Kunjungan Hayam Wuruk di Seputar Malang Raya
by Admin Kekunoan
Perjalanan dinas Hayam wuruk di seputar wilayah Malang raya dimulai dari Pasuruhan di utara kemudian menuju ke Singhasari melalui Kedhung Peluk dan menuju Lembah. Nama desa Kedhung Peluk juga tercatat dalam prasasti Kudadu berangka tahun 1216 Saka (1294 Masehi). Pada lempeng IVa dikisahkan tentang pengejaran pasukan Jayakatwang oleh raden Wijaya dan Ardharaja yang bergerak ke utara dari Singhasari melalui Kedhung Peluk. Lembah sekarang ini dapat disamakan dengan desa Rembang sekarang yang terletak 12 Km di utara Kedung Peluk. Jarak antara Kedhung Peluk ke desa Lawang adalah 14 Km, sedangkan Singhasari berada di 7Km sebelah selatan Lawang.
Perjalanan raja ke Singhasari tidak disaksikan oleh Prapanca yang mendapat izin untuk meninggalkan rombongan sebentar dan berkunjung ke sebuah biara Buddhis bernama Dharbaru yang terletak di tanah milik desa Hujung dan berkuasa atas sebagian daerah di sekitarnya, termasuk Hepit, Markaman, dan Balungkur. Meskipun kedua nama terakhir tidak dikenal lagi, kiranya Hujung dan Hepit dapat ditemukan kembali di desa Ngujung, termasuk desa Sambisirah (kecamatan Wonorejo), dan desa Ngempit di kecamatan Kraton. Letak kedua tempat tersebut, yang masing-masing 10 km dan 8 km di sebelah barat-daya kota Pasuruan sekarang, tidak bertentangan dengan gambaran Prapanca.
Nrepati huwus mamusp ri dalem sudharma sakatustaning tewas gin ong,
hana ni kedhung bhiru ri kasurangganamwang i bureng langonyenitung.
(35 : 4c-d)
Raja telah melakukan puja bhakti dalam dharma, kini mencari hiburan,
kadang-kadang di Kedung Biru, di Kasurangganan, atau di Bureng….
Tidak diketahui berapa lama Hayam Wuruk tinggal di Singhasari. Prapanca hanya menyebutkan bahwa sehabis melakukan puja bhakti di sebuah dharma, raja bersantai-santai selama beberapa waktu sambil menikmati keindahan alam di Kedhung Biru dan Bureng.
Dalam uraiannya pada Desawarnana 35: 4, Pigeaud berasumsi bahwa dharma yang dimaksud adalah candi milik buyut Hayam Wuruk, Sri Kretanagara, yang wafat pada tahun 1292 M. Perkiraan Pigeaud masuk akal, tetapi masih perlu dipertanyakan apakah dharma tersebut dapat dihubungkan dengan monumen yang kini dikenal dengan nama candi Singosari. Masalahnya adalah bahwa, menurut keterangan Prapanca, Kretanegara di-dharma-kan di Singhasari dengan arca berwujud Siwa-Buddha ( dhinarmmasiwabuddharcca ), sedangkan bangunan candi yang tampak sekarang di desa Singosari tidak memperlihatkan unsur Buddhis.
Bagaimanapun juga, kiranya tidak perlu kita ragukan bahwa pusat kerajaan Singhasari dahulu terletak di desa Singosari sekarang, 10 km di sebelah utara kota Malang. Dengan demikian Kedhung Biru dapat disamakan dengan dusun bernama Biru di desa Gunungrejo, 1,5 km di sebelah barat laut candi Singosari. Selain alam di sekitarnya yang mendukung identifikasinya sebagai “taman bidadari” ( kasurangganan ), ternyata letak dusun Biru tepat di tepi jurang, atau kedung, yang memiliki sejumlah sumber air jernih yang salah satu di antaranya yaitu Sumberbiru, masih memperlihatkan peninggalan purbakala berupa susunan bata merah yang kini terpendam di bawah struktur bangunan baru.
Bureng dapat diidentifikasikan dengan pemandian alam di desa Mendit, 5 km di sebelah timur laut pusat kota Malang, termasuk kecamatan Pakis. Identifikasi tersebut tidak bertentangan dengan Desawarnana 37: 7, yang menempatkan Bureng di perjalanan antara Jajaghu (kecamatan Tumpang) dan Singhasari. Meskipun “candi dari batu di tengah danau” tidak kelihatan lagi di Mendit, sejumlah batu peninggalan masih tersimpan di sebuah bangunan tidak jauh dari lokasi pemandian. Peninggalan purbakala ditemukan juga di desa Mangliawan, yang membatasi Mendit di sebelah utara.
Krama subhakala sahnira ri singhasari mangidul mare kegenengan,(36:1a)
Demikian, pada waktu yang menguntungkan ia meninggalkan Singhasari dan
pergi ke arah selatan, menuju Kagenengan.
Seperti halnya di Gendhing, Hayam Wuruk menunggu waktu yang tepat sebelum meninggalkan Singhasari. Oleh karena acara berikutnya kunjungan ke tempat pen-dharma-an para leluhurnya di Kagenengan, Kidhal dan Jajaghu, tentunya diperlukan hari yang baik untuk melakukan perjalanan tersebut sesuai dengan petunjuk dari para penasihatnya, termasuk ahli nujumnya.
Demikianlah, dari Singhasari rombongan berjalan secara ramai–ramai ke arah selatan menuju Kagenengan, yaitu dharma yang dibangun untuk Sri Ranggah Rajasa, pendiri wangsa yang sedang berkuasa di Majapahit. Kemudian, sehabis melakukan puja bhakti, sang raja serta kerabatnya duduk bersama para arya, termasuk pendeta Syaiwa dan Buddha, sambil menerima penghormatan dari masyarakat setempat. Pada saat itu juga sejumlah anggota pasukan raja diberikan pakaian baru dalam sebuah acara yang mengharukan.
Letak asli dharma di Kagenengan belum diketahui dengan pasti, tetapi kiranya lokasinya dahulu tidak jauh di sebelah selatan Kota Malang sekarang. Salah satu nama tempat yang menarik perhatian adalah desa Genengan di kecamatan Pakisaji, 8 km dari pusat kota di jalan raya menuju Kepanjen. Di desa tersebut pernah ditemukan peninggalan purbakala berupa lingga dari batu andesit.
Perlu disebutkan juga sebuah dusun bernama Kagenengan di desa Parangargo, termasuk kecamatan Wagir. Di bagian selatan dusun tersebut tampak sebidang tanah tinggi yang diapiti oleh dua sungai/jurang, disebut “Sokan” oleh penduduk setempat. Bukti arkaeologis di Sokan terlihat jelas dalam bentuk pecahan batu bata berukuran besar atau pun fragmen batu, termasuk sebuah lingga kecil. Menurut masyarakat desa, di Sokan pernah ditemukan sejumlah peninggalan kuna, antara lain arca, guci dan juga sebuah prasasti dari batu. Sayang bahwa keberadaannya tidak diketahui lagi. Tahun 2000 masih ada laporan tentang sebuah fondasi lama yang terbuat dari “batu candi” di tengah-tengah tanah Sokan yang merupakan lautan tebu yang belum di panen, namun tahun 2016 fondasi tersebut sudah tidak berbekas. Meskipun sangat minim tinggalan, rekontruksi di atas kertas menunjukkan bahwa tegal Sokan tidak bertentangan dengan gambaran Prapanca terhadap dharma di Kagenengan.
Identifikasi dusun Kagenengan dengan dharma Kagenengan diperkuat lagi oleh tradisi setempat. Bukan hanya setiap jalan di dusun tersebut menampilkan nama seorang pembesar dari kerajaan Singhasari, tetapi masyarakat desa justru percaya bahwa Ken Angrok (Ranggah Rajasa) sendiri “dimakamkan” di puncak gunung Katu yang tampak jelas tidak jauh di sebelah barat. Demikianlah, sekalipun bersifat hipotesis, kiranya argumen yang dikemukakan di atas telah memberikan cukup alasan untuk mengadakan penelitian lebih mendalam di daerah tersebut, khususnya di Sokan.
wamnan muwah lari nareswarenjing umareng sudharma ri kidhal,
sampun manamya ri bhatara lingsir anuluy dhatang ri jajaghu,
sampun muwah marek i sanghyang arca jinawimbha sonten amgil
enjing maluy musir i singhasari tan alh mararyan i bureng. (37:7)
… pada pagi berikut ia berkunjung ke dharma di Kidhal , dan setelah
memberi sembahan melanjutkan perjalanan ke Jajaghu, menghadap
kepada arca Buddha, kemudian bermalam disana. Pada pagi hari
ia kembali ke Singhasari, tetapi terlebih dahulu berhenti di Bureng.
Kalau melihat jarak antara Singosari dan Wagir, yakni ± 16 km, dapat diduga bahwa Hayam Wuruk bermalam di sekitar Kagenengan sebelum melanjutkan perjalanannya ke Kidhal dan Jajaghu. Perkiraan ini ternyata didukung oleh teks Desawarnana yang menjelaskan bahwa enjing (pada pagi berikut) raja pergi ke dharma di Kidhal. Dharma tersebut dapat diidentifikasikan dengan monumen peninggalan bernama candi Kidal, yang terletak di desa Kidal, kecamtan Tumpang, 11 km di sebelah tenggara kota Malang. Menurut Prapanca, dharma di Kidhal didirikan untuk Anusanatha yang menggantikan Ranggah Rajasa sebagai raja di Tumapel dan wafat pada tahun 1170 S (1248 M).
Desa Kidal terletak pada jarak 13 km di sebelah timur Parangargo (kecamatan Wagir) yang telah dihubungkan dengan Kagenengan. Seandainya identifikasi tersebut dapat diterima, besar kemungkinan bahwa dalam perjalanan menuju Kidhal, Hayam Wuruk menyebrangi sungai Brantas di sekitar desa Kendalpayak dan mengikuti rute yang menyisir bagian selatan gunung Buring melalui kecamatan Pakisaji dan Tajinan sekarang. Kemudian, setelah berhenti sebentar di dharma milik Anusanatha, ia langsung melanjutkan perjalanan dan tiba di desa Tumpang yang terletak 6 km di sebelah timur Kidal. Di desa tersebut tampak sebuah bangunan kuna disebut candi Jago, yang tentunya tidak lain dari pada dharma Jajaghu yang digambarkan oleh Prapanca.
Menurut Desawarnana 4I : 2-4, raja ketiga di Tumapel bernama Wisnuwardhana. Raja ini menggantikan ayahnya yang berkuasa sampai tahun 1268 M, kemudian di-dharma-kan sebagai Siwa di Waleri dan sebagai Buddha di Jajaghu. Sampai sekarang di candi Jago terlihat sebuah arca Buddha dalam bentuk Amogapasha, yang dianggap sebagai wujud dari pada raja Wisnuwadhana.
Setelah bermalam di Jajaghu, pada pagi berikut Hayam Wuruk kembali ke Singhasari melalui Bureng. Seperti sudah disebutkan, Bureng mungkin sekali dapat diidentifikasikan dengan desa Mendit yang terletak 12 km di sebelah baratlaut candi Jago. Jarak antara Mendit dan Singosari 7,5 km. Meskipun Prapanca tidak menyebutkan nama desa lain dalam bagian perjalanan ini, peninjauan di lapangan menunjukkan bahwa rute yang diambil dari Bureng menjurus langsung ke utara dengan menyisir bagian timur kota Malang sekarang, melalui desa Mangliawan, Tirtomoyo, Banjararum, dan Watugede. Ternyata sejumlah peninggalan purbakala masih ditemukan di jalan tersebut.
Pada waktu kembali ke Singhasari, Prapanca berkunjung ke seorang pendeta Buddhis (sthapaka) bernama Dhang Acarya Ratnangsa yang usianya ‘lebih dari 1000 bulan’. Tokoh ini menjabat pemimpin biara di Mungguh, dan telah diberikan tugas terhormat sebagai pengawas dharma di Singhasari. Adapun maksud kunjungan Prapanca adalah untuk memohon penjelasan tentang sejarah para leluhur raja Hayam Wuruk, termasuk asal mula wangsa Rajasa di sebelah timur gunung Kawi. Keterangan yang diberikan kemudian oleh pendeta Ratnangsa kini menjadi salah satu pegangan utama bagi para ahli sejarah Singhasari dan Majapahit.179
Kisah sejarah wangsa Rajasa merupakan sebuah selingan dalam karya Prapanca, yang dilanjutkan dengan gambaran tentang ekspedisi perburuan binatang buas di hutan bernama Nandaka. Lokasi hutan tersebut tidak diketahui.
krama subhakala mangkat ahawan banu hanget i banir muwah talijungan,
amgil i wedhwawedwan irikang dina mahawan i kuwara ri celong,
mwang i dadamar garantang i pager tagala pahanangan tekekha dinunung.
(55:2b-d)
… ia berangkat melalui Banu hanget, Banir, dan Talijungan, ber,alam di
Wedhwa-wedwan. Pada hari berikut melewati Kuwaraha dan Celong,
serta Dadamar, Garantang, Pager Talaga dan Pahanangan…
Hayam Wuruk telah meninggalkan keratonnya di Majapahit selama kurang lebih dua bulan dan sekarang ia mulai rindu kepada kehidupan di kota. Demikianlah sehabis ekspedisi perburuan sang raja memutuskan untuk pulang. Jalan yang ditempuh pada hari pertama menuju ke arah utara melalui Banu Hanget, Banir, dan Talijungan, sampai di Wedhwa-wedwan, tempat rombongan bermalam. Di antara nama-nama tempat yang dilewati sepanjang jalan tersebut , hanya Wedhwa-wedwan yang dapat diidentifikasikan pada masa sekarang. Kiranya posisinya berada di bukit Wedon, yang tampak di sebelah barat jalan raya di desa Turirejo, kecamatan Lawang, 9 km di sebelah utara Singosari.
Pada Desawarnana 73:3 nama Wedhwa-wedwan tercatat di antara 27 sudharma haji yang didirikan untuk para raja dari wangsa Rajasa serta leluhurnya. Siapakah tokoh yang di-dharma-kan di tempat tersebut belum diketahui, tetapi oleh karena letaknya berdekatan dengan Singosari, dapat diduga bahwa dharma di Wedhwa-wedwan mewakili salah seorang penguasa di Tumapel.
peta perjalanan hayam wuruk di malang raya
Peta perjalanan Hayam Wuruk di Malang raya tahun 1359 M berdasarkan Kakawin Nāgarakŗtāgama
Tentang jalan yang ditempuh oleh raja dari Singhasari ke Wedhwa-wedwan, kita berhadapan dengan dua pilihan. Rute pertama menuju langsung ke arah utara dengan mengikuti jalan raya Singosari-Lawang sekarang. Rute ini adalah jalan lama, yang digunakan oleh pasukan Jayakatwang waktu menyerbu kerajaan Singhasari pada tahun 1292 M. Baik kidung Harsawijaya maupun Pararaton menyebutkan bahwa tentara musuh turun dari arah utara dan berhenti di desa Memeling, yang tentunya tidak lain daripada dusun Meling di desa Bedali, 6 km di sebelah ulara Singosari. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa Banu Hanget, yang menunjukkan sebuah sumber air panas, dapat diidentifikasikan dengan pemandian kuna di dusun Polaman yang merupakan tetangga Meling, masih termasuk desa Bedali.
Kini sumber di Polaman hanya mengeluarkan air dingin, tetapi belum tentu begitu pada masa lalu. Di samping itu di Polaman masih ditemukan peninggalan purbakala berupa batu-batu candi, baik di sekitar pemandian maupun di sebuah gua yang terletak pada jarak 350 m di sebelah baratlaut. Menurut tradisi setempat, gua tersebut bekas pertapaan Ken Angrok. Seandainya Banu Hanget terletak di dusun Polaman sekarang, kedua desa Banir dan Talijungan perlu dicari di sekitar pusat kecamatan Lawang.
Masih ada kemungkinan bahwa Hayam Wuruk memilih jalan memutar yang lebih jauh di sebelah barat dan melewati situs yang kini dikenal dengan nama candi Sumberawan, termasuk desa Toyomarto. Menurut penduduk desa, di Sumberawan dahulu ada sumber air panas, yang mungkin dapat disamakan dengan Banu Hanget.
(Sumber: Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca, Hadi Sidomulyo, 2007. Foto sampul adalah foto wilayah Ngantang Malang awal abad 20)
Biografi Tokoh Indonesia Hayam Wuruk, Raja Terbesar Kerajaan Majapahit* Kompas.com, 1 Mei 2021, 17:30 WIB
Widya Lestari Ningsih, Nibras Nada Nailufar Tim Redaksi
KOMPAS.com - Hayam Wuruk adalah raja keempat Kerajaan Majapahit yang memerintah antara tahun 1350-1389 masehi. Setelah resmi menjadi raja, gelarnya adalah Sri Rajasanagara. Hayam Wuruk adalah raja terbesar dalam sejarah Kerajaan Majapahit yang memerintah didampingi oleh Patih Gajah Mada. Di bawah kekuasaannya, Kerajaan Majapahit mampu mencapai puncak kejayaannya.
*Silsilah*
Hayam Wuruk adalah putra dari pasangan Tribhuwana Tunggadewi (penguasa ketiga Majapahit) dan Sri Kertawardhana alias Cakradhara yang lahir pada 1334 masehi.
Ibunya adalah putri dari Raden Wijaya, pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Majapahit yang bergelar Kertarajasa Jayawardhana.
Hayam Wuruk memiliki adik perempuan bernama Dyah Nertaja yang kelak menjadi Bhre Pajang. Permaisuri Hayam Wuruk adalah putri dari Wijayarajasa atau Bhre Wengker yang bernama Sri Sudewi dengan gelar Paduka Sori. Dari permaisurinya, Hayam Wuruk mempunyai putri bernama Kusumawardhani, yang kemudian menikah dengan Wikramawardhana (raja kelima Majapahit).
*Masa pemerintahan*
Hayam Wuruk diangkat sebagai raja ketika baru berusia 16 tahun, menggantikan ibunya, Tribhuwana Tunggadewi, yang mundur setelah 21 tahun berkuasa. Selama 39 tahun (1350-1389 M) berkuasa, Hayam Wuruk disebut-sebut sebagai raja Majapahit terbesar atau paling utama. Keberhasilannya membawa Majapahit menuju puncak kejayaan tidak lepas dari bantuan Mahapatih Gajah Mada. Pada saat Hayam Wuruk dan Gajah Mada menjalankan pemerintahan, seluruh kepulauan Indonesia bahkan Jazirah Malaka mengibarkan panji-panji Majapahit. Sumpah Palapa yang dinyatakan Gajah Mada pun terlaksana, dengan daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, ditambah Tumasik (Singapura)dan sebagian Kepulauan Filipina. Selain itu, kerajaan ini memiliki hubungan dengan Campa (Thailand), Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, Vietnam, dan Tiongkok. Majapahit juga mempunyai armada angkatan laut yang tangguh di bawah pimpinan Mpu Nala. Dengan kekuatan militer dan strateginya, Majapahit mampu menciptakan stabilitas di wilayahnya.
Sementara dalam bidang ekonomi, Majapahit menjadi pusat perniagaan di Asia Tenggara dengan komoditas ekspor terdiri dari lada, garam, dan kain. Mata uangnya terbuat dari campuran perak, timah putih, timah hitam, dan tembaga. Selama pemerintahan Hayam Wuruk, terjadi tiga peristiwa penting, yaitu:
- Peristiwa Bubat pada 1357 M
- Perjalanan suci Hayam Wuruk ke tempat leluhurnya
- Upacara Crada yang diadakan untuk memeringati wafatnya Rajapatni pada 1362 M
*Akhir hidup Hayam Wuruk*
Setelah Gajah Mada mundur dari jabatannya dan wafat pada 1364 M, Hayam Wuruk mengangkat Gajah Enggon sebagai patih. Hayam Wuruk kemudian wafat pada 1389 M di usia 55 tahun dan dimakamkan di Tajung. Setelah Gajah Mada dan Hayam Wuruk tiada, Kerajaan Majapahit terus mengalami kemunduran.
*Peninggalan Hayam Wuruk*
Hayam Wuruk memiliki banyak peninggalan berupa candi dan kitab kesusastraan. Berikut ini beberapa peninggalannya yang berupa candi.
- Candi Penataran
- Candi Sawentar
- Candi Tikus
- Candi Jabung
Berikut ini beberapa peninggalannya yang berupa kitab kesusastraan.
- Kitab Negarakertagama yang ditulis Mpu Prapanca
- Kitab Sutasoma yang ditulis Mpu Tantular
- Kitab Arjunawijaya yang ditulis Mpu Tantular
Referensi: Srinansy dan Rachadian, Harry. (2010). Ensiklopedia Kerajaan-Kerajaan Nusantara. Bandung: Multi Kreasi Satu Delapan.