SEJARAH INDONESIA:
DINAMIKA KEBANGSAAN DALAM ARUS GLOBAL
PENDAHULUAN
OutlinePendahuluan:
DasarPemikiran
SejarahKebangsaan:SignifikansidanUrgensi
LandasanNilaiKebangsaan
‘BenangMerah’Keindonesiaan
DinamikaKebangsaandalamArusGlobal
FondasiKonstitusionalKebangsaan
MasaMempertahankanKemerdekaan:KebangsaandalamFragmentasiIdeologi
DemokrasiParlementerdanPenguatan Kebangsaan
KebangsaandalamSemangatRevolusioner
KebangsaanyangDipersatukan
EraReformasi:KebangsaandalamTantanganLokaldanGlobal
Kebaruan
PengayaanFakta
PembaruanMetodologi
Perspektif
PenguatandanPengembanganPerspektifIndonesia Sentris Otonomi Sejarah
GambaranIsiBuku
Penutup
DasarPemikiran
Walauterkesanklise,adagiumyangmenyatakanbahwasetiapgenerasiberhakmenulissejarah dari perspektifnya sendiri tetap relevan dan layak ditegaskan di awal Pendahuluanini. PandanganinisejalandenganpernyataanBenedettoCrocedalamsalahsatubab“thepractical requirement which underlie every historical judgment give to all history the character of ‘contemporaryhistory’“.1Pemahamansejarahtidaksekadarpadacatatanmasalampau,tetapi melalui rekonstruksi yang menjadi lensa masa kini. Rekonstruksi sebagai penulisan sejarah akanselalumengalamipembaruandanpemutakhiransesuaidengannilai-nilai,kebutuhan,dan orientasikolektifyang hidupdalamkontekssosial-budayagenerasiyang sedang menulisnya.2DalamkaitaniniAlunMunslow juga mengatakanbahwa “sejarahtidakpernahhanya mengenai masa lampau, tetapi selalu mengenai dirinya pada masa kini” (history is never just abaut the past,itisalwaysaboutitselfinthepresent”).3Namunjikabolehlebihditegaskanseperti
1Benedetto Croce.History as The Story of Liberty (London: GeorgeAllen and Unwin Limited, 1949), hlm. 19.
2Benedetto Croce, “History and Cronicle”, dalam: Hans Meyerhoff, The Philosophy of History in Our Time: AnAnthology (NewYork:Anchor OriginalPublisher, 1959), hlm. 44.
3AlunMunslow,TheRoutledgeCompaniontoHistoricalStudies,2ndEdition(London& New York: Routledge, 2000), hlm 5.
dikatakan John R. Smail bertolak dari aforisme Crocebahwa “the only truth history is contemporary history”.4
Tentu ada banyak alasan kenapa buku ini ditulis, dan salah satunya yang utama adalah bahwadalamwaktu setidaknyaduadekade belakangantelahbermunculangenerasisejarawan Indonesia yang membuat kajian sejarah Indonesia mengalami perkembangan signifikan. Hal ini terefleksikan terutama melalui disertasi dan tesis yang dihasilkan dari berbagai perguruan tinggididalamdanluarnegeri.Halitubelumtermasukhasilpenelitian,makalah,artikelilmiah di jurnal akademik, dan sebagainya. Mereka, para sejarawan Indonesia, telah memperluas cakrawalahistoriografinegeriinidengantemuan-temuanbaru,baikberupafakta,reinterpretasi kritis,maupunkonstruksiteoretisyangtelahmemperkayapemahamandanpemaknaantentang masa lalu bangsa Indonesia.
Bersamaandengan itu, absennya karya sejarahIndonesia yang komprehensifdalamdua dekadeterakhir,bahkanlebih,jugamenjadialasanpentinglaindaripenulisanbukusejarahini. Karya komprehensifterakhir, Indonesia dalamArusSejarah (IDAS), mulaiditulis pada 2002 danbaruterbitsatudekadekemudian,pada2012.Sementaraitu,karyasejarahIndonesiayang lebih awal, Sejarah Nasional Indonesia (SNI), terbit pada 1975, dan telah beberapa kali direvisi kemudian dimutakhirkan hingga pada 2008. Buku ini, berjudul Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global, ditulis sebagai buku tersendiri, meski seraya banyak merujuk dua buku tersebut di atas.
Tidak kalah penting dicatat disini alasan lain penulisan buku ini, yang terkait dengan proses globalisasi yang demikian intensif, yang membuat batas-batas antarnegara tidak lagi jelas(borderlessstate).Dalamkerangkatersebut,munculpertanyaankritismengenairelevansi nasionalisme di era kini. Di sisi lain, perkembangan teknologi digital telah menghadirkan disrupsi dalam ranah informasi. Secara khusus dalam bidang sejarah, kondisi ini telah mendorong terjadinya demokratisasi penulisan sejarah, ditandai dengan semakin terbukanya akses bagi berbagai kalangan untuk memproduksi narasi historis melalui beragam platform digital. Namun, di sisi lain, hoaks sejarah terus berkembang di tengah masyarakat, ditambah menguatnya kecenderungan primordialisme sempit berbasis identitas lokal, dan menurunnya tingkat kepercayaanpublikterhadap institusinegara. Indonesiasaat inimenghadapitantangan disrupsi global dan era digital yang mengikis kesadaran historis serta melemahkan semangat kebangsaan, terutama di kalangan generasi muda. Dalam konteks ini, sejarah nasional memegang peran strategis sebagai sarana pembentukan karakter dan penguatan identitas kolektif bangsa.
Indonesia adalah satu-satunya negara dengan karakteristik kepulauan terluas dan dengan garis pantaiterpanjang kedua didunia. Selain itu dengan jumlah lebih dari500 etnik, Indonesiamerupakannegaradengankeragamanbudayamahabesar(megadiversity)didunia. Dengan keragaman demikian kompleks, Indonesia sesungguhnya memiliki potensi konflik yang besar. Kendati demikian, Indonesia masih mencerminkan suasana budaya yang cukup toleran, sebagaimana tercermin dalam praktik kehidupan sehari-hari dan turut menjadi salah satu unsur perekat dalam masyarakat yang majemuk. Nilai-nilai luhur semacam ini telah ditangkap secara puitis oleh pujangga Mpu Tantularmelalui ungkapan Bhinneka TunggalIka, Tan Hana Dharma Mangrwa. Ungkapan pertama dimaknai sebagai keberagaman yang tetapterikat dalamkesatuan(unity in diversity), sedangkanungkapankedua sering ditafsirkan
4John R. Smail, “On the Possibility of an Autonomous History of Modern Southeast Asia”, dalam: LaurieJ. Sears(ed.),AutonomousHistories, ParticularTruthsEssaysinHonor of John R. Smail (University of Wisconsin Center for Southeast Asian Studies Monograph Number 11, 1993), hlm. 39.
sebagai penolakan terhadap kebenaran yang mendua, yakni penegasan akan pentingnya loyalitas tunggal terhadap nilai kebenaran dan pengabdian (dharma) kepada negara. Kedua semboyan ini kini telah dikenal secara luas, bahkan memperoleh pengakuan dalam wacana kebangsaanditingkatglobal.5Selainmerefleksikankenyataanpluralismepadamasakejayaan Majapahit sebagai entitas politik yang bersifat ‘supra-etnik’, pernyataan tersebut juga mencerminkan“loyalitas”suatumasyarakatkepadasuatucita-citabersamauntukmewujudkan tatanan kehidupan yang ideal.
Berangkat darikenyataanbahwa masyarakat Indonesia memilikitradisidankebudayaan yangsangatberagam,bukuinidisusundenganmenjunjungprinsipakomodatif,yakniberupaya semaksimal mungkin untuk merekam berbagai peristiwa yang terjadi di seluruh kepulauan Indonesia. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa sejarah kebangsaan Indonesia adalah milikkolektifseluruhelemenbangsa. Karenaketerbatasanruang,tentutidaksemuaaspekdan seluruh daerah dalam rentang waktu yang panjang bisa semuanya ditulis. Meski demikian, paparan dibuat seproporsional dan serepresentatif mungkin. Dengan pola penulisan yang menekankan kronologi atau periodisasi, buku ini bermaksud menunjukkan “benang merah” nilai-nilai keindonesiaan dalam proses menjadi Indonesia.
Dengan demikian, permasalahan bangsa setidaknya dapat diatasi melalui sejarah yang mengajarkandayakritisdanmenjadikanmanusiabijak.Alih-alihmengglorifikasimasasilam, sejarahjauh lebihpenting diarahkan untuk mencerdaskankehidupan bangsa. Sejarah adalah ilmu untuk memahami manusia dalam pergumulannya menghadapi tantangan zaman dan lingkungan kehidupan yang dinamis.
SejarahKebangsaan:SignifikansidanUrgensi
Melalui kajian yang mendalam terhadap perjalanan historis dan realitas sosiologis Indonesia, sosiologterkemukaHarsjaBachtiarmenyimpulkanbahwamasyarakatIndonesiatelahberhasil membentuk dan mengembangkan suatu entitas kebangsaan yang sepenuhnya baru, yakni bangsa Indonesia, yang ditandai dengan munculnya kesatuan sosial yang orisinal serta terbentuknyasolidaritasyangmencakupseluruhwargabangsa.Kebaruaniniterletakpadafakta bahwabangsaIndonesiabukansekadaraliansidarikelompok-kelompoketnisataubudayayang memiliki identitas masing-masing, melainkan suatu komunitas dengan budaya, bahasa, dan identitas yang khas sebagai bangsa tersendiri. Nilai-nilai dasar yang kemudian dirumuskan sebagai Pancasila berakar kuat dalam konsensus nilai-nilai bersama yang tumbuh dari pengalaman kolektif masyarakat Nusantara, dan bukan berasal dari pandangan atau kepentingan satu golongan tertentu. Terkait aspek kebahasaan, ditegaskan bahwa bangsa Indonesia memiliki bahasa sendiri yang bukan berasal dari bahasa asing yang diadopsi secara paksa. Bahasa ini memang berakar dari bahasa Melayu, tetapi telah mengalami proses pengembangan dan pembentukan sehingga menjadi bahasa yang khas dan mencerminkan identitasbangsaIndonesia.Dalambidangkesusastraanpun,bangsainitelahmelahirkankarya- karyasastrayangmencerminkankarakterdanpengalamankolektifnya,bukansekadar
5Lihat analisis JohanMeuleman, “BetweenUnityandDiversity:TheConstructionofthe IndonesianNation”,EuropeanJournalofEastAsianStudies,Vol.5,No.1(2006),hlm.45-69. https://www.jstor.org/stable/23615667.Lihat juga Robert M. Fitch and Sheila Anne Webb, “Cultural Immersion in Indonesia through Pancasila: State Ideology”, The Journal of Educational Thought (JET) /Revue de la Pensée Éducative,Vol. 23, No.1 (April1989), hlm. 44-51. https://www.jstor.org/stable/23768636
kelanjutan dari tradisi sastra etnis tertentu. Demikian pula, bangsa Indonesia memiliki sistem norma dan aturan perilaku yang berdiri sendiri, yang tidak identik dengan adat darikelompok manapun.Aktivitas-aktivitassepertipendidikan,politik,administrasi,danolahragadijalankan berdasarkanprinsipdansistembaruyangberlakusecaranasional,bukanbersumberdariaturan lokal.Dengandemikian,bahkansebelumindividu-individudiakuisebagaiwarganegarasecara formal melalui ketentuan hukum, mereka sejatinya telah menjadi bagian dari satu kesatuan solidaritas sosialyang luas, yaknientitas kebangsaan yang disebut sebagai bangsa Indonesia.6
Disinilahsejarahkebangsaanberperan sangat sentralsebagaialat kohesisosial. Dengan mengedepankan pengalaman sejarah bersama (shared historical experiences), buku ini bisa dimanfaatkansebagaimediauntuk semakin menyatukanberbagaikelompoketnis, agama, dan bahasa ke dalam satu kerangka "Indonesia". Dengan demikian sejarah kebangsaan ini masih pentingbagiIndonesiakarenamenjadifondasireinventingIndonesianidentitydanmemperkuat rasa persatuan di tengah keberagaman etnis, budaya, dan agama. Dalam konteks ini sejarah kebangsaan dapat dipandang sebagai cabang historiografi yang menitikberatkan pada penyusunan,pengkajian,danpenulisansejarahyangmerekamprosespembentukan,artikulasi, dan perkembangan suatu bangsa. Fokus utamanya terletak pada konstruksi identitas nasional, peristiwa-peristiwa kunci dalam perjuangan kolektif menuju kemerdekaan, serta perumusan dan internalisasi cita-cita bersama dan nilai-nilai dasar yang melandasi berdirinya negara- bangsa. Sejarah kebangsaan tidak sekadar merekam masa lalu, melainkan juga memainkan peranperformatifdalammembentukkesadaranhistoris, memperkuat solidaritaswarganegara, dan meneguhkan jati diri bangsa dalam lanskap sosial-politik yang terus berubah.
Khusus untuk generasi muda, narasi ini juga memberikan struktur dasar pengetahuan sejarah dan menginspirasi mereka belajar lebih banyak dari sejarah bangsanya.7Narasi yang tidak utuh menyebabkan fragmentasidalam memahami sejarah, yang kini menjadi isu sentral dalam penulisan sejarah, yang dalam beberapa hal sama dengan pola persepsi ahistoris yang pernah disoroti Soedjatmoko sejak dekade 1960-an.8Hal ini terutama sangat menonjol pada generasi muda, di mana tingkat partisipasi mereka dalam berbagai isu sosial-politik sangat tinggi, tetapi tidak sebanding dengan pemahaman mereka terhadap sejarah kebangsaan. Ketimpangan ini berkontribusi pada terbentuknya opini dan sikap yang sering kali ahistoris, serta menjauhkan mereka dari akar nilai-nilai kebangsaan. Akibatnya, tingkat kepercayaan mereka terhadap institusinegara cenderung menurun, karena mereka tidak memilikikerangka historis yang memadai untuk memahami legitimasi, peran, dan dinamika kelembagaan dalam konteks perjalanan bangsa. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat melemahkan kohesi nasional dan memperbesar jarak antara negara dan warga negaranya.
Pembelajaran sejarah yang masih didominasi oleh pendekatan hafalan dan bias politis tampaknya telah mereduksi sejarah menjadi sekadar kumpulan fakta, tanpa dimensi kritis maupunpotensiemansipatoris. Dalam situasi sepertiitu, sejarah justru dapat menjadisumber
6Harsja W. Bachtiar “Masalah Integrasi Nasional di Indonesia” Prisma No.8, Agustus 1976, hlm. 6-7.
7LihatDianeRavitch,“TheControversyoverNationalHistoryStandards”,Bulletinofthe American Academy of Arts and Sciences, Vol. 51, No. 3 (Jan. - Feb., 1998), hlm. 14-28. https://www.jstor.org/stable/3824089
8Soedjatmoko, “Indonesian Historian and His Time”, dalam Soedjatmoko (ed.) An Introduction to Indonesian Historiography (Ithaca: Cornell University Press, 1965), 404-416.
fragmentasi sosial.9Dalam realitas sosial-politik Indonesia kontemporer, kecenderungan meningkatnyaekspresipolitikidentitasberbasisafiliasikeagamaandanetnisitasmenunjukkan bahwa semangat integratif yang terkandung dalam Sumpah Pemuda 1928 belum sepenuhnya terwujud dalam praktik kehidupan kebangsaan.10Oleh karena itu, buku sejarah ini menghadirkan narasi yang tidak monolitik sehingga diharapkan mampu merefleksikan kompleksitas sosial, budaya, dan historis masyarakat Indonesia yang majemuk.
Dengan demikian sesungguhnya sejarah kebangsaan memiliki peran strategis dalam membentukidentitaskolektifbangsaIndonesiayangmajemuk.Ditengaharusglobalisasiyang semakin menguat, sejarah kebangsaan berfungsi sebagai jangkar nilai dan sumber inspirasi bersama segenap elemen bangsa. Ia merekam perjuangan, penderitaan, dan cita-cita kolektif yang melandasi berdirinya negara-bangsa, sekaligus meneguhkan konsensus nasional yang termaktubdalamPancasiladanUUD1945.Selainitu,urgensisejarahkebangsaanterletakpada upayamembangunkesadaranhistorisgenerasimudaagartidakterjebakdalamahistorismedan kehilanganorientasikebangsaan.Tanpanarasisejarahyangutuh,inklusif,danreflektif,risiko fragmentasisosialdan lemahnya solidaritas kebangsaan akansemakin besar. Olehkarena itu, penulisan sejarah kebangsaan bukan sekadar aktivitas akademik, melainkan merupakan investasi strategis dan kultural dalam membangun kesadaran kolektif serta memperkuat keberlangsungan Indonesia sebagai suatu entitas bangsa dan negara.
LandasanNilaiKebangsaan
Bertolak dari uraian sebelumnya, muncul satu pertanyaan mendasar yang layak diajukan: bagaimana dinamika kebangsaan direpresentasikan dalam penulisan buku ini? Pertanyaan "bagaimana" dalam konteks ini tidak semata mengacu pada aspek teknis atau prosedural penyusunan buku, yang melibatkan kontribusi kolektif ratusan sejarawan dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia, melainkan lebih pada kerangka konseptual dan prinsip-prinsip normatifyangdijadikanpijakandalammembangunnarasihistoris.Dengankatalain,fokusnya tertuju pada paradigma penulisan sejarah yang merefleksikan nilai-nilai dasar kebangsaan sebagai fondasi etis bagi konstruksi historiografi kebangsaan.
Merujukkembalipadapremisawaltulisanini,perluditegaskanbahwakontekskekinian dari penulisan buku ini tidak hanya berfungsi sebagai latar belakang atau alasan penulisan, tetapi juga membuka kembali perdebatan klasik dalam epistemologi sejarah mengenai relasi antara subjektivitas dan objektivitas. Meskipun elaborasi mendalam atas dikotomi tersebut tidak menjadifokuspembahasandisini, satu halyang patut ditekankanadalahbahwasejarah, pada dasarnya, senantiasa ditulis dari perspektif masa kini dan tidak terlepas dari nilai-nilai serta kepentingan zaman penulisnya.
Olehkarenaitu,dilemaantaranilai(value-laden)danobjektivitasdalampenulisanbuku ini tidak diselesaikan dengan meniadakan salah satu kutub, melainkan ditanggapi melalui pendekatan kritis dan reflektif. Objektivitas dalam penulisan buku ini merupakan "a noble dream", suatu cita-cita yang menjadi standar etis dan metodologis agar para penulis buku ini
9Eric Hobsbawm, The Age of Extremes: The Short Twentieth Century, 1914–1991 (London: Michael Joseph, 1994), hlm. 3–4. https://archive.org/details/ageofextremeshis0000hobs
10Drake pernah menghitung bahwa selama 20 tahun pertama sejak proklamasi kemerdekaan telah terjadi tidak kurang dari 21 resistensi dan pemberotakan daerah di Indonesia. Lihat Christine Drake, ‘The spatial pattern of national integration in Indonesia’, Transaction Institute of British Geographers [New Series] 6 (1981), hlm. 471-472.
tidak terjerumus pada manipulasikepentingan atau fiksi belaka.11Dalam hal ini, para penulis buku ini menyadari keterbatasannya dalam mencapai netralitas absolut, seraya tetap menjaga integritas ilmiah dengan menerapkan metode yang ketat, penggunaan sumber-sumber yang dapat diverifikasi, serta keterbukaan terhadap perbedaan tafsir historis.
Dengandemikian, keterlibatan nilai yang melekat pada diripenulis buku initidak harus menegasikan objektivitas, melainkan dapat dikendalikan melalui kesadaran reflektif dan komitmen terhadap etika metodologis yang bertanggung jawab. Pendekatan inilah yang memungkinkanbukuinidapatberfungsitidakhanyasebagairepresentasimasalalu,tetapijuga sebagai instrumen pembelajaran kritis untuk masa kinidan masa depan bangsa Indonesia. Ini sejalan dengan pemikiran sejarawan modern E. H. Carr, bahwa sejarah adalah konstruksi intelektual yang sarat dengan nilai dan selalu terbuka terhadap reinterpretasi.12
BukuSejarahIndonesiainibukanlahnarasifinal,melainkanterusmengalamipembaruan seiringditemukannyabuktibaru,munculnyaperspektifanalitisberbeda,sertaberkembangnya kepentingandankesadarankolektifmasyarakatdariwaktukewaktu.Dalamkonteksini,peran sejarawan tidak hanya merekamperistiwa, tetapisecara aktif memberi makna pada masa lalu melalui konstruksi naratif.13Masa lalu itu memang ada, namun ia menjadi bermakna hanya ketika diinterpretasikan dan dituliskan oleh sejarawan sebagai sejarah.14Penulisan sejarah merupakansuatuprosesartikulatifyang menghubungkanantaradimensikognitif(“knowing”) dengan dimensi naratif(“telling”).15Penulisanbuku inididasarkanatas riset berbagaisumber sejarahyang kemudian transformasikan ke dalam bangunan narasi sistematis dan bermakna, yang diharapkan mampu menjembatani pemahaman generasi kini terhadap dinamika historis bangsa Indonesia.
Bertolak dari berbagai pemikiran di atas, buku Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global ini disusun sebagai sebuah kerja historiografi yang bersifat demokratis. Buku inidirancang sebagairuang pembelajaran kritis yang memberitempat bagi keragaman suara baik darikalangan elite maupun akar rumput, daripusat maupun pinggiran, sertadarikelompokmayoritasmaupunminoritas.Denganmenjunjungtinggiprinsipkeilmuan yangterbukaterhadapkritikdandidasarkanpadadatasertasumber-sumbersejarahyangdapat dipertanggungjawabkan, buku ini dimaksudkan untuk menjadi medium dialog dan pembebasan, bukan instrumen legitimasi kekuasaan hegemonik. Dengan semangat tersebut, seraya mengoreksi historiografi kebangsaan yang cenderung tertutup dan eksklusif, karya ini berupaya menyajikan narasi sejarah yang mencerahkan dan relevan bagiIndonesia masa kini dan masa depan.
11ThomasL.Haskell,‘ObjectivityisnotNeutrality:Rhetoricvs.PracticeinPeter Novick's That Noble Dream’, History and Theory, Vol. 29, No. 2 (May, 1990), hlm. 129-157. https://www.jstor.org/stable/2505222
12E.H. Carr, What Is History? The George Macaulay Trevelyan Lectures (Cambridge - London: Macmillan, 1961), hlm. 8-14.
13AlunMunslow,DeconstructingHistory(London&NewYork:Routledge,1997), hlm.
20.
14‘Professor Alun Munslow - The Gap Between the Past and History’,
https://www.youtube.com/watch?v=CHC3PAbpI1U(Dikunjungipada4Juni2025)
15Hayden White, “The Value of Narrativity in the Representation of Reality”, Critical Inquiry, Autumn, 1980, Vol. 7, No. 1, On Narrative (Autumn, 1980), pp. 5-27. https://www.jstor.org/stable/1343174
‘BenangMerah’Keindonesiaan
Penggunaan istilah "Indonesia" untuk menggambarkan kondisi sebelum abad ke-20 sejatinya bersifat anakronistik, karena istilah tersebut baru dimunculkan oleh kaum elite modern pada awal abad ke-20 seiring dengan berkembangnya kesadaran nasional. Namun demikian, berbagai unsur pembentuk entitas yang kini disebut Indonesia sesungguhnya telah hadir jauh sebelumnya. Secara geografis, wilayah yang menjadi cikal bakal Indonesia dapat ditelusuri jejaknya selama berabad-abad, ditandai oleh keberadaan komunitas manusia di gugusan kepulauan yang kemudian dikenal sebagai Nusantara. Lebih jauh ke belakang, bukti keberadaan manusia purba yang menghuni wilayah ini sejak jutaan tahun lalu menunjukkan adanyaakar-akarperadaban.Kemampuanmerekadalammembuatalatsertamengekspresikan gagasan, sebagaimana terlihat dari temuan lukisan gua seperti gambar perahu, menunjukkan tingkat kemajuankognitifdanteknologis. Temuaninimenegaskanbahwa manusiadiwilayah Nusantara telah memiliki keterampilan pelayaran sejak puluhan ribu tahun sebelum Masehi. Dari sinilah dapat disimpulkan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia adalah pelaut ulung yang telah membangun dan menghidupkan jaringan maritim. Tradisi kemaritiman tersebut tidak hanya menjadi ciri utama dalam perkembangan peradaban di Nusantara, tetapi juga menjadi pintu bagi keterlibatan masyarakat kepulauan ini dalam interaksi global sejak masa- masa awal sejarah manusia.
Dengan dasar pemikiran di atas, jelas diperlukan suatu buku sejarah Indonesia yang menggambarkan dinamika kebangsaan dalam arus global.Buku ini terdiri atas 10 jilid. Dari jilid Kesatu hingga Kesepuluh dapat ditunjukkan bahwa ‘benang merah’ sejarah bangsa Indonesia adalah kemaritiman. Namun demikian basis agraris negeri kepulauan ini tidak mungkin diabaikan. Jika Sriwijaya lebih terlihat kuat pada aspek bahari, maka Kerajaan Majapahit menjadi acuan keberhasilan dalam memadukan ciri maritim dan agraris. Dengan demikian dapat diterangkan bahwa memori kolektif bangsa didasarkan dari narasi kerajaan- kerajaan yang dianggap mampu “mempersatukan” Nusantara. Jadisepertiada korelasiantara pembentukan memori kolektif dengan jaringan maritim.Gejala itu jauh melampaui wilayah Indonesia kini. Di dalam luasnya jaringan maritim itulah pelaut Indonesia berlayar dan berdagang ke jaringan Asia. Demikian juga penduduknya berdiaspora di seantero Asia Tenggara.
Kombinasi keduanya menciptakan konfigurasi kekuasaan yang tidak hanya mampu menjalinkonektivitasantarpulau,tetapijugamenjangkaupedalamandanpusat-pusatproduksi agrikultural. Oleh karena itu, narasi sejarah kebangsaan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari warisan kerajaan-kerajaan besar yang secara simbolik dan politis dianggap sebagai tonggak pemersatu wilayah Nusantara. Dalam konteks ini, memori kolektif bangsa banyak dibentuk melalui pengakuan terhadap figur-figur pemimpin dan struktur kerajaan yang dipersepsikan berhasil menghadirkan kesatuan di tengah keragaman. Kahin mencatat bahwa ingatan akan negara-negara prakolonial yang kuat seperti Sriwijaya dan Majapahit berperan dalam membentuk imajinasikolektifpara pemimpin nasionalis. Kerajaan-kerajaan inisering dikutip dalamtulisandanpidato nasionalis sebagaibuktibahwa masyarakat nusantara pernahbersatu di bawah pemerintahan pribumi, sehingga menantang klaim kolonial bahwa Indonesia adalah konstruksi buatan atau yang dipaksakan dari luar.16
SudahjelasbahwaRepublikIndonesiayangdiproklamasikanpada17Agustus1945bukan merupakan kelanjutan langsung dari Kadatuan Sriwijaya yang oleh Muhammad Yaminpernahdisebutsebagai"republikpertama,"maupundariKerajaanMajapahityang
16GeorgeMcTurnanKahin, NationalismandRevolutioninIndonesia(Ithaca,NY:Cornell University Press, 1952), hlm. 37-38.
disebutnya sebagai "republik kedua." 17Pandangan tersebut lebih mencerminkan konstruksi historis yang bernuansa simbolik daripada realitas institusional yang berkesinambungan. Namun demikian, kontribusi historis Sriwijaya dan Majapahit tidak dapat diabaikan, khususnyadalamhalpembentukan jaringanmaritimyangluasdanstrategis.Melaluikekuatan baharinya,keduakerajaantersebuttelahmembentangkan jaringankonektivitasantarpulaudan antarkawasanyang merajut wilayah-wilayah yang kini menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan, jangkauan maritim mereka melampaui batas-batas Indonesia kontemporer, menjangkau Semenanjung Malaya, Filipina, pesisir Indochina, hingga wilayah India dan Tiongkok bagian selatan. Dalam jaringan maritim yang luas inilah para pelaut dan pedagang dari Nusantara aktif menjalin hubungan dagang, budaya, dan diplomatik dengan kawasan Asia yang lebih luas. Selain itu, mobilitas penduduk Nusantara yang menyebar melalui jalur laut menunjukkan terjadinya diaspora maritim ke berbagai wilayah di Asia Tenggara. Jejak diaspora ini masih dapat ditemukan dalam bentuk komunitas-komunitas perantauan, pengaruh bahasa, serta pertukaran budaya dan teknologi. Dengan demikian, kekuatan maritim masa Sriwijaya dan Majapahit tidak hanya meletakkan fondasi geopolitik Nusantara, tetapi juga memperlihatkan peran aktif leluhur bangsa Indonesia dalam dunia maritim Asia, jauh sebelum lahirnya negara-bangsa modern.18
Elemen pemersatu utama dalam sejarah kebangsaan Indonesia yang menjadi garis penghubung lintas waktu adalah terbentuknya jaringan ataunetwork yang mendorong proses integrasi dan memperkuat kohesi nasional. Jaringan ini, pada dasarnya, bertumpu pada dinamika aktivitas kemaritiman yang sejak lama menjadi fondasi utama dalam menyatukan wilayah-wilayah Nusantara. Sejalan dengan pemikiran Sartono Kartodirdjo, sejarah kebangsaanIndonesiamerefleksikanprosesbertahapdanberkesinambunganmenujuintegrasi, sejakmasaawalhinggatercapainyakesatuannasionalsepertiyangadasekarang.19Disamping aspek kemaritiman, unsur-unsur integratif lainnya seperti diaspora, bahasa Melayu sebagai lingua franca, dan pengalaman hidup dalam negara supra-etnik juga menjadi fondasi historis utama pembentuk keindonesiaan. Meskipun bentuk keterhubungan sejarah antar-periode bervariasi, elemen-elemen tersebut secara konsisten merajut kesinambungan identitas kebangsaan Indonesia. Jejaring tersebut tampil sebagai satu kekuatan integratif yang menghubungkan masyarakat.20
Seperti dikemukakan Harsja W. Bachtiar, agama-agama di Indonesia juga berperan sebagai faktor integrasi bangsa.Agama-agama yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik Roma, Hindu Dharma, Buddha merupakan sumber daya pemersatu yang ampuh. Para penganut agama-agamaituberasaldarimasyarakatdaerahdariberbagainasionlama.21Sementaraitu
1958)
17MuhammadYamin,6000TahunSangSakaMerahPutih(Djakarta:BalaiPustaka,
18LihatmisalnyaKennethR.Hall,MaritimeTradeandStateDevelopmentinEarly
SoutheastAsia (Honolulu:UniversityofHawaiiPress, 1985).Lihat jugaO.W.Wolters, Early IndonesiaCommerce:AStudyoftheOriginsof Srivijaya(Ithaca,NewYork:CornellUniversity Press, 1967).
19Lihat Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900: Dari Emporium sampai Imperium I (Jakarta: Gramedia, 1988), hlm. xiii-xxiii.
20Alberto Melucci, “The Rise of the Network Society by Manuel Castells”, American Journal of Sociology, Vol. 103, No. 2 (September 1997), hlm. 521-523. https://www.jstor.org/stable/10.1086/231245
21Harsja W. Bachtiar “Masalah Integrasi Nasional di Indonesia” dalam Prisma, No. 8 Tahun V, Agustus 1976, hlm 11.
dalamkajiannya,AzyumardiAzra mengatakanbahwaperkembanganIslamdiIndonesia telah lama berlangsung dalam kaitannya dengan jaringan para ulama di Haramain (Mekkah dan Medinah)dengankepulauanNusantara.Jaringaninisemakinintensifdalamabadke-17.Dapat disebut ulama Nusantara yang berguru ke ulama di Haramain antara lain YusufAl Makasari (Sulawesi Selatan), Al Sinkili (Aceh), Al Palimbani (Palembang), Al-Banjari(Kalimantan Selatan).22Menarik untuk diketahui ada kisah pekabaran Injil dan Gereja di Papua (d/h Irian Jaya)bahwayangmerintisadalahduaorangJermanyaituC.W.OttowdanJ.G.Geissler.Pada 5Februari1855,setelahmemperolehizindariSultanTidore,merekamelakukanpelayarantiga minggu dengan kapal dagang dan mendarat di Mansinam. Pulau itu didiami oleh suku Numfor.23
Pada masa kolonial, pengalaman kolektif yang berakar pada kemaritiman, bahasa Melayu, dankeberadaansistempemerintahansupra-etnik tetap menjadi fondasikeberlanjutan integrasi antarkelompok di wilayah Nusantara. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya,dasardanideologinegara,yakniPancasila,hadirsebagaikekuatanintegratif baru yang merekatkan keindonesiaan. Meskipun perjalanannya tidak lepas daridinamika dan pasang surut, Pancasila tetap menjadi landasan utama dalam menjaga kohesi nasional hingga masakini.Selainitu,penetapanbatas-batasteritorialdalamkerangkanegara modernterutama semenjak Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 turut mempertegas identitas keindonesiaan yang membedakannya dari bangsa-bangsa serumpun dikawasan ini, meskipun memiliki akar etnis dan budaya yang beririsan.24
Pertanyaan penting yang patut diajukan adalah bagaimana menjalin kesinambungan sejarah dari masa awal Nusantara hingga era pemerintahan Joko Widodo dan menjelang kepemimpinanPresidenPrabowo.Visiporosmaritimdunia yangdiusungJokowi–JusufKalla sejak 2014 merupakan bentuk revitalisasi peran strategis Indonesia dalam konstelasi kelautan global, meski implementasinya belum sepenuhnya optimal. Kebijakan ini berpijak pada akar historisyangkuat,dimanatradisimaritimIndonesia bukanhanyaaspekgeografis, melainkan elemen integratif lintas zaman. Bukti arkeologis dan peran Nusantara dalam jejaring maritim globalmenunjukkanadanyawarisanbudayabahariyangkokoh.Namun,tantanganutamakini adalah memastikan bahwa warisan tersebut tetap hidup dan dijalankan oleh generasi penerus bangsa.
SejarahIndonesia, pada hakikatnya, harus mencerminkankeseimbanganantara wilayah daratdanlaut,yangterangkumdalamkonsep“Tanah-Air”.Pandanganiniperludikembangkan sebagaisuatuarchipelagicthinking,yaitucarapandangkepulauan,yangdalamlintasansejarah panjang telah terformulasi menjadi konsep “Wawasan Nusantara”. Jika dahulu van Leur menyarankan agar kita tidak memahami sejarah Indonesia hanya dari perspektif kapal VOC, dan A.B. Lapian mendorong untuk terus berlayar demi memahami Indonesia, maka penting pula ditambahkansatu ajakan lagi: berhentilahsejenak danpelajarisetiap pulau satu per satu. Bukankah masih banyak pulau yang belum tersentuh kajian sejarah secara memadai? Dalam kerangka inilah, kehilangan Pulau Sipadan dan Ligitan menjadipelajaran sejarah yang sangat
22AzyumardiAzra,JaringanUlamaTimurTengahdanKepulauanNusantaraAbadXVII dan XVIII:MelacakAkar-AkarPembaruan Pemikiran Islam diIndonesia (Bandung: Penerbit Mizan, 1994), hlm 101,250, 251.
23Th. vanDer End & J. Weitjens S.J., Ragi Carita Sejarah Gereja di Indonesia 2 1860- an –Sekarang (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia), hlm. 121.
24Lihat Singgih Tri Sulistiyono, dkk.,”Traditional Knowledge and Origin of Maritime Territorialisation Idea in Indonesia”, Journal of Marine and Island Cultures, Vol.12, No. 3 (2023), hlm. 308 – 324.
berharga.Mungkinkarenakesadaranakanpentingnyatanah, laut,danpulau-pulau itulahlagu “IndonesiaRaya”dinyanyikanlengkaphinggastanzaketiga,dimanaterdapatseruan:“jagalah rakyatnya, jagalah lautnya, pulaunya… semuanya.”25
Kajian antropolog Marshall Sahlins dalamIslands of History mengenai Kepulauan Hawai’i26menjadi contoh penting akan potensi kajian mendalam yang sepatutnya juga diarahkanpadakawasan-kawasansepertiMaluku,RajaAmpat,danwilayah-wilayahIndonesia Timur secaralebihluas. Kesadaraninidiharapkanmampu mendorongupayapelestarian serta pemanfaatan sumber daya kepulauan Nusantara secara berkelanjutan demi kesejahteraan bersama. Tradisi lisan sepertionotan, yakni nyanyian pelayaran orang Banda menuju Kepulauan Kei pasca-peristiwa genosida oleh VOC tahun 1621, menghadirkan kesaksian emosionaltentangtraumakolektifdandiasporayangterpaksamencarikehidupanbaru.Disisi lain, kontribusi historis para budak dalam proses pembentukan Indonesia juga tidak dapat diabaikan. Penelitian disertasi mengenai perbudakan memperlihatkan bagaimana para budak, yangumumnyadidatangkanolehotoritaskolonialdanditempatkandiwilayahperkebunanatau pelabuhan strategis, turut menjadi bagian integral dalam jaringan sosial dan ekonomi yang kemudian merajut fondasi Indonesia modern.
JaringanmaritimNusantarabukansekadar jalurekonomi, melainkanjuga membentuk konektivitas sosial-budaya antarwilayah. Melalui perdagangan jarak jauh, wilayah ini terintegrasikedalamjaringanglobal, tercermindalamperjumpaandenganHindu-Buddhadan Islam. Dalam proses tersebut, bahasa dan budaya memperkuat interaksi lintas etnis dan keterhubungan antarkomunitas di kepulauan Nusantara.27Bahasa Melayu telah berfungsi sebagaibahasapengantarutama(linguafranca)diwilayahNusantarajauhsebelumkedatangan bangsa Eropa.28Bahasa ini berkembang dari perpaduan antara Bahasa Melayu Kuno, yang telahmenjadibagiandarikehidupanmasyarakatkepulauan,denganpengaruhbahasaSanskerta yang masuk melalui interaksi budaya dengan peradaban India. Fungsinya sebagai alat komunikasiantarkelompokmasyarakatsemakinmenguatseiringdenganpesatnyapenyebaran Islam sejak abad ke-13, yang juga mendorong penggunaan aksara Arab dalam bentuk lokal, yakni aksara Jawi, sebagai media penulisan Bahasa Melayu.
Aksara Jawi tidak hanya menjadi medium penulisan teks-teks keagamaan, tetapi juga berfungsi luas dalam ranah administratif, sastra, dan ilmu pengetahuan. Penyebarannya mencerminkantingkat integrasi budaya dan intelektual yang tinggi di antara komunitas- komunitas Muslim di berbagai wilayah Nusantara. Fenomena ini dapat dilihat, misalnya, dalamkeseragamanbahasadanbentuktulisan yangdigunakandalamsuratresmiRajaTernate kepadaRajaPortugalpadatahun1590,yangmemilikikesamaanlinguistikdengankarya-karya
25LihatSusantoZuhdi,PerspektifTanah-AirdalamSejarahIndonesia(PengukuhanGuru Besar Tetap FIB-UI,Depok:UniversitasIndonesia,2006).Lihat juga SinggihTriSulistiyono, dkk., ”Traditional Knowledge and Origin of Maritime Territorialisation Idea in Indonesia”, Journal of Marine and Island Cultures, Vol.12, No. 3 (2023), hlm. 308 – 324. https://doi.org/10.21463/jmic.2023.12.3.20
26Marshall Sahlins, Islands of History (Chicago ; London: University of Chicago Press, 1985).https://archive.org/details/islandsofhistory00sahl
27GeoffWade,“AnEarlyAgeofCommerceinSoutheastAsia,900-1300CE”,Journalof Southeast Asian Studies, Vol. 40, No. 2 (Jun., 2009), hlm. 221-265. https://www.jstor.org/stable/27751563.
28H. Steinhauer, “On the History of Indonesian”, Studies in Slavic and General Linguistics, Vol. 1, (1980), hlm. 349-375. https://www.jstor.org/stable/40996873
para ulama Aceh pada periode yang sama. Kesamaan tersebut menunjukkan bahwa Bahasa Melayu, dalam wujud tulisan Jawi, telah menjadi alat komunikasi transregional yang memperkuat keterhubungan antarwilayah, baik dalam konteks perdagangan, keagamaan, maupun intelektual.
BahasaMelayu memainkanperanpentingsebagaipenanda identitasbudayadansosial masyarakat Nusantara dalam interaksinya dengan kekuatan-kekuatan Barat sejak abad ke-16, yakniketika bangsa Portugis, Spanyol, dan kemudian Belanda mulai berdatangan ke wilayah iniuntukmencarirempah-rempah.KehadiranBelanda, yangdimulaipada1596dankemudian secara resmi diwakili oleh perusahaan dagang VOC sejak 1602, berlangsung pada saat Islam telah mengakar kuat sebagai kekuatan politik dan budaya. Bahasa Melayu berfungsi sebagai alatkomunikasidiplomatik,perdagangan,danpenulisankeagamaanberaksaraJawi.Padaabad ke-19, bahasa Melayu beradaptasi dengan aksara Latin dan berkembang menjadi bahasa Indonesia, yang kemudian dijadikan simbol persatuan oleh generasi muda dalam Sumpah Pemuda 1928.
Tidak terbantahkan bahwa eksistensi negara kolonial Belanda, yang dalam perspektif sejarah mirip seperti Majapahit, dapat dipahami sebagai struktur kekuasaan yang melampaui batas etnis atau bersifat supra-etnis, telah memainkan peran signifikan dalam meletakkan fondasiawalbagiterbentuknyawadahkeindonesiaan. Periode kolonialinimenjadisemacam jembatan historis yang menghubungkan masa sebelum pergerakan nasional dengan fase perjuangan kemerdekaan yang berpuncak pada proklamasi Indonesia pada Agustus 1945.
Dalamprosesini,pengalamanhidupdibawahpemerintahankolonialBelanda,bersama dengan peran jaringan maritim, penggunaan bahasa Melayu, dan mobilitas diaspora, menjadi unsur-unsur penting yang ikut merajut kesadaran kebangsaan Indonesia. Bahkan, peta-peta kartografi yang dibuat oleh Belanda kemudian menjadi referensi awal bagi batas wilayah Indonesia modern. Sebagaibekas koloniHindia Belanda, masyarakat dikepulauanNusantara secara bertahap terbiasa dengan sistem pemerintahan yang terpusat, berkarakter supra-etnis, dan berpusat di Batavia. Pengalaman ini membentuk landasan bagi pemahaman kolektif tentang tatanan politik yang melampaui batas-batas etnis. Namun demikian, pada masa pergerakan nasional, pengalaman tersebut justru menjadi titik tolak kritik terhadap kolonialisme dan memicu perjuanganuntuk membebaskandiridarikekuasaanasing.Aspirasi untukhidupsebagaiwarganegaramerdekaakhirnyadiwujudkandalambentuknegara-bangsa Indonesia.
Dengan semua butir utama daribenang merah diatas, pembentukan negara Indonesia melalui proses sejarah panjang dan jauh lebih kompleks dari sekadar konsep imagined community oleh Anderson.29Justru, pernyataan sejarawan Indonesia Sartono Kartodirdjo sangat penting dirujuk di sini. Baginya, menjadi Indonesia adalah proses panjang bersifat kumulatif, berlangsung berabad-abad melalui interaksi sosial, pertukaran budaya, dan mobilisasi politik di berbagai wilayah Nusantara. Semua itu telah menciptakan kesadaran kolektif lintas wilayah yang menjadi fondasi bagi munculnya identitas baru sebagai bangsa,30
29Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, Revised Edition (London and New York: Verso, 1991), hlm. 5-6.
30Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900: Dari Emporium sampai Imperium I (Jakarta: Gramedia, 1988), hlm. xiii-xxiii.
sebagaimanajugaditegaskanHarsjaBachtiaryangtelahdikutipdiatas.Dititikini,"kehendak untuk hidup bersama" juga berlaku untuk konteks Indonesia. 31
Pascaperangmempertahankankemerdekaan(1945-1949),keindonesiaanmenghadapi tantangan internal serius. Presiden Sukarno pernah mengatakan bahwa musuh yang utama adalah datang dari dalam bangsa sendiri. Pada 1950-an, ketidakstabilan pemerintahan dan ekonomi, disertai gejolak daerah yang disebut "pemberontakan setengah hati", mengancam integrasinasional.Dalamsituasiini,korupsimulaimencuat,mendorongdibentuknya"Operasi Budi" oleh Kabinet Juanda (1957–1958). Muncul pertanyaan: apakah semangat perjuangan kemerdekaanmulaidilupakan?Tidakkalahpentingnya,padamasainijugaterjadiketegangan politikyangtajamyangditandaidenganpolarisasidankompetisikekuasaandanideologiyang menyebabkan gagalnya proyek politik Nasakom, meskipun semula diharapkan mampu menjadi perekat seluruh kekuatan sosial-politik bangsa. Situasi tersebut akhirnya mencapai puncaknyadalamtragedinasional1965,peristiwatraumatisyanghinggakinimasihmembekas dalam ingatan kolektif bangsa Indonesia. Dalamkerangka ini, persoalan kebangsaan kembali menjadi isu krusial yang menuntut perhatian dan pemikiran serius.
DinamikaKebangsaandalamArusGlobal
Dalamkonteks NKRI, kebangsaan berperanvital sebagaiperekat ideologis yang menyatukan bangsa di tengah keberagaman geografis, etnis, budaya, dan agama. Ia bukan sekadar simbol administratif, melainkan fondasi normatifdan kultural yang menopang kehidupan berbangsa. Dalam perjalanan sejarahnya, sebagaimana telah ditunjukkan di atas, konstruksi identitas nasional Indonesia banyak dipengaruhi oleh kontak dengan dunia luar, baik melalui jalur perdagangan antarbenua, kolonialisme yang menanamkan sistem politik-ekonomi baru, migrasi lintas wilayah yang membawa ide dan praktik budaya baru, hingga perkembangan teknologikomunikasiyang membentuk ruang publik digitalmasa kini. Arusglobalmembuka peluang memperkaya identitas nasional, tetapi juga bisa mengancam jati diri kebangsaan. Karena itu, pemahaman kebangsaan harus dilihat sebagai dialektika antara lokal dan global. Hanya melalui kesadaran historis dan refleksi kritis, kebangsaan Indonesia dapat dijaga dan diperkuat menghadapi tantangan zaman.
KebangsaanjugaberfungsisebagaisumberlegitimasibagikeberadaannegaraIndonesia. Melaluisejarah,negara menemukandanmerumuskanidentitasmisalnya sebagaibangsa yang toleran, gotong-royong, religius, dan alasan moral-politik untuk terus mempertahankan keutuhan NKRI. Sebagai contoh, narasi tentang integrasi Papua atau Aceh ke dalam NKRI bukan hanya persoalan geopolitik, tetapi disandarkan pada argumen historis bahwa wilayah tersebut memiliki memori sejarah bersama dan turut serta dalam proses kemerdekaan atau memiliki jejak perjuangan nasional. Tanpa keberadaan sejarah kebangsaan, dasar eksistensi negara akan rentan dan mudah digugat. Berikut inidisajikan gambaran dinamika kebangsaan Indonesia dalam konteks arus global, khususnya sejak periode di seputar Proklamasi Kemerdekaan.
FondasiKonstitusionalKebangsaan
Konsep kebangsaan Indonesia secara resmi dirumuskan menjelang Proklamasi 17 Agustus 1945 dan dituangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Rumusan tersebut merupakanartikulasidarisemangatanti-kolonialismeyangtelahberkembangsejakawalabad
31Ernest Renan, “What is a Nation?” dalam: Geoff Eleydan Ronald Grigor Suny(eds.), Becoming National: A Reader (New York: Oxford University Press, 1996), hlm. 42–55. http://ucparis.fr/files/9313/6549/9943/What_is_a_Nation.pdf
ke-20 dan mencerminkan aspirasi kolektif untuk membentuk suatu negara yang merdeka, berdaulat, adil, dan beradab. Esensi kebangsaan dalam pembukaan UUD 1945 menegaskan tiga prinsip utama: (1) kemerdekaan sebagai hak segala bangsa; (2) perlindungan negara terhadapsegenapbangsaIndonesiadanseluruhtumpahdarahIndonesia;serta(3)tujuannegara untukmencerdaskankehidupanbangsa,memajukankesejahteraanumum,danikutsertadalam menciptakanketertibanduniayangberdasarkankemerdekaan,perdamaianabadi,dankeadilan sosial.
Konsepsi kebangsaan yang dikandung dalam dokumen tersebut bukanlah bentuk nasionalisme yang berbasis etnisitas, agama, atau golongan tertentu, melainkan sebuah nasionalisme yang inklusif. Ia berakar pada nilai-nilai universal kemanusiaan dan keadilan sosial, serta berupaya mengintegrasikan keberagaman budaya, etnis, dan agama ke dalam kerangka negara-bangsa yang satu.32Dengan demikian, kebangsaan Indonesia diposisikan bukansebagaiidentitaseksklusif,tetapisebagaiproyekintegratifyangterusmenerusdibangun melalui proses sejarah, dialog sosial, dan institusionalisasi politik.33
MasaMempertahankanKemerdekaan:KebangsaandalamFragmentasiIdeologi
Meskipun idealisasikebangsaantelahsecara tegasdirumuskandalamPembukaanUUD 1945, realitas sosial-politik Indonesia pada paruh akhir 1940-an menunjukkan bahwa kebangsaan sebagai konstruksi politik masih sangat rapuh dan problematik. Negara Indonesia yang baru merdeka harus segera menghadapi serangkaian krisis internal berupa konflik ideologis yang bersumber dariperbedaanvisimengenaibentuk negara danarah ideologinya. Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun pada September 1948 dan gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang bermula di Jawa Barat pada tahun berikutnya merupakan dua ekspresi ekstrem dari fragmentasi ideologi dalam tubuh bangsa yang baru terbentuk.34
Konflik-konflik tersebut berlangsung di tengah perjuangan diplomatik dan militer melawan agresi Belanda yang belum mengakui kemerdekaan Indonesia. Di tingkat internasional,Indonesiamendapatdukungandarinegara-negaraAsiadanTimurTengahdalam konteks dekolonisasi pasca-Perang Dunia II dan munculnya tatanan dunia bipolar antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.35Dalam suasana Perang Dingin yang mulai mengeras, Indonesia harus menavigasi jalan kebangsaannya di antara tekanan ideologis global antara kapitalisme liberal dan sosialisme-komunisme.
Konferensi Meja Bundar (1949) merupakan kemenangan diplomatik karena Belanda mengakuikedaulatanIndonesia,namunjugamencerminkankompromipolitikmelalui
32YudiLatif, NegaraParipurna:Historisitas,Rasionalitas,danAktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), hlm. 89–91.
33Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (London: Verso, 2006), hlm. 6–7
34Lihat Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Ithaca: CornellUniversityPress,1962),hlm.104–115;MengenaiDarulIslam,lihatC.van Dijk,RebellionundertheBannerofIslam:TheDarulIslaminIndonesia(TheHague:Martinus Nijhoff, 1981).
35J.D.Legge,Indonesia(EnglewoodCliffs:PrenticeHall,1964),hlm.122–126.
pembentukanRepublikIndonesiaSerikat (RIS)yangsempat melemahkansentralitasNKRI.36Dalamkonteksini,kebangsaanIndonesiadiujiolehkompleksitasantaraaspirasinasionalyang menghendaki kesatuan dan kedaulatan penuh, dengan kenyataan keberagaman ideologi, fragmentasi elite politik, dan loyalitas lokal yang masih kuat. Tantangan konsolidasi negara- bangsa menjadi agenda utama dalam masa transisi ini, termasuk upaya integrasi wilayah dan penataan ulang institusi politik yang masih cair.
DemokrasiParlementerdanPenguatanKebangsaan
Pada 1950-an, Indonesia mulai mengonsolidasikan diri sebagai negara-bangsa dengan mengembalikan bentuk negara dari RIS ke NKRI, mencerminkan aspirasi rakyat untuk persatuan nasional. Konsolidasi ini dilanjutkan dengan Pemilu 1955, yang menjadi tonggak penting dalam sejarah demokrasinegara-negara pasca-kolonial. Pemilu ini menghasilkan dua lembaga penting: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Konstituante, yang bertugas merumuskan konstitusi baru sebagai landasan demokrasi yang lebih matang.
Namun, harapan terhadap sistem demokrasi parlementer segera dihadapkan pada kenyataan politik yang kompleks. Tingginya fragmentasi politik dengan lebih dari 30 partai dan poros ideologi yang kuat, nasionalisme sekuler, Islam politik, dan komunisme, menyuburkan politik aliran yang sektarian. Hal ini menghambat tercapainya konsensus nasional, termasuk dalam Majelis Konstituante yang gagal menyepakati dasar negara antara pendukung Pancasila dan Islam, sehingga penyusunan konstitusi baru terhambat.37Keadaan ini semakin kompleks akibat dinamika global selama era Perang Dingin, ketika Indonesia sebagainegaranonblokberadadalamtekananideologisdarikeduakutubkekuatandunia:Blok BaratdanBlokTimur.Denganmemanfaatkanmomentumgelombangdekolonisasi,Indonesia tampil sebagai motor penggerak solidaritas negara-negara Dunia Ketiga, khususnya melalui penyelenggaraanKonferensiAsia-Afrikatahun1955danketerlibatannyadalampembentukan Gerakan Non-Blok. Dalam posisi ini, Indonesia mengartikulasikan suara negara-negara baru yang menolak untuk terjerat dalam politik aliansi ideologis global.
Dalam konteks rivalitas geopolitik tersebut, proses institusionalisasi kebangsaan Indonesia berlangsung di tengah tekanan dan tarik-menarik kepentingan internasional. Ketidakmampuanelitepolitikdomestikuntukmenyelesaikanperbedaansecaradeliberatifdan konstitusionalmendorongPresidenSukarno untukmengeluarkanDekrit Presiden5Juli1959, yang membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945. Keputusan ini mengakhiri sistem demokrasi parlementer dan mengkonsolidasikan kekuasaan eksekutif atas namastabilitasdankesatuannasional,meskipunpadasaatyangsamamengorbankannilai-nilai demokrasi partisipatif dan prinsip deliberasi dalam proses politik.
KebangsaandalamSemangatRevolusioner
Dekrit 5 Juli 1959 menandai peralihan dari demokrasi parlementer ke Demokrasi Terpimpin, di mana kebangsaan diposisikan sebagai proyek ideologis dan revolusioner yang dipimpin langsungPresidenSukarno.Dalamsistemini,negaraberperansebagaipenggerakutama
36RobertCribb,HistoricalAtlasofIndonesia(Richmond:CurzonPress,2000),hlm.162–
164.
37R.WilliamLiddle,"TheIslamicTurninIndonesia:APoliticalExplanation,"The
Journal of Asian Studies, Vol. 55, No. 3 (1996): hlm. 613–614. https://www.jstor.org/stable/2646448
revolusi dan pengarah tunggal kehidupan politik nasional. Konsep Nasakom, penyatuan Nasionalis, Agama, dan Komunis, menjadi pilar gagasan kebangsaan era Presiden Sukarno, dengan harapan membentuk basis ideologis revolusi Indonesia. Meski dimaksudkan untuk menjembataniperbedaan,Nasakomjustrumemperdalampolarisasi,khususnyaantaraPKIdan TNI,yangmenimbulkanketeganganluasdanmemicuinstabilitasyangmemuncakpadatragedi 1965.
Gejolak domestik, termasuk pemberontakan daerah seperti PRRI/Permesta akibat ketimpangan pembangunan, mendorong Presiden Sukarno memperkuat peran Indonesia di tingkat internasional. MelaluiGerakan Non-Blok, Indonesia menyuarakan solidaritas negara- negara baru yang menolak berpihak pada Blok Barat atau Timur. Namun demikian dalam praktiknya, politik luar negeriIndonesia semakin condong ke Blok Timur, dengan kedekatan terhadap Tiongkok, Uni Soviet, dan Korea Utara. Arah ini menegaskan posisi ideologis Indonesia secara global, namun juga menimbulkan kekhawatiran di dalam negeri dan di kalangan negara Barat, terutama Amerika Serikat dan sekutunya.
KecenderunganIndonesia mendekat keBlok Timur menyebabkan isolasidari beberapa lembaga internasional dan memperbesar ketegangan domestik akibat menguatnya pengaruh PKI. Sukarno memproyeksikan kebangsaan sebagai alat pembebasan dari imperialisme dan dasar “revolusi belum selesai.” Namun, fokus pada mobilisasi massa, kontrol negara atas masyarakat sipil, danpenguataneksekutifjustru mendorongotoritarianisme dan melemahkan institusi serta ruang demokrasi.
Kebangsaan yangDipersatukan
TragedinasionalGerakan30 September 1965(G30S/PKI) merupakantitik balik fundamental dalam sejarah kebangsaan Indonesia. Peristiwa tersebut tidak hanya menandai kehancuran kekuatan kiri, khususnya PKI, tetapi juga membuka jalan bagi militer, di bawah pimpinan JenderalSoeharto, untukmengambilalihkendalipolitiknasional. Dengandukungankuat dari Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya di tengah ketegangan Perang Dingin, Soeharto membangun rezimOrde Baru yang didasarkan pada agenda utama: stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, dan penanggulangan komunisme.
DalamkerangkaOrdeBaru,konsepkebangsaanmengalamitransformasimenjadiproyek integrasi nasional yang dibingkai oleh prinsip militerisme, sentralisme kekuasaan, dan depolitisasi warga negara. Penyeragaman ideologis dilakukan melalui pemberlakuan asas tunggal Pancasila bagi seluruh organisasi sosial dan politik, yang ditujukan untuk menghilangkan pluralisme ideologi dan mempersempit ruang oposisi.38Fusi partai politik dalam Golkar, PPP, dan PDI pada tahun 1973 menjadi instrumen pengendalian politik yang efektif, yang sejalan dengan konsep “stabilitas nasional” sebagai fondasi pembangunan.
Pada era ini, Pancasila direduksi menjadi alat hegemonik untuk meneguhkan dominasi negara atas masyarakat. Pembangunan dijalankan melalui Repelita yang berfokus pada pertanian, industri, dan infrastruktur, dikendalikan oleh militer dan birokrasi sipil. Seluruh kebijakan dibingkai dalam ideologi “pembangunan nasional” yang erat kaitannya dengan penguatan identitas kebangsaan. KonsepWawasan Nusantara, yang menekankan pentingnya kesatuanwilayahkepulauansebagaisatukesatuanpolitikdanekonomi,jugadigunakan
38R.WilliamLiddle,"ThePoliticsofSharedGrowth:SomeIndonesian Cases," Comparative Politics, Vol. 19, No. 2 (1987): 127–146. https://www.jstor.org/stable/421795
sebagaiinstrumenideologisuntukmenginternalisasinasionalismeteritorialdiseluruhwilayah Indonesia.
Kebangsaan versiOrde Baru bersifat teknokratis, elitis, dan eksklusif, dipengaruhioleh paradigma liberal dan teori modernisasi yang menekankan pertumbuhan ekonomi.39Pendekatan ini mengabaikan pemerataan, partisipasi politik, dan hak sipil. Identitas kebangsaandibentuk dariatas tanpa melibatkan masyarakat, sehingga identik dengandisiplin politik, efisiensi administratif, dan depolitisasi rakyat, bukan sebagai ruang inklusif bagi partisipasiwarganegara.Kontradiksiantarapertumbuhanekonomiyangeksklusifdanpraktik kekuasaanyangrepresifmenjadisebabstrukturaldariruntuhnyarezimOrdeBarudanmenjadi babak baru dalam sejarah kebangsaan Indonesia.
EraReformasi:KebangsaandalamTantanganLokaldanGlobal
Runtuhnya Orde Baru pada Mei 1998 menandai awal era Reformasi, yang mengusung demokrasi,akuntabilitas,dankeadilansosial.Capaianutamanyaadalahempatkaliamandemen UUD 1945 (1999–2002) yang secara mendasar mengubah struktur ketatanegaraan, desentralisasi, memperkuat parlemen, memperluas hak warga negara, serta memperkenalkan pemilu langsung dan pembatasan masa jabatan presiden.
Namun, demokrasi Indonesia secara luas menghadapi tantangan substantif. Di balik prosedur elektoral yang demokratis, kebangsaan justru menghadapi fragmentasi baru yang ditandaiolehdomestifikasioligarkidalamstrukturpolitik.40Demokrasielektoralberkembang secaratransaksional, ditandaiolehdominasiuang, patronase, danpembajakanpartaiolehelite ekonomi, sementara lemahnya pendidikan politik turut memperburuk kualitas demokrasi. Koalisi elite politik dan pengusaha besar merusak integritas perwakilan dan menciptakan ekonomi monopolistik yang melanggar prinsip keadilan sosial Pasal 33 UUD 1945. Agenda reformasi untuk membangun kebangsaan inklusif justru tersandera oleh ketimpangan dan eksklusisosialdalamwajahbaruyanglebih“demokratis”.Kebebasanpolitikpasca-OrdeBaru memunculkan dinamika identitas etnis, agama, dan lokal yang kompleks. Meski merupakan ekspresidemokratis, politik identitas ini berisiko merongrong narasikebangsaan inklusif jika tidak ditopang toleransi, solidaritas antarkelompok, dan konsensus Pancasila sebagai etika publik.
UraiandiatasmenunjukkanbahwakonsepkebangsaanIndonesiamerupakankonstruksi yang terus mengalamiperkembanganseiring denganperubahan sosial, politik, ekonomi, serta pengaruh dinamika global. Dari terbentuknya jejaring budaya lintas wilayah selama ribuan tahun, tumbuhnya semangat nasionalisme anti-kolonial yang memunculkan pergerakan Indonesia, hingga masa integrasiideologisdansentralisasipembangunanpadaeraOrdeLama dan Orde Baru, serta gerak menuju demokratisasi dan desentralisasi di era Reformasi, kebangsaan Indonesia bukanlah sesuatu yang tetap, melainkan sebuah proses historis yang senantiasadibentuk,diperdebatkan,dandiperjuangkandalamranahpublik.Dalamkonteksini, buku ini penting sebagai sarana refleksi dan pembentuk identitas kolektif kebangsaan. Buku ini diharapkan menjadi ruang kritik dan dialog, bukan sekadar narasi heroik tunggal. Para penulisbukuinimeyakinibahwaupayamenghidupkankembalisemangatkebangsaan
39Anne Booth,The Indonesian Economy in the Nineteenth and Twentieth Centuries: A History of Missed Opportunities (New York: Macmillan, 1998), hlm. 205–208.
40Vedi R. Hadiz dan Richard Robison, “Oligarchy and Capitalism in Indonesia: Structural Analysis,” Journal of Contemporary Asia Vol. 40 No. 4 (2010): 539–559. https://www.jstor.org/stable/10.5728/indonesia.96.0033
Indonesia harus didukung oleh historiografi yang dinamis dan responsif, mampu merangkai masa lalu, menjawab tantangan masa kini, dan memberi arah bagi masa depan.
Kebaruan
BukuSejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Globalmenghadirkankebaruan historiografisyangsignifikanmelaluitigadimensiutama: pengayaanfaktasejarah,pembaruan metodologi, danperluasan dan penegasan perspektif. Ketiganya menjadi fondasi untuk mendorong pembentukan historiografi nasional yang lebih inklusif, kritis, dan kontekstual dalam menjawab tantangan global serta disrupsi epistemik di era pascakolonial.
PengayaanFakta
Dari sisipengayaan fakta, buku ini secara eksplisit menghadirkan integrasi atas temuan- temuanfaktabarudariberbagairiset akademik mutakhirselamaduadekadeterakhir.Temuan tersebut mencakup disertasi, tesis, artikel jurnal ilmiah terindeks, hasil ekskavasi arkeologis, laporanrisetkebudayaan,hinggakajianlapanganetnografisyangselamainibelumsepenuhnya terakomodasi dalam penulisan sejarah nasional arus utama, baik dalam Sejarah Nasional Indonesia(SNI) maupunIndonesia dalam Arus Sejarah (IDAS). Beragam sumber ini, yang sebelumnya kerap terpinggirkan dari narasi besar sejarah nasional karena dianggap terlalu lokal, marginal, atau tidak sesuai dengan skema politik sejarah dominan, kini secara sadar diartikulasikan secara sistematis dalam struktur naratif buku ini.
Dengan membuka ruang bagi berbagai hasil penelitian, baik dari kalangan sejarawan Indonesia maupun kontribusi penting dari sejarawan asing seperti Anthony Reid, Barbara Watson Andaya, Leonard Y. Andaya, Geoff Wade, Kenneth R. Hall, dan lainnya, buku ini memperkaya cakrawala historiografis dalam tiga dimensi utama: tematik, dengan menghadirkan isu-isu baru seperti sejarah perempuan, sejarah lingkungan, dan sejarah maritim;geografis, dengan mengangkat wilayah-wilayah yang sebelumnya dianggap perifer sepertiNusa Tenggara, Maluku, Kalimantan pedalaman, dan Papua; serta kronologis, dengan memperluas perhatian dari masa prasejarah dan awal sejarah hingga perkembangan mutakhir pasca-Reformasi.
Dengandemikian, buku initidak hanya menghadirkandata baru, tetapijuga mereposisi siapa yang dianggap sebagai aktor sejarah dan dari mana narasi sejarah layak dimulai. Ini merupakan langkahpenting dalam mendemokratisasihistoriografiIndonesiadan menegaskan bahwa sejarah kebangsaan bukan milik elite politik atau pusat kekuasaan, melainkan hasil pergulatan kolektif masyarakat Indonesia yang beragam dalam ruang dan waktu.
Fakta-faktabaruyangdiungkapmelaluipendekatanmikro-historis,sejarahlokal,sejarah sosial,dansejarahmaritim,misalnya,telahmembukaruangbaginarasiyanglebihkontekstual dan beragam termasuk kelompok-kelompok sosial yang selama ini dipandang marginal. Penemuan kembali peran lokal dalam peristiwa nasional, seperti keterlibatan komunitas Ambon, Buton, Mandar, atau Aceh dalam membentuk jaringan politik dan dagang transregional, membuktikan bahwa sejarah Indonesia tidak pernah tunggal, melainkan terajut dari mosaik pengalaman kolektif yang beragam.41
Bahkan dalam isu-isu kuncisepertipembentukan identitas kebangsaan, sejarah konflik, perlawananterhadapkolonialisme,dandinamikaIslamlokal,temuan-temuanbaruiniberhasil menantangasumsinarasibesaryangcenderungJakarta-sentrisatauJawa-sentris. Penggunaan
41Lihat misalnya LeonardY.Andaya,Leaves of the Same Tree: Trade and Ethnicity in the Straits of Melaka (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2008).
sumber-sumber lokalbaiktradisilisan,artefak, manuskriplokal,prasasti,sertanaskah-naskah tradisional memperkuat posisi sejarah sebagai ruang artikulasi memori kolektif yang sebelumnya belum diperhitungkan. Dengan demikian, buku ini menghadirkan pembaruan substansial yang tidak sekadar menambahkan data baru, tetapi juga menegaskan pentingnya reposisiaktordanwilayahdalamkonstruksihistoriografikebangsaan, sebuahlangkahpenting dalamupayamenciptakansejarahkebangsaanyanglebihdemokratis,plural,danberakarpada kenyataan sosial masyarakat Indonesia sendiri.
PembaruanMetodologi
Secarametodologis,buku SejarahIndonesia:DinamikaKebangsaandalamArus Globalberusaha melakukanpembaruan dalam pendekatan historiografi, dengan melanjutkan sekaligus mengembangkan warisan metodologis dariProf. Sartono Kartodirdjo, pelopor pendekatan multidimensi dalam penulisan sejarah Indonesia. Dalam karyanya, Sartono menekankanpentingnyapenggunaankonsepdanteoriilmu-ilmusosialdalamsepertisosiologi, antropologi, ekonomi, politik, dansebagainyaguna memahamigeraksejarahsebagaiekspresi dari struktur sosial dan konflik kekuasaan yang nyata dalam masyarakat. Baginya, sejarah bukan sekadar kronik peristiwa, melainkan hasil dari relasi dinamis antara struktur dan agen sosial. Pendekatan inilah yang menjadi pijakan awal dalam menolak historiografi tradisional yang elitis, deskriptif, dan sentralistik.42
Namun demikian, buku ini tidak berhenti pada penggunaan konsep dan teori ilmu-ilmu sosialklasiklebihdariseperempatabadyanglalu.Bukuini memperluascakupanmetodologis dengan menyerap kerangka konsep dan teori mutakhir dari ilmu sosial dan humaniora, yang telahmengalamiperkembanganpesatpasca-1980-an.Diantaranyaadalahpendekatanposkolonialseperti yang dirintis olehEdward Said, yangmelaluiOrientalism mengkritikbagaimanawacanakolonialmembentukrepresentasitentang"Timur"sebagailiyan yang inferior dan pasif.43Pemikiran iniditeruskan olehDipesh Chakrabartyyang mendorong pembebasan sejarah dari kategori-kategori universal Eropa dengan menyerukan perlunya “pluralitas waktu” dalam menulis sejarah masyarakat non-Barat. Chakrabarty menekankan bahwa menulis sejarah masyarakat non-Barat harus mengakui keberagaman pengalaman waktu, bukan memaksakannya ke dalam kerangka waktu tunggal Eropa. Ini membuka jalan bagisejarah yang lebih inklusif, desentralistik, dan menghargai kompleksitas kultural. Pemikiraninisekaligusjugamembukaruangbagikemunculannarasi-narasisejarahalternatif, termasuk dari kelompok-kelompok subaltern yang sebelumnya termarginalkan dalam narasi arus utama yang tercermin dalam historiografi seperti kelompok perempuan, kelompok minoritas, kelompok orang kecil, masyarakat adat dan sebagainya.44
Pembaruan metodologis dalambuku inimenandai langkah penting dalam melengkapi historiografi Indonesia menuju pendekatan yang multidimensional, reflektif, dan dekolonial.
42Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia, 1992)
43EdwardW.Said,Orientalism(NewYork:PantheonBooks,1978).Lihatjugatulisannya EdwardW. Said, “OrientalismReconsidered”, CulturalCritique, No.1(Autumn, 1985),hlm. 89-107. https://www.jstor.org/stable/1354282
44Dipesh Chakrabarty, Provincializing Europe: Postcolonial Thought and Historical Difference (Princeton: PrincetonUniversityPress, 2000). Lihat juga DipeshChakrabarty, “In Defenseof"ProvincializingEurope":AResponsetoCarolaDietze”,HistoryandTheory,Vol. 47, No. 1 (Feb., 2008), hlm. 85-96. https://www.jstor.org/stable/25478726
Dengan tetap berpijak pada warisan intelektual Prof. Sartono Kartodirdjo yang menekankan pentingnyarapproachmentantarasejarahdanilmu-ilmusosial,bukuiniberusahamemperluas cakrawala metodologismelaluiadopsiteori-teorimutakhir,sepertiposkolonialisme,pluralitas waktu, dan studi subaltern. Hasilnya adalah konstruksi narasi sejarah yang tidak hanya menggambarkan dinamika kekuasaan dan struktur sosial, tetapi juga membuka ruang bagi suara-suara yang selama ini terpinggirkan. Melalui pendekatan ini, buku ini menghadirkan historiografi kebangsaan yang lebih inklusif, adil, kritis, dan demokratis, yang mampu menangkap kompleksitas pengalaman historis masyarakat Indonesia baik dalam kerangka lokal maupun global.
Perspektif
Salah satu kebaruan dalam buku ini terletak pada penguatanperspektif historiografis ke arah yanglebihIndonesia-sentrisdanberprinsipotonomisejarah.Perspektifinitidakhanyamenjadi respons terhadap dominasi historiografikolonial yang menempatkan Indonesia sebagaiobjek pasifdalamsejarahdunia,tetapijugamerupakankoreksikritisterhadapnarasisejarahnasional yang sebelumnya terlalu tersentralisasi, homogen, dan bersifat top-down.
PenguatandanPengembanganPerspektifIndonesiaSentris
PerspektifIndonesia-sentris dalamhistoriografimerupakancarapandangyang menempatkan masyarakatIndonesiasebagaipelakuutamadalamperjalanansejarahIndonesia itu sendiri, bukan sekadar sebagai objek dari kekuasaan kolonial atau narasi barat-sentris. Wacana penulisan sejarah bercorak Indonesia-sentris muncul sebagai respons kritis terhadap dominasi historiografiNeerlandosentris, yakni sejarah Indonesia yang ditulis dari sudut pandang Belanda oleh sejarawan kolonial. Corak ini wajar munculkarena sejarawan Belanda menulis berdasarkanperspektif, nilai, dankepentingan mereka sendiri.Akibatnya, dalam narasi kolonial, orang Belanda tampil sebagai tokoh utama (dramatisch persoon), sementara masyarakat pribumi hanya diposisikan sebagai figuran, antagonis, atau pemberontak. Perlawanan rakyat terhadap kolonialisme dikonstruksi sebagai tindakan ekstremis yang menggangguketertiban, sedangkanpenumpasanolehBelandadirayakansebagaikeberhasilan heroik. Perspektif Indonesia-sentris hadir untukmengoreksi ketimpangan representasi ini, dengan mengangkat pengalaman, agensi, danpandangandunia masyarakat Indonesia sebagai inti narasi sejarah.
Karya J.C. van Leur menandai tonggak penting dalam upaya menggeser perspektif historiografi Indonesia dari sudut pandang Eurocentris menuju pendekatan yang lebih Asia- sentris. Dalam konteks kolonial, sejarah Nusantara umumnya ditulis oleh sejarawan Belanda dengan menjadikan aktor-aktor Eropa sebagai pusat narasi. Van Leur meskipun ia orang Belanda, mengkritisi pendekatan ini dan mengusulkan penulisan history from within, yakni sejarahyangditulisdenganempatiterhadapmasyarakatIndonesiasebagaisubjekutama,bukan sekadar objek kolonial.45
Fenomena Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 mendorong para penulis sejarah Indonesiamelakukandekolonisasihistoriografi,menggantikannarasiNeerlandosentrisdengan menempatkanpribumisebagaiaktorutamasejarah.Apayangdahuludisebutpemberontakkini diposisikansebagaipahlawan,sebaliknyatokohkolonialdireduksiperannya.Darisinilahlahir historiografi nasionalistis, yang menonjolkan semangat antikolonial dan nasionalisme. Meskipuncenderunganakronistisdaninterpretatifsecaraberlebihan,corakinidapatdipahami sebagairesponsataskebutuhanzaman:negara-bangsayangbarumerdekamemerlukan
45J.C. van Leur, Indonesian Trade and Society: Essays in Asian Social and EconomicHistory (Dordrecht/Providence: Foris, 1983)
legitimasihistorisuntukmemperkuatidentitasnasionaldanmenghadapisisa-sisakolonialisme Belanda. Dalam konteks ini, sejarah ditulis sebagai instrumen perjuangan dan pembentukan kesadaran kolektif.
Seiring melemahnya
[9/8 23.17] rudysugengp@gmail.com: ancaman kolonial Belanda dengan berakhirnya Perang KemerdekaandanmeningkatnyakematanganintelektualsejarawanIndonesia,perspektifIndonesia-sentris mulai disempurnakan melalui penerapan metodologi sejarah kritis. Dengan demikian, orientasi kebangsaan tidak lagi mengorbankan akurasi dan objektivitas historis. Untuk memperkuat legitimasi ilmiahnya, tokoh sepertiSartono Kartodirdjo memelopori pendekatan multidimensional dengan mengintegrasikan konsep dan teori ilmu-ilmu sosial ke dalam historiografi Indonesia-sentris, sehingga sejarah tidak hanya menjadialat ideologis, tetapijuga analisis ilmiahterhadap dinamika masyarakat Indonesia.46
Pada periode selanjutnya Bambang Purwanto menilai bahwa historiografi Indonesia- sentris mengalamikemandekansetelaheraSartono Kartodirdjo. Meskipunberhasilmembalik sudut pandang darikolonial ke nasional, pendekatan inidinilaitetap terjebak dalamkerangka lama, bahkan cenderung anakronistik karena semangat nasionalisme yang berlebihan. Dominasi sejarah struktural juga membatasi eksplorasi epistemologi baru di kalangan sejarawan muda. 47
MemangtepatjikadikatakanbahwaperspektifIndonesia-sentristelahmemainkanperan krusial dalam mendekolonisasi narasi sejarah Indonesia, khususnya untuk periode kolonial, denganmemindahkanfokusdaritokoh-tokohkolonialEropakepadarakyat Indonesiasebagai subjek utama sejarah. Namun demikian, penerapan perspektif ini secara linier terhadap periodepascakemerdekaan justru menghadirkan persoalan baru. Ketika sebagian besar aktor sejarah Indonesia pasca-1945 adalah orang Indonesia sendiri, pendekatan ini cenderung mengalamistagnasimetodologisdankonseptual.Tanpapembaruanepistemologis, Indonesia- sentrisme berpotensi menjadi sekadar glorifikasi nasionalisme yang menutupi kompleksitas, konflik internal, dandeviasikuasa pasca-kolonial dalamkehidupanberbangsa danbernegara.
Sebagaigantinya,duaperspektifyanglebihadaptifdigunakandalampenulisanbukuini: pertama, perspektif kebangsaan yang kritis, yakni pendekatan yang menempatkan nilai-nilai dasar kebangsaan sebagaimana yang termaktub dalamdasar negara Pancasila dan konstitusi sebagaitolok ukur nilaidankerangka moralterhadap jalannya sejarahkebangsaan. Perspektif ini tidak apriori memihak negara, melainkan menguji bagaimana kekuasaan dijalankan dan untuksiapa.Kedua,perspektifkerakyatanberbasisnilaikeadilan,yangmenjadikansuaradan pengalamanrakyat,terutamakelompokmarginalsepertipetani,buruh,perempuan,masyarakat adat,danminoritas, sebagaipusat dalaminterpretasisejarah. Dengandemikian, sejarahbukan hanya milik elite tetapi juga menjadi narasi yang memperjuangkan keadilan, partisipasi, dan inklusivitas bagi masyarakat biasa. Dengan demikian, buku ini tidak sekadar sebagai media untukmenatapmasalalusebagaisumberkebanggaan,tetapijugasebagaimedanrefleksiuntuk membentuk masa depan Indonesia yang lebih demokratis, inklusif, dan berkeadilan.
OtonomiSejarah
SelainmemperkuatdanmengembangkanperspektifIndonesia-sentris,bukuinijugadirancang dengan perspektif otonomi sejarah. Jikaperspektif Indonesia-sentris menekankan pentingnya menempatkanmasyarakatIndonesiasebagaiaktorutamasejarah,makaperspektifotonomi
46LihatSartonoKartodirdjo,PemikirandanPerkembanganHistoriografiIndonesia: Suatu Alternatif (Jakarta: Gramedia, 1982).
47BambangPurwanto,GagalnyaHistoriografiIndonesiasentris?!(Yogyakarta:Ombak, 2006), hlm. 46.
sejarahatau sejarah otonom merupakan perspektif sejarawan dalam penulisan sejarah yang berfokuspadadinamikainternal,agensi,danperspektiflokalsuatumasyarakatataukelompok, tanpa terlalu terpaku pada pandangan yang dipengaruhi oleh kekuatan eksternal seperti kolonialisme,imperialisme,ataunarasidominandarikekuatanluar.Konsepinimunculsebagai kritikterhadaphistoriografikolonialdanEurosentrisyangcenderung menggambarkansejarah masyarakat non-Eropa sebagai "reaksi pasif" terhadap intervensi asing, atau hanya sebagai bagian dari narasi besar peradaban Barat.48
Salah satu contoh dalam mengimplementasikan perspektif otonomi sejarah adalah penggantian istilah ‘prasejarah Nusantara’ dengan ‘akar peradaban Nusantara’. Penggunaan istilah ini menandai perubahan mendasar dalam historiografi kebangsaan Indonesia. Konsep ini mencerminkan perspektif lokal dan nasional, yang tidak terpaku pada dominasi sumber tertulis sebagai satu-satunya validasi historis yang biasanya dijadikan standar oleh negara- negara maju yang memiliki tradisi literasi. Dengan konsep ini warisan budaya berupa tradisi lisan, artefak arkeologis, struktur megalitik, serta jejak permukiman kuno dan sebagainya diposisikan sebagai sumber sah memori kolektif bangsa Indonesia. Dengan demikian, penggunaanistilah‘akarperadabanNusantara’dalambuku inimembukaruang bagirekognisi terhadappengalamanhistorismasyarakatadat,komunitasmarjinal,dankelompoklokaldalam struktur sejarah kebangsaan yang lebih inklusif dan otonom.
Penggunaan istilah ‘akar peradaban Nusantara’ adalah bentuk dari kedaulatan epistemologis, bahwa bangsa Indonesia berhak mendefinisikan sendiri periodisasi dan kategori-kategori sejarahnya tanpa harus tunduk pada standar kolonial atau Euro-sentris. Seorang arkeolog kenamaan, Timothy Taylor, menyatakan bahwa istilah‘prasejarah’tidak bersifat netral maupun universal, melainkan merupakan produk konstruksi intelektual Eropa abad ke-19 yang sarat dengan asumsi implisit mengenai kemajuan linear, marginalisasi kebudayaan, serta pembelahan antara kelompok yang diakui memiliki sejarah (historical peoples) dan mereka yang dianggap tidak memiliki sejarah (people without history).49Di Indonesia, istilah ‘prasejarah’ ini diadopsi oleh Belanda dan dimasukkan dalam kerangka penulisan dan pengajaran sejarah kolonial. Hal ini secara jelas terlihat dalam buku yang dikategorikan sebagai historiografi kolonial, yaitu karya F.W. Stapel yang berjudul Geschiedenis van Nederlands-Indie sebanyak 6 jilid.Dalam Jilid I, Stapel menulis beberapa bab. Bab I berjudul ‘De Praehistorie’atau ‘Prasejarah’. Selanjutnya disusul dengan bab-bab tentang Zaman Hindu yang kemudian diikuti dengan periode ‘Penyebaran Islam’. Jilid-jilid selanjutnya menceritakan kedatangan orang-orang Belanda diNusantara dan berdirinya VOC hingga pemeritahan Kolonial Belanda.
Perspektif otonomi sejarah seperti itu sejalan dengan pemikiran Chakrabarty yang menyerukan desentralisasi epistemologi Barat dalam menulis sejarah, dengan menyatakan bahwaproyekmodernitastidakbolehmenjadisatu-satunyakerangkadalammemahami
48JohnR. W. Smail, “Onthe PossibilityofanAutonomous HistoryofModernSoutheast Asia.” Journal of Southeast Asian History 2, no. 2 (July) 1961, hlm. 72-102. https://www.jstor.org/stable/20067340. Lihat juga Eric Jones, ‘J.C. van Leur and the Problematic Origins of “Autonomous” Indonesian History’, Journal of Maritime Studies and NationalIntegration,vol.6,no.1,Jun.2022,hlm.38-
49.https://doi.org/10.14710/jmsni.v6i1.13938
49Timothy Taylor, “Prehistory vs. Archaeology: Terms of Engagement.” Journal of World Prehistory, vol. 21, no. 1, 2008, hlm. 1–18. http://www.jstor.org/stable/25801250.
masyarakat non-Barat.50Penerapan perspektif ini diharapkan menjadi wujud kedaulatan bangsadalampenulisansejarah.Contohlainadalahbahwabukuinisependapatdengantemuan ResinkyangmenyatakanbahwaIndonesiatidakdijajahBelandaselama350tahun.51Meskipun temuan Resink ini sudah lama dipublikasikan namun belum sepenuhnya diakomodasi dalam penulisansejarahkebangsaansecarategas.Indonesiatidakbolehlagidipandanghanyamenjadi objek dalam sejarah dunia, melainkan menjadi subjek yang aktif.
GambaranIsiBuku
Bukuiniterdiriatassepuluhjiliddansetiapjiliddirancangsecaratematikdankronologisuntuk menyajikan lintasan panjang sejarah Indonesia sebagai sebuah entitas geografis, sosial, dan kultural yang dinamis. Jilid 1, berjudul “Akar Peradaban Nusantara”, menyajikan fondasi ekologis,antropologisdankulturaldarisejarahpanjangkawasanNusantarasebelumterjadinya perjumpaan budaya (cultural encounter) dengan pusat peradaban dunia. Dinamika geologis danklimatologistelahmembentuklingkunganhayatikayadanmenantang;manusiapurbadan modernmembangunkehidupanmelaluimigrasi,adaptasiekologis,daninovasiteknologi;juga mereka memilikievolusisistemsosial, kepercayaan, sertateknologiawalbercocoktanamdan peleburan logam; semua itu memperlihatkan adanya budaya unggul yang demikian mapan. Tradisi maritim dan permukiman pesisir turut menegaskan simpul peradaban yang terbuka terhadap pertukaran budaya lintas wilayah.
Berbekalfondasisosio-kulturalyangdijelaskandiatas,masyarakatNusantarakemudian menjalin kontak dan jejaring budaya khususnya dengan India dan Tiongkok, sebagaimana dibahasbagian berikutnya buku ini (jilid 2). Berjudul “Nusantara dalam Jaringan Global: India,TiongkokdanPersia”,pembahasanjilidinidifokuskanpadapenciptaanperadabanyang berlangsungseiringdenganpersilanganbudayadenganpusat-pusatperadabantersebut.Dalam halini,Hindu-Budhamenjadiagamadominan,dansekaligustampildenganpranataperadaban semisalaksara,penanggalan,bahkankonsepkekuasaanyangkemudianmenjadilandasanbina- negara (statecraft) pada kerajaan-kerajaan berbasis agama tersebut, mulai dari Kuta hingga Majapahit.Diperkuatbudayamaritim,Nusantaramenyaksikanpuncakpencapaiandariproses persilangan dengan Hindu-Budha, mulai dari literasi pengetahuan, ritual keagamaan, hingga arsitektur bangunan.
DitengahpuncakpencapaianHindu-Budhadiatas, Nusantarapadasaatbersamaan juga menjalin jejaring dengan pusat kekuasaan Islam yang baru berkembang di kawasan Timur Tengah, yangsecarageografisterletakdiAsiaBaratdanAfrikaUtara. Halinidibahasdijilid 3 dengan judul “Nusantara Dalam Jaringan Global: Asia Barat”, sebagai ekstensi dari proses historis serupa yang dibahas jilid sebelumnya. Jaringanperdagangan maritimberperansangat sentral, yang membawa kepulauan Nusantara sejak abad ke-7 menjadi simpul utama dalam arusperpindahanorangdanbarang(khususnyarempah-rempah)dariTimurTengahke“negeri di bawah angin” dan sebaliknya dengan melintasi Samudra Hindia. Diramaikan dengan kehadiranpedagangTiongkok, maka jaringanperdaganganglobal-berbasisrempahterbentuk, dimanapedagangMuslimmenjadikontingenutama.Maka,dibandar-bandardagangdibawah kerajaanHindu-Budha,interaksimasyarakatNusantaradenganparapedagangMuslimterjalin,
50Dipesh Chakrabarty, Provincializing Europe: Postcolonial Thought and Historical Difference (Princeton: Princeton University Press, 2000).
51G.J. Resink, History Between the Myths: Essays in Legal History and Historical Theory(The Hague: W.van Hoeve, 1968). Lihat juga Harry J. Benda, “Reviewed Work(s): Indonesia's History between the Myths: Essays in Legal History and HistoricalTheory by G.
J. Resink”, Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 1, No. 2 (Sep., 1970), hlm. 134-136. https://www.jstor.org/stable/20069882
yang melahirkan terbentuknya komunitas Islam, dan kemudian pada abad ke-13 terjadi transformasi menjadi pusat-pusat kekuasaan politik berupa kesultanan. Proses ini menandai fase penting penyebaran dan pembentukan peradaban Islam di Nusantara, seraya bersandar pada peradaban yang telah berkembang sebelumnya.
IsuberikutnyaterkaitpertemuandenganBarat,yangmenjadilapisanketigadalamproses pembentukanperadabanNusantara. Inimenjadipembahasanjilid 4,berjudul“InteraksiAwal dengan Barat: KompetisidanAliansi”. Jilid ini menarasikan awal interaksi Nusantara dengan duniaBaratyangditandaimasuknyaEropakedalamjaringanperdagangandiNusantara,mulai denganPortugisdanSpanyol,disusulBelandayangsejak1602hadirsebagaimaskapaidagang VOC,danbangsa-bangsaBaratlain.Datangdisaatkerajaan-kerajaanIslamsudahberkembang demikian mapan, kehadiran mereka menciptakan dinamika dan gejolak sosial-politik, mulai dari kompetisi, aliansi, hingga resistensi. Aceh, Riau-Johor, Gowa-Tallo, Mataram, Ternate, danTidoretampilsebagaikerajaanberdaulatyangmenjalinkontakdenganVOC,baikmelalui diplomasi maupun resistensi melawan kekuatan militer dan monopoli dagang oleh maskapai dagangBelandatersebut,yangberkembangmenjadikekuatanbesardiNusantarasampaiakhir abad ke-18. Interaksi ini juga memperluas pertukaran budaya dan pengetahuan, memicu intensifikasidanbahkanaktivisme IslamdanmisiKristenisasi, sekaligus melahirkandiaspora maritim serta perlawanan rakyat terhadap VOC.
Menyusul kejatuhan VOC di penghujung abad ke-19, kerajaan Belanda hadir secara resmi sebagai “penguasa wilayah Nusantara”, menandai babak baru sebagai periode kolonial dalamsejarahIndonesia. Halinimenjadipembahasanjilid5, berjudul“Masyarakat Indonesia dan Terbentuknya Negara Kolonial”, di mana pemerintah Belanda hadir dengan perangkat kekuasaanpenuhsebagainegara kolonial berikut imajinasikesatuanwilayahHindia Belanda. Bersama dengan itu, Belanda menerapkan aturan terkait administrasi, hukum, dan kebijakan ekonomi, selain pembangunan fasilitas publik semisaljalanraya, pelabuhandan pos. Sebagai akibatnya, perubahan sosial di kalangan masyarakat Indonesia menjadi keniscayaan. Di samping mereka yang berkolaborasi, muncul pula gerakan perlawanan di berbagai daerah dengan beragam corak, mulai dari Perang Padri (1820-1837) hingga pemberontakan petani Bantenpada 1888.Tentutidak semua, gerakanperlawanantersebut terkait dengankebijakan ekonomi eksploitatif, termasuk bidang pertanahan, juga jaringan keagamaan dengan Mekah yang kian intensif sebagai pusat pembelajaran dan ritual Islam.
Masihdierakolonial, awalabadke-20 menyaksikangeliat barudikalanganmasyarakat Indonesia, khususnya mereka sebagai jebolan pendidikan Barat modern di sekolah Belanda, yang dibangun sebagai bagian dari kebijakan Politik Etis. Sebagaimana dibahas di jilid 6, berjudul“Pergerakan Kebangsaan”, mereka yang disebut kaum intelegensia bangkit dengan kesadaran baru kebangsaan di tengah pertumbuhan kota kolonial, kemajuan pendidikan, dan meluasnya media massa. Beragam organisasi pergerakan, baik berbasis ideologi (Islamisme, komunismedannasionalisme),agamadanetnis,maupunpemudadanperempuan,tumbuhdan berkembang, menyuarakanaspirasikemerdekaandankeadilan. Ditengahrepresikolonialdan krisis global, pergerakan nasional mengalami konsolidasi strategis hingga masa penjajahan Jepang, yang justru membuka peluang bagi persiapan kemerdekaan Indonesia melalui BPUPKI, PPKI, dan momentum Proklamasi 17 Agustus 1945.
Setelah Proklamasi sebagai negara-bangsa merdeka, Indonesia memasuki kondisi terjal menghadapitantanganbaikdaridalammaupunluar,sebagaimanadibahasjilid7denganjudul “PerjuanganMempertahankanKemerdekaan”.Masainiadalahfasekrusialperjuanganbangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan dari 1945 hingga akhir 1949 melalui jalur diplomasi, pertempuran bersenjata, dan konsolidasi pemerintahan. Di tengah tekanan agresi militer Belanda dan dinamika internal sepertipemberontakan PKI Madiun dan DI/TII, rakyat
dan pemimpin nasional berjuang menegakkan kedaulatan politik, ekonomi, serta identitas budaya bangsa. Penting pula dicatat dalam konteks ini gejolak revolusi sosial di berbagai daerahdiIndonesia, khususnya diSumatra. Masa inijuga melahirkanwarisanpenting berupa institusi negara, ideologi kebangsaan Pancasila, dan visi hubungan internasional yang membentuk fondasi Indonesia berdaulat.
Berikutnya adalah jilid 8berjudul “KonsolidasiNegara Bangsa: Konflik, Integrasi, dan Kepemimpinan Internasional, 1950 – 1965”. Bagian ini mengkaji konsolidasi negara-bangsa Indonesia pasca-perang kemerdekaan, suatu periode penting yang ditandai oleh pergulatan untukmembanguntatanegaramerdekaditengahdinamikainternaldangeopolitikglobalyang berubah. Dalam konteks ini, kepemimpinan Presiden Sukarno telah menorehkan sejumlah pencapaianmonumentalbagibangsa,antaralainmenyelenggarakanPemilu demokratis1955, yangmenghasilkansistempolitikparlementer,sertamerumuskanarahpolitikluarnegeribebas aktif, memelopori dan menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika (1955). Di dalam negeri, Sukarno menggagas konsep Demokrasi Terpimpin sebagai jalan mempersatukan ideologi- ideologibesarbangsa,yangterlibat dalamdebat berkepanjangandiMajelisKonstituantehasil Pemilu 1955. Meskipun, periode ini diakhiri dengan tragedi nasional Gerakan 30S/PKI 1965 dan berakhirnya kepemimpinan Presiden Sukarno.
SelanjutnyaadalaheraOrdeBaru,dibahasjilid9berjudul“EraOrdeBaru:Pembangunan dan Stabilitas Nasional, 1967-1998”. Jilid ini membahas era kepemimpinan Presiden Suharto yang menamainya sebagai pemerintahan Orde Baru, periode konsolidasi kekuasaan negara yangditandaipembangunanekonomi,modernisasikelembagaan,danstabilitaspolitik.Dengan landasan ideologi Pancasila dan penerapan Dwi Fungsi ABRI, pemerintah Orde Baru dalam duadekadepertama berhasilmenciptakanpertumbuhanekonomidankemajuanpembangunan dalam berbagaiaspek. Namun, dekade berikutnya ditandai oleh sentralisasi kekuasaan, pembatasankebebasansipil,pembungkamanoposisipolitik, sehinggadisinyalirterlibatdalam tindakan-tindakan yang melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia. Juga sangat penting dicatatadalahmerebaknyapraktikkorupsi,kolusi,dannepotisme.Pemilihanumumdijalankan secara periodik namun dalam kerangka politik yang terkendali, dengan dominasi Golkar sebagai kekuatan utama. Meskipun berhasil menjaga stabilitas dan memperkuat posisi Indonesia di forum internasional, akumulasi krisis ekonomi dan sosial, terutama pada 1997– 1998, memunculkan gelombang demonstrasi mahasiswa disertai kerusuhan serta kekerasan yang berujung pada pengunduran diri Soeharto.
Terakhir adalah jilid 10, berjudul “Dari Reformasi ke Konsolidasi Demokrasi, 1998- 2024”, membahas masa reformasiIndonesia pasca-1998 menyusul berakhirnya pemerintahan Orde Baru, yang ditandai bergulirnya demokratisasidan desentralisasi kekuasaan. Periode ini memuat dinamika reformasi politik, konsolidasi demokrasi, perubahan konstitusi, pemilu multipartai, serta penguatan peran masyarakat sipil. Di tengah upaya membangun tata pemerintahan yang lebih terbuka dan partisipatif, Indonesia menghadapi tantangan serius sepertikonflikhorizontal,terorisme,krisisekonomiglobal,dinamikapolitikidentitas,danjuga masihkuatnyapraktikkorupsi,kolusidannepotisme.Jugaperludicatatpembajakandemokrasi untuk kepentinganpragmatis. Meskipenuhgejolak, eraini memperlihatkanketahananbangsa dalam memperjuangkan demokrasi, keadilan sosial, dan posisi strategis Indonesia dalam percaturan global abad ke-21.
Penutup
Demikianlah,dalamsepuluhjilid bukuSejarahIndonesia:DinamikaKebangsaandalamArus Global ini, keindonesiaan dijelajahi laksana menelusuri dan menjelujuri benang merah yang
menjalin kisah panjang perjalanan bangsa Indonesia. Kadang benang merah itu tampak tegas dan menyala, menjelma semangat yang menggerakkan rakyat dari Sabang hingga Merauke. Namundiwaktulain,benangmerahitumengendur,memudardalamhirukpikukzaman,nyaris larut dalam kabut kepentingan dan lupa ingatan kolektif. Keindonesiaan yang dahulu diperjuangkan dengan darah dan air mata kini sering kali digugat oleh kenyataan: ketika semangatPancasiladireduksimenjadislogan,dancita-citaProklamasi1945sepertigemayang makin jauh terdengar.
Kepemimpinanmenjadisimpulpentingdalamsimpang-siursejarahitu.Adamasaketika dialektika revolusioner terbangun, yakni gaya Sukarno yang visioner bersanding dengan keteguhan Hatta yang rasional, yang membentuk keseimbangan. Namun harmoni itu pelan- pelan tergerus, digantikan oleh otoritarianisme yang melahirkan pembangunan, tetapi menyisakanjutaanperutyanglapardanharapanyangpatah.Indonesiamemangtelahbergerak maju,tetapicita-cita“tidakadalagikelaparandibumimerdeka”kadangmasihterhentidibatas mimpi.
Reformasihadir membawaharapanakannegara yangadildandemokratis.Namunjalan keadilan itu masih panjang, tertatih-tatih oleh dominasi oligarki, keroposnya institusi, dan semangat kebangsaan yang kian terfragmentasi. Dalam pusaran global yang menggoda dan dalam dinamika domestik yang rumit, upaya meneguhkan kembali identitas kebangsaan menjadi semakin mendesak.
Buku ini ditulis bukan sebagai pengadilan masa lalu, tetapi diupayakan sebagai cermin jernih agar anak-anak bangsa dapat melihat pantulan dirinya, apa yang telah diperjuangkan, dan ke mana arah yang hendak dituju. Inilah kontribusi untuk mengasah sikap kritis, mencerdaskan bangsa danmenumbuhkankesadaran sejarah dalam membentuk karakter bangsa, sebagai fondasi dalam upaya reinventing Indonesian identity yang kini kembali menggema. Semoga setiap halaman menjadi lentera yang menuntun bangsa inimemahami perjalanan sejarahnya dalam upaya mewujudkan Indonesia yang adil dan sejahtera, bersatu dalam kemajemukan, dan berkemajuan serta berkeadaban. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar