Sepeninggal Sumodipuro, pepatih dalem dari Japan (Mojokerto), Raden Bagus Sukapja kemudian diangkat sebagai Kanjeng Raden Adipati Danureja IV (1847-1879). Danureja IV adalah putra dari Danureja II. Selama Perang Jawa (1825-1830), ia menjadi salah satu panglima Diponegoro untuk wilayah Banyumas. Danurejo IV mengajukan pengunduran diri setelah hampir 33 tahun mengabdi pada masa Sultan HB V-HB VI. Beliau dikenal dengan nama Pangeran Harya Juru atau Pangeran Juru Ridder. Danurejo IV meninggal dunia pada tahun 1884 dimakamkan di Astana Mlangi, sebelah utara Demak Ijo, Sleman.
Selanjutnya Kanjeng Raden Adipati Danureja V menjadi Pepatih Dalem Kasultanan Yogyakarta pada 1879-1899. Dalam masa tugasnya, Danureja V memimpin pembangunan ulang Tugu Golong Gilig yang rusak akibat gempa bumi tahun 1867. Setelah tugu berhasil dibangun dengan bentuk baru yang dinamakan ‘de Wite Pal’ diresmikan, nama beliau tertulis pada prasasti di tugu tersebut dan masih bisa dibaca hingga kini. Di bawah pengawasan beliau pula, terbit beberapa karya sastra yang memuat sejarah Kasultanan Yogyakarta, diantaranya Serat Pustaka Jatya dan Serat Babad Mataram. Pada 21 Juli 1899, Patih Danurejo V wafat setelah 20 tahun mengabdi pada masa Sultan HB VI-HB VII.
Posisi Patih Danureja V kemudian dilanjutkan oleh Kanjeng Pangeran Harya Cakraningrat yang bergelar Kanjeng Raden Adipati Danureja VI (1900-1911). Sebagaimana pendahulunya, beliau juga memiliki karya tulis. Antara lain Kempalan Kitab-Kitab Islam dan Serat Betaljemur Adammakna. Putri beliau menikah dengan Sri Sultan HB VII dan melahirkan putra bernama Bendara Raden Mas Kudiarmaji. Ketika dewasa, cucu Patih Danurejo V dan putra Sultan Hamengku Buwono VII ini menjadi tokoh tasawuf Jawa yang dikenal dengan sebutan Ki Ageng Suryomentaram
—
After the passing of Sumodipuro, Patih Dalem from Japan (Mojokerto), Raden Bagus Sukapja was then appointed as Kanjeng Raden Adipati Danureja IV (1847-1879). Danureja IV was the son of Danureja II. During the Java War (1825-1830), he was one of Diponegoro’s commanders for Banyumas. Danurejo IV resigned after 33 years of service from the reign of Sultan HB V to HB VI. He was known as Pangeran Harya Juru or Pangeran Juru Ridder. Danurejo IV passed away in 1884, and was buried in Astana Mlangi, north of Demak Ijo, Sleman.
Then, Kanjeng Raden Adipati Danureja V became Pepatih Dalem Kasultanan Yogyakarta in 1879-1899. During his time, Danureja V led the reconstruction of Tugu Golog Gilig which was damaged by an earthquake in 1867. After the tugu was rebuilt in a new shape, was renamed ‘de Wite Pal’, and was officiated, his name was written on the inscription of the tugu which is still readable until today. Under his supervision, several literatures containing the history of Kasultanan Yogyakarta were published. Among those included Serat Pustaka Jatya and Serat Babad Mataram. In 21 July 1899, Patih Danurejo V passed away after 20 years serving since the reign of Sultan HB VI to HB VII.
The position of Patih Danureja V was then passed on to Kanjeng Pangeran Harya Cakraningrat who had the title of Kanjeng Raden Adipati Danureja VI. As like his predecessors, he also wrote some literatures. These included Kempalan Kitab-Kitab Islam and Serat Betaljemur Adammakna. His daughter was married to Sri Sultan HB VII and bore a son named Bendara Raden Mas Kudiarmaji. As he grew up, the grandson of Patih Danurejo V who was also the son of Sultan Hamengku Buwono VII became the well known Javanese tasawuf figure, Ki Ageng Suryomentaram.
______
Photo: Tepas Tandha Yekti
Sumber:
Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. Sejarah Nasional Indonesia IV - Edisi Pemutakhiran (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hal 227
Tidak ada komentar:
Posting Komentar