Tirto.ID
*Dari Makam ke Wisata Budaya: Kisah Kampung Ketandan Surabaya*
Warga Ketandan, Surabaya, mencoba memperkenalkan sejarah kampungnya yang menjadi bagian dari perjalanan panjang Kota Pahlawan.
Kontributor: Muhammad Akbar Darojat Restu
Terbit 1 Jun 2025 14:20 WIB,
tirto.id - Sebuah plakat bertuliskan "Kampung Wisata Ketandan Surabaya" terpacak di salah satu tepi Jalan Tunjungan, Surabaya Pusat. Banyak orang melewatinya, namun seolah tak ada yang peduli.
Kampung ini berada di balik ragam niaga perkotaan, seperti cafe, restoran, dan gedung-gedung bertingkat. Seperti pada umumnya, kampung ini dihun orang-orang biasa. Ibu-ibu menggendong anak di depan rumah, ada pula yang menawarkan jajanan pasar. Pemuda menjajakan bakso menggunakan gerobak, dan ada juga bapak-bapak yang bersantai di warung.
Tapi di balik pemandangan yang biasa itu, tersembunyi sejarah yang luar biasa. Kampung ini telah mengiringi perjalanan Kota Surabaya hingga usianya yang menginjak angka 732 tahun pada Sabtu (31/5/2025) kemarin.
Sisi historis itulah yang membuat kampung ini jauh lebih menarik ketimbang hanya disebut sebagai "Kampung Segi Emas Empat Surabaya" karena lokasinya yang diapit oleh Jalan Tunjungan, Jalan Embong Malang, Jalan Blauran, dan Jalan Praban.
*Mbah Buyut Tondo dan Pekuburan*
Seorang perempuan duduk di sebuah kursi plastik berwarna hijau di Balai Rukun Warga (RW) Kampung Ketandan. Ia memakai kacamata hitam dan mengenakan baju batik berwarna krem. Perempuan itu bernama Nia Kurniati, Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kampung Ketandan.
Di sebuah penghujung sore, ia bercerita bahwa Kampung Ketandan adalah salah satu kampung tertua di Surabaya. Sebabnya, kampung ini sudah ada jauh sebelum Kolonial Belanda menginjakkan kaki di Surabaya.
Menurutnya, sosok Mbah Buyut Tondo dipercaya oleh penduduk setempat sebagai sang pembabat alas kampung ini. Kepercayaan ini diwariskan turun temurun.
_Meski demikian, tak ada yang tahu pasti siapa, bagaimana, dan apa tujuan Mbah Buyut Tondo membabat kampung ini. Para sesepuh biasanya hanya menunjuk pada kompleks permakaman Mbah Buyut Tondo yang konon sudah berusia ratusan tahun._
"Di kompleks pemakaman itu ada Mbah Buyut Tondo, tiga kerabatnya, dan dua pengawalnya. Jadi, total ada enam makam di sana," kata Nia Tirto, Selasa (27/5/2025).
Ia menambahkan, para sesepuh percaya bahwa kampung ini dulunya adalah kompleks permakaman karena banyak nisan dan punden yang ditemukan oleh warga. Nisan-nisan itu ada yang ditulis dalam bahasa Indonesia, ada juga dalam bahasa Tionghoa. Usia nisan itu, tutur Nia, sudah ratusan tahun.
*nisan Tionghoa*
_salah satu nisan Tionghoa yang ditemukan oleh warga Kampung Ketandan. tirto.id/Muhammad Akbar Darojat Restu Putra_
Ia lalu menunjukkan salah satu nisan bertuliskan Tionghoa yang dijepret untuk dimasukkan dalam aplikasi Google Lens. Dari aplikasi ini, melalui fitur terjemahan, Nia menunjukkan bahwa Nisan itu adalah milik orang Tionghoa yang meninggal sekitar tahun 1800-an.
"Makam Tionghoa disebut Ketandan Bong, sementara makam pribumi Ketandan Punden. Dulu banyak ditemukan nisan ketika kami memperbaiki gorong-gorong. Saat menggali tanah pada kedalaman 1 meter, warga banyak menemukan nisan," tuturnya.
Kompleks permakaman itu kemudian berubah menjadi permukiman sekitar tahun 1900-an. Makam-makam di kampung ini dipindahkan ke kompleks permakaman Kembang Kuning.
"Banyak makam yang dipindahkan ke Kembang Kuning. Tapi masih ada beberapa makam di sini yang bahkan di dalam rumah penduduk setempat," ujarnya.
_Seturut buku Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya 1900-1960an (2013) karya oleh Purnawan Basundoro, perubahan ini kemungkinan terkait dengan migrasi besar-besaran yang dilakukan oleh penduduk luar daerah ke Surabaya pada tahun 1920-an, juga proyek Kampongverbetering (perbaikan kampung) yang dicanangkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Sebabnya, saat itu Surabaya menjadi kota yang paling maju di Hindia Belanda yang dipicu oleh peningkatan industrialisasi._
Menurut Nia, kendati kampung ini bekas kompleks permakaman, tak ada warga yang merasa kampungnya angker. Sembari bercanda, Nia mengatakan bahwa kampung ini tak seperti kampung yang ada di film-film horor ala Indonesia: karena bekas permakaman, maka kampungnya jadi menyeramkan.
"Warga di sini hidupnya aman-aman saja. Warga pun tak pernah melihat 'penampakan', kendati yang kami injak ini dulunya adalah bekas permakaman,” ungkapnya.
*Jadi Kampung Wisata*
Belakangan, Kampung Ketandan dijadikan sebagai salah satu kampung wisata. Menurut Nia, warga merintisnya sejak tahun 2016 dan diresmikan oleh Pemkot Surabaya pada tahun 2018.
Tekad menjadikan Kampung Ketandan menjadi kampung wisata terkait dengan sejumlah situs yang dianggap bersejarah. Selain Makam Mbah Buyut Tondo yang sudah berusia ratusan tahun, kampung ini juga memiliki Masjid An-Nur yang didirikan pada tahun 1915.
Masjid yang berukuran 10x15 m ini mula-mula hanya sebuah langgar yang kemudian direnovasi oleh warga untuk dijadikan masjid. Menurut Nia, renovasi yang dilakukan oleh warga tak mengubah keotentikan masjid tersebut.
"Kami enggak mengubah sama sekali. Cuman mengganti beberapa, tapi tetap arsitektur dalam dan luar itu masih. Bahkan kayunya masih sama. Cuman yang tadinya kayunya cat putih diganti hijau. Terus ditambah merenovasi kamar mandi. Tapi bagian dalam, ornamen-ornamennya itu masih asli. Cuman ya memang ada penambahan keramik, terus ada penggantian plafon karena memang kan buat kenyamanan jamaah juga," kata Nia menjelaskan.
Ia menambahkan, kampung ini juga memiliki Balai Budaya Cak Markeso Ketandan yang disebut oleh warga sebagai joglo. Tempat ini difungsikan oleh warga sebagai ruang bersama, dari latihan tari hingga melukis.
"Tari yang dipelajari adalah tari tradisional, mulai dari tari remo hingga tari kreasi. Kami di sini dapat support gurunya dari Dinas Pariwisata dan Balai Pemuda. Jadi gratis buat warga, khususnya anak-anak di sekitar lingkungan kampung ini. Sanggar melukis juga dilakukan di sana. Keduanya diadakan setiap hari Minggu," ujarnya.
Menurutnya, joglo tersebut menjadi ciri khas Kampung Ketandan jika dibandingkan dengan kampung-kampung lain di Surabaya.
_Selain memiliki joglo, kampung ini juga memiliki Balai Serbaguna yang dulunya adalah Sekolah Dasar (SD) Mbah Buyut Tondo yang kini difungsikan sebagai tempat mengaji bagi anak-anak. Perubahan ini karena sekolah tersebut berhenti beroperasi pada tahun 1980-an saat muridnya tinggal sedikit.'
Balai Budaya Cak Markesot di Kampung Ketandan. tirto.id/Muhammad Akbar Darojat Restu Putra
*Antara Merawat dan Berinovasi*
Nia mengatakan warga di kampung ini berusaha untuk tidak lengah di tengah kepungan modernitas. Oleh karenanya, hal-hal yang baik yang diwariskan oleh nenek moyang berusaha mereka jaga. Tak heran bila banyak orang di kampung ini tidak cuek ketika ada tamu bertandang ke kampungnya. Ini menjadi penghilang stereotipe bahwa tak selamanya warga kampung kota bersikap acuh tak acuh terhadap orang lain.
Ia pun bercerita bahwa anak-anak yang ada di kampung juga masih melakukan permainan tradisonal seperti lompat tali dan engkle, selain bahwa Karang Taruna di sini memiliki kegiatan aktif menonton film jadul Indonesia.
_"Film Suzanna dan film Dono Kasino Indro itu masih kami tayangkan. Anak-anak sekarang kan enggak tahu apa itu film DKI. Tahunya mereka yang sekarang ya. Nah, anak-anak Karang Taruna yang menggalakkan layar tancap setiap malam minggu. Menurut saya kebanggaan kami terhadap kampung ini karena kampung yang berbudaya," ungkapnya._
Namun, tambahnya, bukan berarti kampung ini menjadi anti dengan modernitas. Apalagi kampung ini adalah kampung wisata. Menurut Nia, warga justru mau melakukan inovasi, salah satunya dengan membuat kampung ini menjadi lebih hijau.
"Untuk inovasi mau buat green canopy dari pohon anggur. Kemarin sempat ada pohon anggur, cuman karena sudah terlalu tua jadi kami tebang semua. Nanti green canopy-nya ditaruh di sekitar joglo dan depan Masjid An-Nur. Terus inovasi yang lain ya semakin mengaktifkan warga untuk peduli lingkungan. Di sekitar rumah masing-masing saja, minimal ditanam lima pot, entah besar atau kecil. Kalau setiap rumah ada pot, otomatis nanti hijaunya merata," pungkasnya.
tirto.id - News
Kontributor: Muhammad Akbar Darojat Restu
Penulis: Muhammad Akbar Darojat Restu
Editor: Irfan Teguh Pribadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar