Jumat, 09 Mei 2025

80 Tahun Indonesia Merdeka

 [8/5 09.08] rudysugengp@gmail.com: *Fakta-fakta Proyek Penulisan Sejarah Resmi Indonesia*

CNN Indonesia

Rabu, 07 Mei 2025 13:43 WIB



GB. *Pemerintah tengah menggarap proyek penulisan ulang sejarah resmi Indonesia dengan melibatkan sekitar 100 sejarawan.*


Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah lewat Kementerian Kebudayaan sedang menggarap proyek penulisan ulang sejarah Republik Indonesia dengan melibatkan para sejarawan.

Menteri Kebudayaan Fadli Zon berkata penulisan ulang ini ditargetkan rampung sebelum 17 Agustus 2025 ketika usia kemerdekaan Indonesia menginjak 80 tahun.


Fadli menyebut penulisan ulang sejarah ini dilakukan lantaran banyak orang yang disebut tidak mengerti sejarah Indonesia. Padahal, kata dia, Presiden pertama RI Sukarno telah menyampaikan untuk jangan melupakan sejarah atau kerap disingkat Jas Merah.



CNNIndonesia.com merangkum sejumlah hal penting terkait rencana penulisan ulang sejarah ini sebagai berikut


*Libatkan 100 sejarawan*

Menteri Fadli Zon berkata penulisan ulang sejarah ini bakal melibatkan sekitar 100 orang sejarawan yang dipimpin oleh Guru Besar Ilmu Sejarah FIB UI Susanto Zuhdi.


"Kita melibatkan hampir 100 lebih ya kayaknya sejarawan, dipimpin oleh Prof. Susanto Zuhdi, sejarawan senior dari Universitas Indonesia," kata Fadli di kawasan Jakarta Selatan, Selasa (6/5) malam.


Ia turut menerangkan penulisan ulang sejarah Indonesia ini akan termaktub dalam buku yang dicetak secara berjilid-jilid dan meliputi pra-sejarah hingga sejarah kontemporer.


Namun, Fadli menyampaikan penulisan ulang sejarah ini tidak akan mulai dari nol, melainkan melanjutkan apa yang sudah ada dalam buku-buku sejarah.


"Jadi kita akan berangkat tentu dari apa yang sudah ditulis dan kita melakukan update, penambahan-penambahan, data dan sebagainya," ucap dia.


*Hadiah HUT ke-80 RI*

Penulisan ulang sejarah ini bertujuan untuk merangkum sejarah perjalanan bangsa Indonesia yang akan menjadi rujukan formal alias sejarah resmi mengenai Indonesia.


Fadli mengatakan penulisan ulang sejarah ini ditargetkan rampung sebelum 17 Agustus 2025. Kata dia, ini menjadi semacam hadiah bagi Indonesia yang menginjak usia 80 tahun.


"Ini pokoknya, Ini harus menjadi semacam hadiah dalam rangka 80 tahun Indonesia Merdeka. Kita harus ada satu formal history, official history," kata dia.


*Revisi penjajahan Belanda 350 tahun*

Ada beberapa peristiwa yang akan direvisi dalam buku sejarah resmi negara garapan Kementerian Kebudayaan.


Fadli mengatakan salah satu yang akan diubah adalah periode penjajahan Belanda di Indonesia yang kerap disebut berlangsung selama 350 tahun.


Kata Fadli, Belanda tidak menjajah Indonesia selama 350 tahun. Sebab, selama 350 tahun itu banyak daerah di Indonesia yang melakukan perlawanan kepada Belanda.


"Termasuk saya katakan soal 350 tahun dijajah itu menurut saya harus diubah mindset itu. Enggak ada 350 tahun Indonesia dijajah itu. Kita itu melakukan perlawanan terhadap para penjajah itu," kata Fadli.


"Di Aceh, di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Perang Jawa Diponegoro itu. Ada yang perlawanannya 200 tahun, ada yang perlawanannya puluhan, Jadi kita ubah bukan sejarah kita dijajahnya tapi perlawanannya yang harus kita tonjolkan," sambungnya.


*Peristiwa 1965 tak diubah*

Fadli menyebut dalam rencana penulisan ulang sejarah Indonesia ini tidak akan mengubah sejarah tentang peristiwa pembantaian 1965 yang kerap disebut G30S PKI (Partai Komunis Indonesia) atau Gerakan Satu Oktober (Gestok).


Fadli mengklaim tidak ada kontroversi terkait sejarah berdarah yang menyebabkan jutaan korban meninggal dunia akibat peristiwa politik itu.


"Kalau itu kan jelas dong. Orang dinyatakan sendiri oleh mereka kok. Jadi apa yang mau (diubah), justru jangan membelokkan sejarah," ucap dia.


"Kalau itu kan jelas. PKI kan memang mau mengambil alih kekuasaan dari negara ketika itu. Dimana kontroversinya? Tidak ada kontroversi," lanjutnya.


*Peristiwa Madiun 1948 tak diubah*

Fadli juga mengatakan peristiwa politik pemberontakan PKI di tahun 1948 atau kerap disebut sebagai Madiun Affair juga tidak akan diubah.


Fadli mengklaim peristiwa politik itu adalah upaya pemberontakan yang dilakukan PKI yang menyebabkan banyak korban dari pihak Nahdlatul Ulama (NU).


"[Madiun] 48 kan jelas pemberontakan. Ya, jelas pemberontakan dan difasilitasi oleh Belanda. Kan, jelas itu. Mau lihat siapa yang dibantai oleh PKI 48 itu, Banyak. Korban-korbannya itu kiai NU diculik," tutur dia.


(dis/wis)

[8/5 09.17] rudysugengp@gmail.com: *Fadli Zon target penulisan sejarah Indonesia rampung saat HUT Ke-80 RI*


Selasa, 6 Mei 2025 6:45 WIB


Jakarta (ANTARA) - Menteri Kebudayaan Fadli Zon menargetkan penulisan sejarah Indonesia versi terbaru rampung pada Agustus 2025 bertepatan dengan HUT ke-80 RI yang diperingati setiap tanggal 17 Agustus.


Fadli Zon optimistis target itu tercapai mengingat proyek penulisan sejarah itu dikerjakan oleh lebih dari 100 ahli sejarah dari berbagai universitas di Indonesia.


“Sekarang baru dalam proses, yang menuliskan ini para sejarawan. Tahun ini (rencananya diluncurkan, red.), (saat) 80 tahun Indonesia merdeka,” kata Menteri Kebudayaan Fadli Zon saat ditemui di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (5/5).


Fadli kemudian menjelaskan proyek penulisan sejarah versi terbaru itu dikerjakan 100 lebih sejarawan dan para ahli dari berbagai universitas di Indonesia. Dia melanjutkan untuk bagian-bagian yang direvisi, ditambahkan, ataupun diluruskan pun mengikuti hasil kajian para ahli, dan buku-buku sejarah Indonesia yang dituliskan sebelumnya.


“Kami akan update dan menambah beberapa jilid tentu mendasarkan kepada buku-buku yang sudah ada. Kami melibatkan lebih dari 100 sejarawan dari semua perguruan tinggi, dari banyak perguruan tinggi yang memang sejarawan, yang ahli di bidangnya untuk punya kompetensi menulis, dan juga editing (menyunting, red.) di dalam buku itu,” kata Fadli Zon.


Dia melanjutkan ada banyak temuan-temuan, termasuk dari periode prasejarah, dan ada juga penambahan-penambahan catatan sejarah dari pemerintahan-pemerintahan yang lalu.


“Semua perlu di-update, kami update. Misalnya, periode terakhir (dalam versi sejarah saat ini, red.) itu periode sebelum Pak SBY. Kalau nggak salah. Nanti, tentu ditambahkan,” kata Menteri Kebudayaan.


Dia menyebutkan kompendium sejarah Indonesia yang saat ini digunakan sebagai rujukan diterbitkan pada 2012.


“Sejarah yang ditulis terakhir itu (terbit pada tahun 2012) yang diterbitkan dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah, sebelumnya tahun 1980-an, Sejarah Nasional Indonesia,” kata Fadli Zon.


Dia menyampaikan jika nantinya rampung, buku sejarah Indonesia versi teranyar itu akan menjadi semacam buku sejarah resmi Indonesia, dan bakal menjadi acuan buku sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah.

[8/5 10.01] rudysugengp@gmail.com: *Jejak Susanto Zuhdi, Guru Besar UI Ketua Tim Penulis Ulang Sejarah RI*


CNN Indonesia

Kamis, 08 Mei 2025 06:22 WIB


Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah tengah menggarap proyek besar penulisan ulang sejarah Republik Indonesia. Penulisan ulang sejarah ini dipimpin oleh Guru Besar Ilmu Sejarah dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI) Prof. Susanto Zuhdi.

Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebut proyek ini melibatkan lebih dari 100 sejarawan dari berbagai universitas.


Fadli menargetkan penulisan ulang sejarah ini rampung sebelum peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 2025.


"Kita melibatkan hampir 100 lebih ya kayaknya sejarawan, dipimpin oleh Prof. Susanto Zuhdi, sejarawan senior dari Universitas Indonesia," kata Fadli Zon di kawasan Jakarta Selatan, Selasa (6/5).


Nama Zuhdi tak asing di dunia akademik. Ia dikenal sebagai ahli sejarah maritim Indonesia, dengan kiprah panjang baik di dunia pendidikan maupun pemerintahan.


Lahir di Banyumas, Jawa Tengah, pada 4 April 1953, ia menyelesaikan pendidikan sarjananya di Fakultas Sastra UI pada 1979.


Zuhdi melanjutkan program magister ganda di UI dan Universitas Amsterdam antara 1988 hingga 1991, dengan tesis yang menyoroti sejarah pelabuhan dan kota Cilacap pada masa kolonial.


Zuhdi kemudian meraih gelar Doktor dari UI pada 1999 dengan disertasi mengenai sejarah Kesultanan Buton abad ke-17 hingga 18.


Selain mengajar, Zuhdi juga sempat menjabat sejumlah posisi struktural di lingkungan UI, termasuk sebagai Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan pada 1996 hingga 1999.


Ia lalu menjabat Sekretaris Badan Pertimbangan dan Pengembangan Fakultas Sastra pada tahun 2000 hingga 2001. Pada 2005, ia dikukuhkan sebagai guru besar sejarah.


Zuhdi juga pernah menjabat sebagai Direktur Sejarah di Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (2001-2006) dan staf ahli Menteri Pertahanan bidang politik (2011-2013).


Ia pun sempat memimpin Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penjaminan Mutu di Universitas Pertahanan Indonesia (2013-2015), sekaligus menjadi dosen di universitas tersebut.


Di bidang penulisan, Susanto Zuhdi telah menghasilkan sejumlah karya penting, antara lain Cilacap 1830-1942: Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan di Jawa; Nasionalisme, Laut, dan Sejarah; kemudian buku Sejarah Buton yang Terabaikan: Labu Rope Labu Wana.


Ia juga aktif menulis jurnal ilmiah, termasuk yang menyoroti strategi resolusi konflik sosial dan karakter bangsa maritim.


Atas kontribusinya di bidang sejarah dan kebijakan pertahanan, Zuhdi dianugerahi Penghargaan Dharma Pertahanan oleh Kementerian Pertahanan pada 17 Agustus 2014.


Fadli Zon menyebut penulisan ulang sejarah ini bukan untuk menghapus sejarah lama, melainkan menyempurnakan narasi yang telah ada dengan data dan perspektif yang lebih segar.


"Kita akan berangkat tentu dari apa yang sudah ditulis dan kita melakukan update, penambahan-penambahan, data dan sebagainya," ujarnya.


Fadli Zon mengatakan penulisan ulang sejarah ini diharapkan tak hanya menjadi proyek akademik, tetapi juga warisan intelektual bagi generasi mendatang.


(fra/kay/fra)

[8/5 10.12] rudysugengp@gmail.com: *Sejarah RI Dijajah 350 Tahun Bakal Diubah, Ingin Tonjolkan Perlawanan*


CNN Indonesia

Kamis, 08 Mei 2025 07:44 WIB


Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengungkap rencana perubahan sejarah Indonesia dijajah selama 350 tahun melalui penulisan ulang sejarah yang tengah digodok.

Fadli mengatakan perubahan ini akan menonjolkan upaya perlawanan Indonesia di banyak daerah terhadap kolonialisme Belanda dan Jepang.


"Di Aceh, di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Perang Jawa Diponegoro itu. Ada yang perlawanannya 200 tahun, ada yang perlawanannya puluhan, Jadi kita ubah bukan sejarah kita dijajahnya tapi perlawanannya yang harus kita tonjolkan," kata Fadli di kawasan Jakarta Selatan, Selasa (6/5) malam.


Fadli menjelaskan perubahan sejarah penjajahan Indonesia itu juga dilakukan untuk merubah pola pikir masyarakat yang mempercayai Indonesia dijajah 350 tahun.



Ia menilai penjajahan selama 350 tahun itu tidak sepenuhnya benar lantaran perlawanan terhadap kolonialisme terus dilakukan oleh bangsa Indonesia selama 3,5 abad itu.


"Termasuk saya katakan soal 350 tahun dijajah itu menurut saya harus diubah mindset itu. Enggak ada 350 tahun Indonesia dijajah itu. Kita itu melakukan perlawanan terhadap para penjajah itu," jelas dia.


Lebih lanjut, Fadli menjelaskan penulisan ulang sejarah Indonesia ini dilakukan sesuai dengan semangat Presiden pertama RI Soekarno yang mengatakan jangan melupakan sejarah.


Ia pun menyinggung penulisan ulang sejarah ini untuk memperkenalkan sejarah Indonesia kepada masyarakat yang masih belum paham.


"Jadi kita harus gencarkan sejarah. Dari mulai era prasejarah, proto sejarah sampai sejarah modern itu harus kita ini," ujar dia.


"Kenapa sih, justru yang perlu ditanya kenapa takut dengan sejarah? Sejarah itu adalah bagian dari masa lalu kita. Kalau kita ingin tahu hari ini kita harus melihat masa lalu," sambungnya.


Fadli mengatakan penulisan ulang sejarah ini ditargetkan rampung sebelum 17 Agustus 2025 ketika usia kemerdekaan Indonesia menginjak 80 tahun.


Guru Besar UI Susanto Zuhdi ditunjuk menjadi ketua tim penulisan ulang sejarah RI dengan beranggotakan 100 sejarawan dari berbagai perguruan tinggi.


(fra/mab/fra)

[9/5 14.19] rudysugengp@gmail.com: ANALISIS

*Penulisan Ulang Sejarah RI Jangan Jadi Legitimasi Rezim*


CNN Indonesia

Jumat, 09 Mei 2025 07:32 WIB


(*Proyek penulisan ulang sejarah RI yang tengah digagas Kementerian Kebudayaan mendapat sorotan sejumlah sejarawan.)* (anri.sikn.go.id)


Jakarta, CNN Indonesia -- Proyek penulisan ulang sejarah RI yang tengah digagas Kementerian Kebudayaan mendapat sorotan sejumlah sejarawan.

Rencana ini diharapkan tak mengabaikan babak kelam sejarah Indonesia, terutama mengenai pelanggaran HAM berat yang pernah dilakukan negara.


Menteri Kebudayaan (Menbud)Fadli Zon sudah menyampaikan penulisan ulang sejarah Indonesia tidak akan mengubah sejarah tentang peristiwa pembantaian 1965 yang kerap disebut G30S PKI (Partai Komunis Indonesia) atau Gerakan Satu Oktober (Gestok).


Dia menyebut tidak ada kontroversi terkait sejarah berdarah yang menyebabkan jutaan korban meninggal dunia akibat peristiwa politik itu.


"Kalau itu kan jelas dong. Orang dinyatakan sendiri oleh mereka kok. Jadi apa yang mau (diubah), justru jangan membelokkan sejarah," kata Fadli.



Fadli menargetkan penulisan ulang sejarah Indonesia rampung pada Agustus 2025 bertepatan dengan HUT ke-80 RI. Menurut Fadli, buku itu nantinya akan memperbaharui sejarah RI berlandaskan kajian para sejarawan.


Dia menyampaikan buku sejarah Indonesia versi teranyar akan menjadi buku sejarah resmi Indonesia dan bakal menjadi buku ajar sejarah di sekolah-sekolah.


"Ya semua yang perlu diupdate, kita update. Misalnya periode terakhir itu periode sebelum Pak SBY kalau enggak salah. Nanti tentu ditambahkan," ucapnya.


*Ditulis apa adanya*


Sejarawan Asvi Warman Adam menyebut mengabaikan sejumlah peristiwa kelam dalam perjalanan bangsa ini hanya akan mengulang penulisan sejarah yang pernah dilakukan Orde Baru dan bertentangan dengan etika penulisan sejarah itu sendiri.


"Jadi kalau dikatakan tidak berubah itu sesuatu yang kontradiktif ya dengan hakikat dari penulisan itu," kata Asvi saat dihubungi, Kamis (8/5).


Asvi mengatakan keputusan Kementerian Kebudayaan yang tak akan melakukan revisi terhadap peristiwa '65 hingga sejarah pelanggaran HAM berat yang dilakukan negara pada '98 perlu dipertanyakan. Menurut dia, mengabaikan rentetan peristiwa itu bertentangan dengan etika penulisan sejarah.


Dia mempertanyakan fakta sejarah dalam buku tersebut jika tak ada kebaruan di dalamnya. Padahal, banyak buku-buku baru yang ditulis akademisi telah mengungkap fakta di balik peristiwa pelanggaran HAM berat yang pernah dilakukan negara.


"Salah satu ciri dari pembuatan dari sejarah standar itu. Sejarah itu juga menampakkan apa ya, pembaruan atau tulisan-tulisan yang mutakhir ya. Perkembangan tulisan yang baru di dalam bidang sejarah mengenai peristiwa tertentu gitu," katanya.


Asvi antara lain mencontohkan sejumlah buku sejarah tentang peristiwa pemberontakan '65 yang telah banyak ditulis sejarawan. Termasuk juga pelanggaran HAM berat yang dilakukan negara pada '98, salah satunya menyeret nama Prabowo Subianto.


Pada prinsipnya, buku sejarah menurut Asvi harus mengandung kebaruan. Artinya, jika tak memiliki unsur tersebut, bertentangan dengan sejarah nasional Indonesia. Para penulis sejarah, harus menemukan fakta baru dalam sebuah peristiwa sejarah yang akan ditulis.


Dia menilai rencana pemerintah untuk memperbarui sejarah kolonialisme Indonesia oleh Belanda selama 350 tahun, juga bukan hal baru. Sebab, hal itu telah ditulis oleh sejarawan Belanda G.J Ressink dalam bukunya "Bukan 350 Tahun Dijajah".


"Kalau cuma yang berubah itu hanya mengatakan bahwa Indonesia tidak dijajah 350 tahun, itu sudah ditulis bukunya, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia itu buku yang ditulis oleh Ressink," kata Asvi.


*Bukan sejarah resmi*

Sementara itu Asvi menyebut proyek penulisan sejarah ulang RI yang tengah digarap Kementerian Kebudayaan tidak resmi. Menurut dia, buku sejarah resmi atau official history yang pernah dibuat pemerintah sejauh ini baru dua kali dilakukan.


Pertama, buku putih tentang pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang diterbitkan Sekretariat Negara pada 1994 berjudul, "Gerakan 30 September: Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya". Buku itu biasa disebut sebagai buku putih.


Kedua, buku berjudul "Risalah Persidangan BPUPKI dan PPKI" yang juga diterbitkan Setneg pada 1998.


Sementara buku sejarah Indonesia yang disunting Nugroho Notosusanto pada 1977 di awal Orde Baru dan terdiri dari enam jilid, bukan buku sejarah resmi. Menurut Asvi, buku tersebut hanya semacam buku pegangan atau handbook.


"Nah itu menurut hemat saya dan juga menurut pengakuan mereka itu disebut sejarah standar. Sejarah standar, sejarah babon, kalau bahasa Ingggrisnya itu handbook," katanya.


Meski sama-sama diterbitkan pemerintah, Asvi menyebut ada perbedaan mendasar antara buku sejarah resmi nasional dan tidak resmi alias handbook.


Menurut dia, sejarah resmi merupakan pendapat negara terhadap sebuah peristiwa atau sejumlah peristiwa seperti tertuang dalam buku putih penumpasan PKI '65 1994 dan Risalah BPUPKI dan PPKI 1998.


Sedangkan, buku sejarah RI yang kali pertama terbit pada 1977 tak bisa disebut sebagai pendapat negara. Sebab, buku tersebut ditulis oleh banyak penulis, termasuk proyek penulisan ulang sejarah yang saat ini sedang dilakukan.


"Bagaimana mungkin ya, itu dikeluarkan di dalam waktu singkat dengan berbagai penulis, kita bisa mengatakan itu resmi pendapat negara gitu, tentang satu peristiwa atau lain-lain gitu. Kan ada 90 bahkan sekarang katanya 100 penulis," katanya.


"Kita tidak bisa mengatakan semuanya itu yang ditulis di dalam buku ini resmi pandangan negara tentang itu gitu," imbuh Asvi.


Asvi mewanti-wanti agar proyek penulisan ulang sejarah RI bukan sebagai legitimasi rezim terhadap narasi sejarah Bangsa. Apalagi dengan mengabaikan sejumlah fakta sejarah yang telah banyak ditulis para akademisi.

Dia misalnya menyoroti 12 pelanggaran HAM berat yang dilakukan negara, namun tak masuk dalam outline garis besar buku tersebut. Dari sejumlah peristiwa itu, Kementerian Kebudayaan disebut hanya memasukkan kasus penembakan Tanjung Priok pada 12 September 1984 dan Peristiwa Talangsari, Lampung pada 1989.


Padahal, ada sejumlah peristiwa pelanggaran HAM berat lain yang telah diakui negara, termasuk di antaranya insiden '65 maupun penculikan aktivis pada '98.



Nasional



MENU

Home Nasional Internasional Ekonomi Olahraga Teknologi Otomotif Hiburan Gaya Hidup Fokus Kolom Terpopuler Infografis Foto Video Indeks

Dokter PPDS Unpad

RUU TNI

Dedi Mulyadi

Hasto Kristiyanto

Gibran Rakabuming Raka


Nasional


Peristiwa

ANALISIS

Penulisan Ulang Sejarah RI Jangan Jadi Legitimasi Rezim

CNN Indonesia

Jumat, 09 Mei 2025 07:32 WIB



Sejarawan Asvi Warman Adam menyebut mengabaikan sejumlah peristiwa kelam dalam perjalanan bangsa ini hanya akan mengulang penulisan sejarah yang pernah dilakukan Orde Baru. (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)


Asvi mewanti-wanti agar proyek penulisan ulang sejarah RI bukan sebagai legitimasi rezim terhadap narasi sejarah Bangsa. Apalagi dengan mengabaikan sejumlah fakta sejarah yang telah banyak ditulis para akademisi.

Dia misalnya menyoroti 12 pelanggaran HAM berat yang dilakukan negara, namun tak masuk dalam outline garis besar buku tersebut. Dari sejumlah peristiwa itu, Kementerian Kebudayaan disebut hanya memasukkan kasus penembakan Tanjung Priok pada 12 September 1984 dan Peristiwa Talangsari, Lampung pada 1989.


Padahal, ada sejumlah peristiwa pelanggaran HAM berat lain yang telah diakui negara, termasuk di antaranya insiden '65 maupun penculikan aktivis pada '98.


"Nah itu termasuk di dalamnya itu pelanggaran HAM berat yang terjadi tahun 1998. Termasuk penculikan paksa aktivis gitu yang di sini juga melibatkan nama Prabowo Subianto gitu. Menurut pandangan saya ini harus ditulis gitu," katanya.


Dalam banyak kasus, banyak negara menulis sejarahnya sendiri. Namun, umumnya negara-negara tersebut tak menganut sistem demokrasi seperti Jepang, Rusia, hingga Tiongkok.


Jepang misalnya, pernah menulis "New History Texbook Reform" pada 2001. 

Buku itu dianggap kontroversial karena menghilangkan fakta kejahatan Jepang selama Perang Dunia II terkait pembantaian Nanjing dan eksploitasi terhadap wanita penghibur di sejumlah negara, termasuk Indonesia.


Akibatnya, penulisan sejarah itu menuai reaksi keras dari sejumlah negara seperti Tiongkok dan Korea Selatan dan berdampak pada hubungan diplomatik Jepang berupa pemboikotan produk negara tersebut di negara-negara Asia Timur.


"Banyak pihak yang menganggap bahwa ya itu kan memalukan gitu," kata Asvi.


Ada pula buku berjudul "History of the Great Patriotic War" yang ditulis pemerintah Uni Soviet. Buku itu menggambarkan Josef Stalin sebagai pahlawan besar dalam Perang Dunia II, namun mengabaikan pelanggaran HAM, kamp konsentrasi GULAG, dan pembersihan politik.


Buku tersebut dikritik oleh sejarawan Rusia karena terlalu memihak dan menyembunyikan kebenaran.


*Militerisasi sejarah*


Sejarawan Universitas Nasional (Unnas) Jakarta, Andi Achdian berharap pemerintah memasukkan 12 pelanggaran HAM berat dalam proyek penulisan ulang sejarah RI di bawah Kementerian Kebudayaan. 

Pasalnya, 12 kasus itu telah diakui pemerintah di bawah Presiden Joko Widodo pada Januari 2023 dan negara telah meminta maaf atasnya.


Apalagi dalam pernyataannya, Jokowi merekomendasikan agar 12 pelanggaran HAM tersebut masuk dalam narasi penulisan sejarah Indonesia.


"Salah satu rekomendasinya adalah memasukkan narasi pelanggaran HAM itu dalam penulisan sejarah Indonesia," kata Andi.


Menurut Andi, negara harus membuka ruang perdebatan publik untuk memperbanyak perspektif. Langkah terbaik untuk melakukan hal itu, mestinya dengan menyerahkan penulisan sejarah pada perguruan tinggi yang bebas dari intervensi pemerintah.


Legitimasi sejarah nasional Indonesia pernah dilakukan pemerintah Orde Baru lewat enam jilid buku yang disunting Nugroho Notosusanto. Menurut Andi, institusi memiliki kesabaran terhadap sejarah.


"Dalam kasus Indonesia, mengapa militer membangun legitimasi sejarahnya ya sejak masa Orde Baru, ketika mereka muncul sebagai kekuatan politik," kata Andi, Kamis (8/5).


Berdasarkan outline tersebut, Andi bilang revisi penulisan sejarah hanya berisi glorifikasi terhadap pemerintahan presiden mulai Sukarno hingga Jokowi.


Sementara, kata Andi, beberapa peristiwa penting, seperti kasus pelanggaran HAM '65 hingga penculikan di akhir Orde Baru tak masuk dalam outline buku tersebut.


"Jadi enggak ada luka sejarahnya. Semuanya baik-baik saja. Nah itu problem dari sejarah official history ya," kata dia.


Menurut Andi, penulisan sejarah resmi oleh negara bukan lagi bicara soal perdebatan soal metode atau pemilihan materi. Menurut dia, negara mestinya juga bertanggung jawab terhadap publik.


Sebab, sejarah juga terkait erat dengan korban kekerasan yang dilakukan negara. Andi menilai negara mestinya harus melihat aspek tersebut.


"Tapi sekarang misalnya bagaimana dengan keluarga korban. Bagaimana dengan komunitas-komunitas lain yang ceritanya disingkirkan dalam sejarah resmi," kata dia.


Asvi mengakui ada upaya militerisasi sejarah oleh pemerintah Orde Baru. Cara itu dilakukan untuk menunjukkan peran Militer dibanding sipil dalam sebuah buku yang diterbitkan pemerintah.


Asvi misalnya, mencontohkan glorifikasi peran militer dalam sejarah pemberontakan PRRI Permesta namun menihilkan peran sipil. Asvi karenanya menduga penulisan ulang sejarah RI khususnya terkait kejahatan HAM Berat karena diduga melibatkan Presiden Prabowo Subianto saat aktif dinas militer.


"Misalnya yang sangat menyolok itu terhadap Prabowo Subianto sendiri gitu. 

Bahwa ia itu orang yang tersangkut dalam salah satu ya paling tidak pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa Orde baru gitu. Ya menurut saya itu ditulis saja," katanya.


(thr/ugo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sejarah Makam Peneleh Belanda

*Sejarah Makam Peneleh Belanda* Bagaimana sejarah Makam Peneleh Belanda di Surabaya dimulai Makam Peneleh, yang dikenal sebagai Makam Beland...