MATERI DISKUSI PUBLIK DRAF PENULISAN BUKU
SEJARAH INDONESIA 2025
JILID 9
PEMBANGUNAN DAN STABILITAS NASIONAL ERA
ORDE BARU 1967-1998
PENULIS:
Dr. Abdurakhman, M.Hum.
Dr. Didik Pradjoko, M.Hum.
Prof. Dr. Erniwati, S.S., M.Hum.
Dr. Wildan Insan Fauzi, M.Pd.
Dr. Hary Efendi, S.S., M.A.
Dr. La Ode Rabani, S.S., M.Hum.
Muhammad Yuanda Zara, S.S., M.A., Ph.D.
Arif Pradono, S.S., M.I.Kom.
Yelda Syafrina, M.A.
Zul Asri, M.Hum.
Zulfa Saumia, S.Pd., M.A.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jilid ini membahas periode perjalanan sejarah bangsa Indonesia pada masa Orde Baru.
Masa Orde Baru dimulai ketika terbitnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 1966
hingga lengsernya Presiden Suharto 21 Mei 1998. Pembahasan sejarah Orde Baru dalam
penulisan sejarah nasional Indonesia sudah ditulis dalam dua buku sebelumnya, yaitu Sejarah
Nasional Indonesia Jilid VI dengan editor umum Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho
Notosusanto (1984) dengan edisi pemutakhiran cetakan ke-lima, tahun 2011 dan Indonesia
Dalam Arus Sejarah Jilid 8 dengan editor umum Taufik Abdullah dan A.B. Lapian, serta editor
jilid Susanto Zuhdi, yang terbit tahun 2012.
Untuk mengisi kekosongan 12 tahun ini Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia
merasa perlu menyusun kembali buku Sejarah Nasional Indonesia sebagai Upaya penggunaan
sumber-sumber termutakhir dalam perspektif Indonesia sentris. Pasca penerbitan buku Sejarah
Nasional Indonesia di atas telah banyak karya akademik dan riset-riset Sejarah dengan
keanekaragaman topik, pendekatan, sumber-sumber terbaru yang belum digunakan dalam
penulisan sebelumnya.
Tulisan dalam jilid ini akan menampilkan kerangka konsep yang baru, tetapi akan tetap
ditekankan tentang bagaimana menguatnya peran negara di bawah kepemimpinan Presiden
Soeharto hampir di setiap lini kehidupan: politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, serta
pertahanan dan keamanan hingga berbagai dampak yang dihasilkan, terutama dalam persoalan
dan penegakan HAM pada periode tersebut.
Orde Baru menjadikan militer Indonesia terutama Angkatan Darat sebagai penopang
utama sistem pemerintahannya, seperti tesis Peter Briton (1996) dalam bukunya
Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia mengungkapkan bahwa Orde Baru
membangun pemerintahannya dengan semangat pembangunan yang berlandaskan ideologi
yang dimiliki Angkatan Darat. Pemerintah Orde Baru membina sistem politik yang tertib dan
terkendali untuk mendukung program pembangunan sebagai prioritasnya. Kebijakan utama
Orde Baru yang mengedepankan stabilitas politik yang mendukung keberhasilan pembangunan
ekonomi. Sistem ini menjadikan peran negara secara perlahan menguat untuk menciptakan
stabilitas politik dengan menciptakan ideologi baru, yakni “ideologi pembangunan”.
Pemerintahan Orde Baru muncul sebagai reaksi atas kemelut politik di akhir
Pemerintahan Presiden Sukarno. Instabilitas politik dalam negeri pada saat itu berdampak
terhadap kepemimpinan Presiden Soekarno terutama pasca peristiwa Gerakan 30 September/PKI (G30S/PKI). Peristiwa tersebut menimbulkan krisis politik dan ekonomi pada
saat itu. Setelah Orde Baru mulai berkuasa, barulah pembangunan ekonomi secara gencar
dilakukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah Orde Baru, di bawah Suharto berhasil meningkatkan kesejahteraan sosial
ekonomi rakyat Indonesia dan membawa Indonesia menjadi negara dengan pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dalam waktu singkat. Pemerintah Orde Baru ini sangat menekankan
stabilitas nasional dan pertumbuhan ekonomi, dengan militer memainkan peran penting dalam
politik dan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan inti dari pencapaian Orde Baru, dengan
peningkatan yang nyata dalam kualitas hidup, pendidikan, dan layanan Kesehatan.
Pemerintahan Orde Baru dicirikan oleh pemerintahan yang mengedepankan aspek stabilitas
baik dalam bidang keamanan, politik dan ekonomi.
Bab awal pembahasan Jilid 9 buku ini bertolak dari uraian tentang bagaimana Orde Baru
muncul dan sejumlah rangkaian peristiwa politik yang mengantarkan Soeharto menuju takhta
kepresidenan, menggantikan Soekarno. Kelahiran Orde Baru dilandasi tekad dan komitmen
untuk melakukan koreksi total atas kekurangan sistem politik yang telah dijalankan
sebelumnya di masa pemerintahan Sukarno, dengan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen. Sejak pemerintahan Orde Baru dimulai, terjadi pergeseran pusat
perhatian dari masalah “pembinaan bangsa” ke masalah pembangunan ekonomi. Politik bukan
lagi sebagai panglima, sebagaimana terjadi pada masa Sukarno. Pemerintahan baru yang
dipimpin Soeharto ini juga berkaca dari kepemimpinan Soekarno, di mana upaya menciptakan
stabilitas politik dan menciptakan suasana yang kondusif adalah tolak ukur bagi keberhasilan
suatu negara membangun perekonomiannya.
Pemerintahan Orde Baru melakukan terobosan modernisasi yang signifikan, atas dukungan
bantuan Barat, pengelolaan sumber pendanaan dalam dan luar negeri. Kebijakan ekonomi
selama periode ini melibatkan pembentukan konglomerat industri yang beroperasi di berbagai
industri, yang mengarah pada konsentrasi industri dan keuangan di tangan kerabat presiden,
militer, dan pejabat pemerintah.
Sekitar tahun 1970-an, fondasi ekonomi mulai tercipta dalam sistem masyarakat yang
terlibat aktivitas pasar modern, seperti yang terjadi di Amerika. Pertumbuhan ekonomi Orde
Baru pun terjadi, dan awalnya didorong oleh bantuan luar negeri dan investasi asing, lalu
diperkuat dengan adanya lonjakan harga minyak. Pendapatan riil pemerintah antara 1966
hingga 1978 rata-rata meningkat setiap tahunnya yakni sebesar 27 persen. Lalu belanja negara
pada 1977-1978 mencapai 22,6% dari PDB, meningkat signifikan dibandingkan tahun 1966
yang hanya mencapai 9,3%.
Gambaran kondisi pertumbuhan ekonomi nyatanya mendorong peningkatan intervensi
negara dalam kehidupan masyarakat Indonesia, seperti melalui program-program pemerintah.
Untuk mewujudkan program pemerintah berjalan secara efektif, diperlukan birokrasi yang
efektif dan tanggap terhadap pimpinan eksekutif sebab birokrasi menjadi penggerak utama
program pembangunan. Reformasi birokrasi oleh pemerintah Orde Baru mengarah pada
sentralisasi pemerintahan. Sentralisasi pemeritahan mencakup mencakup tiga hal,
yakni pertama, pemusatan proses pembuatan kebijakan pemerintah, wujudnya dalam bentuk
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) maupun Repelita. Kedua, membuat birokrasi lebih
tanggap ke pimpinan pusat. Hal tersebut membuat ABRI dan para teknokrat masuk ke badan
pemerintah. Terakhir, memperluas wewenang pemerintah pusat dengan cara
mengkonsolidasikan pengendalian atas daerah. Dalam bentuk pelaksanaan program, point
terakhir ini mirip seperti gaya konsolidasi era pendudukan militer Jepang, yaitu mobilisasi
hingga menyentuh ke lapisan aparat terkecil, yaitu desa.
Pemerintahan Orde Baru ditandai dengan dominasi militer dan badan intelijen, yang
memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas politik. Fokus pemerintahan Orde Baru
pada stabilitas nasional dan pertumbuhan ekonomi menyebabkan pemaksaan identitas nasional
pada warga negara negara yang beragam, dengan penekanan pada stabilitas nasional dan
pertumbuhan ekonomi. Orde Baru menekankan stabilitas nasional dan pertumbuhan ekonomi,
yang mengarah pada peningkatan pendidikan, perawatan kesehatan, dan pendapatan per kapita,
meskipun manfaat pertumbuhan ekonomi tidak dibagi secara merata di seluruh penduduk. Pada
masa Orde Baru menyaksikan peningkatan standar hidup masyarakat secara makroekonomi,
dengan penurunan jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Namun, keberhasilan
modernisasi selama periode ini terkait erat dengan kesejahteraan elit penguasa, yang mengarah
pada konsentrasi industri dan keuangan di tangan kerabat dan rekan presiden.
Periode 1976-1988 bisa dikatakan menjadi masa-masa keemasan Orde Baru. Berbagai
program yang diciptakan mengalami kesuksesan. Selama dua dekade membangun dan
membenahi kehidupan ekonomi, sosial dan budaya, hasilnya terlihat jelas menunjukkan
kemajuan. Program Keluarga Berencana berhasil menekan pertumbuhan penduduk yang
sangat tinggi hingga 1,97% pada 1980-an. Swasembada pangan berhasil dicapai, jika pada
1969 Indonesia hanya memproduksi beras sebanyak 12,2 juta ton, pada 1984 Indonesia sudah
dapat menghasilkan 25,8 juta ton beras. Di era ini, stabilitas harga terjaga sebelum akhirnya
pertengahan tahun 1997 inflasi melesat tajam ke dua digit, industrialisasi tumbuh pesat
sehingga membuka lapangan pekerjaan, dan puncaknya adalah antara 1987 hingga 1992 ketika
Indonesia menjadi eksportir terkemuka barang-barang industri, Pembangunan di sektor
pendidikan, menunjukkan tanda-tanda positif, di mana era Soekarno belum tersentuh. Pada
1980 angka melek huruf semakin meningkat yakni 80,4% bagi laki-laki dan 63,6% bagi
perempuan. Di bidang budaya, adanya fasilitas kebudayaan seperti Taman Ismail Marzuki
berkontribusi dalam melahirkan karya-karya seni kontemporer Indonesia.
Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto tidak hanya sukses di dalam
negeri, berhasil pula membangun hubungan regionalisme, di mana Indonesia sekaligus
Presiden Soeharto begitu dihormati dan berwibawa di mata internasional. Pada masa Orde Baru
pendekatan diplomasi yang digunakan oleh Presiden Soeharto terarah kepada diplomasi
persahabatan, mencari kawan sebanyak-banyaknya dan memperkecil jumlah lawan. Hal itu
terlihat dengan adanya menormalisasikan kembali hubungan dengan negara-negara tetangga,
khususnya Malaysia, yang akhirnya membuka jalan bagi pembentukan ASEAN tahun 1967.
Indonesia juga berusaha menjelaskan perkembangan di Indonesia setelah Gestapu,
menghilangkan salah interpretasi dunia internasional dan menegakkan kembali kredibilitas
Indonesia sebagai negara non-blok. Semua ini dilakukan dalam rangka mencari simpati dan
kepercayaan dunia internasional agar bisa memberikan bantuan ekonomi. Maka terbukalah
jalan bagi Indonesia untuk ke IGGI. Oleh karena Presiden Soeharto pendekatan politik luar
negerinya lebih tertuju pada ekonomi dibandingkan politik. Hal itu bisa terlihat diplomasi
Indonesia pada masa Orde Baru tertuju untuk pencarian dana bantuan luar negeri untuk
pembangunan Indonesia. Selain itu juga, pendekatan politik luar negeri Soeharto ditandai oleh
sikap hati-hati tetapi menunjukkan ambisi regional.
Fokus pemerintah Orde Baru pada stabilitas internal dan pembangunan ekonomi
menyebabkan Indonesia menjadi pendiri dan pemimpin kerja sama regional Perhimpunan
Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), yang berkontribusi pada transformasi Asia Tenggara
menjadi kawasan yang lebih stabil .Munculnya demokrasi di Indonesia setelah jatuhnya rezim
Orde Baru menyebabkan negara tersebut terlibat dalam perjanjian perdagangan preferensial
bilateral dan mengejar liberalisasi di tingkat regional melalui keanggotaannya di ASEAN.
Soeharto mendapat gelar sebagai “Bapak Pembangunan” dalam Sidang Umum MPR
tahun 1983, namun sejumlah keberhasilan atau pencapaiannya dibayang-bayangi berbagai
peristiwa yang mencederai demokrasi, melanggar kebebasan berekspresi, berpendapat, dan
Hak Asasi Manusia. Hal ini terlihat dari sejumlah kebijakan seperti P4, asas tunggal,
NKK/BKK, serta sejumlah kasus restriksi bagi sejumlah seniman, pelukis, budayawan, dan
pers yang kritis terhadap pemerintah, bahkan sejumlah dari mereka pun adanya mengalami
penangkapan dan penahanan. Krisis moneter yang melanda Asia tahun 1997-1998 berpengaruh
terhadap melemahnya posisi ekonomi Indonesia dan puncaknya adalah peristiwa aksi
demonstrasi, kerusuhan, yang berakhir dengan mundurnya Presiden Suharto pada 21 Mei1998.
Mundurnya Suharto dari kursi kepresidenan RI menjadi bab penutup dari Jilid 9 buku ini.
Permasalahan
Sejak proses awal terbentuknya Pemerintahan Orde Baru, beberapa hal yang menjadi pokok
peroalan yang harus diatasi adalah permasalahan yang muncul di akhir pemerintahan demokrsi
terpimpin, yaitu masalah ketidakstabilan politik dan ekonomi dan masalah keamanan nasional.
Sepertinya kedua persoalan tersebut mengemuka berdasarkan latar belakang sejarah kehidupan
politik dan ekonomi diera awal hingga pertengahan1960-an, sehingga tidak heran Presiden
Suharto bersama para pembantunya dengan melalui kestabilan politik dan keamanan dijadikan
pondasi demi kelancaran pembangunan ekonomi yang berdampak kepada tercapainya
masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan Makmur.
Untuk merekonstruksi sebuah sejarah Indonesia era Orde Baru, permasalahan utama yang
diajukan adalah bagaimana upaya pemerintah Orde Baru melalui kebijakan stabilitas politik
dan ekonomi dapat mencapai tujuan yang dicita-citakannya yaitu masuarakat yang sejahtera
adil dan Makmur dan juga dampak yang muncul dari kebijakan tersebut?
Untuk menjawab permasalahan tersebut diajukan beberapa pertanyaan penelitian sebagai
berikut:
a. Bagaimana upaya penanganan Peristiwa G30S/PKI sejak dikeluarkan Surat Perintah 11
Maret 1966 hingga tahun 1968?
b. Bagaimana kebijakan terkait stabilitas politik dan ekonomi pada awal Orde Baru?
c. Bagaimana perkembangan Pendidikan, riset dan tenologi era Orde Baru?
d. Bagaimana dampak pembangunan era Orde Baru dan perubahan social yang muncul
pada masa tersebut?
e. Bagaimana dinamika pembangunan Demokrasi Pancasila selama masa Orde Baru?
f. Bagaimana munculnya reaksi terhadap kebijakan politik dan ekonomi ?
g. Bagaimana dinamika terkait Wawasan Nusantara dan penguatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia?
h. Bagaimana pembangunan di sektor kebudayaan, terkait Kebudayaan Nasional, Seni,
Sastra, media, olahraga, organisasi Wanita dan kepemudaan?
i. Bagaimana masalah Koilusi, Korupsi, dan Nepotisme, ditambah krisis ekonomi
berdampak bagi jatuhnya pPemerintah Orde Baru?
Ruang lingkup Pembahasan
Pembahasan dalam Jilid 9 dari buku Sejarah Indonesia edisi 2025 meliputi periode
pemerintahan Presiden Suharto yang diangkat oleh MPRS sebagai Pejabat Presiden Republik
Indonesia pada tahun 1967 hingga berakhirnya masa Pemerintahan Orde Baru yang ditandai
dengan pernyataan mundur Presiden Suharto pada tanggal 21 Mei 1998. Krisis politik tersebut
merupakan puncak gunung es dari rusaknya sistem pemerintahan Orde Baru yang awalnya
sangat kuat kemudian berangsur runtuh sejalan dengan munculnya krtidak percayaan rakyat
terhadap pemerintahan Orde Baru. Munculnya pergolakan politik dan sosial tersebut diawali
dengan mencuatnya rangkaian krisis multidimensional yang dihadapi bangsa Indonesia yang
diakibatkan oleh praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang berpuncak sejak tahun 1997.
Buku Jilid 9 ini mengambil judul yaitu “Orde Baru: Pembangunan dan Stabilitas Nasional
1966-1998”, meski era Orde Baru resminya bermula di tahun 1967, namun demikian ide dan
semangat Orde baru sudah menggeliat sejak awal 1966, tepatnya Januari 1966, mulai
munculnya kritik dan protes terhadap pemerintahan Demokrasi Terpimpin, yaitu Presiden
Soekarno pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965, yang ditengarai adanya keterlibatan
organisasi Partai Komunis Indonesia, melalui protes demontrasi mahasiswa dipelopori oleh
Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan berbagai kelompok elemen masyarakat
melalui semboyan Tritura atau Tiga Tuntutan Rakyat yang meliputi pembubaran PKI, turunkan
harga dan retool Kabinat Dwikora. Selanjutnya peristiwa yang dianggap penting sebagai
tonggal awal Pemerintahan Orde adalah diterbitkannya Surat Pemerintah 11 Maret 1966 yang
kemudian lebih dikenal dengan Supersemar. Surat perintah ini memberikan kewenangan
kepada Letnan Jenderal Suharto sebagai pengembannya melakukan Langkah-langkah
menstabilkan keamanan dan ketertiban yang memang penuh gejolak sejak awal Oktober 1965.
Dengan surat perintah ini ada akhirnya memperkuat posisi Letjen Suharto untuk secara
bertahap memperlemah kekuasaan Presiden Sukarno hingga muncul surat pencopotan jabatan
Presiden Sukarno oleh sidang MPRS 1967 dan mengangkat Jenderal Suharto sebagai Pejabat
Presiden Republik Indonesia.
Secara umum pembahasan isi buku ini yaitu bab pertama yang dimulai dengan uraian tentang
awal Orde Baru sejak tahun 1966 yang ditandai dengan munculnya Gerakan Tritura 10 Januari
1966 dan terbitnya Surat Perintah 11 Maret 1966 dari Presiden Sukarno kepada pengemban
surat perintah yaitu Letjen Suharto. Bab ini membahas juga penanganan akibat Gerakan 30
September PKI 1965, kemudian dibahas juga permasalahan Eksil atau orang-orang pelarian
dan penanganan tahanan politik eks anggota PKI. Tulisan dalam bab ini juga menjelaskan
permasalahan dualism kepemimpinan nasional dan diakhiri dengan uraian Jenderal Suharto
diangkat sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia 1967 dan kemudian menjadi Presdien
definit pada tahun 1968, didalamnya terdapat uraian program kerja pertama yaitu melalaui
Kabinet Ampera II dan Pembentukan Kabinet Pembangunan I.
Bab kedua dalam buku ini membahas Pertahanan dan Keamanan Nasional, meliputi Doktrin
Pertahanan Indonesia, peran dan dinamika Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)
dari sisi kelembagaan, strategi dan sistem persenjataannya. Dalam bab ini juga menguraikan
kegiatan ABRI Masuk Desa (AMD) dan peran sosial politik ABRI dalam bentuk dwifungsi
ABRI. Bab ketiga menguraikan pembangunan politik, meliputi konsepsi pembangunan politik
nasional, politik dalam negeri yang meliputi kebijakan politik anti komunis, Penentuan
Pendapat Rakyat di Irian Barat 1969, integrasi Timor Timur 1976, kemudian materi politik luar
negeri Indonesia yang bebas dan aktif, terkait normalisasi hubungan Indonesia dan Malaysia,
pendirian organisasi bangsa-bangsa di Asia Tenggara (ASEAN), peran aktif dalam Gerakan
Non Blok dan juga permasalahan luar negeri lainnya.
Bab selanjutnya yaitu ke empat terkait pembangunan ekonomi nasional, yang membahas
konsepsi pembangunan nasional, kebijakan Pembangunan Jangka Panjang 1 dan 2, kemudian
implementasi kebijakan ekonomi terkait revolusi hijau, revolusi biru, industrialisasi,
swasembada beras dan koperasi. Bagian lain yang dibahas dalam bab ini adalah investasi dari
dalam dan luar negeri. Bab berikutnya kelima membahas perkembangan pendidikan, riset dan
teknologi. Dalam bab ini dijelaskan konsepsi pendidikan menurut ideologi Pancasila,
pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tinggi dan Lembaga-lembaga riset dan
perkembangan teknologi di era Orde Baru. Selain itu juga dibahas pendidikan keagamaan baik
formal maupun informal. Sementara itu dibahas judul pembangunan dan perubahan social
dalam bab keenam, dalam bab ini diuraikan tulisan mengenai etnisitas dan keragaman budaya
masyarakat Indonesia, program transmigrasi, munculnya kelas menengah masyarakat akibat
modernisasi, kebijakan terkait kehidupan beragama pada era Orde Baru, kebijakan terkait
peningkatan mutu kesehatan masyarakat dan bagian tentang Lembaga swadaya masyarakat.
Pada bab ketujuh dibahas tentang Demokrasi Pancasila, yang menguraikan konsep Demokrasi
Pancasila, perbincangan tentang pemilu-pemilu Orde baru, fusi dan pembatasan jumlah partai,
pembangunan karakter bangsa, azas tunggal, pendirian Komisi Nasional HAM, dan terakhir
diuraikan kebebasan dan pembatasan pers. Bagian selanjutanya adalah bab yang membahas
raksi terhadap kebijakan politik dan ekonomi Orde Baru, yaitu dalam bab kedelapan. Dalam
bab ini diulas terkait Organisasi papua Merdeka (OPM) yang sudah muncul sejak masa
Demokrasi Terpimpin era 1960-an, ulasan tentang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) 1976-1999,
peristiwa Petisi 50 (1980), tragedi Tanjung Priuk 1984, penjelasan tentang konflik-konflik
agrarian dengan peritiwa yang meninjol adalahKedungombo 1985-1991. Pembahasan bab ini
dilanjutkan dengan peristiwa Talangsar, Lampung 1989 dan juga aspek perjungan buruh dalam
konteks jamannya, yang menonjol adanya peristiwa terbunuhnya aktivis buruh perempuan,
yaitu Marsinah 1993, dalam bab ini juga dibahas kasus-kasus penggaran HAM lainnya.
Bab kesembilan membahas pokok-pokok kajian tentang wawasan nusantara, menguatnya batas
negara pada saat penetapan beberapa keputusan UNCLOS bagi Indonesia, missal terkait Zona
Ekonomi Eksklusif, kemudian penetapan Alur Laut Kepulauan Indonesia sebagai warisan
keputusan UNCLOS terkait pelayaran lintas damai di kawasan perairan laut Indonesia. Bab ini
juga membahas penguatan batas negara, pertahan dan keamanan laut Indonesia dan persoalan
pelintas batas baik dari laut maupun dari darat. Bab kesepuluh membicarakan pembangunan
kebudayaan, pada bagian ini diuraikan kebijakan kebudayaan sebagai upayapenguatan
kebudayaan nasional, program diplomasi budaya, dan juga kongres Kebudayaan 1991. Selin
itu bab ini juga membahas organisasi Wanita Dharma Wanita yang menjadi organisasi
kewanitaan para istri pegawai negeri dalam mendukung program pemerintahan Orde Baru.
Pembahasan bab ini juga terkait dengan bidang seni, sastra dan media baik cetak maupun
elektronik dan juga film. Bagian akhir bab ini membahas materi tentang kepemudaan, baik
terkait pembentukan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Gerakan Pramuka,
Organisasi Massa kepemudaan dan karang taruna.
Bagian akhir dari jilid 9 ini adalah bab kesebelas yang membahas periode akhir Orde Baru,
dengan membahas isu suksesi kepemimpinan nasional, munculnya Korupsi Kolusi dan
Nepotisme yang menjangkiti para elit Orde baru sebagai persoalan yang menyebabkan
munculkan kritik dan demontrasi yang anti Orde baru. Terutama setelah munculnya krisis
ekonomi dan krisi multidimensi yang menyertainya sebagai pemicu awal kebangkrutan Orde
baru. Bab ini juga menjelaskan munculnya tuntutan reformnasi, demontrasi mahasiswa dan
Gerakan massa lainnya yang kemudian memicu insiden penembakan aktivis mahasiswa
Universitas Trisakti yang kemudian memicu kerusuhan massal yang menimbulkan banyak
korban yang meninggal dunia dan terluka. Bab ini diakhiri dengan mundurnya Presiden
Suharto pada 21 Mei 2025.
Jilid 9 dengan judul Orde Baru: Pembangunan dan Stabilitas Nasional 1966-1998, tentunya
tidak berdiri sendiri dalam artian ada benang merah dalampoko bahasan yang diuraikan atau
dijelaskan juga terkait dengan jilid-jilid lainnya seperti halnya dengan jilid 7 yang membahas
Era Revolusi dan Perang Kemerdekaan 1945-1950, jilid 8 yang membahas era Demokrasi
Liberal hingga Demokrasi terpimpin 1950-1965, begitu juga dengan Jilid 10 yang membahas
Era Reformasi pasca 1998. Beberapa poko bahasan terkait kemaritiman yang dibahas di bab 8
terkait Deklarasi Juanda 1957 yang memproklamirkan wilayah laut territorial atau laut dalam
dimana pada zaman itu laut territorial Indonesia hanya 3 mil dari sekitaran pulau-pulau
Indonesia sehingga lebih dari itu menjadi wilayah laut internasional, hal ini berdampak wilayah
laut antar pulau Indonesia menjadi kantong laut internasional. Pada jilid 9 di era Orde Baru
menjadi kelanjutan dari peristiwa Deklarasi Djuanda 1957, muncul dalam keputusan PBB
melalui United Nations Convention on the Law of The Sea tahun 1982 yang mengakui
Republik Indonesia sebagai negara maritim atau archipelago, dimana laut antara pulau atau
laut dalam menjadi wilayah laut territorial. Aspek-aspek kemaritiman nusantara bahkan sudah
diulas juga dalam jilid 1 hingga jilid 4. Sementara itu bidang seni, sastra dan olahraga juga
menjadi pokok bahasan dalam jilid lainnya, begitu pula tentang peran Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia atau Tentara Nasional Indonesia menjadi pokok bahasan di Jilid 7,8 dan
10.
Dalam beberapa jilid seperti halnya dalam jilid 9 diuraikan kebijakan Orde baru terkai
transmigrasi sebagai upaya pemerataan penduduk dan upaya peningkatan kesejahteraan
penduduk, model seperti ini juga diuraikan sejak masa era awal abad ke20 dengan kebijakan
emigrasi pemerintahan Hindia Belanda yang memindahkan penduduk Jawa ke Lampung dan
juga ke beberap tempat lainnya. Seperti halnya pembahasan tentang diaspora penduduk
nusantara di era berabad-abad yang lalu dari Sulawesi Selatan ke Kalimantan, Sumatera dan
Kepulauan Riau, begitu juga diaspora Orang Minang ke banyak wilayah Sumatra bahkan
hingga ke semenanjung Malaya. Pembahasan tentang aspek-aspek kebudayaan sebagai model
pemersatu bangsa juga menjadi pembahasan dalam banyak jilid. Selain itu keterkaitan dengan
Jilid 8 cukup signifikan terutam terkait peristiwa Gerakan 30 September PKI 1965 yang
dijelaskan di Jilid 8, namun di Jilid 9 pembahasan dilanjutkan terkait aksi-aksi yang muncul
yang menuntut pembubaran PKI yang dianggap terlibat dalam peristiwa tersebut, juga terkait
pembahasan penanganan pasca peristiwa tersebut misalnya sidang-sidang mahmillub,
penanganan tahan politik eks anggota PKI, permasalahan orang-orang pelarian eks anggota
PKI atau simpatisannya di luar negeri atau orang-orang Eksil dan politik anti komunis Orde
Baru. Sedangkan terkait bab 10 era reformasi, tentunya peristiwa krisi ekonomi, 1997,
demontrasi mahasiswa, Gerakan massa anti Orde Baru dan kerusuhan massa pasca
tertembaknya mahasiswa Trisakti dalam peristiwa demonstrasi 12 Mei 1998. Pada bab 10
menyambung peristiwa pasca kerusuhan atau huru hara 13-15 Mei 1998 dan mundurnya
Presiden Suharto pada tanggal 21 Mei 1998, disusul diangkatnya Wakil Presiden B.J. Habibie
sebagai presiden Republik Indonesia, setelahnya menjadi titik berakhirnya Era Orde Baru dan
mulai awal periode reformasi. Beberapa poin terkait kerusuhan massal dan munculnya tindak
kekerasan terhadap kaum perempuan utamnya dari kalangan Tionghoa menjadi pokok bahasan
dalam jilid 10, termasuk dibentuknya Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan 13-15 Mei
1998, untuk menyelidiki peristiwa adanya kekerasan terhadap perempuan termasuk Tindakan
perkosaan.
Kesimpulan
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Jilid 9 yang membahas sejarah Indonesia pada
masa Orde Baru memiliki ciri yang khas bahwa Pemerintahan Orde baru selama kepemimpinan
Presiden Suharto sejak awalnya berupaya untuk membangun perekonomian dan kesejahteraan
bagi rakyat Indonesia. Berkaca dari era sebelumnya dimana pertentangan politik yang sangat
keras dan merosotnya kesejahteraan rakyat, membuat Orde baru berupaya dengan idiologi
pembangunannya berusaha menstabilkan kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya dengan
harapan akan keberhasilan program pembangunan yang dicita-citakan oleh Orde Baru. Banyak
program-program pembangunan pemerintah yang berhasil mencapai target missal
pembangunan seKtor pendidikan, teknologi informasi satelit dan penyiaran TVRI dan RRI,
program transmigrasi, program pembangunan Kesehatan dan Keluarga Berencana. dan lainlain. Namun demikian ada dampak yang bersifat negative bahwa hal yang terkait model
pemerintahan yang mengedepankan kestabilan dan keamaman ini kemudian berimbas negarif
terhadap pembangunan demokrasi, kebebasan pers, berekspresi dan menyuarakan pendapat.
SISTEMATIKA PENULISAN
PENDAHULUAN
BAB 1 LAHIRNYA ORDE BARU
1.1. Supersemar 1966
1.1.1. Tri Tuntutan Rakyat
1.1.2. Penanganan Akibat Gerakan 30 September PKI1965
(Langkah-langkah tindakan pasca peristiwa, Mahmilub dan
KOPKAMTIB)
1.1.3. Eksil dan Penanganan Tahanan Politik Eks PKI
1.2. Dualisme Kepemimpinan Nasional
1.2.1. Nawaksara Pembelaan Yang Ditolak
1.2.2. Kondisi Terakhir Presiden Sukarno
1.3. Dari Pejabat Menjadi Presiden RI
1.3.1. Pejabat Presiden Soeharto 1967
1.3.2. Pembentukan Kabinet Ampera II
1.3.3. Presiden Suharto Dan Pembentukan Kabinet Pembangunan 1
BAB 2 STABILITAS KEAMANAN DAN PEMBANGUNAN POLITIK
1.1. Stabilitas Keamanan
1.1.1. Dwi Fungsi ABRI
1.1.2. ABRI Masuk Desa
1.1.3. KOPKAMTIB
2.2. Konsepsi Pembangunan Politik Nasional
2.3. Restrukturisasi dan Strategi Politik
2.4. Politik dalam Negeri
2.4.1. Politik Anti Komunis
2.4.2. Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)
2.4.3. Integrasi Timor Timur
2.5. Politik Luar Negeri
2.5.1. Upaya Menjaga Perdamaian Dunia
2.5.1.1. Normalisasi Hubungan dengan Malaysia
2.5.1.2. Deklarasi Asean
2.5.2. Politik Bebas dan Aktif
2.5.3. Masalah Luar Negeri Lainnya
BAB 3 PEMBANGUNAN EKONOMI NASIONAL
3.1. Konsepsi Pembangunan Ekonomi Nasional
3.2. Dewan Ketahanan Nasional
3.3. Program dan Praktek Kebijakan Ekonomi Nasional
3.3.1. Program Pembangunan Bertahap (Repelitia)
3.3.2 Praktek Kebijakan Dan Capaian
3.3.2.1. Revolusi Hijau
3.3.2.2. Revolusi Biru/Modernisasi Sektor Perikanan
3.3.2.3. Industrialisasi
3.3.2.4. Swasembada Beras
3.4. Penanaman Modal
3.4.1. Dalam Negeri
3.4.2. Luar Negeri (IGGI, CGI, IMF)
BAB 4 PERTAHANAN DAN KEAMANAN NASIONAL
4.1. Doktrin Pertahanan Indonesia
4.2. Peran Dan Dinamika ABRI
2.3.1. Kelembagaan
2.3.2. Strategi
2.3.3. Alutsista
BAB 5 KEBIJAKAN PENDIDIKAN DAN RISET
5.1. Konsepsi Pendidikan Masa Orde Baru
5.2. Pendidikan Dasar dan Menengah
5.3. Pendidikan Formal Keagamaan
5.4. Pendidikan Tinggi
5.4.1. Perkembangan Universitas, Sekolah Tinggi
5.4.2. Pendidikan Guru dan Kualitas Pengajaran (PTPG, FKIP, IKIP)
5.5. Lembaga Riset dan Perkembangan Teknologi
5.5.1. Gagasan Awal dan Permasalahan Pengembangan IPTEK
5.5.2. Mipi (Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia) Menjadi LIPI
5.5.3. Dinamika Lembaga-Lembaga Iptek (Batan, Lapan, BPPT, Puspiptek)
5.5.4. Kemajuan Teknologi Masa Orde Baru
5.5.5. Organisasi Ilmuwan Masa Orde Baru
BAB 6 PEMBANGUNAN DAN PERUBAHAN SOSIAL
6.1. Etnisitas Dan Keberagaman Budaya Masyarakat Indonesia
6.2. Transmigrasi Sebagai Sarana Pemerataan Penduduk dan Integrasi Nasional
6.3. Modernisasi dan Kemajuan Masyarakat
6.4. Kebangkitan Kelas Menengah dan Elite Ekonomi
6.5. Agama dalam Politik Orde Baru
6.6. Peningkatan Mutu Kesehatan Masyarakat
BAB 7 PEMBANGUNAN DEMOKRASI PANCASILA
7.1. Pembangunan Karakter Bangsa
7.1.1. Konsep Demokrasi Pancasila
7.1.2. Pembangunan Karakter Bangsa
7.1.3. Implementasi P4
7.2. Azas Tunggal Pancasila: Latar Belakang, Landasan Hukum, Tujuan,
Implementasi dan Dampak Pelaksanaan
7.3. Dari Pemilu Ke Pemilu
7.3.1. Landasan Hukum Pelaksanaan Pemilihan Umum
7.3.2. Fusi Partai dan Pembatasan Jumlah Partai
7.3.3. Golkar Sebagai Kekuatan Dominan
7.3.4. Sistem dan Pelaksanaan Pemilihan Umum
7.3.5. Dampak Kebijakan Pemilu Orde Baru
7.4. Persoalan Hak Azasi Manusia (HAM)
7.5. Kebebasan dan Pembatasan Pers
BAB 8 REAKSI TERHADAP KEBIJAKAN POLITIK DAN EKONOMI
8.1. Gerakan Organisasi Papua Merdeka (Opm)
8.2. Gerakan Aceh Merdeka (Gam), 1976-2009
8.3. Peristiwa Malari 1974
8.4. Petisi 50 1985
8.5. Tragedi Tanjung Priok 1984
8.6. Peristiwa Talangsari, Lampung 1989
8.7. Konflik Agraria (Peristiwa Kedungombo 1985-1991,
8.8. Perjuangan Buruh (Marsinah , 1993 Dll)
8.9. Kasus Kasus Pelanggaran Ham Lainnya (Udin Dll)
BAB 9 WAWASAN NUSANTARA DAN PENGUATAN NEGARA KESATUAN
REPUBLIK INDONESIA
9.1. Wawasan Nusantara dalam Konteks Geopolitik Kemaritiman
9.2. Tantangan Deklarasi Juanda: Terbentuknya Grey Area dan Perairan Internasional
9.3. UNCLOS 1982 dan Penguatan Batas Negara: Perubahan Luas Wilayah (ZEE)
dan Alur Laut Kepulauan Indonesia
9.4. Isu-Isu Global: Kedaulatan Wilayah Laut dan Perbatasan Wilayah Negara
9.5. Pertahanan dan Keamanan Laut Indonesia
9.6. Masalah Pelintas Batas dan Diaspora (Laut, Darat, Udara)
BAB 10 PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN
10.1. Kebijakan Kebudayaan: Menuju Persatuan Indonesia
10.2. Keberagaman Budaya
10.3. Kebudayaan Nasional Indonesia
10.4. Kongres Kebudayaan 1991
10.5. Dharma Wanita dan Kesetaraan Gender
10.6. Seni, Sastra, Film, Literasi dan Media Massa
10.7. Pemuda dan Olahraga (KNPI, Ormas, Pramuka, Karang Taruna)
BAB 11 AKHIR ORDE BARU
11.1. Persoalan Suksesi dan Kepemimpinan Nasional
11.2. Goyahnya Pilar Pendukung Orde Baru
11.3. Persolan Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme (KKN)
11.4. Krisis Ekonomi
11.4.1. Fondasi Ekonomi dan Reformasi Kebijakan Ekonomi 1980-An
11.4.2. Krisis Moneter 1997-1998
11.4.3. Campur Tangan Asing dalam Kejatuhan Soeharto
11.5. Kerusuhan Mei 1998 dan Mundurnya Soeharto
11.5.1 Demonstrasi Mahasiswa
11.5.2 Insiden Trisakti Dan Huru-Hara Mei 1998
11.5.3 Mundurnya Soeharto 21 Mei 1998
PENUTUP
Peristiwa G30S/PKI 1965 menimbulkan konflik horizontal dalam dan luar negeri yang
berdampak keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret dari Presiden Sukarno kepada Letjen.
Suharto selaku Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad).
Supersemar bertujuan agar Suharto dapat mengambil langkah cepat mengamankan negara dan
memulihkan Kembali stabilitas keamanan. Langkah pertama yang dilakukan Suharto adalah
menjalankan amanat Tritura dengan merangkul militer, terutama Angkatan Darat sebagai mitra
melalui dwifungsi ABRI yang ditetapkan oleh TAP MPRS XXIV/MPRS/1966. Posisi militer
semakin kuat setelah Suharto dilantik menjadi Presiden RI tanggal 27 Maret 1968. ABRI tidak
saja berfungsi sebagai alat pertahanan, tetapi juga menjadi bagian dalam politik dan
pembangunan ekonomi negara. Orde Baru memperkuat sistem politik untuk membangun
otoritarianisme melalui sentralisasi kepemimpinan, restrukturisasi birokrasi negara,
penyederhanaan partai politik, penguatan peran Golkar, serta kontrol media yang ketat.
Penguatan Demokrasi Pancasila dilakukan dalam seluruh lini kehidupan bangsa Indonesia,
sementara aspek geopolitik kemaritiman dipertegas berdasarkan Deklarasi Djuanda dan
perluasan wilayah laut (ZEE) dalam upaya menyatukan keberagaman suku bangsa yang
tersebar di seluruh wilayah kepulauan Indonesia.
Pengalaman sejarah masa kolonial dan peristiwa G30S/PKI juga berdampak terhadap
kebijakan politik dalam negeri Orde Baru terutama dalam upaya membangun nasionalisme
berbangsa dan bernegara terutama terhadap etnik Tionghoa melalui kebijakan asimilasi total.
Di bidang budaya, seni, sastra, media, pemuda dan olahraga juga dilakukan penguatan, meski
dalam kontrol dan batasan tertentu. Politik luar negeri menjadi fokus Orde Baru, terutama
pemutusan hubungan politik dengan RRC sebagai dampak G30S/PKI pada tahun 1967 yang
dipulihkan Kembali tahun 1989. Selanjutnya Orde Baru melakukan normalisasi hubungan
dengan Malaysia dan menjadi anggota PBB kembali tahun 1966, menjalin hubungan bilateral
dan regional dalam rangka politik dan menarik investor asing, serta berpartisipasi dalam
menjaga perdamaian dunia.
Stabilitas politik mendukung kelancaran proses pembangunan ekonomi nasional yang
dirancang melalui Repelita dan disahkan oleh GBHN. Fokus Repelita I sampai V pada bidang
pertanian, industri minyak dan industri yang mendukung sektor lainnya). Pencapaian di bidang
pertanian membawa Indonesia berhasil mewujudkan swasembada beras pada tahun 1984.
Fokus program ekonomi lainnya meliputi Revolusi Hijau, Revolusi Biru, industrialisasi,
koperasi, dan penanaman modal baik dalam maupun luar negeri. Di bidang pendidikan, Orde
Baru memperkuat nasionalisme berlandaskan ideologi Pancasila melalui mata pelajaran wajib
Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, Bahasa Indonesia dan P4
bagi Perguruan Tinggi. Program wajib belajar 6 tahun, pemberantasan buta huruf, hingga
penguatan pengetahuan dan teknologi melalui Perguruan Tinggi serta lembaga-lembaga riset
menjadi prioritas Orde Baru. Perkebangan industri dan manufaktur akhir tahun 1980-an
membawa Indonesia memasuki era modernisasi yang berdampak terhadap perubahan sosial
masyarakat dengan kebangkitan kelas menengah dan elit ekonomi. Pertumbuhan ekonomi
Indonesia sejalan dengan peningkatan mutu Kesehatan masyarakat yang juga menjadi program
penting Orde Baru dalam menekan pertumbuhan penduduk melalui program Keluarga
Berencana.
Dinamika politik Orde Baru diwarnai dengan berbagai reaksi konflik disintegrasi, seperti
Organisasi Papua Merdeka dan Gerakan Aceh Merdeka. Sepanjang pemerintahan Orde Baru
juga tidak lepas dari respon masyarakat dari berbagai lapisan, terutama terhadap
penyimpangan-penyimpangan kebijakan yang memberi keuntungan kepada oknum tertentu di
lingkaran kekuasaan Suharto, pelanggaran HAM, penculikan terhadap aktivis, serta maraknya
korupsi, kolusi dan nepotisme mulai dari peristiwa Malari 1974, Petisi 50, peristiwa Tanjung
Priok 1984, konflik agraria seperti Kedung Ombo 1985-1991, Talangsari 1989, Kasus
Marsinah 1993, dan kasus pelanggaran HAM lainnya.
Krisis Moneter 1997 memperburuk perekonomian Indonesia yang berdampak pada
kesengsaraan rakyat akibat peningkatan PHK, kenaikan harga BBM dan harga sembako.
Akumulasi dari situasi ekonomi yang semakin memburuk menyebabkan terjadi protes dan
demonstrasi yang dimotori mahasiswa hampir di seluruh kota di Indonesia sejak awal tahun
1998. Bentrok demonstrasi mahasiswa dengan kepolisian meluas menjadi tindak kekerasan dan
pelanggaran HAM yang puncaknya menewaskan empat mahasiswa pada peristiwa Trisakti 12-
14 Mei 1998. Situasi tidak terkendali saat massa turun secara anarkis melakukan penjarahan
dan pembakaran terhadap beberapa pusat perbelanjaan, rumah dan kawasan tertentu di ibukota.
Banyak korban dari kalangan masyarakat yang bahkan tidak terindentivikasi dari peristiwa
kelam tersebut termasuk dari kalangan etnik Tionghoa baik berupa korban kebakaran,
kekerasan, penjarahan, maupun pelecehan seksual. Puncak ketidakpercayaan rakyat terhadap
Pemerintahan Orde Baru adalah suara tuntutan reformasi dan Suharto mengundurkan diri sebagai presiden pada 21 Mei 1998.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar