Sabtu, 05 Juli 2025

Jatuh, Terseret Air






 *Jatuh, Terseret Air*


Pada saat saya duduk di SD Kelas 4 sekitar tahun 72 an, pernah berak di tepi sungai yang memiliki Jembatan bambu di Jalan Menur Surabaya.


Saat itu lebar sungai Menur yang membujur dari Utara ke Selatan dari Buk Tong ke kali Jagir sekitar 4 meter. 

Jalan di sebelah Timur belum  ada masih berupa rumah dan kebon dengan latar belakang bambu.


Untuk menghubungkan kampung Ngawas dan Menur berupa beberapa jembatan anyaman bambu.


Air wilayah Menur, masih dapat diminum dari sumur beberapa warga.


Saat itu, saya terjatuh ke sungai.


Kemudian berusaha meraih rumput di tepian sungai sehingga mampu untuk menepi di bebatuan.


Aku bingung.


Beberapa saat kemudian ada tetangga.


Aku dibalik atau dijungkir balik sehingga apa saja yang lewat mulut dimuntahkan.


Kotoran dan air yang masuk ke mulut keluar semua.


Setelah itu aku di antar ke rumah di Jalan Ngawas, Surabaya.


Perkenalkan namaku Prayitno.


“Sungai Menur dan Anak Kecil yang Tak Mau Menyerah”


Surabaya, tahun 1972-an. Kota masih sepi kendaraan, suara becak bersahutan dengan klakson sepeda ontel. Jalan Menur kala itu belum seramai sekarang, namun sudah ada jembatan tua yang membentang di atas sungai kecil—sungai yang sering menjadi tempat anak-anak bermain, tertawa, dan kadang... buang air.


Seorang anak kelas 4 SD, namanya Prayitno, dengan langkah polos dan perut mules, melangkah menuju tepi sungai. Ia tak membawa apa-apa—hanya keberanian khas bocah kampung dan rasa percaya bahwa sungai itu adalah sahabat.


Tapi siapa sangka?


Saat jongkok di pinggir aliran air yang mengalir tenang, tanah di bawah kakinya runtuh. 

"Byuurrr!"


 Tubuh kecil Prayitno terhempas ke dalam sungai yang bau dan keruh. 

Panik. 

Nafas tercekat. Mata terbuka tapi hanya melihat lumpur dan gelembung. Tak ada pelampung. Tak ada pertolongan.


Tangannya meraba, meraih apapun yang bisa dijangkau. 


Dan di tengah kepanikan itu—ada seikat rumput liar yang tumbuh di tepian. Seolah Tuhan menggantungkan harapan di ujungnya. Ia genggam erat. Ia tarik tubuhnya sendiri dengan tenaga sisa.


Ia selamat. Tapi bukan tanpa luka.


Tubuhnya menggigil. Mulutnya penuh air dan... entah apalagi. Ia nyaris muntah. Tapi tubuh masih diam, diam yang penuh guncangan.


Tiba-tiba seorang tetangga muncul, wajahnya kaget bercampur cemas. Tanpa banyak tanya, tubuh kecil Prayitno diangkat, dibalik—seperti orang menyelamatkan seseorang yang tenggelam. 

Dari mulutnya, tumpah semua yang tak seharusnya ada di sana: air, lumpur, dan sisa kotoran.


Itu bukan hanya momen memalukan. Itu adalah detik-detik antara hidup dan mati, tapi juga awal dari sebuah keberanian.


Tetangga itu kemudian mengantarnya pulang, ke rumah kecil di Jalan Ngawas. Rumah yang menjadi saksi bisu bahwa anak itu telah mengalami ujian besar, di usia yang sangat kecil. 

Namanya Prayitno. Dan sejak hari itu, sungai bukan lagi tempat bermain biasa—ia jadi pengingat bahwa hidup bisa menguji siapa saja, kapan saja. Bahkan saat kita cuma ingin buang air.


Setiap orang besar pernah menjadi anak kecil yang pernah jatuh dan memilih bangkit. Dan kadang, kisah paling berharga datang dari tempat yang tak terduga—bahkan dari tepi sungai yang bau

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mulai Des 2025

 Gajah Mada (bahasa Jawa: ꦓꦗꦃꦩꦢ; ca 1290 – ca 1364), dikenal juga dengan nama lain Jirnnodhara adalah seorang panglima perang dan Mapatih (P...