Senin, 28 Juli 2025

Draft SI 2

 MATERI DISKUSI PUBLIK DRAF PENULISAN BUKU

SEJARAH INDONESIA 2025

JILID II

NUSANTARA DALAM JARINGAN GLOBAL:

PERJUMPAAN BUDAYA DENGAN INDIA, TIONGKOK, DAN 

PERSIA

PENULIS:

Dr. Wanny Rahardjo Wahyudi, M.Hum.

Dr. Andriyati Rahayu, M.Hum.

Dr. Ninny Susanti Tejowasono, M.Hum.

Dr. So Tju Shinta Lee, S.Psi., M.Hum.

Dr. Ni Ketut Puji Astiti Laksmi, S.S., M.Si.

Dr. Novrida Qudsi Lutfillah, S.E., Ak., MSA., CA. 

Dr. Taqyuddin, S.Si., M.Hum.

Dr. Abimardha Kurniawan, S.Hum., M.A.

Dr. Turita Indah Setyani, S.S., M.Hum.

Asyhadi Mufsi Sadzali, S.S., M.A.

R. Ahmad Ginanjar Purnawibawa, M.Hum.

Muhammad Satok Yusuf, S.S., M.Hum.

Garin Dwiyanto Pharmasetiawan, M.Hum.

Asri Hayati Nufus, S.Hum





PENDAHULUAN

Latar Belakang

Nusantara, sebagai gugusan kepulauan yang terletak di antara dua samudra dan dua benua, sejak ribuan tahun silam telah menjadi titik simpul penting dalam arus perdagangan, migrasi, dan pertukaran budaya dunia. Letaknya yang strategis menjadikannya bukan sekadar persinggahan bagi pedagang dan pelaut dari India, Tiongkok, dan Persia, tetapi juga sebagai arena perjumpaan dan pertukaran budaya yang intens, kompleks, dan kreatif.

1 Sejak masa awal perkembangannya, masyarakat Nusantara telah membentuk struktur sosial dan sistem pengetahuan yang mandiri, berkembang dalam harmoni dengan lingkungan, dan terbuka terhadap pengaruh luar.

Kekayaan sumber daya alam baik dari hutan, laut, maupun tambang telah mendorong lahirnya komunitas-komunitas maritim yang tangguh dan berjejaring. Dengan berkembangnya teknologi pertanian dan pelayaran, masyarakat kepulauan Indonesia tidak hanya mampu beradaptasi dengan kondisi ekologi lokal, tetapi juga membangun jaringan hubungan antarbangsa yang memungkinkan pertukaran barang, ide, dan keyakinan spiritual. 

Hubungan dagang dengan India, Tiongkok, dan Persia tidak semata-mata membawa pengaruh kultural, tetapi juga menjadi katalis bagi transformasi internal melalui proses seleksi, adaptasi, dan sintesis budaya lokal.

Dengan berkembangnya teknologi pertanian dan pelayaran, masyarakat Nusantara memperluas jangkauan interaksi mereka. Teknik bercocok tanam seperti sistem sawah dan ladang berpindah, serta pemanfaatan alat logam dan sistem irigasi sederhana, menunjukkan adanya pengetahuan lokal yang adaptif. 

Sementara itu, teknologi perahu bercadik, jong, dan sistem navigasi tradisional memungkinkan masyarakat kepulauan ini menjalin hubungan tidak hanya antar pulau, tetapi juga melintasi lautan hingga menjangkau kawasan India, Tiongkok, dan sekitarnya.

Perjumpaan budaya dengan India, Tiongkok, dan Persia tidaklah terjadi secara sepihak. Sejak awal, masyarakat Nusantara bukanlah penerima pasif pengaruh asing. Mereka telah memiliki struktur budaya dan simbolik yang kuat, yang menjadi basis dalam menyaring, mentransformasi, dan mengadopsi unsur-unsur budaya dari luar. Dalam perspektif historiografi kontemporer, proses ini 

 

1.Lihat Sonu Trivedi, “Early Indian Influence in Southeast Asia: Revitalizing Partnership between India and Indonesia”, India Quarterly, Vol. 66, No. 1 (March 2010), hlm. 51-67; DOI: 10.1177/097492841006600104. Mengenai perjumpaan budaya dengan Persia, lihat misalnya Tomáš Petrů, “"Lands below the Winds" as Part of the Persian Cosmopolis: An Inquiry into Linguistic and Cultural Borrowings from the Persianate societies in the Malay World,” Moussons Recherche en sciences humaines sur l’Asie du Sud-Est, 27 (2016), hlm. 147-161, DOI:10.4000/MOUSSONS.3572

tidak dapat dipahami dalam kerangka diffusionist yang melihat masyarakat lokal sebagai ladang kosong yang “ditanami” oleh budaya asing. Sebaliknya, yang terjadi adalah proses localization dan hibridisasi budaya, yang menunjukkan adanya agensi aktif dari masyarakat lokal dalam membentuk identitas mereka sendiri.

Permasalahan

Jilid II ini berangkat dari pendekatan dan perspektif Indonesia-sentris, otonomi sejarah, dan konsep re-inventing Indonesian identity yang menempatkan masyarakat Nusantara sebagai subjek sejarah yang aktif. 

Dalam kerangka ini, historiografi tidak lagi mendikotomikan pengaruh luar dan budaya lokal, melainkan menelusuri dialektika kreatif antara lokalitas dan globalitas. Persilangan budaya yang terjadi bukanlah proses penerimaan pasif, tetapi merupakan hasil keterlibatan aktif masyarakat lokal dalam mentransformasi unsur-unsur asing menjadi bagian integral dari peradaban Nusantara. 

Ini terlihat dalam berbagai aspek: dari arsitektur candi, aksara dan sistem penanggalan, hingga struktur pemerintahan dan ritus keagamaan.

Konsep re-inventing Indonesian identity penting dalam melihat kembali sejarah Nusantara sebagai proses pembentukan identitas yang bersifat historis, plural, dan dinamis. Dalam hal ini, interaksi budaya tidak dimaknai sebagai bentuk dominasi satu budaya atas yang lain, tetapi sebagai arena kreatif di mana berbagai elemen budaya bertemu dan diproses ulang dalam kerangka lokal. 

Pendekatan ini juga sejalan dengan kritik atas historiografi kolonial yang cenderung menempatkan budaya lokal sebagai inferior atau terpengaruh, bukan sebagai pelaku sejarah utama. Seperti dikatakan oleh M.C. Ricklefs bahwa masa lalu Indonesia tidak hanya dibentuk oleh pengaruh asing, tetapi juga oleh respon kompleks masyarakat lokal terhadap pengaruh tersebut.2

Dalam pendekatan Indonesia-sentris, masyarakat lokal ditempatkan sebagai subjek sejarah, bukan objek. Sebagaimana ditegaskan oleh Sartono Kartodirdjo, penting untuk melihat sejarah dari sudut pandang pelaku lokal yang memiliki logika, nilai, dan sistem sendiri, yang sering kali diabaikan dalam narasi besar.

3 Dengan demikian, peradaban Nusantara tidak sekadar “terpengaruh” oleh budaya India, Tiongkok, atau Persia, tetapi justru secara aktif menciptakan bentuk-bentuk baru yang khas: 2M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia since c.1200. 4th ed (Stanford: Stanford University Press, 2008), hlm. 5–6.

3Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 27-28

arsitektur candi dengan unsur lokal, sistem aksara adaptasi dari Brahmi dan Pallawa, hingga praktik keagamaan sinkretik yang memadukan kepercayaan asli dengan Hindu dan Buddha.

Posisi geografis Nusantara dalam jalur pelayaran internasional, yang oleh Kenneth R. Hall disebut sebagai "maritime crossroads of Asia", menjadikannya bagian integral dari jaringan pertukaran global. Ia menyebut Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan maritim lain di Nusantara sebagai “cosmopolitan entrepôts”, yang tidak hanya memfasilitasi perdagangan barang, tetapi juga pertukaran ide, agama, dan teknologi.

4 Dalam konteks ini, pelabuhan-pelabuhan seperti Palembang, Jambi, 

Kedah, dan Banten, menjadi simpul dalam sirkulasi global yang melibatkan pelaut, pedagang, 

pendeta, dan cendekiawan dari berbagai penjuru Asia.

Pentingnya memandang Nusantara sebagai "pusaran global" sejak awal abad Masehi menantang narasi lama yang memosisikannya sebagai pinggiran. Sebaliknya, wilayah ini merupakan simpul dari peradaban maritim dunia Timur yang saling terhubung. Misalnya, Sriwijaya bukan hanya pelabuhan transit perdagangan rempah, tetapi juga pusat studi Buddhis yang berpengaruh hingga India dan Tiongkok. Kerajaan-kerajaan seperti Tarumanagara, Mataram, Majapahit, hingga kerajaan-kerajaan lokal lainnya, memperlihatkan dinamika politik dan budaya yang kompleks, mencerminkan proses akulturasi yang khas dan orisinal.

Jilid II ini menyajikan narasi sejarah yang berupaya membongkar dikotomi usang antara "lokal" dan "asing". Unsur warisan awal peradaban Nusantara, yang tercermin dalam praktik penguburan, pemujaan roh leluhur, orientasi kosmologis terhadap gunung, hingga simbolisme logam dalam ritus keagamaan tidak hilang ketika budaya India, Persia ataupun Tiongkok hadir, melainkan mengalami artikulasi ulang dalam bentuk-bentuk yang baru: dalam konsepsi raja sebagai cakravartin, dalam sistem kepercayaan yang memadukan lokalitas dan agama dunia, dan dalam literasi keagamaan yang berkembang melalui aksara lokal hasil adaptasi. Transformasi kebudayaan Hindu-Buddha di Nusantara tidak dapat dimaknai sebagai proses “Indianisasi” dalam pengertian klasik. 

Dalam pembacaan kontemporer, proses ini lebih tepat dilihat sebagai “cultural entanglement”.

5 Konsep ini menekankan keterlibatan timbal balik antara agen-agen budaya dalam suatu jaringan transnasional. 

Proses ini melibatkan translasi, reinterpretasi, dan adaptasi, sebagaimana terlihat dalam 

4Kenneth R. Hall, Maritime Trade and State Development in Early Southeast Asia (Honolulu: University of Hawaii Press, 1985), hlm. 94–97. 

5David Tutchener and David J. Claudie. “Beyond ‘contact’ and shared landscapes in Australian archaeology.” Australian Archaeology 88 (2021), hlm. 84 - 91; https://doi.org/10.1080/03122417.2021.2003972

perkembangan sistem pemerintahan berbasis mandala, sistem kasta yang tidak identik dengan India, serta aksara dan bahasa Sanskerta yang hanya dipakai dalam ranah religius dan politik tertentu, bukan sebagai bahasa keseharian.

Lebih lanjut, pendekatan “sejarah dari bawah” atau history from bellow yang digunakan dalam jilid ini memberi ruang bagi rekonstruksi kehidupan sosial masyarakat biasa: perempuan, anak-anak, orang-orang diffable, seniman, pendidik, hingga aktivitas kuliner, pakaian, dan perdagangan harian. 

Sejarah tidak lagi eksklusif bagi narasi istana, tetapi menjadi mosaik keseharian yang merefleksikan kompleksitas sosial-budaya masa lalu. Keterlibatan masyarakat dalam jaringan perdagangan, pendidikan, dan diplomasi menunjukkan bahwa mereka tidak sekadar menerima pengaruh, melainkan juga memproduksi dan mengekspor pengetahuan serta nilai-nilai budaya ke kawasan lain.

Ruang Lingkup Pembahasan

Jilid 2 ini menggunakan sumber-sumber primer berupa prasasti, kebudayaan material (artefak) dan naskah sezaman dan menjalinnya dengan pendekatan interdisipliner. 

Dengan memadukan beberapa disiplin ilmu yaitu: arkeologi, epigrafi, filologi, antropologi sejarah, dan studi maritim, jilid ini menyajikan pembacaan baru atas sejarah Nusantara sebagai bagian integral dari dinamika peradaban dunia. Penelusuran terhadap proses akulturasi dan transformasi budaya di masa lalu tidak hanya penting bagi pemahaman identitas nasional yang inklusif dan plural, tetapi juga menjadi pijakan historis bagi masa depan Indonesia yang mampu berdialog dengan globalitas tanpa kehilangan keunikan lokalnya.

Kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya, Mataram Kuno, Kediri, Singhasari, Majapahit, dan kerajaan-kerajaan lokal lainnya menjadi titik fokus penting dalam pemahaman sejarah akulturasi. 

Mereka tidak hanya menjadi pusat politik dan ekonomi, tetapi juga pusat produksi simbolik, spiritual, dan intelektual. Candi Borobudur, misalnya, bukan hanya monumen arsitektural, tetapi juga simbol dari sintesis filosofis antara Buddhisme Mahayana, struktur kosmologis lokal, dan teknik bangunan tinggi dari tradisi arsitektur Asia Selatan dan Asia Tenggara. Jejak aksara, prasasti, dan naskah seperti Kutaramanawa menunjukkan bagaimana hukum, literasi, dan sistem nilai dikembangkan dalam ranah lokal. Demikian pula, proses pembentukan jaringan antarbangsa tidak bisa dilepaskan dari mobilitas masyarakat Nusantara sendiri. Para pedagang, pendeta, dan pelaut lokal telah menjelajahi pelabuhan-pelabuhan Asia Selatan dan Asia Timur, bahkan sampai ke wilayah Timur Tengah dan Afrika Timur. Interaksi ini menciptakan bentuk-bentuk lokal yang khas dari warisan India dan Tiongkok: dari sistem kalender, struktur birokrasi, lembaga pendidikan, hingga bentuk koin lokal dan pasar maritim.

Pada akhirnya, puncak akulturasi budaya Hindu dan Buddha ditandai oleh keberhasilan masyarakat Nusantara dalam membangun sistem nilai, hukum, arsitektur, dan literasi yang berakar lokal tetapi bernuansa global. Proses manusuk sīma, penanaman pripih, konsep ruang suci, dan sistem pendidikan di kadewagurwan menunjukkan bahwa spiritualitas dan intelektualitas telah menjadi pilar penting dalam peradaban Nusantara klasik. Sistem perpajakan, distribusi logistik, mata uang lokal, dan jalur perdagangan internasional memperlihatkan kapasitas organisasi masyarakat yang tinggi dan otonom.

Dengan demikian, Jilid II dari buku Sejarah Nasional Indonesia ini bukan hanya menghadirkan narasi tentang kerajaan dan perdagangan, tetapi juga menegaskan bahwa Nusantara adalah ruang sejarah yang aktif, kreatif, dan reflektif. Ia menampilkan proses panjang pembentukan peradaban Indonesia yang plural dan terbuka, melalui perjumpaan dan pertukaran (encounter and exchange) yang produktif dengan India, Tiongkok, dan Persia. Pendekatan yang digunakan dalam buku ini adalah interdisipliner, memadukan arkeologi, epigrafi, filologi, antropologi sejarah, dan studi maritim, dengan perspektif Indonesia-sentris, otonomi sejarah, dan global entanglement. 

Penulisan sejarah dengan semangat otonomi ini juga merupakan bagian dari proyek kebudayaan untuk menemukan kembali jati diri Indonesia yang historis, plural, dan berakar pada pengalaman kolektif. Dengan membaca ulang proses persilangan budaya secara kritis dan reflektif, kita diingatkan bahwa masa lalu Indonesia tidak pernah tertutup, homogen, atau pasif, melainkan selalu berada dalam dialog kreatif dengan dunia. Oleh karena itu, sejarah Nusantara perlu ditempatkan bukan hanya dalam kerangka nasional, tetapi juga dalam lanskap sejarah global yang lebih luas.

Jilid ini terdiri dari enam bab utama. Bab pertama mengajak pembaca menelusuri warisan budaya masyarakat Nusantara sebelum perjumpaan masyarakat nusantara dengan budaya India dan Tiongkok. Dalam bab ini digambarkan bagaimana sistem kepercayaan, struktur sosial, serta teknologi lokal telah berkembang dan membentuk fondasi yang kuat bagi masyarakat kepulauan ini. 

Selain itu, bab ini juga menyoroti peran aktif masyarakat Nusantara dalam jaringan hubungan antarbangsa, menjadikan mereka bukan sekadar penerima, tetapi juga pencipta dalam proses pertukaran budaya.

Bab kedua memaparkan proses persilangan budaya antara Nusantara dengan India, Tiongkok, dan Persia. Melalui aksara, bahasa, dan ajaran-ajaran keagamaan seperti Hindu dan Buddha, masyarakat Nusantara mengalami transformasi dalam berbagai aspek kehidupan. Bab ini juga mengulas perkembangan sistem penanggalan, konsep kekuasaan, dan nilai-nilai religius yang terinternalisasi dalam struktur pemerintahan dan kehidupan spiritual.

Bab ketiga menggambarkan dinamika politik dan kemunculan berbagai kerajaan di Nusantara. 

Dimulai dari kerajaan-kerajaan awal seperti Kutai dan Tarumanagara, hingga berkembangnya kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya, Mataram, dan Majapahit, bab ini menguraikan bagaimana sistem kekuasaan, jaringan perdagangan, dan pengaruh keagamaan turut membentuk identitas politik kawasan.

Bab keempat mengangkat kehidupan sehari-hari masyarakat Nusantara, yang sering kali luput dari narasi besar sejarah. Bab ini menampilkan keberadaan orang asing, pendidikan tradisional, peran perempuan dan anak, kesenian, pakaian, kuliner, serta pengelolaan lingkungan. Keseluruhan aspek ini memberi gambaran yang lebih utuh tentang bagaimana masyarakat hidup, bekerja, dan mengekspresikan identitas mereka dalam keseharian.

Bab kelima menyoroti puncak pencapaian budaya hasil persilangan Hindu-Buddha. Kekuatan maritim dan agrikultur menjadi fondasi ekonomi, sementara literasi, ritual keagamaan, hukum, dan seni arsitektur mencerminkan kedalaman spiritual dan intelektual masyarakat. Di sinilah tampak bahwa Nusantara telah mencapai fase kejayaan sebagai pusat peradaban yang kompleks dan terhubung secara luas.

Bab terakhir menggambarkan masa kemunduran kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha. 

Konflik internal, perubahan orientasi keagamaan, serta pengaruh luar turut memicu transformasi besar yang menandai berakhirnya satu era dan lahirnya tatanan baru. Munculnya penggunaan aksara Arab dan konsep pendidikan pesantren menunjukkan kesinambungan sekaligus perubahan dalam tradisi keilmuan dan religiusitas masyarakat Nusantara.


SISTEMATIKA PENULISAN

PENDAHULUAN 

BAB 1 MASYARAKAT NUSANTARA DALAM PERJUMPAAN BUDAYA DENGAN INDIA, 

TIONGKOK, DAN PERSIA 

1.1 Warisan Periode Awal

1.1.1 Religi

1.1.1.1 Penguburan

1.1.1.2 Kepercayaan mengenai Alam Sesudah Mati

1.1.1.3 Gunung sebagai Orientasi

1.1.1.4 Arwah Nenek Moyang sebagai Pelindung

1.1.1.5 Monumen Tegak

1.1.1.6 Kekuatan dalam Logam

1.1.2 Struktur Sosial 

1.1.3 Teknologi

1.2 Jaringan Hubungan Antarbangsa 

1.2.1 Masyarakat Nusantara sebagai Inisiator

1.2.2 Interaksi Budaya Asing dengan Masyarakat Nusantara 

1.2.3 Pengaruh Budaya Nusantara di Asia Tenggara 

BAB 2 PERSILANGAN BUDAYA DENGAN INDIA, TIONGKOK DAN PERSIA 

2.1 Aksara dan Bahasa

2.1.1 Aksara Brahmi Akhir/ Pallawa dalam Sejarah Aksara Nusantara

2.1.2 Aksara Arab dalam Sejarah Aksara Nusantara

2.1.3 Bahasa Melayu Kuno yang Mendunia

2.2 Agama Hindu di Nusantara

2.2.1 Perjumpaan Awal Hindu di Nusantara 

2.2.2 Dominasi dan Transisi: Hubungan Awal Hindu dengan Buddha di Nusantara

2.2.3 Koalisi dan Divergensi: Puncak Dinamika Hindu dan Buddha di Nusantara

2.3 Peradaban Buddha di Nusantara

2.3.1 Konsep Dasar Ajaran Buddha

2.3.2 Maksud Pendirian Candi, Stupa, dan Wihara serta Pembuatan Stupika dan Dharani

2.3.3 Perkembangan dan Peninggalan Buddha di Nusantara

2.3.3.1 Jalur Perdagangan dan Peran Biksu Peziarah

2.3.3.2 Jejak Peninggalan Tersebar di Berbagai Wilayah Nusantara 

(Kalimantan, Sulawesi, Lampung, Aceh, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Pulau Bawean)

2.3.3.3 Peninggalan Percandian Buddha di Tanah Air (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jambi, Sumatra Selatan, Riau, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Bali, Jawa Timur)

2.3.3.4 Tradisi Esoteris di Jawa dan Sumatra

2.3.3.5 Paralelisme Siwa dan Buddha

2.4 Sistem Penanggalan

2.4.1 Penanggalan Indic 

2.4.2 Kronogram

2.4.2.1 Bhutasamkhya: India dan Asia Tenggara 

2.4.2.2 Kronogram Bhutasamkhya di Indonesia

2.4.2.3 Kodifikasi dan Pelokalan

2.4.2.4 Kronogram Visual

2.4.2.5 Sakala Dihyang

2.4.2.6 Konvergensi Fungsi 

2.5 Konsep Raja dan Kerajaan

2.5.1 Perkembangan Konsep Pemerintahan pada Masa Awal Persilangan dengan agama Hindu dan Buddha

2.5.2 Perkembangan Kosmogoni pada Masa Persilangan dengan Hindu dan Buddha 

2.5.3 Konsep Raja Ideal dalam Birokrasi di Nusantara

2.5.3.1 Dewarāja

2.5.3.2 Aṣṭabrata

2.5.3.3 Cakrawarti 

BAB 3 DINAMIKA POLITIK KERAJAAN DI NUSANTARA

Munculnya Kerajaan-Kerajaan Bercorak Hindu dan Buddha berdasarkan Sumber Tertulis Lokal dan Global

3.1 Kerajaan-Kerajaan Tertua di Nusantara di Abad ke-4 sampai dengan Abad ke-7 

3.1.1 Kutai

3.1.1.1 Konsep Negara Awal

3.1.1.2 Keagamaan

3.1.1.3 Prasasti dan Artefak lain di Kalimantan 

3.1.2 Tarumanagara dan Raja Purnawarman

3.1.2.1 Prasasti-prasasti Kerajaan Tarumanagara dan Batas Wilayah

3.1.2.2 Keagamaan 

3.1.3 Pembentukan Kekuatan Politik Swarnadwipa Di Abad ke-4 sampai 7 M

3.1.3.1 Kekuatan Politik Awal: Tupo, Kan-to-li, Po-Huang, Po-Lou

3.1.3.2 Dinamika Politik Kerajaan Malayu

3.1.3.1 Pembentukan Identitas Politik Awal Malayu

3.1.3.2 Malayu dan Persekutuan Datu Wanua Maritim

3.1.3.3 Kebangkitan Identitas Politik Baru

3.1.3.4 Menuju Tatanan Baru

3.1.5 Dinamika Politik Kedatuan Sriwijaya

3.1.5.1 Penyatuan dan Politik Kadatuan

3.1.5.2 Jaya Siddhayatra, dan Pengukuhan Kedaulatan

3.1.5.3 Politik Mandala dan Perluasan Jaringan Global

3.1.5.4 Kemunduran dan Pewarisan

3.2 Kerajaan-Kerajaan di Nusantara abad ke-8 sampai dengan abad ke-11 

3.2.1 Kerajaan Mataram

3.2.1.1 Pusat Kerajaan di Jawa Bagian Tengah

3.2.1.2 Satu atau Dua Dinasti? 

3.2.1.3 Raja Balitung, Peletak Dasar Struktur Birokrasi yang Mapan

3.2.1.4 Prasasti Sangguran dan Raja Wawa, Raja Terakhir Kerajaan Mataram di Jawa Bagian Tengah

3.2.1.5 Perpindahan Pusat Kerajaan ke Jawa Bagian Timur

3.2.1.6 Visi Pu Sindok

3.2.1.7 Prasasti Pucangan dan Raja Airlangga

3.2.1.8 Pembagian Kerajaan di Masa Keemasan 

3.2.2 Kerajaan Kanjuruhan

3.2.2.1 Kejayaan yang Tidak Lama

3.2.2.2 Dari Kerajaan menjadi Daerah Lungguh 

3.2.3 Kerajaan di Bali Kuno 

3.2.3.1 Panglapuan di Singhamandawa sebagai cikal bakal Kerajaan Bali Kuno

3.2.3.1.1 Raja Ugrasena

3.2.3.1.2 Sang Ratu Śrī Aji Taganendra Dharmmadewa

3.2.3.1.3 Sang Ratu Sri Indra Jayasingha Warmmadewa

3.2.3.1.4 Sang Ratu Śri Janasādhu Warmadewa

3.2.3.1.5 Śrī Mahārāja Śrī Wījaya Mahādewī

3.2.3.2 Parhajyan Singhadwālapura / Jayastambha Raja Kesari Warmmanama)

3.2.3.3 Masa Pembaharuan Kerajaan Bali Kuno

3.2.3.3.1 Sang Ratu Luhur Śrī Guṇapriyadharmmapatni dan Sang Ratu Maruhani Śrī Dharmmodayana Warmmadewa

3.2.3.3.2 Sang Ratu Śrī Sang Ājñādewī

3.2.3.3.3 Pāduka Haji Śrī Dharmmawangśawardhana Marakatapangkaja sthānottunggadewa

3.2.3.4 Masa Kejayaan Kerajaan Bali Kuno

3.2.3.4.1 Pāduka Haji Anak Wungśu

3.2.3.4.2 Pāduka Śrī Mahārāja Śrī Wālaprabhu

3.2.3.4.3 Pāduka Śrī Mahārāja Śrī Śakālendukirīṭeśāna

3.2.3.4.4 Pāduka Śrī Mahārāja Śrī Śūrādhipa

3.2.3.4.5 Śrī Mahārāja Śrī Jayaśakti tahun 

3.2.3.4.6 Śri Mahārāja Śri Rāgajāya 

3.2.3.5 Masa Kemunduran Kerajaan Bali Kuno

3.2.3.5.1 Pāduka Śrī Mahārāja Haji Jayapangus Arkajacihna tahun 

3.2.3.5.2 Śrī Mahārāja Haji Ekajayalāñcana

3.2.3.5.3 Bhaṭāra Parāmeśwara Śrī Wīrāma

3.2.3.5.4 Pāduka Bhaṭāra Parameśwara Śrī Hyang ning Hyang Adidewalañcana 

3.2.3.1.20 Padukā Bhaṭara Guru 

3.2.3.1.21 Pāduka Bhaṭāra Śri Walajaya Kṛttaningrāt

3.2.3.1.22 Pāduka Bhaṭara Śri Aṣṭāṣuraratnabumibantĕn

3.2.3.6 Kerajaan Samprangan dan Gelgel 

3.2.4 Kerajaan di Sumatra Abad ke-11

3.2.4.1 Dinamika Politik Kerajaan Panai 

3.2.4.1.1 Dari Bandar Dagang Menuju Politik Kerajaan

3.2.4.1.2 Panai Dalam Interaksi Global

3.2.4.1.3 Perubahan Geopolitik dan Kemunduran Kerajaan Panai

3.2.4.2 Dinamika Politik Kerajaan Lamuri

3.2.4.2.1 Kemunculan Awal Berdasarkan Sumber Tertulis

3.2.4.2.2 Interaksi Global dan Perubahan

3.2.4.3 Dinamika Politik Kerajaan Mandailing

3.2.4.3.1 Mandailing dalam Data Sejarah

3.2.4.3.2 Mandailing Dalam Geopolitik Nusantara

3.2.5 Dinamika Kerajaan Sunda Kuno

3.2.5.1 Pusat Kerajaan yang Berpindah-Pindah

3.2.5.2 Kekuatan Diplomasi di Tataran Global

3.2.5.3 Kemunduran Akibat Perubahan Orientasi Keagamaan

3.3 Kerajaan-kerajaan di Nusantara Abad ke-12 sampai dengan Abad ke-15 

3.3.1 Sungai sebagai Batas alam antara Janggala dan Pangjalu 

3.3.2 Janggala, Kerajaan di sebelah Utara 

3.3.3 Pangjalu/Kadiri, Kerajaan di Sebelah Selatan 

3.3.4 Pencapaian Kadiri

3.3.4.1 Tata Pemerintahan

3.3.4.2 Pertahanan dan Keamanan Kerajaan

3.3.4.3 Reformasi Ekonomi

3.3.4.4 Fenomena Sosial

3.3.4.5 Berkembangnya Kesusastraan di Pusat 

3.3.5 Singhasari: Ide awal Penyatuan Nusantara

3.3.5.1 Raja-raja yang memerintah Singhasari

3.3.5.2 Prasasti Mula Malurung dan Raja Wisnuwardhana

3.3.5.3 Kertanegara: Raja Terakhir

3.3.6 Majapahit: Kerajaan Agro-Maritim

3.3.6.1 Awal berdirinya Majapahit dan Raja Pertama

3.3.6.2 Raja-raja yang Memerintah di Majapahit

3.3.6.3 Penataan Wilayah dan Wewenangnya

3.3.6.4 Diplomasi dan Hegemoni

3.3.6.5 Beberapa Wilayah Timur Nusantara dalam Nagarakertagama

BAB 4 KEHIDUPAN KESEHARIAN MASYARAKAT NUSANTARA 

4.1 Keberadaan Orang Asing di Nusantara

4.1.1 Orang Asing di Sumatra 

4.1.2 Orang Asing di Sunda 

4.1.3 Orang Asing di Jawa

4.1.4 Orang Asing di Bali

4.1.5 Pengaturan dan Peraturan terkait Orang Asing 

4.2 Pendidikan dan Pengajaran di Mandala, Kadewagurwan dan Tradisi Masyarakat

4.2.1 Mandala sebagai pusat Pendidikan

4.2.2 Lokasi mandala (Sumatera, Jawa, dan Bali),[sebagai tempat tinggal para rsi dan muridnya]

4.2.3 Ajaran di Mandala dan Kadewaguruan

4.3 Tentang Perempuan dan Anak-Anak di dalam Masyarakat Nusantara

4.3.1 Profesi dan Pekerjaan Perempuan di masa Jawa Kuno

4.3.2 Peran Perempuan dalam Rumah Tangga 

4.3.3 Pola Pengasuhan Anak di Masa Nusantara Kuno

4.3.4 Pendidikan anak masa Nusantara kuno

4.4 Busana dalam Prasasti, Naskah dan Relief

4.4.1 Busana di Sumatra

4.4.2 Busana di Sunda

4.4.3 Busana di Jawa

4.4.4 Busana di Bali

4.4.5 Busana di wilayah lainnya di Nusantara

4.4.6 Teknik Pembuatan kain

4.4.7 Teknik menghias kain 

4.5 Kesenian dalam Prasasti, Naskah dan Relief

4.5.1 Jenis dan fungsi kesenian dalam keseharian 

4.5.2 Profesi Seniman 

4.6 Pengelolaan Lingkungan 

4.6.1 Bentuk-Bentuk Pengelolaan Lingkungan pada Masyarakat Jawa Kuno

4.6.1.1 Pembuatan saluran air/bendungan

4.6.1.2 Perbaikan desa yang terkena bencana alam

4.6.1.3 Pelestarian Lingkungan

4.6.1.4 Pembuatan Peraturan

4.6.2 Sistem Pengorganisasian dalam Pengelolaan Lingkungan Masyarakat Jawa Kuno 

4.6.2.1 Pengelolaan Lingkungan Oleh Penguasa

4.6.2.2 Pengelolaan Lingkungan Oleh Masyarakat 

4.7 Masyarakat Terpinggir dalam Prasasti dan Naskah

4.7.1 Jenis Masyarakat Terpinggir 

4.7.1.1 Budak

4.7.1.2 Disabilitas

4.7.1.3 Transpuan

BAB 5 PUNCAK PENCAPAIAN PERSILANGAN DENGAN HINDU DAN BUDDHA 

5.1 Maritim sebagai Faktor Strategis Menuju Puncak

5.1.1 Pencapaian Maritim Nusantara 

5.1.1.1. Wawasan Kemaritiman

5.1.1.2. Politik dan Diplomasi Maritim

5.1.1.3. Penguasaan Jalur Perdagangan, Kota Pelabuhan dan Infrastruktur 

Maritim

5.1.1.4. Teknologi Perahu dan Pelayaran Maritim 

5.1.2 Akar Budaya dan Identitas Maritim

5.1.2.1. Orang Laut dan Masyarakat Pesisir: Pengetahuan Kemaritiman dan Kearifan Lokal

5.1.2.2. Pola Permukiman dan Kehidupan Masyarakat Maritim Nusantara

5.2 Agrikultur

5.2.1 Kajian Awal Identitas Agrikultur

5.2.2 Budaya Pertanian dalam Catatan Prasasti dan Relief Candi

5.2.3 Jenis Lahan dan Tanaman 

5.2.4 Teknologi Pertanian Masa Jawa Kuno

5.2.5 Peran Pengetahuan dan Pengalaman Pemilihan Lingkungan Alam untuk Berbagai Jenis Penggunaan Tanah Masa Jawa Kuno. 

5.2.6 Lanskap Agrikultur di Wilayah Lain di Nusantara

5.3 Literasi sebagai Transformasi Pengetahuan Masa Persilangan Hindu dan Buddha

5.3.1 Pengetahuan Agama, Kepercayaan, dan Tradisi 

5.3.2 Pengetahuan Genealogi 

5.3.3 Pengetahuan Hukum 

5.3.4 Pengetahuan Politik 

5.3.5 Pengetahuan Pendidikan 

5.3.6 Pengetahuan Kesusastraan dan Seni Pertunjukan 

5.3.7 Peran Institusi Pendidikan dan Kerajaan dalam Pengembangan Literasi 

5.3.7.1 Institusi Pendidikan dalam Pengembangan Literasi 

5.3.7.2 Peran Kerajaan dalam Menggerakkan dan Mendorong Literasi 

5.4 Ritual 

5.4.1 Ritual Manusuk Sīma: Antara Sakralitas dan Struktur Sosial

5.4.2 Menanam Sakralitas: Ritual Pendirian Bangunan Suci

5.4.2.1 Ritual Pembibitan

5.4.2.2 Ritual Peletakkan Bata dan Batu Pertama

5.4.2.3 Ritual Peletakkan Pripih

5.4.3 Ritual Penyucian Bangunan Suci

5.4.4 Ritual Pemujaan dalam relief candi Borobudur: Representasi, Simbolisme dan Materialitas Sakral

5.4.5 Ritual dan Alam dalam Tradisi Keagamaan Masyarakat Sumatera Kuno 

5.5 Sistem Aturan dan Hukum dalam Prasasti dan Naskah 

5.5.1 Aturan yang berlaku di masa Kerajaan-kerajaan Awal Nusantara

5.5.2 Aturan yang berlaku di Masa Jawa Kuno

5.5.3 Aturan yang berlaku di Masa Bali Kuno

5.5.4 Kitab Hukum Kutaramanawa Dharmasastra, Purwadigama

5.5.4.1 Sukhaduhka dan astadasawyawahara

5.5.4.2 Penerapannya di dalam Masyarakat

5.6.5 Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah sebagai acuan hukum masyarakat

5.6 Pajak dan Perdagangan

5.6.1 Dinamika Perdagangan Kerajaan Hindu-Buddha: Aktivitas Ekonomi, Politik,dan Budaya

5.6.1.1 Jaringan Perdagangan Sumatera Abad ke-4 – Ke-13

5.6.1.1.1 Hubungan Dagang Sriwijaya dengan Tiongkok, India, dan Persia 

5.6.1.1.2 Perdagangan dan Pusat Pembelajaran

5.6.1.2 Transformasi Ekonomi dan Politik Jawa dalam Arus Perdagangan

5.7.4.1 Peran Sungai Brantas dalam Perdagangan Regional 

5.7.4.2 Peran Sungai Bengawan Solo pada Perdagangan Regional 

5.7.4.3 Pasar Berkala dan Banigrama 

5.7.4.4 Klasifikasi dan Peran Pedagang dalam Jaringan Global 

5.6.1.3 Pola Perdagangan Bali

5.6.1.3.1 Regulasi Pasar 

5.6.1.3.2 Mata Uang dalam Jaringan Perdagangan 

5.6.1.3.3 Komoditas unggulan Bali di Nusantara 

5.6.1.3.4 Otoritas Lokal dalam Pengelolaan Dagang

5.6.2 Dinamika Perpajakan Masa Hindu-Buddha: Stabilitas Politik dan Ekonomi

5.6.2.1 Sistem Perpajakan Maritim dan Integrasi Kelompok Maritim Lokal Masa Sriwijaya

5.6.2.2 Sistem Perpajakan Masa Pemerintahan Raja Balitung di Mataram Kuno (899–910 M) 

5.6.2.3 Mekanisme Pajak Masa Majapahit

5.6.2.3.1 Perpajakan Majapahit: Sima sebagai Pilar Regulasi dan Spiritualitas

5.6.2.4 Sistem Pajak, Iuran, dan Tantangannya di Masa Bali Kuno 

5.7 Wujud Sakralitas dalam Ragam Arsitektur Hindu di Nusantara

5.7.1 Candi dan Imajinasi Kosmik: Arsitektur Sakral Hindu di Nusantara

5.7.2 Dari Gunung ke Sungai: Pathirtan dalam Tradisi Hindu di Nusantara

5.7.3 Ruang Sunyi dan Sakral: Jejak Arsitektur Cadas Hindu di Nusantara 

5.8 Pencapaian Seni, Ilmu, Diplomasi, dan Tata Kelola Pada Masa Persilangan Buddha

5.8.1 Pencapaian dalam Seni Arsitektur dan Filosofi (Batujaya, Borobudur, Muarajambi, Muara Takus, Padang Lawas, Jawa Timur) 

5.8.2 Pencapaian dalam Bidang Pengetahuan (Borobudur; pusat pendidikan di Sriwijaya; kesaksian dan kunjungan para cendekiawan) 

5.8.3 Kebijakan Tata Kelola dan Pemeliharaan Bangunan Keagamaan

5.8.4 Diplomasi Budaya dan Keagamaan dengan India dan Tiongkok 

5.9 Ide Penyatuan Nusantara

5.9.1 Prasasti Mula Malurung (sayawadwipamandala, Nusantara) 

5.9.2 Cakrawala Mandala

5.9.3 Sumpah Amukti Palapa 

BAB 6 KEMUNDURAN DAN MUNCULNYA TATANAN BARU 

6.1 Keruntuhan Kerajaan-Kerajaan Bercorak Hindu dan Buddha

6.1.1 Konflik Internal sebagai Pemicu Kemunduran

6.1.2 Perubahan Orientasi Keagamaan dalam Institusi Kerajaan 

6.2 Munculnya Tatanan Baru

6.2.1 Penggunaan Aksara Arab untuk Menulis Bahasa Lokal 

6.2.2 Munculnya Konsep Pendidikan Pesantren

PENUTUP

Peradaban Nusantara yang telah terbentuk sejak masa prasejarah mengalami transformasi besar setelah terjadinya perjumpaan budaya dengan India, Tiongkok, dan Persia. Perjumpaan ini bukan semata-mata bentuk penetrasi budaya asing, melainkan proses saling pengaruh yang dinamis. 

Nusantara tidak hanya menerima, tetapi juga mengolah unsur-unsur budaya luar menjadi bagian integral dari jati dirinya. Proses ini membentuk landasan baru dalam kehidupan sosial, politik, dan keagamaan masyarakat.

Transformasi itu tampak jelas dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam bidang bahasa dan aksara, masyarakat Nusantara mulai mengenal dan menggunakan aksara Pallawa dan kemudian aksara turunan lokal seperti Kawi dan Rencong. Agama Hindu dan Buddha menjadi arus utama dalam sistem kepercayaan dan ritual keagamaan. Penggunaan sistem kalender Saka serta pembentukan institusi kerajaan bercorak Hindu-Buddha menunjukkan adopsi dan adaptasi atas sistem-sistem dari luar yang disesuaikan dengan nilai-nilai lokal.

Berkat fondasi peradaban yang kuat, berbagai kerajaan besar pun tumbuh dan berkembang di berbagai wilayah Nusantara, seperti Kutai di Kalimantan, Sriwijaya di Sumatra, Mataram Kuno dan Majapahit di Jawa, hingga kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Bali. Kerajaan-kerajaan ini tidak hanya menjadi pusat kekuasaan, tetapi juga menjadi pusat penyebaran budaya, agama, dan ilmu pengetahuan. Interaksi dengan dunia luar tetap berlanjut dan memperkaya dinamika internal kerajaankerajaan tersebut.

Dalam perjalanannya, kerajaan-kerajaan di Nusantara mencapai puncak kejayaan di berbagai bidang. Bidang maritim berkembang pesat, menjadikan Nusantara sebagai pemain penting dalam jalur perdagangan internasional. Pertanian dan teknologi agraris semakin maju, didukung oleh sistem irigasi yang rumit. Literasi berkembang melalui karya sastra dan prasasti. Ragam ritual yang kompleks menunjukkan kehidupan religius yang matang, sementara ide penyatuan Nusantara mencapai bentuk idealnya dalam visi politik Majapahit.

Namun kejayaan itu tidak berlangsung selamanya. Seiring waktu, berbagai kerajaan mengalami penurunan, terutama akibat konflik internal, perebutan kekuasaan, serta tekanan eksternal. 

Dalam situasi krisis tersebut, muncul tatanan baru yang membawa perubahan besar: kedatangan Islam. 

Agama Islam yang masuk melalui jalur perdagangan dan dakwah damai, menawarkan sistem nilai dan tata sosial baru. Proses Islamisasi ini menandai babak baru dalam sejarah panjang peradaban 

Nusantara, yang terus bergerak dinamis dari waktu ke waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penjelasan Jilid 1

Kisah Jilid 1 Bab I BAB I KONDISI LINGKUNGAN ALAM NUSANTARA MASA AWAL Pendahuluan 1.1 Nusantara di Tengah Tatanan Geologi Global 1.2 Geologi...