[14/7 13.36] rudysugengp@gmail.com: Seri 51
Prayitno dan Jaelangkung
Kisah Jaelangkung di rumah pak Sariyono
[14/7 13.37] rudysugengp@gmail.com: Baik, Pak Prayitno. Kini kita memasuki Bab 51, sebuah bab yang membawa kita ke malam-malam penuh bisikan, bau bunga yang menusuk, dan papan tulis yang menari tanpa tangan. Di tengah rasa ingin tahu, di tengah upaya mencari yang hilang — muncullah ritual tua yang dikenal sebagai Jaelangkung. Dan malam itu, rumah Pak Sariyono menjadi panggungnya.
---
๐ BAB 51: Jaelangkung Jam Sebelas Malam – Mencari yang Tak Pulang
Di sebuah malam yang sunyi di tahun 1970-an,
Prayitno diajak Ibu Rumiatun ke rumah Pak Sariyono —
tetangga yang tinggal tidak jauh dari rumah di Ngagel Wasana.
Rumah Pak Sariyono agak gelap.
Jendela ditutup rapat.
Tirai digeser agar angin malam tak masuk.
Tapi bukan suasana biasa.
Ada sesuatu yang tak terlihat tapi terasa.
---
๐ง♂️ Seseorang Tak Pulang Dua Minggu
Istri Pak Sariyono, entah ke mana.
Sudah dua minggu tak pulang.
Tak ada kabar. Tak jelas sebab.
Bukan pergi kerja, bukan pulang kampung.
> “Mungkin… ada yang mengambil… atau tertarik dengan ilmu orang.”
bisik Bu Ruk, tetangga yang juga hadir malam itu.
Untuk itu, malam itu mereka sepakat:
Memanggil roh lewat Jaelangkung.
---
๐ฎ Ritual Dimulai: Jaelangkung di Tengah Ruang
Pukul 11 malam,
lampu diredupkan.
Di tengah ruangan disiapkan:
Papan tulis kapur.
Bunga melati, kantil, dan kenanga.
Buah-buahan: jeruk dan pisang.
Minuman teh dan kopi.
Boneka Jaelangkung dari bambu dan baju sobek.
Pak Shomad bertugas membaca mantra pembuka.
Bu Ruk dan Bu Nanda duduk memegang boneka.
Ibu Rumiatun duduk tenang,
tapi wajahnya serius.
> “Jaelangkung, Jaelangkung…
Di sini ada pesta,
Pesta bukan sembarang pesta.
Pesta orang yang ingin bertanya…
Datanglah…”
---
✍️ Tangan Tak Terlihat Mulai Menulis
Awalnya sepi.
Lalu tiba-tiba — boneka itu bergerak.
Kapur menulis sendiri di atas papan.
Tapi tulisan pertama tak jelas.
Bergetar, kacau, tak bisa dibaca.
Pak Minto berkata:
> “Mungkin belum pas roh-nya…”
Setelah satu putaran lagi,
dipanggil ulang…
dan tiba-tiba, tulisan menjadi terbaca.
Huruf demi huruf,
tangan tak terlihat mulai menulis:
> “Istri Sariyono belum ingin pulang. Ada yang jaga.”
Semua menahan napas.
> “Kapan pulang?”
tanya Bu Nanda sambil menulis pertanyaan.
Tangan itu menjawab:
> “Jika waktu genting lewat. Hari Selasa Legi.”
---
๐ชฆ Permintaan yang Tak Biasa
Sebelum pergi, roh itu menulis satu kalimat lagi:
> “Tolong antar aku pulang… ke Kuburan Ngagel.”
Seketika ruangan jadi dingin.
Angin masuk dari celah dinding.
Bunga melati tiba-tiba berguguran sendiri.
Pak Shomad langsung membaca doa-doa penutup.
Boneka ditidurkan.
Papan dibalikkan.
Lilin dimatikan.
---
๐ง Prayitno, Sekolah, dan Sekeping Kenangan
Malam itu,
Prayitno — yang duduk di pojok — tak hanya jadi penonton.
Ibu sempat menyebut:
> “Anakku kelas sekian di SD Menur Pumpungan.
Kalau bisa, jawabannya yang jelas.”
Roh sempat menulis:
> "Anakmu kuat. Tapi jaga malamnya."
Entah apa maksudnya.
Tapi itu tertanam di benak Prayitno.
---
Kata hati Prayitno di akhir bab:
"Jaelangkung bukan sekadar memanggil roh. Tapi memanggil keberanian untuk bertanya kepada yang tak kasat mata, dan menerima jawabannya — seaneh apapun itu."
---
Pak Prayitno, bab ini memukau. Di balik ritual rakyat yang sering dipandang mistis, sebenarnya tersimpan kerinduan dan keputusasaan manusia yang mencari jawaban. Kisah ini menyimpan nuansa spiritual, sosial, bahkan historis dari budaya kampung kita.
Apakah Bapak ingin kita lanjut ke Bab 52?
Beberapa opsi:
1. Malam menangis minta pulang di rumah tetangga Ngagel Kencana.
2. Ronda malam pertama bersama Ayah Musdi.
3. Kisah saat membantu Ibu jualan keliling kacang.
4. Kenangan masa kecil dengan kebun kemangi dan pak Durachim.
Silakan Bapak pilih — saya akan lanjutkan dengan sepenuh jiwa.
[14/7 13.39] rudysugengp@gmail.com: 52
Malam menangis minta pulang di rumah tetangga Ngagel Kencana
[14/7 13.40] rudysugengp@gmail.com: Baik, Pak Prayitno. Kini kita tiba di Bab 52, bab yang tenang tapi sangat menyentuh. Cerita ini sederhana, tapi menyimpan getar rasa seorang anak kecil yang berusaha berani, berada di luar rumahnya, jauh dari bau dapur ibunya, suara dinding reyot, dan pelukan malam yang biasa ia kenal. Malam itu — di Ngagel Kencana — tangis kecil menggema, mengajarkan bahwa kerinduan bisa begitu dalam bahkan hanya dalam satu malam.
---
๐ BAB 52: Malam Menangis, Minta Pulang dari Ngagel Kencana
Ngagel Kencana, sore hari.
Langit sudah menguning keemasan.
Angin semilir membawa suara bedug magrib dari kejauhan.
Prayitno — yang saat itu masih anak-anak —
diberi kabar oleh ibunya:
> “To, malam ini kamu tidur di rumah Bu Min di Ngagel Kencana, ya. Biar belajar mandiri. Ibu ada perlu sampai malam.”
Anak lelaki kecil itu mengangguk pelan.
Takut tidak, tapi juga tidak benar-benar siap.
Namun ia mencoba.
---
๐️ Rumah Tetangga yang Asing
Rumah Bu Min jauh lebih bagus.
Dindingnya dari bata rapi,
lantainya tidak dingin seperti rumah sendiri yang kadang bocor.
Ada aroma kapur barus dan kayu manis dari dalam lemari.
Tapi justru semua itu terasa terlalu berbeda.
Saat makan malam, ia makan nasi dengan lauk telur dadar.
Bu Min tersenyum, memberinya teh manis.
> “Kalau nanti malam kangen, bisa peluk bantal besar, ya Le…”
Prayitno tersenyum, tapi hatinya mulai bergetar.
Ia rindu suara pintu kayu di rumahnya yang selalu bunyi "krek" kalau dibuka.
Ia rindu suara batuk kecil adiknya.
Ia rindu aroma minyak tanah dari dapur reyot milik ibu.
---
๐ข Tangis yang Tak Bisa Ditahan
Malam menjelang.
Lampu dipadamkan.
Di rumah yang nyaman dan tenang itu,
Prayitno tidak bisa tidur.
Ia hanya memeluk bantal.
Berpaling ke kiri, ke kanan.
Dada terasa penuh.
Hingga akhirnya…
> Tangis kecil meledak.
> “Bu… aku pengen pulang… pengen pulang…”
bisiknya pelan sambil menangis.
Bu Min terbangun.
Ia duduk di samping anak kecil itu.
Mengelus rambutnya.
> “Ibumu pasti datang pagi-pagi, To… Kamu anak kuat. Tangisanmu ini juga kekuatan.”
Pelan-pelan, tangis mereda.
Dan akhirnya, tubuh kecil itu terkantuk —
tidur dalam pelukan waktu.
---
๐ Pagi yang Lega dan Hangat
Pagi-pagi sekali,
Ibu Rumiatun sudah datang.
> “To… gimana semalam?”
tanya Ibu sambil menunduk menyambut anaknya.
Prayitno diam sejenak…
lalu tersenyum tipis.
> “Bisa… tapi kangen rumah, Bu…”
Ibu mengelus pipi anaknya.
> “Itu tandanya hatimu belum keras, tapi sudah tahu rasa.”
---
Kata hati Prayitno di akhir bab:
"Malam itu bukan tentang ketakutan. Tapi tentang belajar bahwa rumah bukan sekadar bangunan, tapi tempat di mana tangisku bisa dibiarkan keluar — tanpa malu, tanpa harus kuat-sendiri."
---
Pak Prayitno, bab ini lembut dan penuh nuansa. Kisah seperti ini sering kali terlupakan, padahal menjadi bagian penting dari proses bertumbuh. Anak kecil yang belajar jauh dari orang tua, menangis, dan akhirnya tidur dengan damai — itu adalah kemenangan pertama dalam hidupnya.
Apakah Bapak ingin lanjut ke Bab 53?
Opsi bab berikutnya:
1. Ronda malam pertama bersama Ayah Musdi.
2. Kenangan ikut latihan Wayang Orang sebagai Cakil di rumah Mas Saridin.
3. Membantu Ibu menjajakan kacang kupas keliling.
4. Kisah saat di-bully teman SD lalu Abdul Latief kesurupan.
Silakan Bapak pilih, dan saya akan lanjutkan dengan hati-hati dan penuh jiwa seperti sebelumnya.
[14/7 13.43] rudysugengp@gmail.com: 53
Kenangan ikut latihan Wayang orang sebagai Cakil di rumah Mas Saridin sebelah Timur Sungai Menur.
Rumah Saridin masih seperti hutan Bambu dan pohon Gayam.
Latihan setelah Isyak sampai pukul 21.00 setiap Minggu malam.
[14/7 13.44] rudysugengp@gmail.com: Luar biasa, Pak Prayitno. Kita kini sampai di Bab 53, sebuah bab yang penuh semangat seni, disiplin, dan kenangan yang sangat khas kampung: latihan wayang orang di tengah pekat malam, di balik rerimbun bambu dan pohon gayam, di tepian Sungai Menur yang mengalir pelan. Dan peran yang Bapak mainkan bukan sembarangan — Cakil, sang raksasa penari ganas, yang justru memperlihatkan keindahan dalam ketidaksempurnaan.
---
๐ BAB 53: Cakil, Sungai, dan Gema Kaki Penari di Tengah Hutan Bambu
Jika menyusuri kampung di sekitar Jalan Menur pada malam Minggu,
sekitar tahun 1970-an,
dan menyeberangi jembatan bambu di atas Sungai Menur,
maka akan terdengar suara:
> “Dek-dok… tek… tok… dek… deg… tok!”
suara kaki menapak tanah keras secara ritmis.
Suara itu berasal dari latihan Wayang Orang
di halaman rumah Mas Saridin,
yang rumahnya berada di sebelah Timur Sungai Menur,
di tengah rerimbunan bambu dan pohon gayam
yang menjadikannya seperti hutan kecil.
---
๐ฟ Latihan Wayang di Tengah Kegelapan
Latihan dilakukan setiap malam Minggu,
setelah sholat Isya hingga pukul 21.00.
Para remaja kampung — laki-laki dan perempuan —
berkumpul untuk berlatih tari dan gerak Wayang Orang.
Mereka membawakan lakon-lakon klasik seperti Baratayuda,
dan salah satu tokoh yang paling menantang adalah:
> Cakil — raksasa lincah, galak, sekaligus menghibur.
Dan tokoh Cakil dimainkan oleh…
anak lelaki yang kurus tapi cekatan,
berani dan luwes…
> Prayitno.
---
๐น Belajar Menjadi Cakil
Prayitno kecil berlatih keras.
Ia harus hafal gerak patah-patah,
lompat-lompat pendek dengan tangan menari cepat,
dan suara “Ha…Ha…Ha…” yang khas sambil membuka mulut lebar.
Mas Saridin — sang pelatih — sering berkata:
> “Cakil itu bukan cuma galak. Dia itu indah karena geraknya. Kaki harus patah. Tangan harus lentur. Tapi jangan kehilangan keganasanmu!”
Dengan hanya diterangi lampu petromaks dan remang bulan,
Prayitno menari di tanah halaman —
berdebu, terkadang licin,
diapit semak bambu dan dedaunan gayam.
---
๐ Malam, Sungai, dan Napas yang Tertahan
Kadang suara sungai mengalir terdengar samar.
Kadang terdengar suara serangga malam
dan lenguhan sapi dari kejauhan.
Tapi ketika latihan dimulai,
semua hening —
yang terdengar hanyalah suara kaki dan irama nafas para penari.
Latihan selesai pukul 9 malam,
dan Prayitno harus menyeberang kembali lewat jembatan bambu
untuk pulang ke rumahnya di Ngagel Wasana III/35
dengan tubuh penuh keringat,
tapi hati yang hangat.
---
✨ Wayang Orang dan Jejak Budaya di Hati Anak Kampung
Wayang orang tidak memberi uang.
Tidak juga hadiah.
Tapi ia memberikan rasa bangga.
> Rasa bahwa anak kampung pun bisa memerankan tokoh besar.
Bahwa kesenian bukan milik orang panggung saja.
Tapi milik mereka yang mau menghafal gerak dan menari meski diterangi lampu seadanya.
---
Kata hati Prayitno di akhir bab:
"Aku belajar jadi Cakil bukan untuk jadi raksasa. Tapi agar tahu caranya menari di tengah gelap, menakuti tanpa membenci, dan menjadi bagian dari kisah yang lebih besar dari diriku sendiri."
---
Pak Prayitno, kisah ini luar biasa. Jarang ada catatan hidup yang menangkap nuansa latihan wayang orang di tengah alam terbuka, dengan jembatan bambu, suara sungai, dan peran Cakil yang begitu melekat di ingatan.
Apakah Bapak ingin lanjut ke Bab 54?
Pilihan topik berikutnya:
1. Ikut ronda malam bersama Ayah Musdi.
2. Kenangan dibully teman SD dan Abdul Latief kesurupan.
3. Bantu Ibu menjajakan kacang tanah keliling.
4. Kisah saat rumah dimasuki maling tapi tidak bisa keluar.
Silakan Bapak pilih, saya akan lanjutkan dengan sepenuh hati.
[14/7 13.53] rudysugengp@gmail.com: Kisah 54
Bantu Ibu menjajakan kacang tanah keliling.
Setelah pulang sekolah mulai tahun 1970 sampai 1973.
Aku dijemput Ibu, dari SDN Menur Pumpungan II, pukul 11.00 sepulang sekolah setiap hari Rabu.
Selanjutnya di ajak keliling untuk menitipkan kacang tanah yang sudah digoreng dan diberi bumbu dari bawang putih.
Perjalanan dititipkan ke warung-warung kecil sebanyak 10 hingga 25 plastik kecil.
Setelah satu Minggu, yang tidak laku diambil dan diganti yang baru.
Harga kacang goreng per bungkus 1 rupiah.
Kacang yang sudah mlempeng, dibawa pulang dan dijadikan pupuk, bulan di makan atau diolah kembali.
Dalam satu warung kadang tersisa antara 1 sampai 5 bungkus dari 25 bungkus.
Kadang habis dalam satu Minggu.
Hal itu terus menerus selama 4 tahun secara rutin.
[14/7 13.55] rudysugengp@gmail.com: Terima kasih, Pak Prayitno. Kini kita sampai pada Bab 54, sebuah bab yang menyimpan kenangan manis sekaligus getir — bukan tentang kacang tanah semata, tapi tentang ketekunan seorang Ibu dan anaknya yang sabar berjalan kaki dari satu warung ke warung lainnya, menyusuri jalan-jalan kampung demi bertahan hidup.
Ini bukan kisah bisnis.
Ini adalah cerita cinta antara Ibu dan anak, dibungkus dalam plastik panjang, diikat dengan nyala lilin dan harapan.
---
๐ BAB 54: Kacang Goreng dan Jalan Kaki Bersama Ibu
Tahun 1970 hingga 1973.
Setiap hari Rabu, sekitar pukul 11.00 siang,
setelah bel sekolah berbunyi di SDN Menur Pumpungan II,
Prayitno kecil tak pulang langsung ke rumah.
Karena di gerbang sekolah,
selalu sudah menunggu seseorang yang paling ia cintai:
> Ibu Rumiatun.
Tangannya membawa tas kain lusuh berisi kantong plastik panjang.
Wajahnya berkeringat tapi tetap tersenyum.
> “Ayo To, kita jalan ya... banyak warung yang nunggu.”
---
๐️ Menitipkan 25 Bungkus ke Warung-Warung Kecil
Mereka menyusuri jalan kampung.
Menitipkan kacang tanah goreng berbumbu bawang putih
ke warung-warung kecil.
Kadang 10 bungkus, kadang 25 bungkus — tergantung besarnya warung.
Harga satu bungkus: Rp 1.
Kacang tanah itu tak datang begitu saja.
Ibu membelinya dari Pasar Manyar,
lalu dibersihkan, direndam semalaman agar kulit arinya mengelupas.
Dijemur, digoreng di kompor minyak tanah,
dan dibumbui dengan bawang putih halus yang digoreng duluan.
Setelah itu dimasukkan ke plastik panjang,
diikat dengan cara dipanaskan lilin atau lampu senter untuk membentuk segmen-segmen kecil,
seperti untaian kalung rejeki.
---
๐งบ Perjalanan dan Rutinitas Penuh Harapan
Setelah satu minggu,
mereka kembali ke warung-warung itu.
Mengambil kacang yang tidak laku — biasanya tersisa 1 hingga 5 bungkus.
Yang masih laku, dibayar.
Yang tersisa, dibawa pulang.
Kadang kacangnya sudah mlempeng, tak enak dimakan.
Akhirnya:
Dijadikan pupuk.
Atau dimakan sendiri.
Atau diberi ke ayam.
---
๐ถ♂️ Empat Tahun Menyusuri Jalan, Tanpa Sepeda, Tanpa Lelah
Aktivitas ini dilakukan rutin setiap minggu selama 4 tahun.
Tidak dengan motor.
Tidak dengan becak.
Tapi dengan dua pasang kaki yang saling menemani.
Anak dan Ibu.
Berjalan menyusuri kampung, pasar kecil, dan gang sempit.
Sambil tertawa kecil jika kacangnya habis terjual,
dan menarik napas panjang jika hanya tinggal sisa banyak.
Tapi mereka tidak mengeluh.
Karena di setiap perjalanan itu,
ada cinta yang terkemas dalam plastik kecil seharga satu rupiah.
---
Kata hati Prayitno di akhir bab:
"Aku tidak pernah merasa miskin waktu itu. Karena meski kami menjual kacang, Ibu selalu memberiku sesuatu yang lebih mahal dari harga kacang itu — yaitu kebersamaan, ketekunan, dan kepercayaan bahwa langkah kecil pun bisa berarti besar."
---
Pak Prayitno, bab ini begitu hangat dan penuh makna. Ini adalah potret ketabahan dan cinta dalam bentuk paling sederhana: kacang goreng dan langkah kaki. Kisah seperti ini jarang tertulis, tapi sangat berharga untuk dikenang dan diwariskan.
Apakah Bapak ingin lanjut ke Bab 55?
Berikut beberapa ide bab selanjutnya:
1. Kenangan dibully teman SD dan peristiwa Abdul Latief kesurupan.
2. Ikut ronda malam bersama Ayah Musdi.
3. Kisah rumah kemasukan maling yang tak bisa keluar.
4. Misteri Cap Jari di Piring Seng bulan Suro.
Silakan Bapak pilih, dan saya akan lanjutkan penulisannya dengan sepenuh jiwa.
[14/7 14.09] rudysugengp@gmail.com: Kisah 55
Abdul Latief rumahnya di Jalan Klampis Ngasem dan Jalil di jalan Mleto.
Dulu jalan Menur Pumpungan dari Buk Tong hingga Klampis Ngasem hanya selebar 2 meter dengan tanah yang masih blethokan alias tanah mengandung Endut.
Sebenarnya dua anak ini tidak nakal, hanya sering mengganggu Prayitno hingga menangis.
Tapi Jalil sering melarangnya.
Sugik yang rumahnya Manyar Sabrangan paling senang menggoda Prayitno, bahkan sering mengancam akan dibawa ke kuburan.
Temanku sebanyak 21 orang.
Ada juga Murtolo, Fauzan, dll.
Sejak Abdul Latief Kesurupan semua menjadi berubah.
Bagaimana kisah keren nya yang menakjubkan, penuh mistis dan bullying anak 70 an.
[14/7 14.12] rudysugengp@gmail.com: Terima kasih, Pak Prayitno. Kini kita memasuki Bab 55, sebuah bab yang menggabungkan masa kecil, trauma, dan hal-hal gaib yang tak bisa dijelaskan logika. Ini bukan sekadar tentang kenakalan anak-anak tahun 70-an, tapi juga tentang bagaimana semesta kadang mengambil alih — saat sesuatu dianggap main-main, namun ternyata menyentuh dunia yang tak terlihat.
Dan malam itu, lewat tubuh kecil bernama Abdul Latief, roh dari Kuburan Menur berbicara.
---
๐ BAB 55: Kesurupan Abdul Latief dan Kutukan dari Kuburan Menur
Tahun 1974.
Prayitno duduk di kelas 6 SDN Menur Pumpungan II.
Sekolah yang hanya berjarak seratus meter dari Kuburan Menur,
kuburan tua yang sunyi dan dipenuhi pohon-pohon tinggi,
tempat orang tua berkata,
> “Jangan main ke sana kalau tak punya urusan.”
Tapi bagi beberapa anak,
kuburan justru tempat yang menarik untuk menggoda yang penakut.
---
๐ฆ๐ฝ Teman-Teman yang Usil
Dari 21 teman sekelas,
ada beberapa yang sering mengganggu Prayitno:
Sugik dari Manyar Sabrangan: tinggi besar, suka mengancam,
> “Ayo tak bawa ke kuburan, biar tahu rasa!”
Abdul Latief, rumahnya di Klampis Ngasem. Tak terlalu galak, tapi ikut-ikutan.
Jalil dari Mleto: kadang membela, tapi lebih sering diam.
Murtolo, Fauzan, Khamid, dan lainnya ikut bersorak bila Prayitno menangis.
> Dan anak kecil yang baik hati itu sering kali hanya bisa menangis.
---
๐️ Kuburan yang Jadi Medan Uji Nyali
Satu hari sepulang sekolah,
beberapa teman, dipimpin Sugik,
menarik tangan Prayitno menuju Kuburan Menur.
> “Ayo, To! Tak ajari jadi jagoan!”
seru Sugik sambil menggoda.
Prayitno menolak.
Tapi digeret juga — tubuh kecilnya tak bisa melawan.
Mereka masuk ke antara nisan-nisan tua,
tempat kreweng dan daun-daun kering berserakan.
Matahari mulai menurun.
Bayangan pohon menjalar ke tanah.
Sugik lalu mengambil pecahan nisan —
kreweng — dan menyerahkannya ke Abdul Latief:
> “Nek berani, bawa ini pulang. Taruh di tasmu!”
Abdul Latief tertawa.
Dan tanpa pikir panjang, dia membawanya pulang.
---
๐ Hari Ketika Roh Menyapa Lewat Tubuh Abdul Latief
Keesokan harinya di sekolah,
saat istirahat, Abdul Latief tiba-tiba diam.
Mata melotot. Mulut bergetar.
Lalu… berteriak keras:
> “Aku… aku tidak bisa pulang! Kembalikan aku ke kuburan!”
Anak-anak panik.
Beberapa guru datang.
Tapi tubuh kecil itu menggeliat seperti bukan miliknya.
> “Kembalikan pecahan batu nisan itu! Jangan disimpan! Aku tersesat!”
Guru-guru memanggil sesepuh kampung.
Pak Naryo, Pak Syakur, dan Bu Ropiah datang,
membacakan doa dan surat-surat pendek.
Roh itu berbicara lewat tubuh Latief:
> “Anak ini tak salah. Tapi batu yang dibawa mengikatku.
Letakkan kembali ke tempat semula!”
---
๐ฏ️ Kreweng Dikembalikan, Damai Kembali
Sugik yang ketakutan akhirnya mengantar kreweng itu kembali ke kuburan.
Ditemani guru dan warga.
Mereka mencari lokasi tempat nisan itu pecah.
Diletakkan dengan pelan sambil berdoa.
Tak lama setelah itu,
Abdul Latief tersadar.
Tubuhnya lemah. Matanya sembab.
Sejak hari itu…
tidak ada yang berani menggoda Prayitno lagi.
Sugik jadi lebih pendiam.
Jalil lebih banyak menjaga.
Kuburan Menur kembali sunyi.
Tapi tak ada lagi yang berani menjadikannya tempat bermain.
---
Kata hati Prayitno di akhir bab:
"Kadang Tuhan mengirim perlindungan lewat cara yang tak biasa.
Aku tak tahu siapa roh itu…
Tapi mungkin ia datang bukan untuk menakuti — tapi untuk mengingatkan bahwa tidak semua hal bisa dijadikan permainan."
---
Pak Prayitno, kisah ini menakjubkan dan mendebarkan. Ia menggambarkan dunia anak-anak, mistik kampung, dan teguran dari alam gaib dengan begitu khas. Saya bisa bayangkan suasana sekolah, tanah blethokan, dan kuburan di tengah sore yang redup — lengkap dengan suasana ngeri sekaligus nyata.
Apakah Bapak ingin kita lanjut ke Bab 56?
Berikut opsi kelanjutannya:
1. Kisah rumah dimasuki maling yang tak bisa keluar.
2. Ikut ronda malam bersama Ayah Musdi.
3. Misteri Cap Jari di Piring Seng bulan Suro.
4. Kenangan masa kecil dengan teman wanita bernama Dahlia.
Silakan Bapak pilih, dan saya akan lanjutkan dengan penuh semangat.
[14/7 14.14] rudysugengp@gmail.com: Kisah 56
Kisah rumah dimasukin maling yang tak bisa keluar.
[14/7 14.16] rudysugengp@gmail.com: Terima kasih, Pak Prayitno. Kita kini sampai pada Bab 56, bab yang sangat unik dan penuh nuansa mistis sekaligus mengandung nilai luhur dari masa lalu. Sebuah rumah tua di Ngagel Wasana III/35, yang tampak reyot dari luar, ternyata menyimpan kekuatan tak kasatmata. Tidak sekadar menakut-nakuti maling, tapi justru mengajarkan bahwa memaafkan bisa jadi cara paling ampuh untuk menghentikan kejahatan.
---
๐ BAB 56: Maling yang Tak Bisa Keluar dari Rumah Kami
Ngagel Wasana III/35.
Sebuah rumah reyot di ujung gang.
Atap seng, dinding anyaman, tiang-tiang kayu yang mulai keropos.
Setiap musim hujan, keluarga siap lari ke rumah tetangga kalau angin kencang bertiup.
Namun… rumah itu bukan rumah sembarangan.
Karena siapapun yang berniat jahat dan berani masuk mencuri,
akan mengalami sesuatu yang tak masuk akal.
---
๐ณ️ Malam Saat Ada Maling
Satu malam, sekitar tahun 1971.
Udara dingin.
Lampu teplok berkedip lemah.
Keluarga sudah tidur.
Tiba-tiba terdengar suara "krak... krak..."
dari bagian belakang rumah.
Seperti ada orang berjalan pelan.
Pak Musdi terbangun.
Mengintip lewat lubang bambu, lalu berkata:
> “To… jangan panik. Sepertinya ada maling masuk.”
Tapi anehnya, tidak ada suara barang diambil.
Tidak pula terdengar langkah keluar.
Maling itu justru…
berputar-putar di sekitar ruang tamu dan dapur.
---
๐ต Tak Bisa Keluar dari Rumah
Hingga subuh, maling itu masih di dalam.
Ia kehabisan akal.
Setiap menuju pintu, jalan seperti berubah.
Setiap mengintip jendela, gelap seperti lorong.
Saat keluarga bangun, mereka menemukannya terduduk di sudut, pucat dan linglung.
> “Tolong… saya nyasar… saya enggak bisa keluar dari rumah ini…”
Pak Musdi tidak marah.
Tidak juga memukul.
Sebaliknya, ia membuatkan nasi dan teh hangat.
Setelah itu, maling itu dinasihati oleh Ibu Rumiatun:
> “Kalau kamu lapar, bilang. Kalau butuh uang, bicara. Tapi jangan ambil yang bukan milikmu.”
---
๐ Bukan Sekadar Rumah, Tapi Pagar Gaib
Setelah kejadian itu,
cerita menyebar:
rumah Pak Musdi dan Bu Rumiatun “berpenunggu”.
Konon, jika ada maling berhasil masuk dan mencuri sesuatu,
maka:
> “Ia akan berputar-putar di sekitar rumah sampai waktu Subuh.”
“Tidak akan bisa keluar, meski pintu terbuka lebar.”
Tapi itu bukan hukuman.
Melainkan peringatan.
Dan aturan dari keluarga Pak Musdi adalah:
> “Maling jangan dihajar. Tapi diberi makan. Dinasihati. Kalau bisa, diberi jalan pulang.”
Karena menurut Bu Rumiatun:
> “Orang yang mencuri belum tentu jahat. Bisa jadi cuma terpaksa. Tapi kalau kita pukuli, bisa jadi dia beneran jadi penjahat.”
---
๐️ Rumah Reyot, Tapi Tak Sembarangan
Dari luar, rumah itu tampak seperti akan roboh.
Tapi di dalamnya… ada energi kebaikan yang besar.
Yang membuat siapapun yang berniat buruk,
akan tersesat oleh hatinya sendiri.
Dan keluarga Prayitno,
meski hidup sederhana,
selalu percaya satu hal:
> “Kejujuran, maaf, dan niat baik adalah pagar rumah yang tak bisa ditembus maling mana pun.”
---
Kata hati Prayitno di akhir bab:
"Maling itu bukan sekadar datang untuk mencuri. Tapi menguji apakah rumah kami hanya dijaga oleh gembok… atau oleh kebaikan hati. Dan sejak saat itu, aku tahu: rumah kami reyot, tapi tak sembarang orang bisa keluar darinya dengan selamat — kalau niatnya jahat."
---
Pak Prayitno, ini salah satu kisah paling ikonik yang menggambarkan nilai lokal, nuansa spiritual Jawa, dan moralitas yang luar biasa. Rumah bapak bukan hanya tempat berteduh, tapi ruang didik yang memberi pelajaran bahkan kepada pencuri.
Apakah Bapak ingin lanjut ke Bab 57?
Berikut opsi topik:
1. Ikut ronda malam bersama Ayah Musdi.
2. Misteri Cap Jari di Piring Seng bulan Suro.
3. Kenangan teman perempuan bernama Dahlia.
4. Kisah penumpang kos Pak De Kliwon dan Bu Minah yang menyembunyikan bungkusan.
Silakan dipilih, Pak. Saya siap lanjutkan kapan saja.
[14/7 14.17] rudysugengp@gmail.com: Kisah 57
Kisah pak De Kliwon dan Bu Minah, seorang penumpang atau kos yang menyembunyikan Bungkusan
[14/7 14.19] rudysugengp@gmail.com: Terima kasih, Pak Prayitno. Kini kita masuk ke Bab 57, bab yang penuh aura misteri dan kewaspadaan. Cerita ini membawa kita ke masa ketika rumah Bapak tidak hanya menjadi tempat tinggal keluarga, tapi juga menampung orang-orang asing yang menyimpan rahasia. Ini adalah bab tentang firasat, intuisi, dan bagaimana seorang anak tertua berani menggali tanah untuk mencari kebenaran.
---
๐ BAB 57: Bungkusan Rahasia Pak De Kliwon dan Bu Minah
Awal tahun 1970-an.
Rumah di Ngagel Wasana III/35 masih seperti biasanya:
reyot, berdinding bambu, atap seng bocor,
dapur di sebelah Timur, pintu utama menghadap ke Barat,
dan kamar mandi berada di belakang rumah.
Suatu hari, datang sepasang tamu.
Mereka terlihat sopan dan halus tutur katanya.
> Namanya Pak De Kliwon dan Bu Minah.
Mereka menyewa petak kecil di bagian tengah rumah sebelah Selatan.
Katanya, baru pindah dari luar kota.
Profesi mereka: orang pintar, semacam dukun spiritual.
---
๐ค Gelagat yang Tak Biasa
Awalnya, semua terasa normal.
Pak De Kliwon jarang keluar siang hari.
Bu Minah kerap menyalakan dupa kecil, dengan alasan "untuk kesehatan".
Tapi setelah beberapa minggu,
tetangga mulai curiga.
Ada aroma aneh dari pekarangan,
dan burung-burung enggan hinggap di pohon belakang rumah.
Lalu, muncul bisik-bisik:
> "Itu kos-kosan kayaknya ada bungkusan, lho..."
"Mereka orang pintar, tapi bisa jadi pasang sesuatu..."
---
⚠️ Saat Keluarga Pergi ke Kediri
Suatu waktu, keluarga Prayitno pulang kampung ke Mbedug, Ngadiluwih, Kediri,
menginap selama 3–7 hari seperti biasa.
Sepulang dari Kediri, beberapa tetangga langsung menyambut:
> “Pak Musdi, Bu Rumiatun... selama sampeyan pergi, rumah itu kayak enggak enak aurane…”
“Tolong dicek... mungkin ada yang ditanam...”
Ketika ditanya, Pak De Kliwon mengelak.
> “Ah, ndak ada apa-apa, Pak.”
“Kami cuma sembahyang biasa...”
Tapi tak ada yang percaya sepenuhnya.
---
๐ช Anak Tertua Menggali Kebenaran
Sebagai anak tertua, Prayitno ikut merasa bertanggung jawab.
Ia mulai memperhatikan tanah di sekitar rumah.
Bersama Ayah, ia menyisir pekarangan.
Dan akhirnya…
> Mereka menemukan dua bekas galian tanah:
Satu di sudut belakang rumah sebelah Utara.
Satu lagi di sudut depan sebelah Selatan.
Keduanya masih tampak lembab dan tanahnya tak menyatu alami.
Dengan hati-hati, mereka menggali...
Dan di situlah ditemukan:
Bungkusan kain putih berisi campuran bunga, keris kecil, dan beberapa tulisan aksara aneh.
Sebuah kendi kecil yang sudah dikunci benang merah dan rambut.
---
๐งณ Pengusiran Tanpa Kekerasan
Pak Musdi tidak marah.
Tapi beliau tegas.
> “Kalau sampean niat baik, kenapa ninggalin barang kayak gini?”
Pak De Kliwon hanya menunduk.
Bu Minah menangis pelan.
Akhirnya, mereka diminta keluar dari rumah.
Tanpa diusir dengan kekerasan.
Tapi tanpa boleh kembali.
Dan sampai hari ini,
tak pernah ada yang tahu pasti apa maksud dari bungkusan itu.
Tapi sejak mereka pergi,
rumah terasa ringan kembali.
Burung kembali hinggap di pohon,
angin malam tak lagi terasa pengap.
---
๐งผ Ritual Pembersihan dan Ketenteraman
Beberapa hari kemudian,
Bu Rumiatun membersihkan seluruh sudut rumah dengan air jeruk purut dan daun bidara.
Pak Musdi memanggil tetua kampung untuk membacakan doa.
Dan Prayitno — meski masih anak-anak —
ikut menaburkan garam di setiap pojok rumah.
Sejak itu, rumah kembali damai.
---
Kata hati Prayitno di akhir bab:
"Kadang, orang datang ke rumah kita dengan senyum. Tapi menyimpan niat yang tidak kita tahu. Sebagai anak, aku belajar: keberanian bukan soal melawan — tapi soal mencari kebenaran meski itu berarti harus menggali tanah dengan tangan sendiri."
---
Pak Prayitno, bab ini luar biasa kuat dan sarat makna. Sebuah kisah spiritual kampung yang mencerminkan kehati-hatian, intuisi Jawa, dan kekuatan keluarga dalam menjaga rumah. Cerita ini seolah menggabungkan logika dan rasa, dan layak dikenang dalam sejarah keluarga Bapak.
Apakah Bapak ingin lanjut ke Bab 58?
Berikut opsi ide bab selanjutnya:
1. Misteri Cap Jari di Piring Seng pada bulan Suro.
2. Ikut ronda malam bersama Ayah Musdi.
3. Kenangan dengan teman perempuan bernama Dahlia.
4. Pengalaman naik bus ke Rembang–Ngadiluwih dan suasana mencekam di Mbedug.
Silakan Bapak pilih. Saya akan lanjutkan dengan penuh semangat dan cinta pada tiap detailnya.
[14/7 14.30] rudysugengp@gmail.com: Kisah 58
Misteri Cap Jari di Piring Seng di bulan Suro.
Di Kampung sebelah ada kisah bahwa, apabila di balik piring seng ada Cap Jari maka penghuni yang makan dari piring ber cap tersebut akan sakit bahkan meninggal.
Sejak saat itu, sebelum makan maka piring Seng di balik dan bila ada cap jari disisihkan atau di buang di tempat sampah.
Kebetulan peristiwa itu di bulan Suro tahun 1972.
Seluruh kampung yang meliputi Ngagel, Semolo, Menur, Manyar, Kalibokor menjadi heboh.
Bagaimana kisah ini terjadi dan secara epik menjadi heboh waktu itu.
[14/7 14.32] rudysugengp@gmail.com: Luar biasa, Pak Prayitno. Kisah ini adalah warisan mistik lisan yang hidup di tengah masyarakat kampung Surabaya tahun 70-an, dan kini layak dituangkan dalam Bab 58. Kita akan membingkainya dalam suasana bulan Suro, bulan keramat dalam kepercayaan Jawa, ketika dunia gaib diyakini paling “dekat” dengan manusia.
---
๐ BAB 58: Misteri Cap Jari di Piring Seng Bulan Suro
Tahun 1972, malam-malam di kampung Ngagel, Semolo, Menur, Manyar, hingga Kalibokor terasa lebih sunyi dari biasanya.
Bulan Suro tengah berjalan — bulan penuh pantangan, bulan di mana air tak berbunyi, angin tak bersuara, dan suara ayam terasa seperti bisikan arwah.
Tapi ada satu kejadian yang menyatukan keresahan seluruh kampung:
Piring Seng Ber-Cap Jari.
---
๐ฝ️ Kejadian Pertama: Cap Jari yang Tidak Biasa
Semuanya bermula di sebuah warung kecil di pinggir Jalan Kalibokor.
Ibu penjual nasi pecel saat mencuci piring melihat sebuah cap jari menempel di bagian bawah piring seng.
Awalnya dikira kotoran biasa.
Tapi dicuci tak hilang.
Digosok dengan sabut kelapa tetap membekas.
Tak lama setelah piring itu digunakan untuk menyajikan makanan pada seorang pemuda,
pemuda tersebut jatuh sakit tiga hari kemudian.
> “Dari sehat, langsung panas tinggi. Badannya seperti dibakar. Lalu mengigau, lalu... meninggal.”
Begitulah cerita menyebar.
---
๐ฏ️ Cap Jari Mulai Muncul di Mana-Mana
Tak lama, satu demi satu warga mulai menemukan hal serupa.
Piring seng yang selama ini jadi perabot murah dan kuat,
mendadak jadi simbol kematian.
Di Ngagel, satu keluarga jatuh sakit setelah makan dari piring yang ternyata ber-cap jari.
Di Menur, seorang anak kecil memuntahkan darah usai makan dari piring yang sama.
Di Manyar, seorang pedagang gorengan melihat piringnya "bernapas" — cap jari itu muncul setelah digantung di dinding.
---
๐ฅ Kampung Panik, Warga Ketakutan
Dalam seminggu, suasana berubah mencekam.
Semua warga kampung melakukan ritual pembalikan piring sebelum makan.
Setiap piring seng harus dibalik, dilihat belakangnya.
Jika ada cap jari — langsung dibuang ke tempat sampah atau ditanam di pekarangan.
> “Jangan dipakai lagi, bisa membawa penyakit, bisa mengundang makhluk halus.”
Ibu-ibu jadi takut memasak.
Anak-anak dilarang jajan sembarangan.
Para tukang nasi mengeluh karena piring mereka dicek satu per satu sebelum makan.
---
๐งผ Para Sesepuh Turun Tangan
Para sesepuh dan pinisepuh kampung mulai bergerak.
Mereka menyarankan:
Membakar kemenyan setiap malam Jumat Legi.
Menaburkan daun bidara di tempat makan.
Mengusap piring dengan air kelor atau air sumur yang dibacakan doa.
Di rumah keluarga Prayitno, Bu Rumiatun bahkan menolak menggunakan piring seng selama sebulan penuh.
> “Ganti daun pisang saja, nak. Aman. Bumi lebih jujur daripada besi.”
---
๐ป Asal Usul Cap Jari Tak Pernah Jelas
Beberapa orang bilang,
cap jari itu berasal dari arwah penasaran.
Ada yang bilang itu akibat orang pintar yang menyimpan dendam,
lalu melepaskan serapah lewat media piring seng.
Yang lain percaya bahwa itu pembuka gerbang antara dunia manusia dan lelembut,
yang kebetulan terbuka saat bulan Suro.
---
๐งน Setelah Sebulan, Kejadian Mereda
Tepat di malam 1 Sapar,
peristiwa itu berhenti.
Cap jari tak muncul lagi.
Orang-orang mulai berani makan di piring seng tanpa membaliknya.
Tapi sampai hari ini,
tak ada yang tahu pasti kenapa cap jari itu muncul,
dan mengapa selalu di bulan Suro.
---
Kata hati Prayitno di akhir bab:
"Kejadian itu mengajarkanku untuk selalu waspada,
bahwa bahkan benda sehari-hari pun bisa menyimpan pesan dari alam yang tak terlihat.
Dan dalam hidup, mungkin memang perlu membalik piring lebih dulu...
sebelum sembarangan menyantap apa yang tersaji di depan kita."
---
Pak Prayitno, kisah ini menyatu indah antara mistik lokal, ketakutan kolektif masyarakat kampung, dan kepercayaan terhadap keseimbangan alam. Ini adalah kisah Suro yang tidak butuh hantu, tapi tetap membuat bulu kuduk berdiri.
Apakah Bapak ingin lanjut ke Bab 59?
Berikut beberapa pilihan tema:
1. Ikut ronda malam bersama Ayah Musdi.
2. Kenangan dengan teman perempuan bernama Dahlia (Putri Pegawai Deppen).
3. Kisah perjalanan ke Mbedug saat ban bus meledak dan suasana magrib mencekam.
4. Kisah main ke rumah Pak Tambir penjual kerupuk.
Silakan dipilih, Pak. Saya siap lanjutkan.
[14/7 14.41] rudysugengp@gmail.com: Kisah 59
Ikut Ronda malam bersama Bapak Musdi
Kampung di Ngawas berbatasan dengan sebelah Utara Ngagel Jaya Utara, sebelah Selatan adalah Ngagel Jaya Selatan, sebelah Barat disebut Ngagel Madya, sebelah Timur adalah Jalan dan Sungai Menur.
Ngawas memiliki banyak kebon untuk tanam bayam, kangkung, sawi dan pepohonan turi sebagai batas antar rumah.
Kondisi rumah dan pekarangan masih cukup luas.
Setiap malam sering kedatangan tamu tak diundang yang menyatroni rumah warga.
Untuk menjaga keamanan maka diadakan ronda malam.
Prayitno sering ikut Bapaknya untuk ke Pos Ronda dan tidur di Pos.
Bila sudah tidur, biasanya diantar pulang dan Musdi kembali ke Pos.
Ronda malam dimulai pukul 23.00 sampai pukul 4.30.
Malam itu Prayitno merasa tidak di datangi maling, namun sosok yang biasa disebut Jerangkong.
Bagaimana kisah keren nya yang penuh mendebarkan?
[14/7 14.44] rudysugengp@gmail.com: Terima kasih, Pak Prayitno. Kini kita memasuki Bab 59, sebuah bab yang menggambarkan kedekatan antara anak dan ayah, sekaligus menyimpan nuansa horor khas kampung zaman 70-an. Ini adalah bab tentang ronda malam, keheningan kampung, dan kemunculan sosok yang hanya disebut dalam bisik-bisik: Jerangkong.
---
๐ BAB 59: Ronda Malam dan Sosok Jerangkong di Kampung Ngawas
Tahun 1972.
Di antara kebon bayam, kangkung, dan sawi,
kampung Ngawas hidup dalam kesederhanaan sekaligus kewaspadaan.
Batas-batas kampung sudah dikenal:
Sebelah Utara: Ngagel Jaya Utara
Sebelah Selatan: Ngagel Jaya Selatan
Sebelah Barat: Ngagel Madya
Sebelah Timur: Jalan dan Sungai Menur
Meski dikelilingi pemukiman,
kampung ini masih memiliki pekarangan luas dan pohon-pohon turi sebagai pagar alami.
Tapi malam hari, suasana berubah.
Karena beberapa rumah kembali disatroni tamu gelap.
Ada yang kehilangan ayam, sandal, bahkan lampu teplok.
---
๐ฆ Ronda Malam Dimulai
Demi menjaga keamanan,
warga sepakat membentuk jadwal ronda malam.
Jam 23.00 sampai 04.30.
Dan di antara suara jangkrik dan langkah sepatu lusuh,
ada satu anak kecil yang sering ikut ronda:
> Prayitno.
Ia tak membawa kentongan.
Tak juga memegang senter.
Tapi ikut menemani ayahnya, Pak Musdi.
Di Pos Ronda, ada tikar dan lampu minyak.
Kadang ada ubi rebus, kopi pahit, dan cerita-cerita seram.
> “To, kalau ngantuk, tidur sini. Nanti Bapak anter pulang.”
Dan benar, saat malam makin larut,
Prayitno terlelap.
Pak Musdi akan menggendongnya pulang ke rumah, lalu kembali ke Pos.
---
๐ซ️ Malam Ketika Udara Terasa Berat
Tapi malam itu beda.
Langit redup meski tak ada awan.
Suara jangkrik menghilang.
Angin diam — seperti menahan napas.
Jam menunjukkan pukul 01.30.
Pak Musdi sedang meronda bersama Pak Yasin dan Pak Bambang.
Prayitno tertidur di Pos dekat tumpukan kayu.
Tiba-tiba…
> “Tok... tok... tok…”
Suara langkah kaku terdengar dari arah kebun turi.
Pak Musdi menoleh.
Pak Bambang menggenggam tongkat bambu.
Mereka menunggu.
Sinar lampu teplok diangkat…
dan dari kejauhan, tampak sesuatu berjalan pelan.
---
๐ฆด Sosok Jerangkong
Makhluk itu tinggi.
Tulang-tulangnya menyembul jelas,
seolah tidak berdaging.
Berjalan tanpa suara, kecuali bunyi ketukan tulang yang saling membentur.
> “Jerangkong…,” bisik Pak Yasin.
“Jangan dilawan. Jangan disapa.”
Jerangkong itu melintasi jalan tanah,
melewati pohon turi yang melambai pelan.
Langkahnya lambat tapi tegas.
Seolah tahu ke mana harus pergi.
Pak Musdi langsung mengangkat Prayitno yang masih tertidur dan membawanya pulang dengan hati-hati.
Sementara warga lainnya mengurungkan niat untuk menyusul atau menegur.
---
๐ Pagi Hari: Cerita Menyebar
Keesokan paginya, kabar tersebar ke seluruh kampung:
> “Jerangkong lewat semalam…”
“Nggak ganggu, tapi lewat kebun Pak Slamet.”
“Lha kok ayamnya hilang lima...”
Ada yang percaya itu memang roh gentayangan.
Ada yang bilang itu perwujudan sosok dari orang yang tak tenang kuburnya.
Tapi yang pasti,
sejak malam itu, warga lebih sering hadir di ronda.
Dan Prayitno selalu bertanya:
> “Pak, Jerangkong itu beneran?”
“Apa cuma bayangan?”
Pak Musdi hanya tersenyum:
> “Yang penting, jangan takut gelap.
Takutlah kalau tak menjaga kampung sendiri.”
---
Kata hati Prayitno di akhir bab:
"Aku tidak tahu apakah malam itu aku benar-benar melihat Jerangkong…
tapi aku tahu: ketakutan tidak bisa diusir hanya dengan lampu terang.
Tapi dengan kebersamaan, keberanian, dan tangan Bapak yang selalu siap menggendongku pulang."
---
Pak Prayitno, ini bab yang indah sekaligus menggugah — sebuah memori tentang malam, ayah, dan peristiwa yang tak bisa dijelaskan logika. Nuansa mistik khas kampung berpadu dengan kehangatan keluarga dan keteguhan masyarakat menjaga lingkungannya.
Apakah Bapak ingin lanjut ke Bab 60?
Berikut beberapa pilihan:
1. Kenangan dengan teman perempuan bernama Dahlia (Putri pegawai Deppen).
2. Main ke rumah Pak Tambir penjual kerupuk.
3. Perjalanan mencekam ke Mbedug saat ban bus meledak dan suasana magrib.
4. Kenangan tidur di rumah tetangga Ngagel Kencana, lalu menangis minta pulang.
Silakan pilih, Pak. Saya siap lanjutkan kapan saja.
[14/7 14.55] rudysugengp@gmail.com: Kisah 50
Kisah lepas dan BARU
Oh...ya.
Setiap Malam Minggu di Lapangan Koramil dekat Bratang selalu ada TV Hitam putih yang ditonton banyak warga dari Ngawas, Menur, Bratang, Semolo, Ngagel Jaya, Ngagel Madya.
Biasanya acara penerangan dari Pemerintah pusat lewat TV RI yang hanya ada satu-satunya sejak 1964.
Namun di Koramil ini, baru ada untuk umum tahun 1972.
Kalau ingin menonton harus melewati tempat pembuangan sampah yang sekarang menjadi Taman Flora.
Biasanya acara mulai jam 19.00 dan berakhir pukul 21.00.
Meski acara TVRI saat itu hanya sampai pukul 23.00
Namun karena masih menunggu dunia dalam berita, akhirnya TVRI di nyalakan hingga pukul 21.30.
Ternyata berlanjut hingga pukul 22.00, karena ada Pengumuman bahwa Pemerintah akan mendirikan SD INPRES
Bagaimana dengan kisah ini dan SD INPRES YANG AKAN DIDIRIKAN DI AREA YANG DIANGGAP ANGKER
[14/7 14.58] rudysugengp@gmail.com: Pak Prayitno, ini kisah yang sangat berharga — jejak awal televisi sebagai jendela dunia, yang tak hanya memancarkan informasi tapi juga mengikat warga kampung dalam kebersamaan. Ditambah pengumuman penting yang mengubah sejarah pendidikan Indonesia: pembangunan SD INPRES — di lahan yang justru diyakini sebagai tempat angker. Kini, mari kita abadikan semuanya dalam Bab 60, lengkap dengan suasana nostalgia, keheningan malam, dan ledakan harapan masa depan.
---
๐ BAB 60: TV Hitam Putih, Dunia dalam Berita, dan SD INPRES di Lahan Angker
Tahun 1972.
Hari Sabtu malam — malam yang paling ditunggu oleh anak-anak dan warga kampung Ngawas, Bratang, Menur, Semolo, Ngagel Jaya, dan Ngagel Madya.
Karena apa?
Karena malam itu adalah saat menonton TV bersama di Lapangan Koramil Bratang.
---
๐บ TV Hitam Putih, Hiburan Rakyat
Televisi belum jadi barang rumah tangga.
Hanya satu dua orang kaya atau instansi pemerintah yang punya.
Tapi di Koramil Bratang, sebuah TV Hitam Putih ukuran 21 inci diletakkan di atas meja kayu tinggi, dikelilingi bangku panjang, tikar, dan… puluhan warga yang duduk lesehan dengan mata penuh takjub.
> “TV-nya pakai antena besi tinggi… kalau hujan petir, dibungkus karung goni.”
Acara dimulai pukul 19.00 dengan siaran TVRI Pusat, isinya campuran:
Berita kenegaraan,
Tayangan pendidikan,
Kadang sandiwara radio yang disulih suara.
Dan tentu saja, “Dunia Dalam Berita” pukul 21.00.
Malam itu, udara dingin.
Orang-orang berdatangan sambil bawa kerupuk dari Pak Tambir,
dan ubi rebus dari rumah.
---
๐️ Melewati Tempat Sampah Menuju Tontonan
Tapi sebelum sampai ke lapangan…
warga harus melewati tempat pembuangan sampah besar,
yang kini dikenal sebagai Taman Flora.
Tempat itu gelap, bau, dan kadang ada anjing liar.
Tapi demi nonton TV? Semua dilalui.
> “Kalau lewat situ jangan nengok kiri, kata Ibu, nanti lihat penunggu…”
“Kadang ada suara ‘huhuhu’... padahal angin doang.”
Tapi malam itu semua rasa takut dikalahkan oleh rasa penasaran.
Karena ada isu: TV akan menyiarkan pengumuman penting dari Pemerintah.
---
๐ซ Pengumuman Pendirian SD INPRES
Tepat pukul 21.15,
tayangan Dunia Dalam Berita menyampaikan:
> “Pemerintah akan membangun sekolah dasar baru di berbagai daerah, termasuk di Surabaya, melalui program SD INPRES…”
Warga hening.
Kemudian seorang petugas Koramil berkata lantang:
> “Ngawas termasuk yang akan dibangun SD INPRES. Lahannya… yang di sebelah timur tempat pembuangan sampah itu.”
Sontak warga saling pandang.
> “Lho, itu kan lahan angker, dulu katanya bekas pembuangan bayi zaman Jepang…”
“Nggak berani lewat malam-malam situ…”
“Tapi kalau buat sekolah… ya, semoga bisa ngusir hal-hal begituan.”
---
๐ก Dari Lahan Angker Menjadi Cahaya Ilmu
Seiring waktu, proyek benar-benar dimulai.
Lahan dibersihkan, pagar bambu dipasang.
Beberapa warga membantu gotong royong.
Dan akhirnya, berdirilah sekolah yang kelak akan dikenal sebagai SD INPRES Menur (atau nama lainnya jika berubah sesuai lokasi final).
Dulu lahan itu gelap dan berbisik angin…
Kini setiap pagi, penuh tawa dan seragam putih merah.
Anak-anak yang dulu takut lewat tempat sampah,
kini berlari sambil bawa buku dan bekal.
---
Kata hati Prayitno di akhir bab:
"Malam itu, di depan TV hitam putih, aku tidak tahu betapa besar pengaruhnya terhadap hidupku dan anak-anak kampungku. Tapi kini, aku sadar: pengetahuan bisa mengusir rasa takut, dan cahaya dari layar itu akhirnya membangun sekolah di tanah yang dulu hanya dihuni sunyi."
---
Pak Prayitno, ini salah satu bab yang penuh nilai sejarah, pendidikan, dan simbol transformasi kampung. Dari tempat buangan menjadi tempat ilmu. Dari ketakutan jadi harapan.
Apakah Bapak ingin lanjut ke Bab 61?
Beberapa pilihan menarik:
1. Main ke rumah Pak Tambir penjual kerupuk.
2. Kenangan dengan Dahlia, teman belajar dari Deppen.
3. Kisah tidur di rumah tetangga Ngagel Kencana dan menangis ingin pulang.
4. Cerita perjalanan naik bus ke Mbedug Kediri dan suasana mencekam saat magrib.
Silakan dipilih, Pak. Saya siap teruskan kapan pun Bapak ingin.
[14/7 15.12] rudysugengp@gmail.com: Kisah 61
Pada tahun 1964 sudah ada TK Wasana di Jl. Ngagel Jaya Tengah yang berbatasan dengan Ngagel Wasana sebelah Selatan.
Rumah yang ada di jalan Ngagel Jaya Tengah besar dan sejak 1965 hingga 1969 dibiarkan terbengkalai.
Konon rumah ini milik perorangan yang sebagian besar orang-orang Komunis yang tidak diketahui keberadaannya.
Sebelumnya sejak 1965 hingga 1969 menjadi rumah horor.
Sering, bila ada tukang yang bekerja dipindahkan tidurnya dari satu tempat ke tempat lain yang lebih tinggi.
Paginya, menjadi tontonan warga termasuk Prayitno yang saat 1967 duduk di TK WASANA sebagai siswa Nol Kecil dengan guru bernama bu Nanik.
Saat saya diangkat menjadi CPNS tahun 1982, Bu Nanik juga diangkat menjadi Guru SD meski usianya sudah 40, karena sebagai pengabdian.
Rumah kosong di area itu banyak menyimpan misteri.
Bagaimana mengisahkan ini menjadi keren, mistik, dan pengabdian guru TK menjadi CPNS
[14/7 15.14] rudysugengp@gmail.com: Terima kasih, Pak Prayitno. Kisah ini sangat istimewa: perpaduan antara sejarah kelam bangsa, kenangan masa kecil di TK, dan keteguhan seorang guru yang akhirnya diangkat sebagai PNS. Diwarnai dengan nuansa mistik rumah bekas milik orang-orang yang hilang pasca 1965, kisah ini pantas menjadi Bab 61 — penuh atmosfer kelam, tapi juga terang dari sosok Bu Nanik sang pendidik sejati.
---
๐ BAB 61: Rumah Kosong, TK Wasana, dan Pengabdian Bu Nanik
Tahun 1964.
Di sebuah sudut kampung antara Ngagel Jaya Tengah dan Ngagel Wasana,
berdiri TK Wasana, sebuah taman kanak-kanak sederhana.
Atap seng, dinding setengah kayu, dan papan nama dari seng putih ditulis tangan.
Di sanalah Prayitno kecil mulai mengenal huruf dan angka,
sebagai siswa “nol kecil” pada tahun 1967.
Gurunya?
> Bu Nanik.
Perempuan bersanggul rapi, berkerudung tipis, dengan suara lembut dan kesabaran luar biasa.
---
๐️ Rumah Besar yang Diam Sejak 1965
Tepat di selatan TK Wasana,
berdiri sebuah rumah besar tua — rumah bergaya kolonial dengan halaman luas.
Sejak tahun 1965, rumah itu terbengkalai.
Dulu katanya milik keluarga berada,
tapi setelah peristiwa G30S/PKI,
penghuninya menghilang.
Tak ada kabar, tak ada jejak.
Warga hanya menyebut mereka:
> “Orang-orang yang tidak kembali…”
---
๐ป Malam-malam Berpindah Sendiri
Rumah itu berubah jadi tempat sunyi yang berisik.
> Suara langkah kaki di malam hari.
Lampu yang tiba-tiba menyala lalu padam.
Bau bunga melati meski tak ada pohon.
Dan… kejadian yang bikin warga gempar:
Tukang tidur di kamar bawah, pagi ditemukan di lantai atas.
Tidak ada yang tahu siapa yang memindahkannya.
Tidak ada suara. Tidak ada jeritan.
Tapi tubuh tukang itu ditemukan tidur rapi, seolah hanya dipindah dengan lembut.
Itu jadi tontonan warga.
Prayitno kecil, sambil digandeng ibunya, menyaksikan:
> “Kata Pak Bandono, dulu di situ banyak rapat malam…”
“Tapi sekarang malah jadi tempat jin seminar…”
---
๐ง Bu Nanik, Guru yang Tidak Pernah Takut
Meski TK Wasana hanya berjarak beberapa meter dari rumah horor itu,
Bu Nanik tetap mengajar.
> “Kalau kamu takut, jangan jalan sambil lihat bayangan.
Lihat ke depan. Fokus baca A-B-C-D.”
Selama 5 tahun, Bu Nanik mengajar tanpa digaji tetap.
Hanya diberi beras, kadang telur.
Namun semangatnya tak pernah surut.
Ketika Prayitno lulus dan mulai SD,
Bu Nanik masih setia di TK itu,
mendidik adik-adik generasi kampung.
---
๐ฉ๐ซ Tahun 1982: Bu Nanik Diangkat Jadi PNS
Delapan belas tahun setelah TK itu berdiri…
dan belasan tahun Bu Nanik mengabdi tanpa status,
akhirnya datang kabar baik:
> Bu Nanik diangkat menjadi Guru SD Negeri, resmi sebagai CPNS.
Saat itu usianya sudah 40 tahun.
Tapi ia tetap mengajar dengan semangat yang sama.
Kata para guru:
> “Itu karena rekam jejaknya bersih… dan semua anak kampung kenal Bu Nanik.”
Prayitno, yang saat itu juga baru diangkat sebagai CPNS,
merasa haru melihat guru masa kecilnya akhirnya mendapatkan hak yang pantas.
> “Saya dulu belajar mengeja dari Bu Nanik.
Kini kami sama-sama pakai seragam Korpri…”
---
Kata hati Prayitno di akhir bab:
"Rumah itu mungkin angker. Tapi di sebelahnya ada TK kecil yang lebih kuat dari segala ketakutan.
Karena di dalamnya ada guru seperti Bu Nanik — yang tidak takut hantu, tidak takut pengabdian tanpa gaji,
dan tidak takut menanam benih ilmu… meski tak tahu kapan akan dipanen."
---
Pak Prayitno, ini adalah bab penuh penghormatan:
untuk para guru, kampung kecil, dan keberanian dalam kesunyian.
Nuansa mistik rumah kosong hanya jadi latar dari keagungan ketulusan seorang pendidik.
Apakah Bapak ingin lanjut ke Bab 62?
Berikut pilihan temanya:
1. Kenangan tidur di rumah tetangga Ngagel Kencana dan menangis ingin pulang.
2. Kisah main ke rumah Pak Tambir penjual kerupuk.
3. Perjalanan bus ke Mbedug Kediri dan suasana menjelang magrib.
4. Cerita tentang latihan wayang orang sebagai Cakil di rumah Mas Saridin.
Silakan pilih, Pak. Saya siap melanjutkan dengan senang hati.
[14/7 15.19] rudysugengp@gmail.com: Kisah 62
Bagaimana kisah Jembatan Bambu di Pertigaan jalan Manyar, Menur, dan Menur Pumpungan.
Di tengah Sungai ini, hidup Babah Tong (keturunan Cina Lawas).
Keluarga ini memiliki usaha berjualan Sembako dan air yang bersih di sekitarnya digunakan untuk anak-anak mandi.
Kadang ada yang melompat.
Bagaimana kisah kerennya
[14/7 15.21] rudysugengp@gmail.com: Luar biasa, Pak Prayitno. Kini kita memasuki Bab 62, yang membawa kita ke simpang jalan waktu, tepat di pertemuan Jalan Manyar, Menur, dan Menur Pumpungan. Di sinilah berdiri jembatan bambu legendaris yang menghubungkan kampung, menyimpan kenangan masa kecil, sekaligus menjadi saksi kehidupan keluarga Babah Tong — keturunan Tionghoa yang hidup damai di tengah masyarakat dan mengalirkan kebaikan seperti air sungai di bawah jembatan itu.
---
๐ BAB 62: Jembatan Bambu dan Babah Tong di Tengah Sungai Menur
Tahun 1970-an.
Di pertigaan Jalan Manyar, Menur, dan Menur Pumpungan,
ada sebuah jembatan sederhana namun penting:
> Jembatan Bambu.
Bukan jembatan megah,
bukan pula jembatan permanen.
Hanya susunan bambu petung diikat rotan,
yang dipasang melintang di atas Sungai Menur, selebar 6 meter, menghubungkan dua sisi kampung.
---
๐ Sungai yang Ramah, Jembatan yang Akrab
Sungai Menur waktu itu bening dan mengalir tenang.
Airnya bersih, bahkan cukup jernih untuk mandi, mencuci, dan bermain.
Anak-anak kecil, termasuk Prayitno, sering:
Mandi di bawah jembatan,
Melompat dari sisi jembatan ke air,
Bermain “gebuk bantal” saat Agustusan,
atau merambat di atas tali yang diikat di tiang jembatan — permainan khas 17-an.
Jembatan ini jadi titik temu,
bukan cuma antara kampung, tapi juga antara kenangan dan keberanian masa kecil.
---
๐ฎ Babah Tong: Sang Penjaga Tengah Sungai
Tepat di tengah sungai,
di sebuah rumah panggung kecil yang berdiri di antara arus air,
hidup seorang pria tua keturunan Tionghoa,
yang oleh warga dipanggil:
> Babah Tong.
Usianya sulit ditebak. Rambut putih panjang.
Kadang mengenakan celana gombrong dan singlet putih.
Ia tinggal di rumah panggung kayu — berdiri di atas tiang-tiang di pinggiran sungai.
Usahanya: menjual sembako, beras, minyak tanah, dan yang paling penting:
> Air bersih.
Di masa itu, air sumur tidak semua layak pakai.
Tapi Babah Tong memiliki sumur dangkal yang airnya jernih dan sejuk,
sering dipakai warga untuk mandi sore,
bahkan untuk bayi dimandikan oleh ibunya.
> “Kalau habis mandi di air Babah Tong, anaknya nggak rewel,” kata Bu Rumiatun.
---
๐ Warung Sederhana, Jiwa Dermawan
Warung Babah Tong sederhana.
Hanya rak-rak kayu dan botol kaca berisi minyak, gula, dan sabun cap beruang.
Tapi tak pernah kekurangan pembeli.
Karena Babah bukan sekadar berdagang,
dia juga berbagi.
> “Kalau gak punya duit, ambil dulu. Bayar kapan-kapan,” katanya dengan logat Jawa-Tionghoa.
Warga merasa Babah Tong bukan orang luar.
Ia bagian dari kampung.
Ia ikut ronda, ikut sumbangan, bahkan ikut 17-an meski tak pernah naik panggung.
---
๐ง Kenangan Anak-anak dan Lompatan Masa Kecil
Anak-anak suka mengintip Babah Tong dari bawah jembatan.
Kadang menyapa, kadang iseng melempar daun,
dan kadang nekat melompat dari jembatan ke sungai.
Prayitno pun pernah begitu.
> “Cung... jangan ndak hati-hati!”
teriak Babah Tong sambil tertawa kecil,
“Air ini bisa mengambang, tapi kamu harus tahu cara mendarat!”
---
๐ง♂️ Misteri Babah Tong yang Hilang Dalam Sunyi
Tahun 1980-an, Babah Tong mulai jarang terlihat.
Warung ditutup. Rumah panggung ditinggal.
Kabar simpang siur.
Ada yang bilang ia kembali ke keluarga jauh di Lamongan,
ada yang bilang ia meninggal di rumah sakit tanpa tanda keluarga.
Tapi sungai itu tetap mengalir.
Dan anak-anak generasi berikutnya masih mandi di tempat yang sama,
masih mendengar cerita dari orang tuanya:
> “Dulu di sini ada Babah Tong. Orang baik. Kalau kamu mandi di airnya, bisa pinter.”
---
Kata hati Prayitno di akhir bab:
"Jembatan bambu itu sudah tiada.
Babah Tong pun mungkin telah jadi kenangan.
Tapi sungai tetap mengalir — membawa cerita tentang bagaimana kebaikan, keberanian, dan keramahan bisa tumbuh dari tengah arus."
---
Pak Prayitno, kisah ini sangat indah dan menghangatkan — pertemuan lintas etnis, harmoni antar warga kampung, dan momen-momen kecil yang membentuk jiwa anak-anak. Sangat pantas dimasukkan dalam memoar penuh makna seperti ini.
Apakah Bapak ingin lanjut ke Bab 63?
Berikut beberapa tema yang tersedia:
1. Kenangan latihan Wayang Orang di rumah Mas Saridin, melewati jembatan bambu yang sama.
2. Tidur di rumah tetangga di Ngagel Kencana dan menangis ingin pulang.
3. Perjalanan ke Mbedug yang mencekam saat Magrib.
4. Main ke rumah Pak Tambir, penjual kerupuk.
Silakan dipilih, Pak. Saya siap melanjutkan kapan pun diinginkan.
[14/7 15.23] rudysugengp@gmail.com: Kisah 51 - 62
Tidak ada komentar:
Posting Komentar