Prabu Hayam Wuruk berkuasa. Kitab yang merupakan syair kuno Jawa atau kakawin ini menceritakan kejayaan Kerajaan Majapahit saat itu. Salah satu tentang daerah kekuasaan dan juga silsilah keluarga raja. Penemuan kitab ini menjadi bukti jika di masa lalu,Nusantara pernah dikuasai kerajaan hebat dengan tradisi kelas tinggi.


2). KITAB SUTASOMA


Kitab Sutasoma adalah sebuah kakawin atau syair Jawa Kuno yang berisi banyak bait. 

Orang yang  menggubah kitab ini hingga terkenal sampai sekarang adalah Empu Tantular. Ia disuruh oleh Hayam Wuruk yang saat itu masih menjadi raja. Kitab ini berisi banyak sekali hal hebat yang masih dipakai sampai sekarang. 

Anyway,tahukah anda jika semboyan negara kita ini diambil dari kitab yang dibuat pada abad ke-14 itu

" Bhinneka Tunggal Ika " yang berarti berbeda tapi tetap satu jua adalah petikan bait dari kitab ini. Karya sastra ini juga berisi banyak sekali pelajaran yang berharga. Salah satunya ada mengajarkan toleransi beragama. Sesuatu yang saat ini sudah mulai luntur. 

Jika kitab ini masih diajarkan sampai sekarang,mungkin Indonesia akan jadi negara yang damai. Tak ada perpecahan seperti yang sekarang terjadi.


3). KITAB ARJUNA WIWAHA


Arjuna Wiwaha adalah sebuah karya sastra kuno yang dibuat dan digubah pertama kali pada abad ke-11 masehi. Seorang empu bernama " Kanwa " menulisnya saat masa pemerintahan Prabu Airlangga yang menguasai Jawa Timur sekitar tahun 1019-1042. Sastra ini menjadi pusaka berharga karena menjadi bukti peradaban manusia zaman dahulu yang ternyata sudah maju. Bahkan mengenal baca tulis meski hanya kalangan tertentu saja.

Kitab Arjuna Wiwaha 


Kitab yang lagi-lagi berupa kakawin ini berisi syair mengenai perjuangan Arjuna. Sebuah tokoh pewayangan yang sangat hebat. 

Di kisahkan Arjuna sedang bertapa di Gunung Mahameru. Dewa mengujinya dengan mengirim tujuh bidadari yang sangat cantik. Bidadari itu disuruh menggodanya,namun Arjuna lulus godaan.Akhirnya Arjuna disuruh melawan raksasa yang mengamuk di kayangan.Karena berhasil ia boleh mengawini tujuh bidadari yang menggodanya tadi.


4). SERAT CENTHINI 


Atau dengan nama lain Suluk Tembang raras adalah sebuah karya sastra terbesar dalam kasusastran Jawa Baru. Di dalam kitab ini banyak sekali tersimpan tradisi,ilmu pengetahuan,dan banyak hal yang saat itu dikhawatirkan akan punah. 

Adalah Pakubuwana ke-V yang memiliki ide menghimpun segala budaya dan tradisi dari Jawa ini menjadi sebuah serat yang berisi tetembangan.


Serat Centhini 

Diperkirakan serat ini dikerjakan pada pertengahan abad ke-18 hingga awal abad ke-19. Pakubuwana ke-V dibantu tiga orang pujangga istana merangkum semua hal agar tidak punah.Pujangga kerajaan ini disuruh berkelana dan menuliskan semuanya yang berkaitan dengan kebudayaan dan juga tradisi lokal. Saat ini Serat Centhini telah digubah dan dibuat versi modern oleh beberapa orang. Bahkan ada yang membuatnya dalam versi novel trilogi agar mudah dicerna.


5) LA GALIGO


La Galigo adalah karya sastra paling panjang di dunia saat ini. Berisi sekitar 6.000 halaman, dan 300.000 baris teks membuat La Galigo saat dikagumi di dunia. Karya ini dibuat sekitar abad ke-13 dan ke-15 masehi oleh bangsa Bugis Kuno. Huruf yang digunakan dalam La Galigo masih menggunakan huruf lontara kuno yang tak semua orang bisa membacanya.


La Galigo berisi banyak sekali sajak tentang penciptaan manusia. Selain itu juga cerita mitos hebat yang kadang masih diceritakan turun temurun. La Galigo dipercaya ditulis sebelum epik Mahabarata ditulis di India.Saat ini sebagian besar manuskrip asli dari La Galigo terselamatkan dan tersimpan rapi di Museum Leiden,Belanda.

Dari lima kitab kuno karya sastra di atas,menunjukkan jika bangsa kita sangatlah hebat di masa lalu. Meski dengan keterbatasan,mereka bisa membuat sesuatu yang bisa dibilang abadi.


 Semoga generasi muda sekarang tidak Lupa siapa leluhurnya.

Bisa melanjutkan kehebatan Nusantara .


Rahayu...

[31/8 16.16] rudysugengp@gmail.com: SEJARAH BUKU LECES (LETJES)


Nama Leces atau dalam ejaan lama ditulis Letjes telah menjadi sejarah yang sulit dilupakan bagi anak-anak sekolah era Tahun 1980 hingga 1990 an. 


Pada tahun-tahun itu bagi anak sekolah, hususnya di kampung hanya mengenal satu jenis buku tulis saja, buku itu bermerek Leces/Letjes, sampulnya berwarna biru, apabila terkena hujan warnanya memudar, lucu memang, sebab pudaran warna birunya kadang melekat pada tas anak-anak sekolah yang kala itu kebanyakan terbuat dari kain, atau kadang juga melekat pada tangan bahkan baju seragam sekolah yang kebutulan berwarna putih.


Kenangan tentang buku tulis Leces memang sulit dilupakan. Kini buku yang bersejarah sekaligus buku yang mempopulerkan nama “Leces”  itu seperti musnah ditelan zaman. 


Buku Leces/Letjes diproduksi di sebuah Pabrik kertas tua yang sudah berdiri sejak zaman penjajahan Belanda  pada tahun 1939 di Probolinggo Jawa Timur. Pabrik kertas Leces didirikkan pemerintah Belanda dengan konsep pemanfaatan ampas tebu dari pabrik-pabrik gula milik pemerintah Belanda yang bertebaran di sekitaran Probolinggo.


Pabrik dari awal mula pendiriannya dikisahkan tanpa nama, hanya pabrik kertas saja, begitulah penduduk setempat mengenalnya, hanya saja di kemudian hari pabrik itu mendapatkan namanya, yaitu “Letjes/Leces”


Nama Leces/Letjes sebenarnya adalah nama desa dimana pabrik kertas itu berdiri, sekarang selain menjadi nama desa, Leces juga menjadi salah satu nama Kecamatan di wilayah Kabupaten Probolinggo. 


Pabrik kertas Leces kini menjadi PT Kertas Leces Persero, atau perusahaan milik Negara (BUMN), hal ini tentu wajar sebab aset-aset milik pemerintah Belanda selepas kemerdekaan  menjadi hak milik Negara.


PT Kertas Leces hingga kini masih memproduksi kertas, hanya saja produk-produk yang dihasilkan agaknya fokus pada jenis kertas print seperti kertas HVS A4, A5 dan lain sebagainya yang biasa digunakan untuk usaha fotocopy dan jasa pengetikan.


Pada Tahun 2010 PT Kertas Leces pernah dinyatakan pailit atau bangkrut, dan  pada tahun 2014  bsngkit kembali setelsh ada suntikan dana dari Pemerintah.  Pabrik kertas tertua kedua di Indonesia itu hingga kini masih berjalan meskipun dikabarkan sempoyongan. (Soni Jewelson/+)

[31/8 16.17] rudysugengp@gmail.com: Kisah Perkawinan Sunan Gunung Jati Dengan Nyimas Kawunganten


Nyimas Kawunganten merupakan istri Sunan Gunung Jati kedua asal Banten, dari perkawinan keduanya kelak melahirkan Hasanudin yang kemudian dinobatkan menjadi Sultan Banten pertama. Kisah mengenai perkawinan keduanya dikisahkan dalam beberapa naskah Cirebon dengan singkat dan jelas.


Kisah perkawinan tersebut dimulai dari kunjungan Ratu Krawang kepada Sunan Gunung Jati yang kebetulan dalam kunjungan tersebut beliau membawa serta Nyimas Kawunganten yang kala itu sedang cantik-cantiknya.


Kisah menganai perkawinan antara Sunan Gunung Jati Dengan Nyimas Kawunganten diceritakan dalam naskah mertasinga pupuh XVIII.11-16. Demikian kisahnya:


Setelah beberapa lama tinggal di Banten, pada suatu hari ada yang datang berkunjung pada Sunan Gunung Jati, yaitu Ratu Krawang yang datang untuk masuk agama Islam.


Melihat kedatangan puteri cantik yang datang bersama Ratu Krawang, lalu Sunan Gunung Jati bertanya “He Ratu Krawang, Puteri manakah yang datang bersamamu ini.?, dan siapakah gerangan namanya.?, disini akun belum pernah melihatnya”


Ratu Krawang menjawab “Dia masih termasuk bibi hamba, dia adalah Putri Permadi puti yang menjadi Raja di Cangkuang. Namanya Putri Kawunganten dia masih keturuan Pakuan Pajajaran. Bilamana baginda menghendaki, silahkan menyampaikannya pada paman Permadi Puti, murid tuan yang dahulu mencari udang sejodoh itu”.


Maka untuk kemudian, Arya Lumajang (Cakrabuana) kemudian memanggil adiknya Permadi Puti yang berada di Carbon Girang. Setibanya Permadi Puti, lalu Sunan Gunung Jati berkata “Paman, puterimu itu, akan kuminta keridoannya, dia akan kuperistri dengan benar”


Permintaan itu dijawab “Silahkan tuanku, lagipula bukankah anak ini, dan juga diri hamba adalah tuan juga yang memilikinya..?” Begitulah kisahnya.


Dari perkawinan keduanya lahir seorang anak perempuan yang diberi nama Ratu Winaon, kemudian adik laki-laki yang diberi nama Pangeran Sebakingkin yang kemudian menjadi Sultan Banten. Adapun Ratu Winaon, kelak dipersitri oleh orang sebrang yang bernama Pangeran Atas Angin yang berkedudukan di Jambu Karang.


Dalam sejarah, Pangeran Sebakingkin ini mempunyai nama lain Hasanudin, Raja Banten inilah yang kelak menaklukan Pajajaran dibantu oleh anaknya Maulana Yusuf. Adapun Putri Winaon kelak mengikuti suaminya ke seberang yaitu kepulau Sumatra di daerah yang disebut Atas Angin / Jambu Karang. Daerah tersebut sekarang identik dengan daerah Bengkulu ada juga yang mengatakan daerah Sumatra Barat/Minang.


#fbpro

#trending

#fyp

#sunangunungjati

#walisongo

Minggu, 18 Agustus 2024

7 Judul

 [15/8 15.13] rudysugengp@gmail.com: PEJUANG WANITA NYAI AGENG SERANG

(Tanah jawa hebat punya panglima perang

Seorang perempuang)


Panglima Perang Diponegoro, Nyi Ageng Serang, Raden Ayu Serang atau Nyai Ageng Serang (1752–1828) , Wafat sebelum perang Jawa Usai di tahun 1828. Salah satu diantara para bangsawan yg mendukung Pangeran Diponegoro.Strategi Brilianya adalah menggunakan Daun Talas  yaitu menutupi kepala prajuritnya dengan daun tersebut, jadi dari jauh terlihat seperti kebun. Memimpin sebagai Panglima perang Diponegoro pada usia 73 tahun, Wafat usia 76 Tahun.Pasukanya berperang di daerah Purwodadi, Semarang, Demak, Kudus, Yowono dan Rembang.


Santri harus bangga dan punya peran penting dalam perjuangan negara seperti beliau

Perempuan yang punya karya luar biasa..

[16/8 10.51] rudysugengp@gmail.com: *Keluarga Luruskan Biografi WR Soepratman: Tanggal Lahir hingga Agama*


Kadek Melda Luxiana - detikNews

Rabu, 14 Agu 2024 15:37 WIB


Jakarta - Pihak keluarga meluruskan sejarah serta biografi pencipta lagu Kebangsaan Indonesia Raya, Wage Rudolf (WR) Soepratman. Perwakilan pihak keluarga, Indra Hutabarat, mengatakan banyak simpang siur mengenai sejarah dan biografi dari WR Soepratman.

Indra merupakan keluarga WR Soepratman dari garis keturunan Ngadini Soepratini. Ngadini adalah kakak kelima WR Soepratman. Indra mengatakan tanggal lahir WR Soepratman yang benar adalah 9 Maret 1903, bukan 19 Maret 1903.


"Mengenai tanggal lahir, tempat lahir, status agama dan tempat meninggal dan lain-lainnya yang ingin kami sampaikan pada hari ini. Karena selama ini, sampai saat ini, kan banyak berita simpang siur mengenai tempat lahir, tanggal lahir. Tanggal lahir itu banyak yang masih menuliskan tanggal 19 Maret 1903, bahwa yang sebenarnya itu bahwa 9 Maret 1903," kata Indra saat jumpa pers di Jakarta Barat, Rabu (14/8/2024).


Indra menuturkan WR Soepratman lahir di Jatinegara, Jakarta, bukan di Purworejo, Jawa Tengah. Dia menuturkan kakak pertama WR Soepratman bernama Roekiyem Soepratijah, yang menjadi saksi dan melihat langsung saat adiknya lahir.


"Dan tempat lahirnya itu ada di Jakarta, banyak masih yang menuliskan bahwa tempat lahirnya itu bukan di Jakarta, tapi ada yang disebut di Purworejo. Kami bisa menyampaikan bahwa tanggal lahirnya adalah 9 Maret 1903 di Jatinegara pada saat itu. Berdasarkan pengakuan langsung dari Ibu Roekiyem itu adalah kakak kandung pertama dari WR Soepratman yang menyaksikan kelahiran WR Soepratman di Jatinegara," ujarnya.


Status Pernikahan WR Soepratman

WR Soepratman merupakan anak ke-7 dari sembilan bersaudara. Indra menuturkan WR Soepratman juga tidak memiliki keturunan kadung karena tidak menikah.


"Status menikah dinyatakan kalau Ibu Roekiyem menyampaikan kepada kami melalui amanahnya bahwa WR Soepratman itu tidak menikah. Buat kami, itu sudah tidak memiliki keturunan, tidak memiliki cicit (kandung) atau tidak memiliki apa pun," jelasnya.


Agama WR Soepratman

Indra mengungkapkan WR Soepratman merupakan seorang muslim. WR Soepratman meninggal pada 17 Agustus 1938 dan dimakamkan secara Islam.


"Status agama beliau WR Soepratman itu muslim hingga meninggalnya dan dikuburkan secara muslim, karena Ibu Roekiyem pada saat itu turut hadir dan memakamkan adiknya. Kami dari pihak keluarga menyampaikan kalau sudah final, tanggal lahir, tempat lahir, dan tanggal meninggal, bahkan statusnya. Mungkin ke depan tidak ada lagi yang menuliskan selain dari apa yang diberikan kesaksian oleh kakak tertuanya," jelasnya.


Roekiyem memiliki peran penting dalam perjalanan hidup dan karier dari WR Soepratman. Setelah orang tua mereka meninggal pada 1914, WR Soepratman tinggal bersama Roekiyem dan suaminya di Makassar, Sulawesi Selatan. Saat itu WR Soepratman masih berusia 11 tahun dan duduk di bangku sekolah dasar (SD).


Ayah Indra bernama Anthony C Hutabarat juga membuat karya literasi dalam bentuk buku yang berisi mengenai sejarah dan biografi dari WR Soepratman berjudul 'Meluruskan Sejarah dan Riwayat Hidup Pencipta Lagu Kebangsaan Republik Indonesia'.


Ibu Indra, yang juga istri dari Anthony bernama Agustiani, menjadi salah satu keluarga yang paling dekat dengan kakak WR Soepratman. Sejak 1970, Agustiani dan suaminya Anthony kerap berkunjung ke kediaman Roekiyem di Jalan Veteran, Jakarta.


Ibu Agustiani merupakan cucu Ngadini Soepratini. Ngadini adalah kakak ke-5 dari WR Soepratman.


Kedekatan keluarga Agustiani dan Anthony membuat Roekiyem memberi amanah kepada keduanya untuk meluruskan sejarah dan riwayat hidup WR Soepratman. Roekiyem meninggal dunia pada 1978.


Penjelasan soal Adanya Nama 'Rudolf'

Kakak Indra bernama Imelda menjelaskan soal adanya 'Rudolf' dalam nama pencipta lagu Kebangsaan Indonesia Raya itu. Dia mengatakan nama tersebut diberikan atas kesepakatan Roekiyem Soepratijah dan Van Eldik agar Wage Rudolf (WR) Soepratman dapat bersekolah di sekolah nonpribumi saat itu.


"Karena pada masa itu hanya sekolah tersebut yang mutu pendidikannya dianggap bagus," kata Imelda.


Sementara itu, penasihat hukum keluarga ahli waris Yayasan Wage Rudolf Soepartman, Ali Yusuf, mengatakan pelurusan sejarah dan biografi WR Soepratman oleh keluarga Anthony dan Agustiani sebagai bentuk penghormatan kepada Pahlawan Nasional.


"Apa yang dilakukan Bapak Antony C Hutabarat dan Ibu Augistiani merupakan penghormatan nyata kepada Pahlawan Nasional. Apa yang dilakukan keduanya patut diapresiasi, karena telah menyelamatkan generasi mudah dari informasi yang menyesatkan tentang pribadi Pahlawan Nasional," kata Ali.


"Jika tidak ada tekat kuat dari beliau, maka sejarah dan riwayat hidup Pahlawan Nasional Wage Rudolf Soepartaman sampai sekarang menjadi tidak jelas. Dengan kegigihan menjalankan amanah, beliau berhasil memperbaiki informasi yang salah dan melengkapi informasi yang kurang tentang sejarah hidup Wage Rudolf Soepartman," imbuhnya.


(dek/lir)

[16/8 11.13] rudysugengp@gmail.com: *Sejarah Peristiwa Rengasdengklok di Rumah Djiauw Kie Siong*


Callan Rahmadyvi Triyunanto - detikEdu

Kamis, 15 Agu 2024 08:30 WIB


Daftar Isi

Peristiwa Rengasdengklok

Rumah Rengasdengklok

Dialog di Rumah Djiaw Kie Siong

Arti Penting Rumah Djiauw Kie Siong & Peristiwa Rengasdengklok

Penghargaan untuk Pemilik Rumah Djiauw Kie Siong

Jakarta - Peristiwa Rengasdengkok bisa jadi tak berujung pada proklamasi Indonesia jika tidak dilakukan di rumah Djiauw Kie Siong. Sang pemilik rumah kelak diberi penghargaan atas kontribusinya.

Bagaimana arti penting rumah Djiaw Kie Siong dan seperti apa sejarah Peristiwa Rengasdengkok di sana?


Peristiwa Rengasdengklok

Para pemuda berpendapat bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia harus segera dilaksanakan oleh kekuatan bangsa sendiri, bukan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk Jepang. Sutan Syahrir, salah satu tokoh pemuda, mencoba mendesak agar Soekarno dan Mohammad Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan.


Pada Rabu, 15 Agustus 1945, sekitar pukul 20.00, para pemuda mengadakan pertemuan di belakang Laboratorium Biologi Pegangsaan Timur 17 (sekarang Universitas Indonesia Kampus Salemba, Jakarta). Mereka berusaha mencapai kesepakatan agar Soekarno dan Hatta menyatakan proklamasi, tetapi upaya pemuda dan Sutan Sjahrir belum berhasil.


Sekitar pukul 22.00, Wikana dan Darwis datang ke rumah Soekarno di Pegangsaan Timur 56 untuk mendesak proklamasi Kemerdekaan segera diaksanakan. Namun, Soekarno tetap berpendapat bahwa Jepang masih berkuasa secara de facto.


Akibat perbedaan pendapat ini, para pemuda meninggalkan kediaman Soekarno pada pukul 24.00. Kemudian berdasarkan hasil rapat larut malam di Jl Cikini 71 Jakarta, para golongan muda sepakat dengan usulan Djohar Nur untuk segera membawa Soekarno dan Hatta dari rumah mereka.


Chaerul Saleh, yang memimpin rapat, menegaskan keputusan tersebut dengan mengatakan, "Kita harus segera membawa Bung Karno dan Bung Hatta dari tangan Jepang dan melaksanakan proklamasi pada 16 Agustus 1945," seperti dikutip dari Nasionalisme Pemuda oleh Seto Galih Pratomo.


Pada dini hari sekitar pukul 03.00 WIB, para pemuda melaksanakan rencana mereka. Singgih meminta Soekarno bergabung dengan mereka.


Soekarno setuju, meminta agar Fatmawati, Guntur (yang saat itu berusia sekitar delapan bulan), serta Hatta ikut serta. Menjelang subuh (sekitar pukul 04.00 WIB) pada 16 Agustus 1945, mereka menuju Rengasdengklok.


Di hari yang sama, seharusnya diadakan pertemuan PPKI di Jakart. Soekarno dan Hatta yang dibawa ke Rengasdenglok praktis tidak hadir. Ahmad Soebardjo segera mencari kedua tokoh tersebut. Setelah bertemu dengan Yusuf Kunto dan Wikana, terjadi kesepakatan. Ahmad Soebardjo diantar ke Rengasdengklok oleh Yusuf Kunto.


Museum Sejarah Rengasdengklok di Karawang, Jawa Barat yang merupakan rumah Djiauw Kie Siong. Foto: Pradita Utama

Rumah yang mereka tuju terletak di Dusun Kalijaga, RT 1/RW 04, Nomor 1533, Desa Rengasdengklok Utara, Kabupaten Karawang, Jawa Barat.


Rumah di tepi Sungai Citarum itu berdiri diri atas tanah 10 x 30 meter persegi, dengan ata penting, tanpa dinding beranda depan, dinding rumah campuran papan dan bambu, serta lantai ubin rumah yang merah terkelupas dan tak rata, seperti dikutip dari Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia oleh Sam Setyautama dan Suma Mihardja


Rumah Djiauw Kie Siong itu dianggap aman dari pengawasan Jepang. Namun, bukan berarti mereka yang dalam perjalanan ke sana pasti aman dari pantauan Jepang.


Jika ketahuan, Djiauw Kie Siong si pemilik rumah juga berisiko jadi target tentara Jepang. Risiko ini yang diambilnya maupun para pemuda. Harapannya, mereka dapat mengamankan Soekarno dan Hatta untuk memberikan tekanan tanpa menyakiti, sehingga memungkinkan diskusi yang lebih bebas dan menyegerakan proklamasi.


Chaerul saleh, Wikana, Achmad Soebardjo, Sidik Kertapati, dan rekan-rekan membawa Soekarno dan Hatta ke rumah itu. Golongan pemuda berharap Soekarno dan Hatta akan bersedia menyatakan Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 16 Agustus 1945. Namun, Soekarno tetap pada pendiriannya untuk melaksanakan proklamasi kemerdekaan RI.


Ahmad Soebardjo memberikan jaminan kepada para pemuda bahwa proklamasi akan dilaksanakan tanggal 17 Agustus sebelum pukul 12.00. Akhirnya, Shodanco Subeno mewakili para pemuda melepas Soekarno, Hatta, dan rombongan kembali ke Jakarta; menandai berakhirnya Peristiwa Rengasdengklok.


Dialog di Rumah Djiaw Kie Siong

Dalam dialog di Rengasdengklok, Soekarno dan Hatta tetap tidak mau memenuhi tuntutan para pemuda. Mereka tetap berpegang teguh pada rencana dan perhitungan yang telah mereka tetapkan.


Seorang wakil pemuda dengan semangat berapi-api berkata, "Revolusi berada di tangan kami, dan sekarang kami memerintahkan."


"Kalau Soekarno tidak mulai revolusi malam ini, lalu...."


"Lalu apa?" teriak Soekarno, berdiri dari kursinya dengan kemarahan yang menyala-nyala.


Semua yang hadir terkejut, dan suasana menjadi hening. Setelah suasana tenang kembali dan Soekarno duduk, ia melanjutkan dengan suara lebih rendah.


"Angka 17 adalah angka keramat. 17 adalah angka suci. Kita berada di bulan Ramadhan, saat puasa. Ini berarti saat yang paling suci bagi kita. Hari Jumat itu adalah Jumat Legi, yaitu Jumat yang berbahagia, dan hari Jumat tersebut jatuh pada tanggal 17," ucapnya.


Arti Penting Rumah Djiauw Kie Siong & Peristiwa Rengasdengklok

Dikutip dari makalah Rumah Sejarah Djiauw Kie Siong: Tonggak Sejarah Proklamasi Kemerdekaan, Jurnal Ilmiah Karawang (JIKa) oleh Tyas Nurmaya Dewi dan rekan-rekan, rumah Djiauw Kie Siong kini terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan Nomor 33, Rengasdengklok Utara, Kecamatan Rengasdengklok, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat.


Rumah ini pertama kali dibangun oleh Djiauw Kie Siong pada tahun 1920. Dalam Peristiwa Rengasdengklok, rumah Djiauw Kie Siong menjadi titik lokasi aksi pengamanan yang dilakukan oleh golongan pemuda.


Rengasdengklok sendiri dipilih karena lokasinya yang strategis: dekat dengan Jakarta, tetapi akses jalannya sulit dijangkau oleh pengawasan Jepang. Awalnya, golongan muda membawa Soekarno dan Hatta ke markas Pembela Tanah Air (PETA) Karawang, tetapi tempat tersebut dianggap tidak aman. Akhirnya, mereka menemukan rumah Djiauw Kie Siong, yang terletak di pinggir sungai dan lebih sulit dijangkau oleh Jepang.


Selanjutnya, golongan tua yang terdiri dari Ahmad Soebardjo, Yusuf Kunto, dan Sudiro menjemput Soekarno dan Hatta dari Rengasdengklok dan kembali ke Jakarta pada tengah malam. Keesokan harinya, pada 17 Agustus 1945, proklamasi kemerdekaan diumumkan di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta.


Penghargaan untuk Pemilik Rumah Djiauw Kie Siong


Djiauw Kie Siong meninggal pada 1964. Foto: Pradita Utama

Djiauw Kie Siong merupakan seorang petani keturunan China di antara dua bersaudara yang juga tergabung dalam tentara PETA. Ia lahir di Pisangsambo, Tirtajaya, Karawang, Jawa Barat, pada 1880 dan wafat pada tahun 1964.


Sekitar tiga tahun sebelum berpulang, Djiauw Kie Siong mendapat tanda penghargaan atas kesempatan keamanan selama peristiwa tersebut dari Panglima Daerah Siliwangi, Ibrahim Adjie pada 23 Agustus 1961. Penghargaan bernomor 03/TP/DK/61 itu bertulis "Rumah ini dipergunakan oleh Paduka Yang Mulia Presiden Republik Indonesia."


Pada 1961, barang-barang di rumah tersebut yang digunakan Soekarno dan Hatta rumah Djiauw Kie Siong dibawa pemerintah ke Museum Siliwangi, Bandung. Alhasil, meja segi empat untuk berunding, ranjang, dan empat bangku di Peristiwa Rengasdengklok di rumah ini kini adalah replikanya saja.


(twu/twu)

[16/8 11.25] rudysugengp@gmail.com: *Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Jam Berapa? Ini Sejarah-Teksnya*



Ulvia Nur Azizah - detikJogja

Jumat, 16 Agu 2024 08:56 WIB

Ilustrasi momen proklamasi kemerdekaan RI Foto: Istimewa


Daftar Isi

Sejarah Detik-detik Proklamasi Indonesia

Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Susunan Upacara Bendera 17 Agustus

Jogja - Momen proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah tonggak sejarah yang tak terlupakan. Tanggal 17 Agustus 1945 menjadi hari yang paling bersejarah bagi bangsa Indonesia, di mana ikrar kemerdekaan dikumandangkan oleh para pahlawan. Namun, di balik peristiwa monumental ini, terdapat banyak detail menarik yang sering kali luput dari perhatian publik, banyak orang yang masih belum memahami detik-detik proklamasi kemerdekaan Indonesia jam berapa?

Waktu pelaksanaan proklamasi menjadi salah satu aspek penting dalam memahami kronologi peristiwa bersejarah ini. Selain itu, mengetahui waktu tersebut juga dapat membantu kita untuk lebih menghargai perjuangan para pahlawan yang telah merebut kemerdekaan.


Ingin tahu detik-detik proklamasi kemerdekaan Indonesia jam berapa? Mari simak penjelasan yang dirangkum dari buku Sejarah Indonesia dari Proklamasi sampai Pemilu 2009 oleh A Kardiyat Wiharyanto dan laman resmi Menteri Sekretariat Negara Republik Indonesia berikut ini!


Sejarah Detik-detik Proklamasi Indonesia

Pada pagi hari Jumat, 17 Agustus 1945, fajar mulai menyingsing di Jakarta. Para pemimpin bangsa dan pemuda keluar dari rumah Laksamana Maeda setelah menyusun teks Proklamasi semalaman. Mereka menuju rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur No. 56. Persiapan upacara proklamasi dimulai sekitar pukul 05.00 pagi dengan mempersiapkan mikrofon, pengeras suara, dan tiang bendera.


Menjelang pelaksanaan proklamasi, suasana di depan rumah Soekarno semakin tegang. Soekarno, yang dalam keadaan kurang sehat, dan Mohammad Hatta menyiapkan diri untuk upacara. Proklamasi Kemerdekaan dijadwalkan berlangsung pukul 10.00 pagi. Masyarakat sudah mulai berkumpul, menunggu dengan penuh harapan.


Ketika waktu mendekati pukul 10.00, Soekarno mengucapkan pidato singkat sebelum membacakan teks Proklamasi. Ia mengungkapkan perjuangan panjang bangsa Indonesia dan menyerukan kemerdekaan. Teks Proklamasi dibacakan dengan suara mantap di hadapan massa dan para undangan.


Setelah pembacaan teks Proklamasi, bendera Merah Putih dinaikkan. Latief Hendraningrat dan Suhud bertugas mengibarkan bendera, sementara hadirin spontan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Acara berlangsung sederhana namun penuh khidmat.


Proklamasi yang dibacakan pada pukul 10.00 pagi itu menandai lahirnya Republik Indonesia. Meski sederhana, peristiwa ini mengubah sejarah bangsa dan menjadi simbol kemerdekaan yang abadi. Semangat kemerdekaan terus disebarluaskan ke seluruh penjuru negeri dan dunia.


Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Dikutip dari laman resmi Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia, berikut ini adalah teks proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dibacakan Ir Soekarno pada 17 Agustus 1945:


PROKLAMASI


Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.


Jakarta , 17 Agustus 1945.

Atas nama bangsa Indonesia

Soekarno/Hatta


Susunan Upacara Bendera 17 Agustus

Sesuai dengan Pedoman Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 2024 yang diterbitkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, berikut ini adalah susunan upacara bendera 17 Agustus yang disarankan.


1. Pemimpin upacara memasuki lapangan upacara

2. Pembina upacara tiba di tempat upacara

3. Penghormatan kepada pembina upacara

4. Laporan pemimpin upacara

5. Pengibaran bendera Merah Putih diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya oleh korsik/paduan suara

6. Mengheningkan cipta dipimpin oleh pembina upacara

7. Pembacaan naskah Pancasila diikuti oleh seluruh peserta upacara

8. Pembacaan naskah Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945

9. Pembacaan Keputusan Presiden RI tentang Penganugerahan Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dan pemberian piagam kepada penerima Satyalancana Karya Satya (jika ada)

10. Amanat pembina upacara

11. Pembacaan doa (Sebelum pembacaan doa, diharapkan agar petugas pembaca doa menjelaskan bahwa doa upacara dibacakan secara agama Islam, dan mempersilakan kepada peserta upacara yang tidak beragama Islam untuk berdoa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.)

12. Laporan pemimpin upacara

13. Penghormatan kepada pembina upacara

14. Pembina upacara meninggalkan mimbar upacara

15. Upacara selesai, barisan dibubarkan.



(par/cln)

[16/8 15.03] rudysugengp@gmail.com: *10 Pahlawan Kemerdekaan RI yang Tak Banyak Diketahui, Tapi Berjasa Besar untuk Negara!*


Natasha Riyandani | Beautynesia

Jumat, 16 Aug 2024 08:00 WIB


Seperti yang kita ketahui, kemerdekaan Indonesia tidak diperoleh secara mudah. Namun, dibutuhkan pengorbanan dan perjuangan luar biasa para tokoh bangsa yang pada akhirnya berhasil mengusir para penjajah dari Indonesia.


Di bulan Agustus ini, setiap tanggal 17 Agustus, masyarakat Indonesia kembali memperingati Hari Kemerdekaan RI. Namun dibalik peringatan tahunan ini, ada beberapa pahlawan Indonesia yang sangat berjasa untuk negeri ini, namun namanya kurang dikenal.


Lantas, siapa sajakah pahlawan Kemerdekaan Indonesia yang tak banyak diketahui tersebut? Biar nggak penasaran, simak informasi lengkapnya di bawah ini. Simak!


1. Tan Malaka


Tan Malaka merupakan seorang guru lulusan Belanda yang mendedikasikan dirinya untuk mendidik anak-anak di Semarang. Tujuannya untuk mencerdaskan rakyat Indonesia ternyata tidak disukai oleh Belanda. Karena hal tersebut, ia pun diasingkan oleh Belanda pada tahun 1922.


Saat diasingkan, Tan Malaka tidak berhenti berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Namun, pada tahun 1949, akibat perpecahan yang terjadi antara sesama pejuang kemerdekaan setelah Indonesia merdeka, Tan Malaka ditangkap dan dieksekusi oleh tentara Militer Divisi 1 Jawa Timur.


Pada 1963, Tan Malaka secara resmi diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional.


2. Malahayati


Perempuan hebat dan pemberani ini merupakan cucu dari putra pendiri Kerajaan Aceh Darussalam, yaitu Sultan Ibrahim Ali Mughyat Syah. Pada tahun 1585-1604, Malahayati menjadi Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV.


Setelahnya, pada tahun 1599, Malahayati memimpin sebanyak 2000 pasukan Inong Balee (janda-janda yang ditinggal mati suaminya) untuk berperang melawan Belanda. Ia juga membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal.


Berkat keberaniannya, Malahayati mendapat gelar Laksamana. Selain itu, atas jasa-jasanya tersebut, pada tahun 2017 lalu, Presiden Joko Widodo menganugerahi Gelar Pahlawan Nasional untuk dirinya.


3. Nyi Ageng Serang


Beauties pastinya sudah tak asing dengan Ki Hadjar Dewantara, pahlawan pendidikan Indonesia. Namun, bukan hanya dirinya saja yang berjasa untuk negeri ini, melainkan ada pula sosok neneknya, Nyi Ageng Serang yang turut andil dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.


Di usianya yang sudah tidak lagi muda, Nyi Ageng Serang ternyata ikut berperang melawan Belanda, bersama dengan Pangeran Diponegoro.


Selain membantu peperangan, ia juga menjadi penasihat perang. Berkat jasanya tersebut, pemerintah Indonesia menganugerahi gelar Pahlawan Nasional untuk dirinya.


4. Sam Ratulangi


Memiliki nama lengkap Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi atau yang dikenal dengan Sam Ratulangi merupakan Gubernur pertama Sulawesi.


Ia merupakan lulusan Universitas Zurich, Swiss yang berhasil menjabat sebagai guru di masanya. Sebagai seorang guru, Sam berjuang dengan keras untuk menaikkan taraf kehidupan masyarakat Minahasa.


Salah satu jasa besarnya adalah menghapus kerja paksa (rodi) dan mendirikan yayasan dana belajar. Selain memperjuangkan kesetaraan hidup masyarakat, ia juga aktif melawan penjajahan Belanda dan Jepang pada masanya.


Demi mempertahankan Republik Indonesia, Sam Ratulangi membentuk Pusat Keselamatan Rakyat untuk memperjuangkan kemerdekaan.


5. Silas Papare


Jarang diketahui jasa besarnya untuk negeri ini, Silas Papare merupakan sosok pahlawan yang berhasil menyatukan Irian Jaya ke dalam wialayah Indonesia.


Selama perjuangannya, ia seringkali di penjara karena terus memberontak kepada Belanda. Saat di penjara, Silas bertemu dengan Sam Ratulangi yang juga sedang diasingkan oleh pihak Belanda.


Silas Papare juga dikenal sangat aktif dalam Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB). Bahkan, ia berani meminta Presiden Soekarno menjadi delegasi Indonesia di New York Agreement yang mengakhiri konflik antara Belanda dengan Indonesia perihal India Barat.


Berkat jasanya itu, namanya diabadikan pada salah satu Kapal Perang Korvet kelas Parchim TNI AL KRI Silas Papare dengan nomor lambung 286.


6. Frans Kaisiepo


Beauties merasa asing dengan sosok Frans Kaisiepo? Duh, seharusnya udah nggak lagi, ya, karena ilustrasi wajahnya kini di kenang dalam lembaran uang sepuluh ribu rupiah, lho!


Yup, Frans Kaisiepo merupakan salah satu pahlawan yang berjuang mempertahankan persatuan dan kesatuan Indonesia.


Berawal dari mengikuti kursus Pamong Praja di Jayapura, Frans diajar dan dilatih oleh Soegoro Atmoprasodjo, yang merupakan mantan guru Taman Siswa. Sejak pertemuan itu, jiwa kebangsaan pria kelahiran Biak, Papua ini semakin tumbuh dan kian bersemangat untuk memperjuangkan persatuan wilayah Irian ke dalam NKRI.


Setelah berhasil melawan penjajah, Frans Kaisiepo menjabat sebagai Gubernur di Irian Barat hingga tahun 1973.



7. Maria Walanda Maramis


Maria Walanda Maramis yang lahir di Minahasa Utara ini termasuk salah satu pahlawan emansipasi wanita. Maria dianggap sebagai sosok pendobrak adat dan pejuang wanita di dunia politik dan pendidikan.


Ia berjasa dalam pengembangan keadaan perempuan di awal abad ke-20. Bersama temannya, Maria pernah mendirikan organisasi PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Turunanannya).


Berkat jasanya dalam memajukan kaum perempuan, khususnya di Minahasa, Pemerintah Indonesia menganugerahi Maria Walanda Maramis gelar Pahlawan Pergerakan Nasional.


8. Ki Bagus Hadikoesoemo


Ki Bagus Hadikoesoemo merupakan tokoh keagamaan Muhammadiyah yang aktif dalam berbagai organisasi. Berkat keaktifannya itu, ia memiliki banyak pengetahuan berorganisasi dan keagamaan yang sangat baik.


Berkat ilmu yang dimilikinya itu, ia akhirnya diangkat sebagai wakit ketua PP Muhammadiyah menggantikan Mas Mansoer.


9. Johannes Leimena


Pada 1951, Johannes Leimena merupakan seorang dokter yang mendirikan Bandung Plan. Kemudian, pada tahun 1954, ditingkatkan menjadi Leimana Plan. Karyanya inilah yang menjadi cikal bakal PUSKESMAS.


Leimena juga termasuk salah satu tokoh yang mempersiapkan Kongres Sumpah Pemuda. Sejak saat itu, perhatiannya terhadap pergerakan kemerdekaan Indonesia semakin berkembang.


Selain itu, Leimena menjadi Menteri Kesehatan terlama sepanjang 21 tahun dalam 18 kabinet yang berbeda. Atas jasanya tersebut, Dr. Johannes Leimena mendapat gelar Pahlawan Nasional.


10. Martha Christina Tiahahu


Martha Christina Tiahahu merupakan salah satu pahlawan perempuan yang ikut mengangkat bambu runcing dan terlibat dalam perang Indonesia. Ia diketahui terlibat dalam perang Pattimura yang berlangsung pada tahun 1817.


Perempuan yang lahir di Nusa Laut, Maluku ini memang dikenal sebagai gadis yang pemberani, tangguh, dan berani mengambil risiko besar. Berkat keberanian dan perjuangannya untuk kemerdekaan Indonesia, masyarakat Ambon membuat monumen sebagai simbol penghargaan untuk Martha.


***

[17/8 01.24] rudysugengp@gmail.com: *Nasib Laksamana Maeda Usai Rumahnya Jadi Markas Perumusan Teks Proklamasi*


Nikita Rosa - detikEdu

Jumat, 16 Agu 2024 21:00 WIB


Jakarta - Nama Laksamana Maeda tentu tak asing dalam sejarah Indonesia. Sosoknya berperan penting dalam kemerdekaan bangsa ini, meski dengan segala risiko yang ia hadapi setelahnya.

Maeda merupakan Kepala Penghubung Angkatan Laut dan Angkatan Darat Tentara Kekaisaran Jepang. Selama menjabat, ia mendapat fasilitas sebagai seorang pejabat tinggi kekaisaran Jepang, salah satunya rumah dinas di Jl Imam Bonjol, Jakarta Pusat.


Meski merupakan tentara Jepang, Laksamana Maeda rela meminjamkan rumahnya sebagai 'markas' perumusan naskah kemerdekaan Indonesia. Pada 16 Agustus, tuan rumah menjelaskan permasalahan dan informasi yang sebenarnya terjadi. Maeda lalu mempersilakan Sukarno, Muhammad Hatta, dan Achmad Soebardjo menemui Gunseikan (Kepala Pemerintah Militer) Jenderal Moichiro Yamamoto untuk membahas upaya tindak lanjut yang akan dilakukan.


Namun, setibanya di Markas Gunseikan di kawasan Gambir, Jenderal Nishimura yang mewakili Gunseikan melarang segala bentuk upaya perubahan situasi yang dilakukan. Mereka diharuskan menunggu Sekutu datang terlebih dahulu.


Ketiga tokoh bersepakat bahwa Jepang tidak dapat diharapkan lagi dan kemerdekaan harus segera dirancang secepatnya. Anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang menginap di Hotel Des Indes segera dikawal oleh Sukarni dan kawan-kawan menuju rumah Maeda.


"Sebagai Perwira Angkatan Laut Jepang tentu tidak diizinkan karena titah Kaisar Hirohito, Indonesia tidak bisa merdeka. Namun secara pribadi, beliau menyanggupi rumahnya sebagai perumusan naskah proklamasi," jelas Jaka Perbawa selaku Kurator Museum Perumusan Naskah Proklamasi kepada wartawan di Museum Perumusan Naskah Proklamasi di Jalan Imam Bonjol No.1, Menteng, Jakarta, Jumat (16/8/2024).


Berkat izin dari Maeda, rumahnya menjadi tempat bagi para pejuang dalam merumuskan naskah proklamasi. Genap 6 jam waktu bergulir, naskah proklamasi siap dikumandangkan pada Jumat, 17 Agustus 1945 pukul 10.00 WIB di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56.


*Nasib Maeda Usai Izinkan Rumahnya Jadi Tempat Penyusunan Teks Proklamasi*


Nasib Maeda tidak berjalan mulus. Setelah berita kemerdekaan Indonesia, Maeda menjadi incaran para tentara sekutu.


"Beliau diincar oleh tentara sekutu, diinterogasi oleh tentara Inggris karena menjadi penyebab lahirnya bangsa Indonesia," tutur Jaka.


Setelah pulang ke Jepang, Maeda masih belum bisa menghirup nafas lega. Ia dipanggil menghadap Mahkamah Militer Jepang.


"Hingga akhirnya mundur dari Angkatan Laut menjadi warga biasa," jelasnya.


*Dapat Gelar Setara Pahlawan Nasional dari Indonesia*


Meski sempat menjadi incaran hingga disidang negaranya sendiri, Maeda mendapat apresiasi tinggi dari Indonesia. Pada tahun 1974, Maeda diundang oleh pemerintah RI untuk menerima Bintang Nararya. Penghargaan tersebut merupakan penghargaan yang setara dengan pahlawan nasional.


"Karena Maeda orang Jepang tentu tidak bisa menjadi pahlawan. Tapi sebagai warga kehormatan Indonesia untuk menyiapkan rumahnya sebagai perumusan naskah proklamasi," ujar Jaka.


Laksamana Maeda menutup usia pada 1977. Rumahnya kemudian diresmikan sebagai Museum Perumusan Naskah Proklamasi pada 24 November 1992.


(nir/nwk)

[17/8 15.53] rudysugengp@gmail.com: *Selama Ini Salah, Indonesia Tidak Dijajah 350 Tahun oleh Belanda*


MFakhriansyah, CNBC Indonesia

17 August 2024 08:30


Jakarta, CNBC Indonesia - Selama ini kita dipaksa mempercayai narasi Indonesia dijajah 3,5 abad atau 350 tahun oleh Belanda. Pemaksaan ini kemudian menghasilkan memori bawah sadar masyarakat Indonesia kalau benar Indonesia dijajah selama itu oleh negeri kincir angin.

Beruntung pada 1968 ada seorang ahli hukum bernama Gertrudes Johannes Resink yang sukses mematahkan mitos tersebut. Resink memaparkannya dalam karya Indonesia's History Between the Myths: Essays in Legal History and Historical Theory (1968). Hasilnya menyimpulkan bahwa Indonesia tidak dijajah 350 tahun oleh Belanda.


Bagaimana bisa?

Selama ini narasi 350 tahun penjajahan diperoleh dari awal mula kedatangan orang Belanda pertama kali ke Indonesia pada 1596 sampai kemerdekaan tahun 1945.


Namun, hal yang harus dicermati: apakah kedatangan orang Belanda pertama kali bertujuan untuk menjajah? Sejarah mencatat mereka datang untuk berdagang, sekalipun dari perdagangan proses kolonialisme tercipta.


Lalu: jika terjadi penjajahan, apa iya pemerintah kolonial Belanda menguasai wilayah Indonesia dalam satu waktu bersamaan? Tentu tidak. Pemerintah kolonial Belanda sendiri baru terbentuk pada 1800, setelah VOC bangkrut.


Kedua pertanyaan itu lantas mendorong Resink melakukan riset.


Dia membedah dokumen-dokumen hukum dan surat perjanjian milik kerajaan-kerajaan. Selama proses pembedahan, dia mengetahui banyak kerajaan dan negara di Indonesia yang belum pernah ditaklukkan Belanda sampai tahun 1900-an.


Pada abad ke-17, misalnya, kerajaan-kerajaan lokal bisa menjalin hubungan diplomatik dengan bangsa-bangsa lain tanpa diatur oleh pemerintahan VOC. Lalu, sepanjang 1900-an, masih banyak kerajaan lokal yang belum dijajah Belanda. Seperti, Aceh yang baru dikalahkan pada 1903, Bone pada 1905 dan Klungkung, Bali, pada 1908.


Dari sini, Resink mengambil kesimpulan: Tidak ada satupun wilayah Indonesia yang benar-benar dijajah selama 350 tahun. Jika menarik garis dari pendudukan di Klungkung, Bali, pada 1908 saja, maka Belanda baru menjajah Indonesia 37 tahun.


Kendati kekeliruan terjadi, Belanda tetap saja ngotot menjajah Indonesia selama 350 tahun. Sikap ini sebetulnya ditunjukkan untuk gagah-gagahan.


Pada 1936, misalnya, Gubernur Jenderal de Jonge dengan bangga menyebut sudah menjajah Indonesia selama 300 tahun supaya orang tahu betapa kuatnya Belanda. Padahal, Belanda saja baru bisa menguasai seluruh wilayah pada tahun 1900-an.


Berkat jasanya mematahkan mitos penjajahan, Resink sangat dihormati di Indonesia. Dia pun diberi kewarganegaraan Indonesia oleh Soekarno pada 1950. Sayangnya, sekalipun sudah ada yang mematahkan mitos tersebut, banyak orang terlanjur percaya Indonesia dijajah 350 tahun oleh Belanda.


(mfa/mfa)

Kamis, 15 Agustus 2024

Siliwangi, Kalijaga, Nyi Ageng Serang

 [15/8 03.42] rudysugengp@gmail.com: PRABU SILIWANGI 


Kelahiran: 1401, Kawali

Meninggal: 31 Desember 1521, Pakwan Pajajaran

Anak: Prabu Kian Santang, Nyimas Rara Santang. Pangeran Walangsungsang.

Cucu: Pangeran Cerbon, Nyai Pakungwati, Nyai Rasamalasih, Nyai Lara Sajati, Nyai Laraskonda, lainnya

Kakek-Nenek: Niskala Wastu Kancana

Kakek Buyut: Linggabuana

Orang tua: Dewa Niskala, Umadewi.


 Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi III (bahasa Sunda: ᮞᮢᮤᮘᮓᮥᮌᮙᮠᮛᮏ, translit. Sri Baduga Maharaja atau (bahasa Sunda: ᮕᮨᮻᮘᮥᮞᮤᮜᮤᮝᮍᮤ, translit. Perebu Siliwangi) juga dikenal sebagai Ratu Jayadewata (1401–1521) putra Prabu Dewa Niskala putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana lahir 1401 M di Kawali Ciamis, mengawali pemerintahan zaman Pakuan Pajajaran yang memerintah Kerajaan Sunda Galuh selama 39 tahun (1482–1521). Pada masa inilah Pakuan Pajajaran yang sekarang terletak di Kota Bogor mencapai puncak perkembangannya.


Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima tahta Kerajaan Galuh di Kawali Ciamis dari ayahnya Prabu Dewa Niskala putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana dari Permaisuri Mayangsari putri Prabu Bunisora, yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewataprana. Yang kedua ketika ia menerima tahta Kerajaan Sunda di Pakuan Bogor dari mertua dan uwanya, Prabu Susuktunggal putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana dari Permaisuri Ratna Sarkati putri Resi Susuk Lampung. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Kerajaan Sunda - Kerajaan Galuh dan dinobatkan dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.


Di Tatar Pasundan, Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam Sanghyang Siksa Kandang Karesian sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Niskala Wastu Kancana (kakeknya). Menurut tradisi lama, orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun memopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda.


Nama Siliwangi adalah berasal dari kata "Silih" dan "Wawangi", artinya sebagai pengganti Prabu Wangi. Tentang hal itu, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai silih yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya saja):


Waktu mudanya Sri Baduga atau Prabu Jayadewata terkenal sebagai pengembara ksatria pemberani dan tangkas. Istri pertamanya, Nyai Ambetkasih putri pamannya, Ki Gedeng Sindangkasih putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana dari Kerajaan Surantaka ibu kotanya Desa Kedaton sekarang di Kecamatan Kapetakan Cirebon, penguasa di Pelabuhan Muarajati Cirebon berbatasan langsung dengan Kerajaan Sing Apura. Saat Wafat digantikan menantunya, Prabu Jayadewata. Dalam berbagai hal, orang sezamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi.


Bahkan satu-satunya saat menyamar dengan nama Keukeumbingan Rajasunu yang pernah mengalahkan Ratu Kerajaan Japura Prabu Amuk Murugul putra Prabu Susuktunggal putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana waktu bersaing memperebutkan Subang Larang putri Ki Gedeng Tapa/ Giridewata atau Ki Gedeng Jumajan Jati, penguasa Kerajaan Sing Apura putra Ki Gedeng Kasmaya, Penguasa Cirebon Girang putra Prabu Bunisora (Adik Mahaprabu Niskala Wastu Kancana), (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam) dari Kerajaan Sing Apura berbatasan dengan Kerajaan Surantaka. Dari pernikahannya dengan Permaisuri Subanglarang, prabu Siliwangi diangkat oleh kigedeng tapa jadi Raden pamanah rasa. Dan saat menjadi pasutri lahir lah anak pangeran walangsungsang, nyimas Rara Santang dan prabu kian Santang(Raden kian santang)


Setelah terbuka jati diri Sang Prabu pamanah rasa masih kerabat, lalu diantarkannya menemui ayah Prabu Amuk Murugul, yaitu Prabu Susuktunggal kakak lain Ibu Prabu Dewa Niskala ayahnya Prabu pamanah rasa, di Kerajaan Sunda Bogor sekarang dan dijodohkan dengan Nyai Kentring Manik Mayang Sunda putri Prabu Susuktunggal, yang nanti melahirkan Prabu Sanghyang Surawisesa kelak jadi pengganti Sri Baduga Maharaja di Pakuan Pajajaran dan Sang Surasowan jadi Adipati di Pesisir Banten atau Banten Girang. Sang Surasowan berputra Adipati Arya Surajaya dan putri Nyai Kawung Anten. Nyi Kawung Anten kelak menikah dengan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati dan melahirkan Pangeran Sabakingkin alias Maulana Hasanuddin, pendiri Kesultanan Banten tahun 1552 M.


Prabu pamanah rasa juga menikahi Ratu Istri Rajamantri putri Prabu Gajah Agung putra Prabu Tajimalela atau Prabu Agung Resi Cakrabuana putra Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata putra untuk mendirikan Kerajaan Sumedang larang tahun 900 M. Nama kerajaannya berubah-ubah, Kerajaan Tembong Agung saat Prabu Aji Putih, zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata Insun medal Insun madangan. Artinya Aku dilahirkan, Aku menerangi. Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.[1]


Ratu Pucuk Umun Sumedang keturunan Prabu Gajah Agung menikah dengan Pangeran Pangeran Kusumahdinata atau Pangeran Santri putra Pangeran Pamelekaran atau Pangeran Muhammad, sahabat Sunan Gunung Jati. Ibu Pangeran Santri Ratu Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Dari pernikahan itu lahir Prabu Geusan Ulun yang memerintah Sumedang Larang (1578-1610) M bersamaan dengan berakhirnya Pakuan Pajajaran tahun 1579 M, menerima mahkota emas,namun itu ditolak oleh prabu Siliwangi, tetapi kerajaan Sumedang larang masih boleh menjadi penerus kerajaan Pajajaran.


Kebijakan dalam kehidupan sosial

Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja):


Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibu kota di Jayagiri dan ibu kota di Sunda Sembawa.

Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan "dasa", "calagra", "kapas timbang", dan "pare dongdang".

Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa.


Dengan tegas di sini disebut "dayeuhan" (ibu kota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu "dasa" (pajak tenaga perorangan), "calagra" (pajak tenaga kolektif), "kapas timbang" (kapas 10 pikul) dan "pare dondang" (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, "upeti", "panggeureus reuma".


Dalam koropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa "kapas sapuluh carangka" (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat.


"Pare dondang" disebut "panggeres reuma". Panggeres adalah hasil lebih atau hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan kemudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti "tempat tidur" persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan. Dondang harus selalu digotong. Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut "dondang" (berayun). Dondang pun khusus dipakai untuk membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, "pare dongdang" atau "penggeres reuma" ini lebih bersifat barang antaran.


Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk "dasa" dan "calagra" (Di Majapahit disebut "walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya: menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di "serang ageung" (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi).


Dalam kropak 630 disebutkan "wwang tani bakti di wado" (petani tunduk kepada wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagara. Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut setelah zaman kerajaan. Belanda yang di negaranya tidak mengenal sistem semacam ini memanfaatkanna untuk "rodi". Bentuk dasa diubah menjadi "Heerendiensten" (bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar). Calagara diubah menjadi "Algemeenediensten" (dinas umum) atau "Campongdiesnten" (dinas Kampung) yang menyangkut kepentingan umum, seperti pemeliharaan saluran air, jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis pertama dilakukan tanpa imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan dengan imbalan dan makan. "Preangerstelsel" dan "Cultuurstelsel" yang keduanya berupa sistem tanam paksa memanfaatkan tradisi pajak tenaga ini.


Dalam akhir abad ke-19 bentuknya berubah menjadi "lakon gawe" dan berlaku untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk mereka yang melalaikannya. Dari sinilah orang Sunda mempunyai peribahasa "puraga tamba kadengda" (bekerja sekadar untuk menghindari hukuman atau dendaan). Bentuk dasa pada dasarnya tetap berlangsung. Di desa ada kewajiban "gebagan" yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para pembesar setempat.


Jadi "gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum atas perintah kepala desa", menurut sejarahnya bukanlah gotong royong. Memang tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam bentuk tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut karyabhakti dan sudah dikenal pada masa Tarumanagara dalam abad ke-5.


Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa "piteket" karena langsung merupakan perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga penetapan batas-batas "kabuyutan" di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang dinyatakan sebagai "lurah kwikuan" yang disebut juga desa perdikan, desa bebas pajak.


Ketika memerintah Prabu Siliwangi dikenal sebagai pemimpin yang menganut gaya kepemimpinan Egalitarianisme. Egalitarianisme sendiri memiliki arti sebagai paham yang memegang teguh azas kesetaraan dalam kehidupan sosial. hal tersebut sering digambarkan dalam berbagai literasi menenai Prabu Siliwangi.[1]


Peristiwa-peristiwa pada masa pemerintahannya

Beberapa peristiwa menurut sumber-sumber sejarah:


Carita Parahiyangan

Dalam sumber sejarah ini, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian:


"Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa".

(Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama).

Dari Naskah ini dapat diketahui, bahwa pada saat itu telah banyak Rakyat Pajajaran yang beralih agama (Islam) dengan meninggalkan agama lama.


Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2.

Naskah ini menceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat atau lebih dikenal Sunan Gunung Jati menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. Syarif Hidayat masih cucu Sri Baduga dari Lara Santang. Ia dijadikan raja oleh uanya (Pangeran Cakrabuana) dan menjadi raja merdeka terlepas dari Pajajaran di Tatar Pasundan (Jawa Barat dan Banten).


Ketika itu Sri Baduga baru saja menempati Istana Sang Bhima (sebelumnya di Surawisesa). Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjaga kemungkinan datangnya serangan Pajajaran.


Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan dari Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar. Setelah berunding, akhirnya Jagabaya menyerahkan diri dan masuk Islam.


Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) keraton Ki Purwa Galih. Cirebon adalah daerah warisan Cakrabuana (Walangsungsang) dari mertuanya (Ki Danusela) dan daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang santri Syekh Quro).


Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga (sebelum menjadi Susuhunan) sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Karena Syarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuana dan juga masih cucu Sri Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh penguasa Pajajaran.


Demikianlah situasi yang dihadapi Sri Baduga pada awal masa pemerintahannya. Dapat dimaklumi kenapa ia mencurahkan perhatian kepada pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan dan menyusun Pagelaran (formasi tempur) karena Pajajaran adalah negara yang kuat di darat, tetapi lemah di laut


Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya memiliki enam buah Kapal Jung 150 ton dan beberapa lankaras (?) untuk kepentingan perdagangan antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun).


Keadaan makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkan dengan perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak. Ada empat pasangan yang dijodohkan, yaitu:


1 Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi).

2 Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor.

3 Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun.

4 Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa).

Perkawinan Pangeran Sabrang Lor alias Yunus Abdul Kadir dengan Ratu Ayu terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon.


Persekutuan Cirebon-Demak inilah yang sangat mencemaskan Sri Baduga di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa.

menghubungi Panglima Imperium Portugis Afonso de Albuquerque di Malaka yang ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai milik Kesultanan Samudera Pasai. Sebaliknya upaya Pajajaran ini telah pula meresahkan pihak Demak.


Pangeran Cakrabuana dan Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetap menghormati Sri Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah ketegangan yang melumpuhkan sektor-sektor pemerintahan. Sri Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan Cirebon. Terhadap Islam, ia sendiri tidak

membencinya karena salah seorang permaisurinya, Subanglarang, adalah seorang muslimah dan ketiga anaknya—Walangsungsang alias Cakrabuana, Lara Santang, dan Raja Sangara—diizinkan sejak kecil mengikuti agama ibunya (Islam).


Karena permusuhan tidak berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka masing masing pihak dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya. Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai zaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut mencatat kemajuan zaman Sri Baduga dengan komentar "The Kingdom of Sunda is justly governed; they are honest men" (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur).


Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.


Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf Arab Pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa Gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam zaman Pajajaran.


Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi dalam Prasasti Tembaga Kebantenan disebut Susuhunan di Pakuan Pajajaran, memerintah selama 39 tahun (1482 - 1521). Ia disebut secara anumerta Sang Lumahing (Sang Mokteng) Rancamaya karena ia dipusarakan di Rancamaya.


Sunda Wiwitan

Dalam kepercayaan tradisional Sunda Wiwitan, tokoh Prabu Siliwangi dihormati sebagai gambaran pemimpin ideal masyarakat Sunda. Ia dihormati dan diakui sebagai karuhun atau leluhur para menak atau bangsawan Sunda.


 #jawa #aneh #sunda  #jawakuno #reelsfb,シ #baduyluar #silsilahpajajaran #jawabarat #cirebon #galuh #sejarahsunda #sribadugasiliwangi #siliwangi #prabusiliwangi #sisilahsiliwangi #silsilahsribadugasiliwangi #pajajaran #sejarahpajajaran #sejarahsiliwangi #sejarahnusantara #sejarahprabusiliwangi  #kendedes #radikabahariahmadrafardhan #Radenwijaya #Sundagaluh #kasepuhancirebon #kiansantang #perangbubat #bubat #pertempuranbubat


Kematian Prabu Siliwangi🙏🏻👇🏻👇🏻


https://www.facebook.com/share/p/N4TNdfbg4Lb79X8M/?mibextid=xfxF2i

[15/8 03.51] rudysugengp@gmail.com: (Sinau sejarah leluhur nuswantoro) 

SILSILAH TRAH SUNAN KALIJAGA


Sunan Kalijaga adalah salah satu dari Wali Songo. Beliau adalah salah satu leluhur trah Kraton Mataram Islam.

Disebutkan didalam serat yang tertulis dalam Babad dijelaskan bahwa silsilah Sunan Kalijaga sbb: 


Arya Teja I , Adipati Tuban menurunkan Arya Teja Laku menjadi punggawa di Kraton Majapahit. Arya Teja Laku (Arya Teja II ) menurunkan:

1. Arya Lembu Sura, Bupati Surabaya

2. Dewi Umuni, menikah dengan Prabhu Brawijaya II bergelar Dewi Panurun


Arya Lembu Sura bupati ing Surabaya, menurunkan putra 6: 

1. Arya Nembé punggawa ing Majapahit, 

2. Arya Lembu Sana bupati ing Surabaya, 

3. Arya Kendhi Wiring punggawa  Majapahit, 

4. Retna Panjawi menikah dengan Prabu Brawijaya III, 

5. Arya Sendhi punggawa ing Majapahit, 

6. Dèwi Surati menikah dengan Panji Suralaya.


Arya Nembé punggawa di Kraton Majapahit, menurunkan putra 2: 

1. Arya Tèja III Adipati di Tuban, 

2. Arya Danu punggawa ing Majapahit.


Arya Tèja III Adipati ing Tuban, puputra 6: 

1. Pangèran Ibrahim ing Garesik, 

2. Rara Johar menikah dengan Sunan Majagung , 

3. Rara Manik menikah dengan Syech Maulana Malik Maghribi menurunkan Raden Kidang Tilangkas atau Ki Ageng Tarub II, Ki Ageng Tarub II menurunkan Dewi Nawangsih

4. Rara Nila kasebut nama Nyai Ageng Manila menikah dengan Sunan Ngampèl Denta menurunkan Ratu Panggung ( Permaisuri Raden Patah, Raja Demak Bintoro )

5. Rara Pakaja menikah dengan Raja Pandhita Ngali Murtala ing Garesik, 

6. Tumenggung Wilwatikta ing Jepara, 


Tumenggung Wilwatikta menurunkan putra 3: 1. Perempuan menikah dengan Arya Timus, bupati Jepara, 

2. Raden Sahid bergelar Sunan Kalijaga, 

3. Radèn Wijil.


Sunan Kalijaga memiliki tiga orang istri, yakni Dewi Sarah, Siti Zaenab ( Putri Sunan Gunung Jati ), dan Siti Hafsah ( Putri Sunan Ampel Denta )


Sunan Kalijaga peputra 8: 

Dari Siti Zaenab :

1. Ratu Pembayun, menikah dengan  Sultan Trenggana, Raja Demak Bintoro 

2. Raden Ayu  Panengah menikah dengan Ki Ageng Ngerang III

3. Susuhunan Adi ing Kalijaga, 

4. Pangèran Samudra 

5. Raden Abdurrahman ( naik haji )


Dari Dewi Sarah :

1. Raden Umar Said (Sunan Muria), 

2. Dewi Rukayah, 

3. Dewi Sofiah.


I. Kanjeng Ratu Pembayun menikah dengan Sultan Trenggana menurunkan : 

1. Ratu Mas Cempaka , menjadi Permaisuri Sultan Hadiwijaya Pajang bergelar Ratu Mas Pajang menurunkan Pangeran Benawa. Pangeran Benawa menurunkan Ratu Mas Hadi. Ratu Mas Hadi menikah dengan Panembahan Hadi Hanyokrowati menurunkan Sultan Agung.


2. Pangeran Timur , Panembahan Madiun ,  Bupati I Kadipaten Madiun menurunkan Retno Dumilah. Retno Dumilah menikah dengan Panembahan Senopati menurunkan Panembahan Juminah. Panembahan Juminah menikah dengan Ratu Mas Hadi ( janda Panembahan Hadi Hanyokrowati menurunkan Pangeran Balitar. Pangeran Balitar menurunkan Kanjeng Ratu Mas Balitar. Kanjeng Ratu Mas Balitar menikah dengan Sunan Pakubuwana I menurunkan Sunan Amangkurat IV.

Sunan Amangkurat IV menurunkan :

1. Pangeran Mangkunagara menurunkan KGPAA Mangkunagara I menjadi Pendiri Puro Mangkunagaran.

2. Pangeran Probosuyoso kelak menjadi Raja Kraton Mataram selanjutnya bergelar Susuhunan Pakubuwana II

3. Pangeran Mangkubumi kelak menjadi pendiri Kraton Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I.


II. Raden Ayu Panengah menikah dengan 

Ki Ageng Ngerang III menurunkan :

1. Ki Pendjawi atau Ki Ageng Pati

2. Nyai Ageng Kemiri ing Pati


Ki Ageng Pati atau Ki Pendjawi menikah dengan putri Nyai Ageng Kemiri ing Pati menurunkan:

1. Kangjeng Ratu Waskita Jawi 

2. Adipati Pragola Pati I


Kangjeng Ratu Waskita Jawi menikah dan menjadi Permaisuri Panembahan Senopati, Raja Mataram I. Berputra Panembahan Hadi   Hanyokrowati ( Raja Mataram II )


Adipati Pragola Pati menurunkan :

1. Adipati Pragola Pati II

2. Raden Londoh ( Pangeran Ronggopati )


III. Susuhunan Adi ing Kalijaga peputra 2: 

1. Ratu Mas  Kadilangu, 

2. Sunan Adi Kadilangu, 


Sunan Adi Kadilangu menurunkan Sunan Kadilangu sèda ing Kanitèn, beliau menurunkan :

Panembahan Kadilangu sèda Kepuh, beliau menurunkan :

Panembahan Natapraja ing Kadilangu, beliau menurunkan putra 2: 

1. Perempuan menikah dengan Panembahan Wijil Kadilangu, 

2. Pangèran Natapraja ing Kadilangu.


Putri perempuan yang menikah dengan Panembahan Wijil ing Kadilangu, puputra 2: 

1. Pangèran Wijil sèda ing Kartasura, 

2. Radèn Ayu Danupaya.


Pangèran Wijil sèda ing Kartasura menurunkan putra bernama Pangèran Wijil Inthik-Inthik,

Pangeran Wijil Inthik Inthik menurunkan putra 2: 

1. Pangèran Wijil kaping IV, 

2. Radèn Kusuma.


Pangèran Wijil kaping IV puputra 5: 

1. Pangèran Wijil kaping V, 

2. Tumenggung Mangkupraja ing Demak, 

3. Radèn Ayu Kaji Sumenep, 

4. Radèn Ayu Kertadipa, 

5. Radèn Wirakusuma.


Pangèran Wijil V menurunkan Pangèran Wijil VI,beliau menurunkan putra Pangèran Wijil VII


Sumber data :


1. Diambil dari Petikan Serat Soejarah karya Pujangga Harttati th 1935.


2. Silsilah Sunan Kalijaga yang ditulis oleh KRMAA Sosronagoro Patih Kraton Surakarta yang tertulis dalam naskah yang tersimpan di Perpustakaan Negeri Berlin, Jerman dengan kode Ms. Or. Fol. 3163


3. Lukisan Sunan Kalijaga yang tertempel di Pendopo Astana Kadilangu.


Al-Fatihah kagem Kanjeng Sunan Kalijaga


Semoga bisa menambah wawasan pengetahuan sejarah untuk semua🙏

[15/8 15.13] rudysugengp@gmail.com: PEJUANG WANITA NYAI AGENG SERANG

(Tanah jawa hebat punya panglima perang

Seorang perempuang)


Panglima Perang Diponegoro, Nyi Ageng Serang, Raden Ayu Serang atau Nyai Ageng Serang (1752–1828) , Wafat sebelum perang Jawa Usai di tahun 1828. Salah satu diantara para bangsawan yg mendukung Pangeran Diponegoro.Strategi Brilianya adalah menggunakan Daun Talas  yaitu menutupi kepala prajuritnya dengan daun tersebut, jadi dari jauh terlihat seperti kebun. Memimpin sebagai Panglima perang Diponegoro pada usia 73 tahun, Wafat usia 76 Tahun.Pasukanya berperang di daerah Purwodadi, Semarang, Demak, Kudus, Yowono dan Rembang.


Santri harus bangga dan punya peran penting dalam perjuangan negara seperti beliau

Perempuan yang punya karya luar biasa..

Rabu, 14 Agustus 2024

Destinasi Wisata di Kampung Peneleh

 *7 Destinasi Wisata di Kampung Peneleh Surabaya yang Wajib Dikunjungi*

                                                              Fasrinisyah Suryaningtyas


Warga Surabaya dan sekitarnya pasti tidak asing lagi dengan Kampung Peneleh. Tempat ini dikenal sebagai "kampung pejuang" dan memiliki banyak tempat bersejarah. Bung Karno, Bapak Proklamator sekaligus presiden pertama Republik Indonesia, lahir di kampung ini. Soekarno juga menimba ilmu dan tinggal di rumah H.O.S Tjokroaminoto yang berlokasi tak jauh dari rumah kelahirannya.


Kampung Peneleh pun sering dikunjungi wisatawan lokal maupun internasional untuk napak tilas perjuangan Bung Karno. Selain itu, terdapat pula beberapa tempat bersejarah di Kampung Peneleh yang tidak boleh dilewatkan begitu saja ketika berkunjung ke Surabaya. Di mana saja itu? Simak ulasannya di bawah ini, yuk!


1. Masjid Jami Peneleh Destinasi bersejarah di Kampung Peneleh yang pertama adalah Masjid Jami Peneleh. Menurut informasi yang tertera di bagian samping masjid, bangunan ini dibangun oleh Raden Rahmat atau yang lebih populer disebut Sunan Ampel pada tahun 1421 Masehi.Sekilas, Masjid Jami Peneleh ini mirip seperti masjid pada umumnya yang dikelilingi pemukiman warga dan digunakan untuk ibadah sehari-hari. Hal yang membuat masjid ini istimewa adalah nilai sejarahnya. Pada masa penjajahan Belanda, para pejuang menggunakan masjid ini sebagai tempat ibadah sekaligus menyusun strategi atau pergerakan melawan penjajah.Hal unik lain dari Masjid Peneleh adalah arsitekturnya unik. Di bagian langit-langitnya, ada tulisan nama empat khalifah sekaligus sahabat Nabi Muhammad SAW. Masjid juga dikelilingi 25 ventilasi dan lima daun jendela yang bertuliskan nama 25 nabi dan rasul dalam aksara Arab.Alamat: Jalan Peneleh V Nomor 41, Peneleh, Kecamatan Genteng, Surabaya.Jam operasional: 24 jam.Harga tiket masuk: gratis.

                                          

2. Museum H.O.S Tjokroaminoto. Potret Museum H.O.S Tjokroaminoto di Kampung Peneleh, Surabaya (IDN Times/Fasrinisyah Suryaningtyas)H.O.S (Hadji Oemar Said) Tjokroaminoto merupakan salah satu Pahlawan Nasional yang memiliki banyak kontribusi dalam perjuangan kemerdekaan. Ia pun dijuluki sebagai Guru Bangsa, karena banyak tokoh-tokoh politik dan pergerakan kemerdekaan yang berguru sekaligus "ngekos" di rumahnya. Di antaranya seperti Soekarno, Kartosoewirjo, Musso, hingga Tan Malaka.Rumah H.O.S Tjokroaminoto kini beralih fungsi menjadi museum. Di dalamnya terdapat foto sekaligus tulisan tentang perjuangannya saat bergabung dengan Sarekat Dagang Islam yang kemudian menjadi Sarekat Islam, serta pemikirannya yang sangat visioner. Alamat: Jalan Peneleh Gang VII Nomor 29-31, Peneleh, Kecamatan Genteng, Surabaya.Jam operasional: setiap hari Selasa-Minggu pukul 08.00-15.00 WIB.Harga tiket masuk: Rp5.000 per orang.


3. Rumah Lahir Bung Karno.                Potret Rumah Kelahiran Bung Karno di Kampung Peneleh, Surabaya (IDN Times/Fasrinisyah Suryaningtyas)Banyak yang mengira Bung Karno lahir di Blitar, karena lokasi makamnya berada di sana. Sebenarnya, Soekarno lahir di Surabaya, tepatnya di Jalan Pandean Gang IV, Kelurahan Peneleh, pada 6 Juni 2024.Rumah sederhana tersebut disewa ayah Bung Karno, yakni Raden Soekemi Sosrodihardjo, saat dipindahtugaskan dari Singaraja ke Surabaya sebagai guru Sekolah Rakyat Sulung Surabaya pada 1900.Di dalam Rumah Lahir Bung Karno tersebut, ada beberapa tulisan tentang perjuangan Bung Karno, dua ruang tidur, ruang tamu, dan toilet. Pengunjung juga bisa duduk di salah satu ruangannya untuk menyaksikan audiovisual tentang perjalanan hidup Sang Proklamator. Alamat: Jalan Pandean Gang IV Nomor 40, Peneleh, Kecamatan Genteng, Surabaya. Jam operasional: setiap hari Selasa-Minggu pukul 08.00-15.00 WIB.Harga tiket masuk: gratis.


4. Langgar Dukur Kayu. Potret Langgar Dukur Kayu di Kampung Peneleh, Surabaya (IDN Times/Fasrinisyah Suryaningtyas)Langgar Dukur Kayu merupakan tempat ibadah yang dulu pernah digunakan Bung Karno untuk belajar mengaji saat masih kecil. Dalam Bahasa Jawa, langgar berarti musala.Tempat ini dibangun pada Januari 1893. Terdiri dari dua lantai, dindingnya terbuat dari kayu jati yang terlihat masih sangat kokoh hingga saat ini.Bagian luar mimbarnya disusun dari potongan kayu, sehingga menyerupai sisik ikan. Di bagian atap musalanya, terdapat tombak sepanjang dua meter. Ada pula Alquran kuno bersampul kulit hewan dan bertuliskan tangan. Setiap lembarannya diberi logo pemerintah Belanda.                          Alamat: Jalan Lawang Seketeng VI (Gang Ponten), Keluarahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Surabaya.Jam operasional: setiap hari saat waktu salat.Harga tiket masuk: gratis.                                   


5. Sumur Jobong Potret Sumur Jobong di Kampung Peneleh, Surabaya (IDN Times/Fasrinisyah Suryaningtyas)Saat ke Kampung Peneleh, jangan heran kalau kamu menemukan sebuah sumur di tengah jalan atau gang kecil yang dikelilingi rumah warga. Sumur ini ditemukan pada 2018 dalam kondisi tertutup limbah dan tanah.Setelah diteliti Tim Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) dari Trowulan-Jatim, sumur tersebut memiliki fragmen mirip dengan sumur-sumur era Kerajaan Majapahit dan diperkirakan sudah berusia ratusan tahun. Masyakarat setempat menyebutnya sebagai Sumur Jobong. Diperkirakan sumur tersebut dulunya digunakan untuk kebutuhan rumah tangga sehari-hari, ritual keagamaan, dan kebutuhan pertanian dalam skala kecil. Saat ini, sumur ditutup dengan pintu besi dan bisa dibuka untuk wisatawan atas izin pengelola. Alamat: Jalan Pandean Gang I, Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Surabaya.Jam operasional: 24 jam.Harga tiket masuk: gratis.


6. Makam Eropa PenelehPotret Makam Eropa Peneleh di Kampung Peneleh, Surabaya (IDN Times/Fasrinisyah Suryaningtyas)Makam Eropa Peneleh merupakan sebuah kompleks pemakaman seluas 5,5 hektare dan menampung sekitar 15 ribu jenazah orang-orang Eropa, khususnya Belanda. Nama resmi dari makam ini adalah De Begraafplaats Peneleh Soerabaja.Menurut catatan sejarah yang ada di gerbang masuk makam, Makam Peneleh dibuka pada 1 Desember 1847 oleh Dr. W. R. van Hoëvell untuk menggantikan Makam Krembangan yang sudah penuh. Lokasi makam di Peneleh ini dianggap cocok, karena berada di tepi sungai. Pada masa itu, angkutan pemakaman umumnya menggunakan transportasi air dan melalui sungai.Ada banyak beberapa pejabat dan tokoh penting di era Pemerintahan Kolonial Belanda yang dimakamkan di sini. Di antaranya seperti Merkus Pieter (Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-47), Van de Tuuk (ahli linguistik dan bahasa Nusantara), Pierre Jean Baptiste de Perez (Wakil Direktur Mahkamah Agung Hindia Belanda), dan Daniel Francois Willem Pietermaat (Residen Surabaya).Alamat: Jalan Makam Peneleh Nomor 35A, Peneleh, Kecamatan Genteng, Kota SurabayaJam operasional: setiap hari pukul 09.00-17.00 WIB.Harga tiket masuk: gratis.


7. Lodji BesarPotret Lodji Besar di Kampung Peneleh, Surabaya (IDN Times/Fasrinisyah Suryaningtyas)Setelah puas jalan-jalan menjelajahi Kampung Peneleh, kamu bisa istirahat sekaligus ngadem di Lodji Besar. Kafe ini berlokasi tepat di seberang Kampung Eropa Peneleh dan juga tidak jauh dari Sumur Jobong.Bangunan kafe ini rupanya sudah berdiri sejak 1907. Suasana klasik era Belanda langsung terlihat saat memasukinya. Terdapat beragam hiasan dan ornamen jadul, seperti poster iklan, radio kuno, peta Surabaya tahun 1940-an, dan mesin tik. Makanan dan minuman yang disajikan di Lodji Besar ini pun beragam. Mulai dari Mulai dari es kopi susu, cappucino, thai tea, kentang goreng, pastel, lumpia, pisang keju, kulit krispi, ayam gulai, ayam goreng, dan masih banyak lagi lainnya.Alamat: Jalan Makam Peneleh Nomor 46, Peneleh, Kecamatan Genteng, Surabaya.Jam operasional: setiap hari pukul 10.00-24.00 WIB.Harga makanan dan minuman: mulai dari Rp7.000.Nah, itu dia destinasi wisata di Kampung Peneleh yang wajib masuk ke bucket list liburanmu saat ke Surabaya. Kamu bisa wisata sejarah dan mengenang perjuangan para pahlawan di sini. Selamat berlibur, ya!

Selasa, 13 Agustus 2024

I. ILMU PENYELIDIKAN SEJARAH

 I. ILMU PENYELIDIKAN SEJARAH

1). Ilmu sejarah.

Setiap angkatan dari ummat manusia memandang masa lampau dengan caranya sendiri yang khas, Demikian halnya, karena setiap angkatan, pada gilirannya, berusaha menciptakan kembali sebuah gambaran zaman lampau jang dapat difahami olehnya; jelasnya: ia berusaha memahamkan zaman lampau hingga zaman itu dapat menempati kedudukan yang sesuai dengan pandangan hidupnya.

Adapun bangsa itu merupakan kesatuan yang mengatasi dan melebihi perbedaan angkatan masing-masing. Bangsa itu, dalam perbendaharaan nasionalnya, menghubungkan peristiwa yang, angkatan demi angkatan, dialaminya dalam kesatuan yang mencerminkan dan menampakkan gaya, corak dan arah hidup nasionalnya. Karena itu, setiap angkatan dari suatu bangsa, masing-masing harus menyelidiki, apa gerangan dialami, diderita dan diusahakan oleh angkatan dahulu. Bukan pengalaman saja yang penting, karena itu agak passif; yang penting ialah cara bagaimana bangsa itu menyambut dan menjawab tantangan dari alam sekitar, baik yang insani maupun yang mengatasi kekuatan manusia. Ahli sejarah bertugas menetapkan bentuk-bentuk pengalaman suatu bangsa beserta reaksi atasnya, lantas mencari arti kedua hal itu dalam rangkaian sebab-akibat dalam pertumbuhan kebudayaan bangsa itu.

Ilmu sejarah sekedar membatasi sasaran penyelidikan ke-usaha meneropong waktu lampau bagaikan waktu lampau "wie es eigentlich gewesen war" (Ranke). Itulah menjadi maksud pelajaran sejarah yang pertama-tama. Apabila maksud itu dicapai dengan sungguh-sungguh, maka hasil dan manfaat pelajaran sejarah memang besar, dan dengan sendirinya akan memuat ajaran-ajaran dan petunjuk yang berfaedah dan berilham untuk waktu yang akan datang. Mengetahui sejarah adalah syarat untuk turut serta membina sejarah.

Akan tetapi jikalau orang pertama-tama belajar sejarah untuk mencari faedah dan ilham, minatnya sedemikian itu pada lazimnya akan menyebabkan dia menyimpang dari jalan kebenaran objektif. Hal mempelajari zaman lampau, justru untuk menemui disana sumber ilham untuk hari depan, itu pun bukan ilmu sejarah, melainkan pragmatisme sedjarah belaka. (Pragmatisme = paham melihat segala sesuatu melulu dari segi untung-ruginya). Pragmatisme begitu akan mengelabui mata dan mempersempit luasnya pemandangan, sehingga orang tidak melihat apakah yang terjadi sebenarnya dalam zaman yang bukan zamannya sendiri. Seseorang yang hanya berminat akan ajaran-ajaran dari sejarah sukar dapat melepaskan diri dari prasangka, yang membahayakan pengetahuan objektif, apalagi sukar baginya melihat sejarah sebagai kesatuan dan keseluruhan. Sejarah dianggapnya sebagai tempat tertimbunnya teladan dan ajaran-ajaran bagus, yang dilepaskan dari rangka yang khusus dan spesifik. Hilanglah begitu arus kesatuan dan irama sejarah yang menghidupkan kejadian masing-masing dan memberi arti kepada - nya.

2). Tradisi sejarah.

Selain dari faham serba-faedah, pun paham hidup lain serta pandangan dunia pada umumnya, mempengaruhi ahli sejarah dalam usaha membina kembali gambaran zaman lampau. Paham evolusionisme, faham sejarah serba-kembali (cyclisme), industrialisasi mengenai sumber-sumber sejarah, dan lain-lain; semuanya menyebabkan pengarang sejarah memandang zaman dahulu dari sudut tertentu. Pujangga-pujangga dalam keraton Mataram-Islam menjadikan gambaran zaman lampau yang amat berlainan dengan lukisan-lukisan tentang zaman dahulu pada kraton Mataram-Hindu atau pada Prapanca di Majapahit. Karena itu dalam tiap-tiap tulisan tentang sejarah senantiasa terdapat 2 perkara yang harus diperhatikan :

1). peristiwa zaman dahulu yang dikemukakan si pengarang, dan

2). gejala-gejala pandangan dunia yang timbul dalam zaman pengarang sendiri.

"We read history not only for the light that it throws on the past, but also for the light that it throws on the world of the writer. We cannot fully understand an age unless we understand how that age regarded the past, for every age makes his own past, and this recreation of the past one of the elements that go to the making of the future."

(Chr. Dawson: Dynamics of World History, 1957, p.35).

Maka peristiwa zaman dahulu sebagai dicerminkan oleh pandangan zaman kemudian itulah tradisi sejarah namanya. Pusaka rohani suatu bangsa memuat antara lain suatu paham tertentu tentang pengalaman-pengalaman senja dalam zaman yang telah lalu. Itulah merupakan pendapat umum yang berlaku tentang babakan waktu dahulu, tentang tokoh-tokoh negara dan kebahagiaan/kesengsaraan rakyat dalam zaman lalu itu. Tiap-tiap pendapat atau tradisi sebegitu merupakan unsur kebudayaan yang seirama dengan jumlah unsur budaya pada waktu pengarang sejarah. Dalam zaman feodal umpamanya, segala sesuatu dalam zaman lampau akan diteropong dari sudut dan faham feodal. Dalam zaman merdeka, zaman lampau terutama akan dihargai menurut banyak-sedikitnya sumbangan kearah kemerdekaan, sehingga pentingnya peristiwa lain diabaikan saja. Dengan begitu teranglah bahwa tradisi sejarah tidak dapat dibenarkan dihadapan budi kritis ahli sejarah dengan begitu saja. Ahli sejarah bertugas menguraikan berita tentang zaman lampau, dan menyendirikan unsur-unsur faham pengarang, perseorangan atau kolektif, dari kelompokan kejadian yang diberitakan nya. Sesudah penyaringan, baru saja ia dapat menyusun kembali gambaran zaman lampau.

Dalam Indonesia terdapat 4 macam tradisi sejarah : 

a). tradisi sejarah kuno, sebagai termaktub dalam kitab Nagarakertagama, Pararaton dan prasasti-prasasti; 

b), tradisi sejarah zaman tengah, didapat dalam buku-buku sebagai Hikayat Pandji, Usana Bali, Pamancangah, Carita Parahyangan, dan lain-lain; 

c). tradisi sejarah baru: Sejarah Melayu, Silsilah Kutai, Salasilah Raja Pasai, Babad Tanah Jawi, Tarich Bajo dan Bugis, dll.

d), tradisi sejarah kolonial, yang melukiskan gambar sejarah Indonesia dari sudut Eropa-sentris dan bukan nasional.

e), tradisi sejarah nasional itu pun seakan masih harus digubah, karena itulah belum ada. 

Dalam tradisi sebegini, sejarah bangsa Indonesia harus dipandang bukan dari sudut keraton atau dari sudut kaum bangsawan/ksatria saja, bukan pula dari sudut laba- rugi pemerintahan penjajahan, melainkan dari sudut pergulatan bangsa untuk mencapai dan melaksanakan cita kesejahteraan dan kemerdekaan kebudayaan. Tradisi itu tidak harus tumbuh atas tiruan Barat atau lanjutan tradisi lama asli, akan tetapi atas usaha memikirkan kembali kehidupan bangsa atas latar-belakang nasional. Soal bagaimanakah kita membentuk tradisi nasional begitu, pantaslah dijawab dengan semboyan: "kembali ke :

3). Sumber-sumber sejarah.

Ilmu heuristik adalah ilmu bantu sejarah yang menyelidiki sumber sejarah yang aslı, yang "first-hand" secara langsung dengan kritis. Sumber? sejarah yang  pokok ialah kesaksian orang sezaman dan setempat yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri kejadian-kejadian sejarah, Dalam laku sejarah, kesaksian-kesaksian itu, jikalau diserahkan kepada orang lain secara turun-temurun, tentu bertambah dengan tambahan aneka-warna melalui tradisi sejarah, yang makin lama makin banyak menyimpang dari kejadian semula. Karena itu ahli sejarah yang ingin tahu "bagaimana terjadinya sebenarnya", haruskah pulang ke sumber-sumber kesaksian pertama. Wajiblah ia memiliki aliran tradisi hingga mencapai asal dan hulunya.

Ilmu sejarah bergantung atas pengetahuan dan penetapan kesaksian orang sezaman dan setempat, dan karena nya ilmu tadi dibagi dalam tiga bagian, justru menurut ada dan tidak-adanya kesaksian orang sezaman dan setempat itu dan derajat atau wujud kesaksian tadi. Inilah ikhtisar :

Derajat kesaksian berdasarkan atas :

disebut: TERTINGGI


sumber tertulis sezaman sejarah dan setempat, disebut: TENGAH

asli dan dalam negeri. sumber tertulis sezaman proto, bukan setempat, sejarah luar negeri disebut: TERENDAH


sumber tak tertulis, pra-sejarah dan - sezaman & setempat. Sejarah 

Mempelajari sumber ilmu sejarah disebut historiografi, atau ilmu naskah, antara lain ilmu prasasti. Sumber ilmu protosejarah merupakan sasaran ilmu etnologi, sedangkan sumber prasejarah diselidiki oleh arkeologi.

4). Sejarah Nasional, Sekarang banyak diterbitkan buku-buku dengan kepala: "Sejarah Indonesia", akan tetapi kebanyakan dari buku itu digubah atas dasar sumber-sumber yang diambil dari buku karangan orang bukan Indonesia. Dengan begitu buku-buku itu bersandarkan atas kesaksian yang bernilai "tengah" saja, atau "second-hand", Jadi pengalaman bangsa kita dikemukakan melalui cermin orang asing. Sudah barang tentu bahwa pengarang buku-Indonesia dalam memakai sumber? yang didapat nya disini, memilih dan menitikberatkan bahan-bahan menurut langgamnya dan tradisinya sendiri. Bahan yang penting di hadapan rasa nasional Indonesia akan diabaikan saja atau kurang diperhatikan seperlunya, sedangkan ramuan sejarah yang hanya penting dalam pandangan orang luar akan dikemukakannya menurut penilaian dan mutu-mutu luar negeri. Sesungguhnya buku-buku seperti tadi tidak memuaskan pengarang-sejarah kita, tetapi jangankan menciptakan sejarah nasional sendiri, mereka lebih suka "menyadur" atau mengolah buku-buku asing tadi. Artinya perumusan diubah, bukan dengan kembali bersumber asli, melainkan berpedoman rasa dan semangat semata-mata, Tetapi semangat- pun, bercerai dari dasar objektif, hanya sanggup memalsukan sejarah, tidaklah menasionalisasikan sejarah Indonesia. Dengan tepat ditulis oleh Ismail: writing Asian history from an Asia-centric viewpoint is a very different thing from merely putting colonial history on its head. When Asian historian limit themselves to a reversal of the story as told by colonial historians, substituting pluses for minus- es and minuses, for pluses, the only result is that a colonial myth is replaced by a national myth." (Journal of Southeast Asian Studies II, 1961. Lihat juga: Sudjatmoko An approach to Indonesian history: Towards an open future, Cornell Univ. 1960)

Dalam penjelasan umum mengenai Undang-undang Pendidikan dan pengajaran, pemerintah telah mengeluarkan pendapatnya begini; (U.U.-RI no. 4/1950 dan No.38/1954, penjelasan umum part. 

9)dalam pendidikan dan pengajaran di Republik Indonesia diutamakan sifat nasional dalam arti bal.wa pendidikan dan pengajaran itu didasar- kan atas kebudayaan kita sendiri. Dalam pendidikan demikian, pengajaran sejarah akan menjadi pengajaran yang penting sekali. Bermacam peristiwa jang terjadi dalam sejarah kita harus ditinjau kembali, dengan mempelajari sumber-sumber kita sendiri, sehingga dapat disusun kitab sejarah Indonesia, yang bersifat lain daripada jika dilihat dengan kacamata asing.

Seruan untuk kembali ke sumber asli diulangi lagi dalam Seminar Sejarah, Jogjakarta 1957; dalam Konferensi Internasional para ahli sejarah Asia tenggara yang pertama, yang dilangsungkan di Singapura, Jan. 1961 dan dalam Seminar Sejarah Antar IKIP Yogyakarta, 1968. Petunjuk yang berguna didapat pada Dr.Sartono Kartodirdjo: Historiografi, 1961 dan pada Drs. R. Moh. Ali: Pengantar Ilmu sejarah Indonesia, tjet. II, 1963.

5). Ilmu naskah sejarah.

Guna mempelajari sejarah Indonesia dari naskah-naskah kita sendiri, kita pertama harus mengetahui naskah-naskah resmi. Naskah itu diselidiki dengan saksama baik mengenai bentuk lahir maupun mengenai isi.. Strukturnya menunjukkan suasana dan abad dalam mana ia digubah, isinya menunjukkan peristiwa sejarah sendiri dalam konteks sejarah. Mengerti akan isi dan maksud naskah itu tidak mungkin andaikata tidak diletakkan dasar pengetahuan umum tentang naskah dahulu. Kalau dasar itu tidak ada maka penggunaan dan pengutipan (penjiplakan) naskah dengan sembarangan saja menyerupai pemalsuan sejarah.

Ilmu naskah sejarah memuat 3 cabang, jang saling memperlengkapkan, Ketiga cabang disebut dengan istilah Junani:

(1). palaeography (palaeo kuno, grafiti tulisan) ialah Ilmu yang mempeladjari naskah kuno yang tercatat atas bahan rapuh seperti papyrus, kulit, lontar, tembikar, lilin, Atas bahan begitu sekedar terdapat catatan pendek saja, sehingga sarjana terutama mempelajari bentuk huruf dan berusaha menetapkan sejarah abjad. Karena itu palaeografi sekarang terutama terlihat dalam pelajaran sejarah dan silsilah abjad. Penerbitan Yang terpenting adalah:

F.K. Holle: "Bijdrage tot de paleografie van Ned." Indië, 1877-1882.

J.H.Kern: "Paleografie van de Indische Archipel" 1882 (V.G.VI)

L. C. Damais: "Les écritures d'origine indienne et indonésienne" B.S.E.I. 1956.

(2). epigrafi ( tulisan atas) ilmu ini mempelajari tulisan-tulisan diatas bahan keras batu dan logam. Perhatian terutama adalah mengenai isi dan struktur pernyataan resmi, umpamanya undang-undang, peraturan, putusan raja, pengakuan hak, prasasti, ketentuan agama, perjanjian antara raja, dan lain-lain. Karena di Indonesia hampir semua tulisan begitu berupa prasasti maka ilmu prasasti dan epigrafi disini sama maksudnya. (Lihat "Ensiklopedi Indonesia" dibawah kata: prasasti). Sarjana yang banyak berjasa untuk epigrafi Indonesia antara lain Brandes, Kern, Damais, Krom, Poerbatjaraka, Stutterheim, Goris dan de Casparis. Daftar penerbitan yang terpenting dimuat dalam fasal VI dibawah ini.

(3). diplomatik (diploma = yang dilipat, naskah kertas). Ilmu ini mempelajari naskah zaman baru:  perjanjian antara negara, charter dan lain-lainya. Segala bahan diplomatik untuk Indonesia terdapat dalam "Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum" diterbitkan oleh Stapel dan Heeres, 1907-1954, dijilid

Dalam uraian ini ilmu epigrafi berupa pokok, kedua ilmu naskah lain dipergunakan sebagai ilmu pertolongan saja. (Perhubungan antara ketiga ilmu diterangkan oleh Prof. R.Agrain Comment on fait l'histoire, 1948, chap. III).

II. Definisi dan klasifikasi prasasti 

praçasti (Skr.), berarti :

pujian, tulisan berupa sajak untuk memuji raja (metrical eulogistic inscription; McDonnell, "Sanskrit Dictionary" 182a) karena pujian itu berdasarkan suatu anugerah atau kurnia yang diberikan ('turun') oleh raja kepada bawahannya, maka anugerah sendiri juga disebut praçasti; anugerah itu memberi hak istimewa (privilege) yang berlangsung terus: "purwaçarirareng praçastyalama tang rinaksan iwo" (Nagarakrtagama, 81-1-2 (hak-hak istimewa yang sejak dulu dilindungi oleh praçasti kuno); agar supaya hak tersebut sah dan dapat dipertahankan secara yuridis, praçasti dirumuskan dalam bahasa resmi hukum dengan gaya hukum tertentu (chancery language); supaya hak itu dapat dipertahankan lama, isi praçasti ditulis diatas bahan yang tak bisa lapuk logam atau batu;

supaya hak itu dijamin oleh masyarakat, maka saksi harus menyaksikan pengumumannya, dan pengumumannya harus disertai oleh upacara resmi, yang  harus diulangi sewaktu waktu.

Karena itu semua, definisi lengkap dari prasasti adalah begini: "Prasasti adalah suatu putusan resmi, tertulis diatas batu atau logam, dirumuskan menurut kaidah-kaidah tertentu, berisikan anugerah dan hak, yang dikurniakan dengan beberapa upacara.”

II. KLASIFIKASI PRASASTI-PRASASTI

 II. KLASIFIKASI PRASASTI-PRASASTI 

1). prasasti asli dan prasasti turunan.

Apabila raja memberi anugerah, naskah yang memuat anugerah itu dibuat dua atau tiga. Naskah asli, biasanya prasasti batu, didirikan dekat tempat anugerah sendiri, dekat candi, umpamanya. Tembusannya berupa logam, keropak, lontar, dan lain-lain disimpan dalam kraton, yang lain dibawa oleh orang yang berkepentingan.

Kalau begitu, prasasti batu dinamakan prasasti asli, ialah authentik juridis, atau authentisch = berkewibawaan dalam bidang hukum. Yang lain dinamakan prasasti turunan atau tembusan. Turunan tadi membawa nama: surat praçasti (çasana) umpamanya. (Lihat Stutterheim tentang prasasti lontar dalam TBG 67, 1927 hal. 174). Karena itu terdapat prasasti dalam contoh lebih dari satu, umpamanya Prasasti Balitung (907) dalam tiga contoh, Tetapi adat itu tiada tahan lama. Dalam zaman Majapahit prasasti hanya disimpan pada tempat di luar kraton, dalam sebuah arsip carca, jang menjamin kelangsungan hak kabuki. apageh (Nagara: 17-11-3, 20-2-2-, 22-2-377-3-4). Waktu Mpu Prapanca singgah di pertapaan Darbaru, ia membaca prasasti yang  bagus sehingga timbullah padanya keinginan untuk mempelajarinya: "prasasti winacamangun waspada", jauh dari keraton : "rasa nikang prasasti magawe Hyung ing kawaii madoka sangkaeng pura" (Nagarakrtagama, Sarga 55 b, c. dan 73 b). Karena Prapanca itu berjabatan pujangga kraton, jelaslah bahwa di kraton sendiri tidak ada lagi prasasti, pada waktu itu.

2). Prasasti turunan sezaman dan prasasti turunan terlambat.

Selain dari tembusan biasa yang dibuat pada ketika anugerah raja ditetapkan, juga terdapat turunan dari zaman kemudian, Bila prasasti asli sudah rusak atau hilang, lalu diperbaharui dengan semestinya; pembaharuan ber catatan "tinulad". Dalam prasasti berjudul "tinulad" terdapat 2 tanggal satu dari waktu dikeluarkan untuk pertama kalinya, yang lain memuat waktu hari diperbaharuinya. Prasasti tinulad kerap kali memuat "pengimbuh", pengluasan anugerah asli. Kalau prasasti yang sudah ada dipersatukan dengan prasasti baru, penjatuhan dinamakan incorporated, sebagai umpamanya prasasti Sukabumi dengan bertanggal dua: 784 dan 921. Dalam incorporatie Sukabumi itu bahasa Sansekerta dari prasasti 784 dimasukkan dalam prasasti baru dalam bentuk terjemahan Jawa Kuno.

3). Prasasti tulen dan prasasti palsu.

Karena prasasti memberi hak yang amat diinginkan orang, kerap kali ditiru secara korupsi, Ahli prasasti harus mahir untuk membedakan prasasti tulen. Authentik kritis, dari tiruan.

Dalam prasasti palsu kerap kali terdapat beberapa ralat dalam ejaan, tanggal, nama orang, atau suatu anakhronisme. Sarjana yang menjadi perintis dalam keahlian memperbedakan prasasti yang benar dari yang palsu adalah J. Papenbroeck S.J, dalam "De distinctione veri et falsi in membranis" tahun 1675.

4). Prasasti bertanggal dan prasasti tak bertanggal

5). Prasasti dalam bahasa Sansekerta, Jawa Kuno, Melayu Kuno. Dan prasasti dalam dua bahasa. Prasasti dalam dwi-bahasa itulah, sebagaimana batu Rosette, amat penting untuk pengetahuan bahasa kuno. Praçasti? dwi-bahasa terdapat dalam berbagai kombinasi: Samskrta dan Jawa Kuno; Melayu Kuno dengan Tamil, dsb. Sampai sekarang ditemukan 10 prasasti Indonesia dengan tulisan dalam 2 bahasa: Pr. Karangtengah (824), Pr. Siwagrha (856); Pr.Wukiran Pereng (863); Keempatnya dengan bahasa Jawa Kuno dan Sanskrta; Pr. Tugu Sanur (914); dengan bahasa Bali Kuno dan Sanskrta; Pr. Pucangan Airlangga (1041) dengan bahasa Jawa dan Sansekerta Pr. Arca Lokanatha (1039) dengan bahasa Melayu Kuno dan Sanskrta; Pr. Batu Perlak (1213) dengan bahasa Melayu Kuno dan Tamil, batu Amogapaça (1286) dan Tugu Pagar Ruyung I (1356) djuga dengan bahasa Melayu Kuno dan Sanskrit,

6), Prasasti dengan berhuruf Siddham, Pallawa, Indonesia kuno.

7). Prasasti batu dan prasasti logam. Prasasti-prasasti yang ditulis atas batu dibagi dalam yupa prasasti (atau tugu pengorbanan), çilaprasasti (batu biasa), dan prasasti pada kaki atau balik arca. Waktu dikeluarkannya prasasti batu meliputi zaman antara 500-1550 A, D. Prasasti logam biasa ditulis atas lempeng perunggu (tamra prasasti), tetapi juga terdapat yang dipahat diatas perak atau emas. Prasasti logam terdapat antara 810-1541 A., D.

Note 1. Setiap prasasti mempunyai "kartu pendaftaran (état civil) dalam nama jenis prasasti di klasifikasi dengan lengkap. Umpamanya: 

Prasasti Cicacah Asli, sezaman, tulen, bertanggal Çaka 952, bahasa Jawa-Kuno, huruf kawi bulat, batu, Prasasti Sidateka-asli, sezaman, tulen tahun Çaka 1245, bahasa Jawa Kuno, huruf kawi pesagi, perunggu, 10 lempeng, Prasasti Plaosan-asli dll., tak bertanggal, huruf Pallawa, batu, dan seterusnya.

Note 2. Bukan semua tulisan adalah prasasti; ada batu tulis yang  berisikan putusan hakim/kehakiman atau paduan (jayapattra, jayasong, likhita patra), inventaris candi (dewa dewa), tanda kemenangan (jayasinha), bukti pembayaran (çuddha-pattra), Akan tetapi jumlah tulisan terbesar memuat prasasti menurut definisi di atas itu.

Note 3. Hingga sekarang ditemukan di Indonesia sebanyak 702 prasasti, diantaranya ada 292 yang bertanggal. Dibagi begini: Prasasti Di Jawa : bertanggal 210 buah, tak bertanggal 250 buah.

Prasasti Bali : bertanggal 67 buah, tak bertanggal 110 buah.

Pras. Sumatra : bertanggal 13 buah, tak bertanggal 6 buah.

Prasasti Sunda : bertanggal 1 buah, tak bertanggal 11 buah.

Pr. Madura/Lombok: bertanggal 1 buah, tak bertanggal 2 buah.

Pr. Kalimantan : bertanggal - buah, tak bertanggal 8 buah.

(Lihat C. Damais Liste des principales inscriptions datées de l'Indonésie, BEFEO XLVIII 1952 (1-108)

Note 4. "Inscriptions are of great value to the historian as a supplement to the limited literary sources. Besides giving precise facts and dates, they will throw light on strata of society, occupations, customs, and beliefs which are hardly touched by historians and other writers.. They throw light on such matters as the evolution of writing, the peculiarities of different dialects, and the everyday life of the people. Their value lies especially in their being contemporary records of detailed facts, whereas the statements of historians area rule not contemporary, and are apt to be affected by faults of memory, the opinion of the writer, and other sources of error."

(Oxford companion to classical literature, 1955 hal.163- 164).

Lagu nasional

  Lagu nasional Tanah Airku Tanah air ku tidak kulupakan Kan terkenang selama hidupku Biarpun saya pergi jauh Tidak kan hilang dari kalbu Ta...