Minggu, 30 November 2025

1-30 Nov 2025

 HADIAH MILAD YANG DITOLAK MUHAMMADIYAH


Kalau biasanya ulang tahun ditandai dengan kue, lilin, atau ucapan “panjang umur” yang kadang lebih mirip doa pamungkas, Muhammadiyah tahun ini dapat “kado” yang jauh lebih berat bobotnya: pengelolaan Masjid Al Jabbar. Masjid ikonik, megah, penuh kaca, dan pastinya bukan bangunan sederhana yang bisa disapu tiap pagi oleh dua orang marbot. Gubernur Jawa Barat, yang beken dengan nama KDM, mengulurkan tawaran itu dengan gaya yang cukup manis: “Ini masjid besar, mungkin Muhammadiyah bisa kelola.”


Semua orang mungkin sudah siap bertepuk tangan. Wartawan sudah menajamkan kuping. Netizen siap bikin twit panjang. Tapi tiba-tiba, Pak Haedar Nashir, dengan keanggunan yang tidak bisa ditiru oleh algoritma sosial media, mengeluarkan jawaban yang bikin suasana mendadak slow motion: “Terima kasih, tapi kami memilih tidak menerima. Semua ini, demi kebersamaan.”


Nah, ini. Inilah momen ketika seluruh studio harus berdiri dan tepuk tangan. Ini bukan drama Korea, bukan plot twist film detektif. Ini Muhammadiyah, organisasi yang kalau menolak hadiah saja bisa bikin orang terharu.


Di tengah dunia yang penuh orang rebutan jabatan, rebutan pengelolaan masjid, kursi musala, bahkan rebutan nasab sampai berebut bisyarah kajian, Muhammadiyah tampil seolah berkata: "Kami bukan lapar hadiah. Kami lapar harmoni." Yang lain mungkin sibuk ngegas, Muhammadiyah memilih rileks di tengah badai egoisme umat.


Pak Haedar, dengan gaya seperti dosen bijak yang sudah melihat berbagai macam ketidaksalehan administratif hidup manusia, memastikan satu hal: apa pun yang diterima organisasi harus halal, bersih hubungan sosialnya, dan tidak membuat pihak lain baper. Sebab, dalam bahasa sederhana: hadiah yang bikin orang sebel itu bukan rezeki, itu bisa jadi malah potensi azab kecil-kecilan.


Bayangkan, di luar sana kadang ada ormas kelompok yang menganggap kementerian tertentu seperti milik pribadi. Ada yang merasa punya hak eksklusif atas tanah wakaf, kuburan keramat, atau bahkan atas amplop kegiatan. Lalu ketika konflik meledak, umat yang jadi korban. Ulama ribut, jamaah panas, grup WhatsApp meledak, dan yang tersisa hanyalah rasa malu kolektif.


Di situ Muhammadiyah datang seperti tetangga penyabar: tidak perlu rebutan. Tidak perlu drama. Tidak perlu naik nada. Masjid milik negara? Ya kelola bareng saja. Bagi-bagi, biar semua adem.


KDM sendiri mengakui bahwa meski Muhammadiyah punya rumah sakit yang wah dan kampus-kampus yang megah, para ulamanya tetap hidup sederhana. Tidak ada gaya melangit. Tidak minta dipanggil “Yang Mulia Pak Kyai, Pak Haji, Prof Doktor, habib dan sederet sebutan keren lainnya”. Bahkan dalam acara resmi pun kadang lebih suka duduk di belakang, biar tidak kelihatan kalau alas kaki mereka sederhana.


Dan benar, selama 113 tahun, Muhammadiyah hampir tidak pernah punya drama kudeta muktamar. Tidak ada gerombolan yang masuk diam-diam sambil bisik-bisik ingin ganti ketua. Sistem kolektif kolegial sudah seperti antivirus yang mencegah konflik sebelum terjadi.


Maka, ketika Muhammadiyah menolak hadiah besar itu, rasanya bukan sedang menolak rezeki, tapi sedang menunjukkan teladan: kadang yang paling sulit ditolak bukan godaan, tapi pujian. Dan Muhammadiyah, sejauh ini bisa dikatakan, lolos ujian itu.


Semoga Muhammadiyah tetap adem, tetap waras, dan tetap jadi penyejuk di tengah riuh dunia yang selalu haus sensasi dan validasi.

Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mulai Des 2025

 Gajah Mada (bahasa Jawa: ꦓꦗꦃꦩꦢ; ca 1290 – ca 1364), dikenal juga dengan nama lain Jirnnodhara adalah seorang panglima perang dan Mapatih (P...