Senin, 06 Januari 2025

Solo

 Bukan Palembang, tapi ini Solo πŸ’ž

Indahnya Pesona kota Solo, πŸ’ž


Kota Solo, atau Surakarta, adalah salah satu kota di Indonesia yang memikat dengan pesona budaya, tradisi, dan keindahan alamnya. Sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa, Solo menawarkan keindahan yang tak hanya terlihat dari aspek visual tetapi juga terasa dalam setiap sudut kehidupannya.


Keindahan Solo terletak pada arsitektur tradisional yang terjaga dengan baik. Istana Kasunanan dan Pura Mangkunegaran adalah contoh warisan budaya yang megah dan menjadi saksi sejarah peradaban Jawa. Bangunan ini tidak hanya indah secara fisik tetapi juga menyimpan nilai-nilai filosofi yang mendalam. Jalanan kota dihiasi dengan ornamen khas Jawa, memperlihatkan betapa Solo menjaga kearifan lokal di tengah perkembangan zaman.


Kota ini juga dikenal dengan taman-tamannya yang asri, seperti Taman Balekambang, yang menjadi tempat favorit untuk bersantai. Area hijau di tengah kota ini memberikan kesejukan dan tempat berkumpul bagi masyarakat. Selain itu, kawasan seperti Pasar Klewer dan Ngarsopuro Night Market menunjukkan sisi dinamis Solo, di mana budaya tradisional berpadu dengan kehidupan modern.


Solo memiliki nuansa yang tenang dan nyaman, dengan masyarakat yang dikenal ramah dan penuh sopan santun. Tradisi seperti batik dan seni karawitan tetap hidup di kota ini, menjadikannya sebagai salah satu pusat seni dan kerajinan di Indonesia. Batik Solo, dengan motifnya yang elegan dan bermakna, menjadi daya tarik bagi wisatawan yang ingin membawa pulang sepotong keindahan budaya.


Kuliner Solo juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pesonanya. Makanan khas seperti nasi liwet, tengkleng, serabi, dan timlo adalah contoh kelezatan yang mencerminkan keanekaragaman rasa di kota ini. Warung-warung tradisional hingga restoran modern di Solo memberikan pengalaman kuliner yang unik dan otentik.


Di malam hari, Solo tetap hidup dengan gemerlap lampu kota yang menambah keindahannya. Kawasan seperti Jalan Slamet Riyadi sering menjadi pusat keramaian, dengan aktivitas seni, musik, dan budaya yang menghibur. Meski modernitas semakin berkembang, Solo tetap menjaga keseimbangan antara tradisi dan inovasi.


Dengan segala pesonanya, Solo adalah kota yang memadukan keindahan, budaya, dan kehidupan yang harmonis. Kota ini tidak hanya menawarkan tempat untuk dikunjungi tetapi juga pengalaman yang mendalam, meninggalkan kesan mendalam bagi siapa saja yang datang.


#aerial #aerialview #aerialphotography #aerialshot #aerialindonesia #dji #djindonesia #djiglobal #djimavic #kontenkreator #exploreIndonesia #djimavic3 #djimini3pro #djimavic2zoom #pilotdrone #drone #dronephotography #dronesia #donestagram #photography #photooftheday #iloveindonesia  #jawatengah #solo #masjidrayasheikhzayedsolo #jelajahmasjid #mosquephotography #mosquedaily #ilprincipino87photowork #fyp

πŸ“·: ilprincipino87_aerial_fpv (Ig)

Dampak negatif Reuni

 Dampak negatif Reuni

(Nemu dari google) 


Reuni sejatinya menjadi momen yang memberi dampak positif karena dapat menjalin kembali tali silahturahim yang telah lama putus, terutama untuk generasi yang tamat sekolah atau kuliah sebelum maraknya ponsel maupun hadirnya media sosial. Tetapi faktanya, reuni tidak hanya berdampak positif tetapi juga menjadi pemicu munculnya persoalan-persoalan baru baik secara personal maupun terhadap kehidupan pihak lain, yaitu keluarga.


Ajang Unjuk Kesuksesan

Sekian tahun berpisah, ada banyak perubahan hidup yang terjadi pada seseorang. Ada yang saat sekolah dulu hidup berkelimpahan karena memiliki orang tua yang kaya, namun sekarang berubah menjadi kebalikannya, hidup pas-pas dan seadanya, tetapi tidak sedikit yang dulu hidupnya susah, sekarang berhasil menjadi orang sukses.

Perubahan kehidupan yang dulu hidup biasa dan sekarang telah sukses inilah yang seringkali ingin ditunjukan, ada yang secara terang-terangan ataupun secara tidak langsung. Misalnya dengan mengunggah foto barang-barang mewah yang baru dibeli, foto sedang liburan di luar negeri, foto sedang makan di restoran mahal, foto mobil, rumah dan barang-barang mewah lainnya, dan sejenisnya.


Unjuk kesuksesan ini seringkali berdampak pada hadirnya rasa rendah diri bagi orang-orang yang merasa tidak sukses apalagi yang merasa hidup berkekurangan, dan biasanya orang-orang yang merasa rendah diri ini lambat laun akan menghilang dan menghindari pertemuan dengan teman-teman satu almamaternya ini.


Tebar Pesona

Tebar pesona ini merupakan lanjutan dari ajang unjuk kesuksesan, terutama bagi orang yang saat duduk di bangku sekolah tidak percaya diri untuk mendekati teman perempuannya karena merasa jelek, hitam, tidak pintar dan miskin. Setelah merasa menjadi orang yang sukses maka dengan rasa percaya diri mendekati teman-teman perempuan yang dulu menjadi incarannya atau yang dulu tergolong primadona untuk memenuhi rasa penasaran atau bukti kemampuan bahwa dirinya bisa menaklukan hati mereka.

Bukan hanya untuk kaum pria, tebar pesona pun dilakukan oleh kaum perempuannya. Tidak sedikit yang berusah mencari perhatian kaum laki-laki yang pernah menjadi teman sekolahnya ini. Yang dulu menjadi primadona tetap ingin menunjukan bahwa sekarang tetap menjadi primadona, sedangkan yang dulu tidak sempat menjadi primadona karena keadaan yang tidak mendukung, maka tidak sedikit yang berlomba-lomba mencari perhatian teman-teman lawan jenisnya, meskipun mereka semua sudah memiliki keluarga.


Terganggunya Hubungan dengan Pasangan

Dampak selanjutnya dari tebar pesona atau berhasil mencuri perhatian adalah kedekatan dengan teman lawan jenis, meskipun awalnya dimulai dari percakapan biasa, namun kemudian berkembang menjadi rasa suka dan seterusnya.

Perkembangan menjadi rasa suka dan selanjutnya inilah yang kerap menjadi penyebab terganggunya ketenangan keluarga, yaitu munculnya kecurigaan dari pasangan masing-masing yang dapat menimbulkan keretakan rumah tangga.


Selain alasan takut terjadinya perselingkuhan pasangan dengan mantan teman sekolahnya banyak pasangan yang melarang suami/istrinya untuk mengikuti reuni karena khawatir istri/suami akan membandingkan dirinya dengan teman-teman lawan jenisnya, terutama bila suami merasa tidak dapat memberikan hidup berkecukupan.


Berkurangnya Waktu untuk Keluarga

Awal sebuah reuni biasanya dimulai dari grup chatting, dan hadirnya grup chat ini akan menyita sedikit waktu, bisa juga banyak tergantung dari orangnya, apakah dapat mengendalikan diri atau tidak.

Karena bertemu kembali dengan teman sebaya, banyak yang merasa kembali ke masa-masa saat sekolah dulu, tertawa, bercanda seakan lupa bahwa saat ini tidak lagi memiliki waktu sebebas saat sekolah dulu. Waktu yang biasanya dipakai untuk bermain dengan anak tidak lagi diberikan secara full, karena biasanya dengan alasan tidak ingin terlambat mengikuti perkembangan chat temannya, banyak yang melakukan pekerjaaan sambil mengintip isi chat, sambil memasak bahkan sambil mengasuh anak, sehingga dampaknya anak merasa tidak lagi mendapat perhatian penuh begitu juga dengan pasangan.


Yang menjadi lebih kompleks lagi adalah, ketika melihat pasangan asik dengan grup chat atau dengan teman-teman sekolahnya, maka istri/suami juga akan ‘balas dendam’ dan asik dengan teman-temannya, dan pada akhirnya, anak-anak pun akan mencari kegiatannya sendiri.

MONAS

 Monumen Nasional (Monas) dibangun untuk mengenang perjuangan rakyat Indonesia dalam merebut kemerdekaan dari Belanda, serta untuk membangkitkan semangat patriotisme generasi penerus. Berikut adalah beberapa fakta sejarah Monas: 

Gagasan pembangunan Monas muncul sembilan tahun setelah Indonesia merdeka. 

Pada 17 Agustus 1954, dibentuk komite nasional untuk menggelar sayembara perancangan Monas. 

Karya Frederich Silaban terpilih sebagai pemenang sayembara. 

Arsitek RM Soedarsono melanjutkan rancangan Monas dengan memasukkan angka 17, 8, dan 45 untuk melambangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. 

Pembangunan Monas dimulai pada 17 Agustus 1961 dan diresmikan pada 12 Juli 1975. 

Pembangunan Monas dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu 1961-1965, 1966-1968, dan 1969-1976. 

Monas dibangun di area seluas 80 hektar. 

Monas memiliki tinggi 132 meter. 

Di halaman luar Monas terdapat relief sejarah Indonesia yang menggambarkan berbagai peristiwa, seperti penjajahan Eropa, pemberontakan rakyat, dan Proklamasi Kemerdekaan. 

Di bawah permukaan halaman Monas terdapat ruang museum sejarah yang berukuran 80x80 meter. 

Mohon di lengkapi jika berkenan.

Candi Tegawangi

 Salah satu objek wisata Sejarah yang ada di Kota 'Daha' Kediri, ialah Candi Tegawangi (Tigawangi)


Candi Tegowangi merupakan bangunan Candi yang dibangun pada masa Kerajaan Majapahit, Candi ini terletak di Desa Tegowangi Kecamatan Plemahan Kabupaten Kediri, Jawa Timur.


Menurut teks Kitab Pararaton, Candi ini merupakan tempat Pendharmaan Bhre Matahun 'Rajasawardhana Dyah Larang' atau lebih dikenal dengan sebutan 'Raden Larang'. Tempat Pendharmaan Raden Larang berada di Tegowangi, sedangkan nama candinya ialah 'Kusumapura'. Sedangkan dalam Kitab Negarakertagama dijelaskan bahwa Bhre Matahun, Raden Larang, meninggal pada tahun 1388 M. Maka diperkirakan candi ini dibuat pada tahun 1400 M pada masa Majapahit karena pendharmaan seorang penguasa (Raja atau Ratu) dilakukan 12 tahun setelah Raja/Ratu tersebut meninggal disertai dengan upacara Sradha.


Teks dan foto : IG @yersat69

Di Follow yaa ❤️


#wisatakediri

#explorekediri

#canditegowangi

#tegowangikediri

#kediriberbudaya

Minggu, 05 Januari 2025

JAKA TINGKIR

 Jaka Tingkir atau penguasa Kerajaan Pajang bergelar Sultan Hadiwijaya memiliki kesaktian yang luar biasa. Ilmu kanuragan yang dimiliki mampu melumpuhkan banteng hanya dengan tusuk konde. 


Tak hanya itu, kerbau pun dibunuhnya dengan mengeluarkan jimat sakti yang dimasukkan ke mulut kerbau.


Kesaktian putra Kebo Kenanga alias Andayaningrat kelahiran Pengging ini berawal dari proses pembelajaran pada Kiai Ageng Sela. Selanjutnya, dia berguru dengan tokoh keramat Mataram, Sunan Kalijaga yang menasihatinya agar bekerja pada Sultan Demak.


Jaka Tingkir pun patuh mengikuti nasihat Sunan Kalijaga. Dalam buku "Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung" karya De Graaf disebutkan bagaimana akhirnya Jaka Tingkir muda melamar sebagai tamtama, pengawal pribadi di Kerajaan Demak. 


Keberhasilannya melompati kolam masjid dengan lompatan ke belakang membuat Jaka Tingkir diterima sebagai tamtama. Hal ini dilakukannya tanpa sengaja, karena tiba-tiba dia harus menghindari Sultan dan para pengiringnya. 


Ilmu kanugaran dan fisiknya yang mumpuni itulah yang memperlihatkan bahwa dialah orang tepat. Kemudian, Jaka Tingkir dijadikan kepala satuan pengawal pribadi.


Beberapa waktu kemudian satuan ini perlu diperbesar. Jaka Tingkir pun kembali diuji yaitu menghancurkan kepala banteng dengan tangan telanjang. Tantangan uji kekebalan itu disetujui Jaka Tingkir. 


Dia hanya memerlukan tusuk konde saja untuk menghancurkan kepala banteng. Benar saja, cukup dengan tusuk konde membuat Jaka Tingkir mampu menembus jantung kerbau. 


Saking hebatnya Jaka Tingkir malah mengakibatkan dia dipecat dan dibuang. Kepergian Jaka Tingkir dari Demak menimbulkan rasa sedih yang mendalam bagi kawan-kawannya.


Dengan rasa putus asa Jaka Tingkir berniat ingin mati saja. Pada perjalanan di tengah keputusasaan Jaka Tingkir bertemu dua pertapa yakni Kiai Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang. 


Keduanya tidak hanya memberi pelajaran, tetapi juga memberi semangat kepadanya. Ketika Jaka Tingkir berziarah pada malam hari di makam ayahnya di Pengging terdengarlah suara yang menyuruhnya pergi ke tokoh-tokoh keramat lain seperti Kiai Buyut dari Banyubiru yang selanjutnya menjadi gurunya.


Kedua kiai ini memberikan kepadanya jimat agar ia mendapat perkenan kembali dari Sultan Demak. Perjalanan Jaka Tingkir kembali ke Demak dilakukannya menyusuri sungai dengan rakit yang didorong 40 buaya. 


Setibanya kembali di Demak, Jaka Tingkir menerapkan jimat yang dipelajarinya. Alhasil kerbau liar dibuatnya menjadi gila. 


Sehingga, selama 3 hari para tamtama yang berusaha menghancurkan kepala kerbau gila dibuat malu dan terpaksa mengaku kalah. 


Hanya Jaka Tingkir yang berhasil membunuh kerbau. Dia hanya mengeluarkan jimat yang telah dimasukkan ke mulut kerbau. Setelah itu, Jaka Tingkir mendapatkan kembali kedudukannya di Kerajaan Demak.


Hanya Jaka Tingkir yang berhasil membunuh kerbau. Dia hanya mengeluarkan jimat yang telah dimasukkan ke mulut kerbau. Setelah itu, Jaka Tingkir mendapatkan kembali kedudukannya di Kerajaan Demak. 


Berkat jabatan dan kehebatannya, Jaka Tingkir menikahi putri kelima Raja, kemudian menjadi Bupati Pajang dengan daerah seluas 4.000 bau. 


Tiap tahun dia harus menghadap ke Demak dan kekuasaannya di Pajang berkembang cukup baik. Di sana dia membangun sebuah istana. 


Itulah pengalaman Jaka Tingkir sebelum Sultan Trenggana wafat pada tahun 1546 sebagaimana dikisahkan Babad Tanah Djawi.


Sumber: SINDO News

@sorotan Gubuk Kebatinan Nusantara Bangkit Nusantara Ilmu Leluhur Nusantara

Sabtu, 04 Januari 2025

Sejarah Asia Tenggara

 “Sejarah Asia Tenggara Harus Ditulis Ulang: Temuan Lembah Bujang yang Mengguncang Dunia”


Penemuan arkeologi di Malaysia mengungkap fakta mencengangkan yang berpotensi mengubah wajah sejarah Asia Tenggara. Lembah Bujang, kawasan bersejarah yang selama ini hanya dikenal di kalangan arkeolog, kini menjadi sorotan global setelah ditemukan bukti adanya peradaban maju yang berusia lebih dari 2.000 tahun.


Penemuan yang Menggemparkan

Pada 28 Maret 2010, sebuah bangunan yang diyakini sebagai monumen tertua di Asia Tenggara ditemukan di Sungai Batu, Lembah Bujang. Bangunan ini memiliki presisi geometris yang luar biasa dan diperkirakan dibangun pada tahun 110 Masehi. Lebih mengejutkan lagi, di sekitar kawasan ini ditemukan artefak yang bertarikh hingga 500 Sebelum Masehi, menunjukkan bahwa peradaban ini mendahului kerajaan besar seperti Sriwijaya (700 Masehi) dan Majapahit (1200 Masehi).


Profesor Stephen James Oppenheimer dari Universitas Oxford bahkan menyatakan, “Dengan temuan ini, sejarah Asia Tenggara harus ditulis ulang. Dominasi sejarah Indonesia, Thailand, dan Vietnam selama 2.000 tahun terakhir kini dipertanyakan.”


Keajaiban Lembah Bujang

Monumen Sungai Batu berdiri menghadap Gunung Jerai, puncak tertinggi di utara Selat Malaka. Diduga kuat, bangunan ini memiliki fungsi ritual. Di sekitarnya, para arkeolog juga menemukan jejak industri besi kuno seperti tungku pelebur besi dan dermaga batu yang membuktikan peradaban di kawasan ini telah mencapai tingkat kemajuan tinggi.


Lembah Bujang, yang dikenal dengan banyak nama di masa lalu Kalagam atau Kadaram oleh penyair India kuno, Qalha atau Kalah oleh pedagang Arab abad ke-4 Masehi, dan Chieh-Cha oleh musafir Cina terkenal I-Tsing mungkin adalah salah satu pusat peradaban tertua di Asia Tenggara.


Bayang-bayang Sejarah Indonesia

Sementara itu, di Indonesia, sejumlah tinggalan bersejarah seperti Candi Batujaya di Karawang dan situs “Sagara Pasir” di Bekasi, yang diduga bertarikh sebelum Masehi, kurang mendapat perhatian serius. Meski memiliki potensi besar untuk mengungkap sejarah nusantara, gaung penemuan ini tak terdengar hingga level internasional.


Jika Malaysia dengan Lembah Bujangnya berhasil mengklaim status sebagai awal mula sejarah Asia Tenggara, Indonesia berisiko kembali kehilangan momentum untuk membuktikan kebesaran peradaban masa lalunya. Jangan sampai kelalaian ini mengulang tragedi lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan.


Membangkitkan Kesadaran Sejarah

Temuan Lembah Bujang menjadi pengingat pentingnya menjaga, meneliti, dan mengapresiasi warisan sejarah bangsa. Indonesia memiliki potensi besar untuk membuktikan keunggulan peradabannya di masa lalu, asalkan ada komitmen kuat untuk menggali dan mempublikasikan temuan-temuan arkeologis secara serius di kancah dunia.


Sejarah adalah identitas. Mari bersama menjaga warisan nenek moyang kita agar dunia tahu betapa besarnya peradaban nusantara.


#SejarahAsiaTenggara

#LembahBujang

#PeradabanKuno

#WarisanNusantara

#GaliSejarah

Monas

 Monumen Nasional (Monas) dibangun untuk mengenang perjuangan rakyat Indonesia dalam merebut kemerdekaan dari Belanda, serta untuk membangkitkan semangat patriotisme generasi penerus. Berikut adalah beberapa fakta sejarah Monas: 

Gagasan pembangunan Monas muncul sembilan tahun setelah Indonesia merdeka. 

Pada 17 Agustus 1954, dibentuk komite nasional untuk menggelar sayembara perancangan Monas. 

Karya Frederich Silaban terpilih sebagai pemenang sayembara. 


Arsitek RM Soedarsono melanjutkan rancangan Monas dengan memasukkan angka 17, 8, dan 45 untuk melambangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. 

Pembangunan Monas dimulai pada 17 Agustus 1961 dan diresmikan pada 12 Juli 1975. 

Pembangunan Monas dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu 1961-1965, 1966-1968, dan 1969-1976. 

Monas dibangun di area seluas 80 hektar. 


Monas memiliki tinggi 132 meter. 

Di halaman luar Monas terdapat relief sejarah Indonesia yang menggambarkan berbagai peristiwa, seperti penjajahan Eropa, pemberontakan rakyat, dan Proklamasi Kemerdekaan. 

Di bawah permukaan halaman Monas terdapat ruang museum sejarah yang berukuran 80x80 meter. 

#beritaviral #mknas

MAHESA JENAR : ANTARA CERITA SILAT DAN CERITA RAKYAT

 MAHESA JENAR : ANTARA CERITA SILAT DAN CERITA RAKYAT


Nama Mahesa Jenar sangat populer di Jawa Tengah dan Yogyakarta, terutama bagi generasi tua. Penggemasr PSIS Semarang tentunya sangat sangat akrab dengan nama ini.  Saking populernya, banyak orang menganggap ia sebagai tokoh sejarah yang nyata dan pernah ada. Namun, siapa sebenarnya Mahesa Jenar? Apakah ia tokoh sejarah nyata atau hanya karakter fiksi dalam cerita silat?


Mahesa Jenar pertama kali diperkenalkan melalui cerita silat Nagasasra dan Sabuk Inten karya S.H. Mintardja. Kisah ini awalnya dimuat di koran Kedaulatan Rakyat pada tahun 1964, kemudian diterbitkan sebagai buku pada tahun 1966. 


Dalam cerita tersebut, Mahesa Jenar adalah seorang prajurit Kesultanan Demak yang bergelar  Rangga Tohjaya, murid dari Pangeran Handayaningrat (Ki Ageng Pengging Sepuh). 


Sebagai murid Perguruan Pengging, Mahesa Jenar tentu mempunyai hubungan erat dengan Ki Kebo Kenanga, putra dari Ki Ageng Pengging Sepuh. Sebagaimana tercatat dalam Sejarah, Ki Kebo Kenanga ini adalah murid  Syekh Siti Jenar, seorang sufi Jawa yang kontroversial. 


Karena akidahnya yang dinilai sesat, dan selalu membangkang terhadap Kesultanan Demak, akhirnya Syekh Siti Jenar dan para pengikutnya dihukum mati. Tidak berselang lama dari peristiwa ini, Ki Kebo Kenanga juga ikut dieksekusi mati. Kematian saudara seperguruan yang tragis ini tentu membawa pengaruh besar bagi pribadi Mahesa Jenar. 


Tidak disebutkan dalam novel apakah Mahesa Jenar terlibat, maupun dituduh terlibat dalam peristiwa Syekh Siti Jenar ini. Hanya saja, digambarkan bahwa ia sangat masygul sekali. Kebetulan, beberapa waktu pasca eksekusi Syekh Siti Jenar, Istana Kesultanan Demak diobok-obok maling.  


Dua buah pusaka penting, keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten raib. Posisi Mahesa Jenar sebagai murid Ki Kebo Kenanga semakin tersudut. Meskipun tidak terucap, semua orang seakan menuduh dia terlibat dalam peristiwa ini. 


Untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan, Mahesa Jenar  akhirnya mengundurkan diri dari militer, dan merantau, njajah desa milang kori, menjelajah tanah Jawa seorang diri. Meskipun demikian, sebenarnya kesetiaan Mahesa Jenar terhadap Demak tak pernah luntur. Ia bertekat untuk mencari pusaka yang hilang itu dan membawanya kembali ke Demak, dan menyerahkannya kepada sultan. 


Mahesa Jenar digambarkan sebagai tokoh dengan karakter khas Jawa: tegas, sederhana, dan menjunjung tinggi kebenaran. Meski memiliki kemampuan silat yang luar biasa, termasuk jurus Sasra Birawa yang dapat menghancurkan batu besar, ia tetap rendah hati. 


Mahesa Jenar lebih memilih kehidupan yang sederhana dibandingkan kemewahan istana. Dalam perjalanannya, ia turut menyelesaikan berbagai konflik, salah satunya di wilayah Banyubiru, sekaligus menjadi guru bagi Arya Salaka, putra pemimpin daerah tersebut.


Cerita ini menarik banyak perhatian karena S.H. Mintardja berhasil memadukan fakta sejarah dengan unsur fiksi. Tokoh-tokoh sejarah seperti Ki Ageng Pengging, Sultan Trenggono, hingga Sunan Prawata hadir dalam cerita, meskipun Mahesa Jenar sendiri adalah tokoh fiksi yang dirancang untuk menyatukan elemen-elemen kisah.


Konflik utama dalam cerita ini berkisar pada dua pusaka, Keris Nagasasra dan Sabuk Inten, yang dipercaya sebagai simbol legitimasi seorang pemimpin Jawa. Keris ini memang ada dalam tradisi Jawa dan kini disimpan di Keraton Surakarta. Mintardja menggunakan legenda keris ini sebagai fondasi cerita, sambil menyisipkan nilai-nilai moral khas Jawa melalui karakter Mahesa Jenar. 


Popularitas Mahesa Jenar makin tenar setelah kisah Nagasasra Sabuk Inten naik ke panggung kethoprak. Adalah grup kethoprak Sapta Mandala Kodam VII Diponegoro yang pertama kali mengadaptasi kisah Nagasasra Sabuk Inten ke panggung pentas. Saya tidak tahu, apakah kisah ini juga pernah diangkat ke panggung kethoprak mbeling majalah Mop oleh alm. Gunawan Pranyoto ( Mas Goen). 


Rekaman kaset kethoprak dengan lakon serial Naga Sasra Sabuk Inten, laris di pasaran. Bahkan kemudian serial ini diputar di berbagai stasiun radio. Beberapa seri yang pernah laris di pasaran antara lain Geger Banyu Biru, Wewadi Gunung Ijo, Samparan Nebus Dosa, Wirasaba Liwung dan Uling Kuning Mbarang Amuk. 


Dari panggung kethoprak inilah nama Mahesa Jenar dan kisahnya dikenal luas oleh masyarakat. Bahkan masyarakat pedesaan yang buta hurufpun mengenal kisah ini. Dari sinilah kisah Mahesa Jenar bergeser, dari sekedar cerita silat menjadi cerita rakyat. 


Mahesa Jenar makin membumi dengan dirilisnya lagu keroncong berjudul Mahesa Jenar yang dinyanyikan oleh Waldjinah. Lagu tersebut menggambarkan perjuangan Mahesa Jenar yang tulus dan tanpa pamrih dalam menjalankan misinya. Sosok ini dianggap sebagai simbol pahlawan sederhana yang lebih memilih pengabdian daripada kemewahan.


Namun, perdebatan tentang keberadaan Mahesa Jenar masih terus terjadi. Ada yang meyakini ia tokoh sejarah, sementara lainnya percaya ia hanya karakter rekaan. Entah karena kebetulan, ketidak tahuan atau sekedar ingin menarik perhatian,  sebuah makam di Desa Jogoloyo, Demak, diklaim sebagai makam Mahesa Jenar. 


Pembangunan makam Mahesa Jenar bahkan diinisiasi oleh Dinas Pariwisata setempat. Lucunya,  di Website Dinas Pariwisata Kabupaten Demak gelar Mahesa Jenar ditulis Ronggo Toh Jiwo.  Kabarnya, tempat ini kini menjadi destinasi wisata religi selain Masjid Agung Demak.


Meskipun Mahesa Jenar faktanya hanya tokoh fiksi, murni 100 persen imajinasi S.H. Mintardja, namun  ia telah menjadi simbol nilai-nilai luhur seperti kesederhanaan, keberanian, dan pengabdian tanpa pamrih—semangat yang tetap relevan hingga sekarang.


Lirik Keroncong Mahesa Jenar : 


Kaloningrat Pilih Tanding, Maesa Jenar

Satria Ing Pengging

Satria Digdya Lelana Ngupaya

Sabuk Inten Nagasasra


Tan Samaring Bebaya, Maesa Jenar

Bekti Ing Negara

Mandap Jurang Nasak Wana Wasa

Kayungyun Guayane Bangsa


Para Kang Ambek Angkara

Memalangi Sedya Utama

Nanging Pinesthi, Lebur Musna

Ketiban Aji Sasrabirawa


Nora Pamrih Kalenggahan, Maesa Jenar

Wani Datan Giris

Ngeronce Edining Asmara

Kelawan Wong Ayu Dyah Rara Wilis


#Fiksidankisahrakyat

#SejarahNusantara

JASAMU GURU

 πŸ“#Biografi | Mengawali hari pertama di tahun 2025 ini kita akan membahas seorang Pahlawan Tanpa Tanda Jasa yang sebenarnya. Sudah seharusnya kita para pelajar angkatan tahun 1960-1990 sangat perlu berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada sosok ibu Siti Rahmani Rauf karena dari beliaulah kita dan jutaan anak Indonesia bisa membaca dan menulis.


Ia adalah pencipta sajak "Ani dan Budi" yang sering muncul pada pelajaran Bahasa Indonesia. Nama Ani dan Budi kerap menjadi contoh saat pelajaran membaca. Guru biasanya mendikte di depan kelas sambil mengajak murid-muridnya mengeja "I-ni Bu-di, I-ni I-bu Bu-di" atau "I-ni A-ni, I-ni I-bu A-ni".


Siti Rahmani dilahirkan di Sumatera Barat pada 5 Juni 1919. Ia menjadi guru di tanah kelahirannya mulai tahun 1938 hingga 1953. Kemudian, pada tahun 1954, ia pindah ke Jakarta bersama suami dan keenam anak-anaknya hingga masa tuanya.


Sajak buatannya berjudul "Ani dan Budi" dijadikan sebagai contoh bagi para pelajar sekolah dasar angkatan tahun 1960-1990-an untuk belajar membaca. Melalui sajaknya, Siti Rahmani mengenalkan metode membaca Struktur Analitik Sintetik (SAS). 


Hampir semua sekolah di Indonesia menggunakan pedoman itu. Metode ini bahkan masih populer sampai sekarang.

Siti Rahmani pun menerbitkan buku berjudul Ini Ibu Budi atas permintaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud). Akan tetapi, Siti Rahmani menolak menerima honor dari buku terbitannya. 


Alasannya, ia cinta dunia pendidikan. Terlebih lagi, ia lebih mengutamakan agama dibanding materi. Ia hanya memiliki satu keinginan, yaitu berangkat haji.


Pada usia tuanya, Siti Rahmani terbaring sakit akibat penyakit diabetes. Meskipun sudah menua, semangat literasi Siti Rahmani tak luntur. Pada usia senjanya, ia masih sering membaca novel-novel Belanda. Ia pun masih menerima tamu yang datang ke rumahnya, meski sudah tak bisa berbicara panjang lebar. 


Akan tetapi, kabar duka menyelimuti dunia pendidikan Indonesia. Ibu Siti Rahmani mengembuskan napas terakhirnya pada usia 97 tahun, tepatnya pada 10 Mei 2016 sekitar pukul 21.20 WIB. Ia meninggal dunia di kediamannya, Jalan Jati Petamburan I, No 8 RT 002 RW 01, Jakarta Pusat.


Banyak orang yang tidak tahu bahwa Siti Rahmani pencipta sajak "Ani dan Budi". Bahkan, frasa "Ini Ibu Budi" lebih terkenal dari penciptanya sendiri. Meski demikian, jasa besar Siti Rahmani dalam dunia pendidikan dan literasi di Indonesia tetap tak tergantikan, Jasamu sungguh tiada tara.


Kita yang telah merasakan era 90 an juga pasti tahu lagu yang biasanya ditayangkan sebelum acara Berita Nasional pukul 19:00 yang berjudul Jasamu Guru karya M. Isfanhari. Lagu ini menggambarkan jasa guru dalam menanamkan ilmu pada murid-muridnya sangat pas untuk dipersembahkan untuk ibu Siti Rahmani, semoga beliau diberikan tempat yang layak disisi-Nya.


Berikut lirik lagu Jasamu Guru :


Kita jadi bisa menulis dan membaca

Kar'na siapa?

Kita jadi tahu beraneka bidang ilmu

Dari siapa?


Kita jadi pintar, dibimbing pak guru

Kita bisa pandai, dibimbing bu guru

Gurulah pelita, penerang dalam gulita

Jasamu tiada tara


Kita jadi pintar, dibimbing pak guru

Kita bisa pandai, dibimbing bu guru

Gurulah pelita, penerang dalam gulita

Jasamu tiada tara


Kita jadi bisa menulis dan membaca

Kar'na siapa?

Kita jadi tahu beraneka bidang ilmu

Dari siapa?


Kita jadi pintar, dibimbing pak guru

Kita bisa pandai, dibimbing bu guru

Gurulah pelita, penerang dalam gulita

Jasamu tiada tara


Kita jadi pintar, dibimbing pak guru

Kita bisa pandai, dibimbing bu guru

Gurulah pelita, penerang dalam gulita

Jasamu tiada tara


#SitiRahmani | #Budi | #Guru

.

.

πŸ“° Sumber : Ida Ayu Kadek Devie 

πŸ“Έ Foto : Timeline

Bukit Pelangi

 Bunga di Bukit Pelangi


Di sebuah desa kecil di kaki Bukit Pelangi, hiduplah seorang gadis bernama Liana. Ia dikenal karena keramahan dan kecantikannya, seperti bunga-bunga yang mekar di sepanjang bukit itu. Liana memiliki seorang sahabat bernama Rama, pemuda sederhana yang selalu menemani hari-harinya sejak kecil. Keduanya tumbuh bersama, berbagi tawa dan cerita. Namun, tanpa Liana sadari, Rama menyimpan perasaan lebih dari sekadar persahabatan.  


Suatu pagi yang cerah, Liana dan Rama duduk di sebuah batu besar di tengah bukit, memandang matahari yang perlahan naik. Rama menggenggam sekuntum bunga liar berwarna merah muda yang baru saja dipetiknya.  


"Liana," Rama memulai dengan suara bergetar, "aku ingin mengatakan sesuatu yang sudah lama kupendam."  


Liana menoleh, tersenyum. "Apa itu, Rama? Kau terlihat serius sekali."  


Rama menarik napas dalam-dalam. "Aku mencintaimu. Lebih dari sekadar sahabat. Aku ingin kita selalu bersama, bukan hanya sebagai teman, tapi sebagai pasangan."  


Liana terkejut. Ia tak menyangka sahabatnya memiliki perasaan seperti itu. Dengan hati-hati, ia menjawab, "Rama, aku tidak tahu harus berkata apa. Kau adalah sahabat terbaikku. Aku takut jika aku menerima perasaanmu, persahabatan kita berubah. Dan... aku memiliki rencana besar untuk hidupku. Aku ingin pergi ke kota untuk mengejar mimpiku."  


Rama terdiam, wajahnya berubah muram. "Jadi, kau akan pergi? Meninggalkan desa ini? Meninggalkan aku?"  


Liana menatapnya dengan penuh haru. "Aku harus pergi, Rama. Aku ingin menjadi pelukis yang dikenal dunia. Bukit ini, bunga-bunga di sini, inspirasiku, tapi mimpiku ada di luar sana. Aku tak ingin mengorbankan persahabatan kita atau membuatmu lebih terluka dengan tetap di sini tanpa cinta yang kau harapkan."  


Rama mengangguk pelan, berusaha menyembunyikan kesedihannya. "Kalau begitu, pergilah, Liana. Aku hanya ingin kau bahagia. Tapi, apakah kau yakin ini keputusan terbaik?"  


Liana menggenggam tangan Rama. "Kadang, perpisahan adalah jalan menuju kebahagiaan. Jika aku tetap di sini, aku takut melukai hatimu lebih dalam. Lebih baik kita berpisah sekarang, meski berat, daripada aku menjadi beban dalam hidupmu."  


Hari perpisahan pun tiba. Di stasiun kecil desa, Rama mengantar Liana dengan mata berkaca-kaca. "Aku akan merindukanmu," bisiknya.  


Liana tersenyum, menahan air matanya. "Aku juga akan merindukanmu, Rama. Tapi aku percaya, suatu hari nanti, kita akan bertemu lagi sebagai orang yang lebih baik, dengan mimpi yang sudah tercapai."  


Tahun-tahun berlalu. Liana berhasil menjadi pelukis terkenal, dan ia sering kembali ke desa untuk mengunjungi Bukit Pelangi yang menjadi inspirasinya. Suatu hari, ia bertemu kembali dengan Rama, yang kini telah menjadi petani bunga yang sukses.  


"Liana," kata Rama, tersenyum, "kau benar. Perpisahan kita dulu bukanlah akhir, tapi awal dari kebahagiaan kita masing-masing."  


Liana mengangguk. "Dan aku bersyukur kita cukup berani untuk melepaskan satu sama lain demi kebahagiaan yang lebih besar."  


Keduanya tersenyum, menyadari bahwa meskipun jalan mereka berbeda, persahabatan mereka tetap abadi, seperti bunga-bunga yang selalu mekar di Bukit Pelangi.


Pesan Moral :


Pesan moral dari cerita ini adalah bahwa terkadang, perpisahan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari perjalanan menuju kebahagiaan dan pencapaian yang lebih besar. Melepaskan seseorang yang kita cintai demi kebaikan bersama membutuhkan keberanian dan kebesaran hati, namun pada akhirnya, hal tersebut dapat membawa kedamaian, pencapaian mimpi, dan hubungan yang lebih tulus. Perpisahan yang dilakukan dengan niat baik akan membuktikan bahwa cinta sejati adalah tentang merelakan, bukan sekadar memiliki. #Cerita #Dongeng #CeritaPendek #FairyTale

Kapal Kuno Abad 7

 kapal kuno buatan abad ke-7 M ditemukan oleh warga ketika menggali  tanah untuk membuat kolam garam. pada kedalaman sekitar 2 meter ditemukan rangka kapal dengan posisi timur-barat.


kemudian Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah, Balai Arkeologi Yogyakarta, Balai Konservasi Borobudur dan Direktorat Peninggalan Bawah Air  survei ke lokasi


analisis radiokarbon terhadap sampel pengikatan papan ijuk menunjukkan kalibrasi antara tahun 660-780 Masehi, atau sekitar abad ke-7 dan ke-8 Masehi.


Diperkirakan sama dengan masa awal berkembangnya kerajaan Mataram kuno di Jawa dan awal kerajaan Sriwijaya di Sumatera.


Sekarang perahu kuno tersebut telah diselamatkan dan diberi pagar dan atap untuk mendukung proses konservasi dan penelitian lebih lanjut.


 perahu kuno ini ada di desa Punjulharjo, kecamatan Rembang, kabupaten Rembang, Jawa Tengah.


Baca tulisan lainya di telegram https://t.me/sejarahkerajaanjawa


Foto : Sistem Registrasi Cagar Budaya @kemdikbud.ri

Tugu Yogyakarta

 Tugu Yogyakarta (bahasa Jawa: ꦑꦸκ¦’ꦸꦔκ¦ͺꦺꦴκ¦’ꦾꦏꦂκ¦  . Tugu NgayogyΓ₯kartΓ₯) adalah sebuah tugu atau monumen yang sering dipakai sebagai simbol atau lambang dari Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tugu yang terletak di perempatan Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Margo Utomo ini, mempunyai nilai simbolis yang merupakan garis yang bersifat magis yang menghubungkan Pantai Parangtritis dan Panggung Krapyak di Kabupaten Bantul, Keraton Yogyakarta di Kota Yogyakarta dan Gunung Merapi di Kabupaten Sleman.


Tugu ini sekarang merupakan salah satu objek pariwisata Yogyakarta, dan sering dikenal dengan istilah “Tugu Pal Putih” (pal juga berarti tugu), karena warna cat yang digunakan sejak dulu adalah warna putih. Tugu pal ini berbentuk bulat panjang dengan bola kecil dan ujung yang runcing di bagian atasnya.


Sejarah Tugu Yogyakarta πŸ›️


Monumen ini dibangun oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I pada tahun 1755. Dikenal sebagai Tugu Golong-Gilig, dan dibangun dalam semangat persatuan rakyat. Di puncak tugu berbentuk bulat (golong) dan tiangnya berbentuk silindris (gilig), demikianlah namanya. Ketinggian monumen tersebut adalah 25 meter. Dibangun di Garis Imajiner Yogyakarta yang menghubungkan laut selatan, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, dan Gunung Merapi. Pada saat bertapa, konon Sultan Yogyakarta saat itu menggunakan tugu ini sebagai patokan untuk menghadap ke puncak Gunung Merapi.[1]


Monumen ini runtuh saat gempa bumi besar yang terjadi pada 10 Juni 1867. Pada tahun 1889, pemerintah kolonial Hindia Belanda merenovasi monumen dengan bentuk persegi. Bagian atas monumen dibangun dengan bentuk kerucut, bukan berbentuk bulat seperti sebelumnya, dengan bola kecil di ujungnya. Ketinggian monumennya juga berkurang dari 25 meter menjadi 15 meter. Sejak itu, monumen ini juga dikenal pada saat itu sebagai De Witte Paal (Monumen Putih).


Di tahun 2012, renovasi tugu telah selesai dilakukan. Pengecatan sebagian ornamen tugu juga selesai dilakukan dengan warna kuning yang mengandung emas 22 karat. Sebuah taman kecil juga telah dibuat di sekitar tugu.

SEJARAH PULAU JAWA

 (SEJARAH PULAU JAWA)


Jawa adalah sebuah pulau di Indonesia dengan penduduk sekitar 136 juta. Pulau ini berpenduduk terbanyak di dunia dan merupakan salah satu wilayah terpadat di dunia. Jawa dihuni oleh 60% penduduk Indonesia. Ibu kota Indonesia, Jakarta, terletak di Jawa bagian barat. Banyak sejarah Indonesia berlangsung di pulau ini. Dahulu, Jawa adalah pusat beberapa kerajaan Hindu-Buddha, kesultanan Islam, pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, serta pusat pergerakan kemerdekaan Indonesia. Pulau ini berdampak besar terhadap kehidupan sosial, politik, dan ekonomi Indonesia.


Jawa adalah pulau yang sebagian besar terbentuk dari aktivitas vulkanik, merupakan pulau ketiga belas terbesar di dunia, dan terbesar kelima di Indonesia. Deretan gunung-gunung berapi membentuk jajaran yang terbentang dari timur hingga barat pulau ini. Terdapat tiga bahasa utama di pulau ini, namun mayoritas penduduk menggunakan bahasa Jawa. Bahasa Jawa merupakan bahasa ibu dari 60 juta penduduk Indonesia, dan sebagian besar penuturnya berdiam di pulau Jawa. Sebagian besar penduduk adalah bilingual, yang berbahasa Indonesia baik sebagai bahasa pertama maupun kedua. Sebagian besar penduduk Jawa adalah Muslim, namun terdapat beragam aliran kepercayaan, agama, kelompok etnis, serta budaya di pulau ini.


Pulau ini secara administratif terbagi menjadi empat provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten; serta dua wilayah khusus, yaitu DKI Jakarta dan DI Yogyakarta.


Asal mula nama ‘Jawa’ tidak jelas. Salah satu kemungkinan adalah nama pulau ini berasal dari tanaman jΓ‘wa-wut, yang banyak ditemukan di pulau ini pada masa purbakala, sebelum masuknya pengaruh India pulau ini mungkin memiliki banyak nama. Ada pula dugaan bahwa pulau ini berasal dari kata jaΓΊ yang berarti “jauh”. Dalam Bahasa Sanskerta yava berarti tanaman jelai, sebuah tanaman yang membuat pulau ini terkenal. Yawadvipa disebut dalam epik India Ramayana. Sugriwa, panglima wanara (manusia kera) dari pasukan Sri Rama, mengirimkan utusannya ke Yawadvipa (pulau Jawa) untuk mencari Dewi Shinta. Kemudian berdasarkan kesusastraan India terutama pustaka Tamil, disebut dengan nama Sanskerta yāvaka dvΔ«pa (dvΔ«pa = pulau). Dugaan lain ialah bahwa kata “Jawa” berasal dari akar kata dalam bahasa Proto-Austronesia, yang berarti ‘rumah


Pulau ini merupakan bagian dari gugusan kepulauan Sunda Besar dan paparan Sunda, yang pada masa sebelum es mencair merupakan ujung tenggara benua Asia. Sisa-sisa fosil Homo erectus, yang populer dijuluki “Si Manusia Jawa”, ditemukan di sepanjang daerah tepian Sungai Bengawan Solo, dan peninggalan tersebut berasal dari masa 1,7 juta tahun yang lampau. Situs Sangiran adalah situs prasejarah yang penting di Jawa. Beberapa struktur megalitik telah ditemukan di pulau Jawa, misalnya menhir, dolmen, meja batu, dan piramida berundak yang lazim disebut Punden Berundak. Punden berundak dan menhir ditemukan di situs megalitik di Paguyangan, Cisolok, dan Gunung Padang, Jawa Barat. Situs megalitik Cipari yang juga ditemukan di Jawa Barat menunjukkan struktur monolit, teras batu, dan sarkofagus. Punden berundak ini dianggap sebagai strukstur asli Nusantara dan merupakan rancangan dasar bangunan candi pada zaman kerajaan Hindu-Buddha Nusantara setelah penduduk lokal menerima pengaruh peradaban Hindu-Buddha dari India. Pada abad ke-4 SM hingga abad ke-1 atau ke-5 M Kebudayaan Buni yaitu kebudayaan tembikar tanah liat berkembang di pesisir utara Jawa Barat. Kebudayaan protosejarah ini merupakan pendahulu kerajaan Tarumanagara.


Pulau Jawa yang sangat subur dan bercurah hujan tinggi memungkinkan berkembangnya budidaya padi di lahan basah, sehingga mendorong terbentuknya tingkat kerjasama antar desa yang semakin kompleks. Dari aliansi-aliansi desa tersebut, berkembanglah kerajaan-kerajaan kecil. Jajaran pegunungan vulkanik dan dataran-dataran tinggi di sekitarnya yang membentang di sepanjang pulau Jawa menyebabkan daerah-daerah interior pulau ini beserta masyarakatnya secara relatif terpisahkan dari Pulau Jawa yang sangat subur dan bercurah hujan tinggi memungkinkan berkembangnya budidaya padi di lahan basah, sehingga mendorong terbentuknya tingkat kerjasama antar desa yang semakin kompleks. Dari aliansi-aliansi desa tersebut, berkembanglah kerajaan-kerajaan kecil. Jajaran pegunungan vulkanik dan dataran-dataran tinggi di sekitarnya yang membentang di sepanjang pulau Jawa menyebabkan daerah-daerah interior pulau ini beserta masyarakatnya secara relatif terpisahkan dari pengaruh luar. Di masa sebelum berkembangnya negara-negara Islam serta kedatangan kolonialisme Eropa, sungai-sungai yang ada merupakan sarana perhubungan utama masyarakat, meskipun kebanyakan sungai di Jawa beraliran pendek. Hanya Sungai Brantas dan Bengawan Solo yang dapat menjadi sarana penghubung jarak jauh, sehingga pada lembah-lembah sungai tersebut terbentuklah pusat dari kerajaan-kerajaan yang besar.


Diperkirakan suatu sistem perhubungan yang terdiri dari jaringan jalan, jembatan permanen, serta pos pungutan cukai telah terbentuk di pulau Jawa setidaknya pada pertengahan abad ke-17. Para penguasa lokal memiliki kekuasaan atas rute-rute tersebut, musim hujan yang lebat dapat pula mengganggu perjalanan, dan demikian pula penggunakan jalan-jalan sangat tergantung pada pemeliharaan yang terus-menerus. Dapatlah dikatakan bahwa perhubungan antarpenduduk pulau Jawa pada masa itu adalah sulit. 


(GEOGRAFI) 


Geografi


Jawa bertetangga dengan Sumatera di sebelah barat, Bali di timur, Kalimantan di utara, dan Pulau Natal di selatan. Pulau Jawa merupakan pulau ke-13 terbesar di dunia. Perairan yang mengelilingi pulau ini ialah Laut Jawa di utara, Selat Sunda di barat, Samudera Hindia di selatan, serta Selat Bali dan Selat Madura di timur.


Jawa memiliki luas sekitar 139.000 km2. Sungai yang terpanjang ialah Bengawan Solo, yaitu sepanjang 600 km. Sungai ini bersumber di Jawa bagian tengah, tepatnya di gunung berapi Lawu. Aliran sungai kemudian mengalir ke arah utara dan timur, menuju muaranya di Laut Jawa di dekat kota Surabaya.


Hampir keseluruhan wilayah Jawa pernah memperoleh dampak dari aktivitas gunung berapi. Terdapat tiga puluh delapan gunung yang terbentang dari timur ke barat pulau ini, yang kesemuanya pada waktu tertentu pernah menjadi gunung berapi aktif. Gunung berapi tertinggi di Jawa adalah Gunung Semeru (3.676 m), sedangkan gunung berapi paling aktif di Jawa dan bahkan di Indonesia adalah Gunung Merapi (2.968 m) serta gunung kelud (1.731 m). Gunung-gunung dan dataran tinggi yang berjarak berjauhan membantu wilayah pedalaman terbagi menjadi beberapa daerah yang relatif terisolasi dan cocok untuk persawahan lahan basah. Lahan persawahan padi di Jawa adalah salah satu yang tersubur di dunia. Jawa adalah tempat pertama penanaman kopi di Indonesia, yaitu sejak tahun 1699. Kini, kopi arabika banyak ditanam di Dataran Tinggi Ijen baik oleh para petani kecil maupun oleh perkebunan-perkebunan besar.


Suhu rata-rata sepanjang tahun adalah antara 22 °C sampai 29 °C, dengan kelembaban rata-rata 75%. Daerah pantai utara biasanya lebih panas, dengan rata-rata 34 °C pada siang hari di musim kemarau. Daerah pantai selatan umumnya lebih sejuk daripada pantai utara, dan daerah dataran tinggi di pedalaman lebih sejuk lagi. Musim hujan berawal pada bulan Oktober dan berakhir pada bulan April, di mana hujan biasanya turun di sore hari, dan pada bulan-bulan selainnya hujan biasanya hanya turun sebentar-sebentar saja. Curah hujan tertinggi umumnya terjadi pada bulan-bulan bulan Januari dan Februari.


Jawa Barat bercurah hujan lebih tinggi daripada Jawa Timur, dan daerah pegunungannya menerima curah hujan lebih tinggi lagi. Curah hujan di Dataran Tinggi Parahyangan di Jawa Barat mencapai lebih dari 4.000 mm per tahun, sedangkan di pantai utara Jawa Timur hanya 900 mm per tahun.


Ref… 


(Dikutip dari Wikipedia)

BABAD TANAH LELUHUR

 BABAD TANAH LELUHUR 


Indonesia memiliki sejarah kerajaan yang kaya dan beragam, dengan lebih dari 300 kerajaan yang pernah berdiri. Berikut beberapa kerajaan terkenal di Indonesia:


Kerajaan Hindu-Buddha

1. Kerajaan Kutai (300-400 M): Kerajaan Hindu pertama di Indonesia.

2. Kerajaan Tarumanegara (400-600 M): Kerajaan Hindu di Jawa Barat.

3. Kerajaan Kalingga (600-700 M): Kerajaan Hindu di Jawa Tengah.

4. Kerajaan Sriwijaya (650-1377 M): Kerajaan Buddha di Sumatera.

5. Kerajaan Mataram (700-1000 M): Kerajaan Hindu-Buddha di Jawa Tengah.

6. Kerajaan Singhasari (1222-1292 M): Kerajaan Hindu di Jawa Timur.

7. Kerajaan Majapahit (1293-1520 M): Kerajaan Hindu-Buddha di Jawa Timur.


Kerajaan Islam

1. Kerajaan Samudera Pasai (1253-1521 M): Kerajaan Islam pertama di Indonesia.

2. Kerajaan Demak (1475-1568 M): Kerajaan Islam di Jawa Tengah.

3. Kerajaan Pajang (1568-1618 M): Kerajaan Islam di Jawa Tengah.

4. Kerajaan Mataram Islam (1586-1755 M): Kerajaan Islam di Jawa Tengah.

5. Kesultanan Banten (1520-1813 M): Kerajaan Islam di Jawa Barat.

6. Kesultanan Cirebon (1445-1677 M): Kerajaan Islam di Jawa Barat.

7. Kesultanan Yogyakarta (1755-sekarang): Kerajaan Islam di DI Yogyakarta.


Kerajaan Kristen

1. Kerajaan Larantuka (1600-1904 M): Kerajaan Kristen di Nusa Tenggara Timur.


Kerajaan Lain

1. Kerajaan Ternate (1257-sekarang): Kerajaan di Maluku.

2. Kerajaan Tidore (1100-an-sekarang): Kerajaan di Maluku.

3. Kerajaan Bali (914-1908 M): Kerajaan Hindu di Bali.

4. Kerajaan Sunda (932-1579 M): Kerajaan di Jawa Barat.

5. Kerajaan Melayu (1200-an-1945 M): Kerajaan di Riau dan Kepulauan Riau.


Sumber:


1. "Sejarah Indonesia" oleh Prof. Dr. H. M. Thaib.

2. "Kerajaan-Kerajaan di Indonesia" oleh Dr. A. A. B. Surjosusanto.

3. "Ensiklopedia Sejarah Indonesia" oleh Penerbit Universitas Indonesia.

#manuakripsejarah

#ceritarakyat

#babadleluhur

#identitasdiri

MENGAPA PAJAJARAN TAK BERKUTIK MENGHADAPI CIREBON ?

 MENGAPA PAJAJARAN TAK BERKUTIK MENGHADAPI CIREBON ? 


Cirebon merdeka dalam sumber tradisional Cirebon adalah pada 1 April 1482. Ini artinya Cirebon merdeka pada saat Kondisi Kerajaan Galuh & Sunda sibuk-sibuknya menghadapi masalah internal yang ruwet. 


Pada waktu itu hampir-hampir saja terjadi perang Saudara antara Galuh & Sunda. Meskipun pada akhirnya pada tahun yang sama Sunda-Galuh berdamai dan kemudian membentuk Pajajaran (1482). 


Karenanya, Kemerdekaan Cirebon pada mulanya tidak begitu digubris sebab baik Galuh & Sunda sedang menghadapi masalah yang lebih penting. 


Pada tahun 1483, setelah Prabu Siliwangi sudah mampu menstabilkan Negara, barulah mengurus Cirebon. Prabu Siliwangi mencoba menekan Cirebon agar kembali ke Pangkuan Pajajaran dengan cara melakukan ekspedisi penangkapan para Petinggi Cirebon dengan mengirim 60 Prajurit jagal, namun cara ini gagal, sebab Cirebon ternyata sudah sangat kuat. Cirebon sudah dibekingi Demak.  


Pada tahun 1521, Prabu Siliwangi wafat, digantikan Putranya Prabu Surawisesa. Pada zaman ini lah perang besar antara Cirebon & Pajajaran baru pecah. Namun lagi-lagi utusan Pajajaran melalui Galuh-Rajagaluh-Talaga sebagai 3 Kerajaan bawahan Pajajaran terkuat di wilayah Pajajaran timur tidak berdaya ketika mereka menghadapi Cirebon. Malahan ketiganya justru dapat ditaklukan balik oleh Cirebon. 


Pada akhirnya, pada 1531, Raja Pajajaran (Surawisesa) terpaksa menandatangani Surat Perjanjian Damai dengan Cirebon dan harus rela kehilangan wilayah Timur Pajajaran yang telah menjadi kekuasaan Cirebon. 


Oleh : Sejarah Cirebon

Raden Banjir

 Raden Banjir (Pangeran Adipati Ario Suryokusumo), pencetus Seni Bela Diri Langkah Empat Keraton Sumenep.


-Sumenep memiliki banyak tradisi dan budaya yang sudah mulai tenggelam dan hampir punah. Seperti misalnya seni bela diri khas keluarga keraton dahulu, yang dikenal dengan sebutan jurus Langkah Empat. Jurus ini diciptakan oleh Raden Ahmad Banjir alias Pangeran Adipati Suryokusumo.

”Raden Banjir ini adalah cucu Sultan Abdurrahman Sumenep, dari pihak ibunya. Sedang dari pihak ayah, beliau ialah cucu Panembahan Mangkuadiningrat, Pamekasan,” kata R. P. Zainal Abidin, salah satu pemerhati budaya Sumenep yang banyak paham tentang Langkah Empat,

Kenapa disebut langkah empat? Menurut Zainal, karena seni bela diri ini bergerak dalam bentuk bujur sangkar imajinatif yang setiap sisinya tak sampai satu meter.

”Jadi ini perkelahian jarak dekat, sehingga titik tekannya pada kecepatan maksimal dan kelihaian anggota badan untuk menghindari serangan lawan,” jelas Zainal.

Di jaman lampau, seni beladiri khas keraton ini menjadi jujukan banyak pendekar di berbagai penjuru untuk mempelajarinya. Namun, kini seni beladiri ini sudah hampir punah, karena banyak penerus seni bela diri ini yang sudah wafat.

”Hampir tidak ada regenerasi. Mungkin karena ini juga seni bela diri kalangan bangsawan yang dulu merupakan kalangan elit,”tutur Zainal.


Mengenal Sang Pencetus

Seperti disebut di muka, seni bela diri langkah empat merupakan buah karya Raden Ahmad Banjir alias Pangeran Adipati Suryokusumo. Seni beladiri ini di jaman lampau merupakan seni tarung yang langka. Gerakannya terpusat pada area bujur sangkar imajinatif yang setiap sisinya kurang dari satu meter. Lalu siapa Raden Banjir ini?

”Raden Banjir ialah putra dari Pangeran Ario Prawiroadiningrat, anak sulung Panembahan Mangkuadiningrat, Pamekasan. Ibunya ialah Ratu Afifah, putri sulung Sultan Abdurrahman Pakunataningrat, Sumenep,” kata R. P. Mohammad Mangkuadiningrat, salah seorang pemerhati sejarah di Sumenep, dan sekaligus cicit Raden Banjir,

Menurut Mangku, Raden Banjir lebih banyak dekat dengan keluarga ibunya. Apalagi setelah ayahnya mangkat lebih dulu. Padahal Pangeran Prawiro, ayahnya itu, sudah dicalonkan sebagai Bupati Pamekasan menggantikan Panembahan Mangkuadiningrat setelah wafatnya. Namun, posisi adipati tetap diberikan kepada Raden Banjir. Bahkan, ia dilantik saat masih di bawah umur atau belum dewasa. Peristiwa itu terjadi pada bulan November 1842 Surat Ketetapan Nederlandsch Indische Regeering. Surat Ketetapan itu sendiri baru diresmikan pada 1853.

”Situasi ini menimbulkan ketidaksenangan dari paman-pamannya di Pamekasan, sehingga hubungan Raden Banjir dengan keluarga di Pamekasan kurang harmonis. Hal ini yang mungkin menyebabkan ia mengundurkan diri sebagai Adipati Pamekasan, yaitu pada tahun 1854,” imbuh Mohammad Mangku, panggilan R. P. Mohammad Mangkuadiningrat.

Setelah mengundurkan diri, Raden Banjir pulang ke Sumenep. Tinggal bersama ibunya di Moncol. Raden Banjir kemudian mengembangkan seni bela diri yang kemudian diberi nama Langkah Empat itu.

”Jadi, ia ini dikenal sebagai pendekar besar di masanya. Ia juga dikenal alim di bidang agama. Ia diriwayatkan berguru kepada Kiai Abu Syamsuddin atau Buju’ Latthong, di Batuampar Barat, Pamekasan. Di samping juga banyak menimba ilmu pada kakeknya, Sultan Abdurrahman Pakunataningrat,” kata Mohammad Mangku.

Zainal Abidin, narasumber awal di atas yang juga salah satu keponakan Mohammad Mangkuadiningrat pernah menceritakan kisah Raden Banjir saat disuruh kakeknya, Sultan Sumenep menghadapi pendekar ulung berdarah Arab dan bangsa habaib.

Sang Pendekar itu memang sengaja menantang atau ingin menjajaki kemampuan keluarga keraton Sumenep di bidang olah jurus. Sultan lantas menyuruh cucunya tersebut untuk meladeni.

”Sebelumnya, Sultan berpesan pada Raden Banjir agar jangan menggunakan senjata maupun tenaga dalam, cukup menghindar serangan dan pergunakan jurus langkah empat saja,” kata Zainal.

Alhasil, pendekar berdarah sayyid itu sampai keletihan menyerang Raden Banjir. Padahal yang menyerang menggunakan senjata berupa pedang. Hingga sang penyerang itu menyangka Raden Banjir menggunakan semacam asma’ atau tenaga dalam.

Raden Ahmad Banjir wafat di Sumenep. Jenazahnya dimakamkan di Asta Tinggi, sebelah timur kubah Panembahan Sumolo. Ia tercatat memiliki 19 putra-putri. Keturunannya banyak berada di Sumenep.


Tumbuh Kembang Seni Beladiri Langkah 4 dan Kemundurannya

Setelah Raden Banjir alias Pangeran Adipati Suryokusumo wafat, tongkat estafet seni beladiri Langkah Empat jatuh pada salah satu putranya, yaitu Raden Ario Abdul Ma’afi Sasradiningrat atau Ja Sasra. Ja Sasra disebut mewarisi semua keahlian ayahnya, bahkan dianggap melebihi ayahnya.

”Ia dikenal sebagai pendekar yang mumpuni. Tidak hanya sekadar seni bela dirinya, namun juga lengkap dengan kanuragan atau dalamnya. Istilah di sini Sampedi,” kata R. P. Mohammad Mangkuadiningrat.

Di masanya, dalam sejarah dan riwayat lisan atau pitutur sesepuh Keraton Sumenep, seni bela diri Langkah Empat disebut benar-benar disegani oleh kawan maupun lawan. Banyak pesilat, pendekar, atau ahli bela diri dari luar Sumenep yang takluk pada Ja Sasra, hingga berguru padanya. Ja Sasra juga dikisahkan pernah diundang oleh Keraton Yogyakarta dan Surakarta untuk mengajarkab ilmu Langkah empat dikeraton

”Saat memperagakan jurus langkah empat, ia membuat banyak orang takjub. Pasalnya, saat beliau berposisi miring, konon bumi di sana juga ikut miring,” kata Mohammad Mangku.

Menurut cerita R. P. Zainal Abidin Amir, Ja Sasra dikenal dengan kecepatan gerakan tubuhnya. Pernah di usianya yang sudah sangat sepuh, ia mencoba salah satu keponakannya. Sang keponakan disuruh menusuk perutnya dengan keris dalam jarak kurang dari 40 sentimeter.

”Namun meski dengan tenaga kuat dan gerak cepat, keris yang ditusukkan itu bahkan tak mampu menyentuh baju Ja Sasra,” kata Zainal.


Sepeninggal Ja Sasra, yang di masa tuanya menempuh jalan tashauf, seni bela diri Langkah Empat dilanjutkan oleh anak cucu dan kerabat dari keluarga Keraton Sumenep.

Tokoh-tokoh yang dikenal sebagai ahli bela diri langkah empat ini di antaranya kedua putra Ja Sasra, yaitu R. Ario Cokrodiningrat, dan R. Ario Saccadiningrat. Lalu juga keluarga besar R. Ario Mertonegoro (salah satu cucu Sultan Abdurrahman), keluarga besar Pesantren Loteng Pasarsore, dan lain-lain.

Seni beladiri Langkah Empat tumbuh dan berkembang di keluarga besar Keraton Sumenep hingga pasca kemerdekaan. Dan sempat menjadi sebuah organisasi bernama Ganefo di masa Orde Lama. Meski begitu, ada juga sebagian pihak di luar keluarga keraton yang mempelajarinya.

”Namun, kemudian mereka mengkombinasikan dengan seni bela diri lain. Sedang yang tetap menguasai dasar atau aslinya banyak yang tidak melakukan regenerasi atau tidak mengambil murid, sehingga lambat-laun seni beladiri ini hampir punah,” tutup Mohammad Mangku.


Mungkin ini sedikit yg bisa kami sampaikan dalam penelusuran jejak masa lampau kali ini.mohon para senior dan sesepuh semoga berkenan mengoreksi dan menambahkan wejangannya pada kolom komentar dipostingan kami yg jauh dari kata sempurna ini.

Bagi sahabat jejak masa lampau,semoga postingan ini bermanfaat untk kita semua.

Madep,mantep,sowan ing ngarsaning Gusti

Salam rahajoe sagung dumadi,mardhika jiwa lan raga.


Artikel diambil dari : Matamaduranews.com

#Bismillah

#RomoBambang

AMANGKURAT III RAJA SEHARI DI MATARAM

 AMANGKURAT III RAJA SEHARI DI MATARAM


Di dalam sejarah Kesultanan Mataram, terdapat seorang raja yang tercatat hanya berkuasa selama sehari. Ia adalah Amangkurat III (dikenal juga sebagai Sunan Mas). Kisahnya penuh intrik politik dan konflik yang mencerminkan ketegangan internal di tubuh Kesultanan Mataram serta tekanan dari Belanda.


LATAR BELAKANG

Amangkurat III adalah putra Amangkurat II, yang memerintah Kesultanan Mataram pada akhir abad ke-17 hingga awal abad ke-18. Ia naik takhta setelah ayahnya wafat pada tahun 1703. Namun, masa pemerintahannya penuh gejolak akibat ketidakpuasan bangsawan dan rakyat terhadap kebijakannya yang dianggap lemah terhadap campur tangan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).


Setelah bertahun-tahun memerintah, Amangkurat III mengalami perlawanan dari pamannya, Pangeran Puger, yang kemudian mengangkat dirinya sebagai Pakubuwana I dengan dukungan penuh dari VOC. Konflik ini berujung pada perang saudara yang berkepanjangan di Mataram.


PERISTIWA NAIK TAKHTA SEHARI

Setelah Pangeran Puger berhasil merebut kekuasaan, Amangkurat III terpaksa menyerahkan tahtanya. Namun, ada momen krusial di mana Amangkurat III sempat dinobatkan kembali sebagai raja. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1705, ketika pengikut setia Amangkurat III berhasil mendesak Pakubuwana I keluar dari istana.


Selama sehari penuh, Amangkurat III kembali naik takhta dan dinobatkan sebagai raja. Namun, kembalinya VOC bersama pasukan pendukung Pakubuwana I dengan cepat memaksa Amangkurat III untuk melarikan diri ke daerah pedalaman.


AKHIR TRAGIS

Amangkurat III terus berusaha merebut kembali kekuasaannya, namun tekanan dari VOC semakin kuat. Pada akhirnya, ia menyerah kepada Belanda di Surabaya dan diasingkan ke Srilanka pada tahun 1708. Pengasingan ini menandai akhir riwayatnya sebagai raja Mataram.


Peristiwa naik takhta sehari Amangkurat III menjadi simbol betapa besarnya pengaruh VOC terhadap politik Kesultanan Mataram pada masa itu. Intrik politik dan konflik internal memperlihatkan kerentanan kerajaan besar seperti Mataram di hadapan kekuatan kolonial yang semakin mendominasi Nusantara.


Referensi

1.  Ricklefs, M.C. (2001). Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

2.  Carey, P.B.R. (1986). The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785–1855. Leiden: KITLV Press.


#fyp #fbpro #sejarah #sejarahindonesia #history

SEJARAH PALABUHANRATU

 SEJARAH PALABUHANRATU 


Tokoh pendiri Palabuhanratu adalah Nyai Putri Purnamasari, beliau putri bungsu Prabu Siliwangi yang "hijrah" ke selatan pasca Pajajaran Melemah


Nyai Putri Purnamasari menempuh perjalanan melalui hutan belantara dari Dayeuh Pakuan Pajajaran hingga sampai di salah satu tempat yang pada saat itu termasuk wilayah yang disebut Basisir Lebak Cawene, yang kemudian tempat tersebut dinamakan kampung CIDADAP. Perjalanan tersebut memakan waktu selama TIGA BULAN, mulai berangkat pada akhir MANGSA BAKTI (penghujung bulan ke 12 Kalender Pajajaran) hingga MANGSA RATU (bulan ke 3) pada tahun 1488 - 1489 Saka (1566 M - 1567 M).


8 TAHUN kemudian yakni pada tahun 1575 M status Kampung Cidadap ditingkatkan menjadi sebuah KAPUUNAN dengan nama CIDADAP PALABUHAN NYAI RATU, dan Nyai Putri Purnamasari menjadi RATU PUUN. PUNAR DIWASTU (pensucian penobatan) berlangsung bertepatan dengan Upacara KUWERA BAKTI pada malam Bulan Purnama.


Beliau memimpin Kapuunan Cidadap selama 15 tahun (hingga 1590 M), yang selanjutnya diserah-terimakan kepada putri tunggalnya yakni NYAI PUTRI MAYANG SAGARA PAMULANGAN.


Pada tahun 1595 M pusat Kapuunan Cidadap dipindahkan ke BASISIR LEBAK CAWENE (sebelah utara MUARA SUNGAI CIMANDIRI). Disini status Kapuunan ditingkatkan menjadi sebuah negeri dengan nama PALABUHAN NYAI RATU (tanpa kata CIDADAP), dengan demikian Nyai Putri Mayang sagara otomatis menjadi RATU PAKUAN (Ratu Pusat Pemerintahan) dengan ARAN DIWASTU (nama nobat/julukan suci) RATU KIDUL (Bukan Roro/Loro Kidul dongeng). 


Kemudian karena teritorialnya bertambah luas hingga ke Cianjur Selatan dan ke Binuwangeun (Banten), maka Palabuhan Nyai Ratu berubah nama menjadi PALABUHAN NYAI RATU PAKUAN PAJAJARAN MANDIRI.


Dan kini dikenal dengan sebutan PALABUHANRATU !


Sumber: Walet Muslimah, disarikan dari Pantun Pajajaran Bogor yang diwaris dari Ki Anis Djatisunda


Revisi.Tirtayasa-IV✍️

M A T A R A M

 M A T A R A M


Kerajaan Mataram adalah kerajaan di Pulau Jawa yang memiliki beberapa periode, yaitu Kerajaan Mataram Kuno, Kesultanan Mataram, dan Mataram Baru: 


Kerajaan Mataram Kuno

Kerajaan Hindu-Buddha yang didirikan oleh Raja Sanjaya pada tahun 732 M. Kerajaan ini berpusat di daerah Mataram, yang sekarang dikenal sebagai Yogyakarta dan sekitarnya.


Kerajaan ini mencapai puncak kejayaan di bidang seni, budaya, dan arsitektur. Beberapa peninggalan Kerajaan Mataram Kuno yang masih bisa dilihat hingga saat ini adalah candi dan prasasti. 


Kesultanan Mataram

Kerajaan Islam yang didirikan oleh Sutawijaya, keturunan Ki Ageng Pemanahan. Kerajaan ini mencapai masa kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma. Pada masa kejayaan, Kerajaan Mataram mampu menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura. 


Mataram Baru

Kerajaan yang pecah belah menjadi empat kerajaan .


Kerajaan Mataram merupakan salah satu kerajaan terkuat di Jawa, Indonesia. Berikut adalah sejarah singkatnya :


Masa Awal (752-929 M)

1. Didirikan oleh Raja Sanjaya pada tahun 752 M di Jawa Tengah.

2. Awalnya merupakan kerajaan kecil dengan wilayah sekitar Jawa Tengah.

3. Mataram menjadi pusat agama Hindu dan Buddha.

4. Pembangunan candi-candi seperti Candi Borobudur dan Candi Prambanan.


Masa Kekuasaan Sailendra (778-856 M)

1. Dinasti Sailendra mengambil alih kekuasaan Mataram.

2. Raja Samaratungga membangun Candi Borobudur.

3. Mataram menjadi pusat kekuasaan di Jawa.


Masa Kekuasaan Isyana (928-1006 M)

1. Dinasti Isyana mengambil alih kekuasaan Mataram.

2. Raja Dharmawangsa memperluas wilayah Mataram.

3. Serangan dari Kerajaan Sriwijaya pada tahun 1006 M.


Masa Kekuasaan Kediri (1042-1222 M)

1. Kerajaan Kediri didirikan oleh Raja Airlangga.

2. Kediri menjadi pusat kekuasaan di Jawa.

3. Pembangunan candi-candi seperti Candi Panataran.


Masa Kekuasaan Singhasari (1222-1292 M)

1. Kerajaan Singhasari didirikan oleh Raja Ken Arok.

2. Singhasari menjadi pusat kekuasaan di Jawa.

3. Pembangunan candi-candi seperti Candi Jago.


Masa Kekuasaan Majapahit (1293-1520 M)

1. Kerajaan Majapahit didirikan oleh Raja Raden Wijaya.

2. Majapahit menjadi pusat kekuasaan di Jawa dan Asia Tenggara.

3. Pembangunan candi-candi seperti Candi Sukuh.


Masa Kemunduran (1520-1587 M)

1. Serangan dari Demak dan Pajang.

2. Pembubaran Kerajaan Mataram.

3. Berdirinya Kesultanan Mataram Islam.


Raja-Raja Mataram

1. Raja Sanjaya (752-778 M)

2. Raja Samaratungga (778-816 M)

3. Raja Balitung (816-838 M)

4. Raja Daksa (838-856 M)

5. Raja Dharmawangsa (928-1006 M)

6. Raja Airlangga (1042-1045 M)

7. Raja Ken Arok (1222-1227 M)

8. Raja Raden Wijaya (1293-1309 M)


Warisan

1. Candi Borobudur

2. Candi Prambanan

3. Candi Panataran

4. Candi Jago

5. Candi Sukuh

6. Bahasa Jawa

7. Budaya dan tradisi masyarakat Jawa


Sumber

1. "Sejarah Kerajaan Mataram" oleh Prof. Dr. H. M. Thaib.

2. "Mataram: Kerajaan Hindu-Buddha" oleh Dinas Pariwisata Jawa Tengah.

3. "Ensiklopedia Sejarah Indonesia" oleh Penerbit Universitas Indonesia.

KANJENG RATU MAS HADI

 KANJENG RATU MAS HADI


Kanjeng Ratu Mas Hadi adalah Permaisuri dari Panembahan Hadi Prabu Hanyokrowati, Raja Mataram II. Kanjeng Ratu Mas Hadi terlahir dengan nama Bandara Raden Adjeng Dyah Banowati. Beliau adalah Canggah Sunan Kalijaga dan Cucu Buyut Sultan Trenggana , juga  Cucu Sultan Hadiwijaya dari Putranya yaitu Pangeran Benowo. 


Dari pernikahannya dengan Sunan Hadi Prabu hanyokrowati raja Mataram II, menurunkan :

1. Raden Mas Djatmiko atau Pangeran Rangsang setelah menjadi raja Mataram  bernama Sultan Agung Hanyokrokusumo berkedaton di Nagari Kerto

2. Raden Ajeng Walik atau Ratu Mas Pandansari menikah dengan Pangeran Pekik di Surabaya.

3. Raden Ajeng Tulak atau Ratu Sekar menikah I dengan Adipati Pragola Pati II setelah suami meninggal menikah lagi yang II dengan Pangeran Ronggo Pati III

4. Raden Mas Sanjoyo atau Pangeran Adipati Pamenang.


Setelah Sunan Hanyokrowati meninggal, Sultan Agung menikahkan lagi  Kanjeng Ratu Mas Hadi dengan Pangeran Juminah ( adik Sunan Hanyokrowati ) kemudian Pangeran Juminah diberi gelar Panembahan Juminah.


Dari pernikahan Ratu Mas Hadi  dengan Panembahan Juminah menurunkan :

1. Raden Ayu Djurumayem menikah dengan Panembahan Jurumayem


2. Pangeran Adipati Balitar,beliau menurunkan Pangeran Tg Balitar Tumapel III yang dimakamkan di Kuncen Madiun, kemudian P. Tg. Blitar Tumapel III menurunkan P. Arya Blitar IV dimakamkan di astana Nitikan yogya.P.Arya Balitar IV menurunkan Raden Ayu Puger Garwa Sunan Pakubuwana I Kartasura  yang menurunkan Sunan Amangkurat IV.


3. Raden Haryo Suroloyo


4. Raden Ayu Kajoran menikah dengan Pangeran Kajoran menurunkan Putri yang kelak menjadi Istri Amangkurat I dan menurunkan Sunan Pakubuwana I


Sebagai Penghormatan kepada Ibunda, Oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo Setelah wafat Kanjeng Ratu Mas Hadi dimakamkan di Astana Giriloyo berdampingan satu lokasi dengan suami keduanya yaitu Panembahan Juminah.


Al Fatihah kagem Eyang Ratu Mas Hadi.


Ditulis oleh KRT Koes Sajid Jayaningrat.

Foto Makam Ratu Mas Hadi ( koleksi pribadi )

Misteri Dimana Lokasi Kerajaan Majapahit

 Misteri Dimana Lokasi Kerajaan Majapahit?

Keraton Besar Majapahit di Trowulan tak ada bekasnya sekarang ini. Padahal ini adalah kerajaan besar. Wilayahnya meliputi  seperti disebutkan kitab Negarakertagama meliputi Maluku hingga Sumatra dan Kalimantan.


Lokasi keraton diperkirakan berada di Pendapa Agung Dusun Ngelinguk, Desa Sentonorejo, Kec. Trowulan, Mojokerto. Di lokasi ini ditemukan bangunan batu bata panjang yang diperkirakan sebagai fondasi istana Majapahit.


Yang tersisa sekarang Candi Wringin Lawang sebagai pintu gerbang timur, Candi Tikus sebagai tempat mandi keputren, Candi Bajang Ratu sebagai pintu selatan, bekas perumahan orang istana, dan kolam segaran.


Hancurnya keraton Majapahit ada yang menyangka akibat serbuan Kerajaan Demak. Padahal musnahnya istana ini setelah serangan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya, Adipati Daha. Dialah yang memboyong semua pusaka Majapahit dan memindahkan ibukota ke Daha Kediri.


Menurut sejarawan Slamet Muljana, Girindrawardhana inilah yang membangun dinasti Brawijaya. Dinasti ini sering disalahtafsirkan sebagai turunan Raden Wijaya. Di Negarakertagama tak ada nama Raden Wijaya. Yang tertulis Dyah Wijaya atau Sanggramawijaya.


Saat Dyah Wijaya menjadi raja Majapahit bergelar Kertarajasa Jayawardana. Dinastinya Rajasa mengikuti Ken Angrok pendiri Kerajaan Singasari yang bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi. Wijaya anak dari Lembu Tal anak Mahesa Cempaka anak Mahesa Wongateleng anak Ken Arok dan Ken Dedes.


Gambaran Keraton Majapahit


Negarakertagama menggambarkan kondisi keraton Majapahit yang terdiri beberapa bangunan gedung dalam lahan yang luas dikelilingi pagar tembok tinggi. Seperti ini deskripsinya.


Tersebut keajaiban kota, tembok batu merah, tebal tinggi, mengitari pura. Pintu barat bernama Pura Waktra, menghadap ke lapangan luas, bersabuk parit. Pohon brahmastana berkaki bodi berjajar panjang, rapi berbentuk aneka ragam.


Di situlah tempat tunggu para tanda (prajurit) terus menerus meronda jaga paseban. Di sebelah utara bertegak gapura permai dengan pintu besi berukir. Di sebelah timur panggung luhur, lantainya berlapis batu putih mengkilat. Di bagian utara, di selatan rumah berjejal jauh memanjang sangat indah.


Di selatan jalan perempat  balai prajurit tempat pertemuan tiap Caitra. Balai Agung Manguntur dengan Balai Witana di tengah, menghadap Padang Watangan. Yang meluas ke empat arah, bagian utara paseban pujangga dan Mahamantri Agung.


Bagian timur paseban pendeta Siwa-Buda yang bertugas membahas upacara. Pada masa grehana bulan Palguna demi keselamatan seluruh dunia. Di sebelah timur pahoman berkelompok tiga-tiga mengitari kuil Siwa.


Di selatan tempat tinggal wipra utama tinggi bertingkat menghadap panggung korban. Bertegak di halaman sebelah barat, di utara tempat Buda bersusun tiga. Puncaknya penuh berukir, berhamburan bunga waktu raja turun berkorban.


Di dalam, sebelah selatan Manguntur tersekat dengan pintu, itulah paseban. Rumah bagus berjajar mengapit jalan ke barat, di sela tanjung berbunga lebat. Agak jauh di sebelah barat daya panggung tempat berkeliaran para perwira. Tepat di tengah-tengah halaman bertegak mandapa penuh burung ramai berkicau. Di dalam di selatan ada lagi paseban memanjang ke pintu keluar pura yang kedua. Dibuat bertingkat tangga, tersekat-sekat, masing-masing berpintu sendiri.


Semua balai bertulang kuat bertiang kokoh, papan rusuknya tiada tercela. Para prajurit silih berganti, bergilir menjaga pintu, sambil bertukar tutur.


Inilah para penghadap pengalasan Ngaran, jumlahnya tak terbilang, Nyu Gading Jenggala-Kediri, Panglarang, Rajadewi, tanpa upama. Waisangka kapanewon Sinelir, para perwira Jayengprang, Jayagung dan utusan Pareyok Kayu Apu, orang Gajahan dan banyak lagi.


#Trowulan #Mojokerto #Mojopahit #sejarah

Buat penglaris, simpen di galeri anda

 Buat penglaris, simpen di galeri anda😚😚   

.

.

.

.

.

.

.

.

.

“K-kak ….” rintih Ilfa dengan wajah ketakutan. 

“Sakit? Kalau begitu, akan saya buat kamu makin sakit.”

Dandero tidak perduli mereka masih di mobil. Dise-rangnya bibir istrinya itu. Melum-atnya mati-matian dengan begitu berha-sr-at, sambil melepas perlahan tutup kepala yang membalut kepala istrinya.

Ilfa menahan rintihan akibat serangan bibir suaminya. Bukannya berhenti, Dandero terus melanjutkan. Makin lama, bahkan makin tak terkendali.

“Buka mulutmu,” pinta Dandero. 

“Atau saya gigit,” ancam Dandero, menatap lurus ke bibir Ilfa yang sedikit bengkak. Entah bagaimana kabar bibir itu jika benar-benar digigit oleh Dandero.

Mau tidak mau, Ilfa akhirnya membuka mulutnya meski sedikit. Dandero kembali menyerangnya.

Ilfa makin tidak bisa bernapas dengan benar karena kelakuan suaminya. Mulutnya seperti diobrak-abrik semau lelaki itu.

“S-sakit, Kak ….” adu Ilfa saat Dandero menjeda ciumannya lagi. Napas mereka berdua saling berderu dan terdengar ngos-ngosan.

Akhirnya, Dandero jadi agak kasihan. Apalagi melihat bibir Ilfa makin bengkak.

“Sangat sakit?” Bukannya meminta maaf, Dandero malah berbisik seperti itu. Jempolnya mengusap lembut bibir Ilfa. 

Ilfa mengangguk. Dandero malah kembali mendekatkan wajahnya. Meski kali ini ciuman lelaki itu lebih lembut. Hanya kecupan seperti ciuman pertama mereka kurang dari sejam yang lalu.

Karena ciuman Dandero melembut, Ilfa akhirnya bisa menikmatinya meski belum berani membalas.

Dia tidak lagi merintih kesakitan ketika Dandero menjelajahi mulutnya menggunakan indera perasa yang terasa begitu panas dan lembut secara bersamaan.

Dandero kembali memberi bibir Ilfa istirahat ketika mobil mereka sudah sampai di basement hotel.

Untungnya basement itu sepi di tengah malam. Tidak ada orang yang berlalu-lalang, selain kendaraan yang terparkir.

Jadi selain Dandero, tidak ada yang perlu melihat keadaan Ilfa yang seperti ini. Termasuk Gafan. Gafan sebagai anak buah sangat professional, makanya sedari tadi hanya fokus pada tugasnya tanpa melihat sedikitpun adegan yang ada di belakang.

“Kita turun,” bisik Dandero seraya mencium kepala Ilfa sekilas. Dandero kembali menggendong Ilfa lalu masuk ke dalam lift menuju presidential suite-nya.

***

Ilfa terlihat kikuk setelah masuk ke presidential suite room milik Dandero. Dia takut, sangat. Cium-an Dandero sebelumnya sudah menggambarkan malam seperti apa yang akan dia lalui sebentar lagi.

“Ayo.” Ajakan Dandero membuyarkan lamunan Ilfa yang takut kembali melangkah setelah pintu kamar mereka tertutup. Kaki Ilfa melangkah kaku. Dandero mendahuluinya seraya melepaskan jas yang membalut tubuh lelaki itu.

“Kamar tidur di sebelah sini. Buka saja lemari, ada pakaian ganti kalau kamu mau ganti baju,” ujar Dero, mengarahkan tangannya ke sebuah kamar.

Ilfa menelan ludah karena kamar itulah yang akan menjadi tempat peraduan mereka.

“Di sana dapur andai kamu ingin minum atau memakan sesuatu. Saya sudah menyiapkan semuanya.” Dandero lanjut melepaskan dasinya dan jam tangannya. Kemudian meletakkan kedua benda itu di atas meja begitu saja.

“Kenapa belum bergerak? Kamu tidak mau ganti baju? Tidak gerah?” tanya Dandero, kedua alisnya saling menaut melihat Ilfa yang masih mematung.

Belum sempat Ilfa menjawab, Dandero sudah berpindah ke balik punggungnya dan menurunkan rasleting gaun Ilfa ke bawah.

“Gaun ini sempit. Kenapa kamu milih yang ini?” bisik Dandero tepat di belakang punggung Ilfa. Ilfa bergidik merasakan deru napas suaminya yang menerpa telinganya.

“P-pelayan yang tadi menawarkan ….”

“Padahal saya sengaja membeli semuanya agar kamu bisa pilih yang mana yang paling kamu suka dan buat kamu nyaman. Kenapa kamu malah menanyakan saran pelayan yang malah menyiksa dirimu sendiri?”

Dandero tersenyum dingin, tangannya tiba-tiba menelusup masuk ke dalam gaun Ilfa, mengusap pinggang mungil istrinya. Menjelajah ke sekitar seakan sedang mengukur pinggang itu.

Akhirnya Dandero mengeluarkan tangannya, kemudian mengincar gaun atas Ilfa untuk dia lepaskan di ruang tengah seperti ini.

“S-saya bisa sendiri, Kak.” Ilfa tiba-tiba menghindar, padahal gaunnya sudah longgar. Ilfa malu menyadari bahu dan lengannya terekspos.

“Saya buatkan minuman hangat,” ujar Dandero, dagunya mengarah ke kamar. Mengode Ilfa untuk segera menyelesaikan urusannya sendiri.

Ilfa buru-buru ke kamar. Dia menghela napas ketika melihat pantulan wajahnya sendiri di cermin. Bedak di pipinya dan lipstick di bibirnya hancur karena ulah Dandero. Membuat wajah Ilfa terlihat begitu aneh.

Ilfa tidak menyangka akan seaneh ini. Karena Dandero sedari tadi terlihat begitu biasa saja. Untungnya Ilfa tidak banyak bertemu orang untuk sampai ke suite ini. Hanya beberapa pelayan yang ada shift malam.

Ilfa berusaha untuk tidak memerdulikannya, meski dia sangat malu membayangkan pikiran-pikiran pelayan itu jika melihat wajahnya.

“Belum diganti juga?” tanya Dandero yang tiba-tiba muncul di ambang pintu kamar. Di tangan lelaki itu ada nampan berisi dua cangkir cokelat panas dan dessert keju.

“Saya bersihin m-muka dulu, Kak. Muka saya aneh banget.”

“Ya, sih.” Dandero tertawa, membuat Ilfa makin malu. Jadi Dandero memang sadar wajah Ilfa aneh, tapi lelaki itu tidak perduli, apapun bentuk Ilfa, dia tetap suka.

“Bisa? Atau perlu saya panggilkan penata rias?” tanya Dandero pada Ilfa yang kesusahan membersihkan riasannya yang tebal.

“B-bisa, Kak. Cleansing balm saja cukup,” balas Ilfa apalagi dia memang tidak memakai bulu mata palsu jadi tidak terlalu butuh bantuan orang lain yang lihai untuk membersihkan wajahnya.

Ilfa kira dia akan diganggu ketika masih membersihkan wajah. Tidak disangka Dandero malah diam menontonnya dari pinggir ranjang, sambil menikmati cokelat panas.

Meski tatapan lelaki itu terlihat begitu penuh arti. Ilfa agak merinding dipandangi sedari tadi, seakan setelah selesai, maka dirinya akan diterkam.

Benar saja. Setelah mengusap wajahnya dengan tisu basah, Dandero tiba-tiba berdiri dan menghampiri Ilfa. Ilfa menahan napas ketika Dandero mengecupi rambutnya, turun ke pelipisnya.

“S-saya cuci muka dulu, Kak. Lalu ganti baju.”

“Tidak perlu,” bisik Dero tepat di telinga istrinya.

Ilfa merintih ketika telinganya tiba-tiba digigit kuat oleh Dandero.

Dandero memutar kursi Ilfa, menghadapkan gadis itu tepat di depan matanya. Lalu kembali menciumnya.

Setelah puas mengeksplor bibir istri untuk ke sekian kalinya, Dandero mengangkat tubuh Ilfa, dan membaringkannya ke kasur besar di sebelah mereka.

Ilfa ketakutan ketika Dandero menyanggah lengan di atas tubuhnya dengan tatapan kelaparan. Apalagi ketika Dandero mulai membuka kancing kemejanya sendiri, dan membuang kain itu ke lantai, memperlihatkan dada bidangnya yang siap menghimpit.

Kerajaan Kediri

 Berikut adalah daftar raja-raja Kerajaan Kediri:


Raja-Raja Awal (1042-1135 M)

1. Raja Airlangga (1042-1045 M) - Pendiri Kerajaan Kahuripan/Kediri.

2. Raja Marunggay (1045-1101 M) - Anak Airlangga.

3. Raja Jayawarsa (1101-1113 M) - Anak Marunggay.

4. Raja Bameswara (1113-1135 M) - Anak Jayawarsa.


Periode Kediri Klasik (1135-1222 M)

1. Raja Jayabhaya (1135-1157 M) - Anak Bameswara.

2. Raja Sarweswara (1157-1170 M) - Anak Jayabhaya.

3. Raja Aryeswara (1170-1180 M) - Anak Sarweswara.

4. Raja Gandra (1180-1200 M) - Anak Aryeswara.

5. Raja Kertajaya (1200-1222 M) - Anak Gandra.


Periode Akhir (1222-1293 M)

1. Raja Banasir (1222-1227 M) - Pendiri Kerajaan Kediri kedua.

2. Raja Jayaswara (1227-1248 M) - Anak Banasir.

3. Raja Sastra (1248-1268 M) - Anak Jayaswara.

4. Raja Arya Wiraraja (1268-1293 M) - Anak Sastra.


Sumber:


1. "Sejarah Indonesia" oleh M.C. Ricklefs.

Jejak Lapis Baja Leluhur Nusantara: Antara Fakta dan Tradisi Perang

 “Jejak Lapis Baja Leluhur Nusantara: Antara Fakta dan Tradisi Perang”


Pernahkah kita membayangkan bahwa leluhur kita mengenakan baju besi saat berperang? Jejak peradaban masa lalu yang samar kini perlahan terkuak melalui naskah-naskah lontar dan prasasti-prasasti kuno. Salah satu bukti penting yang menunjukkan penggunaan baju besi di Nusantara adalah Prasasti Jambu atau yang dikenal juga sebagai Prasasti Koleangkak.


Prasasti Jambu: Bukti Kejayaan Tarumanagara


Prasasti ini ditemukan di Bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Terletak di dekat aliran Sungai Cikasungka, prasasti batu ini diperkirakan berasal dari abad ke-5 M berdasarkan gaya tulisan (paleografi). Pada prasasti tersebut, terdapat ukiran sepasang tapak kaki yang disertai puisi berbahasa Sanskerta. Terjemahan salah satu baitnya menggambarkan kegagahan Sri Purnawarman, Maharaja Tarumanagara:


“Gagah, mengagumkan, dan jujur terhadap tugasnya adalah pemimpin manusia yang tiada taranya, yang termasyhur Sri Purnawarman. Baju zirahnya terkenal tak dapat ditembus senjata musuh. Ini adalah tapak kakinya yang senantiasa berhasil menggempur kota-kota musuh.”


Ungkapan ini menegaskan bahwa pada masa itu, baju zirah telah digunakan oleh pasukan Tarumanagara, mencerminkan teknologi perang yang maju pada abad ke-5 M.


Kitab Negara Kretabhumi: Detail Pasukan Berzirah


Informasi lebih rinci tentang baju besi di masa Tarumanagara dapat ditemukan dalam Kitab Negara Kretabhumi karya Pangeran Wangsakerta dari Cirebon. Kitab ini menyebutkan bahwa bukan hanya para bangsawan, tetapi seluruh pasukan Kerajaan Tarumanagara termasuk kerajaan bawahan seperti Indraprahasta dilengkapi dengan baju zirah. Gambaran pasukan ini meliputi prajurit bersenjata lengkap, mengenakan zirah, dengan beberapa naik gajah dan kereta perang.


Zirah Tradisional Nusantara: Keunikan dan Evolusi


Beberapa contoh baju perang dari Nusantara yang masih ada hingga kini menunjukkan keragaman desain dan bahan:

 

1. Zirah Tanduk dari Jawa

Sebuah baju perang dari tanduk yang kini disimpan di Pitt Rivers Museum, Oxford, menunjukkan desain khas Nusantara. Zirah ini terbuat dari potongan tanduk yang disusun tumpang tindih seperti sisik trenggiling. Desain serupa juga ditemukan pada baju perang tanduk dari Sulawesi, yang kini berada di RMV Leiden Collection, Belanda.

 

2. Kere Sisik dari Talaga Manggung

Di Museum Talaga Manggung, Majalengka, tersimpan Kere Sisik, baju perang berbahan lempengan besi yang dijalin rantai. Diperkirakan berasal dari abad ke-17 M, baju ini menyerupai zirah dari Kekhalifahan Islam.

 

3. Pengaruh Budaya Tropis

Meski beberapa kerajaan seperti Tarumanagara dan Majapahit menggunakan baju besi, prajurit biasa di Nusantara sering kali bertempur tanpa pelindung tubuh. Iklim tropis yang panas dan medan perang berupa hutan lebat membuat penggunaan baju besi dirasa tidak praktis. Sebagai gantinya, mereka mengandalkan perisai dari kayu atau rotan, dan beberapa memakai rompi anyaman rotan atau kain yang diperkuat dengan pelat logam.


Militer Kerajaan Majapahit: Prajurit dan Logistik


Informasi tentang militer Majapahit masih terbatas. Namun, pasukannya terbagi menjadi dua: tentara inti di bawah komando raja dan pasukan dari penguasa bawahan. Para penguasa ini membawa tentara mereka sendiri, termasuk tentara bayaran dari pulau-pulau lain atau negeri asing.


Pada masa kejayaan Majapahit, sebagian kecil prajurit elite mengenakan baju zirah dari lempengan kuningan, namun sebagian besar bertempur tanpa perlindungan tambahan. Dalam banyak kasus, strategi perang gerilya lebih diutamakan dibanding pertempuran terbuka dengan formasi.


Baju Besi: Simbol Kekuasaan dan Teknologi


Dalam catatan sejarah, baju besi di Nusantara tidak hanya berfungsi sebagai perlindungan, tetapi juga simbol status dan kekuasaan. Raja dan panglima menggunakan baju besi parsial yang sering dihiasi emas, sedangkan prajurit biasa memiliki perlindungan lebih sederhana.


Dari prasasti, kitab, hingga peninggalan fisik, jelas bahwa Nusantara memiliki tradisi militer yang kaya dan unik. Teknologi perang leluhur kita menjadi saksi bisu kebesaran peradaban yang pernah ada di tanah ini.


#SejarahPerangNusantara

#ZirahLeluhur

#WarisanTarumanagara

#MiliterMajapahit

#TradisiPerangJawa

PANEMBAHAN JUMINAH

 PANEMBAHAN JUMINAH


Terlahir dengan nama Raden Mas Bagus. Beliau putra Panembahan Senopati dari garwa permaisuri II  Raden Ayu Retno Dumilah, putri sulung Panembahan Timur, Adipati Madiun I. Panembahan Timur adalah putra bungsu Sultan Trenggana dengan GKR Pembayun putri Sunan Kalijaga.


Setelah dewasa Raden Mas Bagus  bergelar Pangeran Balitar I. Ketika saudara beliau Raden Adipati Pringgalaya wafat, Beliau menggantikan kedudukannya sebagai Bupati Madiun. Dan mendapat asma gelar baru yaitu Kanjeng Pangeran Adipati Jumina Petak / Adipati Mangkunegara I. Memerintah Madiun tahun 1601 s/ d 1613 M. Sebagai putra dari Permaisuri II, Pangeran Juminah sempat digadang gadang sebagai Raja Mataram selanjutnya menggantikan ayahandanya, Panembahan Senopati, tetapi akhirnya beliau diangkat sebagai Adipati Madiun.


Beberapa tahun setelah Panembahan Hadi Hanyokrowati wafat, Sultan Agung berkenan menikahkan Ibunda Beliau, Ratu Mas Hadi dengan KP Adipati Jumina Petak. Dan memberikan nama baru dengan sebutan Panembahan Juminah.


Dari pernikahan dengan Panembahan Juminah dengan Ratu Mas Hadi  menurunkan :

1. Raden Ayu Djurumayem menikah dengan Panembahan Jurumayem

2. Pangeran Adipati Balitar,beliau menurunkan Pangeran Tg Balitar Tumapel III yang dimakamkan di Kuncen Madiun, kemudian P. Tg. Blitar Tumapel III menurunkan P. Arya Blitar IV dimakamkan di astana Nitikan yogya.P.Arya Balitar IV menurunkan Raden Ayu Puger Garwa Sunan Pakubuwana I Kartasura  yang menurunkan Sunan Amangkurat IV.

3. Raden Haryo Suroloyo

4. Raden Ayu Kajoran menikah dengan Pangeran Kajoran menurunkan Putri yang kelak menjadi Istri Amangkurat I dan menurunkan Sunan Pakubuwana I


Panembahan Juminah juga seorang bangsawan yang cinta tanah air beliau rela untuk membela Keraton Mataram.Tahun 1629 Panembahan Juminah dan Tumenggung Singoranu dan prajurit  Mataram melakukan penyerbuan ke Batavia untuk menghalau V.O.C Kumpeni Belanda.


Ketika Sultan Agung membangun calon tempat peristirahatan terakhir beliau di Bukit Kabul, Panembahan Juminah mendapatkan tugas untuk mengawasi pembangunan komplek pemakaman tersebut. Ditengah proses pembangunan Astana Giriloyo, tahun 1632 Panembahan Juminah wafat dan dimakamkan di Astana Giriloyo tersebut.


Al Fatihah kagem Eyang Panembahan Juminah


Ditulis oleh K.R.T Koes Sajid Jayaningrat.

Kamis, 02 Januari 2025

SILSILAH KELUARGA RAJA DEMAK BINTORO

 SILSILAH KELUARGA  RAJA DEMAK BINTORO


Raden Patah, Adipati Demak Bintoro bertahta di Kraton Glagah Wangi dengan gelar :


" Syah Alam Akbar Senopati Jimbun Sirrolah Kalifatul Rasul Ammirilmukminin Tajudin Ngabdulhamidhah " 

Beliau juga disebut sebagai Sultan Ngadil Surya I. 

Bertahta tahun Jimawal Sinangkalan Mantri Tunggal Catur Aji ( th 1413 ) beliau jumeneng Nata 27 Tahun. 


A. RADEN PATAH RAJA DEMAK I

Raden Djoko Probo atau  Raden Patah adalah Putra dari Raja Majapahit Brawijaya V, Beliau menikah dengan Ratu Panggung  putri  Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manilo

Menurunkan :

1. Raden  Suryo  atau  Pangeran Sabrang Lor atau Adipati Unus ( Raja Demak II )

2. Raden Songko atau Pangeran Adipati  Anom atau Pangeran Sekar Sedo Lepen

3. Raden Trenggono

4. Raden Ayu Kirana  atau Ratu Mas Purnamasidi menikah dengan Panembahan Banten

5. Raden Ayu Wulan atau Ratu Mas Nyowo  menikah dengan Panembahan Cirebon

6. Raden Tangkowo atau Pangeran Kundurawan  menjadi Tumenggung di Sumenep

7. Raden Jaladara , meninggal muda

8. Raden Tedjo , Pangeran Pamekasan Madura 

9. Raden Alit atau Pangeran Sekar atau Pangeran Ragil ( leluhur  Ki Ageng Karang Lo )


B. ADIPATI UNUS

Raden Suryo atau Pangeran Sabrang Lor adalah Raja Demak II

Pangeran Sabrang Lor / Pati Unus beristri padmi (Putrinya Batara Katong), berputra :

1. Ratu Emas Pembayun, menikah dgn Susuhunan Prawata. Bertemu sepupu.

2. Ratu Emas Panenggak, menikah dgn Pangeran Tumenggung Mangkurat. Bertemu sepupu. 

3. Pangeran Adipati Panaraga.

4. Pangeran Anom Madepandhan Ngabdulsalam, menurunkan Adipati Pandhan Arang..


Tahun 1511 M, Pati Unus menikah dgn Ratu Ayu (saudara Pangeran Adipati Muhammad Arifin / Pangeran Pasarean).. Pati Unus / Pangeran Sabrang Lor / Sultan Demak II wafat., tahun 1524 M, Ratu Ayu menikah lagi dgn Fadhilah Khan / Faletehan...


C. RADEN SONGKO, PANGERAN SEKAR SEDO LEPEN

Raden Songko bergelar Pangeran Adipati Anom atau Pangeran Sekar Sedo Lepen atau Pangeran Sekar yang wafat di sungai. 

Menurunkan :

1. Pangeran Haryo Jipang atau Haryo Panangsang menikah dengan Putri Sunan Kudus

2. Ratu Timoer menikah dengan Panembahan Timur  Bupati Madiun I

3. Pangeran Haryo Mataram


D. SULTAN TRENGGONO  RAJA DEMAK III

Sultan Trenggono adalah Raja Demak ke tiga, Beliau adalah putra Raden Patah raja Demak I dari istri nya yang bernama Asyikah atau Ratu Panggung .Ratu  Asyikah adalah Putri Sunan Ampel.

Wafat  pada tahun 1546

Memerintah Kraton Demak pada tahun Alip sinangkalan Banyu Suci Dadi Nabi ( th 1417)

Sultan Trenggono mempunyai dua istri yaitu Kanjeng Ratu Pembayun ( Putri Sunan Kalijaga ) dan Putri  Nyai Ageng Maloko. 


Dari  Putri Nyai  Ageng Maloko  menurunkan :

1. Ratu Pembayun 

2. Sunan Prawoto

3. Ratu Mas Pemancingan  menikah dengan Panembahan Jogorogo ing Pemancingan

4. Retno Kencana ( Ratu Kalinyamat ) menikah dengan Pangeran Hadiri ( Penguasa Jepara )

5. Ratu Mas Ayu menikah dengan Pangeran  Orang Ayu putra Pangeran Wonokromo 

6. Ratu Mas Kumambang


Dari Kanjeng Ratu Pembayun ( Putri Sunan Kalijaga ) menurunkan : 

7. Pangeran Timur , Panembahan Madiun ,  Bupati I Kadipaten Madiun

8. Ratu Mas Cempaka , menjadi Permaisuri Sultan Hadiwijaya Pajang bergelar Ratu Mas Pajang.

9. Pangeran Tg Mangkurat ( dari Garwa Pangrembe  )


Sumber data : Soejarah Jawa oleh Pujangga Hartati

Misteri Keberadaan Makam Jasad RADEN TRUNOJOYO yang di eksekusi mati...

 Misteri Keberadaan Makam Jasad RADEN TRUNOJOYO yang di eksekusi mati...


Raden Trunojoyo dianggap menjadi pemberontak dan dihukum mati pada era Mataram di masa Amangkurat II.


Akhir hidup Trunojoyo yang mengenaskan terjadi setelah kekalahannya dalam perang melawan pasukan Mataram di bawah perintah Amangkurat II yang dibantu VOC pada 27 Desember 1679.


Sebelumnya diketahui bahwaTrunojoyo setelah kemenangannya bergelar Panembahan Maduretno, kemudian mendirikan pemerintahannya sendiri.


Hampir seluruh wilayah pesisir Jawa juga sudah jatuh ke tangan Trunojoyo, meskipun pada waktu itu wilayah pedalaman masih banyak yang setia terhadap Mataram.


Adipati Anom alias Amangkurat II balas menyerang Trunojoyo setelah menandatangani persekutuan dengan VOC.


Persekutuan ini dikenal dengan nama Perjanjian Jepara pada September 1677 yang isinya Sultan Amangkurat II Raja Mataram harus menyerahkan pesisir Utara Jawa jika VOC membantu memenangkan terhadap pemberontakan Trunojoyo.


VOC di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Cornelis Speelman mengerahkan kekuatan besar untuk menaklukkan perlawanan Trunojoyo baik di laut maupun daratan.


Pada April 1677, Speelman bersama pasukan VOC berangkat untuk menyerang Surabaya dan berhasil menguasainya.


Speelman yang memimpin pasukan gabungan berkekuatan sekitar 1.500 prajurit mendesak Trunojoyo.


Di Bukit Selokurung Lereng Gunung Kelud pecah pertempuran antara pasukan gabungan kompeni dan Kasultanan Mataram di bawah pimpinan Kapitan Francois Tack melawan pasukan Pangeran Trunojoyo yang dibantu oleh Karaeng Galesong.


Setelah bertempur mati-matian, pada 27 Desember, Trunojoyo akhirnya ditangkap oleh VOC dan dibawa kehadapan Amangkurat II yang berada di Payak, Bantul.


Amangkurat II pun menghukum mati Trunojoyo pada 2 Januari 1680.


Trunojoyo dihukum mati dengan cara ditusuk oleh Amangkurat II menggunakan keris Kyai Balabar di jantung hingga menembus punggung.


Lebih jauh, Amangkurat II mencabik-cabik tubuh Trunojoyo hingga memenggal kepala Trunojoyo.


Atas perintah Amangkurat II, hati Trunojoyo dikeluarkan, dicabik-cabik lantas hati harus dimakan mentah-mentah oleh para petinggi keraton.


Kepalanya dijadikan keset untuk membersihkan kaki abdi dalem dan pelayan keraton.


Namun tak cukup sampai disitu, kepala Trunojoyo kemudian juga ditumbuk sampai hancur di lumpang batu.


@sorotan

KETURUNAN SUNAN KALIJAGA

 KETURUNAN SUNAN KALIJAGA


Raden Sai’d atau yang lebih populer disebut dengan Julukan Sunan Kalijaga adalah salah satu anggota Walisongo, beliau lahir pada tahun 1450 Masehi dan Wafat pada Tahun 1592 Masehi. 


Sunan Kalijaga merupakan Putra dari Pasangan Raden Ahmad Sahur dan Dewi Nawang Arum. Ayah Sunan Kalijaga merupakan Tumenggung Wilwatikta yang menjabat sebagai Adipati Tuban. 


Berdasarkan beberapa catatan sejarah tradisional, bahwa selama hidupnya, Sunan Kalijaga pernah menikahi empat orang wanita, yaitu (1) Nyi Undi (2) Dewi Sarah (3) Dewi Sarokah, dan (4) Syarifah Zainab. Dari keempat Istri-Istrinya itulah nantinya Sunan Kalijaga memperoleh keturunan. 


Menurut Naskah Mertasinga, Nyi Undi adalah Istri Raden Said ketika beliau menetap di Cirebon. Menurut Naskah ini pula, bahwa Raden Said mengawali Dakwah Profesionalnya di Cirebon dan beliau menetap di Desa Kalijaga, oleh karena itu, Raden Said nantinya dijuluki Sunan Kalijaga, karena beliau merupakan seorang Si Suhunan yang pusat dakwahnya berada di Desa Kalijaga. 


Masih menurut Naskah Mertasinga, bahwa perkawinan antara Sunan Kalijaga dengan Nyi Undi mengalami kebuntuan, sebab keduanya akhirnya bercerai. Dari hasil perkawinannya dengan  Nyi Undi, Sunan Kalijaga tidak memperoleh keturunan. 


Selanjutnya, Sunan Kalijaga dikisahkan menikahi Dewi Sarah, wanita ini adalah Putri dari Maulana Ishaq yaitu seorang Ulama besar yang menyebarkan Agama Islam di Daerah Blambangan. 


Dari hasil perkawinannya dengan Dewi Sarah, Sunan Kalijaga memperoleh tiga orang anak, yaitu (1) Umar Sai’d (Sunan Muria) (2) Dewi Ruqayyah, dan (3)  Dewi Sofiah.  


Wanita ketiga yang dikisahkan pernah menjadi Istri Sunan Kalijaga adalah Dewi Sarokah, wanita ini dikisahkan sebagai Putri dari Sunan Gunung Jati. Meskipun dalam catatan Sejarah Cirebon, tidak ditemukan nama Dewi Sarokah sebagai salah satu Putri Sunan Gunung Jati. Sebab dalam sejarah Cirebon, Sunan Gunung Jati hanya memiliki dua orang Putri yang bernama Ratu Winaon dan Ratu Ayu Wanguran. 


Dari hasil pernikahannya dengan Dewi Sarokah, Sunan Kalijaga dikisahkan memperoleh lima orang anak, yaitu (1) Ratu Pembayun, yang nantinya dinikahi Sultan Trenggono (2) Nyai Ageng Panegak (3) Sunan Hadi, (4) Raden Abdurrahman, dan (5) Nyai Ageng Ngerang III (Ayu Panengah).


Wanita terakhir yang dikisahkan pernah menjadi Istri Sunan Kalijaga adalah Syarifah Zainab, wanita ini merupakan putri dari Abdul Jalil atau Syekh Siti Jenar.


Dari pernikahan Sunan Kalijaga dengan Putri Syekh Siti Jenar, beliau memperoleh Satu orang anak, yaitu Nyai Ratu Mandoko yang tak lain, merupakan Ibu dari Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya dari Pajang. 


Oleh : Sejarah Cirebon

JOUSTING

 JOUSTING TOURNAMENT

PERTARUNGAN KSATRIA EROPA 

ABAD PERTENGAHAN


Turnamen jousting adalah salah satu kegiatan yang paling ikonik dari zaman abad pertengahan di Eropa. Acara ini bukan sekadar pertandingan biasa, melainkan sebuah pertunjukan megah yang menggabungkan keterampilan bertarung, keberanian, dan seni berkuda. Ksatria-ksatria yang mengenakan baju besi dan ketopong, menunggang kuda yang juga diperlengkapi dengan pelindung, bertarung dalam arena yang dikelilingi penonton yang antusias.


SEJARAH SINGKAT JOUSTING

Turnamen jousting berkembang pesat pada abad ke-12 dan mencapai puncaknya pada abad ke-14 dan ke-15. Awalnya, turnamen ini berfungsi sebagai latihan perang bagi para ksatria, namun seiring waktu, ia menjadi acara sosial dan hiburan yang sangat dinantikan. Raja Henry VIII dari Inggris, yang terkenal dengan kecintaannya pada olahraga ini, bahkan pernah mengalami cedera serius saat bertanding dalam sebuah turnamen jousting.


ATURAN DAN TEKNIK

Dalam jousting, dua ksatria akan berhadapan dan berkuda menuju satu sama lain dengan tujuan menjatuhkan lawan dari kuda mereka menggunakan tombak kayu. Pertandingan ini biasanya berlangsung dalam tiga babak, di mana pemenang ditentukan berdasarkan poin yang diperoleh dari pukulan yang berhasil mendarat di perisai atau tubuh lawan.


Selain ketangkasan dan keterampilan, jousting juga menunjukkan keindahan kostum dan kuda yang dihias megah. Ksatria-ksatria yang ikut serta sering kali mengenakan baju zirah yang diukir dengan indah dan membawa lambang atau simbol keluarga mereka, menambah elemen visual yang memukau dalam setiap pertandingan.


WARISAN BUDAYA

Meskipun jousting tidak lagi menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, warisannya tetap hidup melalui rekonstruksi sejarah dan festival yang diadakan di berbagai belahan dunia. Turnamen ini memberikan kita gambaran tentang kehidupan dan nilai-nilai ksatria pada masa lalu, serta keindahan seni dan budaya abad pertengahan.


Referensi :

1. Barber, Richard. "The Knight and Chivalry". Boydell Press, 2000.

2. Gravett, Christopher. "English Medieval Knight 1300-1400". Osprey Publishing, 2002.

3. Norman, A.V.B. "The Medieval Soldier". Barnes & Noble Books, 1994.

4. Coss, Peter. "The Knight in Medieval England 1000-1400". Continuum, 1993.

5. Wikipedia dan berbagai sumber lainnya.

Setia Hati Pemuda Sport Club (SH PSC)

 Setia Hati Pemuda Sport Club (SH PSC) ❤

adalah nama awal dari Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) yang didirikan pada tahun 1922 oleh Ki Hadjar Hardjo Oetomo


πŸ‘‰Ki Hadjar Hardjo Oetomo mendirikan SH PSC di Desa Pilangbango, Madiun, sebagai tempat latihan pencak silat untuk pemuda dan teman seperjuangannya. 


✔️Latihan pencak silat ini bertujuan untuk mengembangkan ilmu pencak silat kepada masyarakat kecil dan para pejuang kemerdekaan. 


πŸ‘‰Nama SH PSC kemudian berubah menjadi Persaudaraan Setia Hati “Pemuda Sport Club” dan akhirnya menjadi Persaudaraan Setia Hati Terate pada kongres pertama di Madiun pada 25 Maret 1951. 


✔️Perkembangan PSHT berkembang hingga ke daerah Nganjuk, Kertosono, Jombang, Ngantang, Lamongan, Solo, dan Yogyakarta. 


πŸ‘‰Falsafah PSHT adalah bahwa manusia tidak dapat dikalahkan selama ia setia pada hatinya sendiri. 


✔️PSHT memiliki dua pendidikan ajaran, yaitu pendidikan pencak silat dan kerohanian atau budi luhur. 


πŸ‘‰Ki Hadjar Hardjo Oetomo adalah seorang pahlawan Perintis Kemerdekaan RI yang juga ikut mengusir penjajah Belanda. Ia juga pernah bergabung dengan organisasi Syarekat Islam (SI) dan Boedi Oetomo.


Salam Persaudaraan πŸ™πŸ»


#psc #pencaksilat #sejarah

#psht #pshtpusatmadiun #shterate #pshtjaya #pshtstory #pshtindonesia22  #psht1922

Solo

 Bukan Palembang, tapi ini Solo πŸ’ž Indahnya Pesona kota Solo, πŸ’ž Kota Solo, atau Surakarta, adalah salah satu kota di Indonesia yang memikat...