*Jejak R Soekeni Sosrodiharjo, Ayahanda Bung Karno Sang Proklamator di Probolinggo*
Arif Mashudi
Minggu, 26 Mei 2024 | 13:50 WIB
SOSOK R. Soekeni Sosrodiharjo memiliki hubungan erat dengan Probolinggo.
Karena, ayahanda dari Ir. Soekarno tersebut, pernah hidup di Kota Mangga tersebut.
Tak hanya mengenyam pendidikan di Probolinggo. Ia juga sempat mengajar di Kraksaan, Kabupaten Probolinggo.
R. Soekeni Sosrodiharjo dan Ida Ayu Nyoman Rai merupakan orang tua Soekarno (Bung Karno) sang Proklamator.
R. Soekeni Sosrodiharjo, selepas lulus Sekolah Rakyat (SR/Inlands School) di Tulungagung, melanjutkan ke Sekolah Guru (Kweekschool Voor Inlandsche Onderwijzers) di Kota Probolinggo sekitar tahun 1892-1896. Hal ini sesuai dengan keinginan ayahnya.
Keberangkatan ke Probolinggo diiringi berjuta harapan dan keinginan keluarga.
Bahwa kelak, R. Soekeni akan menjadi orang berguna bagi masyarakat.
Probolinggo dipilihnya, karena kota ini relatif dekat dengan Tulungagung.
Serta menjadi satu-satunya kota di Jawa Timur, yang saat itu terdapat Sekolah Guru khusus untuk pribumi.
R. Soekeni beruntung bisa menjadi salah satu murid di sekolah guru yang didirikan pada tanggal 1 Januari 1875 silam di Probolinggo.
Murid-murid sekolah guru, rata-rata merupakan anak priyayi yang berasal dari berbagai karesidenan di Jawa Timur.
“Rata-rata mereka adalah anak lelaki pegawai pemerintah atau orang-orang penting, yang berumur 15 tahun sampai 25 tahun. Berbadan sehat tanpa cacat dan tanpa batasan agama,” dikutip dalam buku berjudul Ayah Bunda Bung Karno R. Soekeni Sosrodihardjo-Nyoman Rai Srimben, oleh penulis Dr. Nurinwa Ki S. Hendrowinoto, dkk, dengan penerbit Republika pada Desember 2002.
Semua yang belajar di Sekolah Guru, tinggal di asrama sekolah untuk memudahkan pemantauan belajar dan tingkah lakunya.
Meskipun begitu, tidak semua murid tinggal di asrama. Sebagian dari mereka, ada yang tinggal di rumah kerabat. Ada pula, yang indekos di luar kompleks sekolah.
Bagi mereka yang tinggal di asrama, harus mengikuti peraturan yang ditetapkan oleh pihak kepala asrama.
Setiap malam, para murid mendapatkan giliran ronda secara bergantian. Dengan bekal pendidikan keluarga yang sudah kuat, R. Soekeni tidak kesulitan menghadapi semua hal tersebut.
Bahkan, semakin memperkokoh jiwanya, menghadapi berbagai rintangan hidup.
Semua calon guru di Probolinggo, terbagi dalam empat kelas. Masing-masing; kelas 1, kelas 2, kelas 3 dan kelas 4.
Mereka menerima pelajaran selama seminggu penuh. Kecuali hari Minggu.
Di hari Minggu, mereka libur dan diperbolehkan berjalan-jalan ke luar asrama atau bermain di samping asrama sekolah.
Itu pun terbatas hanya pukul 18.00 sampai pukul 19.00. Selepas itu, mereka masih diperbolehkan bermain-main di dalam asrama sampai pukul 21.00.
Sedangkan pada waktu libur panjang, mereka mendaki kawasan Pegunungan Bromo-Tengger bersama dua orang guru mereka.
“Sekolah yang dipimpin oleh LF Tuiji Schuitemaker ini, memang sangat ketat. Semua murid harus mengikuti aturan-aturan sekolah, tidak terkecuali R. Soekeni,” ditulis dalam buku berjudul Ayah Bunda Bung Karno R. Soekeni Sosrodihardjo-Nyoman Rai Srimben, oleh penulis Dr. Nurinwa Ki S. Hendrowinoto, dkk, dengan penertib Republika pada Desember 2002.
Pada akhir tahun, semua murid harus menghadapi ujian.
Bagi murid kelas 4, saat inilah yang nanti menentukan kelulusan dan penempatannya sebagai guru.
Semua murid harus mempersiapkan diri sebaik mungkin. Tak terkecuali R. Soekeni.
Ia belajar mati-matian, agar meraih prestasi terbaik dalam menggapai angan.
Tanpa menemui kesulitan, R. Soekeni bisa menyelesaikan sekolahnya dengan nilai gemilang.
Ini berarti R. Soekeni harus siap untuk ditempatkan di satu sekolah. Demikian pula dengan murid-murid yang lainnya.
Setelah selesai ujian dan dinyatakan lulus, mereka dapat diangkat sebagai guru di Sekolah Rendah (Openbare Lagere School) yang kosong.
“Sekolah guru di zaman Belanda saat itu, berada di Mapolres Probolinggo Kota. Tepatnya, gedung yang kini diberi nama Graha Sanika Satyawada. Saat itu, R. Soekeni menyelesaikan sekolah guru kurang lebih empat tahun dengan syarat berbagai kedisiplinan. Tanpa kesulitan, R. Soekeni berhasil melalui segalanya dengan hasil sangat memuaskan,” kata H.A. Budiono, SH. CN, pengamat sekaligus pelaku sejarah Kota Kraksaan.
*Ngajar Pertama di Sekolah Rakyat Kraksaan*
Setelah selesai menempuh Sekolah Guru di Kota Probolinggo, ayah Bung Karno mendapat Buislit atau surat tugas sementara untuk mengajar di Tweede Klasse Scholen (Sekolah Rakyat milik Pemerintah Kolonial Belanda) di Kraksaan, Kabupaten Probolinggo.
Sekolah Tweede Klasse Scholen sempat berubah nama menjadi SD Widodo Kraksaan dan akhirnya berubah menjadi SD Patokan 1 Kraksaan.
Namun kini, gedung SD itu, sudah menjadi Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikdaya) Kabupaten Probolinggo.
Di Sekolah Rakyat Tweede Klasse Scholen tersebut, ayahanda Bung Karno mengajar selama kurang lebih 3 tahun (tahun 1896-1899).
Kemudian Setelah itu, ia mendapat Buislit tetap untuk mengajar di Kota Singaraja, Bali.
“Jadi, R. Soekeni ayahanda Bung Karno sang Proklamator RI, punya sejarah di Kota Probolinggo dan Kraksaan. R. Soekeni Sekolah Guru di Kota Probolinggo dan mengajar pertama kali di Kraksaan. Beliau mengajar di Sekolah Rakyat milik pemerintah kolonial Belanda dan berubah nama menjadi SD Widodo Kraksaaan dan terakhir menjadi SDN Patokan 1 Kraksaan,” kata H.A. Budiono, SH. CN, pengamat sekaligus pelaku sejarah Kota Kraksaan.
Secara geografis, Kraksaan merupakan daerah pertanian subur di sekitar pegunungan Tengger.
Banyak perkebunan terdapat di Kraksaan dan sekitarnya. Petani menanam padi, ketela, jagung, randu, tebu dan tembakau.
Untuk mendukung usaha pertanian dan perkebunan, pemerintah menyediakan pengairan.
Sedangkan melengkapi kebutuhan air minum masyarakat, pemerintah membangun saluran air minum sampai ke Lumajang, Bangil dan Kraksaan.
Pada waktu itu, Kraksaan merupakan kota yang sudah berkembang. Penduduknya heterogen.
Terdiri dari bangsa Eropa, Cina, Arab dan Pribumi. Mayoritas penduduknya adalah Jawa dan Madura. Mereka adalah pemeluk Agama Islam dan Hindu.
Kemudian, secara ekonomi, kehidupan mereka tidak terlalu menyedihkan. Selain sebagai petani, mereka juga pegawai di pabrik gula.
Kota Kraksaan banyak dikunjungi orang dari berbagai daerah. Sehingga masyarakat terbuka.
Berdirinya pabrik gula baru di Kraksaan menambah ramainya kota tersebut.
Berbagai fasilitas umum mulai diadakan untuk melengkapi kebutuhan karyawannya. Seperti sarana pendidikan dan sarana transportasi.
Sehingga, keinginan masyarakat akan kebutuhan pendidikan semakin kuat.
Dengan pendekatan kerakyatannya, R. Soekeni mencoba mengajak masyarakat untuk memasukkan anak-anak mereka ke sekolah.
Memang, bukan hal yang mudah. Baik bagi R. Soekeni, maupun masyarakat itu sendiri.
Pada umumnya, para orang tua ingin anak-anaknya dapat bersekolah di tempat terbaik dan melanjutkan ke jenjang lebih tinggi.
Dengan harapan, kelak mereka dapat menjadi pegawai pemerintah atau sekadar juru tulis di kantor maupun pabrik-pabrik yang bertebaran di sekitar Probolinggo.
Sementara, setelah lulus sekolah rakyat, tidak dapat melanjutkan lagi.
Keadaan itu, makin menyudutkan sekolah yang ada di Kraksaan.
“Jadi, sekolah tertua di Kraksaan itu, ya sekolah rakyat Tweede Klasse Scholen yang diubah nama SD Widodo Kraksaan dan menjadi SDN Patokan 1 Kraksaan,” terang Wakil Ketua Forum Umat Islam Bersatu (FUIB) Kabupaten Probolinggo tersebut.
Pria kelahiran 18 Februari 1965 itu menerangkan, dirinya salah satu siswa yang sempat sekolah di SD Widodo Kraksaan. Ia lulus di SD Widodo Kraksaan, akhir tahun 1977.
Dan melanjutkan sekolah di SMPN 1 Kraksaan, yang kini menjadi kantor Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Probolinggo.
Dahulu, siswa yang bersekolah di SD Widodo lumayan banyak. Tiap kelas, bisa sampai 48 anak.
Karena, untuk bisa sekolah di SD Widodo tidaklah sulit. Tidak harus berasal dari latar belakang keluarga petinggi, pejabat atau pegawai.
Termasuk dirinya, yang berasal dari keluarga kurang mampu.
Namun, banyak tokoh masyarakat yang kini sukses dahulunya, bersekolah di SD Widodo Kraksaan tersebut.
Salah satunya, Hasan Aminuddin, mantan Bupati Probolinggo atau Dokter Asrul, mantan direktur RSUD Waluyo Jati Kraksaan.
“Tentu hal tersebut, harus dikenang untuk napak tilas sejarah. Insya Allah hal ini akan kami perjuangkan, untuk melengkapi penulisan buku Sejarah Perjuangan Rakyat Kabupaten Probolinggo dari Era Majapahit sampai Era Reformasi yang telah dipersiapkan oleh tim dari Forum Umat Islam Bersatu (FUIB) Kabupaten Probolinggo,” bebernya. (mas/one)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar