MATERI DISKUSI PUBLIK DRAF PENULISAN BUKU
SEJARAH INDONESIA 2025
JILID 5
MASYARAKAT INDONESIA DAN TERBENTUKNYA
NEGARA KOLONIAL, 1800 - 1900
PENULIS:
Prof. Dr. Drs. Bambang Subiyakto, M.Hum.
Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M.Hum.
Prof. Dr. Jajat Burhanuddin, M.A.
Dr. Rhoma Dwi Aria Yuliantri, M.Pd.
Dr. Retno Winarni, M.Hum.
Dr. Ida Liana Tanjung, M.Hum.
Dr. Harto Juwono, M.Hum.
Akhmad Ryan Pratama, S.Hum., M.A.
Dias Pradadimara, M.A., M.S.
Faizal Ariffin, M.Hum.
Prof. Dr. Agus Suwignyo, M.A.
Prof. Dr. Sarkawi B. Husain, M.Hum.
PENDAHULUAN
Abad Ke-19 Dalam Sejarah Indonesia
1. Latar Belakang dan Permasalahan Pokok Jilid 5
Jilid 5 mengulas masyarakat Indonesia dan terbentuknya negara kolonial pada abad ke-19.
Cakupan jilid ini meliputi aspek-aspek kesejarahan kepulauan Nusantara abad ke-19 yang membentuk fondasi keindonesiaan dan, nantinya di abad ke-20, menjadi pilar-pilar negara Indonesia merdeka. Nusantara pada abad ke-19 merupakan wilayah yang sangat plural, dan telah terhubung dalam jalinan interaksi lokal dan global selama berabad-abad. Masyarakat Nusantara pada abad tersebut telah memiliki pengalaman yang cukup solid dalam mengelola kehidupan bersama. Pengalaman tersebut terkait administrasi dan politik pemerintahan; strategi dan peralatan militer; sistem ekonomi khususnya perdagangan; infrastruktur publik seperti pelabuhan, jalur pelayaran dan jalan; serta bentuk-bentuk kebudayaan dan sistem kepercayaan. Hal-hal itu terbentuk melalui jalinan interaksi lokal dan global yang panjang dan dinamis. Dengan kata lain,
Nusantara pada abad ke-19 bukanlah suatu wilayah kosong baik dari segi penduduk, institusiinstitusi kepemerintahan publik, maupun sejarah dan pengalaman kolektif masyarakatnya (lihat Jilid 1 s.d. Jilid 4). Karena itu, upaya untuk “menghadirkan” abad ke-19 dalam konteks sejarah Indonesia perlu mempertimbangkan semua elemen institusional yang sudah ada di dalam masyarakat Nusantara saat itu.
Meskipun demikian, relevansi abad ke-19 tidak terletak pada keterkaitannya dengan dinamika yang telah mewarnai dan membentuk masyarakat Nusantara pada abad-abad sebelumnya. Relevansi abad ke-19 berkaitan erat dengan apa yang akan terjadi di abad selanjutnya, abad ke-20. Bagaimana abad ke-19 telah mempengaruhi dan “membentuk” arah abad ke-20, memerlukan pemahaman yang menyeluruh.
Dengan cara pandang ini, upaya untuk menggali makna penting abad ke-19 ditarik kepada tema utama abad ke-20 yang berkembang di Nusantara, yaitu tema keindonesiaan. Cara pandang yang demikian bersifat post-factum karena masa lalu diulas dengan memakai titik-tolak masa yang kemudian. Meskipun demikian, cara pandang postfactum atas abad ke-19 tidak diwujudkan dengan menerapkan kerangka kondisi dan situasi abad ke-20 kepada kondisi dan situasi abad ke-19.1 Upaya memahami abad ke-19 dari perspektif abad ke-20 dilakukan dengan mengidentifikasi dan menguraikan aspek-aspek kontinuitas sejarah terkait
Catatan:
1.Jika hal ini yang dilakukan, cara pandang tersebut bukan bersifat post-factum melainkan anakronis.
institusionalisasi kehidupan publik di abad ke-19, yang akan terus ada dan bahkan menjadi fondasi bagi proses yang sama di abad ke-20. Untuk itu, jilid ini mengajukan dua pertanyaan pokok.
Pertama, mengapa abad ke-19 menciptakan suatu partikularitas bagi sejarah Indonesia khususnya di abad ke-20? Kedua, “keindonesiaan” apa yang dapat dipahami dalam konteks abad ke-19 itu?
Secara umum dapat dikatakan bahwa abad ke-19 merupakan periode peralihan yang sangat penting dalam sejarah Indonesia modern. Di satu sisi, abad ini menyaksikan redupnya berbagai elemen dan institusi kekuasaan lokal di berbagai daerah. Di sisi lain, abad ini juga menyaksikan lahir dan berkembangnya elemen-elemen institusi kekuasaan Barat (lihat SNI Edisi Pemutakhiran). Elemen-elemen kekuasaan Barat itu meliputi struktur politik dan administrasi pemerintahan; sistem hukum, perundang-undangan dan peradilan; sistem ekonomi dan keuangan; infrastruktur publik seperti jalan raya, rel kereta api, pelabuhan dan transportasi sungai; lahirnya institusi dan sistem ilmu pengetahuan; dan institusionalisasi aspek-aspek kepercayaan dan keagamaan. Berbagai elemen institusi model Barat ini—dan bukan jenis institusi yang sudah ada di Nusantara sebelum abad ke-19—akan diwarisi oleh negara Republik Indonesia pada abad ke-20.
Singkatnya, abad ke-19 memiliki relevansi yang sangat besar dalam memahami akar-akar keindonesiaan khususnya yang berkembang pesat dan mengalami solidifikasi dalam bentuk institusi-institusi kepemerintahan pada abad ke-20 (lihat Jilid 6).
Sejauh ini kajian-kajian tentang abad ke-19 cenderung menguraikan akar-akar keindonesiaan dari perspektif kebangsaan. Hal ini sangat masuk akal. Fakta sejarah menunjukkan bahwa abad ke-19 mencatat sejumlah peristiwa perang yang secara kumulatif nantinya (di abad ke-20) akan menyumbang pada terbentuknya perasaan senasib masyarakat Indonesia, sebagai bangsa terjajah. Inilah bibit nasionalisme, yang nantinya akan mengobarkan pergerakanpergerakan yang bersifat dan berskala nasional di awal abad ke-20. Meskipun demikian, Jilid 5 seri buku ini menyodorkan satu perspektif yang lain tentang lingkup akar-akar keindonesiaan itu.
Jilid 5 berangkat dari argumen bahwa abad ke-19 telah meletakkan fondasi yang sangat krusial bagi kerangka institusional kenegaraan Republik Indonesia abad ke-20. Dengan kata lain, abad ke-19 sangat penting tidak hanya dalam hal nation-building sebagaimana telah sering ditonjolkan dalam historiografi Indonesia-sentris selama ini, tetapi juga dalam hal state-building atau terbentuknya pilar-pilar institusional kenegaraan. Sejarah mencatat bahwa hiruk-pikuk keindonesiaan setelah peristiwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 meliputi tidak hanya aspek bangsa dan kebangsaan, melainkan juga aspek penguatan institusi kepemerintahan (governance) dan pengelolaan (administration). Fondasi dan kerangka pilar-pilar bagi dua aspek yang terakhir itu diletakkan oleh negara kolonial model Barat pada abad ke-19.
Literatur tentang historiografi abad ke-19 menunjukkan keragaman perspektif tentang periode tersebut. Persoalannya bukan sekedar ada atau tidaknya sumber sejarah, tetapi juga bagaimana fakta-fakta yang ada di dalam berbagai sumber itu dihadirkan. Pemahaman ini berarti “abad ke-19” bukan sekedar tahun-tahun kronos dari 1800 hingga 1899. “Abad ke-19” merupakan “bingkai paradigmatik” atas fenomena-fenomena kesejarahan yang terjadi di sepanjang seratus tahun itu. Singkatnya, sebagaimana seharusnya batasan lingkup temporal dalam setiap kajian sejarah, “abad ke-19” dalam jilid ini adalah paradigma yang membentuk cara pandang, perspektif dan makna atas suatu fenomena kesejarahan dalam periode tersebut.
2. Ulasan Historiografis tentang Abad ke-19
A. Mempersoalkan Abad ke-19
Berbagai literatur historiografi tentang “abad ke-19” menunjukkan keragaman pemahamanpemahaman itu. Sebagai contoh, menurut sejarawan Richard Price, historiografi Britania Raya menggambarkan “abad ke-19” sebagai “pembuka tabir modernisasi”. Aspek politik, ekonomi, jaringan sosial dan budaya yang berkembang pada abad ke-19 Britania Raya “menyajikan fondasi bagi kemajuan-kemajuan dunia yang kita kenal sekarang”. Pandangan ini memaknai abad ke-19 sebagai “perubahan (change)” (Price, 1996: 220). Meskipun demikian, pandangan itu tidak tunggal. Menurut Price, ada aliran lain historiografi yang menyatakan bahwa “abad ke-19” Britania Raya juga ditandai oleh fenomena “keberlanjutan (continuity)” (Price, hlm. 221).
Misalnya, gagasan tentang modernisasi abad ke-19 merupakan kelanjutan dari gagasan yang melekat pada identitas Britania Raya sebagai pioner Revolusi Industri abad ke-18.
Dengan titik-tolak Revolusi Industri, kriteria modernisasi masih sama antara abad ke-18 dan ke-19, yaitu pertumbuhan ekonomi. Konsep modernisasi yang oleh kelompok “change” dianggap telah memunculkan kaum borjuis dalam panggung utama abad ke-19, ditentang oleh kelompok “continuity”. Menurut kelompok “continuity”, “kaum borjuis” abad ke-19 bukanlah fenomena yang partikular abad ke-19. Itu adalah kelompok elit yang sama, yang telah mewarisi kepemilikan tanah dari abad ke-18. Jadi, borjuasi abad ke-19 Britania Raya bukanlah borjuasi baru yang terbentuk oleh proses Revolusi Industri. Ia kelompok feodalis abad ke-18, yang oleh proses industrialisasi berganti baju elitisme dan mewarnai abad ke-19. Seperti pada abad ke-18, kelompok kelas menengah Inggris pada abad ke-19 juga terdiri dari penduduk yang sebagian besar mendiami kota-kota provinsi. Artinya, kalaupun abad ke-19 mengalami aneka perubahan akibat modernisasi industrial, hal itu bukan merupakan hasil perombakan struktur kelas sosial masyarakat pedesaan, yang “naik jenjang” menjadi kelas menengah baru akibat industrialisasi (Price, hlm. 222).
Sekalipun di dalamnya memuat aliran-aliran yang saling bertentangan, historiografi Inggris Raya secara umum mengidentifikasi masa tersebut sebagai sebuah “periode yang stabil, damai dan tenang” dan mencerminkan suatu representasi abad ke-19 Eropa. Artinya, ada suatu persepsi “positif” tentang abad ke-19 yang mempengaruhi kesamaan penilaian tentang abad itu. Menurut sejarawan Paul W. Schroeder, deskripsi tentang abad ke-19 sebagai “stabil, damai dan tenang” dan berproses menuju sebuah kondisi modern, muncul akibat gambaran kontras dan berkebalikan tentang abad ke-18. Dalam historiografi Eropa, abad ke-18 Eropa adalah abad perang, revolusi dan konflik khususnya antarkelas sosial. Dengan usainya Perang Napoleon (1803–1815), Eropa mengalami kestabilan geopolitik meskipun penyatuan geopolitik itu segera diikuti oleh kesadaran kebangsaan tentang kemerdekaan baru (Schroeder, 1986: 1).
Karena pandangan tentang abad ke-19 yang stabil, damai dan tenang, penulisan sejarah Eropa cenderung mengulas dinamika kawasan tersebut hanya “di dalam konteks pertumbuhan Eropa”. Akibatnya, dinamika abad ke-19 Eropa digambarkan hanya sebatas persaingan untuk kemajuan dan kontestasi “tanpa upaya saling menguasai” sebagaimana abad ke-18 (Schroeder, hlm. 11). “Stabilitas” cara pandang tentang abad ke-19 ini di Eropa telah memunculkan kemapanan historiografi. Berbagai upaya untuk “menulis ulang” abad ke-19 Eropa terjebak dalam “zona nyaman historiografi” itu. Periodisasinya replikatif, kategorisasi strukturnya duplikatif, dan garisgaris pokok interpretasinya tidak mampu dari jalur argumentasi yang telah disajikan oleh kajiankajian yang sudah ada (Price, hlm. 222-223).
Pandangan historiografi Eropa dan Britania Raya menyuratkan cara yang ditempuh oleh para sejarawan Eropa dalam menghadirkan abad ke-19. Cara pandang historiografi itu bukan hanya Eropa-sentris atau berpusat pada Eropa. Ia juga self-isolasionist atau bersifat mengisolasidiri. Artinya, dinamika kesejarahan Eropa dihadirkan hanya dalam batas aspek-aspek “internal” kawasan Eropa. Padahal fakta-fakta kesejarahan menunjukkan bahwa pada abad ke-19 entitasentitas Eropa di luar wilayah Eropa justru sedang mengalami proses institusionalisasi yang hegemonik terhadap entitas non-Eropa; sebuah proses yang dikenal sebagai kolonialisme.
Historiografi self-isolasionist Eropa tentang abad ke-19 cenderung mengabaikan elemen kolonialisme sebagai bagian dari jati-diri Eropa.
Aspek lain yang relevan untuk diberi perhatian adalah pandangan tentang abad ke-19 sebagai “pembuka tabir modernisasi” yang stabil, damai dan tenang. Dalam menguraikan “tabir modernisasi” itu, historiografi self-isolasionist Eropa menunjuk pada proses industrialisasi sebagai faktor penting. Historiografi Britania Raya bahkan secara patriotis menonjolkan peran negeri itu sebagai pioneer industrialisasi dunia. Namun, historiografi self-isolasionist Eropa mengabaikan fakta bahwa industrialisasi abad ke-19 di Eropa dilandaskan pada suatu pola ekonomi ekstraktif berbasis komoditas dan bahan baku yang diakumulasi dari negeri-negeri koloni Eropa di luar kawasan Eropa. Artinya, historiografi tentang abad ke-19 Eropa telah kehilangan, atau menghilangkan, satu elemen penjelas yang sangat krusial. Yaitu, rantai jaringan eksploitatif ke luar kawasan Eropa yang telah membentuk abad ke-19 Eropa sebagai “stabil, damai dan tenang” dan bergerak menuju pertumbuhan ekonomi. Kutub-kutub persoalan ini menegaskan bahwa penyelidikan tentang abad ke-19 tidak dapat dilepaskan dari cara memahami periode itu.
B. Abad ke-19 dalam Historiografi Indonesia
Selama ini, abad ke-19 dalam historiografi Indonesia telah dikaji menurut perspektif Indonesiasentrisme yang kuat, tetapi ambivalen. Kajian-kajian abad itu diarahkan untuk memenuhi kebutuhan akan suatu imajinasi masa lalu yang menyatukan, yang dapat dipakai sebagai instrumen penyatuan Indonesia lebih kini dalam bingkai kebangsaan, yaitu Indonesia merdeka. Salah satu caranya adalah dengan membentuk kesamaan ancaman dari entitas-entitas kolonial khususnya Eropa. Akibatnya, semua hal yang bernuansa maupun berkaitan dengan entitas kolonial dipandang sebagai sumber ancaman yang harus dilawan dan dihilangkan, atau dijadikan titik-pijak perlawanan. Stategi ini menghadirkan konsep Indonesia-sentrisme sebagai nasionalisme totalitarian. Ia mengabaikan adanya silang pengaruh antara elemen Eropa kolonial dengan elemen pribumi feodal. Strategi itu juga mengabaikan kemungkinan bahwa Indonesia-sentrisme pun memuat elemen-elemen Eropa-sentrisme di dalam konstruksinya.
Adalah menarik bahwa dalam historiografi Indonesia-sentris sejak 1970an, penempatan abad ke-19 mengalami pergeseran pemaknaan dan cara pandang. Buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) edisi pertama (1974) menempatkan abad ke-19 sebagai bab tersendiri dengan judul “Abad Kesembilan belas ±1800–1900”. Dalam seri SNI edisi pertama itu, abad ke-19 dimaknai sebagai “periode antara”. Yaitu, antara abad ke-16, 17, 18, dengan abad ke-20. Antara babag panjang yang menciptakan silang-budaya sejak perjumpaan pertama bangsa-bangsa Nusantara dengan bangsa Barat di akhir abad ke-16 hingga berakhirnya masa Persekutuan Dagang Hindia Timur (Veerenigde van Oost-Indische Compagnie, VOC) di akhir abad ke-18 (lihat Denys Lombard, 2005), dengan babag ketika berbagai kelompok etnis di Nusantara mulai mengalami kesadaran kolektif tentang status-diri sebagai bangsa terjajah. Abad ke-19 sebagai “periode antara” dalam SNI 1974 dapat dianggap “kunci” karena, meskipun tidak dilabeli sebagai “jaman penjajahan” oleh para penyusun jilid itu, abad ke-19 diuraikan sebagai “pokok (mainstream)” perspektif dalam memahami dan memaknai seluruh pengaruh kekuasaan Barat di Nusantara (Sutjipto, 1974: xxiii).
Abad ke-19 dalam SNI 1974 diuraikan dalam bingkai hubungan antara penguasa-penguasa tradisional di Nusantara dengan kekuasaan Barat. Ia diperlakukan serupa jembatan yang menghubungkan model lama interaksi penguasa tradisional dengan entitas Eropa pada abad ke-16, 17 dan 18 yang relatif bersifat timbal-balik, dengan model baru yang partikular. Yaitu sebuah model interaksi yang semakin didominasi oleh kekuatan kekuasaan Eropa. Akibatnya, terjadi penolakan dan perlawanan dari para penguasa tradisional dan rakyat mereka, khususnya terhadap “segi-segi yang memberatkannya, seperti pajak, pengerahan tenaga kerja, dan pemakaian tanah rakyat” (ibid.). Meskipun SNI 1974 menggambarkan abad ke-19 sebagai bergerak menuju dominasi kekuasaan Eropa yang kemudian memicu perlawanan pribumi, namun cara SNI 1974 menggambarkan hal itu menegaskan adanya sifat dialektis. Yaitu bahwa penguatan dominasi kekuasaan Eropa pada abad ke-19 merupakan hasil dari “interaksi yang semakin intensif” antara elemen penguasa Eropa dengan elemen penguasa pribumi. Artinya, perspektif tentang abad ke-19 dalam SNI 1974 bukanlah perspektif dikotomis yang tiba-tiba dan serta-merta membenturkan ekspansionis Barat vis a vis nasionalis pribumi. Perspektif SNI 1974 menonjolkan proses interaktif dalam persekongkolan kekuasaan elit Eropa dengan elit penguasa pribumi. Dari persekongkolan kekuasaan elit Eropa dan elit pribumi itulah kolonialisme yang menyengsarakan rakyat, lahir!
Pandangan tentang abad ke-19 berubah dalam buku SNI edisi pemutakhiran (2008) maupun dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah (IdAS, 2012). Dalam dua terbitan itu, abad ke-19 ditempatkan dalam satu kesatuan kerangka konsep periodisasi dengan abad ke-16, 17 dan 18.
Artinya, sejak perjumpaan pertama bangsa Eropa dengan bangsa-bangsa di Nusantara sampai dengan terbentuknya hegemoni kekuasaan Eropa di Nusantara dimaknai sebagai satu kesatuan historis. SNI edisi pemutakhiran sebenarnya hanya menggabungkan apa yang dalam SNI 1974 diklasifikasikan sebagai Jilid 3 dan Jilid 4, menjadi satu jilid, yaitu Jilid IV. Namun penggabungan ini diberi label baru yaitu “Kemunculan Penjajahan di Indonesia”. Dengan demikian ada asumsi bahwa sejak pertama berjumpa dengan bangsa-bangsa di Nusantara, bangsa Eropa telah menghadirkan praktik-praktik hegemonik kolonialisme meskipun institusionalisasi praktikpraktik hegemonik itu baru terjadi pada abad ke-19 dan meskipun pengaruh hegemoni Eropa itu tidak sama atau merata di wilayah-wilayah Nusantara yang berbeda (Leirissa, 2008: xx).
Sementara itu IdAS, yang memakai cakupan periodisasi yang sama dengan SNI edisi pemutakhiran dalam memaknai abad ke-19, juga mengasumsikan bahwa perjumaan dengan bangsa Eropa sejak awal telah melahirkan apa yang disebut kolonisasi sekaligus memicu perlawanan dari penduduk Nusantara. Sebagaimana tergambar dalam bab-bab IdAS Jilid 4, apa yang disebut “Kolonisasi dan Perlawanan” tidak merujuk pada satu dimensi temporal yang spesifik, melainkan tersebar dalam abad ke-16, 17, 18 dan 19. Empat abad ini tergambarkan dalam IdAS sebagai periode yang sangat dinamis, hiruk-pikuk dan campur aduk antara gejala kolonialisme dan bentuk perlawanannya, sehingga memunculkan suatu struktur historis yang kacau. Dengan keramaian tematik Jilid 4 IdAS itu, abad ke-19 menjadi tenggelam dan tidak tampak sebagai satu periode yang partikular dalam konstruksi sejarah Indonesia. Hal ini sangat kontras khususnya dengan SNI edisi pemutakhiran maupun apalagi dengan SNI 1974.
Historiografi Indonesia-sentris tentang abad ke-19 sebagaimana telah diuraikan, menggendong sejumlah butir ambivalensi. Pertama, titik-tolak kebutuhan akan abad ke-19 dalam edisi-edisi SNI maupun IdAS terfokus pada pencarian akar-akar kebangsaan (nationood). Akarakar itu digali dari suatu muara yang dianggap dapat menyatukan, yaitu ancaman kolektif dari praktik kolonialisme Barat. Akar-akar kebangsaan di abad ke-19 menjadi elemen sangat penting untuk menjelaskan berkobarnya gagasan, semangat dan gelora nasionalisme abad ke-20. Namun, persoalannya justru bahwa upaya menggali makna abad ke-19 terlalu difokuskan pada pencarian akar kebangsaan. Akibatnya, ia melupakan aspek-aspek yang membentuk institusi “kenegaraan” (statehood) yang, nantinya jelang pertengahan abad ke-20, akan menjadi salah satu elemen paling penting dari Indonesia merdeka. Meskipun baik SNI maupun IdAS mengulas sektor-sektor tertentu yang sangat jelas beroperasi dalam suatu pola institusional tertentu, misalnya sektor ekonomi, sektor pelayaran, dan sektor administrasi pemerintahan, namun ulasan itu tidak diletakkan dalam bingkai infrastruktur kenegaraan. Padahal kita tahu bahwa eleman kebangsaan dan elemen kenegaraan akan bersama-sama membentuk dua sisi mata uang yang, nanti jelang pertengahan abad ke-20, kita pahami sebagai nation-state Indonesia. Kajian tentang abad ke-19 baik dalam SNI maupun IdAS kehilangan paradigma statehood ini.
Kedua, dalam bingkai abad ke-19 sebagai “periode antara” yang menyaksikan bertumbuhnya dominasi kekuasaan Eropa, konsep Indonesia-sentris SNI maupun IdAS mengedepankan paradigma kemunculan penjajahan Barat di Nusantara. Penekanan paradigma ini tidak salah. Meskipun demikian, paradigma tersebut terasa ambivalen jika diingat bahwa justru semua aspek institusional negara yang dibangun pada abad ke-19 ini nantinya akan diwarisi secara letterlijk oleh negara Indonesia merdeka di tahun 1945. Sebut saja, institusi birokrasi dan administrasi pemerintahan, institusi hukum dan produk perundangan, institusi-institusi ekonomi, institusi ilmu pengetahuan, infrastruktur publik seperti jalan raya, rel kereta api, jembatan, pelabuhan dan perkapalan. Fondasi semua institusi itu dibangun pada abad ke-19. Artinya, jika dibaca dari perspektif kenegaraan postfactum, abad ke-19 memiliki partikularitas yang sangat kuat dalam membentuk konsep statehood Indonesia abad ke-20 (Cribb, 1994: 1–2). Abad ke-19 Indonesia tidak dapat digambarkan hanya dalam satu perspektif narasi, yaitu penjajahan yang kemudian memicu semangat kebangsaan. Abad ke-19 juga menyaksikan kelahiran fondasi-fondasi institusional kenegaraan—apapun nama dan tujuan awalnya—yang nanti akan diwarisi oleh Indonesia merdeka.
Ketiga, historiografi Indonesia-sentris sering menghadirkan abad ke-19 dengan pencirian suatu politik kolonial yang bersifat memecah-belah bangsa-bangsa di Nusantara. Politik kolonial itu, dikenal dengan istilah divide et impera atau cerai-beraikan dan kuasai! Penggambaran ini tidak keliru jika dilihat bahwa sejak jaman VOC hingga Perang Aceh, penguasa Belanda selalu melakukan taktik adudomba antar-pimpinan tradisional di Nusantara (lihat Sartono Kartodirdjo, 1999: 102; 232; 374). Meskipun demikian, abad ke-19 juga menyaksikan terbentuknya konsepsi kesatuan pulau-pulau di Nusantara di bawah payung administrasi kolonial. Payung penyatuan ini mewujud antara lain melalui jalur pelayaran niaga yang “tanpa sengaja” menciptakan konsepsi kartografis tentang teritorial Hindia Belanda (Campo, 1994; Fakih, 2012). Nantinya, lagi-lagi, keseluruhan teritorial Hindia Belanda inilah yang akan diklaim oleh Republik Indonesia sebagai yurisdiksinya. Jadi, abad ke-19 memuat elemen yang ambivalen. Di satu sisi, abad ke-19 merupakan periode keterpecahbelahan kebangsaan. Di sisi lain, ia periode yang menyaksikan terbentuknya fondasi-fondasi kesatuan institusional di berbagai bidang.
C. Abad ke-19 dalam Kesegaran Perspektif
Jilid 5 ini dilandaskan pada keyakinan bahwa abad ke-19 harus dihadirkan dalam perspektif pencarian kritis atas akar-akar institusional kenegaraan. Tujuannya dua. Pertama, untuk memberikan perspektif yang lebih segar terhadap kajian tentang abad ke-19 dalam sejarah Indonesia. Kesegaran perspektif diperlukan untuk melengkapi narasi tentang abad ke-19 yang sudah ditawarkan baik oleh SNI 1974, SNI edisi pemutakhiran, maupun IdAS, yang secara keseluruhan berfokus pada penggalian akar-akar kebangsaan. Kedua, penyajian abad ke-19 dari perspektif kenegaraan diharapkan akan membantu menjelaskan babagan sejarah Indonesia abad ke-20, khususnya yang berkaitan dengan kinerja institusi-institusi negara sejak Proklamasi Kemerdekaan 1945. Dalam kehidupan sehari-hari sering muncul pertanyaan. Misalnya, mengapa Indonesia—yang sudah 80 tahun merdeka—masih memberlakukan sistem hukum warisan kolonial? Dari mana dan bagaimana sistem hukum itu terbentuk? Pertanyaan serupa juga muncul terkait birokrasi pemerintahan.
Dengan berfokus pada pencarian kritis atas akar-akar institusional kenegaraan, Jilid ini bermaksud menawarkan dimensi lain dari konsepsi Indonesia-sentrisme dalam penulisan sejarah.
Sebagaimana kita pahami selama ini, Indonesia-sentrisme dipahami sebagai sebuah pendekatan dalam penulisan sejarah yang bertitik-tolak pada perspektif dan kepentingan Indonesia. Namun, pendekatan tersebut sering dibatasi hanya sebagai suatu model strategi kebangsaan. Padahal secara umum dapat dikatakan bahwa konsep keindonesiaan dalam arti politik kebangsaan nasionalis belum dapat diidentifikasi pada abad ke-19. Pembayangan tentang suatu kesatuan penduduk yang menghuni kepulauan Nusantara di bawah satu payung identitas “Indonesia”, selama ini dianggap sebagai fenomena abad ke-20. Dilihat secara post-factum, perspektif kebangsaan nasionalis abad ke-20 bahkan sering menyebut aneka pergerakan sosial dan politik yang terjadi pada abad ke-19 sebagai “dinamika kedaerahan’, atau istilah lain seperti “ethnic nationalism” (nasionalisme etnik).
Hal itu menegaskan bahwa berbagai pergerakan di abad ke-19 itu dimaknai dan dikonsepsikan hanya berdasarkan kesatuan etnis, bukan kebangsaan Indonesia.
Jilid ini berargumen bahwa Indonesia-sentrisme juga memiliki dimensi kenegaraan.
Melalui rekonstruksi atas institusionalisasi berbagai aspek kehidupan abad ke-19, Jilid ini menunjukkan bahwa di bawah payung kolonialisme yang gambarannya serba muram itu dunia koloni Belanda di Timur berkenalan dan beradaptasi ke dalam suatu model modernisasi (Chandra, 1980: 272). Aktivitas perdagangan yang pada abad-abad sebelumnya berlangsung melalui berbagai jalur dan instrumen, pada abad ke-19 mulai membentuk pola yang oleh ilmu ekonomi modern abad ke-21 dapat diklasifikasikan sebagai ekonomi moneter dengan sirkulasi uang, penerimaan pajak dan arus keluar modal yang lebih terstruktur (Zanden & Marks, 2012: 109–112).
Pembedaan sistem pemerintahan, yaitu langsung dan tidak langsung (direct and indirect rule), antara wilayah Jawa dan luar Jawa yang diciptakan oleh pemerintahan Belanda di Batavia, pada akhirnya justru menciptakan apa yang oleh sejarawan Vincent Houben disebut sebagai “transimperial connections” (Houben, 2021: 54). Dengan kata lain, transformasi birokrasi pemerintahan dan sistemnya terus terjadi dan membentuk kesatuan berbagai wilayah melalui jaring kesamaan sistem. Demikian pula elemen-elemen lain seperti sistem hukum, model-baru produksi pengetahuan, dan aneka daya-dukung pelayanan publik khususnya infrastruktur keras seperti jalan raya dan kereta api, tumbuh dan berkembang pada abad ke-19 menjadi pilar-pilar negara kolonial yang disebut Hindia Belanda.
Disadari bahwa upaya menghadirkan Indonesia-sentrisme dari dimensi kenegaraan akan langsung menimbulkan pertanyaan skeptis. Hal ini karena dimensi kenegaraan Indonesia abad ke-19 tidak dapat menghindarkan diri dari fakta-fakta tentang negara kolonial Hindia Belanda. Namun justru di sinilah terletak aspek continuity atau “keberlanjutan” sejarah Indonesia. Sementara dimensi kebangsaan Indonesia-sentrisme menyajikan batasan-batasan change atau “perubahan” melalui periodisasi politik-ideologis—yang kadang-kadang menimbulkan kesan keterputusan dalam interpretasi historiografi—, dimensi kenegaraan diharapkan melengkapi sisi-lain dari mata uang Indonesia-sentrisme itu.
3. Isi Jilid Ini
Jilid 5 mengulas tujuh pilar negara kolonial abad ke-19. Ketujuh pilar itu adalah (1) sistem politik dan pemerintahan; (2) sistem hukum, perundang-undangan dan peradilan; (3) sistem perekonomian; (4) infrastruktur publik; (5) sistem sosial dan keagamaan; (6) peperangan dan aspek kemiliteran; dan (7) proses produksi pengetahuan. Tujuh pilar tersebut merupakan legasi atau warisan paling nyata dari negara kolonial abad ke-19. Fondasi pilar-pilar itu muncul dan berkembang pada abad ke-19 meskipun sebagian di antaranya (misalnya sistem administrasi pemerintahan, sistem ekonomi, infrastruktur publik dan proses produksi pengetahuan) akan mencapai puncak perkembangannya pada awal abad ke-20. Tujuh pilar itu pula nantinya, di abad ke-20, akan menjadi kerangka institusional negara Indonesia merdeka.
Bab 1 oleh Retno Winarni mengulas institusi politik dan administrasi pemerintahan. Bab ini dimulai dengan masa transisi kekuasaan yang kritis. Pasca bubarnya Persekutuan Dagang Hindia Timur (Vereeniging van Oost-Indische Compagnie, VOC) tahun 1799, administrasi pemerintahan model Barat di wilayah Hindia-Belanda/Indonesia diambil alih oleh sebuah entitas politik bernama Republik Bataaf. Namun situasi ini hanya berlangsung kira-kira sampai dengan tahun 1808. Menyusul penaklukan Belanda oleh Napoleon Bonaparte dari Perancis, wilayah koloni Belanda diambil alih oleh Prancis. Untuk beberapa tahun (sekitar 1808–1811), HindiaBelanda/Indonesia berada di bawah kekuasaan Prancis. Kemudian menyusul perubahan konstelasi kekuatan negara-negara di Eropa, sekali lagi kekuasaan atas Hindia-Belanda/Indonesia dialihkan kepada kekuatan imperial Eropa lainnya, yaitu Kerajaan Inggris Raya. Kekuasaan Inggris di Indonesia berlangsung kurang-lebih sampai tahun 1815. Setelah kekuasaan Inggris berakhir, Hindia-Belanda kembali ke tangan Belanda. Sepanjang sekitar delapan dekade selanjutnya (yaitu hingga 1890an), negara kolonial Hindia-Belanda mengalami penguatan yang signifikan dalam hal sistem pemerintahan. Entitas administrasi kolonial tumbuh terbentuk di berbagai wilayah di kepulauan Indonesia. Dengan hirarki wewenang atas banyak bidang sebagian bersifat terpusat di Batavia, entitas administrasi kolonial itu memegang kekuasaan pemerintahan yang semakin dominan di wilayah kerja masing-masing sesuai jenjangnya. Kesatuan wewenang administrasi kolonial secara tidak langsung menciptakan suatu cakupan kesatuan teritorial politik. Namun, di sisi lain, menguatnya administrasi kolonial di bawah satu kesatuan teritorial politik mendesak dan meredupkan pengaruh kerajaan-kerajaan yang sebelumnya telah mengendalikan kekuasaan atas wilayahnya masing-masing.
Bab 2 oleh Harto Juwono menguraikan tumbuh dan berkembangnya sistem hukum, sistem perundang-undangan dan sistem peradilan negara kolonial. Aspek hukum merupakan bukti paling nyata adanya keberlanjutan (continuity) dari negara Hindia-Belanda ke negara Republik Indonesia nantinya. Aspek hukum juga menjadi salah satu “infrastruktur” ketatanegaraan modern yang paling penting. Ia merupakan “aturan main” sebuah tata-negara modern yang memungkinkan mekanisme check and balance atas kekuasaan. Hal ini tidak terjadi dalam model institusi politik tradisional yang kekuasaannya dipegang oleh satu orang tanpa mekanisme check and balance.
Dalam bab ini, aspek hukum itu diuraikan ke dalam tiga bagian yaitu sistem hukum, sistem perundang-undangan, dan sistem peradilan (yang disebut juga sebagai sistem litigasi atau penuntutan). Perkembangan ketiga bagian dari aspek hukum itu sangat dipengaruhi oleh perubahan situasi politik dan kekuasaan Hindia-Belanda. Maka sistem hukum dalam bingkai negara Hindia-Belanda abad ke-19 dimulai dengan menguatnya pengaruh Prancis, yaitu melalui apa yang disebut Code Civil Napoleon. Dari pengaruh Prancis ini, Hindia-Belanda mendapatkan penetapan prinsip dasar suatu sistem hukum. Demikian pula, dari pengaruh Inggris HindiaBelanda mendapatkan warisan ketentuan berupa penghapusan hukuman mati. Menyusul berbagai reformasi sistem hukum di Belanda dan setelah pemberlakuan azas konkordansi, yaitu penyetaraan instrumen hukum di Hindia-Belanda dengan instrumen serupa di Belanda, disusunlah berturutturut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Penguatan aspek hukum negara kolonial selanjutnya berupa pembentukan lembaga-lembaga pengadilan pada berbagai jenjang (pengadilan tinggi, pengadilan rendah dan pengadilan lokal) dan berbagai jenis (pengadilan pidana, pengadilan tata usaha/dagang dan pengadilan ulama/agama). Sebagaimana sistem politik pemerintahan (Bab 1), penguatan sistem hukum Barat di Indonesia pada abad ke-19 juga menyebabkan menyempitnya pengaruh sistem hukum tradisional yang sudah ada di berbagai tempat.
Bab 3 oleh Dias Pradadimara mengkaji sistem perekonomian pada abad ke-19. Di akhir abad ke-18 terjadi peningkatan produksi padi di Jawa. Di wilayah kepulauan Nusa Tenggara arus perdagangan berputar di dalam jejaring perdagangan (trading circuits) yang dikuasai tiga kelompok yakni Makassar, Bugis dan Cina (Sutherland 2012). Perairan kepulauan Indonesia di akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 dipenuhi para bajak laut yang mengancam baik kapal-kapal dagang maupun masyarakat pantai yang tinggal di pesisir pulau-pulau. Budak jelas merupakan salah satu komoditas yang dirampas, diperebutkan, dipertukarkan dan diperjual- belikan utamanya di wilayah kepulauan bagian timur Indonesia. Sementara itu, tidak ada satu bentuk penjajahan ekonomi di bawah Hindia-Belanda yang lebih dibicarakan daripada cultuurstelsel. Akan tetapi sebenarnya “kebijakan” ini tidak pernah diformulasikan dengan jelas apalagi baku. Sejak 1847 perdagangan Makassar ke Singapura juga meningkat tajam, meski demikian peranan Singapura sebagai pelabuhan tujuan bagi kapal-kapal dari pelabuhan lain di wilayah kepulauan ini juga meningkat dibanding peranan pelabuhan Makassar. Meningkatnya penggunaan kapal uap, meski tidak pernah menjadi dominan di perairan Indonesia selama abad ke-19, semua mencerminkan semakin menguatnya negara kolonial dengan memanfaatkan keunggulan teknologi dan informasi, sesuatu yang sulit ditandingi oleh baik penguasa-penguasa pribumi ataupun para bajak laut. Akhir dari kebijakan cultuurstelsel tidak terjadi secara langsung dan mendadak, melainkan bertahap.
Melalui kebijakan yang baru ini bermunculan perusahaan yang menjadi pemilik perusahaan perkebunan. Meningkatnya jumlah perusahaan yang berusaha di Indonesia berarti pula meningkatnya jumlah modal yang ditanamkan. Di tahun 1863 berdiri NIHB dan NIEM yang adalah dua lembaga keuangan di koloni yang sepenuhnya beroperasi sebagai bank, yang berbeda dengan DJB. Selain timah di Pulau Belitung dicari juga batubara karena peningkatan jumlah kapal uap yang melintasi kepulauan Nusantara membutuhkan ketersediaan batubara, selain juge peningkatan jumlah pabrik yang membutuhkan bahan bakar yang sama. Dibukanya Terusan Suez di tahun 1869 yang menyingkat secara drastis lama perjalanan dari Eropa ke Indonesia, meningkatnya penggunaan kapal uap, mulai beroperasinya KPM dan pelarangan perbudakan sejak 1860 menggeser pola yang selama ini juga sudah berubah akibat munculnya Singapura sebagai pelabuhan transit sejak 1819 dan dijadikannya Makassar sebagai pelabuhan bebas di tahun 1840.
Bab 4 oleh Akhmad Ryan Pratama, Singgih Tri Sulistiyono dan Bambang Subiyakto mengulas pembangunan infrastruktur publik khususnya jalan raya, jalan kereta api, pelabuhan dan pelayaran, serta jalur transportasi sungai. Fasilitas-fasilitas infrastruktur tersebut penting dalam mendukung jalannya roda ekonomi, perubahan sosial, dan pertahanan negara kolonial. Fasilitasfasilitas infrastruktur merupakan produk budaya material yang secara nyata diwariskan oleh negara Hindia-Belanda kepada negara Republik Indonesia. Abad ke-19 menyaksikan pembangunan berbagai fasilitas infrastruktur tersebut. Setidaknya terdapat 3 jenis infrastruktur penting yang menjadi fokus pemerintah kolonial, yaitu jalan raya, rel kereta api, dan jembatan.
Pada awal abad ke-19, pembangunan jalan di Hindia-Belanda melonjak pesat, terutama di bawah Gubernur Jenderal H.W. Daendels. Ia membangun Jalan Raya Pos Besar sepanjang AnyerPanarukan sejak 1808 untuk keperluan militer dan ekonomi, mempersingkat perjalanan pos dari Batavia ke Surabaya menjadi 6-7 hari. Proyek ini menggabungkan jalan lokal, tetapi tantangan geografis seperti pegunungan dan rawa menyebabkan banyak pekerja sakit atau meninggal akibat kerja paksa. Selain itu, pemerintah kolonial tidak membangun semua infrastruktur itu dari nol.
Sebagai contoh, ketika Gubernur Jenderal Daendels menyatakan rencananya untuk membangun Jalan Raya Pos dari Anyer hingga Panarukan, ia tidak sepenuhnya membangun jalan itu pada setiap penggalan seluruhnya. Pada beberapa wilayah sudah ada penggalan jalan yang merupakan jalur lalu-lintas aktif penduduk. Dalam kasus demikian, apa yang dilakukan oleh proyek Daendels adalah menghubungkan dan memperlebar penggalan-penggalan jalan yang sudah ada. Demikian pula dengan fasilitas infrastruktur pelabuhan, yang sebagian sudah ada sejak sebelum menjadi proyek pembangunan infrastruktur kolonial. Meskipun tidak membangun setiap infrastruktur itu dari nol, peran pemerintah kolonial sangat besar. Jalan raya dan jalur kereta api khususnya di Pulau Jawa merupakan warisan besar infrastruktur yang dibangun pada abad ke-19.
Departemen Pekerjaan Umum (Burgerlijke Openbare Werken, BOW), didirikan 1854, memimpin modernisasi infrastruktur, didukung insinyur teknik sipil yang menerapkan teknologi Belanda. Pelabuhan menjadi sarana penting pelayaran yang menghubungkan mobilitas antarpulau, khususnya untuk keperluan perdagangan. Pemerintah kolonial memperkuat pelabuhanpelabuhan besar yang sudah ada sebelumnya seperti Tanjung Priok, Tanjung Perak, Pelabuhan Makassar, Bagan Siapi-api, dan sebagainya. Keterhubungan laut yang semakin intensif di bawah kekuasaan negara kolonial secara tidak langsung menciptakan kesatuan teritorial wilayah HindiaBelanda. Sementara itu, transportasi sungai pada abad ke-19 masih berfungsi sangat penting. Jasa transportasi sungai dirasakan pada lingkup lokal, regional, nasional maupun internasional.
Tersedianya jasa transportasi sungai terbukti memperluas pasar perdagangan, menstabilkan harga barang, dan mendorong daerah-daerah melakukan spesialisasi produksi sesuai potensi sumberdaya masing-masing.
Bab 5 oleh Jajat Burhanuddin dan Faisal Arifin mengulas struktur sosial dan dinamka keagamaan. Abad ke-19 menyaksikan terbentuknya kelas sosial dan kelompok-kelompok keagamaan yang prosesnya berlangsung melalui peran pemerintah kolonial. Kelas ambtenaar (pegawai kolonial) dan priyayi (elit lokal) berperan penting dalam mempertahankan dan menjalankan sistem kolonial. Ambtenaarterdiri dari pegawai Eropa dan pegawai pribumi (pangreh praja). Ambtenaar pribumi memiliki posisi penting dalam administrasi lokal tetapi terjebak antara loyalitas terhadap pemerintah kolonial dan masyarakat lokal. Struktur birokrasi kolonial membedakan status sosial berdasarkan ras, dengan Eropa berada di puncak, diikuti oleh Timur Asing (Cina, Arab, India) dan pribumi. Klasifikasi yang dilegalkan menjelang akhir abad ke-19 ini menciptakan ketimpangan sosial yang jelas.
Sementara itu, dinamika keagamaan juga menjadi bagian penting. Jaringan intelektual Nusantara dengan Mekkah yang intensif pada abad ke-19 telah menciptakan gelombang kebangkitan Islam. Kepulangan ulama dari Mekkah yang mendirikan pesantren menjadi faktor penting dalam kebangkitan ini. Di Jawa, munculnya kelompok "bongso poetihan" sebagai cikal bakal santri menjadi reaksi terhadap “abangan” yang mengedepankan budaya lokal dan tradisi yang tidak terlalu ortodoks sebagaimana dikatakan antropolog Clifford Geertz (1960). Dinamika ini juga terkait dengan gerakan pemurnian Islam sebagaimana dapat dilihat pada gerakan kaum Padri di Minangkabau. Di sisi lain, agama Kristen Protestan dan Katolik mengalami perkembangan lanjut yang pesat pada abad ke-19. Penyebaran Kristen Protestan berlangsung khususnya melalui pembangunan gereja, sekolah, dan literatur lokal. Penyebaran agama Katolik pada abad ke-19 mendapatkan dukungan dari pemerintah khususnya pada era Daendels, meskipun terbatas pada wilayah tertentu seperti Flores, Timor, dan Kalimantan. Buddhisme pada abad ke-19 juga berkembang pesat di Hindia-Belanda. Komunitas Tionghoa berperan penting dalam mempertahankan ajaran Buddha melalui organisasi seperti Java Buddhist Association (JBA) dan Batavia Buddhist Association (BBA). Buddhisme di Indonesia mulai diterima di kalangan Tionghoa peranakan dan terorganisir dalam bentuk loji dan tempat ibadah di berbagai kota besar.
Nantinya gerakan ini juga dipengaruhi oleh Theosophical Society yang memperkenalkan Buddhisme Theravada ke Indonesia. Bab ini menunjukkan bagaimana kolonialisme, struktur sosial dan dinamika keagamaan pada abad ke-19 berkembang saling terkait. Keterkaitan itu membentuk identitas sosial-keagamaan yang kompleks. Pada akhirnya, keterkaitan itu memperkuat karakteristik Indonesia sebagai masyarakat yang plural dari segi struktur sosial dan identitas keagamaan.
Bab 6 oleh Ida Liana Tanjung berfokus pada upaya penaklukan berbagai kerajaan Nusantara oleh kekuatan militer Belanda, yang berdampak pada penyatuan teritorial HindiaBelanda. Secara spesifik, bab ini mengulas Perang Padri, Perang Tondano II, Perang Jawa, Perang Bali, Perang Banjar, Perang Aceh, Perang Batak, Pemberontakan Petani Banten, Gerakan Ratu Adil dan Gerakan Sosial lainnya. Untuk setiap kasus peperangan dan/atau pemberontakan itu diuraikan sebab-sebabnya, jalannya, dan dampaknya. Kasus-kasus peperangan yang diuraikan pada bab ini bermula dari ketidaksepahaman antara pihak pemerintah Hindia-Belanda dengan pihak penguasa lokal, umumnya terkait aspek ekonomi terutama dalam hal perjanjian perdagangan dan konsesi. Meskipun pemicu perang merupakan faktor yang lingkup perkaranya terbatas, peristiwa peperangan yang kemudian berkobar hampir selalu mencakup aspek-aspek yang luas.
Perang yang terjadi antara pemerintah kolonial Belanda dengan masyarakat lokal dari berbagai daerah di Indonesia pada abad ke-19 mendorong terbentuknya identitas-identitas baru. Di beberapa wilayah Indonesia, konsepsi keindonesiaan bertumbuh melalui kesadaran kebangsaan atau nasionalisme. Dalam hal ini, kehadiran entitas penguasa kolonial telah berfungsi sebagai faktor eksternal bagi tumbuhnya nasionalisme keindonesiaan. Selain itu, penaklukan kelompok pribumi oleh pihak penguasa Belanda sering diikuti dengan tindakan pengasingan para pemimpin pribumi dan para pengikutnya, ke daerah lain. Pengasingan antar-daerah—yang dimaksudkan oleh Belanda sebagai bentuk hukuman—secara tidak langsung justru menimbulkan perjumpaan dan interaksi antar-kelompok etnis di Indonesia. Hal ini mendorong menguatnya perasaan senasib yang menjadi fondasi penting bagi konsep perlawanan dan nasionalisme.
Bab 7 oleh Rhoma Dwi Aria Yuliantri mengulas proses produksi pengetahuan dan institusiinstitusi pengetahuan di abad ke-19. Kekuasaan dan penguatan negara kolonial pada abad ke-19 didukung oleh suatu model pengetahuan yang hegemonik, yang diproduksi dengan cara Barat. Bab ini mengulas berbagai peristiwa ekspedisi pengetahuan oleh para ilmuwan Barat pada abad ke-19.
Para ilmuwan Barat itu menjelajahi wilayah di berbagai kepulauan Indonesia untuk mengidentifikasi, mencatat/mendokumentasikan dan mengkategorikan aneka hal sesuai minat akademik mereka. Sebut saja Alfred Russel Wallace asal Inggris yang menjelajah pulau-pulau di Indonesia untuk memetakan pengetahuan tentang flora dan fauna; Thomas Stamford Raffles asal Inggris yang adalah letnan gubernur jendral sekaligus peminat dan ahli di bidang botani; Heinrich
Zollinger asal Swiss yang seorang botanis; serta Eugéne Dubois seorang arkeolog. Selain peristiwa-peristiwa ekspedisi, bab ini juga menguraikan lembaga dan infrastruktur produksi pengetahuan. Di antaranya adalah laboratorium, kebun raya, komunitas ilmiah, dunia pers dan usaha percetakan, serta institusi pendidikan. Bab ini mengupas pula reaksi para intelektual pribumi khususnya dari lingkungan keraton terhadap menguatnya institusi-institusi produksi pengetahuan kolonial.
Referensi
Campo, J.a. (1994). “Steam Navigation and State Formation”, dalam The Late Colonial State in Indonesia: Political and Economic Foundations of the Netherlands Indies 1880 – 1942, ed. Robert Cribb. Leiden: KITLV, hlm. 11–29.
Chandra, Bipan. (1980). “Colonialism, Stages of Colonialism, and the Colonial State”, Journal of Contemporary Asia 10 (3), 272–285. https://doi.org/10.1080/00472338085390151.
Cribb, Robert. (1994). “Introduction: The Late Colonial State in Indonesia”, dalam dalam The Late Colonial State in Indonesia: Political and Economic Foundations of the Netherlands Indies 1880 – 1942, ed. Robert Cribb. Leiden: KITLV, hlm. 1–9.
Fakih, Farabi. (2012). “Representations of an Early Dutch Colonial State in the East, 1778–1826”, Lembaran Sejarah 9(2), 1–16
Kartodirdjo, Sartono. (1999). Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500 – 1900. Dari Emporium Sampai Imperium Jilid I. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Leirissa, R.Z. (2008). “Prakata Editor Jilid Edisi Pemutakhiran”, dalam Sejarah Nasional Indonesia Edisi Pemutakhiran. IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia, ed. R.P. Soejono & R.Z. Leirissa. Jakarta: Balai Pustaka, hlm. xx.
Lombard, Denys. (2005). Nusa Jawa: Silang Budaya. Kajian Sejarah Terpadu Bagian I: BatasBatas Pembaratan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Price, Richard. (1996). “Historiography, Narrative and the Nineteenth Century”, Journal of British Studies 35, 220–256.
Schroeder, Paul W. (1986). “The 19th-Century Internasional System: Changes in the Structure”, World Politics 39 (1), 1–26.
Sutjipto, F.A. (1974). “Prakata Editor Jilid”, dalam Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV: Abad Kesembilan Belas ±1800–1900, ed. ......... Jakarta: ....... hlm. ....
Zanden, Jan Luiten van & Daan Marks. (2012). Ekonomi Indonesia 1800 – 2010: Antara Drama dan Keajaiban Ekonomi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas & KITLV-Jakarta.
SISTEMATIKA PENULISAN
BAB 1 Terbentuknya Negara Kolonial
Pengantar
1. Transisi Politik Setelah Bubarnya VOC 1800-1809
2. Perang Napoleon di Eropa dan lahirnya Administrasi Perancis di Nusantara 1809-1811
3. Nusantara di Bawah Kekuasaan Inggris 1811-1815
4. Penaklukan dan Imajinasi Kesatuan Hindia Belanda 1815-1890an:
a. Jawa dan Kepulauan Sunda Kecil
b. Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku
5. Sistem Administrasi Hindia Belanda
6. Kerajaan dan Kesultanan Nusantara di Bawah Administrasi Kolonial
Penutup
Bab 2 Perkembangan Hukum Positif Barat di Indonesia
Pengantar
1. Code Civil Napoleon dan Penerapannya
2. Proses Konkordansi
3. Perkembangan Perundangan
4. Pembagian Lembaga Peradilan
5. Wilayah Swapraja dan Swatantra
Penutup
Bab 3 Sistem dan Institusi Ekonomi
Pengantar
1. Dari Perdagangan ke Sistem Sewa
2. Pajak dan Institusi Perpajakan
3. Sistem Tanam Paksa
4. Investasi dan Liberalisme Ekonomi
5. Industri Perkebunan (Tembakau, Kopi, Karet, Lada)
6. Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan
Penutup
Bab 4 Fondasi Infrastruktur Publik
Pengantar
1. Infrastruktur dan Penguatan Negara Kolonial
2. Jalan Raya
3. Rel Kereta Api
4. Jembatan
5. Pelabuhan dan Perusahaan Pelayaran
6. Transportasi Sungai
Bab 5 Struktur Sosial dan Keagamaan
Pengantar
1. Struktur Sosial Masyarakat Kolonial Awal
a. Terbentuknya kelas Ambtenaar dan Kaum Priyayi
b. Bupati dan Penghulu
c. Klasifikasi Legal Berbasis Ras
2. Keberagaman Keagamaan
a. Komunitas Jawi di Mekkah’
b. Diaspora Komunitas Arab
c. Ulama, Kitab dan Pembelajaran Islam
d. Kebangkitan “Bongso Poetih” vs Abangan
e. Gerakan Permurnian Agama Kaum Padri
f. Persebaran Lanjut Agama Kristen Protestan dan Katolik
Penutup
Bab 6 Pemberontakan dan Perlawanan
Pengantar
1. Mengapa Muncul Pemberontakan dan Perlawanan
2. Perlawanan yang Mengubah Kekuasaan Kolonial
a. Perang Padri, 1820-1837
b. Perang Tondano II, 1808-1809
c. Perang Jawa, 1825-1830
d. Perang Bali, 1846-1849
e. Perang Banjar, 1859-1906
f. Perang Aceh, 1873-1904
g. Perang Batak, 1878-1907
h. Pemberontakan Petani Banten 1888
i. Gerakan Ratu Adil dan Gerakan Sosial Lainnya
3. Kebijakan Kolonial di Bidang Keagamaan ( Haji Ordonantie, pembentukan Departemen Pendidikan, Agama dan Industri)
4. Dampak Perang terhadap Konsepsi Keindonesiaan
Penutup
Bab 7 Pengetahuan dan Kekuasaan Kolonial 1800-1900
Pengantar
1. Ekspedisi dan Perjalan Ilmiah
a. Alferd Russel Wallace (Inggris-Garis Wallace)
b. Thomas Stamford Raffles (Inggris: Botani, Raflesia Arnoldi, Borobudur, History of Java)
c. Heinrich Zollinger (Swiss: -Botani Jawa & Sumatra)
d. Eugéne Dubois (Belanda: Trinil-Manusia Jawa)
2. Sistem dan Infrastruktur Produksi Pengetahuan
a. Persekolahan
b. Laboratorium (e.g. Centraal Geneeskunde Laboratorium a.k.a Instituut Eijkman)
c. Botanical Garden
d. Java Instituut dan Bataviaasch Genootschap
e. Percetakan
f. Pers
3. Keraton dan Perlawanan Intelektual (Jawa, Melayu-Raja Ali Haji)
PENUTUP
Negara Kolonial sebagai Footprint ke-IndonesiaanJilid 5 telah mengulas tujuh pilar institusional negara kolonial abad ke-19, meliputi sistem politik dan pemerintahan; sistem hukum, perundang-undangan dan peradilan; sistem perekonomian; infrastruktur publik; sistem sosial dan keagamaan; peperangan dan aspek kemiliteran; dan proses produksi pengetahuan. Setiap pilar itu berkembang secara cukup sistematis dalam bentuk institusi yang semakin kuat pada abad ke-19. Meskipun demikian, tidak semuanya berkembang dari nol pada abad tersebut. Infrastruktur jalan raya dan pelabuhan sudah ada di berbagai pulau dan pesisir sejak berabad-abad sebelum perjumpaan bangsa-bangsa Nusantara dengan para pedagang dan perangkat kolonial dari Eropa. Institusi politik pemerintahan juga sudah ada dan berkuasa atas berbagai wilayah di Nusantara, umumnya dalam bentuk kerajaan maupun kesultanan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengaruh kolonial Eropa terhadap berbagai elemen institusional kekuasaan pada abad ke-19 adalah pengaruh terhadap suatu masyarakat yang telah memiliki dinamika sejarahnya sendiri. Meskipun demikian, pengaruh Eropa dalam pilar-pilar itu telah membentuk kerangka institusional negara kolonial yang berkembang semakin kuat dan dominan pada abad ke-19, dan menggeser pengaruh institusi-institusi serupa yang sudah ada di Nusantara. Kekuatan institusional negara kolonial akan terus berlanjut semakin besar pada abad ke-20 yang akhirnya akan menjadi warisan bagi konstruksi institusional negara Indonesia merdeka.
Dari uraian bab-bab pada jilid ini dapat disimpulkan bahwa penguatan infrastruktur institusional negara Hindia-Belanda pada abad ke-19 merupakan poros keberlanjutan paling kuat antara negara kolonial dengan negara Indonesia merdeka. Paradigma keberlanjutan ini sedikit menggeser cara pandang dikotomis historiografi nasional selama ini, yaitu bahwa keberadaan institusi negara kolonial pada abad ke-19 sepenuhnya bersifat malicious (jahat/buruk) dan bahwa abad ke-19 melulu berisi penindasan/penjajahan oleh pihak Belanda dan perlawanan/pemberontakan oleh pihak pribumi. Meskipun tujuan negara kolonial berorientasi pada keuntungan ekonomi Belanda/Eropa (yang juga dinikmati oleh sebagian elit feodal pribumi), terbentuknya institusi-institusi negara kolonial sejatinya menciptakan “ekosistem” dan “platform” yang akan mendukung konstruksi negara Indonesia merdeka nantinya. Hal ini khususnya menyangkut terbentuknya keterjalinan hirarkis instrumen-instrumen kekuasaan. Di antaranya: penyatuan sistem administrasi pemerintahan; sentralisasi sistem dan peraturan hukum dan perundang-undangan; keterjalinan wilayah melalui moda transportasi darat, sungai maupun laut; serta didukung oleh suatu sistem produksi pengetahuan yang sama. Kesatuan institusional berbagai aspek itu secara tidak langsung menciptakan batas-batas imajiner tentang wilayah yurisdiksi negara kolonial—hal yang sangat sentral dalam konstruksi Negara Kesatuan Republik Indonesia nantinya.
Jilid 5 telah secara eksplisit dan faktual menunjukkan bahwa, sejauh menyangkut abad ke-19, konsep keindonesiaan dan Indonesia-sentrisme tidak hanya memiliki dimensi kebangsaan (nationhood), tetapi juga kenegaraan (statehood). Ketika ditinjau hanya dari dimensi kebangsaan, abad ke-19 terasa terpisah atau terputus dari abad-abad yang lain. Hal ini tampak jelas pada edisiedisi SNI terdahulu maupun di dalam IdAS, ketika jilid tentang periode 1800-1900 secara harafiah hanya diberi judul “Abad ke-19” atau judul lain yang dikotomis “Munculnya Penjajahan dan Perlawanan” sebagaimana telah diuraikan pada bagian Pendahuluan jilid ini.2 Dalam paradigma “nationhood”, abad ke-19 merupakan titik kesinambungan dengan abad-abad sebelumnya di bawah payung narasi “penjajahan Barat”. Paradigma “nationhood” juga memandang abad ke-19 hanya sebagai pretext atau latar logis terhadap apa yang akan berkobar-kobar pada abad ke-20, yaitu perlawanan terhadap kolonialisme Barat, sehingga berbagai perlawanan bersenjata oleh para penguasa lokal terhadap kekuasaan kolonial pada abad ke-19 sering hanya disebut sebagai “dinamika kedaerahan” atau “nasionalisme etnik”. Semua implikasi dari paradigma nationhood atas abad ke-19 yang selama ini mendominasi historiografi Indonesia-sentris itu diberi alternatif cara pandang dalam Jilid 5 melalui pengutamaan paradigma statehood. Dengan paradigma statehood, abad ke-19 menjadi memiliki makna yang sangat besar dan mendalam bagi dinamika institusional abad ke-20 dan bahkan hingga sekarang di abad ke-21. Dinamika itu merupakan continuity. Penekanannya ada pada narasi tentang penguatan institusional berbagai sektor kehidupan publik kendatipun penguatan institusional itu tidak dapat dilepaskan dari hirukpikuk sejarah sosial. Paradigma statehood dalam mengkaji abad ke-19 telah memunculkan pemahaman baru bahwa konsep keindonesiaan juga memiliki (dan didukung oleh) elemen institusional yang sangat penting.
Catatan :
2). Pemberian judul atas periode 1800 – 1900 pada edisi-edisi terdahulu SNI maupun IdAS ini tampaknya menyiratkan keraguan atau kegamangan para penyusunnya tentang posisi historiografis abad ke-19 dalam konstruksi keindonesiaan abad ke-20. Hal ini muncul antara lain karena konsep keindonesiaan hanya didefinisikan sebagai perlawanan terhadap kekuasaan hegemonik kolonial (Barat). Meskipun konsep ini tidak salah, tetapi ia belum mencakup keseluruhan dimensi keindonesiaan yang mungkin dieksplorasi. Jilid 5 SNI edisi yang sedang Anda baca ini mencoba menghadirkan perspektif lain tentang abad ke-19.
Dengan mengedepankan paradigma statehood dalam memahami keindonesiaan, Jilid 5 diharapkan menghadirkan konsep Indonesia-sentrisme yang tidak totalitarian tetapi lebih terbuka terhadap fakta bahwa elemen kolonial juga berkontribusi terhadap konstruksi keindonesiaan itu.
Di dalam historiografi yang sudah ada selama ini, hal tersebut diingkari. Buktinya, meskipun fondasi-fondasi kebangsaan dalam Indonesia-sentrisme digali jauh ke belakang hingga jaman kerajaan-kerajaan besar di abad ke-13 hingga ke-18 (lihat Jilid 3 dan Jilid 4), elemen institusional keindonesiaan, yaitu unsur-unsur dalam struktur negara Indonesia, baru muncul dan menjadi perhatian sejarah melalui perdebatan di dalam sidang Badan Persiapan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada bulan-bulan awal tahun 1945. Selain cukup terlambat dan tiba-tiba, identifikasi elemen institusional negara Indonesia “hanya” mulai momen sidang BPUPKI itu juga bersifat ironis sebab lembaga-lembaga yang pada akhirnya menjadi pilar berdiri dan berjalannya negara Indonesia merdeka adalah warisan dari negara kolonial. Pengutamaan paradigma statehood dalam Jilid 5 diharapkan menghilangkan ironi itu dan menarik akar-akar keindonesiaan sebagai negara pada aneka fenomena kesejarahan abad ke-19.
Dengan menonjolkan abad ke-19 sebagai periode terbentuknya pilar-pilar negara kolonial, Jilid 5 ini tidak bermaksud mengatakan bahwa seluruh pilar merupakan fenomena partikular kesejarahan abad ke-19. Selain sejumlah institusi kepemerintahan sudah ada sebelum pengaruh Eropa meluas pada abad ke-19 sebagaimana dikatakan sebelumnya, pada beberapa kasus pilarpilar itu baru mengalami perkembangan pesat pada awal abad ke-20. Misalnya, pembangunan jalur kereta api di Pulau Jawa memang sudah dimulai pada abad ke-19, namun upaya itu akan mencapai puncaknya di awal abad ke-20. Betul bahwa sistem perekonomian khususnya terkait perpajakan dan tenaga kerja sudah dibangun dan mulai beroperasi pada abad ke-19, namun pemantapan terbesar bidang perekonomian baru berlangsung pada awal abad ke-20. Reformasi birokrasi pemerintahan sudah berlangsung beberapa kali pada abad ke-19, tetapi pembagian struktur birokrasi pemerintahan yang akan bertahan hingga tahun Indonesia merdeka baru terjadi pada tahun 1920-an melalui pembentukan provinsi-provinsi di Jawa dan Sumatra. Berbagai institusi pengetahuan yang muncul dan berkembang pada abad ke-19 juga akan mengalami kemajuan pesat di awal abad ke-19. Dengan semua fakta itu seluruh uraian tentang elemen-elemen institusional abad ke-19 dalam Jilid 5 tidak dapat dipisahkan dengan uraian serupa pada jilid selanjutnya, yaitu Jilid 6. Pada awal abad ke-20, elemen institusional dalam sektor hukum, pemerintahan, perekonomian, sosial-budaya, ilmu pengetahuan dan infrastruktur publik, akan mengalami dinamika dan beberapa di antaranya mencapai puncak perkembangan dalam struktur negara kolonial. Dengan kata lain, Jilid 5 merupakan pintu masuk untuk memahami keindonesiaan yang diuraikan dalam Jilid 6, khususnya dari dimensi statehood.****
Jakarta, 21 Juli 2025
Agus Suwignyo & Sarkawi B. Husain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar