Selasa, 18 Juni 2024

Hayam Wuruk

Kunjungan Hayam Wuruk di Seputar Malang Raya

by Admin Kekunoan


[18/6 19.16 *Kunjungan Hayam Wuruk di Seputar Malang Raya*

by Admin Kekunoan

Perjalanan dinas Hayam wuruk di seputar wilayah Malang raya dimulai dari Pasuruhan di utara kemudian menuju ke Singhasari melalui Kedhung Peluk dan menuju Lembah. Nama desa Kedhung Peluk juga tercatat dalam prasasti Kudadu berangka tahun 1216 Saka (1294 Masehi). Pada lempeng IVa dikisahkan tentang pengejaran pasukan Jayakatwang oleh raden Wijaya dan Ardharaja yang bergerak ke utara dari Singhasari melalui Kedhung Peluk. Lembah sekarang ini dapat disamakan dengan desa Rembang sekarang yang terletak 12 Km di utara Kedung Peluk. Jarak antara Kedhung Peluk ke desa Lawang adalah 14 Km, sedangkan Singhasari berada di 7Km sebelah selatan Lawang.

Perjalanan raja ke Singhasari tidak disaksikan oleh Prapanca yang mendapat izin untuk meninggalkan rombongan sebentar dan berkunjung ke sebuah biara Buddhis bernama Dharbaru yang terletak di tanah milik desa Hujung dan berkuasa atas sebagian daerah di sekitarnya, termasuk Hepit, Markaman, dan Balungkur. Meskipun kedua nama terakhir tidak dikenal lagi, kiranya Hujung dan Hepit dapat ditemukan kembali di desa Ngujung, termasuk desa Sambisirah (kecamatan Wonorejo), dan desa Ngempit di kecamatan Kraton. Letak kedua tempat tersebut, yang masing-masing 10 km dan 8 km di sebelah barat-daya kota Pasuruan sekarang, tidak bertentangan dengan gambaran Prapanca.

Nrepati huwus mamusp ri dalem sudharma sakatustaning tewas gin ong,
hana ni kedhung bhiru ri kasurangganamwang i bureng langonyenitung.
(35 : 4c-d)

Raja telah melakukan puja bhakti dalam dharma, kini mencari hiburan,
kadang-kadang di Kedung Biru, di Kasurangganan, atau di Bureng….

            Tidak diketahui berapa lama Hayam Wuruk tinggal di Singhasari. Prapanca hanya menyebutkan bahwa sehabis melakukan puja bhakti di sebuah dharma, raja bersantai-santai selama beberapa waktu sambil menikmati keindahan alam di Kedhung Biru dan Bureng.

Dalam uraiannya pada Desawarnana 35: 4, Pigeaud berasumsi bahwa dharma yang dimaksud adalah candi milik buyut Hayam Wuruk, Sri Kretanagara, yang wafat pada tahun 1292 M. Perkiraan Pigeaud masuk akal, tetapi masih perlu dipertanyakan apakah dharma tersebut dapat dihubungkan dengan monumen yang kini dikenal dengan nama candi Singosari. Masalahnya adalah bahwa, menurut keterangan Prapanca, Kretanegara di-dharma-kan di Singhasari dengan arca berwujud Siwa-Buddha ( dhinarmmasiwabuddharcca ), sedangkan bangunan candi yang tampak sekarang di desa Singosari tidak memperlihatkan unsur Buddhis.

Bagaimanapun juga, kiranya tidak perlu kita ragukan bahwa pusat kerajaan Singhasari dahulu terletak di desa Singosari sekarang, 10 km di sebelah utara kota  Malang. Dengan demikian Kedhung Biru dapat disamakan dengan dusun bernama Biru di desa Gunungrejo, 1,5 km di sebelah barat laut candi Singosari. Selain alam di sekitarnya yang mendukung identifikasinya sebagai “taman bidadari” ( kasurangganan ), ternyata letak dusun Biru tepat di tepi jurang, atau kedung, yang memiliki sejumlah sumber air jernih yang salah satu di antaranya yaitu Sumberbiru, masih memperlihatkan peninggalan purbakala berupa susunan bata merah yang kini terpendam di bawah struktur bangunan baru.

Bureng dapat diidentifikasikan dengan pemandian alam di desa Mendit, 5 km di sebelah timur laut pusat kota  Malang, termasuk kecamatan Pakis. Identifikasi tersebut tidak bertentangan dengan Desawarnana 37: 7, yang menempatkan Bureng di perjalanan antara Jajaghu (kecamatan Tumpang) dan Singhasari. Meskipun “candi dari batu di tengah danau” tidak kelihatan lagi di Mendit, sejumlah batu peninggalan masih tersimpan di sebuah bangunan tidak jauh dari lokasi pemandian. Peninggalan purbakala ditemukan juga di desa Mangliawan, yang membatasi Mendit di sebelah utara.

Krama subhakala sahnira ri singhasari mangidul mare kegenengan,(36:1a)

Demikian, pada waktu yang menguntungkan ia meninggalkan Singhasari dan
pergi ke arah selatan, menuju Kagenengan.

Seperti halnya di Gendhing, Hayam Wuruk menunggu waktu yang tepat sebelum meninggalkan Singhasari.  Oleh karena acara berikutnya kunjungan ke tempat pen-dharma-an para leluhurnya di Kagenengan, Kidhal dan Jajaghu, tentunya diperlukan hari yang baik untuk melakukan perjalanan tersebut sesuai dengan petunjuk dari para penasihatnya, termasuk ahli nujumnya.

Demikianlah, dari Singhasari rombongan berjalan secara ramai–ramai ke arah selatan menuju Kagenengan, yaitu dharma yang dibangun untuk Sri Ranggah Rajasa, pendiri wangsa yang sedang berkuasa di Majapahit. Kemudian, sehabis melakukan puja bhakti, sang raja serta kerabatnya duduk bersama para arya, termasuk pendeta Syaiwa dan Buddha, sambil menerima penghormatan dari masyarakat setempat. Pada saat itu juga sejumlah anggota pasukan raja diberikan pakaian baru dalam sebuah acara yang mengharukan.

Letak asli dharma di Kagenengan belum diketahui dengan pasti, tetapi kiranya lokasinya dahulu tidak jauh di sebelah selatan Kota  Malang sekarang. Salah satu nama tempat yang menarik perhatian adalah desa Genengan di kecamatan Pakisaji, 8 km dari pusat kota di jalan raya menuju Kepanjen. Di desa tersebut pernah ditemukan peninggalan purbakala berupa lingga dari batu andesit.

Perlu disebutkan juga sebuah dusun bernama Kagenengan di desa Parangargo, termasuk kecamatan Wagir. Di bagian selatan dusun tersebut tampak sebidang tanah tinggi yang diapiti oleh dua sungai/jurang, disebut “Sokan” oleh penduduk setempat. Bukti arkaeologis di Sokan terlihat jelas dalam bentuk pecahan batu bata berukuran besar atau pun fragmen batu, termasuk sebuah lingga kecil. Menurut masyarakat desa, di Sokan pernah ditemukan sejumlah peninggalan kuna, antara lain arca, guci dan juga sebuah prasasti dari batu. Sayang bahwa keberadaannya tidak diketahui lagi. Tahun 2000 masih ada laporan tentang sebuah fondasi lama yang terbuat dari “batu candi” di tengah-tengah tanah Sokan yang merupakan lautan tebu yang belum di panen, namun tahun 2016 fondasi tersebut sudah tidak berbekas. Meskipun sangat minim tinggalan, rekontruksi di atas kertas menunjukkan bahwa tegal Sokan tidak bertentangan dengan gambaran Prapanca terhadap dharma di Kagenengan.

Identifikasi dusun Kagenengan dengan dharma Kagenengan diperkuat lagi oleh tradisi setempat. Bukan hanya setiap jalan di dusun tersebut menampilkan nama seorang pembesar dari kerajaan  Singhasari, tetapi masyarakat desa justru percaya bahwa Ken Angrok (Ranggah Rajasa) sendiri “dimakamkan” di puncak gunung Katu yang tampak jelas tidak jauh di sebelah barat. Demikianlah, sekalipun bersifat hipotesis, kiranya argumen yang dikemukakan di atas telah memberikan cukup alasan untuk mengadakan penelitian lebih mendalam di daerah tersebut, khususnya di Sokan.

wamnan muwah lari nareswarenjing umareng sudharma ri kidhal,

sampun manamya ri bhatara lingsir anuluy dhatang ri jajaghu,

sampun muwah marek i sanghyang arca jinawimbha sonten amgil

enjing maluy musir i singhasari tan alh mararyan i bureng. (37:7)

 

… pada pagi berikut ia berkunjung ke dharma di Kidhal , dan setelah

memberi sembahan melanjutkan perjalanan ke Jajaghu, menghadap

kepada arca Buddha, kemudian bermalam disana. Pada pagi hari


ia kembali ke Singhasari, tetapi terlebih dahulu berhenti di Bureng.

            Kalau melihat jarak antara Singosari dan Wagir, yakni ± 16 km, dapat diduga bahwa Hayam Wuruk bermalam di sekitar Kagenengan sebelum melanjutkan perjalanannya ke Kidhal  dan Jajaghu. Perkiraan ini ternyata didukung oleh teks Desawarnana yang menjelaskan bahwa enjing (pada pagi berikut) raja pergi ke dharma di Kidhal. Dharma tersebut dapat diidentifikasikan dengan monumen peninggalan bernama candi Kidal, yang terletak di desa Kidal, kecamtan Tumpang, 11 km di sebelah tenggara kota  Malang. Menurut Prapanca, dharma di Kidhal didirikan untuk Anusanatha yang menggantikan Ranggah Rajasa sebagai raja di Tumapel dan wafat pada tahun 1170 S (1248 M).

Desa Kidal terletak pada jarak 13 km di sebelah timur Parangargo (kecamatan Wagir) yang telah dihubungkan dengan Kagenengan. Seandainya identifikasi tersebut dapat diterima, besar kemungkinan bahwa dalam perjalanan menuju Kidhal, Hayam Wuruk menyebrangi sungai Brantas di sekitar desa Kendalpayak dan mengikuti rute yang menyisir bagian selatan gunung Buring melalui kecamatan Pakisaji dan Tajinan sekarang. Kemudian, setelah berhenti sebentar di dharma milik Anusanatha, ia langsung melanjutkan perjalanan dan tiba di desa Tumpang yang terletak 6 km di sebelah timur Kidal. Di desa tersebut tampak sebuah bangunan kuna disebut candi Jago, yang tentunya tidak lain dari pada dharma Jajaghu yang digambarkan oleh Prapanca.

Menurut Desawarnana 4I : 2-4, raja ketiga di Tumapel bernama Wisnuwardhana. Raja ini menggantikan ayahnya yang berkuasa sampai tahun 1268 M, kemudian di-dharma-kan sebagai Siwa di Waleri dan sebagai Buddha di Jajaghu. Sampai sekarang di candi Jago terlihat sebuah arca Buddha dalam bentuk Amogapasha, yang dianggap sebagai wujud dari pada raja Wisnuwadhana.

Setelah bermalam di Jajaghu, pada pagi berikut Hayam Wuruk kembali ke Singhasari melalui Bureng. Seperti sudah disebutkan, Bureng mungkin sekali dapat diidentifikasikan dengan desa Mendit yang terletak 12 km di sebelah baratlaut candi Jago. Jarak antara Mendit dan Singosari 7,5 km. Meskipun Prapanca tidak menyebutkan nama desa lain dalam bagian perjalanan ini, peninjauan di lapangan menunjukkan bahwa rute yang diambil dari Bureng menjurus langsung ke utara dengan menyisir bagian timur kota  Malang sekarang, melalui desa Mangliawan, Tirtomoyo, Banjararum, dan Watugede. Ternyata sejumlah peninggalan purbakala masih ditemukan di jalan tersebut.

Pada waktu kembali ke Singhasari, Prapanca berkunjung ke seorang pendeta Buddhis (sthapaka) bernama Dhang Acarya Ratnangsa yang usianya ‘lebih dari 1000 bulan’. Tokoh ini menjabat pemimpin biara di Mungguh, dan telah diberikan tugas terhormat sebagai pengawas dharma di Singhasari. Adapun maksud kunjungan Prapanca adalah untuk memohon penjelasan tentang sejarah para leluhur raja Hayam Wuruk, termasuk asal mula wangsa Rajasa di sebelah timur gunung Kawi. Keterangan yang diberikan kemudian oleh pendeta Ratnangsa kini menjadi salah satu pegangan utama bagi para ahli sejarah Singhasari dan Majapahit.179

Kisah sejarah wangsa Rajasa merupakan sebuah selingan dalam karya Prapanca, yang dilanjutkan dengan gambaran tentang ekspedisi perburuan binatang buas di hutan bernama Nandaka. Lokasi hutan tersebut tidak diketahui.

krama subhakala mangkat ahawan banu hanget i banir muwah talijungan,

amgil i wedhwawedwan irikang dina mahawan i kuwara ri celong,

mwang i dadamar garantang i pager tagala pahanangan tekekha dinunung.

(55:2b-d)

… ia berangkat melalui Banu hanget, Banir, dan Talijungan, ber,alam di

Wedhwa-wedwan. Pada hari berikut melewati Kuwaraha dan Celong,

serta  Dadamar, Garantang, Pager Talaga dan Pahanangan…

                Hayam Wuruk telah meninggalkan keratonnya di Majapahit selama kurang lebih dua bulan dan sekarang ia mulai rindu kepada kehidupan di kota. Demikianlah sehabis ekspedisi perburuan sang raja memutuskan untuk pulang. Jalan yang ditempuh pada hari pertama menuju ke arah utara melalui Banu Hanget, Banir, dan Talijungan, sampai di Wedhwa-wedwan, tempat rombongan bermalam. Di antara nama-nama tempat yang dilewati sepanjang jalan tersebut , hanya Wedhwa-wedwan yang dapat diidentifikasikan pada masa sekarang. Kiranya posisinya berada di bukit Wedon, yang tampak di sebelah barat jalan raya di desa Turirejo, kecamatan Lawang, 9 km di sebelah utara Singosari.

                        Pada Desawarnana 73:3 nama Wedhwa-wedwan tercatat di antara 27 sudharma haji yang didirikan untuk para raja dari wangsa Rajasa serta leluhurnya. Siapakah tokoh yang di-dharma-kan di tempat tersebut belum diketahui, tetapi oleh karena letaknya berdekatan dengan Singosari, dapat diduga bahwa dharma di Wedhwa-wedwan mewakili salah seorang penguasa di Tumapel.

peta perjalanan hayam wuruk di malang raya

Peta perjalanan Hayam Wuruk di  Malang raya tahun 1359 M berdasarkan Kakawin Nāgarakŗtāgama
Tentang jalan yang ditempuh oleh raja dari Singhasari ke Wedhwa-wedwan, kita berhadapan dengan dua pilihan. Rute pertama menuju langsung ke arah utara dengan mengikuti jalan raya Singosari-Lawang sekarang. Rute ini adalah jalan lama, yang digunakan oleh pasukan Jayakatwang waktu menyerbu kerajaan Singhasari pada tahun 1292 M. Baik kidung Harsawijaya maupun Pararaton menyebutkan bahwa tentara musuh turun dari arah utara dan berhenti di desa  Memeling, yang tentunya tidak lain daripada dusun Meling di desa Bedali, 6 km di sebelah ulara Singosari. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa Banu Hanget, yang menunjukkan sebuah sumber air panas, dapat diidentifikasikan dengan pemandian kuna di dusun Polaman yang merupakan tetangga Meling, masih termasuk desa Bedali.

Kini sumber di Polaman hanya mengeluarkan air dingin, tetapi belum tentu begitu pada masa lalu. Di samping itu di Polaman masih ditemukan peninggalan purbakala berupa batu-batu candi, baik di sekitar pemandian maupun di sebuah gua yang terletak pada jarak 350 m di sebelah baratlaut. Menurut tradisi setempat, gua tersebut bekas pertapaan Ken Angrok. Seandainya Banu Hanget terletak di dusun Polaman sekarang, kedua desa Banir dan Talijungan perlu dicari di sekitar pusat kecamatan Lawang.

Masih ada kemungkinan bahwa Hayam Wuruk memilih jalan memutar yang lebih jauh di sebelah barat dan melewati situs yang kini dikenal dengan nama candi Sumberawan, termasuk desa Toyomarto. Menurut penduduk desa, di Sumberawan dahulu ada sumber air panas, yang mungkin dapat disamakan dengan Banu Hanget.

(Sumber: Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca, Hadi Sidomulyo, 2007. Foto sampul adalah foto wilayah Ngantang  Malang awal abad 20)
[18/6 19.39] rudysugengp@gmail.com: *Biografi Tokoh Indonesia Hayam Wuruk, Raja Terbesar Kerajaan Majapahit* Kompas.com, 1 Mei 2021, 17:30 WIB 
Widya Lestari Ningsih, Nibras Nada Nailufar Tim Redaksi 

KOMPAS.com - Hayam Wuruk adalah raja keempat Kerajaan Majapahit yang memerintah antara tahun 1350-1389 masehi. Setelah resmi menjadi raja, gelarnya adalah Sri Rajasanagara. Hayam Wuruk adalah raja terbesar dalam sejarah Kerajaan Majapahit yang memerintah didampingi oleh Patih Gajah Mada. Di bawah kekuasaannya, Kerajaan Majapahit mampu mencapai puncak kejayaannya.

*Silsilah*

Hayam Wuruk adalah putra dari pasangan Tribhuwana Tunggadewi (penguasa ketiga Majapahit) dan Sri Kertawardhana alias Cakradhara yang lahir pada 1334 masehi.
 Ibunya adalah putri dari Raden Wijaya, pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Majapahit yang bergelar Kertarajasa Jayawardhana. 

Hayam Wuruk memiliki adik perempuan bernama Dyah Nertaja yang kelak menjadi Bhre Pajang. Permaisuri Hayam Wuruk adalah putri dari Wijayarajasa atau Bhre Wengker yang bernama Sri Sudewi dengan gelar Paduka Sori. Dari permaisurinya, Hayam Wuruk mempunyai putri bernama Kusumawardhani, yang kemudian menikah dengan Wikramawardhana (raja kelima Majapahit). 

*Masa pemerintahan*

 Hayam Wuruk diangkat sebagai raja ketika baru berusia 16 tahun, menggantikan ibunya, Tribhuwana Tunggadewi, yang mundur setelah 21 tahun berkuasa. Selama 39 tahun (1350-1389 M) berkuasa, Hayam Wuruk disebut-sebut sebagai raja Majapahit terbesar atau paling utama. Keberhasilannya membawa Majapahit menuju puncak kejayaan tidak lepas dari bantuan Mahapatih Gajah Mada. Pada saat Hayam Wuruk dan Gajah Mada menjalankan pemerintahan, seluruh kepulauan Indonesia bahkan Jazirah Malaka mengibarkan panji-panji Majapahit. Sumpah Palapa yang dinyatakan Gajah Mada pun terlaksana, dengan daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, ditambah Tumasik (Singapura)dan sebagian Kepulauan Filipina. Selain itu, kerajaan ini memiliki hubungan dengan Campa (Thailand), Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, Vietnam, dan Tiongkok. Majapahit juga mempunyai armada angkatan laut yang tangguh di bawah pimpinan Mpu Nala. Dengan kekuatan militer dan strateginya, Majapahit mampu menciptakan stabilitas di wilayahnya. 

 Sementara dalam bidang ekonomi, Majapahit menjadi pusat perniagaan di Asia Tenggara dengan komoditas ekspor terdiri dari lada, garam, dan kain. Mata uangnya terbuat dari campuran perak, timah putih, timah hitam, dan tembaga. Selama pemerintahan Hayam Wuruk, terjadi tiga peristiwa penting, yaitu: 
- Peristiwa Bubat pada 1357 M
-  Perjalanan suci Hayam Wuruk ke tempat leluhurnya
-  Upacara Crada yang diadakan untuk memeringati wafatnya Rajapatni pada 1362 M

*Akhir hidup Hayam Wuruk*

Setelah Gajah Mada mundur dari jabatannya dan wafat pada 1364 M, Hayam Wuruk mengangkat Gajah Enggon sebagai patih. Hayam Wuruk kemudian wafat pada 1389 M di usia 55 tahun dan dimakamkan di Tajung. Setelah Gajah Mada dan Hayam Wuruk tiada, Kerajaan Majapahit terus mengalami kemunduran.

*Peninggalan Hayam Wuruk*

 Hayam Wuruk memiliki banyak peninggalan berupa candi dan kitab kesusastraan. Berikut ini beberapa peninggalannya yang berupa candi. 
- Candi Penataran
- Candi Sawentar
- Candi Tikus 
- Candi Jabung 

Berikut ini beberapa peninggalannya yang berupa kitab kesusastraan. 
- Kitab Negarakertagama yang ditulis Mpu Prapanca 
- Kitab Sutasoma yang ditulis Mpu Tantular 
- Kitab Arjunawijaya yang ditulis Mpu Tantular   

Referensi: Srinansy dan Rachadian, Harry. (2010). Ensiklopedia Kerajaan-Kerajaan Nusantara. Bandung: Multi Kreasi Satu Delapan.


Perjalanan dinas Hayam wuruk di seputar wilayah Malang raya dimulai dari Pasuruhan di utara kemudian menuju ke Singhasari melalui Kedhung Peluk dan menuju Lembah. Nama desa Kedhung Peluk juga tercatat dalam prasasti Kudadu berangka tahun 1216 Saka (1294 Masehi). Pada lempeng IVa dikisahkan tentang pengejaran pasukan Jayakatwang oleh raden Wijaya dan Ardharaja yang bergerak ke utara dari Singhasari melalui Kedhung Peluk. Lembah sekarang ini dapat disamakan dengan desa Rembang sekarang yang terletak 12 Km di utara Kedung Peluk. Jarak antara Kedhung Peluk ke desa Lawang adalah 14 Km, sedangkan Singhasari berada di 7Km sebelah selatan Lawang.


Perjalanan raja ke Singhasari tidak disaksikan oleh Prapanca yang mendapat izin untuk meninggalkan rombongan sebentar dan berkunjung ke sebuah biara Buddhis bernama Dharbaru yang terletak di tanah milik desa Hujung dan berkuasa atas sebagian daerah di sekitarnya, termasuk Hepit, Markaman, dan Balungkur. Meskipun kedua nama terakhir tidak dikenal lagi, kiranya Hujung dan Hepit dapat ditemukan kembali di desa Ngujung, termasuk desa Sambisirah (kecamatan Wonorejo), dan desa Ngempit di kecamatan Kraton. Letak kedua tempat tersebut, yang masing-masing 10 km dan 8 km di sebelah barat-daya kota Pasuruan sekarang, tidak bertentangan dengan gambaran Prapanca.


Nrepati huwus mamusp ri dalem sudharma sakatustaning tewas gin ong,

hana ni kedhung bhiru ri kasurangganamwang i bureng langonyenitung.

(35 : 4c-d)


Raja telah melakukan puja bhakti dalam dharma, kini mencari hiburan,

kadang-kadang di Kedung Biru, di Kasurangganan, atau di Bureng….


            Tidak diketahui berapa lama Hayam Wuruk tinggal di Singhasari. Prapanca hanya menyebutkan bahwa sehabis melakukan puja bhakti di sebuah dharma, raja bersantai-santai selama beberapa waktu sambil menikmati keindahan alam di Kedhung Biru dan Bureng.


Dalam uraiannya pada Desawarnana 35: 4, Pigeaud berasumsi bahwa dharma yang dimaksud adalah candi milik buyut Hayam Wuruk, Sri Kretanagara, yang wafat pada tahun 1292 M. Perkiraan Pigeaud masuk akal, tetapi masih perlu dipertanyakan apakah dharma tersebut dapat dihubungkan dengan monumen yang kini dikenal dengan nama candi Singosari. Masalahnya adalah bahwa, menurut keterangan Prapanca, Kretanegara di-dharma-kan di Singhasari dengan arca berwujud Siwa-Buddha ( dhinarmmasiwabuddharcca ), sedangkan bangunan candi yang tampak sekarang di desa Singosari tidak memperlihatkan unsur Buddhis.


Bagaimanapun juga, kiranya tidak perlu kita ragukan bahwa pusat kerajaan Singhasari dahulu terletak di desa Singosari sekarang, 10 km di sebelah utara kota  Malang. Dengan demikian Kedhung Biru dapat disamakan dengan dusun bernama Biru di desa Gunungrejo, 1,5 km di sebelah barat laut candi Singosari. Selain alam di sekitarnya yang mendukung identifikasinya sebagai “taman bidadari” ( kasurangganan ), ternyata letak dusun Biru tepat di tepi jurang, atau kedung, yang memiliki sejumlah sumber air jernih yang salah satu di antaranya yaitu Sumberbiru, masih memperlihatkan peninggalan purbakala berupa susunan bata merah yang kini terpendam di bawah struktur bangunan baru.


Bureng dapat diidentifikasikan dengan pemandian alam di desa Mendit, 5 km di sebelah timur laut pusat kota  Malang, termasuk kecamatan Pakis. Identifikasi tersebut tidak bertentangan dengan Desawarnana 37: 7, yang menempatkan Bureng di perjalanan antara Jajaghu (kecamatan Tumpang) dan Singhasari. Meskipun “candi dari batu di tengah danau” tidak kelihatan lagi di Mendit, sejumlah batu peninggalan masih tersimpan di sebuah bangunan tidak jauh dari lokasi pemandian. Peninggalan purbakala ditemukan juga di desa Mangliawan, yang membatasi Mendit di sebelah utara.


Krama subhakala sahnira ri singhasari mangidul mare kegenengan,(36:1a)


Demikian, pada waktu yang menguntungkan ia meninggalkan Singhasari dan

pergi ke arah selatan, menuju Kagenengan.


Seperti halnya di Gendhing, Hayam Wuruk menunggu waktu yang tepat sebelum meninggalkan Singhasari.  Oleh karena acara berikutnya kunjungan ke tempat pen-dharma-an para leluhurnya di Kagenengan, Kidhal dan Jajaghu, tentunya diperlukan hari yang baik untuk melakukan perjalanan tersebut sesuai dengan petunjuk dari para penasihatnya, termasuk ahli nujumnya.


Demikianlah, dari Singhasari rombongan berjalan secara ramai–ramai ke arah selatan menuju Kagenengan, yaitu dharma yang dibangun untuk Sri Ranggah Rajasa, pendiri wangsa yang sedang berkuasa di Majapahit. Kemudian, sehabis melakukan puja bhakti, sang raja serta kerabatnya duduk bersama para arya, termasuk pendeta Syaiwa dan Buddha, sambil menerima penghormatan dari masyarakat setempat. Pada saat itu juga sejumlah anggota pasukan raja diberikan pakaian baru dalam sebuah acara yang mengharukan.


Letak asli dharma di Kagenengan belum diketahui dengan pasti, tetapi kiranya lokasinya dahulu tidak jauh di sebelah selatan Kota  Malang sekarang. Salah satu nama tempat yang menarik perhatian adalah desa Genengan di kecamatan Pakisaji, 8 km dari pusat kota di jalan raya menuju Kepanjen. Di desa tersebut pernah ditemukan peninggalan purbakala berupa lingga dari batu andesit.


Perlu disebutkan juga sebuah dusun bernama Kagenengan di desa Parangargo, termasuk kecamatan Wagir. Di bagian selatan dusun tersebut tampak sebidang tanah tinggi yang diapiti oleh dua sungai/jurang, disebut “Sokan” oleh penduduk setempat. Bukti arkaeologis di Sokan terlihat jelas dalam bentuk pecahan batu bata berukuran besar atau pun fragmen batu, termasuk sebuah lingga kecil. Menurut masyarakat desa, di Sokan pernah ditemukan sejumlah peninggalan kuna, antara lain arca, guci dan juga sebuah prasasti dari batu. Sayang bahwa keberadaannya tidak diketahui lagi. Tahun 2000 masih ada laporan tentang sebuah fondasi lama yang terbuat dari “batu candi” di tengah-tengah tanah Sokan yang merupakan lautan tebu yang belum di panen, namun tahun 2016 fondasi tersebut sudah tidak berbekas. Meskipun sangat minim tinggalan, rekontruksi di atas kertas menunjukkan bahwa tegal Sokan tidak bertentangan dengan gambaran Prapanca terhadap dharma di Kagenengan.


Identifikasi dusun Kagenengan dengan dharma Kagenengan diperkuat lagi oleh tradisi setempat. Bukan hanya setiap jalan di dusun tersebut menampilkan nama seorang pembesar dari kerajaan  Singhasari, tetapi masyarakat desa justru percaya bahwa Ken Angrok (Ranggah Rajasa) sendiri “dimakamkan” di puncak gunung Katu yang tampak jelas tidak jauh di sebelah barat. Demikianlah, sekalipun bersifat hipotesis, kiranya argumen yang dikemukakan di atas telah memberikan cukup alasan untuk mengadakan penelitian lebih mendalam di daerah tersebut, khususnya di Sokan.


wamnan muwah lari nareswarenjing umareng sudharma ri kidhal,


sampun manamya ri bhatara lingsir anuluy dhatang ri jajaghu,


sampun muwah marek i sanghyang arca jinawimbha sonten amgil


enjing maluy musir i singhasari tan alh mararyan i bureng. (37:7)


 


… pada pagi berikut ia berkunjung ke dharma di Kidhal , dan setelah


memberi sembahan melanjutkan perjalanan ke Jajaghu, menghadap


kepada arca Buddha, kemudian bermalam disana. Pada pagi hari



ia kembali ke Singhasari, tetapi terlebih dahulu berhenti di Bureng.


            Kalau melihat jarak antara Singosari dan Wagir, yakni ± 16 km, dapat diduga bahwa Hayam Wuruk bermalam di sekitar Kagenengan sebelum melanjutkan perjalanannya ke Kidhal  dan Jajaghu. Perkiraan ini ternyata didukung oleh teks Desawarnana yang menjelaskan bahwa enjing (pada pagi berikut) raja pergi ke dharma di Kidhal. Dharma tersebut dapat diidentifikasikan dengan monumen peninggalan bernama candi Kidal, yang terletak di desa Kidal, kecamtan Tumpang, 11 km di sebelah tenggara kota  Malang. Menurut Prapanca, dharma di Kidhal didirikan untuk Anusanatha yang menggantikan Ranggah Rajasa sebagai raja di Tumapel dan wafat pada tahun 1170 S (1248 M).


Desa Kidal terletak pada jarak 13 km di sebelah timur Parangargo (kecamatan Wagir) yang telah dihubungkan dengan Kagenengan. Seandainya identifikasi tersebut dapat diterima, besar kemungkinan bahwa dalam perjalanan menuju Kidhal, Hayam Wuruk menyebrangi sungai Brantas di sekitar desa Kendalpayak dan mengikuti rute yang menyisir bagian selatan gunung Buring melalui kecamatan Pakisaji dan Tajinan sekarang. Kemudian, setelah berhenti sebentar di dharma milik Anusanatha, ia langsung melanjutkan perjalanan dan tiba di desa Tumpang yang terletak 6 km di sebelah timur Kidal. Di desa tersebut tampak sebuah bangunan kuna disebut candi Jago, yang tentunya tidak lain dari pada dharma Jajaghu yang digambarkan oleh Prapanca.


Menurut Desawarnana 4I : 2-4, raja ketiga di Tumapel bernama Wisnuwardhana. Raja ini menggantikan ayahnya yang berkuasa sampai tahun 1268 M, kemudian di-dharma-kan sebagai Siwa di Waleri dan sebagai Buddha di Jajaghu. Sampai sekarang di candi Jago terlihat sebuah arca Buddha dalam bentuk Amogapasha, yang dianggap sebagai wujud dari pada raja Wisnuwadhana.


Setelah bermalam di Jajaghu, pada pagi berikut Hayam Wuruk kembali ke Singhasari melalui Bureng. Seperti sudah disebutkan, Bureng mungkin sekali dapat diidentifikasikan dengan desa Mendit yang terletak 12 km di sebelah baratlaut candi Jago. Jarak antara Mendit dan Singosari 7,5 km. Meskipun Prapanca tidak menyebutkan nama desa lain dalam bagian perjalanan ini, peninjauan di lapangan menunjukkan bahwa rute yang diambil dari Bureng menjurus langsung ke utara dengan menyisir bagian timur kota  Malang sekarang, melalui desa Mangliawan, Tirtomoyo, Banjararum, dan Watugede. Ternyata sejumlah peninggalan purbakala masih ditemukan di jalan tersebut.


Pada waktu kembali ke Singhasari, Prapanca berkunjung ke seorang pendeta Buddhis (sthapaka) bernama Dhang Acarya Ratnangsa yang usianya ‘lebih dari 1000 bulan’. Tokoh ini menjabat pemimpin biara di Mungguh, dan telah diberikan tugas terhormat sebagai pengawas dharma di Singhasari. Adapun maksud kunjungan Prapanca adalah untuk memohon penjelasan tentang sejarah para leluhur raja Hayam Wuruk, termasuk asal mula wangsa Rajasa di sebelah timur gunung Kawi. Keterangan yang diberikan kemudian oleh pendeta Ratnangsa kini menjadi salah satu pegangan utama bagi para ahli sejarah Singhasari dan Majapahit.179


Kisah sejarah wangsa Rajasa merupakan sebuah selingan dalam karya Prapanca, yang dilanjutkan dengan gambaran tentang ekspedisi perburuan binatang buas di hutan bernama Nandaka. Lokasi hutan tersebut tidak diketahui.


krama subhakala mangkat ahawan banu hanget i banir muwah talijungan,


amgil i wedhwawedwan irikang dina mahawan i kuwara ri celong,


mwang i dadamar garantang i pager tagala pahanangan tekekha dinunung.


(55:2b-d)


… ia berangkat melalui Banu hanget, Banir, dan Talijungan, ber,alam di


Wedhwa-wedwan. Pada hari berikut melewati Kuwaraha dan Celong,


serta  Dadamar, Garantang, Pager Talaga dan Pahanangan…


                Hayam Wuruk telah meninggalkan keratonnya di Majapahit selama kurang lebih dua bulan dan sekarang ia mulai rindu kepada kehidupan di kota. Demikianlah sehabis ekspedisi perburuan sang raja memutuskan untuk pulang. Jalan yang ditempuh pada hari pertama menuju ke arah utara melalui Banu Hanget, Banir, dan Talijungan, sampai di Wedhwa-wedwan, tempat rombongan bermalam. Di antara nama-nama tempat yang dilewati sepanjang jalan tersebut , hanya Wedhwa-wedwan yang dapat diidentifikasikan pada masa sekarang. Kiranya posisinya berada di bukit Wedon, yang tampak di sebelah barat jalan raya di desa Turirejo, kecamatan Lawang, 9 km di sebelah utara Singosari.


                        Pada Desawarnana 73:3 nama Wedhwa-wedwan tercatat di antara 27 sudharma haji yang didirikan untuk para raja dari wangsa Rajasa serta leluhurnya. Siapakah tokoh yang di-dharma-kan di tempat tersebut belum diketahui, tetapi oleh karena letaknya berdekatan dengan Singosari, dapat diduga bahwa dharma di Wedhwa-wedwan mewakili salah seorang penguasa di Tumapel.


peta perjalanan hayam wuruk di malang raya


Peta perjalanan Hayam Wuruk di  Malang raya tahun 1359 M berdasarkan Kakawin Nāgarakŗtāgama

Tentang jalan yang ditempuh oleh raja dari Singhasari ke Wedhwa-wedwan, kita berhadapan dengan dua pilihan. Rute pertama menuju langsung ke arah utara dengan mengikuti jalan raya Singosari-Lawang sekarang. Rute ini adalah jalan lama, yang digunakan oleh pasukan Jayakatwang waktu menyerbu kerajaan Singhasari pada tahun 1292 M. Baik kidung Harsawijaya maupun Pararaton menyebutkan bahwa tentara musuh turun dari arah utara dan berhenti di desa  Memeling, yang tentunya tidak lain daripada dusun Meling di desa Bedali, 6 km di sebelah ulara Singosari. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa Banu Hanget, yang menunjukkan sebuah sumber air panas, dapat diidentifikasikan dengan pemandian kuna di dusun Polaman yang merupakan tetangga Meling, masih termasuk desa Bedali.


Kini sumber di Polaman hanya mengeluarkan air dingin, tetapi belum tentu begitu pada masa lalu. Di samping itu di Polaman masih ditemukan peninggalan purbakala berupa batu-batu candi, baik di sekitar pemandian maupun di sebuah gua yang terletak pada jarak 350 m di sebelah baratlaut. Menurut tradisi setempat, gua tersebut bekas pertapaan Ken Angrok. Seandainya Banu Hanget terletak di dusun Polaman sekarang, kedua desa Banir dan Talijungan perlu dicari di sekitar pusat kecamatan Lawang.


Masih ada kemungkinan bahwa Hayam Wuruk memilih jalan memutar yang lebih jauh di sebelah barat dan melewati situs yang kini dikenal dengan nama candi Sumberawan, termasuk desa Toyomarto. Menurut penduduk desa, di Sumberawan dahulu ada sumber air panas, yang mungkin dapat disamakan dengan Banu Hanget.

(Sumber: Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca, Hadi Sidomulyo, 2007. Foto sampul adalah foto wilayah Ngantang  Malang awal abad 20)

Biografi Tokoh Indonesia Hayam Wuruk, Raja Terbesar Kerajaan Majapahit* Kompas.com, 1 Mei 2021, 17:30 WIB 

Widya Lestari Ningsih, Nibras Nada Nailufar Tim Redaksi 

KOMPAS.com - Hayam Wuruk adalah raja keempat Kerajaan Majapahit yang memerintah antara tahun 1350-1389 masehi. Setelah resmi menjadi raja, gelarnya adalah Sri Rajasanagara. Hayam Wuruk adalah raja terbesar dalam sejarah Kerajaan Majapahit yang memerintah didampingi oleh Patih Gajah Mada. Di bawah kekuasaannya, Kerajaan Majapahit mampu mencapai puncak kejayaannya.

*Silsilah*

Hayam Wuruk adalah putra dari pasangan Tribhuwana Tunggadewi (penguasa ketiga Majapahit) dan Sri Kertawardhana alias Cakradhara yang lahir pada 1334 masehi.

 Ibunya adalah putri dari Raden Wijaya, pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Majapahit yang bergelar Kertarajasa Jayawardhana. 

Hayam Wuruk memiliki adik perempuan bernama Dyah Nertaja yang kelak menjadi Bhre Pajang. Permaisuri Hayam Wuruk adalah putri dari Wijayarajasa atau Bhre Wengker yang bernama Sri Sudewi dengan gelar Paduka Sori. Dari permaisurinya, Hayam Wuruk mempunyai putri bernama Kusumawardhani, yang kemudian menikah dengan Wikramawardhana (raja kelima Majapahit). 

*Masa pemerintahan*

 Hayam Wuruk diangkat sebagai raja ketika baru berusia 16 tahun, menggantikan ibunya, Tribhuwana Tunggadewi, yang mundur setelah 21 tahun berkuasa. Selama 39 tahun (1350-1389 M) berkuasa, Hayam Wuruk disebut-sebut sebagai raja Majapahit terbesar atau paling utama. Keberhasilannya membawa Majapahit menuju puncak kejayaan tidak lepas dari bantuan Mahapatih Gajah Mada. Pada saat Hayam Wuruk dan Gajah Mada menjalankan pemerintahan, seluruh kepulauan Indonesia bahkan Jazirah Malaka mengibarkan panji-panji Majapahit. Sumpah Palapa yang dinyatakan Gajah Mada pun terlaksana, dengan daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, ditambah Tumasik (Singapura)dan sebagian Kepulauan Filipina. Selain itu, kerajaan ini memiliki hubungan dengan Campa (Thailand), Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, Vietnam, dan Tiongkok. Majapahit juga mempunyai armada angkatan laut yang tangguh di bawah pimpinan Mpu Nala. Dengan kekuatan militer dan strateginya, Majapahit mampu menciptakan stabilitas di wilayahnya. 

 Sementara dalam bidang ekonomi, Majapahit menjadi pusat perniagaan di Asia Tenggara dengan komoditas ekspor terdiri dari lada, garam, dan kain. Mata uangnya terbuat dari campuran perak, timah putih, timah hitam, dan tembaga. Selama pemerintahan Hayam Wuruk, terjadi tiga peristiwa penting, yaitu: 

- Peristiwa Bubat pada 1357 M

-  Perjalanan suci Hayam Wuruk ke tempat leluhurnya

-  Upacara Crada yang diadakan untuk memeringati wafatnya Rajapatni pada 1362 M

*Akhir hidup Hayam Wuruk*

Setelah Gajah Mada mundur dari jabatannya dan wafat pada 1364 M, Hayam Wuruk mengangkat Gajah Enggon sebagai patih. Hayam Wuruk kemudian wafat pada 1389 M di usia 55 tahun dan dimakamkan di Tajung. Setelah Gajah Mada dan Hayam Wuruk tiada, Kerajaan Majapahit terus mengalami kemunduran.

*Peninggalan Hayam Wuruk*

 Hayam Wuruk memiliki banyak peninggalan berupa candi dan kitab kesusastraan. Berikut ini beberapa peninggalannya yang berupa candi. 

- Candi Penataran

- Candi Sawentar

- Candi Tikus 

- Candi Jabung 

Berikut ini beberapa peninggalannya yang berupa kitab kesusastraan. 

- Kitab Negarakertagama yang ditulis Mpu Prapanca 

- Kitab Sutasoma yang ditulis Mpu Tantular 

- Kitab Arjunawijaya yang ditulis Mpu Tantular   

Referensi: Srinansy dan Rachadian, Harry. (2010). Ensiklopedia Kerajaan-Kerajaan Nusantara. Bandung: Multi Kreasi Satu Delapan.

Senin, 03 Juni 2024

SERBA SERBI BASA JAWA

 [3/6 12.25] rudysugengp@gmail.com: *Nama Anak Hewan dalam Bahasa Jawa*

 Kompas.com, 1 Juni 2024, 14:00 WIB Baca di App Eliza Naviana Damayanti, Serafica Gischa Tim Redaksi


KOMPAS.com - Dalam bahasa Jawa, anak hewan disebut dengan arane anak kewan, dan dalam bahasa Indonesia, tidak banyak istilah yang membedakan penyebutan anak hewan dari nama induknya. Seperti halnya ketika seseorang menyebut sapi, mereka tidak menggunakan sebutan khusus untuk anaknya, hanya disebut "anak sapi". Berbeda dengan bahasa Jawa, berbagai jenis anak hewan disebut arane anak kewan, yang berarti nama anak hewan. Ini digunakan dalam bahasa Jawa saat berbicara secara lisan dan menulis. 


Berikut adalah arane anak kewan atau nama anak hewan dalam bahasa Jawa: 


1. Anak ampal jenenge: embug 

2. Anak angrang (semut merah) jenenge: kroto 

3. Anak asu (anjing) jenenge: kirik 

4. Anak ayam alas (ayam hutan) jenenge: bekisar 

5. Anak babi jenenge: gembluk 

6. Anak bandeng jenenge: nener 

7. Anak bantheng jenenge: wareng 

8. Anak banyak (angsa) jenenge: blengur  

9. Anak baya (buaya) jenenge: krete 

10. Anak bebek jenenge: meri 

11. Anak bethik jenenge: menter 

12. Anak blanak jenenge: sendha 

13. Anak brati jenenge: tongki 

14. Anak budheng (lutung) jenenge: kowe 

15. Anak bulus jenenge: ketul 

16. Anak cacing jenenge: lur 

17. Anak cecak (cicak) jenenge: sawiyah 

18. Anak celeng (babi hutan) jenenge: genjik 

19. Anak coro (kecoak) jenenge: mendhet 

20. Anak dara jenenge: piyik 

21. Anak dhorang jenenge: tamper 

22. Anak emprit (burung bondol) jenenge: indhil 

23. Anak gagak jenenge: engkak 

24. Anak gajah jenenge: bledug 

25. Anak gangsir (jangkrik besar) jenenge: clondho 

26. Anak garangan jenenge: rase 

27. Anak garengpung (tonggeret) jenenge: drungkuk 

28. Anak gemak jenenge: drigul 

29. Anak glatik jenenge: cecrekan 

30. Anak gundik jenenge: laron /rayap 

31. Anak iwak (ikan) jenenge: beyong 

32. Anak jangkrik jenenge: cendholo 

33. Anak jaran (kuda) jenenge: belo 

34. Anak kadal jenenge: tobil 

35. Anak kakap jenenge: caplek 

36. Anak kalajengking jenenge: ketupa 

37. Anak kancil jenenge: kenthi 

38. Anak kebo (kerbau) jenenge: gudel 

39. Anak kethek (monyet) jenenge: munyuk/kenyung 

40. Anak kecapung jenenge: jenthit 

41. Anak kemangga (laba-laba) jenenge: ceriwi 

42. Anak kepik jenenge: mreki 

43. Anak kidang (kijang) jenenge: kompreng 

44. Anak kimar (keledai) jenenge: kedah 

45. Anak kinjeng (capung) jenenge: senggutru 

46. Anak kinjeng dom (capung jarum) jenenge: undur-undur 

47. Anak kintel (belentung) jenenge: kenthus 

48. Anak kodhok jenenge: precil 

49. Anak kumbang jenenge: engkuk 

50. Anak kunang jenenge: endrak 

51. Anak kremi (cacing) jenenge: racek 

52. Anak kucing jenenge: cemeng 

53. Anak keong/kul jenenge: krikik 

54. Anak kupu jenenge: enthung/uler 

55. Anak kura jenenge: laos 

56. Anak kutuk (ikan gabus) jenenge: koncelan/kotesan 

57. Anak kwangwung (kumbang tanduk) jenenge: gendhot 

58. Anak laler (lalat) jenenge: singgat/set 

59. Anak nyamuk jenenge: jenthik 

60. Anak lawa (kelelawar) jenenge: kampret 

61. Anak lele jenenge: jabrisan 

62. Anak lemut (nyamuk) jenenge: uget-uget 

63. Anak lintah jenenge: pacet 

64. Anak linsang jenenge: beles 

65. Anak lodan jenenge: jengkelong 

66. Anak lutung jenenge: kenyung 

67. Anak luwak jenenge: kuwuk 

68. Anak luwing (kaki seribu) jenenge: gonggo 

69. Anak macan jenenge: gogor 

70. Anak manuk (burung) jenenge: piyik 

71. Anak menjangan (rusa) jenenge: kompreng 

72. Anak menthok (itik serati) jenenge: minthi 

73. Anak merak jenenge: uncung 

74. Anak nyambik (biawak) jenenge: slira 

75. Anak pe jenenge: genyong 

76. Anak pleting jenenge: jaringan 

77. Anak pitik (ayam) jenenge: kuthuk 

78. Anak sapi jenenge: pedhet 

79. Anak sembilang jenenge: lenger 

80. Anak singa jenenge: dibal 

81. Anak tawon jenenge: gana 

82. Anak tekek (tokek) jenenge: celolo 

83. Anak tombro jenenge: bokol 

84. Anak tikus jenenge: cindhil 

85. Anak tuma (kutu) jenenge: kor 

86. Anak tongkol jenenge: cekethik/cengkik 

87. Anak ula (ular) jenenge: ucet/kisi 

88. Anak urang (udang) jenenge: grago 

89. Anak wedhus (kambing) jenenge: cempe 

90. Anak wader jenenge: sriwet 

91. Anak welut (belut) jenenge: udhet 

92. Anak wagal (patin) jenenge: jendhil 

93. Anak walang (belalang) jenenge: dhogol 

94. Anak warak jenenge: plencing 

95. Anak yuyu (kepiting) jenenge: beye


Referensi:

 Kawruh Basa Jawa Pepak. Semarang: CV. Widya Karya. Budi Anwar. (n.d). 


Baboning Pepak Basa Jawa. Sidoarjo: Genta Group Production

[3/6 13.09] rudysugengp@gmail.com: *Arane Wong dalam Bahasa Jawa* Kompas.com, 18 Mei 2024, 09:00 WIB 

Eliza Naviana Damayanti, Serafica Gischa 


 KOMPAS.com - Di dalam bahasa Jawa ada yang disebut arane wong. Sederhananya, setiap orang memiliki sebutan masing-masing. Misalnya, anak perempuan yang sudah dewasa tetapi belum menikah disebut "perawan". Contoh lainnya, anak laki-laki yang juga sudah dewasa dan belum menikah disebut "jaka". 

Nah, apalagi sebutan lainnya? Yuk, kita pelajari bersama arane wong dalam bahasa Jawa berikut! 

1. Dhudha = wong lanang sing ora nduwe bojo (lelaki yang tidak mempunyai istri) 

2. Dhudha bangsong = dudha mlarat anake akeh (duda miskin banyak anaknya) 

3. Dhudha kalung = dhudha nduwe anak wadon sing bisa ngopeni (duda yang mempunyai anak perempuan yang bisa mengurus) 

4. Dhudha kawuk = dhudha sing wis tuwa (duda yang sudah tua) 

5. Dhudha kembang = dhudha sing isih enom durung duwe anak (duda yang masih muda belum mempunyai anak) 

6. Jaka = bocah lanang sing wis dewasa (anak laki-laki yang sudah dewasa) 

7. Jaka jebug = jaka sing wis tuwa durung rabi (perjaka yang sudah tua belum menikah) 

8. Kaki-kaki = wong lanang sing wis tuwa banget (laki-laki yang sudah tua sekali) 

9. Kyai = wong lanang sing diajeni (laki-laki yang dihormati) 

10. Nini-nini = wong wadon sing wis tuwa banget (perempuan yang sudah tua sekali) 

11. Nyai-nyi = wong wadon sing diajeni (perempuan yang dihormati) 

12. Prawan = bocah wadon sing wis dewasa (durung rabi) (anak perempuan yang sudah dewasa belum menikah) 

13. Prawan gendhor/kasep = prawan sing wis tuwa durung rabi (perawan yang sudah tua belum menikah) 

14. Prawan sunthi = prawan kencur (prawan cilik) (perawan yang masih muda) 

15. Randha = wong wadon kang uwis ora nduwe bojo (perempuan yang sudah tidak mempunyai suami) 

16. Randha kasihan = randha mlarat anake akeh (janda miskin banyak anaknya) 

17. Randha kembang = randha sig isih enom durung nduwe anak (janda yang masih muda belum mempunyai anak) 

18. Randha keringan = randa sing sugih bandha (janda yang kaya raya) 

19. Radha kisi = randha sing nduwe anak lanang (janda yang mempunyai anak lelaki) 

20. Randha menter = randha sing panggonane sarwa apik (janda yang serba berkecukupan) 

21. Randha tanggung = randha sing isih enom (janda yang masih muda)


Referensi :

• Raharjo, S.H. (n.d). Kawruh Basa Jawa Pepak. Semarang: CV. Widya Karya. 

• Budi Anwar. (n.d). Baboning Pepak Basa Jawa. Sidoarjo: Genta Group Production

[3/6 13.22] rudysugengp@gmail.com: *50 Arane Kembang dalam Bahasa Jawa* Kompas.com, 17 April 2024, 03:00 WIB

Naviana Damayanti, Serafica Gischa 

 

KOMPAS.com - Setiap tumbuhan memiliki bunganya sendiri. Dalam bahasa Jawa, ada istilah "arane kembang", yang berarti nama bunga. Ini dapat digunakan saat berbicara atau menulis dalam bahasa Jawa. Berbagai tumbuhan dengan bunga memiliki namanya masing-masing dalam bahasa Jawa.

Berikut adalah rangkaian nama bunga Jawa atau arane kembang:

1. Kembang aren arane dangu 

2. Kembang blimbing arane maya 

3. Kembang blutru arane montro 

4. Kembang cengkeh arane polong 

5. Kembang cubung arane torong 

6. Kembang dhadhap arane celung 

7. Kembang duren arane dlongop 

8. Kembang ganyong arane puspanyidra 

9. Kembang garut arane grameng 

10. Kembang gebang arane kranding 

11. Kembang gedhang arane ontong (tuntut) 

12. Kembang gembili arane seneng 

13. Kembang gori arane angkup 

14. Kembang jagung arane sinuwun 

15. Kembang jambe arane mayang 

16. Kembang jambu arane karuk 

17. Kembang jarak arane juwis 

18. Kembang jati arane janggleng 

19. Kembang jengkol arane kecuwis 

20. Kembang kacang arane besengut 

21. Kembang kanthil arane gadhing 

22. Kembang kapas arane kadi 

23. Kembang kara arane kepek 

24. Kembang kecipir arane cethethet 

25. Kembang kelor arane limaran 

26. Kembang kemlandingan arane jedhidhing 

27. Kembang kencur arane sedhet 

28. Kembang kerambil arane manggar 

29. Kembang kimpul arane pancal 

30. Kembang kluwih arane onthel 

31. Kembang kopi arane blanggreng 

32. Kembang krokot arane naknik 

33. Kembang lamtoro arane jedhidhing 

34. Kembang lombok arane menik 

35. Kembang mlinjo arane uceng (kroto) 

36. Kembang nangka arane babal 

37. Kembang nipah arane dongong 

38. Kembang pace arane nyrewenteh 

39. Kembang pandhan arane pundhak 

40. Kembang pete arane pandul 

41. Kembang pohong arane ingklik 

42. Kembang pring arane krosak 

43. Kembang randhu arane karuk 

44. Kembang salak arane ketheker 

45. Kembang suruh arane drenges 

46. Kembang tales arane pancal 

47. Kembang tebu arane glagah 

48. Kembang tela arane ingklik 

49. Kembang timun arane montro 

50. Kembang widara putih arane rajasa


Referensi:  

• Raharjo, S.H. (n.d). Kawruh Basa Jawa Pepak. Semarang: CV. Widya Karya. 

• Budi Anwar. (n.d). Baboning Pepak Basa Jawa. Sidoarjo: Genta Group Production

[3/6 13.29] rudysugengp@gmail.com: *Silah-silahing Ukara Bahasa Jawa* Kompas.com, 27 Maret 2024, 22:30 WIB 

Eliza Naviana Damayanti, Serafica Gischa 


KOMPAS.com – Silah-silahing ukara merupakan jenis-jenis kalimat dalam bahasa Jawa. Secara lebih jelasnya, silah-silahing ukara yaitu rangkaian kalimat yang mengungkapkan atau menyatakan permintaan, gagasan, pikiran, pertanyaan yang menyatakan keterangan dan lainnya. Agar kalian lebih mengenal silah-silahing ukara bahasa Jawa, yuk simak penjelasan di bawah ini!


1. Ukara kandha (kalimat langsung) Yaiku ukara sing ngandhakake omongan liyang kanthi persis. Contoh ukara kandha: Bapak ngendika, “sesuk aku menyang semarang” (bapak berkata, “besuk saya pergi ke Semarang) “Kowe kudu sregep sinau.” Dhawuhe Ibu. (“kamu harus rajin belajar.” Kata Ibu) 

2. Ukara crita (kalimat tak langsung) Yaiku ukara kang nyritakake omongan wong liya mung ringkesane wae. Contoh ukara crita :  Feri takon, kena apa aku wingi ora mlebu sekolah. (Feri bertanya, kenapaaku kemarin tidak masuk sekolah?) Ngendikane Guru, nek sregep sinau mesthi pinter (kata Guru, jika rajin pasti pintar)  

3. Ukara tanduk (kalimat aktif) Yaiku ukara sing jejere nindakake pagawean. Contoh ukara tanduk: Ibu mundhut jajan kanggo tukang (Ibu membeli jajan untuk tukang) Via ngundhuh jambu (Via memetik jambu) 

4. Ukara tanggap (kalimat pasif) Yaiku ukara kang jejere dikenani pagawean. Contoh ukara tanggap: Sarunge dikrikiti tikus (sarungnya digigiti tikus) Jajane dirubung semut (jajanannya dikerumuni semut) 

5. Ukara pakon (kalimat perintah) Yaiku ukara kang isine tembung kongkonan. Contoh ukara pakon:  Jupukna tasku ning duwur meja (ambilkan tasku di atas meja) Balekna buku iki menyang omahe Jeri (kembalikan buku ini ke rumah Jeri) 

6. Ukara panjaluk (kalimat permohonan) Yaiku ukara sing isine tembung panjalukan marang wong liya. Contoh ukara panjaluk: Coba kowe rene tak kandhani (coba kamu ke sini aku bilangin) Tulung aku tukokna minyak (tolong aku belikan minyak) 


Referensi: 

- Nuraini, S. P. (n.d). Pepak Basa Jawa Lengkap. Karanganyar: Lingkar Media. 

- Raharjo, S.H. (n.d). Kawruh Basa Jawa Pepak. Semarang: CV. Widya Karya.

[3/6 13.47] rudysugengp@gmail.com: *Arane Nama Tali dalam Bahasa Jawa* Kompas.com, 18 Mei 2024, 06:00 WIB 

Eliza Naviana Damayanti, Serafica Gischa  


KOMPAS.com - Dalam bahasa Jawa, tali memiliki macam-macam nama sesuai dengan jenis dan fungsinya. Ada tali yang terbuat dari bahan karet, benang, dan lain sebagainya. Selain itu, fungsi tali pun juga macam-macam, misalnya, tali untuk membuat layangan, tali yang berfungsi untuk pengait topi, dan masih banyak lagi. Inilah faktor yang kemudian menciptakan berbagai istilah tali dalam bahasa Jawa. Dalam bahasa Indonesia, umumnya kita hanya menyebut kata “tali” yang dilengkapi dengan keterangan fungsi setelahnya. Contohnya, tali arloji atau tali rambut. Ragam istilah nama-nama tali ini berfungsi untuk memudahkan masyarakat dalam berkomunikasi. Salah satu contohnya adalah “ulur” yang berarti “benang yang digunakan untuk menerbangkan layangan”. Masyarakat cenderung lebih memilih untuk mengatakan “ulur” saat membutuhkan benda tersebut daripada harus mengatakan versi panjangnya.

 Nah, selain “ulur” masih banyak lagi nama tali dalam bahasa Jawa. Simak bersama, yuk!  

1. Amben = tali ing wereng jaran (tali untuk pengikat kuda) 

2. Apus buntut, apus gulu = tali prabote abah-abah jaran (tali untuk perabotan kuda) 

3. Dhadhang = tali kanggo nyancang sapi (tali untuk mengikat sapi) 

4. Dhandhan = tali kanggo nggeret glondongan (tali untuk menarik gerobak) 

5. Elis = tali kendhali (tali untuk mengendalikan kuda) 

6. Goci = tali layangan (tali untuk bermain layangan) 

7. Godhi = tali gombal (tali dari bambu pada ruas batang enau) 

8. Jala-jala = tali mbendeng kelir (tali untuk membentangkan kelir dalam pertunjukan wayang) 

9. Janget, ulap-ulap = tali mblebet pethel (tali yang terbuat dari kulit sapi) 

10. Jejet = taline plipitan (tali nilon) 

11. Karset = taline arloji (tali untuk jam tangan) 

12. Keluh = tali ing irung sapi (tali yang berada dihidung sapi) 

13. Kenur = tali pancing (tali untuk pancing) 

14. Klamar = tali lawang bekungkung (tali untuk menali pintu) 

15. Klathe = tali caping (tali yang berada pada caping) 

16. Koloran, usus-usus = tali kathok (tali untuk celana) 

17. Pluntur = tali nggantung gong, nyangga gamelan. (tali untuk menggantung gamelan terutama gamelan gong) 

18. Rante = gelangan wesi direnteng (tali terbuat dari besi) 

19. Salang = tali pikulan (tali untuk memikul) 

20. Sawed = tali pasangan sapi (tali yang melilit di leher sapi) 

21. Sendheng = tali gendhawa utawa langkap (tali busur) 

22. Setagen, sabuk, setut = tali weteng wong (tali untuk perut orang) 

23. Suh = tali sapu (tali sapu) 

24. Tutus = irat-iratan pring utawa penjalin (tali yang terbuat dari serutan bambu muda) 

25. Ulur = benang ngulukake layangan (tali untuk bermain layangan) 

26. Upat-upat = tali pecut (tali untuk memecut) 

27. Uwed = tali kanggo ngubengake gangsingan (tali untuk memutarkan gangsingan)  


Referensi : 

- Raharjo, S.H. (n.d). Kawruh Basa Jawa Pepak. Semarang: CV. Widya Karya. 

- Budi Anwar. (n.d). Baboning Pepak Basa Jawa. Sidoarjo: Genta Group Production

[3/6 14.02] rudysugengp@gmail.com: *Arane Panggonan Bahasa Jawa* Kompas.com, 18 April 2024, 18:30 WIB 

Eliza Naviana Damayanti, Serafica Gischa  


KOMPAS.com – Papan panggonan dalam bahasa Indonesia juga bisa diartikan tempat.  Tempat di sini dapat berarti lokasi atau nama item yang digunakan untuk menyimpan dan meletakkan suatu hal. Sangat penting untuk mengetahui berbagai nama lokasi untuk memudahkan komunikasi sehari-hari.  


Seperti halnya dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah lainnya, bahasa Jawa memiliki istilah untuk menunjukkan nama tempat. Berikut bahasanya:  

1. Alas = panggonan wit-witan lan kewan-kewan 

2. Alun-alun = palemahan jembar ing setengahing kutha 

3. Babadan = panggonan sing wis dibabadi 

4. Balapan = papan kanggo adu balap 

5. Bango = papan kanggo dodolan 

6. Besalan = papan kanggo mendhe 

7. Bong = kuburan cina 

8. Botheken = wadhah jamu utawa bumbon 

9. Cangkruk = omah jaga ing pinggir dalan 

10. Clunthang = wadhah jangkrik 

11. Endhong = wadhah panah 

12. Epok = wadhah kinang 

13. Esong = growongan pinggir kali 

14. Gadget = panggonan kanggo nggadhekake barang 

15. Gayor = centhelan gong 

16. Gedhongan = kandhang jaran 

17. Gedhong = omah gedhe kanggo pasamuwan 

18. Glodhogan = kanggo omah tawon 

19. Gowok = growongan ning uwit 

20. Jodhang = wadhah kanggo nggawa panganan mawa pikulan 

21. Jun = wadhah banyu kanggo ngangsu 

22. Kabupaten = daleme bupati 

23. Kadhaton = daleme ratu 

24. Krangkeng = kendhang kewan galak 

25. Klenthing = wadhah kanggo golek banyu 

26. Kranjang = wadhah kanggo blanja 

27. Langgar = papan kanggo sembahyang utawa ngaji 

28. Lemari = kanggo nyimpen barang 

29. Leng = bolongan cilik sing ana ing lemah 

30. Loji = omah gedhong sing apik 

31. Lumbung = panggonan kanggo nyimpen pari 

32. Pacrabakan = papan kanggo sang wiku, pamulangan 

33. Padaringan = papan kanggo nyimpen beras 

34. Padasan = papan kanggo wudhu 

35. Pagupon = omah dara 

36. Panepen = papan kanggo semedi 

37. Pesisir =  papan pinggir segara 

38. Pranji = kurungan pithik 

39. Selon = wadhah bumbu utawa trasi 

40. Setren = sawah pinggir kali 


Contoh kalimat Beberapa contoh arane panggonan jika diubah menjadi kalimat: Paguponmu ana manuke pora, Wan? (Rumah dara kamu ada burungnya tidak, Wan?) Kui pithike di kurung nganggo pranji. (Itu ayamnya dikurung pakai kurungan ayam) Pari sing mau dipanen dokokna ning lumbung. (Padi yang tadi dipanen taruh di tempat untuk menyimpan padi) Ayo, jalan-jalan ning setren. (Ayo jalan-jalan ke sawah pinggir sungai) Ning kamarku ana glodhongan. (Di kamarku ada rumah lebah)   Referensi: 

- Raharjo, S.H. (n.d). Kawruh Basa Jawa Pepak. Semarang: CV. Widya Karya.  

- Budi Anwar. (n.d). Baboning Pepak Basa Jawa. Sidoarjo: Genta Group Production

[3/6 14.13] rudysugengp@gmail.com: *Watake Wong dalam Bahasa Jawa*

 Kompas.com, 27 Maret 2024, 23:30 WIB 

Eliza Naviana Damayanti, Serafica Gischa 


KOMPAS.com - Semua orang memiliki sifat atau watak tertentu. Misalnya, dalam bahasa Indonesia, ada yang sifatnya suka menolong. Nah, orang yang sifatnya suka menolong disebut dermawan. Di dalam bahasa Jawa juga ada sebutan untuk macam-macam sifat manusia atau yang disebut dengan "watake wong".


Berikut ini adalah beberapa contoh sifat orang dalam bahasa Jawa (watake wong): 


1. Ambekdarma = seneng tetulung = suka menolong 

2. Ambeksura = kendel banget = pemberani 

3. Alim = pinter tur anteng = pintar dan pendiam 

4. Anteng = meneng ora kakehan gunem = pendiam 

5. Andhap asor = ora gumedhe utawa umuk = tidak sombong 

6. Bandel = ora cengeng utawa gembeng = tidak cengeng 

7. Bares = ora duwe niat ala utawa goroh= jujur 

8. Bencirih = gampang kena ing lelara = gampang sakit 

9. Berbudi = loma utawa seneng weweh = suka memberi 

10. Blater = pinter sesrawungan = pintar bersosialisasi 

11. Brangasan = gampang nesu= gampang marah 

12. Mbrekunung = nggugu karepe dewe = egois 

13. Candhala = ala kelakuane = jelek kelakuannya 

14. Cethil = wegah weweh utawa medhit = pelit 

15. Climut = dhemen nyolong = suka mencuri 

16. Clingus = isinan = pemalu 

17. Cluthak = seneng mangan mbarang-mbarang = rakus 

18. Cubluk = bodho = bodoh 

19. Cugetan = mutungan = pemarah 

20. Culika = dhemen ngapusi = pembohong 

21. (N)dableg = ora ngrewes ing pitutur = tidak peduli 

22. Drengki = meri marang kabegjane liyan = iri 

23. Ndhendheng = angel dituturi = susah dibilangin 

24. Ndhugal = kurang ajar = kurang ajar 

25. Gathekan = gampang ngerti utawa lantip = pintar 

26. Geleman = manutan = penurut 

27. Gembeng = gampang nangis = cengeng 

28. Gemi = pinter ngirit = pintar ngirit 

29. Getapan = gampang kaget = kagetan

30. Kemproh = ora resikan = jorok 


Adapun contoh kalimatnya sebagai berikut: 

1. Watake Baladewa iku brangasan. (Wataknya Baladewa itu gampang marah) Aja drengki marang sapadha. (Jangan iri dengan sesama) 

2. Adhik nek ketemu wong anyar dadi isinan. (Adek jika bertemu orang baru jadi pemalu) 

3. Dadi wong aja kemproh-kemproh. (Jadi orang jangan jorok-jorok) Masku kuwi ndhendheng. (Kakakku laki-laki itu susah dibilangin)


Referensi: 

- Raharjo, S.H. (n.d). Kawruh Basa Jawa Pepak. Semarang: CV. Widya Karya.

- Budi Anwar. (n.d). Baboning Pepak Basa Jawa. Sidoarjo: Genta Group Production

Lagu nasional

  Lagu nasional Tanah Airku Tanah air ku tidak kulupakan Kan terkenang selama hidupku Biarpun saya pergi jauh Tidak kan hilang dari kalbu Ta...