Buat penglaris, simpen di galeri andaππ
.
.
.
.
.
.
.
.
.
“K-kak ….” rintih Ilfa dengan wajah ketakutan.
“Sakit? Kalau begitu, akan saya buat kamu makin sakit.”
Dandero tidak perduli mereka masih di mobil. Dise-rangnya bibir istrinya itu. Melum-atnya mati-matian dengan begitu berha-sr-at, sambil melepas perlahan tutup kepala yang membalut kepala istrinya.
Ilfa menahan rintihan akibat serangan bibir suaminya. Bukannya berhenti, Dandero terus melanjutkan. Makin lama, bahkan makin tak terkendali.
“Buka mulutmu,” pinta Dandero.
“Atau saya gigit,” ancam Dandero, menatap lurus ke bibir Ilfa yang sedikit bengkak. Entah bagaimana kabar bibir itu jika benar-benar digigit oleh Dandero.
Mau tidak mau, Ilfa akhirnya membuka mulutnya meski sedikit. Dandero kembali menyerangnya.
Ilfa makin tidak bisa bernapas dengan benar karena kelakuan suaminya. Mulutnya seperti diobrak-abrik semau lelaki itu.
“S-sakit, Kak ….” adu Ilfa saat Dandero menjeda ciumannya lagi. Napas mereka berdua saling berderu dan terdengar ngos-ngosan.
Akhirnya, Dandero jadi agak kasihan. Apalagi melihat bibir Ilfa makin bengkak.
“Sangat sakit?” Bukannya meminta maaf, Dandero malah berbisik seperti itu. Jempolnya mengusap lembut bibir Ilfa.
Ilfa mengangguk. Dandero malah kembali mendekatkan wajahnya. Meski kali ini ciuman lelaki itu lebih lembut. Hanya kecupan seperti ciuman pertama mereka kurang dari sejam yang lalu.
Karena ciuman Dandero melembut, Ilfa akhirnya bisa menikmatinya meski belum berani membalas.
Dia tidak lagi merintih kesakitan ketika Dandero menjelajahi mulutnya menggunakan indera perasa yang terasa begitu panas dan lembut secara bersamaan.
Dandero kembali memberi bibir Ilfa istirahat ketika mobil mereka sudah sampai di basement hotel.
Untungnya basement itu sepi di tengah malam. Tidak ada orang yang berlalu-lalang, selain kendaraan yang terparkir.
Jadi selain Dandero, tidak ada yang perlu melihat keadaan Ilfa yang seperti ini. Termasuk Gafan. Gafan sebagai anak buah sangat professional, makanya sedari tadi hanya fokus pada tugasnya tanpa melihat sedikitpun adegan yang ada di belakang.
“Kita turun,” bisik Dandero seraya mencium kepala Ilfa sekilas. Dandero kembali menggendong Ilfa lalu masuk ke dalam lift menuju presidential suite-nya.
***
Ilfa terlihat kikuk setelah masuk ke presidential suite room milik Dandero. Dia takut, sangat. Cium-an Dandero sebelumnya sudah menggambarkan malam seperti apa yang akan dia lalui sebentar lagi.
“Ayo.” Ajakan Dandero membuyarkan lamunan Ilfa yang takut kembali melangkah setelah pintu kamar mereka tertutup. Kaki Ilfa melangkah kaku. Dandero mendahuluinya seraya melepaskan jas yang membalut tubuh lelaki itu.
“Kamar tidur di sebelah sini. Buka saja lemari, ada pakaian ganti kalau kamu mau ganti baju,” ujar Dero, mengarahkan tangannya ke sebuah kamar.
Ilfa menelan ludah karena kamar itulah yang akan menjadi tempat peraduan mereka.
“Di sana dapur andai kamu ingin minum atau memakan sesuatu. Saya sudah menyiapkan semuanya.” Dandero lanjut melepaskan dasinya dan jam tangannya. Kemudian meletakkan kedua benda itu di atas meja begitu saja.
“Kenapa belum bergerak? Kamu tidak mau ganti baju? Tidak gerah?” tanya Dandero, kedua alisnya saling menaut melihat Ilfa yang masih mematung.
Belum sempat Ilfa menjawab, Dandero sudah berpindah ke balik punggungnya dan menurunkan rasleting gaun Ilfa ke bawah.
“Gaun ini sempit. Kenapa kamu milih yang ini?” bisik Dandero tepat di belakang punggung Ilfa. Ilfa bergidik merasakan deru napas suaminya yang menerpa telinganya.
“P-pelayan yang tadi menawarkan ….”
“Padahal saya sengaja membeli semuanya agar kamu bisa pilih yang mana yang paling kamu suka dan buat kamu nyaman. Kenapa kamu malah menanyakan saran pelayan yang malah menyiksa dirimu sendiri?”
Dandero tersenyum dingin, tangannya tiba-tiba menelusup masuk ke dalam gaun Ilfa, mengusap pinggang mungil istrinya. Menjelajah ke sekitar seakan sedang mengukur pinggang itu.
Akhirnya Dandero mengeluarkan tangannya, kemudian mengincar gaun atas Ilfa untuk dia lepaskan di ruang tengah seperti ini.
“S-saya bisa sendiri, Kak.” Ilfa tiba-tiba menghindar, padahal gaunnya sudah longgar. Ilfa malu menyadari bahu dan lengannya terekspos.
“Saya buatkan minuman hangat,” ujar Dandero, dagunya mengarah ke kamar. Mengode Ilfa untuk segera menyelesaikan urusannya sendiri.
Ilfa buru-buru ke kamar. Dia menghela napas ketika melihat pantulan wajahnya sendiri di cermin. Bedak di pipinya dan lipstick di bibirnya hancur karena ulah Dandero. Membuat wajah Ilfa terlihat begitu aneh.
Ilfa tidak menyangka akan seaneh ini. Karena Dandero sedari tadi terlihat begitu biasa saja. Untungnya Ilfa tidak banyak bertemu orang untuk sampai ke suite ini. Hanya beberapa pelayan yang ada shift malam.
Ilfa berusaha untuk tidak memerdulikannya, meski dia sangat malu membayangkan pikiran-pikiran pelayan itu jika melihat wajahnya.
“Belum diganti juga?” tanya Dandero yang tiba-tiba muncul di ambang pintu kamar. Di tangan lelaki itu ada nampan berisi dua cangkir cokelat panas dan dessert keju.
“Saya bersihin m-muka dulu, Kak. Muka saya aneh banget.”
“Ya, sih.” Dandero tertawa, membuat Ilfa makin malu. Jadi Dandero memang sadar wajah Ilfa aneh, tapi lelaki itu tidak perduli, apapun bentuk Ilfa, dia tetap suka.
“Bisa? Atau perlu saya panggilkan penata rias?” tanya Dandero pada Ilfa yang kesusahan membersihkan riasannya yang tebal.
“B-bisa, Kak. Cleansing balm saja cukup,” balas Ilfa apalagi dia memang tidak memakai bulu mata palsu jadi tidak terlalu butuh bantuan orang lain yang lihai untuk membersihkan wajahnya.
Ilfa kira dia akan diganggu ketika masih membersihkan wajah. Tidak disangka Dandero malah diam menontonnya dari pinggir ranjang, sambil menikmati cokelat panas.
Meski tatapan lelaki itu terlihat begitu penuh arti. Ilfa agak merinding dipandangi sedari tadi, seakan setelah selesai, maka dirinya akan diterkam.
Benar saja. Setelah mengusap wajahnya dengan tisu basah, Dandero tiba-tiba berdiri dan menghampiri Ilfa. Ilfa menahan napas ketika Dandero mengecupi rambutnya, turun ke pelipisnya.
“S-saya cuci muka dulu, Kak. Lalu ganti baju.”
“Tidak perlu,” bisik Dero tepat di telinga istrinya.
Ilfa merintih ketika telinganya tiba-tiba digigit kuat oleh Dandero.
Dandero memutar kursi Ilfa, menghadapkan gadis itu tepat di depan matanya. Lalu kembali menciumnya.
Setelah puas mengeksplor bibir istri untuk ke sekian kalinya, Dandero mengangkat tubuh Ilfa, dan membaringkannya ke kasur besar di sebelah mereka.
Ilfa ketakutan ketika Dandero menyanggah lengan di atas tubuhnya dengan tatapan kelaparan. Apalagi ketika Dandero mulai membuka kancing kemejanya sendiri, dan membuang kain itu ke lantai, memperlihatkan dada bidangnya yang siap menghimpit.