Batal ke Blitar
Saya ingin mendengarkan kisah perjalanan ke Blitar.
Sesaat akan berangkat.
Rumah di Gubeng Klingsingan laku dan anaknya harus berkumpul yaitu driver anak Jumanis.
Mobil putar balik, karena di rumah Jumanis di Surabaya ada masalah.
Peserta di Mobil yaitu Slamet sebagai Driver (adik Jumanis), bu Wati, menjemput Bu Endang Ajis di Gunung Anyar, Bu Bina (keluarga Jumanis) di Sedati, dan Bu Nila di Juanda.
Berangkat jam 7.30 pulang pukul 15.30 dan perjalanan gagal.
[8/7 15.40] rudysugengp@gmail.com: Berikut ini kisahnya dalam bentuk narasi dramatis penuh warna, berjudul:
---
"Perjalanan Gagal ke Blitar"
Pagi itu, udara Surabaya masih basah oleh embun dan sedikit kabut dari sisa hujan semalam. Di Gubeng Klingsingan, rumah keluarga besar Jumanis akhirnya resmi laku terjual. Kabar itu seperti lonceng pemanggil — semua anak diminta berkumpul. Tujuannya: ziarah ke Blitar, mendoakan para leluhur, mengendapkan rencana masa depan setelah rumah warisan itu resmi berpindah tangan.
Slamet, adik Jumanis, sudah siaga sejak subuh. Ia akan menyetir mobil keluarga—Innova hitam yang biasa dipakai saat-saat penting. Di sebelahnya duduk Bu Wati, yang membawa makanan ringan dan air mineral, sambil terus menelepon:
> “Nanti jangan lama-lama di Sedati ya, terus ke Juanda. Kita harus sampai Blitar sebelum Dhuhur.”
Mereka meluncur dari Gubeng, menuju Gunung Anyar menjemput Bu Endang Ajis, wanita yang tak pernah lupa membawa tas berisi sajadah dan minyak kayu putih. Setelah itu, lanjut ke Sedati, tempat Bu Bina menunggu dengan sekarung cengengesan cerita soal masa kecil. Terakhir, di Juanda, Bu Nila sudah berdiri menanti, rapi dan wangi, seolah siap menghadiri pertemuan keluarga kerajaan.
Mobil kini lengkap, terisi tawa dan rencana-rencana. Jam menunjukkan 07.30, dan mobil mulai melaju ke arah selatan. Jalanan belum terlalu padat. Di dalam mobil, semangat berkumpul membuncah:
> “Nanti kita makan di Srengat ya…”
“Kita bisa mampir ke makam Simbah…”
“Jangan lupa foto di depan patung Bung Karno!”
Namun, baru saja roda menjejak Waru, telepon masuk. Nada suara yang terdengar dari ponsel Bu Wati mendadak menegang.
“Halo… Ya, kenapa? APA?! Rumah Jumanis di Surabaya ada masalah?!”
Semua di mobil terdiam. Slamet memperlambat laju kendaraan. Ada ketegangan yang mengalir seperti kabut panas dari dalam dashboard. Masalah yang tak terduga datang dari rumah Surabaya — entah soal dokumen, atau penghuni yang belum siap angkat kaki, atau persoalan pembagian.
“Putar balik, Met,” kata Bu Wati pendek.
Slamet tak bertanya. Ia langsung mencari U-turn dan mengarahkan mobil kembali ke utara. Perjalanan itu berubah menjadi ironi. Mobil yang tadi melaju menuju Blitar kini menelan kecewa ke dalam dashboard-nya.
Jam menunjukkan 09.15 saat mereka kembali masuk Kota Surabaya. Perjalanan yang penuh harap berubah menjadi parade diam dan gumaman tak selesai.
Mereka duduk sebentar di rumah Bu Jumanis yang masih setengah kosong. Surat-surat dibuka ulang, suara nada tinggi mulai terdengar. Hari itu berubah dari momen keluarga menjadi diskusi alot.
Ketika jarum jam menyentuh 15.30, mereka akhirnya memutuskan untuk pulang masing-masing. Blitar tak jadi disambangi. Doa belum jadi dilantunkan. Tapi sesuatu yang lain terucap — mungkin keikhlasan, mungkin rasa belum selesai.
---
Catatan Akhir:
Tak semua perjalanan berakhir di tujuan. Kadang, putar balik bukan karena gagal, tapi karena masih ada yang harus dibereskan di tempat kita mulai.
Maukah cerita ini saya kembangkan menjadi naskah drama atau skenario pendek?
[8/7 15.41] rudysugengp@gmail.com: Berikut naskah skenario pendek (short film) “Perjalanan Gagal ke Blitar” dengan format standar screenplay.
---
Judul: Perjalanan Gagal ke Blitar
Durasi: ±10 menit
Lokasi: Surabaya (Gubeng Klingsingan, Gunung Anyar, Sedati, Juanda, Rumah Jumanis)
Daftar Tokoh
Slamet (30-an), driver, adik Jumanis
Bu Wati (55), kakak ipar Jumanis, koordinator acara
Bu Endang Ajis (60), penjemput pertama di Gunung Anyar
Bu Bina (50), penjemput kedua di Sedati
Bu Nila (45), penjemput terakhir di Juanda
(V.O. Telepon) suara pihak rumah Surabaya
---
SCENE 1
EKSTERIOR – RUMAH JUMANIS, GUBENG KLINGSINGAN – PAGI
07.15 WIB. Cahaya matahari pagi menerobos melalui pepohonan. Terlihat rumah baru terjual, selebaran ‘SOLD’ menempel di pagar.
SLAMET membawa koper dan memeriksa jadwal di ponsel. BU WATI keluar membawa tas berisi snack.
> BU WATI
(menghampiri Slamet)
Met, pastikan semua penjemputan on time ya. Kita berangkat jam tujuh tiga puluh.
> SLAMET
Siap, Bu. Setelah ini ke Gunung Anyar dulu.
Kamera menyorot jam dinding yang menunjukkan 07.20 WIB.
---
SCENE 2
INTERIOR – MOBIL INNOVA – PAGI
Mobil melaju pelan meninggalkan Gubeng. Di kursi depan: Slamet di stir, Bu Wati di sebelah. Kursi belakang mulai terisi.
> BU WATI
(menghubungi via speaker)
Bu Endang, siap ya di Gunung Anyar?
(VO ICEP: “Siap, Bu Wati. Tunggu saja.”)
Mobil berbelok ke timur, memasuki jalur Keputih.
---
SCENE 3
EKSTERIOR – GUNUNG ANYAR – PAGI
07.35 WIB. Bu Endang berdiri di tepi jalan dengan sajadah terlipat di tangan. Mobil berhenti dan ia naik.
> BU ENDANG
(tersenyum)
Assalamualaikum. Maaf kalau kesiangan.
> BU WATI
Waalaikumsalam. Santai saja, Bu. Lurus ke Sedati setelah ini.
---
SCENE 4
EKSTERIOR – SEDATI – PAGI
07.50 WIB. Bu Bina berdiri di trotoar. Ia membawa kantong plastik berisi buah-buahan.
> BU BINA
Slamet, bawa hati-hati ya, jalan pagi masih bersahabat.
> SLAMET
Insha Allah.
---
SCENE 5
EKSTERIOR – JUANDA – PAGI
08.05 WIB. Bu Nila sudah menunggu dengan koper kecil. Mobil berhenti, ia masuk. Mobil kini penuh. Slamet menyalakan mesin dan menancap gas.
> SLAMET
Jam tujuh tiga puluh, on the road!
Musik ringan keluarga diputar di radio. Semua tertawa riang.
---
SCENE 6
INTERIOR – MOBIL – DI JALAN TOL SURABAYA-MOJOKERTO – PAGI
09.00 WIB. Bu Wati menerima telepon. Wajahnya mengeras.
> BU WATI
(panik)
Lho kok bisa? Rumah kita… Iya, saya dengar. Baik.
Bu Wati segera mematikan telepon.
> BU WATI
(tegas) Met, tolong putar balik. Ada masalah di rumah Surabaya.
Slamet menurunkan pedal gas, mencari U-turn. Kamera memperlihatkan ekspresi kecewa penumpang.
---
SCENE 7
EKSTERIOR – RUMAH JUMANIS (HALAMAN DEPAN) – MENIT BERIKUTNYA
09.30 WIB. Mobil masuk kembali. Pintu dibuka, keluarga turun. Bu Wati mulai membuka koper, memeriksa dokumen.
> BU WATI
(menghela napas panjang)
Ada tumpang tindih pembeli – suratnya belum clear.
> BU BINA
(menatap cemas)
Wah, begini amat…
> BU NILA
(mengelus lengan Wati)
Kita urus dulu yang ini. Blitar tunggu nanti.
Semua terdiam, menyadari keputusan berat harus ditunda.
---
SCENE 8
INTERIOR – RUMAH JUMANIS (RUANG TAMU) – SIANG
15.30 WIB. Jam dinding menunjukkan Dhuhur. Keluarga menumpuk dokumen di meja.
> SLAMET
(duduk lelah)
Kalau begini, kapan?
> BU WATI
(menatap Slamet)
Kita pulang dulu, selesaikan semuanya. Blitar… kita ke sana lain kali, dengan hati tenang.
Slow zoom out dari meja penuh kertas, lantas ke jendela yang memperlihatkan langit cerah.
---
THE END
---
Catatan Teknis:
Durasi adegan: rata-rata 1–2 menit per scene.
Lokasi: eksterior ringan di beberapa titik Surabaya.
Properti: mobil Innova, koper, sajadah, dokumen (SIM, sertifikat), ponsel.
Lampu: natural light pagi hari, sedikit fill light di interior mobil.
Soundtrack: musik instrumental ringan beraroma nostalgia di awal, hening dramatis usai kabar buruk.
Semoga naskah ini sesuai! Jika Anda ingin versi drama panggung atau versi radio, silakan beri tahu.
[8/7 15.43] rudysugengp@gmail.com: Tentu! Berikut adalah cerita lainnya yang tetap berlatar keluarga besar, mobil, dan perjalanan, namun dengan arah dan kejutan berbeda. Judulnya:
---
"Kursi Kosong di Tengah Jalan"
Cerita fiksi, terinspirasi dari dinamika keluarga dan harapan yang tidak selalu sampai tujuan.
---
Narasi Awal
Pagi itu, Surabaya memulai harinya seperti biasa: jalanan semrawut, warung mulai buka, dan langit sedikit mendung. Di halaman rumah Bu Jumanis di Gubeng Klingsingan, keluarga bersiap melakukan perjalanan ke Tulungagung.
Bukan hanya ziarah, tapi juga untuk meresmikan sumur baru yang disumbangkan almarhum Pak Jumanis semasa hidup. Semua sudah diatur. Undangan dari desa sudah tersebar. Namun pagi itu terasa… kosong. Satu kursi dalam mobil itu tidak terisi.
---
Tokoh dan Dinamika
Slamet (anak bungsu, sekaligus sopir), tampak gelisah di balik kemudi.
Bu Wati, istri almarhum Jumanis, menjaga wajah tetap tenang meski matanya merah.
Bu Rini, kakak tertua, berusaha menyemangati.
Bu Endang, biasa cerewet, hari itu justru diam.
Dan satu orang lagi—Dodi, cucu sulung Jumanis—yang harusnya duduk di kursi tengah. Ia menghilang sejak malam sebelumnya, setelah cekcok dengan pamannya soal pembagian warisan.
---
Adegan Menegangkan
Saat jam menunjukkan 07.15, dan mobil siap meluncur, telepon Bu Wati berdering. Suara dari ujung sana menggetarkan seluruh isi mobil:
> "Bu, Dodi kecelakaan kecil tadi malam di Kalimas. Motornya nyungsep. Tapi dia sekarang di rumah Pakliknya di Wonokromo. Dia bilang... dia gak sanggup ikut ke Tulungagung."
Suasana di dalam mobil membeku. Slamet menatap Bu Wati melalui spion tengah.
> SLAMET:
"Apa kita tunda, Bu?"
> BU WATI:
(menatap jendela)
"Tidak. Kursi kosong itu… biar tetap kosong. Biar jadi pengingat."
---
Perjalanan yang Sunyi
Mobil akhirnya berangkat jam 07.30, dengan satu kursi tengah dibiarkan kosong. Tidak ada yang duduk di situ. Tidak satu pun koper atau tas yang ditaruh di atasnya. Sepanjang jalan menuju Tulungagung, masing-masing larut dalam pikirannya.
Ketika mobil berhenti di SPBU Nganjuk, Slamet tiba-tiba berkata:
> SLAMET:
"Saya jadi ingat waktu kecil, Dodi duduk di situ. Pak Jumanis selalu suruh dia bagi permen ke semua orang di mobil."
> BU RINI:
"Waktu berubah. Tapi bangku itu tetap bisa mengingat."
---
Akhir Cerita
Sesampainya di desa tujuan, rombongan disambut hangat. Tapi selama acara doa dan peresmian, kursi plastik biru yang diletakkan di depan papan nama sumur, juga dibiarkan kosong.
Dan saat malam, saat semua pulang dan perjalanan kembali dimulai, kursi di mobil masih tetap kosong. Tapi di dashboard, Slamet menaruh permen karet warna-warni — seperti dulu Dodi bagi-bagikan.
---
Penutup
> Kadang, yang tidak hadir justru yang paling terasa.
Dan kursi yang kosong, bisa jadi tempat duduk bagi kenangan yang belum selesai.
---
Jika cerita ini Anda suka, saya bisa ubah ke versi drama panggung, skenario film pendek, atau sandiwara radio. Atau saya bisa buat cerita lainnya lagi—mau yang lucu, menyeramkan, atau lebih emosional?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar