[8/7 17.17] rudysugengp@gmail.com: Kisah 12 Villa Cahaya
[8/7 17.17] rudysugengp@gmail.com: Bantu tuliskan kisah Perjalanan malam satu Suro 2019 bersama SDN Wonokusumo V Surabaya ke Villa Cahaya di Claket Mojokerto Jawa Timur
Kisah diawali dari perjalanan sebulan sebelumnya bahwa dengan adanya Liburan hari Sabtu (tanggal merah), 31 Agustus 2019 perlu refreshing.
Saat itu SD di Surabaya masih masuk ketika Senin - Sabtu.
Beberapa pilihan Villa, akhirnya di Villa milik Istri Guru Lakbansa.
Dapat Diskon untuk Sewa kamar.
Perjalanan di awali tepat Jumat sekitar pukul 13.00 dari Jl. Wonokusumo Tengah menuju Villa.
[8/7 17.17] rudysugengp@gmail.com: Berikut adalah kisah Perjalanan Malam Satu Suro 2019 bersama SDN Wonokusumo V Surabaya ke Villa Cahaya, Claket Mojokerto, Jawa Timur, dalam bentuk narasi:
---
Judul: Perjalanan Malam Satu Suro ke Villa Cahaya
Pada bulan Agustus 2019, suasana di SDN Wonokusumo V Surabaya terasa penuh semangat. Setelah menjalani rutinitas belajar yang padat—Senin hingga Sabtu—guru dan staf merencanakan sebuah perjalanan kecil untuk menyegarkan pikiran. Kebetulan, Sabtu tanggal 31 Agustus adalah hari libur nasional. Itu artinya: momen yang pas untuk refleksi, rekreasi, dan silaturahmi.
Sebulan sebelum keberangkatan, panitia kecil mulai membahas rencana liburan. Beberapa pilihan villa sempat dipertimbangkan. Tapi akhirnya pilihan jatuh pada Villa Cahaya di Claket, Mojokerto—sebuah kawasan sejuk di kaki pegunungan Pacet. Villa ini merupakan milik istri dari Pak Lakbansa, salah satu guru di sekolah. Kabar baiknya, karena hubungan kekeluargaan, harga sewa kamar pun mendapatkan diskon khusus. Ini membuat suasana makin semarak.
Hari yang ditunggu pun tiba.
Jumat, 30 Agustus 2019 – Awal Perjalanan
Sekitar pukul 13.00 WIB, rombongan berangkat dari Jl. Wonokusumo Tengah. Beberapa guru membawa kendaraan pribadi, dan sebagian lainnya menumpang bersama. Cuaca Surabaya siang itu cukup terik, namun semangat untuk berlibur mengalahkan panasnya jalanan.
Perjalanan melewati tol Surabaya–Mojokerto terasa lancar. Begitu memasuki kawasan Trawas dan Claket, suhu mulai turun. Hembusan angin pegunungan membawa aroma tanah basah dan dedaunan, menyambut kedatangan rombongan yang penat oleh kesibukan kota.
Setibanya di Villa Cahaya, hari sudah mulai sore. Pemandangan dari villa menyejukkan hati: hamparan bukit, udara bersih, dan suara jangkrik dari balik pepohonan menyambut seperti sahabat lama. Beberapa anak guru yang ikut serta langsung berlarian, menikmati taman dan udara yang berbeda dari Surabaya.
Malam Satu Suro – 1 Muharram 1441 H
Tak disangka, malam itu bertepatan dengan Malam Satu Suro, malam yang dalam tradisi Jawa sarat makna spiritual. Di ruang tengah villa, guru-guru berkumpul. Ada yang membawa camilan, ada yang membuat kopi, ada yang menyiapkan musik akustik ringan. Lalu tanpa direncanakan secara formal, suasana berubah menjadi malam renungan.
Pak Munib membuka pembicaraan:
> "Malam ini bukan sekadar liburan. Ini malam Suro. Waktunya kita merenung: sudah sejauh mana pengabdian kita kepada anak-anak bangsa?"
Beberapa guru bercerita tentang murid-murid mereka: anak yang berubah sikap karena sering dinasihati, murid yang diam-diam ternyata memendam mimpi besar, atau keluarga murid yang harus bekerja keras demi menyekolahkan anak-anaknya.
Suasana menjadi khidmat. Suara angin malam dan gemerisik pohon pinus di luar seolah menjadi musik latar perenungan itu. Tak ada ritual mistik. Yang ada hanyalah keheningan hati, tawa ringan, dan doa-doa lirih untuk masa depan yang lebih baik.
Keesokan Paginya – 31 Agustus 2019
Mentari pagi menyelinap masuk lewat sela-sela jendela. Embun di daun-daun masih menggantung. Guru-guru berjalan-jalan di sekitar villa, sebagian membawa anak-anak menyusuri jalan desa. Di dapur, aroma kopi dan gorengan buatan Bu Dini sudah tercium dari jauh.
Sebelum kembali ke Surabaya, rombongan berkumpul untuk foto bersama di halaman villa, dengan latar belakang pegunungan yang indah. Beberapa guru sempat berkata:
> "Kapan-kapan kita ke sini lagi. Tapi bukan cuma buat liburan. Mungkin buat pelatihan kecil, atau nulis buku bareng."
Mereka pulang dengan hati yang lebih ringan, pikiran yang lebih segar, dan semangat baru untuk kembali ke ruang kelas—tempat pengabdian sesungguhnya.
---
Jika diinginkan, kisah ini bisa dikembangkan menjadi buku kenangan perjalanan, lengkap dengan foto-foto dan testimoni para guru. Atau bisa juga disusun sebagai skenario drama panggung tentang malam refleksi di Suro. Mau saya bantu ke arah sana?
[8/7 17.25] rudysugengp@gmail.com: Usai Magrib teman-teman (kebetulan semua beragama Islam), baik guru, tenaga admin, dan KS.
Melantunkan doa berupa Zikir di Mushola.
Semua belum terasa kalau Malam itu 1 Syuro.
Kolam renang dihias dengan hiasan balon tulisan dan perahu kertas berjalan yang diberi lilin.
Tidak lupa bernyanyi karaokean dan menyalakan Petasan.
Pendek kata, tidak merasa bahwa malam itu Happy saja
Makan 3 kali (malam, pagi, prasmanan dan siang/kotakan).
[8/7 17.26] rudysugengp@gmail.com: Terima kasih, informasinya sangat lengkap dan memberi warna yang khas dari perjalanan itu. Berikut saya lanjutkan narasi kisah “Perjalanan Malam Satu Suro 2019 ke Villa Cahaya” dengan tambahan yang Anda sampaikan, ditulis seperti kisah kenangan yang hangat namun jujur dan menghibur:
---
Judul: Suro yang Tak Terasa – Villa Cahaya, Claket 2019
…lanjutan dari perjalanan…
Sesampainya di Villa Cahaya, udara sejuk Claket langsung menyambut rombongan dari SDN Wonokusumo V Surabaya. Tas-tas diturunkan, kamar-kamar dibagi. Villa itu tampak bersih dan lapang. Beberapa anak guru langsung menuju halaman, yang lain sibuk melihat-lihat dapur dan tempat istirahat. Ada yang tertawa karena kamar yang dipesan ternyata bersebelahan dengan guru yang paling galak—tapi justru itu jadi hiburan.
Usai Magrib: Doa Bersama
Saat adzan Magrib berkumandang, hampir seluruh rombongan berkumpul di mushola kecil yang ada di sudut bangunan villa. Karena seluruh peserta kebetulan beragama Islam—guru, tenaga admin, hingga kepala sekolah—maka sehabis sholat, suasana pun menjadi hening dan khusyuk. Doa dilantunkan. Zikir dibaca pelan-pelan, mengalir seperti bisikan dari hati yang lelah namun tetap bersyukur.
Menariknya, belum satu pun yang sadar bahwa malam itu adalah malam 1 Suro, atau 1 Muharram 1441 Hijriah. Tidak ada pengumuman, tidak ada penanda. Semua merasa, ini malam Jumat yang biasa saja. Malam liburan.
Kejutan di Kolam Renang
Malam mulai turun sempurna. Lampu-lampu villa dinyalakan. Di sekitar kolam renang, panitia kecil ternyata sudah menyiapkan hiasan balon bertuliskan “Happy Gathering”, lengkap dengan perahu-perahu kertas yang dilengkapi lilin kecil. Ketika lilin-lilin itu dinyalakan dan perahu mulai meluncur pelan di permukaan air, suasana terasa seperti pesta kecil di pegunungan.
Beberapa guru berpose dengan balon, yang lain sibuk mengambil foto. Ada juga yang menyetel musik ringan. Lalu dimulailah sesi karaoke. Lagu-lagu nostalgia dan pop campur aduk memenuhi udara Claket malam itu. Tak lama kemudian, anak-anak menyulut petasan kecil yang membuat suasana makin meriah.
Siapa sangka, malam 1 Suro yang dalam budaya Jawa sering dikaitkan dengan nuansa sakral dan tenang, malam itu justru terasa ceria, hangat, dan sangat manusiawi. Sebuah malam yang menyatukan kebersamaan tanpa beban mistik.
Makan, Makan, dan Makan Lagi
Soal makan, jangan ditanya.
Malam itu: Makan malam ala rumahan disiapkan hangat-hangat, lengkap dengan kerupuk dan sambal buatan sendiri.
Pagi harinya: Sarapan gaya prasmanan—ada nasi goreng, mie rebus, telur dadar, teh manis panas, dan roti selai.
Siang sebelum pulang: Makanan kotakan yang sudah dipesan sebelumnya dibagikan. Makan dengan lesehan, sambil menunggu mobil datang menjemput.
Seolah semua lapar tak hanya karena udara sejuk, tapi juga karena hati yang bahagia.
Akhir Perjalanan
Sekitar pukul 13.00 keesokan harinya, rombongan kembali ke Surabaya. Jalanan cukup lancar. Sepanjang perjalanan, masih terasa sisa tawa dan cerita dari malam sebelumnya. Ada yang tertidur di mobil, ada yang masih mengulang lagu karaoke, dan ada yang tiba-tiba sadar sambil tertawa sendiri:
> “Lho… Malam tadi itu malam Satu Suro to? Kok rasanya malah kayak tahun baruan ya?”
Dan di situlah letak keistimewaannya: kebahagiaan yang datang bukan karena ritual, tapi karena hati yang tulus saling menyambung.
---
Jika Anda ingin, kisah ini bisa dicetak dalam buku kecil kenangan reuni, atau ditambah galeri foto dan testimoni guru-guru. Saya juga bisa bantu menyusunnya sebagai naskah drama pendek atau sandiwara radio ringan. Perlu saya bantu ke bentuk lain?
[8/7 17.38] rudysugengp@gmail.com: Acara dilanjutkan ke tempat Outbond pada paginya.
Sebelumnya Senam pagi di sekitar Villa.
Outbond ke Claket Adventure Park di Hari Sabtu Pagi dengan fasilitas Tempat tidur susun 5 di antara dua pohon, flying fox, dan foto di tempat ekstrem
[8/7 17.39] rudysugengp@gmail.com: Terima kasih! Saya lanjutkan kisah perjalanan tersebut dengan menambahkan bagian Senam Pagi dan Outbond ke Claket Adventure Park, tetap dalam gaya narasi yang hangat dan hidup.
---
Judul: Suro yang Tak Terasa – Villa Cahaya, Claket 2019
…lanjutan dari malam penuh tawa dan nyanyian…
Pagi yang Cerah: Senam di Bawah Kabut Tipis
Sabtu pagi, 31 Agustus 2019. Udara Claket yang dingin membuat sebagian peserta enggan bangun. Tapi panitia sudah siap: speaker dinyalakan, lagu senam “Maumere” bergema dari halaman villa.
Satu per satu guru dan keluarga keluar dari kamar. Jaket masih menempel, tangan masih mengusap mata, tapi perlahan tubuh mulai bergerak mengikuti irama. Senam pagi pun dimulai, di bawah langit yang masih berwarna kelabu, dikelilingi pohon-pohon pinus dan hawa segar khas pegunungan. Tawa dan keringat menyatu.
Pak Heru dari tenaga admin bahkan sempat teriak sambil joget:
> “Ini baru liburan sehat!”
Menuju Claket Adventure Park – Arena Outbond Penuh Tantangan
Usai sarapan pagi ala prasmanan, rombongan bersiap menuju lokasi Outbond di Claket Adventure Park, tak jauh dari villa. Suasana mulai kembali riuh, apalagi saat memasuki area yang dikelilingi hutan kecil, udara bersih, dan wahana-wahana penuh tantangan.
Beberapa aktivitas yang sangat membekas antara lain:
Tempat Tidur Susun 5
Di antara dua pohon besar, dipasang 5 tingkat hammock atau tempat tidur gantung. Guru-guru yang awalnya takut, akhirnya saling menyemangati. Ada yang tertawa terpingkal saat mencoba naik dan hampir jatuh.
> “Yang di atas jangan kentut ya!” teriak salah satu guru, disambut tawa keras dari bawah.
Flying Fox
Wahana ini jadi primadona. Beberapa guru awalnya ragu, tapi akhirnya mencoba juga. Ketika meluncur di atas lembah kecil, suara teriakan menggema, bercampur antara takut dan gembira.
Foto Ekstrem di Tebing dan Jembatan Gantung
Beberapa spot foto di Claket Adventure Park tergolong ekstrem. Ada yang berpose di jembatan kayu sempit di atas ketinggian, ada pula yang duduk bergaya seolah sedang menggantung di tepi jurang.
Foto-foto ini kemudian jadi koleksi paling banyak dibagikan di grup WhatsApp sekolah.
Menutup dengan Makan Siang dan Pulang Bahagia
Setelah puas ber-outbond, rombongan kembali ke Villa Cahaya. Keringat membasahi baju, tapi wajah-wajah sumringah. Makan siang dalam bentuk kotakan disajikan sederhana, tapi terasa istimewa setelah aktivitas fisik yang membakar energi.
Sekitar pukul 13.00, rombongan pun bersiap pulang. Jalanan turun menuju Surabaya diiringi kabut tipis dan kenangan yang tak akan mudah hilang.
---
Penutup: Liburan, Suro, dan Tawa
Tak ada yang menyangka malam itu adalah malam 1 Suro. Tidak ada ritual khusus, tidak ada suasana horor. Yang ada hanya doa, zikir, petasan, senam, flying fox, dan perahu kertas yang menyala di kolam renang.
Dan barangkali itulah cara terbaik merayakan Suro—dengan kebahagiaan bersama, refleksi ringan, dan tawa tulus tanpa batas.
---
Jika Anda berkenan, saya bisa bantu buatkan:
Ebook PDF berisi kenangan lengkap + ilustrasi
Buku cetak kecil (bisa 30–40 halaman)
Naskah video dokumenter naratif
Versi drama atau sandiwara ringan
Mau saya bantu wujudkan ke bentuk mana dulu?
[8/7 17.47] rudysugengp@gmail.com: Ini Misteri yang belum terpecahkan.
Saat pulang, Bus tidak mau membawa penumpang dari Villa Cahaya sampai menemukan area di luar Claket.
Bus hanya bersedia membawa barang bawaan saja.
Sementara, Bendahara dan Panitia harus mencari kendaraan angkot untuk mengangkut penumpang ke tempat bus yang sudah keluar area dan menunggu di dekat pasar.
Kendaraan yang dicarter harusnya dua sesuai jumlah penumpang.
Namun kendaraan lain tidak mau, dan akhirnya mbalik untuk mengangkut penumpang separuh nya.
Hingga pulang, kami tidak tahu mengapa Sopir Bus yang awalnya berani mengangkut penumpang dari Surabaya ke Villa pada akhirnya.
Baru berani mengangkut penumpang setelah menjauhi villa dan diluar jangkauan.
[8/7 17.56] rudysugengp@gmail.com: *"Jemput Suro di Villa Cahaya"*
Claket, 30–31 Agustus 2019.
Mereka hanya ingin liburan.
Sebentar saja.
Menyegarkan pikiran setelah rutinitas panjang enam hari seminggu di sekolah kota yang panas dan sibuk.
Rombongan SDN Wonokusumo V, lengkap: para guru, staf admin, kepala sekolah, anak-anak, bahkan suami atau istri yang ikut serta. Mereka menumpang sebuah bus pariwisata, berangkat selepas Jumat siang, dan tiba menjelang petang di Villa Cahaya, sebuah rumah gedung berhalaman luas yang berdiri di lereng Claket, Mojokerto.
Malam itu, suasana ramai.
Shalat Magrib di mushola kecil. Lalu berzikir pelan bersama.
Kolam renang dihias balon. Perahu-perahu kertas diberi lilin dan diluncurkan ke air.
Mereka karaoke, menyalakan petasan kecil, tertawa lepas.
Tak ada yang ingat bahwa malam itu adalah malam 1 Suro.
Atau lebih tepatnya: tak ada yang merasa itu penting.
---
Paginya, mereka senam di bawah kabut tipis, lalu outbound ke Claket Adventure Park.
Ada flying fox. Hammock bertingkat lima di antara pohon. Foto-foto ekstrem di jembatan tali yang mengayun di atas lembah.
Tawa tak berhenti. Bahkan saat makan siang dengan kotakan sederhana, mereka masih membahas siapa yang teriak paling keras saat flying fox meluncur.
Tapi siang itu pula, keganjilan dimulai.
Ketika mereka hendak pulang, bus tidak mau menjemput ke villa.
Bukan karena jalan rusak, bukan karena sempit.
Kondisi sama seperti saat mereka datang.
Namun sang sopir—yang sebelumnya ceria—tiba-tiba bicara singkat:
> "Barangnya aja yang saya bawa. Orangnya... jemput sendiri ke luar Claket."
Tak mau menjelaskan lebih jauh.
Panitia kelimpungan. Dua angkot dipesan, tapi yang satu berbalik arah di tengah jalan. Sopirnya gemetar. Tak jelas kenapa.
Akhirnya satu angkot itu harus bolak-balik, mengangkut separuh demi separuh penumpang—anak-anak, guru, tas punggung, tumpukan bantal—menuju bus yang menunggu di dekat pasar, sekitar satu kilometer dari Villa.
Di dalam perjalanan, kepala sekolah pak Rudy sempat berbisik pada Bu Zumaroh :
> “Ibu ingat, waktu doa semalam itu ada yang aneh?”
“Inggih ?”
“Waktu kita zikir... tiba-tiba ada angin lewat, tapi pintu mushola tertutup.”
“Masa sih?”
“Dan... waktu petasan dinyalakan, seperti ada suara balasan dari balik pohon.”
Bu Zumaroh diam. Tapi dalam hati ia mengiyakan. Ia ingat betul, sesaat sebelum perahu kertas dilepas ke kolam, satu lilin padam sendiri, padahal angin nyaris tak ada.
---
Setibanya di Surabaya, semua kembali ke rutinitas.
Tapi kisah itu tetap dibicarakan diam-diam.
Kenapa bus tak mau menjemput dari Villa?
Kenapa hanya bisa membawa "barang" keluar, tapi tidak "orang"?
Kenapa sopir dan kru menolak menjawab, dan segera pergi setelah penumpang naik?
Tak ada yang tahu.
Beberapa mencoba logis.
Beberapa lainnya berkata pelan:
> “Mungkin... malam itu bukan hanya kita yang datang ke Villa Cahaya. Mungkin… ada yang ikut.”
Claket menyimpan kabut.
Suro menyimpan rahasia.
Dan Villa Cahaya, seperti namanya, hanya meminjamkan terang—sebentar saja—untuk mereka yang singgah.
[8/7 20.21] rudysugengp@gmail.com: *"Pethuk suro wonten villa cahaya"*
Claket, 31 agustus 2019.
Piyambakipun sedaya namung badhe liburan. Sekedhap mawon.
Menyegarkan panggalih sasampunipun rutinitas panjang nem dinten seminggu wonten sekolah kitha ingkang benter lan sibuk.
Rombongan SDN Wonokusumo V, jangkep :
para guru, staf kependidikan, lan Kepala Sekolah.
Piyambakipun sedaya numpang setunggaling bis pariwisata, tindak salajeng jemuwah siyang, lan rawuh jelang sonten, wonten Villa cahaya, setunggaling dalem Ageng, berhalaman wiyar ingkang jumeneng wonten lereng claket, Mojokerto.
Dalu menika, kawontenan rame.
Shalat magrib wonten mushola alit.
Lajengi zikir alon sareng.
Kolam-renang dihias balon. perahu-perahu dlancang dipunparingi lilin lan dipunluncuraken dhateng toya.
Piyambakipun sedaya karaoke, murubaken petasan sreng, nggujeng lukar.
Mboten wonten ingkang emut menawi dalu menika malem siji suro.
Utawi miyos leresipun : mboten wonten ingkang rumaos.
---
Enjingipun, piyambakipun sedaya senam wonten ngandhap kabut tipis, lajeng outbound dhateng Claket Adventure Park.
Wonten flying fox. hammock bertingkat gangsal ing antawis wit. Foto-foto ekstrem wonten jembatan tangsul ingkang mengayun wonten inggil lembah.
Gujeng mboten mendel. Malah wekdal dhahar siyang kaliyan kotakan prasaja, piyambakipun sedaya taksih mbahas sinten ingkang mbengok paling seru wekdal flying fox ngluncur.
Nanging siyang menika ugi, keganjilan dipunwiwiti.
Nalika piyambakipun sedaya badhe kondur, bis mboten kersa methuk dhateng villa.
Sanes amargi {margi, mlampah} risak, sanes amargi ripak.
Kondisi sami kados wekdal piyambakipun sedaya rawuh.
Nanging sang sopir— saderengipun ceria, ngubah wicantenan matur enggal :
> "barangipun mawon ingkang kula asta. tiyangipun... pethuk piyambak dhateng jawi claket. "
Mboten kersa njlentrehaken miyos tebih.
Panitia kelimpungan. kalih angkot dipunpesen, nanging ingkang setunggal mbalik arah wonten tengahing margi. Sopiripun gemeter. mboten kantenan kenging menapa.
Pungkasanipun setunggal angkot menika kedah wongsal-wangsul, ngangkut sepalih terus sepalih penumpang malih.
Tas pengkeran, tumpukan bantal—menuju bis ingkang ngentosi wonten celak/caket peken, sawentawis 3 kilometer saking villa.
Wonten lebeting perjalanan, pak rudy sempet omong Alon karo bu Zumaroh :
> “ibu emut , wekdal donga ndalu menika wonten ingkang aneh?”
“inggih ?”
“waktu kula lan panjenengan zikir... ndadak wonten angin langkung, nanging konten mushola ketutup . ”
“masa sih?”
“lan... wekdal petasan dipun sumet, kados wonten suwanten wangsulan saking wangsuling wit . ”
Bu zumaroh mendel. nanging lebeting panggalih panjenenganipun mengiyakan. Panjenenganipun emut leres, sekedhap saderengipun baita dlancang dipunlukar dhateng kolam, setunggal lilin padam piyambak, kamangka angin nyaris mboten wonten.
Seksampune wonten s
Surabaya, sedaya wangsul dhateng rutinitas.
Nanging criyos menika tetep dipun ngendikakaken mendel-mendel.
Kenging menapa bis mboten kersa methuk saking villa?
Kenging menapa namung saged ngasta "barang" miyos, nanging mboten "tiyang"?
Kenging menapa sopir lan kru nolak mangsuli, lan enggal tindak sasampunipun penumpang minggah?
Mboten wonten ingkang ngertos.
Pinten-pinten nyobi logis.
Pinten-pinten sanesipun ngendika alon :
> “mungkin... dalu menika sanes namung kula lan panjenengan ingkang rawuh dhateng villa cahaya. mungkin… wonten ingkang nderek. ”
Claket nyimpen kabut.
Suro nyimpen wados.
Lan villa cahaya, kados asmanipun, namung meminjamkan terang—sewatawis — kanggo piyambakipun sedaya ingkang pinarak.
Kados pundi, crito panjenengan sami ????
Tidak ada komentar:
Posting Komentar