https://www.kompas.id/baca/opini/2022/09/13/senjakala-profesi-guru
*Senja Kala Profesi Guru*
Oleh Sumardiansyah Perdana Kusuma
Kembali maraknya pemberitaan yang menerangkan hilangnya ayat tentang pemberian Tunjangan Profesi Guru (TPG) dalam draf Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) versi Agustus 2022 bukanlah hal baru.
Itu semua hanya de javu dan mengonfirmasi bahwa niat pemerintah yang berupaya membatasi atau menghentikan TPG adalah benar adanya.
Dimulai dari rencana Kemendikbudristek di 2015 yang ingin menghapus TPG dalam rapat Komisi X DPR, dilanjut pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani di aula Gedung Guru Indonesia, 10 Juli 2018 yang mengatakan besarnya TPG dalam bentuk sertifikasi tidak mencerminkan kualitas pendidik.
TPG hanya dianggap membebankan APBN dan belum menyasar peningkatan mutu pendidikan.
Lalu Plt. Kepala Balitbang Kemendikbud Totok Suprayitno dalam rapat kerja bersama Komisi X DPR 27 Januari 2021 menilai TPG belum memberikan dampak positif pada hasil belajar, karena itu pemerintah berencana memberikan TPG hanya kepada guru yang berprestasi saja.
Sementara di kalangan guru Satuan Pendidikan Kerja Sama (SPK) penghentian TPG sudah terjadi sejak akhir 2019 setelah terbit Perdirjen GTK dan Persesjen Kemendikbud.
Karena itu Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menggagas gerakan sosial berupa petisi online agar RUU Sisdiknas ditunda dan ayat tentang TPG dikembalikan dalam RUU tersebut. Sampai dengan tanggal 3 Oktober 2022, pukul 21.00 WIB petisi sudah mendapatkan 27.036 tanda tangan.
*Guru adalah Profesi*
Esensi dan eksistensi profesi guru diakui dalam realitas sejarah yang kemudian tertera dalam perundangan tatkala Presiden SBY pada 2 Desember 2004 mencanangkan guru sebagai profesi dimana satu tahun setelahnya disahkan UU Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005 yang semakin mengukuhkan guru sebagai profesi dengan tugas keprofesionalan yang melekat.
Menjadi guru bukan hal yang mudah dan tidak sembarang orang dapat menjadi guru sebab selain menempuh pendidikan akademik di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), calon guru juga wajib memiliki sertifikat pendidik yang diperoleh setelah lulus dari Pendidikan Profesi Guru (PPG) melalui perguruan tinggi yang ditetapkan oleh pemerintah.
Selain itu kewajiban bagi guru profesional lainnya adalah wajib menjadi anggota organisasi profesi dan wajib mematuhi kode etik yang mengatur mengenai tugas keprofesionalannya.
*Tunjangan Kesejahteraan Guru*
Profesi guru yang memiliki aturan dalam UU tersendiri seharusnya dapat bersifat lex spesialis.
Keberadaannya tidak dapat disamakan dengan pekerjaan lain diluar pekerjaan profesi.
Misalkan dari sisi kesejahteraan, dalam UU Guru dan Dosen Pasal 14 Ayat 1 yaitu guru berhak memperoleh penghasilan diatas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.
Pada Pasal 15 Ayat 1 diterangkan bahwa kebutuhan hidup diatas minimum meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi.
Tunjangan-tunjangan yang disebut dalam peraturan perundangan diatas memiliki spirit memuliakan dan menyejahterakan guru sebagaimana dijabarkan lebih lanjut pada Pasal 15 Ayat 1 dan 2, Pasal 16 Ayat 1-4 (TPG), Pasal 17 Ayat 1-3 (Tunjangan Fungsional), Pasal 18 Ayat 1-4 (Tunjangan Khusus), serta Pasal 19 Ayat 1-3 mengenai maslahat tambahan yang merupakan tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan, beasiswa, dan penghargaan bagi guru, serta kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra-putri guru, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain.
*Kemunduran Kesejahteraan*
Semula spirit memuliakan dan menyejahterakan guru menjadi prasangka baik dalam kita menilai draf RUU Sisdiknas versi April 2022.
Pada Pasal 127 Ayat 1 guru berhak memperoleh gaji/upah, tunjangan, dan jaminan sosial, lalu mengenai tunjangan juga masih dituliskan dalam Pasal yang sama di Ayat 3-10.
Walaupun secara kritis kita juga bisa menilai Pasal 127 Ayat 1-10 pada draf RUU Sisdiknas versi April sebenarnya mundur jauh dibandingkan Pasal 14-19 UU Guru dan Dosen yang memuat secara lebih rigid dan komprehensif soal kesejahteraan guru.
Pada UU Guru dan Dosen merinci penghasilan guru diatas kebutuhan hidup minimum dan maslahat tambahan, sedangkan pada draf RUU Sisdiknas versi April hanya dituliskan memperoleh gaji/upah, tunjangan, dan jaminan sosial.
Kemunduran kesejahteraan guru semakin nyata setelah pada draf RUU Sisdiknas versi Agustus Pasal dan Ayat mengenai tunjangan guru dihilangkan sehingga hanya menyisakan Pasal 105 yang berbunyi guru/pendidik berhak memperoleh penghasilan/pengupahan dan jaminan sosial sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundangan (Pasal ini merupakan perubahan dari Pasal 127 Ayat 1-10 RUU Sisdiknas versi April).
Khusus bagi guru-guru di daerah terpencil kondisi akan semakin sulit ditengah tantangan geografis dan ekonomi yang sangat berat dalam mengabdi, dimana mereka kehilangan dua tunjangan sekaligus, yaitu TPG dan Tunjangan Khusus.
*Dalih Pemerintah*
Jika kita bandingkan antara taklimat Kemendikbudristek 29 Agustus 2022 dengan draf RUU Sisdiknas versi Agustus, yaitu: Pertama, TPG akan tetap diberikan.
Pada batang tubuh, Pasal dan Ayat mengenai TPG hilang tidak dicantumkan.
Penjelasan TPG baru ditemukan didalam draf RUU ketentuan peralihan Pasal 145 Ayat 1 yang berbunyi “setiap guru dan dosen yang telah menerima tunjangan profesi, tunjangan khusus, dan/atau tunjangan kehormatan yang diatur dalam UU Guru dan Dosen sebelum UU ini diundangkan tetap menerima tunjangan sepanjang masih memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan perundangan.”
Bila diterapkan kebijakan ini akan menimbulkan diskriminasi diantara guru-guru bersertifikat pendidik dan menerima TPG dibawah naungan UU Guru dan Dosen serta guru-guru yang bersertifikat pendidik dan belum pernah menerima TPG yang bernaung dibawah UU baru.
Padahal seharusnya secara profesional seluruh guru bersertifikat pendidik berhak mendapatkan keadilan dari sisi penerimaan tunjangan sebagai bentuk pengakuan atas profesinya dan sebagai penghargaan dari pemerintah berupa tambahan kesejahteraan.
Sekilas klausul pada pasal 145 yang berada pada ketentuan peralihan bisa memberikan jaminan tunjangan bagi guru dan dosen, namun jika dicermati lanjutannya pada pasal 147 sesungguhnya jaminan tunjangan yang masih ada itu hanya terbatas paling lama dua tahun setelah UU Sisdiknas yang baru disahkan.
Janji pemerintah TPG akan tetap ada juga menyisakan persoalan hukum, sebab dalam RUU Sisdiknas ada inkonsistensi pada Pasal 148 yang menyatakan UU lama (UU Sisdiknas 2003, UU Guru dan Dosen 2005, dan UU Pendidikan Tinggi 2012) masih berlaku sedangkan pada Pasal lanjutan 149 disebut pada saat UU ini berlaku maka, seluruh UU lama dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Bagaimana mungkin mempertahankan TPG tanpa ada sandaran hukum yang jelas dan kuat?
Kedua, adanya antrean sertifikasi membuat guru tidak mendapatkan hak kesejahteraan.
Masih adanya antrean 1,6 juta guru dalam jabatan untuk mengikuti PPG bukanlah salah guru melainkan pemerintah yang gagal menjalankan amanat UU Guru dan Dosen Pasal 82 Ayat 2 agar menuntaskan kepemilikan sertifikat pendidik bagi seluruh guru paling lama 10 tahun sejak UU Guru dan Dosen diundangkan.
Bukankah seharusnya pemerintah mempermudah syarat dan alur dalam mengikuti PPG serta menambah kuota PPG sehingga 1,6 juta guru dalam jabatan bisa terakomodir?
Ketiga, guru ASN akan otomatis mendapat kenaikan melalui tunjangan yang diatur dalam UU ASN.
Persoalan penggajian dan tunjangan yang diatur dalam UU ASN Pasal 79 Ayat 1-5 hanya menyebutkan soal gaji dan tunjangan yang terdiri dari Tunjangan Kinerja (Tukin) dan Tunjangan Kemahalan (Tukem), dimana pengalokasiannya tergantung ASN itu bekerja pada pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang besarannya disesuaikan dengan anggaran di masing-masing Kementrian ataupun daerah.
Penghilangan TPG yang selama ini menjadi harapan guru-guru yang notabenenya bekerja pada pemerintah daerah (kecuali guru-guru yang bernaung dibawah Kementrian Agama) hanya akan meminimalisir kesejahteraan guru ASN terutama di daerah-daerah.
Keempat, peningkatan penghasilan guru swasta lewat dana BOS dan penghasilan sesuai UU Ketenagakerjaan.
Kesejahteraan guru swasta yang dinaungi oleh UU Ketenagakerjaan, UU Cipta Kerja, dan PP 33 Tahun 2021 Tentang Pengupahan adalah sama saja mengubah guru sebagai profesi dan menyamakannya dengan jenis pekerjaan umum lain.
Hal ini dianggap bisa mendegradasi makna guru sebagai profesi.
Pada akhirnya jika pemerintah abai menempatkan guru sebagai profesi yang mulia dan terhormat dengan tidak memberikan penghargaan atas kesejahteraan diatas minimum, apalagi sampai mengurangi atau bahkan menghilangkan hak tunjangan guru sebagaimana yang sudah tertera jelas dalam perundangan sebelumnya, maka bisa dipastikan senja kala profesi guru akan tiba pada waktunya.
*Penulis adalah Guru SMAN 13 Jakarta, Ketua Departemen Penelitian dan Pengabdian Masyarakat PB PGRI, Ketua APKS PGRI Provinsi DKI Jakarta, Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar