Hendra Fokker
Pegiat Sosial - Pegiat Sosial
Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.
2 Oktober 2023 05:45 Diperbarui: 2 Oktober 2023 05:45 827 15 2
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Menuliskan ulang mengenai peristiwa Gerakan 30 September 1965 memang dapat dilakukan melalui berbagai tafsir atau teori. Banyak alasan yang kiranya dapat menjadi refleksi untuk mengkisahkannya melalui sudut pandang yang realisits. Tentunya melalui berbagai metode komparasi data validnya. Selain dari verifikasi secara langsung dari penelitian yang dapat dipertanggung jawabkan.
Berbagai versi, yang menjelaskan mengenai latar belakangnya, pun tak luput dari perhatian realitas politik kala itu. Perseteruan antar golongan, konflik ideologi, atau bahkan adu jago dalam kekuatan massa, menjadi hal lumrah para panggung pemerintahan. Konsep Nasakom, memang akhirnya digadang-gadang oleh Presiden Soekarno, untuk "memfasilitasi" perbedaan tersebut.
Walaupun di lapangan, banyak konflik sosial yang terjadi sebagai konsekuensi politis antar partai melalui basis massa pendukungnya. Inilah relevansi yang dapat dikaitkan sebagai pemantik terjadinya revolusi sosial di berbagai daerah. Selain dari realitas politik dunia, yang tengah memasuki masa Perang Dingin.
Perseteruan antara Blok Barat (kapitalis) dengan Blok Timur (sosialis/komunis), memang membuat negara-negara di kawasan Asia Tenggara memanas. Memperebutkan pengaruh, dan intervensi terhadap negara dunia ketiga, menjadi agenda para negara adidaya yang menganggap dirinya sebagai pemenang Perang Dunia II.
Pun di Indonesia, khususnya selama kurun waktu tahun 1948 hingga 1965. Dimana klimaksnya adalah meletusnya peristiwa G 30 S/PKI. Selama rentang waktu yang panjang itulah, berbagai peristiwa terjadi, seperti rangkuman historiografi dibawah ini:
_Awal Tahun 1948_
Bangsa Indonesia yang kala itu tengah menghadapi Belanda, justru dihadapkan dengan upaya pemberontakan FDR/PKI dibawah Amir Syarifuddin dan Musso. Disebutkan muasalnya adalah gagalnya Perjanjian Renville, yang kala itu dipimpin oleh Amir Syarifuddin. Hal inilah yang kemudian membuatnya meletakkan jabatan sebagai Perdana Menteri pada 23 Januari 1948.
_Februari 1948_
Sebagai pimpinan kelompok sayap kiri, Amir Syarifuddin akhirnya berkolaborasi dengan kelompok oposisi untuk melampiaskan rasa kecewa terhadap Pemerintah RI. Kabinet Hatta, sebagai penggantinya, menjadi target utamanya. Serangan terhadap kebijakan Hatta, terkait Rekonstruksi dan Rasionalisasi Tentara, membuat Amir mendirikan Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada Februari 1948.
_Maret-Juni 1948_
FDR mulai menghimpun kekuatan tentara dan milisi yang menentang Program Rera Hatta. Seperti dari Divisi Penembahan Senopati, TNI-Masyarakat, Pemuda Sosialis, Pesindo, SOBSI, dan elemen dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Puncaknya adalah mobilisasi kekuatan dalam melakukan aksi pemogokan di Delanggu pada 23 Juni 1948.
_Juli 1948_
Mulai terjadi ketegangan antara pasukan Republik dengan FDR di Surakarta. Posisi saling intimidasi, ancam, bahkan penculikan telah marak antar pasukan. Ditambah dengan hadirnya Divisi Siliwangi ke berbagai kota di Jawa Tengah, yang "hijrah" dari Jawa Barat usai Perundingan Renville diberlakukan.
_Agustus 1948_
Musso kembali ke Indonesia, usai pelariannya dari luar negeri. Dengan gagasan membentuk "Jalan Baru" sebagai upaya sikap oposisi terhadap pemerintah. Kehadiran Musso, membuat para pimpinan dari milisi sosialis/komunis bersatu. Termasuk Amir Syarifuddin dengan FDR-nya. Serta merta, Musso pun didapuk menjadi pempinan PKI bersama FDR sebagai basis kekuatan bersenjata.
_September 1948_
Konflik yang terjadi di Surakarta akhirnya menimbulkan "perang saudara". Aksi saling culik dan serang antar pasukan dan milisi bersenjata terjadi dimana-mana. Khususnya antara pasukan Republik dengan pasukan oposisi. Hingga membuat Kolonel Gatot Soebroto mengeluarkan perintah harian, untuk menindak tegas para pengacau di Surakarta.
Huru-hara di Surakarta membuat pasukan FDR/PKI memilih untuk memusatkan kekuatan di Madiun. Pemerintahan Soviet Madiun pun dideklarasikan pada 18 September 1948. Selama pendudukan Madiun, terjadi pembantaian terhadap lawan politik FDR/FDR. Seperti terhadap para santri dan kaum nasionalis di Magetan.
Rata-rata para korban kebiadaban FDR/PKI ditemukan dalam sumur-sumur tua. Bahkan ada yang diketemukan pada sebuah gudang di Pabrik Gula Gorang-Gareng. Dikishkan pula bahwa Gubernur pertama Jawa Timur R.M. Soerjo juga menjadi korban pada peristiwa di Madiun. Hingga membuat Jenderal Soedirman bergidik ketika melihat pembantaian disana.
_Oktober 1948_
Aksi FDR/PKI pun akhirnya ditumpas dengan tegas oleh pemerintah. Khususnya terhadap para pemimpin pemberontakan, seperti Musso yang ditembak mati, dan Amir Syarifuddin dengan vonis hukuman mati usai tertangkap. Sisanya, "diberitakan" melarikan diri ke luar negeri seperti D.N. Aidit dan Lukman. Sedangkan Soemarsono dan Nyoto, memilih melarikan diri ke wilayah Belanda.
_Tahun 1950_
Kala itu, pemerintah sudah tidak lagi menganggap PKI bermasalah. Kecamuk Perang Dingin semakin mempengaruhi iklim politik di Indonesia, hingga tahun 1955. Dimana PKI mulai bangkit dengan jargon "anti kapitalisme"nya, targetnya tentu saja gelaran pemilu di tahun 1955. Dengan mayoritas massa pendukungnya dari kalangan bawah/rakyat jelata.
Pada dasawarsa ini, konstelasi Perang Dingin, memang menjadi pemicu lahirnya semangat perlawanan terhadap bangsa barat. Sedangkan posisi Indonesia secara politis lebih condong ke bangsa timur, lantaran kebijakan luar negeri bangsa barat justru banyak menghasilkan konflik antar negara di Asia Tenggara, seperti di Korea dan Vietnam.
_Tahun 1955_
Gelar pemilu dimenangkan oleh partai-partai yang memiliki jumlah suara besar. Dimana PKI berhasil menjadi partai ke 4 dengan perolehan 6 juta suara. Semangat anti penjajahan pun kembali mengemuka, dengan wacana revolusi nasional sebagai counter dalam pengaruh kepentingan politik global. Disinilah PKI berhasil memainkan peran sentranya dalam kebijakan pemerintahan.
Kuatnya pengaruh PKI inilah yang kemudian menjadi cikal bakal perseteruan antar partai di parlemen. Serta memantik lahirnya aksi perlawanan bersenjata di beberapa daerah, seperti PRRI/Permesta.
_Tahun 1960_
Dekrit Presiden 1959 sebenarnya jadi awal PKI memaksimalkan pengaruhnya di pemerintahan. Tak terkecuali di daerah-daerah basis massa PKI, yang telah menebar konflik sosial terhadap lawan politiknya. Seperti di Klaten dan Boyolali, aksi sepihak massa PKI telah memakan korban jiwa dari penduduk. Targetnya adalah kaum santri, ulama, dan pamong praja.
_Tahun 1961_
Seperti yang dijelaskan oleh Rosihan Anwar, bahwa organisasi sayap PKI telah membuat berbagai huru-hara sosial-budaya. Puncak perseteruannya makin jelas pada tahun 1961, antara Lekra vs Manikebu. Selain itu organisasi sayap di kalangan mahasiswa CGMI juga melakukan perseteruan dengan HMI. Tuntutan kerasnya adalah pembubaran HMI kepada Presiden Soekarno.
Peristiwa Djengkol di Kediri meletus, kala organisasi sayap PKI, BTI melakukan penyerobotan tanah negara. Kala itu, banyak korban jiwa dari kedua belah pihak. Tak terkecuali rakyat, yang kemudian merasa terancam atas aksi-aksi sepihak BTI disana.
_Tahun 1962_
Pertentangan antara Presiden Soekarno dengan TNI semakin mengemuka. Lantaran TNI dianggap menentang kebijakan-kebijakan yang pro terhadap PKI. Apalagi kala PRRI/Permesta meletus, banyak anggota TNI yang memilih untuk menentang pemerintah. Bahkan mantan Wakil Presiden Moh. Hatta kediamannya diteror oleh massa PKI di Jakarta.
_Tahun 1963_
Terjadi penangkapan terhadap tokoh-tokoh agama, seperti Buya Hamka, Isa Anshari, hingga Ghazali Sahlan. Mereka yang terlibat dalam Masyumi pun tidak luput dari amuk massa PKI. Selain dari memanasnya hubungan luar negeri antara Indonesia dengan Malaysia. Dimana keputusan untuk melakukan konfrontasi dengan Malaysia pun memantik reaksi dunia.
_Tahun 1964_
Chaerul Saleh, pimpinan Partai Murba mengemukakan bahwa PKI hendak melakukan kudeta. Hal ini terkait dengan upaya mobilisasi kekuatan bersenjata yang pro PKI agar dapat "diatur" oleh D.N. Aidit. Selain dari upaya mempersenjatai buruh dan tani yang menjadi organisasi sayap PKI.
_Tahun 1965_
Pertentangan PKI dengan TNI makin menjadi, sebagai dampak dari upaya membentuk angkatan kelima. Jenderal Ahmad Yani secara tegas menentang upaya mempersenjatai buruh dan tani. Walaupun Indonesia tengah memasuki masa genting dalam menghadapi Malaysia. Di tahun yang sama, Partai Murba akhirnya dibekukan, karena sikap pertentangan Chaerul Saleh kepada pemerintah.
Huru-hara di tahun 1965 pun semakin menjadi di berbagai daerah. Khususnya antara massa PKI dengan golongan santri, peristiwa Kanigoro kiranya dapat menjadi saksi yang dapat mengkisahkan konflik sosial berlatar politik tersebut. Belum lagi di Sumatera dan Bali, aksi sepihak yang ditujukan kepada golongan nasionalis pun berakhir dengan tragis.
Puncaknya tentu saja peristiwa di malam 1 Oktober 1965. Tujuh jenderal TNI diculik dan dibunuh di Lubang Buaya oleh massa PKI, serta dua perwira TNI di Jogjakarta pada 2 Oktober 1965. D.N. Aidit bersama Syam Kamaruzaman disebut-sebut sebagai aktor dibalik aksi tersebut. Melalui Letkol Untung dari Resimen Tjakrabirawa yang menjadi eksekutor lapangannya.
Sejarah panjang perilaku politik PKI memang memberi kesan tersendiri dalam panggung sejarah Indonesia. Tak lain karena sikap pertentangannya terhadap kepentingan nasional. Dengan berbagai pendekatan historis yang sama-sama dapat memberi abstraksi secara positif atau negatif. Kiranya kurang lebih ada jutaan nyawa meninggal selama konflik tersebut terjadi.
Pun terhadap realitas sosial-politik pasca peristiwa 1 Oktober terjadi. Dimana rentetan peristiwa yang kemudian terjadi merupakan dampak dari konflik politik dan ideologi. Jatuhnya pemerintahan Soekarno dan digantikan oleh Soeharto, adalah bunga rampai masa Orde Baru dengan beragam realitanya.
Semoga kita selalu dapat belajar dari sejarah bangsa ini. Salam damai, dan terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar