Jumat, 01 Agustus 2025

Gambar SI Jilid 4

 Jilid 4 BAB I


Jilid 4 BAB II


Draft SI 10

 MATERI DISKUSI PUBLIK DRAF PENULISAN BUKU 

SEJARAH INDONESIA 2025

JILID 10

DARI REFORMASI KE KONSOLIDASI DEMOKRASI (1998-

2024)

PENULIS: 

Prof. Dr. Yety Rochwulaningsih, M.Si.

Prof. Yon Machmudi, Ph.D.

Dr. Yuda B. Tangkilisan, M.Hum.

Dr. Linda Sunarti, M.Hum.

Dr. Afriadi, S.Hum., M.Hum.

Dr. Amuwarni Dwi Lestariningsih, S.Sos., M.Hum.

Prof. Dr. Susanto Zuhdi, M.Hum.

Teuku Reza Fadeli, S.Hum., M.A., Ph.D.

Agus Setiawan, Ph.D.

Albert Rumbekwan, M.Hum.

Raisye Soleh Haghia, S.Hum., M.Hum.


PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Sejarah Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945 hingga kini ditandai oleh pergulatan panjang dalam merumuskan bentuk dan arah negara-bangsa yang demokratis, berdaulat, dan berkeadilan sosial. Era Reformasi, yang dimulai pada tahun 1998, merupakan salah satu tonggak penting dalam sejarah modern Indonesia. Jilid 10 dari Buku Sejarah Nasional Indonesia hadir untuk merekam, mengkaji, dan menganalisis secara kritis perjalanan bangsa dalam kurun waktu 1998–2024 periode ketika Indonesia berupaya melepaskan diri dari cengkeraman otoritarianisme Orde Baru dan menuju sistem demokrasi yang lebih terbuka dan partisipatif.

Signifikansi jilid ini tidak hanya terletak pada kerangka waktu yang relatif dekat dengan masa kini yang tentu memunculkan tantangan metodologis tersendiri dalam menulis sejarah kontemporer tetapi juga pada kompleksitas dinamika yang terjadi dalam masa tersebut. Indonesia mengalami transformasi politik, sosial, ekonomi, budaya, hingga kebijakan luar negeri yang drastis. Reformasi membuka ruang kebebasan politik, tetapi juga menyisakan paradoks berupa munculnya oligarki baru, demokrasi prosedural yang belum sepenuhnya substansial, serta ketimpangan yang terus menganga.

Jilid ini mencerminkan semangat penulisan sejarah yang tidak hanya bersifat kronologis dan deskriptif, tetapi juga interpretatif dan analitis. Ia ditulis untuk memberi makna terhadap serangkaian peristiwa dan dinamika yang membentuk wajah Indonesia kontemporer baik dalam ruang domestik maupun dalam percaturan global. Menulis sejarah Reformasi berarti menelusuri jejak-jejak keberhasilan dan kegagalan, harapan dan kecemasan, serta konsistensi dan kontradiksi dalam upaya Indonesia membangun tatanan masyarakat yang lebih demokratis dan adil.

Era ini menyaksikan peralihan dari satu sistem kekuasaan ke sistem lainnya, dari sentralisasi ke desentralisasi, dari politik tertutup ke politik terbuka, dari negara dominan ke masyarakat yang mulai menuntut ruang partisipasi. Namun semua itu tidak berjalan dalam garis lurus. Banyak sekali pasang surut yang terjadi. Maka dari itu, sejarah periode Reformasi harus ditulis dengan kehati-hatian, keseimbangan, dan kesadaran akan beragam perspektif yang mewarnainya.

2. Permasalahan: Isu-isu dan Pertanyaan Pokok

Setidaknya terdapat lima isu sentral yang menjadi fondasi pertanyaan pokok dalam pembahasan Jilid 10 ini ; Pertama, bagaimana proses transisi dari Orde Baru ke era Reformasi berlangsung, dan sejauh mana sistem baru yang dibangun menjawab tuntutan perubahan? 

Pertanyaan ini menjadi penting karena pembentukan sistem demokrasi tidak hanya menyangkut institusi politik semata, tetapi juga nilai, norma, dan perilaku aktor-aktornya.

Kedua, sejauh mana agenda reformasi seperti otonomi daerah, pemberantasan KKN, pembatasan masa jabatan presiden, dan penguatan supremasi sipil dijalankan secara konsisten? 

Realitas politik pascareformasi memperlihatkan bahwa banyak agenda tersebut menghadapi distorsi dalam pelaksanaannya.

Ketiga, bagaimana dinamika ekonomi-politik nasional selama 25 tahun terakhir mengubah struktur kekuasaan dan kelas sosial di Indonesia? Pertumbuhan ekonomi yang dicapai pascareformasi tidak selalu identik dengan pemerataan atau keadilan sosial.

Keempat, bagaimana posisi Indonesia dalam tataran regional dan global berubah selama era Reformasi, dan bagaimana negara ini menegosiasikan identitas serta kepentingan nasional dalam dunia yang semakin multipolar dan digital?

Kelima, bagaimana sejarah sosial-budaya Indonesia dari ekspresi identitas, media, hingga gerakan masyarakat sipil menjadi bagian integral dari perubahan nasional, dan dalam hal apa ia memperlihatkan kontinuitas atau justru perubahan radikal?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut mewarnai struktur dan narasi dalam setiap bab dalam jilid X ini. Hal ini menjadi sumbu analisis yang diharapkan dapat membantu pembaca menafsirkan kompleksitas Reformasi dengan kerangka historis yang utuh.

3. Ruang Lingkup Pembahasan

Jilid ini mencakup kurun waktu tahun 1998 tahun berakhirnya pemerintahan Presiden Soeharto hingga akhir 2024 menjelang transisi ke pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto. Rentang ini mencakup tujuh pemerintahan , yakni B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono (dua periode), dan Joko Widodo (dua periode). Masing-masing bab mengupas periode pemerintahan tersebut dengan pendekatan multidimensi: politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan hubungan internasional.

Selain pembahasan per periode kepresidenan, buku ini juga mengangkat isu-isu tematik yang bersifat lintas-waktu, seperti; 1) Konsolidasi demokrasi dan dinamika pemilu, 

2)Desentralisasi dan tantangan otonomi daerah, 3)Transformasi ekonomi nasional, 4)Perubahan sosial dan budaya di era digital, 5) Kebijakan luar negeri Indonesia di era global, 6) Isu-isu keamanan nasional (terorisme, separatisme, agraria), 7) Perkembangan sistem hukum dan HAM, 8) Peran perempuan dan kelompok minoritas.

Dengan pendekatan seperti ini , jilid X tidak hanya merekam perkembangan politik formal, tetapi juga menangkap denyut kehidupan masyarakat yang turut menentukan arah perjalanan sejarah Indonesia.

4. Benang Merah Ke -Indonesiaan

Sejak awal, pembentukan bangsa Indonesia bukanlah sebuah proses yang selesai dengan kemerdekaan, melainkan terus diperjuangkan, dinegosiasikan, dan dikonstruksi kembali. Dalam konteks Reformasi, benang merah ke-Indonesiaan muncul dalam berbagai bentuk dan medium, yaitu :

a. Indonesia sebagai Bangsa Maritim

Gagasan “Poros Maritim Dunia” yang diusung Presiden Jokowi tidak hanya mencerminkan kebijakan pembangunan dan geopolitik semata, tetapi juga menjadi pengingat akan identitas historis Indonesia sebagai bangsa bahari. Pembangunan tol laut, konektivitas pelabuhan, serta revitalisasi sektor perikanan merupakan refleksi kontemporer dari visi maritim yang pernah hidup pada masa Sriwijaya, Majapahit, hingga penjajahan kolonial.

b. Indonesia dalam Perspektif Diaspora dan Pluralitas

Selama era Reformasi, keterhubungan warga negara Indonesia dengan dunia internasional semakin erat melalui migrasi tenaga kerja, pelajar, maupun ekspatriat. Diaspora Indonesia menjadi bagian penting dari kekuatan /soft power nasional. Di sisi lain, pluralitas internal bangsa , etnis, agama, Bahasa terus diuji melalui berbagai ketegangan sosial dan konflik identitas. Tantangan intoleransi, SARA, dan politik identitas menjadi ujian bagi keutuhan ke-Indonesiaan.

c. Bahasa Indonesia sebagai Simbol dan Instrumen Integrasi

Bahasa Indonesia tetap menjadi simbol kuat integrasi nasional. Namun, dalam era digital, peranannya bergeser bukan hanya sebagai bahasa resmi kenegaraan, tetapi juga menjadi alat ekspresi populer dalam media sosial, musik, sastra, dan meme politik. Perkembangan ini memperlihatkan bagaimana bahasa mengalami adaptasi kreatif dan menjadi ruang kontestasi makna-makna baru keindonesiaan.

d. Jaringan Infrastruktur sebagai Ikhtiar Mewujudkan Indonesia-Sentris

Pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, pelabuhan, dan bandara secara massif pada era Jokowi menunjukkan pergeseran paradigma pembangunan dari “Jawa-sentris” ke “Indonesiasentris.” Hal ini bukan sekadar proyek teknokratik, tetapi juga upaya simbolik untuk menyatukan wilayah dan memperkuat nasionalisme. IKN Nusantara adalah simbol terkini dari orientasi pembangunan jangka panjang tersebut.

e. Konsolidasi Demokrasi dan Tantangannya

Sejak pemilu langsung tahun 2004, demokrasi Indonesia mengalami kemajuan signifikan dalam hal prosedur dan mekanisme. Namun, tantangan besar muncul dalam wujud menguatnya oligarki, politik uang, polarisasi media, dan pelemahan lembaga penegak hukum. Demokrasi prosedural sering kali tidak mampu menjamin keadilan substantif. Dalam konteks ini, sejarah 

Reformasi adalah kisah tentang perjuangan panjang menuju demokrasi yang berkualitas dan berkeadilan.

5. Kesimpulan: Sejarah dalam Perjalanan dan Penghayatan

Penulisan Sejarah Nasional Indonesia Jilid X merupakan bagian dari tanggung jawab intelektual dan moral untuk tidak melupakan masa kini sebagai bagian dari sejarah. Meskipun sejarah Reformasi masih segar dalam ingatan kolektif, penyusunannya tetap menuntut nalar kritis, verifikasi fakta, serta refleksi yang mendalam. Jilid ini diharapkan dapat menjadi rujukan utama dalam memahami arah perjalanan bangsa dalam seperempat abad terakhir.

Sejarah Reformasi bukan hanya narasi elit politik, melainkan juga kisah rakyat biasa petani, buruh, pelajar, aktivis, wirausaha, ibu rumah tangga yang turut mengambil bagian dalam pergulatan demokrasi. Mereka adalah pelaku sejarah, bukan sekadar objek dari kebijakan. Dengan perspektif demikian, sejarah tidak lagi menjadi milik penguasa, melainkan ruang bersama untuk merumuskan masa depan Indonesia.

Dengan menyatukan berbagai dimensi politik, ekonomi, sosial, budaya, dan global dalam satu benang merah sejarah nasional, Jilid X ini mengajak pembaca tidak hanya melihat peristiwa, tetapi juga memahami makna dan arah dari peristiwa tersebut. Inilah sejarah sebagai cermin bangsa untuk belajar dari masa lalu, bertindak bijak di masa kini, dan merancang masa depan yang lebih adil, demokratis, dan berkeindonesiaan


SISTEMATIKA PENULISAN

BAB I: MASA PEMERINTAHAN PRESIDEN B.J. HABIBIE (1998-1999)

1.1. PENDAHULUAN

1.1.1. Konteks Historis Transisi Indonesia

1.1.2. Warisan Krisis Orde Baru: Ekonomi, Politik, dan Sosial

1.1.3. Mandat Konstitusional dan Legitimasi Pemerintahan

1.2. REFORMASI POLITIK NASIONAL

1.2.1. Landasan Demokratisasi

1.2.1.1. Pembebasan Tahanan Politik

1.2.1.2. Pengakuan Kebebasan Berpendapat (UU No. 9/1998)

1.2.1.3. Amnesti bagi Narapidana Politik

1.2.2. Restrukturisasi Sistem Politik

1.2.2.1. UU Multipartai (UU No. 2/1999) dan Kebebasan Pendirian Partai

1.2.2.2. Netralitas PNS dan Pemutusan Hubungan dengan Golkar

1.2.2.3. Pemilu 1999:

1.2.2.3.1. Mekanisme Pemilu Demokratis (Pengawasan Internasional/KPU Inklusif)

1.2.2.3.2. Hasil Pemilu: Kemenangan PDIP, Komposisi DPR/MPR

1.2.2.3.3. Dampak Strategis: Suksesi Kepemimpinan Damai

1.2.3. Reformasi Konstitusi dan Lembaga Negara

1.2.3.1. Amandemen UUD 1945 (Tahap Pertama):

1.2.3.1.1. Latar Belakang: Tuntutan reformasi dan Ketetapan MPR No. XIII/MPR/1998

1.2.3.1.2. Proses: Pembentukan Panitia Ad Hoc I MPR (Sidang Umum 1999)

1.2.3.1.3. Hasil: Perubahan 9 pasal (19 Oktober 1999) meliputi:

1.2.3.1.3.1. Pembatasan masa jabatan presiden 

1.2.3.1.3.2. Penguatan peran DPR dalam pengangkatan/pemberhentian presiden

1.2.3.1.3.3. Perlindungan Hak Asasi Manusia

1.2.3.2. Sidang Istimewa MPR 1998: 12 Ketetapan Reformasi

1.2.3.3. Penghapusan GBHN dan Reposisi Lembaga Tinggi Negara

1.2.3.4. Pemisahan TNI-Polri dan Depolitisasi ABRI

1.2.4. Penegakan HAM dan Supremasi Hukum

1.2.4.1. Pembentukan Komnas Perempuan (Keppres No. 181/1998)

1.2.4.2. Investigasi Kerusuhan Mei 1998 oleh TGPF

1.2.4.3. Pengadilan Militer untuk Kasus Pelanggaran HAM

1.3. OTONOMI DAERAH DAN PERMASALAHAN DAERAH

1.3.1. Kebijakan Desentralisasi

1.3.1.1. UU Otonomi Daerah (UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999)

1.3.1.2. Penguatan Kewenangan DPRD dan Pemerintah Daerah

1.3.1.3. Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan SDA

1.3.2. Konflik Komunal dan Disintegrasi

1.3.1.1. Maluku & Maluku Utara: Konflik Agama, Peran Laskar Jihad/Kristus

1.3.1.2. Poso: Akar Konflik Komunal, Perjanjian Damai Tagolu (Des. 1998)

1.3.1.3. Kalimantan Barat: Kerusuhan Etnis Melayu-Madura (1999)

1.3.1.4. Sampit & Kalimantan Tengah: Ketegangan Sosial-Etnis

1.3.4 Gerakan Separatis

1.3.4.1. Aceh: Operasi Militer vs GAM, Tuntutan Referendum

1.3.4.2. Papua: OPM dan Isu Pelanggaran HAM

1.3.4.3. Timor Timur: Jajak Pendapat dan Dampak Disintegrasi

1.3.5. Strategi Resolusi Konflik

1.3.5.1. Pendekatan Dialogis dan Kearifan Lokal

1.3.5.2. Status Darurat Militer (SOB) di Daerah Rawan

1.3.5.3. Peran Pemerintah Pusat dalam Mediasi

1.4. JAJAK PENDAPAT TIMOR TIMUR

1.3.1. Latar Belakang Politik

1.3.1.1. Warisan Integrasi 1976 dan Ketegangan Berkepanjangan

1.3.1.2. Tekanan Internasional dan Isu Pelanggaran HAM

1.3.2. Proses Referendum

1.3.2.1. Kesepakatan New York (Mei 1999) dan Peran UNAMET

1.3.2.2. Pelaksanaan Jajak Pendapat (30 Agustus 1999)

1.3.2.3. Hasil: 78.5% Menolak Otonomi Luas

1.3.3. Dampak Pasca-Referendum

1.3.3.1. Kerusuhan dan Pengungsian Massal

1.3.3.2. Intervensi Pasukan Perdamaian Internasional (INTERFET)

1.3.3.3. Pemisahan Timor Timur (Tap MPR No. V/1999)

1.3.3.4. Kontroversi Timor Timur dan Ketegangan Politik

1.5. TERORISME DAN KEKERASAN POLITIK

1.5.1. Tipologi Kekerasan Masa Transisi

1.5.1.1. Kekerasan Separatis (OPM, GAM)

1.5.1.2. Kekerasan Komunal Bernuansa Agama/Etnis

1.5.1.3. Kekerasan Teroris: Gerakan Bersenjata Ideologis

1.5.2. Kasus-Kasus Terorisme

1.5.2.1. Peran Kelompok Bersenjata dalam Konflik Maluku dan Poso

1.5.2.2. Aksi "Santet" di Banyuwangi (1998) sebagai Kekerasan Terstruktur

1.5.2.3. Keterkaitan Global: Clash of Civilizations dan Radikalisasi

1.5.3. Respons Pemerintah

1.5.3.1. Operasi Keamanan oleh TNI/Polri

1.5.3.2. Pendekatan Keamanan vs Pendekatan Sosial-Budaya

1.5.3.3. Koordinasi dengan Lembaga Internasional

1.6. TRANSFORMASI PEREKONOMIAN NASIONAL

1.6.1. Krisis Moneter dan Dampaknya

1.6.1.1. Pelemahan Rupiah dan Inflasi 77.63%

1.6.1.2. Kebangkrutan Konglomerat dan PHK Massal

1.6.2. Kebijakan Pemulihan Ekonomi

1.6.2.1. Reformasi Perbankan:

1.6.2.1.1. Independensi Bank Indonesia

1.6.2.1.2. Merger Bank Pemerintah 

1.6.2.1.3. Pendirian BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional)

1.6.2.2. Kerjasama dengan IMF dan Negara Donor

1.6.2.3. Penguatan Nilai Tukar Rupiah

1.6.3. Dampak dan Capaian

1.6.3.1. Penurunan Inflasi dan Suku Bunga

1.6.3.2. Pemulihan Sektor Riil Pertanian dan Manufaktur

1.6.3.3. Peran Diplomasi Ekonomi

1.7. WARISAN PEMERINTAHAN HABIBIE

1.7.1. Dasar Demokrasi Multipartai dan Otonomi Daerah

1.7.2. Transformasi Ekonomi dari Krisis ke Pemulihan

1.7.3. Komitmen HAM dan Reformasi Institusi


BAB II: MASA PEMERINTAHAN PRESIDEN ABDURRAHMAN WAHID (1999-2001)

2.1. PENDAHULUAN: LATAR BELAKANG DAN TERPILIHNYA ABDURRAHMAN 

WAHID

2.1.1. Konteks Reformasi Pasca-Orde Baru

2.1.1.1. Transisi demokrasi pasca-Suharto

2.1.1.2. Agenda reformasi: desentralisasi, penegakan HAM, pemberantasan KKN

2.1.2. Proses Pemilihan Presiden Keempat

2.1.2.1. Peran Poros Tengah

2.1.2.2. Pemungutan Suara MPR

2.1.3. Kompromi untuk Persatuan

2.1.3.1 Pengangkatan Megawati sebagai Wakil Presiden

2.2. KABINET DAN RESTRUKTURISASI PEMERINTAHAN

2.2.1. Kabinet Persatuan Nasional

2.2.1.1. Koalisi Multipartai

2.2.1.2. Pembagian Strategis

2.2.2. Reformasi Struktural

2.2.2.1. Pembubaran Departemen:

2.2.2.1.1. Departemen Penerangan (Deppen)

2.2.2.1.2. Departemen Sosial (Depsos)

2.2.2.1.3. Penggabungan Kebudayaan dengan Pariwisata, Kemendikbud 

menjadi Pendidikan Nasional

2.2.3. Transformasi Kelembagaan:

2.2.3.1. BIKN (Badan Informasi Komunikasi Nasional) pengganti Deppen

2.2.3.2. Konversi 4 Departemen menjadi Kementerian Negara

2.2.3.3. Pembentukan Ombudsman

2.3. MELANJUTKAN AGENDA REFORMASI

2.3.1. Amandemen UUD 1945

2.3.1.1. Amandemen I (1999):

2.3.1.1.1. Pembatasan Masa Jabatan Presiden

2.3.1.1.2. Pergeseran Wewenang Legislasi ke DPR

2.3.1.2. Amandemen II (2000):

2.3.1.2.1. Penguatan Otonomi Daerah

2.3.1.2.2. Payung HAM Komprehensif

2.3.2. Penguatan Peran DPR

2.3.2.1. Hak Interpelasi dan Pengawasan Eksekutif

2.3.2.2. Pembentukan 10 Fraksi Baru Pasca-Pemilu 1999

2.3.3. Reformasi Bidang Militer

2.3.3.1. Paradigma Baru TNI:

2.3.3.1.1. Pemisahan Polri-ABRI (1 April 1999)

2.3.3.1.2. Penghapusan Dwi Fungsi ABRI dan Netralitas Politik

2.3.3.1.3. Rotasi Pangab: Panglima TNI Pertama dari Angkatan Laut (Laksamana Widodo AS)

2.3.3.1.4. Likuidasi Bakorstanas dan Litsus

2.4. KEBIJAKAN PLURALISME DAN REKONSILIASI

2.4.1. Pemulihan Hak Etnis Tionghoa

2.4.1.1. Pencabutan Inpres No. 14/1967 (Kepres No. 6/2000):

2.4.1.1.1. Kebebasan budaya/agama Tionghoa

2.4.1.1.2. Imlek sebagai hari libur nasional

2.4.1.2. Rehabilitasi Konghucu:

2.4.1.2.2. Legitimasi administrasi kependudukan dan pendidikan

2.4.2. Pendekatan Humanis di Papua

2.4.2.1. Pengakuan identitas: Penggantian nama Irian Jaya menjadi Papua

2.4.2.2. Dialog konstruktif: Kunjungan ke Jayapura

2.4.2.3. Otonomi khusus: Penyiapan UU No. 21/2001

2.4.3. Pengakuan Agama Minoritas

2.4.3.1. Legitimasi Baha’i dan Konghucu (Kepres No. 69/2000)

2.5. PENYELESAIAN KONFLIK DAERAH

2.5.1. Konflik Maluku

2.5.1.1. Akar Masalah: Kesenjangan Ekonomi dan Lemahnya Institusi Adat 

2.5.1.2. Strategi perdamaian:

2.5.1.2.1. Darurat Sipil Berbasis Kemanusiaan (Juni 2000)

2.5.1.2.2. Dukungan Tim 20 Wayame

2.5.2. Konflik Poso

2.5.2.1. Mediasi lintas agama: Deklarasi Malino (2001)

2.5.3. Aceh: Penghapusan DOM

2.5.3.1. Pengurangan Pasukan Militer dan Pendekatan Dialog dengan GAM

2.6. KEBIJAKAN EKONOMI DAN TANTANGAN

2.6.1. Dewan Ekonomi Nasional (DEN)

2.6.1.1. Fokus: Stabilisasi nilai tukar rupiah dan pemulihan UMKM

2.6.2. Pencapaian Strategis

2.6.2.1. UU Antimonopoli dan Perlindungan Konsumen

2.6.2.2. Program Pengembangan Kecamatan untuk Pengentasan Kemiskinan

2.6.3. Tantangan Makro

2.6.3.1. Inflasi 12.6% (2001) dan Pelemahan Rupiah

2.7. MASA AKHIR PEMERINTAHAN: KETELADANAN KONSTITUSIONAL

2.7.1. Dinamika Politik

2.7.1.1. Proses demokratis: Hak Interpelasi DPR atas Kebijakan Pemerintah 

2.7.2. Sidang Istimewa MPR (Juli 2001)

2.7.2.1. Mekanisme konstitusional:

2.7.2.1.1. Pertanggungjawaban Presiden melalui Voting MPR

2.7.2.1.2. Transisi Damai ke Megawati Sukarnoputri

2.7.2.2. Dekrit Presiden 23 Juli 2001:

2.7.2.2.1. Semangat Menjaga Mandat Reformasi Rakyat

2.8. PENUTUP


BAB III: MASA PEMERINTAHAN PRESIDEN MEGAWATI SUKARNOPUTRI (2001–2004)

3.1. TRANSISI KEPEMIMPINAN DAN KONSOLIDASI PEMERINTAHAN

3.1.1. Suksesi Konstitusional

3.1.1.1. Pengangkatan Megawati sebagai Presiden ke-5 RI melalui Sidang Istimewa MPR (23 Juli 2001)

3.1.1.2. Pembentukan Kabinet Gotong Royong: Kolaborasi PDI-P, Golkar, PPP, TNI, dan teknokrat

3.1.2. Prioritas Nasional

3.1.2.1. Pemulihan Ekonomi Pasca-Krisis 1998

3.1.2.2. Penegakan Keamanan dan Stabilitas Politik

3.2. REFORMASI KONSTITUSIONAL DAN LEMBAGA NEGARA

3.2.1. Amandemen UUD 1945

3.2.1.1. Amandemen III (2001):

3.2.1.1.1. Pemilihan Presiden/Wakil Presiden Langsung oleh Rakyat

3.2.1.1.2. Pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

3.2.1.1. Amandemen IV (2002):

3.2.1.1.1. Penguatan Sistem Presidensial

3.2.1.1.2. Perlindungan Hak Pendidikan dan Ekonomi Rakyat

3.2.2. Pembentukan Lembaga Tinggi Negara Baru

3.2.2.1. Mahkamah Konstitusi (MK):

3.2.2.1.1. Dibentuk berdasarkan UU No. 24/2003

3.2.2.1.2. Kewenangan: Pengujian UU, Sengketa Kewenangan Lembaga 

Negara, Pembubaran Partai Politik

3.2.2.1.3. Ketua Pertama: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie

3.2.2.2. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK):

3.2.2.2.1. Dibentuk melalui UU No. 30/2002

3.2.2.2.2. Kewenangan Superbody: Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan Korupsi.

3.2.2.2.3. Ketua Pertama: Taufiequrachman Ruki

3.2.2.1. Komisi Yudisial (KY):

3.2.2.1.1. Mandat Amandemen III (2001)

3.2.2.1.2. Fungsi: Mengawasi Perilaku Hakim dan Mengusulkan Calon Hakim Agung

3.3. PENANGANAN PERMASALAHAN DAERAH

3.3.1. Aceh: Darurat Militer dan Otonomi Khusus

3.3.1.1. UU Otonomi Khusus Aceh (No. 18/2001) sebagai Landasan Rekonsiliasi

3.3.1.2. Kegagalan Gencatan Senjata (Cessation of Hostilities Agreement/COHA) dengan GAM (2002)

3.3.1.3. Penerapan Darurat Militer (Mei 2003)

3.3.2. Papua: Implementasi Otonomi Khusus

3.3.2.1. Pengesahan UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua

3.3.2.2. Pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai Representasi Adat (2003)

3.3.3. Konflik Poso Pasca-Deklarasi Malino

3.3.3.1. Operasi Cinta Damai Poso (2003)

3.3.3.2. Pendirian Poso Recovery Assistance Project (PRAP)

3.4. TANTANGAN TERORISME DAN PLURALISME

3.4.1. Bom Bali 2002: Krisis dan Respons

3.4.1.1. Ledakan di Kuta (12 Oktober 2002)

3.4.1.2. Pembentukan Detasemen Khusus 88 Anti-Teror:

3.4.1.2.1. Kerjasama Intelijen dengan AS, Australia, dan INTERPOL.

3.4.1.2.2. Penangkapan Teroris dan Eksekusi

3.4.2. Politik Pluralisme

3.4.2.1. Pemulihan Hak Tionghoa:

3.4.2.2. Penetapan Imlek sebagai Hari Libur Nasional Tetap

3.4.2.3. Perayaan Cap Go Meh

3.5. KEBIJAKAN EKONOMI DAN PEMBANGUNAN

3.5.1. Stabilisasi Makroekonomi

3.5.1.1. Pertumbuhan Ekonomi

3.5.1.2. Cadangan Devisa Meningkat 

3.5.2. Program Strategis

3.5.2.1. Infrastruktur:

3.5.2.1.1. Pembangunan Jalan Tol Trans-Jawa (Cikampek–Padalarang)

3.5.2.1.2. Revitalisasi Pelabuhan Tanjung Priok

3.5.2.2. Pemberdayaan UMKM:

3.5.2.2.1. Peluncuran Kredit Usaha Rakyat (KUR)

3.6. AKHIR PEMERINTAHAN

3.6.1. Pemilu Pertama Langsung (2004)

3.6.1.1. Penyelenggaraan pemilu presiden dua putaran:

3.6.1.1.1. Putaran I (5 Juli 2004)

3.6.1.1.2. Putaran II (20 September 2004)

3.6.2. Demokratisasi

3.6.2.1. Undang-Undang Pemilihan Langsung

3.6.2.2. Pemilu langsung sebagai preseden demokrasi partisipatif

3.6.2.3. Penguatan Sistem Presidensial melalui Amandemen Konstitusi

3.7. PENUTUP


BAB IV: MASA PEMERINTAHAN PRESIDEN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO (2004-2014)

4.1. PENDAHULUAN

4.1.1. Konteks Historis Terpilihnya SBY Sebagai Presiden dalam Pemilu 2004

4.1.2. Visi Misi Pemerintahan SBY

4.2. PERIODE PERTAMA: KONSOLIDASI DEMOKRASI (2004-2009)

4.2.1. Transformasi Sistem Politik

4.2.1.1. Pemilu Presiden Langsung Pertama (2004)

4.2.1.2. Implikasi Amandemen UUD 1945

4.2.1.3. Desentralisasi dan Otonomi Daerah

4.2.1.3.1. UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UndangUndang Keuangan Daerah

4.2.1.3.2. Implementasi Pilkada Langsung (2005)

4.2.2. Ekonomi: Stabilitas dan Kerentanan

4.2.2.1. Kebijakan Fiskal-Moneter

4.2.2.1.1. Disiplin Anggaran

4.2.2.1.2. Subsidi BBM dan Dampak Fiskal

4.2.2.2. Struktur Ekonomi

4.2.2.2.1. Dutch Disease dan Ketergantungan Komoditas

4.2.2.2.2. Dampak Krisis Global 2008

4.2.3. Penanganan Bencana Besar

4.2.3.1. Tsunami Aceh 2004

4.2.3.1.1. Mekanisme Tanggap Darurat

4.3.2.1.2. Pembentukan BRR Aceh-Nias

4.2.4. Gempa Yogyakarta 2006

4.2.4.1. Model Rehabilitasi Rekompak

4.2.4.2. Peran Masyarakat Sipil

4.2.5. Gempa Padang

4.2.6. Isu Strategis

4.2.6.1. Pluralisme dan Kebebasan Sipil

4.2.6.2. Kontroversi UU ITE (2008)

4.2.6.3. Penanganan Terorisme

4.2.6.3.1. Pembentukan Densus 88 Pasca Bom Bali II

4.3. PERIODE KEDUA: UJIAN REFORMASI (2009-2014)

4.3.1. Politik Elektoral dan Tantangan

4.3.1.1. Pemilu Legislatif dan Presiden 2009

4.3.1.1.1. Fragmentasi Parpol

4.3.1.1.2. Koalisi "Pelangi"

4.3.1.2. Reformasi Kelembagaan Pemilu

4.3.1.2.1. Penguatan Bawaslu

4.3.1.2.2. Sistem E-Rekapitulasi dan Transparansi Data

4.3.1.3. Kasus-Kasus Korupsi

4.3.1.3.1. Kasus Hambalang dan Bank Century

4.3.1.3.2. Kriminalisasi Komisioner KPK

4.3.2. Ekonomi: Pertumbuhan dan Disparitas

4.3.2.1. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) (2011)

4.3.2.1.1. Strategi 6 Koridor Ekonomi

4.3.2.1.2. Proyek Infrastruktur Strategis

4.3.2.1.3. Dampak Lingkungan dan Konflik Agraria

4.3.2.2. Kebijakan Makroekonomi

4.3.2.2.1. Subsidi BBM 2013 dan Defisit Transaksi Berjalan

4.3.2.2.2. Rasio Gini 0.41

4.3.2.3. Transformasi Sektor Riil

4.3.2.3.1. Deindustrialisasi

4.3.2.3.2. Dampak FTA ASEAN-China pada UMKM

4.3.3. Reformasi Birokrasi dan Hukum

4.3.3.1. Grand Design Reformasi Birokrasi (2010-2025)

4.3.3.1.1. Sistem Remunerasi Berbasis Kinerja

4.3.3.1.2. Penguatan SAKIP dan Zona Integritas

4.3.4. Penegakan Hukum di Bawah Tekanan

4.3.4.1. Pelemahan KPK

4.3.4.2. Kontroversi UU MD3

4.3.3. Manajemen Bencana Terintegrasi

4.3.3.1. Reformasi Kelembagaan

4.3.3.1.1. Operasionalisasi BNPB/BPBD

4.3.3.1.2. Standar Tanggap Darurat Berbasis Cluster

4.3.3.2. Bencana Industri dan Lingkungan

4.3.3.2.1. Semburan Lumpur Lapindo (2006-2014)

4.3.3.2.2. Letusan Merapi 2010 dan Banjir Jakarta 2013

4.3.4. Isu Sosial dan HAM

4.3.4.1. Pluralisme di Ujung Tanduk

4.3.4.1.1. Permasalahan Papua

4.3.4.2. Kebijakan Sosial

4.3.4.2.1. Jaminan Kesehatan Nasional

4.3.4.2.2. Disparitas Mutu Pendidikan Antarwilayah

4.4. MASA AKHIR PEMERINTAHAN SBY (2013-2014)

4.4.1. Kebijakan Penutup

4.4.1.1. Peluncuran JKN

4.4.1.2. Pencabutan Subsidi BBM Parsial

4.4.1.3. Finalisasi Proyek Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)

4.4.2. Krisis Akhir Masa Jabatan

4.4.2.1. Skandal Korupsi

4.4.2.1.1. Kasus Impor Daging Kementerian Pertanian

4.4.2.1.2. Korupsi SKK Migas

4.4.2.2. Ketegangan Politik

4.4.2.2.1. Konflik Koalisi Menuju Pemilu 2014

4.4.2.2.2. Polarisasi Joko Widodo vs. Prabowo Subianto

4.4.2.3. Kerentanan Ekonomi Makro

4.4.2.3.1. Pelemahan Rupiah ke Rp 12.000/USD

4.4.2.3.2. Defisit Transaksi Berjalan

4.4.3. Warisan Strategis

4.4.3.1. Konsolidasi Demokrasi Elektoral

4.4.3.2. Utang Ekologi Proyek Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)

4.4.3.3. Krisis Kepercayaan pada Lembaga Hukum

4.5. PENUTUP

4.5.1. Stabilitas vs Stagnasi Reformasi

4.5.2. Warisan Utama bagi Indonesia Pasca-2014


BAB V: MASA PEMERINTAHAN PRESIDEN JOKO WIDODO (2014-2024)

5.1. PENDAHULUAN

5.1.1. Latar Belakang Terpilihnya Jokowi - JK 

5.1.2. Periodisasi: Pemerintahan Jokowi-JK (2014-2019)

5.1.3. Isu-Isu Strategis Pembentuk Kebijakan dan Tantangan Utama

5.2. BAGIAN 1: PEMERINTAHAN JOKO WIDODO PERIODE PERTAMA (2014–2019)

5.2.1. Visi Misi Pemerintahan Jokowi - JK

5.2.1.1. Konsep dan Landasan Poros Maritim Dunia

5.2.1.1.1. Landasan Historis dan Filosofis 

5.2.1.1.2. Lima Pilar Utama: Budaya Maritim, Ketahanan Pangan, Infrastruktur, Diplomasi, Pertahanan

5.2.1.2. Implementasi Kebijakan Maritim

5.2.1.2.1. Pembangunan Tol Laut dan Modernisasi Pelabuhan

5.2.1.2.2. Regulasi Pendukung 

5.2.1.2.3. Tujuan & Evaluasi: Pemerataan Konektivitas, Penurunan Biaya Logistik

5.2.1.2.4. Tantangan: Keterbatasan Anggaran, Teknologi, Manajemen

5.2.1.3. Paradoks dan Kontradiksi Visi Maritim

5.2.1.3.1. Ketergantungan Investasi Asing vs. Kemandirian Nasional

5.2.1.3.2. Potensi Geostrategis vs. Realitas Infrastruktur 

5.2.2. Revolusi Infrastruktur dan Program Sosial

5.2.2.1 Proyek Infrastruktur Skala Besar

5.2.2.1.1. Capaian: Jalan Tol, Bandara, dan Bendungan

5.2.2.1.2. Dampak Ekonomi: Konektivitas, Penyerapan Tenaga Kerja

5.2.2.1.3. Tantangan: Pembiayaan dan Koordinasi Kementerian/Lembaga

5.2.2.2 Program Perlindungan Sosial

5.2.2.2.1 Implementasi KIS, KIP, KKS 

5.2.2.2.2. Evaluasi: Perluasan Cakupan vs. Ketepatan Sasaran

5.2.3. Tata Kelola Pemerintahan

5.2.3.1 Reformasi Birokrasi dan Pelemahan KPK

5.2.3.1.1. UU No. 5/2014 tentang ASN dan Sistem Merit

5.2.3.1.2. Revisi UU KPK 2019: Perubahan Struktur Pengawasan dan Dampaknya

5.2.3.1.3. Keterlibatan Politisi-Pengusaha dalam Proyek Strategis

5.2.4. Dinamika dan Tantangan Daerah

5.2.4.1. Ketimpangan Pembangunan

5.2.4.1.1. Jawa vs. Luar Jawa

5.2.4.1.2. Respons: Dana Desa, Infrastruktur Perbatasan

5.2.4.2. Otonomi Daerah dan Konflik SDA

5.2.4.2.1. Isu Pertambangan di Kalimantan dan Daerah Lain

5.2.4.3. Papua: Kebijakan, Konflik, dan HAM

5.2.4.3.1. Otonomi Khusus dan Pembangunan Trans-Papua

5.2.4.3.2. Konflik Bersenjata dan Isu HAM

5.2.4.3.3. Pendekatan Pemerintah: Keamanan vs. Dialog

5.2.5. Keamanan Nasional: Ancaman Terorisme

5.2.5.1. Ancaman: Serangan ISIS, Radikalisasi Online

5.2.5.2. Kebijakan: Revisi UU Terorisme No. 5/2018 dan Deradikalisasi

5.3. BAGIAN 2: PEMERINTAHAN JOKO WIDODO PERIODE KEDUA (2019–2024)

5.3.1. Pendahuluan

5.3.1.1. Latar Belakang Terpilihnya Jokowi-Ma’ruf Amin

5.3.1.2. Periodisasi: Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf (2019-2024)

5.3.1.3. Isu-Isu Strategis Pembentuk Kebijakan dan Tantangan Utama

5.3.2. Pemerintahan dalam Masa Pandemi

5.3.2.1. Kebijakan Penanganan Pandemi

5.3.2.1.1. Pembentukan Satgas COVID-19, PSBB, Vaksinasi Massal

5.3.2.1.2. Dampak: Kontraksi Ekonomi, Krisis Kesehatan

5.3.2.1.3. Penyalahgunaan Anggaran

5.3.2.2. Peran dan Pengorbanan Tenaga Kesehatan

5.3.2.2.1. Gugurnya Tenaga Medis dan Inovasi

5.3.3. Pemulihan Ekonomi dan Pembangunan Berkelanjutan

5.3.3.1. Proyek Strategis Nasional dan Investasi

5.3.3.1.1. Capaian

5.3.3.1.2. Tantangan

5.3.3.2. Strategi Pemulihan Ekonomi

5.3.3.2.1. Stimulus UMKM, Relaksasi Pajak, Transformasi Digital

5.3.4. Ujian Demokrasi dan Hak Asasi Manusia

5.3.4.1. Perubahan Undang-Undang KPK

5.3.4.1.1. Dampak Revisi UU KPK 2019: Independensi & Efektivitas

5.3.4.2. Polemik UU Cipta Kerja

5.3.4.2.1. Minim Partisipasi Publik, Uji Materi di MK

5.3.4.2.2. Argumen Pemerintah: Penyederhanaan Regulasi, Percepatan Investasi

5.3.4.3. Kebebasan Berekspresi dan UU ITE

5.3.4.3.1. Kriminalisasi Jurnalis

5.3.4.3.2. Revisi UU ITE 2024: Perluasan Definisi "Kerusuhan" & "Penghinaan"

5.3.5. Ibu Kota Nusantara (IKN)

5.3.5.1. Rasionalitas dan Kerangka Hukum

5.3.5.1.1. UU No. 3/2022 tentang IKN

5.3.5.1.2. Argumentasi: Pemerataan Pembangunan, Beban Ekologis Jakarta

5.3.5.2. Implementasi dan Tantangan

5.3.5.2.1. Pembangunan Tahap I (2022-2024): Istana Negara, Kementerian

5.3.5.2.2. Kendala: Keterlambatan Pendanaan Swasta, Keberlanjutan Politik

5.3.6. Tantangan Daerah dan Keamanan

5.3.6.1. Dampak Pandemi dan Respons Daerah

5.3.6.1.1. Ketimpangan Akses Kesehatan & Ekonomi

5.3.6.1.2. Alokasi Anggaran Khusus (Papua, NTT)

5.3.6.2. Papua: Eskalasi Konflik dan Isu Internasional

5.3.6.2.1. Eskalasi Kekerasan

5.3.6.2.2. Kebijakan: Pembangunan Trans-Papua, Dominasi Pendekatan Militer

5.3.6.2.3. Tekanan Internasional (PBB) atas Pelanggaran HAM

5.3.6.3. Evolusi Ancaman Terorisme

5.3.6.3.1. Radikalisasi Digital Pasca-Pandemi

5.3.6.3.2. Kebijakan: Operasi Intelijen dan Deradikalisasi Berbasis Komunitas

5.3.7. Debat Konstitusional dan Politik Hukum

5.3.7.1. Wacana Amandemen UUD 1945

5.3.7.1.1. Perpanjangan Masa Jabatan Presiden

5.3.7.1.2. Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023: Syarat Usia Calon Wakil Presiden

5.3.7.2. Kritik atas Intervensi Politik

5.3.7.2.1. Implikasi terhadap Independensi Lembaga Yudikatif

5.3.8. PENUTUP

5.3.8.1. Peralihan Pemerintahan dari Presiden Joko Widodo ke Presiden Prabowo Subianto

5.3.8.1.1. Pemilihan Umum 2024 dan Hasilnya

5.3.8.1.2. Pembentukan Kabinet dan Visi Misi


BAB VI: KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA (1998-2024)

6.1 PENDAHULUAN: POSISI INDONESIA DI KANCAH GLOBAL

6.1.1 Konteks Transformasi Pascareformasi 1998

6.1.1.1. Dampak Reformasi 1998: Transisi politik dari otoritarian ke demokratis, krisis ekonomi Asia, dan desentralisasi

6.1.1.2. Perubahan orientasi diplomasi: Dari pendekatan keamanan (Orde Baru) ke diplomasi berbasis HAM dan demokrasi

6.1.1.3. Tantangan utama: Pemulihan legitimasi internasional

6.1.2 Prinsip "Bebas Aktif" dalam Arus Geopolitik Kontemporer

6.1.2.1. Reaktualisasi bebas-aktif: Menjaga netralitas di tengah persaingan ASChina

6.1.2.2. Implementasi baru: Diplomasi Maritim, Ekonomi, dan Isu Global 

6.2 KEBIJAKAN LUAR NEGERI MASA PRESIDEN B.J. HABIBIE (1998–1999)

6.2.1 Pemulihan Citra Indonesia di Mata Internasional

6.2.1.1. Diplomasi Pemulihan Ekonomi: Kunjungan ke Jerman-AS untuk Meyakinkan Pemulihan Ekonomi

6.2.1.2. Mengatasi transisi demokratisasi sebagai Landasan Diplomasi Pemulihan Ekonomi

6.2.1.3. Hasil: Pencabutan Sanksi Ekonomi oleh UE dan Normalisasi Hubungan dengan IMF

6.2.2 Referendum Timor-Timur: Langkah Berani yang Kontroversial

6.2.2.1. Latar belakang: Tekanan PBB dan Komunitas Internasional pasca Jatuhnya Soeharto

6.2.2.2. Proses Referendum: Diselenggarakan UNTAET dengan hasil 78.5% prokemerdekaan

6.2.2.3. Dampak: Kerusuhan oleh Milisi Pro-Integrasi, Intervensi INTERFET Pimpinan Australia

6.2.2.4. Ketegangan dengan Canberra: Protes atas Kepemimpinan Australia di INTERFET.

6.2.2.5. Upaya Rekonsiliasi: Kerjasama dengan PBB dalam Pembentukan Pemerintahan Transisi Timor Leste

6.2.3 Peran Indonesia di ASEAN dan Diplomasi Kawasan

6.2.3.1. Mempertahankan Solidaritas ASEAN: Konsultasi Darurat Membahas krisis Timor Timur (Juli 1999)

6.2.3.2. Diplomasi Preventif: Mencegah Intervensi Negara Luar di konflik internal

6.2.3.3. Dukungan kawasan: Solidaritas dari Malaysia, Singapura, dan Thailand.

6.3 KEBIJAKAN LUAR NEGERI MASA PRESIDEN ABDURRAHMAN WAHID (1999–2001)

6.3.1 Prinsip Dasar Diplomasi Gus Dur

6.3.1.1. "Diplomasi Humanis": Menekankan HAM, demokrasi, dan dialog antaragama

6.3.1.2. Inovasi: Pembukaan hubungan dengan negara non-tradisional

6.3.1.3. Paradigma Baru: Diplomasi sebagai alat rekonsiliasi domestik dan Internasional

6.3.2 Langkah Strategis Terkait Hubungan dengan China

6.3.2.1. Kunjungan Bersejarah ke Beijing pertama oleh Presiden RI Pasca 1967

6.3.2.2. Dampak: Peningkatan perdagangan 400% dalam 2 tahun

6.3.3 Diplomasi Untuk Mendukung Timor Leste

6.3.3.1. Kebijakan rekonsiliasi: Pengakuan hasil referendum dan dukungan kemerdekaan Timor Leste (2002)

6.3.3.2. Kolaborasi dengan UNTAET: Pelatihan Pegawai Negeri Timor Leste oleh Indonesia

6.3.3.3. Kontroversi: Penolakan dari kelompok nasionalis dan militer

6.3.4 Penguatan Peran di Dunia Islam dan OIC

6.3.4.1. Kunjungan ke 19 negara Islam: Dari Maroko hingga Pakistan (1999-2001)

6.3.4.2. Peran mediator: Fasilitasi perdamaian Moro dan Pattani

6.3.4.3. Prestasi: Pengakuan sebagai pemimpin Muslim moderat oleh OIC

6.3.5 Diplomasi Personal ke Israel

6.3.5.1. Kunjungan kontroversial (April 2000): Pertemuan dengan Presiden Ezer Weizman

6.3.5.2. Misi rahasia: Menjembatani dialog Palestina-Israel, ditolak oleh Arafat

6.3.5.3. Dampak domestik: Protes dari MUI dan kelompok konservatif

6.4 KEBIJAKAN LUAR NEGERI MASA PRESIDEN MEGAWATI SUKARNOPUTRI (2001-2004)

6.4.1 Pilar Utama Kebijakan Luar Negeri

6.4.1.1. Trilogi: Kedaulatan, stabilitas, dan solidaritas ASEAN

6.4.1.2. Penegasan batas wilayah dan penolakan intervensi asing

6.4.1.3. Fokus ekonomi: Pemulihan investasi pasca-kerusuhan 1998

6.4.2 Respons atas Bom Bali 2002 dan Isu Terorisme

6.4.2.1. Kerja sama internasional: Tim gabungan FBI-AFP-Densus 88 mengungkap jaringan Jemaah Islamiyah

6.4.2.2. Langkah hukum: Ratifikasi 12 konvensi antiteror PBB dan UU Antiterorisme (2003)

6.4.2.3. Diplomasi pemulihan pariwisata Bali: Kampanye "Bali Recovery Initiative" untuk pulihkan pariwisata

6.4.3 Hubungan dengan Australia: Dinamika Pasca-Timor Timur

6.4.3.1. Pemulihan hubungan: Kunjungan Megawati ke Canberra (2002) dan PM Howard ke Bali (2003)

6.4.3.2. Kesepakatan keamanan: Persiapan Lombok Treaty (2006) untuk kerangka kerja sama maritim

6.4.3.3. Masalah sensitif: Isu pengungsi Afganistan dan Papua

6.4.4 Diplomasi Ekonomi dan Pemulihan Investasi

6.4.4.1. Misi dagang ke AS-Eropa: Promosi investasi di Sektor Migas dan Sawit

6.4.4.2. Pencapaian: Realisasi investasi asing $9.8 miliar (2004), tertinggi sejak 1997

6.4.4.3. Strategi: Deregulasi sektor energi dan insentif pajak

6.4.5 Kepemimpinan ASEAN: KTT ASEAN ke-IX (2003)

6.4.5.1. Bali Concord II: Cetak biru Komunitas ASEAN 

6.4.5.2. Inisiatif Indonesia: Pembentukan ASEAN Security Community

6.4.5.3. Peran kunci: Mediasi konflik Kamboja-Thailand

6.4.6 Sengketa Sipadan-Ligitan dengan Malaysia

6.4.6.1. Kekalahan di ICJ (2002): Keputusan final berpihak pada Malaysia

6.4.6.2. Penyebab kegagalan: Lemahnya bukti historis dan koordinasi diplomasi

6.4.6.3. Dampak: Reformasi kebijakan perbatasan dan pendirian Bakamla (2005)

6.5 KEBIJAKAN LUAR NEGERI MASA PRESIDEN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO (2004-2014)

6.5.1 Filosofi 'Million Friends Zero Enemy'

6.5.1.1. Implementasi: Peningkatan hubungan dengan 162 negara

6.5.1.2. Diplomasi pro-aktif: SBY sebagai pembicara di 300 forum internasional

6.5.1.3. Soft power: Promosi demokrasi dan moderasi beragama

6.5.2 Kepemimpinan Global: G20 dan DK PBB

6.5.2.1. Peran di G20: Arsitek "Financial Inclusion" untuk negara berkembang

6.5.2.2. Keanggotaan DK PBB (2007-2008): Dukung resolusi Palestina dan nonproliferasi nuklir Iran

6.5.2.3. Prestasi: Indonesia pertama di ASEAN yang memimpin DK PBB

6.5.3 Penguatan Poros Maritim Indo-Pasifik

6.5.3.1. Konsep "Archipelagic Outlook": Diadopsi dalam dokumen EAS (2010)

6.5.3.2. Inisiatif: Kerja sama keamanan maritim dengan India dan Australia

6.5.3.3. Hasil: Penandatanganan Perjanjian Batas Maritim dengan Singapura (2009)

6.5.4 Diplomasi Lingkungan: Bali Road Map hingga COP

6.5.4.1. Tuan rumah UNFCCC COP-13 (2007): Hasilkan "Bali Road Map" untuk pengganti Protokol Kyoto

6.5.4.2. Komitmen nasional: Target reduksi emisi 26% dengan kemampuan sendiri (2010)

6.5.4.3. Diplomasi hutan: Moratorium izin hutan primer 

6.5.5 Revitalisasi Konferensi Asia-Afrika

6.5.5.1. KAA ke-60 di Jakarta (2015)

6.5.5.2. Solidaritas Selatan-Selatan: Bantuan teknis untuk Palestina dan Afrika

6.5.5.3. Warisan: Pembentukan NAASP (New Asian-African Strategic Partnership)

6.5.6 Kontribusi Pasukan Perdamaian Global

6.5.6.1 Pengiriman Kontingen Garuda

6.5.6.1.1. Peningkatan signifikan: Dari 850 personel (2004) menjadi 2.870 (2014)

6.5.6.1.2. Misi utama: UNIFIL (Lebanon), MONUSCO (Kongo), UNAMID (Darfur)

6.5.6.2 Misi Penting di Lebanon dan Kongo

6.5.6.2.1. UNIFIL (2006-2014)

6.5.6.2.2. MONUSCO (2010)

6.5.6.3 Pembentukan Pusat Pelatihan Misi Perdamaian

6.5.6.3.1. PMPP Sentul (2011)

6.5.6.3.2. Inovasi: Pelatihan penjaga perdamaian untuk konflik wilayah Muslim

6.6 KEBIJAKAN LUAR NEGERI MASA PRESIDEN JOKO WIDODO (2014-2024)

6.6.1 Visi Poros Maritim Dunia

6.6.1.1. Implementasi: Pembangunan 24 pelabuhan baru dan tol laut (2014-2024)

6.6.1.2. Penegakan Kedaulatan: Tenggelamkan 488 kapal illegal fishing (2014-2023)

6.6.1.3. Diplomasi maritim: Kemitraan dengan IORA dan Forum Kepulauan Pasifik

6.6.2 Penegasan Kedaulatan Maritim Natuna

6.6.2.1. Insiden 2020-2021: Patroli TNI AL usir 63 kapal China di ZEE Natuna

6.6.2.2. Strategi Diplomasi: Protes Resmi ke PBB, Tolak "nine-dash line" dalam nota Verbal

6.6.2.3. Penguatan Militer: Penempatan KRI Martadinata dan Rudal BrahMos

6.6.3 Percepatan Penetapan Batas Maritim

6.6.3.1. Kesepakatan penting: ZEE dengan Filipina (2014), Palau (2015), Vietnam (2022)

6.6.3.2. Batas landas kontinen: Kesepakatan dengan Singapura (2022) di Selat Singapura

6.6.3.3. Target 2024: Finalisasi 95% Batas Maritim Indonesia

6.6.4 Diplomasi Ekonomi dan Investasi

6.6.4.1. Realisasi investasi: $44 miliar (2023), tertinggi Sepanjang Sejarah

6.6.4.2. Strategi: UU Cipta Kerja, Pembebasan visa untuk 169 Negara, dan "Indonesia Investment Forum"

6.6.4.3. Mitra Utama: China, Singapura, Jepang pada 2023

6.6.5 Perjuangan Kemerdekaan Palestina

6.6.5.1. Sikap Konsisten: Dukung Keanggotaan Penuh Palestina di PBB (2024)

6.6.5.2. Bantuan konkret: $2 juta/tahun untuk UNRWA, rumah sakit Indonesia di Gaza

6.6.5.3. Diplomasi Multilateral: Ko-sponsor Resolusi di DK PBB dan Sidang Umum PBB

6.6.6 Diplomasi Vaksin COVID-19

6.6.6.1. Produksi lokal: Kerjasama dengan Sinovac (Bio Farma) dan Pfizer

6.6.6.2. Bantuan global: Donasi 1.8 juta dosis vaksin ke 20 negara via COVAX (2021)

6.6.6.3. Diplomasi kesehatan: Inisiasi "Global Health Fund" di G20 Bali

6.6.7 Pasukan Perdamaian Era Kontemporer

6.6.7.1 Penambahan Kontingen Perempuan

6.6.7.1.1. Peningkatan: Dari 5% (2014) menjadi 18% (2024)

6.6.7.1.2. Peran strategis: Female Engagement Team di Kongo dan Lebanon

6.6.7.2 Operasi di Afrika Tengah

6.6.7.2.1. Misi MINUSCA (2020-sekarang): Lindungi warga sipil, fasilitasi dialog perdamaian

6.6.7.2.2. Prestasi: Netralisasi 3 kelompok bersenjata di Bangui

6.6.7.3 Kepemimpinan dalam UNIFIL

6.6.7.3.1. Mayor Jenderal Senko sebagai Force Commander UNIFIL (2022-sekarang)

6.6.7.3.2. Inovasi: Patroli maritim gabungan dengan TNI AL dan Angkatan Laut Lebanon.

7.7 PENUTUP: REFLEKSI

7.7.1 Kontinuitas Prinsip Bebas-Aktif

7.7.1.1. Adaptasi prinsip: Dari konflik Perang Dingin hingga persaingan ASChina

7.7.1.2. Konsistensi: Penolakan aliansi militer, komitmen pada hukum internasional dan multilateralisme

7.7.2 Capaian Utama Diplomasi

7.7.2.1. Transformasi: Dari "pariah state" pasca-1998 menjadi "rising middle power"

7.7.2.2. Pengakuan: Anggota G20, peringkat 1 ASEAN dalam Democracy Index 

7.7.2.3. Kemajuan signifikan: 90% batas maritim telah ditetapkan

7.7.2.4. Resolusi damai: Sengketa Ambalat (2009) dan Natuna (2022) tanpa konflik bersenjata

7.7.2.5. Kontribusi: Indonesia penyumbang pasukan terbesar ke-9 dunia

7.7.2.6. Pengakuan: Penerima UN "Service and Sacrifice Award" (2022)


BAB VII: DINAMIKA SOSIAL-BUDAYA ERA REFORMASI

7.1. PENGANTAR

7.1.1. Konteks Historis Reformasi 1998

7.1.2. Ruang Lingkup Analisis: Sosial, Ekonomi, Politik, Budaya (1998-2025)

7.1.3. Tujuan Pembahasan

7.2. DINAMIKA SOSIAL BUDAYA

7.2.1 Dampak Krisis 1998

7.2.1.1. Kontraksi ekonomi, pengangguran, dan ketimpangan

7.2.1.2. De-industrialisasi dan "pertumbuhan tanpa lapangan kerja"

7.2.2 Peningkatan Kualitas Hidup Keluarga

7.2.2.1 Ledakan Penduduk dan Rebranding KB

7.2.2.1.1. Program Keluarga Berencana (KB) era SBY-Jokowi

7.2.2.1.2. Evolusi Slogan

7.2.2.2 Fenomena Rusunawa dan Budaya Komuter

7.2.2.2.1. Krisis perumahan dan rusunawa

7.2.2.2.2. Peran KRL Jabodetabek dan ekspansi transportasi komuter 

7.2.3 Gaya Hidup Masyarakat Urban

7.2.3.1 Bisnis Kopi dan Budaya Ngafe

7.2.3.1.1. Evolusi kafe

7.2.3.1.2. Fenomena "starling" (Starbucks Keliling)

7.2.3.2 Digitalisasi Platform dan Dampaknya

7.2.3.2.1. Kaskus, Tokopedia, Bukalapak, (Gojek)

7.2.3.2.2. Dampak Konsumtif dan Pinjaman Online

7.2.3.3 Kesadaran Lingkungan

7.2.3.3.1. Program Adiwiyata, Bank Sampah, Plastik Berbayar

7.2.3.4 Transformasi Pembayaran Digital

7.2.3.4.1. Gerbang Pembayaran Nasional (GPN)

7.2.3.4.2. QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard)

7.3 PERAN PERS, MEDIA, DAN MEDIA SOSIAL

7.3.1 Kebebasan Pers

7.3.3.1. Euforia pasca-Orde Baru vs. Tantangan era Digital

7.3.2. Media Sosial sebagai Ruang Publik Baru

7.3.2.1. Hoaks, post-truth, polarisasi politik

7.3.3 Regulasi dan Kebebasan Berekspresi

7.3.3.1. UU ITE dan dampaknya terhadap kritik sosial

7.4 PERKEMBANGAN SENI, SASTRA, DAN BUDAYA POPULER

7.4.1 Sastra Indonesia

7.4.1.1. Sastra protes (Taufik Ismail, Seno Gumira)

7.4.1.2. Tema Sufistik (Gus Mus) dan Surealis (Leila S. Chudori)

7.4.1.3. Kebangkitan Penulis Baru (Andrea Hirata, Eka Kurniawan)

7.4.2 Sinema dan Televisi

7.4.2.1. Kebangkitan Film Indonesia

7.4.2.2. Dominasi Genre: Drama, Horor, Komedi

7.4.2.3. Reality Show dan Dampak Sosial 

7.4.3 Musik Indonesia 

7.4.3.1. Demokratisasi Industri Musik pasca-1998

7.4.3.2. Band Indie, Dangdut Kontemporer, Dampak TikTok/Spotify

7.4.4 Galeri Seni

7.4.4.1. Galeri Nasional Indonesia (GNI)

7.4.4.2. Museum MACAN dan Ruang Seni Swasta

7.5 KEBIJAKAN DAN PELESTARIAN BUDAYA 

7.5.1 Kerangka Hukum Kebudayaan

7.5.1.1. UU No. 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan:

7.5.1.1.1. Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD)

7.5.1.1.2. Strategi pemajuan kebudayaan

7.5.1.2. UU No. 11/2010 tentang Cagar Budaya:

7.5.1.2.1. Klasifikasi, perlindungan, dan revitalisasi

7.5.2 Warisan Budaya Tak Benda (WBTB)

7.5.2.1. Mekanisme pengusulan ke UNESCO

7.5.2.2. 15 WBTB Indonesia

7.5.3 Memory of the World (MoW)

7.5.3.1. Naskah kuno Indonesia dalam registrasi UNESCO

7.5.3.2. Contoh: La Galigo, Arsip Konferensi Asia-Afrika

7.5.4. Memori Kolektif Bangsa (MKB)

7.6 TREN BUSANA INDONESIA

7.6.1 Mode Muslim Global

7.6.1.1. Indonesia sebagai kiblat fesyen muslim

7.6.1.2. Transformasi hijab: Selendang, Ikat, dan Syar'i

7.6.2 Revitalisasi Busana Tradisional

7.6.2.1. Dampak penetapan Hari Batik

7.6.2.2. Presiden Jokowi dan promosi baju adat di acara kenegaraan

7.6.3 Brand Lokal dan Thrifting

7.6.3.1. Merek lokal (Hijup.com, Dian Pelangi)

7.6.3.2. Kontroversi impor baju bekas dan Permendag No. 40/2022

7.7 TREN KULINER DAN OLAHRAGA

7.7.1 Kuliner Pasca Krisis

7.7.1.1 Sertifikasi Halal dan BPOM

7.7.1.1.1. Peran Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) dan badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH)

7.7.1.1.2. Jaminan keamanan pangan

7.7.1.2 Kritikus Kuliner

7.7.1.2.1. Bondan Winarno, Food vlogger TikTok

7.7.2 Olahraga

7.7.2.1 Ajang Internasional

7.7.2.1.1. SEA Games 2011, Asian Games 2018

7.7.2.2 Media Olahraga

7.7.2.2.1. Versi cetak, siaran langsung, dan konten digital

7.8. PENUTUP

7.8.1. Refleksi perubahan sosial-budaya pasca-Reformasi

7.8.2. Tantangan di era digital: Konservatisme vs. globalisasi

7.8.3. Pelestarian budaya sebagai fondasi identitas nasional


BAB VIII: ISU-ISU PEREMPUAN, LINGKUNGAN HIDUP DAN HAM ERA 

REFORMASI

8.1 PENDAHULUAN

8.1.1 Latar Belakang Historis Reformasi 1998 dan Dampaknya bagi Perempuan

8.1.2 Tantangan Utama Kesetaraan Gender dalam Gerakan Perempuan

8.1.3 Problematika Tahanan Politik Perempuan yang Belum Terselesaikan

8.2 PEMBENTUKAN KELEMBAGAAN

8.2.1 Komnas Perempuan: Pembentukan dan Peran Strategis

8.2.1.1 Signatory Campaign dan Dasar Pendirian

8.2.1.2 Mandat dan Fungsi Komnas Perempuan

8.2.1.3 Analisis Kontribusi dalam Transformasi Kebijakan HAM

8.2.2 Advokasi Hak-Hak Perempuan

8.2.2.1 Adopsi Instrumen HAM PBB (CEDAW, DEVAW)

8.2.2.2 Peran sebagai Forum Komunikasi antar-LSM

8.2.2.3 Kolaborasi dengan Komnas HAM dalam Gugatan Keadilan

8.3 KEBIJAKAN PENGHAPUSAN KEKERASAN DAN DISKRIMINASI

8.3.1 Regulasi Penghapusan Kekerasan Berbasis Gender

8.3.1.1 Proses Legislasi UU PKDRT (No. 23/2004)

8.3.1.2 Implementasi dan Tantangan UU PKDRT

8.3.1.3 Peran Komnas Perempuan dalam Pendampingan Korban

8.3.2 Pengarusutamaan Gender (PUG)

8.3.2.1 Inpres No. 9/2000: Landasan Hukum dan Implementasi

8.3.2.2 Integrasi PUG dalam Perencanaan Pembangunan Nasional/Daerah

8.3.2.3 Hambatan Politik-Budaya dalam Penerapan PUG

8.3.3 Penanganan Kekerasan di Dunia Pendidikan

8.3.3.1 Regulasi Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi (Permendikbud No. 30/2021)

8.3.3.2 Kebijakan di Pendidikan Dasar-Menengah (Permendikbudristek No. 46/2023)

8.3.3.3 Prevalensi Kekerasan dan Evaluasi Efektivitas Kebijakan

8.4 PERAN REGIONAL DAN INTERNASIONAL

8.4.1 Forum Gender Global

8.4.1.1 Peran dalam Convention on the Status of Women (CSW)

8.4.1.2 Implementasi Beijing Platform for Action (BPfA)

8.4.2 Diplomasi Gender di Forum Regional

8.4.2.1 Kontribusi dalam ASEAN Committee on Women (ACW)

8.4.2.2 Peran di ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC) dan ASEAN 

Commission on Women and Children (ACWC)

8.4.3 Strategi Diplomasi Global

8.4.3.1 Peningkatan Ekonomi Perempuan di G20

8.4.3.2 Advokasi Perempuan dalam Isu Perubahan Iklim (UNFCCC)

8.5 REPRESENTASI POLITIK DAN PEMBERDAYAAN

8.5.1 Kebijakan Afirmatif

8.5.1.1 Regulasi Kuota 30% Perempuan (UU Pemilu 2003–2008)

8.5.1.2 Dinamika Keterwakilan Perempuan di Legislatif (1999–2014)

8.5.1.3 Faktor Penghambat Pencapaian Kuota

8.5.2 Organisasi Perempuan dalam Politik

8.5.2.1 Peran Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI)

8.5.2.2 Kiprah Kaukus Perempuan Parlemen (KPP-RI)

8.6 ISU TRANSISI DAN KEADILAN SEJARAH

8.6.1 Agenda Pembangunan Global

8.6.1.1 Komitmen Indonesia dalam MDGs (2000–2015)

8.6.1.2 Integrasi Kesetaraan Gender dalam SDGs

8.6.1.3 Ketimpangan Gender pada Indeks Pembangunan

8.6.2 Rekonstruksi Identitas Eks-Tahanan Politik 1965

8.6.2.1 Dampak Stigma Orde Baru terhadap Perempuan Korban

8.6.2.2 Kegagalan Rekonsiliasi Struktural dan Pembatalan UU KKR

8.6.2.3 Strategi Alternatif:

8.6.2.3.1 Pembangunan Jaringan Solidaritas

8.6.2.3.2 Konsolidasi dan Aksi Kolektif

8.6.2.4 Kesenian sebagai Wadah Ekspresi Identitas:

8.6.2.4.1 Wanodja Binangkit

8.6.2.4.2 Dialita

8.6.2.4.3 Kiprah Perempuan (Kiper)

8.7 PENUTUP

8.7.1 Pencapaian dan Tantangan Gerakan Perempuan (1998–2024)

8.7.2 Rekomendasi Kebijakan untuk Masa Depan

8.7.3 Refleksi Kritis atas Agenda Gerakan Perempuan


PENUTUP

Jilid X Sejarah Nasional Indonesia menutup catatan sejarah bangsa pada era Reformasi, mencakup periode transisi dari pemerintahan otoriter Orde Baru menuju sistem demokrasi yang lebih partisipatif, meskipun penuh tantangan dan paradoks. Dalam rentang 1998–2024, Indonesia mengalami pergantian kepemimpinan nasional secara damai, tumbuhnya sistem multipartai, pelaksanaan pemilu langsung, serta meningkatnya partisipasi publik dalam ruang demokrasi. 

Namun, proses demokratisasi ini tidak lepas dari persoalan mendasar seperti menguatnya oligarki, polarisasi politik, serta ketimpangan sosial yang belum terselesaikan.

Secara substansial, Jilid ini tidak hanya menyajikan kronologi politik elite, tetapi juga merekam transformasi sosial-budaya masyarakat, perubahan ekonomi pascakrisis, dan dinamika hubungan internasional Indonesia dalam konteks globalisasi. Dengan menempatkan rakyat sebagai pelaku sejarah dan tidak semata objek kebijakan, Jilid ini memperlihatkan bagaimana 

Reformasi adalah proyek yang terbuka belum selesai dan senantiasa dinegosiasikan ulang dalam berbagai ruang, baik formal maupun kultural. Inilah yang menjadikan Jilid X memiliki signifikansi khusus dalam keseluruhan narasi sejarah nasional: ia adalah cermin transisi panjang dari otoritarianisme ke demokrasi, dari sentralisme ke desentralisasi, dari negara pengatur ke masyarakat sipil yang menuntut partisipasi aktif.

Dalam konteks historiografi nasional, Jilid X menjadi penanda bahwa sejarah tidak lagi hanya mencatat masa lalu yang “jauh,” tetapi juga masa kini yang masih “hidup” sejarah sebagai history-in-the-making. Ia memerlukan kehati-hatian dalam penilaian, kedalaman dalam interpretasi, dan keberanian untuk mengakui bahwa sejarah kontemporer adalah ruang kontestasi makna. Oleh karena itu, Jilid ini juga menekankan pentingnya pendekatan multidisipliner dan lintas perspektif dalam memahami dinamika Reformasi yang kompleks dan berlapis.

Sebagai penghubung ke Jilid berikutnya, narasi Jilid X memberikan konteks atas dinamika yang tengah dan akan terus berlangsung, terutama menyangkut arah konsolidasi demokrasi, tantangan pembangunan berkelanjutan, serta kebangkitan kekuatan-kekuatan baru dalam politik nasional dan global. Penutupan Jilid ini bersamaan dengan terpilihnya Presiden RI ke-8, Prabowo Subianto, yang membawa babak baru dalam kepemimpinan nasional. Transisi ini menjadi titik awal penting bagi Jilid XI, yang akan menyoroti arah baru Indonesia pasca-2024: apakah bangsa ini akan melanjutkan cita-cita reformasi, menyempurnakannya, atau bahkan menempuh jalur baru dalam sejarahnya.

Dengan demikian, Jilid X bukan hanya epilog dari sebuah era, tetapi juga prolog untuk fase sejarah yang akan datang. Ia menjadi simpul penting dalam perjalanan Indonesia yang senantiasa dinamis, mencerminkan kekuatan dan kelemahan bangsa dalam menyikapi perubahan, serta mempersiapkan masyarakat Indonesia untuk menyongsong abad ke-21 dengan refleksi, kesadaran historis, dan visi kebangsaan yang lebih matang.

Draft SI 9

 MATERI DISKUSI PUBLIK DRAF PENULISAN BUKU

SEJARAH INDONESIA 2025

JILID 9

PEMBANGUNAN DAN STABILITAS NASIONAL ERA 

ORDE BARU 1967-1998

PENULIS:

Dr. Abdurakhman, M.Hum.

Dr. Didik Pradjoko, M.Hum.

Prof. Dr. Erniwati, S.S., M.Hum.

Dr. Wildan Insan Fauzi, M.Pd.

Dr. Hary Efendi, S.S., M.A.

Dr. La Ode Rabani, S.S., M.Hum.

Muhammad Yuanda Zara, S.S., M.A., Ph.D.

Arif Pradono, S.S., M.I.Kom.

Yelda Syafrina, M.A.

Zul Asri, M.Hum.

Zulfa Saumia, S.Pd., M.A.


PENDAHULUAN

Latar Belakang

Jilid ini membahas periode perjalanan sejarah bangsa Indonesia pada masa Orde Baru. 

Masa Orde Baru dimulai ketika terbitnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 1966 

hingga lengsernya Presiden Suharto 21 Mei 1998. Pembahasan sejarah Orde Baru dalam 

penulisan sejarah nasional Indonesia sudah ditulis dalam dua buku sebelumnya, yaitu Sejarah 

Nasional Indonesia Jilid VI dengan editor umum Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho 

Notosusanto (1984) dengan edisi pemutakhiran cetakan ke-lima, tahun 2011 dan Indonesia 

Dalam Arus Sejarah Jilid 8 dengan editor umum Taufik Abdullah dan A.B. Lapian, serta editor 

jilid Susanto Zuhdi, yang terbit tahun 2012. 

Untuk mengisi kekosongan 12 tahun ini Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia 

merasa perlu menyusun kembali buku Sejarah Nasional Indonesia sebagai Upaya penggunaan 

sumber-sumber termutakhir dalam perspektif Indonesia sentris. Pasca penerbitan buku Sejarah 

Nasional Indonesia di atas telah banyak karya akademik dan riset-riset Sejarah dengan 

keanekaragaman topik, pendekatan, sumber-sumber terbaru yang belum digunakan dalam 

penulisan sebelumnya. 

Tulisan dalam jilid ini akan menampilkan kerangka konsep yang baru, tetapi akan tetap 

ditekankan tentang bagaimana menguatnya peran negara di bawah kepemimpinan Presiden 

Soeharto hampir di setiap lini kehidupan: politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, serta 

pertahanan dan keamanan hingga berbagai dampak yang dihasilkan, terutama dalam persoalan 

dan penegakan HAM pada periode tersebut. 

Orde Baru menjadikan militer Indonesia terutama Angkatan Darat sebagai penopang 

utama sistem pemerintahannya, seperti tesis Peter Briton (1996) dalam bukunya 

Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia mengungkapkan bahwa Orde Baru 

membangun pemerintahannya dengan semangat pembangunan yang berlandaskan ideologi 

yang dimiliki Angkatan Darat. Pemerintah Orde Baru membina sistem politik yang tertib dan 

terkendali untuk mendukung program pembangunan sebagai prioritasnya. Kebijakan utama 

Orde Baru yang mengedepankan stabilitas politik yang mendukung keberhasilan pembangunan 

ekonomi. Sistem ini menjadikan peran negara secara perlahan menguat untuk menciptakan 

stabilitas politik dengan menciptakan ideologi baru, yakni “ideologi pembangunan”. 

Pemerintahan Orde Baru muncul sebagai reaksi atas kemelut politik di akhir 

Pemerintahan Presiden Sukarno. Instabilitas politik dalam negeri pada saat itu berdampak 

terhadap kepemimpinan Presiden Soekarno terutama pasca peristiwa Gerakan 30 September/PKI (G30S/PKI). Peristiwa tersebut menimbulkan krisis politik dan ekonomi pada 

saat itu. Setelah Orde Baru mulai berkuasa, barulah pembangunan ekonomi secara gencar 

dilakukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi. 

Pemerintah Orde Baru, di bawah Suharto berhasil meningkatkan kesejahteraan sosial 

ekonomi rakyat Indonesia dan membawa Indonesia menjadi negara dengan pertumbuhan 

ekonomi yang tinggi dalam waktu singkat. Pemerintah Orde Baru ini sangat menekankan 

stabilitas nasional dan pertumbuhan ekonomi, dengan militer memainkan peran penting dalam 

politik dan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan inti dari pencapaian Orde Baru, dengan 

peningkatan yang nyata dalam kualitas hidup, pendidikan, dan layanan Kesehatan. 

Pemerintahan Orde Baru dicirikan oleh pemerintahan yang mengedepankan aspek stabilitas 

baik dalam bidang keamanan, politik dan ekonomi.

Bab awal pembahasan Jilid 9 buku ini bertolak dari uraian tentang bagaimana Orde Baru 

muncul dan sejumlah rangkaian peristiwa politik yang mengantarkan Soeharto menuju takhta 

kepresidenan, menggantikan Soekarno. Kelahiran Orde Baru dilandasi tekad dan komitmen 

untuk melakukan koreksi total atas kekurangan sistem politik yang telah dijalankan 

sebelumnya di masa pemerintahan Sukarno, dengan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 

secara murni dan konsekuen. Sejak pemerintahan Orde Baru dimulai, terjadi pergeseran pusat 

perhatian dari masalah “pembinaan bangsa” ke masalah pembangunan ekonomi. Politik bukan 

lagi sebagai panglima, sebagaimana terjadi pada masa Sukarno. Pemerintahan baru yang 

dipimpin Soeharto ini juga berkaca dari kepemimpinan Soekarno, di mana upaya menciptakan 

stabilitas politik dan menciptakan suasana yang kondusif adalah tolak ukur bagi keberhasilan 

suatu negara membangun perekonomiannya. 

Pemerintahan Orde Baru melakukan terobosan modernisasi yang signifikan, atas dukungan 

bantuan Barat, pengelolaan sumber pendanaan dalam dan luar negeri. Kebijakan ekonomi 

selama periode ini melibatkan pembentukan konglomerat industri yang beroperasi di berbagai 

industri, yang mengarah pada konsentrasi industri dan keuangan di tangan kerabat presiden, 

militer, dan pejabat pemerintah.

Sekitar tahun 1970-an, fondasi ekonomi mulai tercipta dalam sistem masyarakat yang 

terlibat aktivitas pasar modern, seperti yang terjadi di Amerika. Pertumbuhan ekonomi Orde 

Baru pun terjadi, dan awalnya didorong oleh bantuan luar negeri dan investasi asing, lalu 

diperkuat dengan adanya lonjakan harga minyak. Pendapatan riil pemerintah antara 1966 

hingga 1978 rata-rata meningkat setiap tahunnya yakni sebesar 27 persen. Lalu belanja negara 

pada 1977-1978 mencapai 22,6% dari PDB, meningkat signifikan dibandingkan tahun 1966 

yang hanya mencapai 9,3%. 

Gambaran kondisi pertumbuhan ekonomi nyatanya mendorong peningkatan intervensi 

negara dalam kehidupan masyarakat Indonesia, seperti melalui program-program pemerintah. 

Untuk mewujudkan program pemerintah berjalan secara efektif, diperlukan birokrasi yang 

efektif dan tanggap terhadap pimpinan eksekutif sebab birokrasi menjadi penggerak utama 

program pembangunan. Reformasi birokrasi oleh pemerintah Orde Baru mengarah pada 

sentralisasi pemerintahan. Sentralisasi pemeritahan mencakup mencakup tiga hal, 

yakni pertama, pemusatan proses pembuatan kebijakan pemerintah, wujudnya dalam bentuk 

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) maupun Repelita. Kedua, membuat birokrasi lebih 

tanggap ke pimpinan pusat. Hal tersebut membuat ABRI dan para teknokrat masuk ke badan 

pemerintah. Terakhir, memperluas wewenang pemerintah pusat dengan cara

mengkonsolidasikan pengendalian atas daerah. Dalam bentuk pelaksanaan program, point 

terakhir ini mirip seperti gaya konsolidasi era pendudukan militer Jepang, yaitu mobilisasi 

hingga menyentuh ke lapisan aparat terkecil, yaitu desa.

Pemerintahan Orde Baru ditandai dengan dominasi militer dan badan intelijen, yang 

memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas politik. Fokus pemerintahan Orde Baru 

pada stabilitas nasional dan pertumbuhan ekonomi menyebabkan pemaksaan identitas nasional 

pada warga negara negara yang beragam, dengan penekanan pada stabilitas nasional dan 

pertumbuhan ekonomi. Orde Baru menekankan stabilitas nasional dan pertumbuhan ekonomi, 

yang mengarah pada peningkatan pendidikan, perawatan kesehatan, dan pendapatan per kapita, 

meskipun manfaat pertumbuhan ekonomi tidak dibagi secara merata di seluruh penduduk. Pada 

masa Orde Baru menyaksikan peningkatan standar hidup masyarakat secara makroekonomi, 

dengan penurunan jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Namun, keberhasilan 

modernisasi selama periode ini terkait erat dengan kesejahteraan elit penguasa, yang mengarah 

pada konsentrasi industri dan keuangan di tangan kerabat dan rekan presiden. 

Periode 1976-1988 bisa dikatakan menjadi masa-masa keemasan Orde Baru. Berbagai 

program yang diciptakan mengalami kesuksesan. Selama dua dekade membangun dan 

membenahi kehidupan ekonomi, sosial dan budaya, hasilnya terlihat jelas menunjukkan 

kemajuan. Program Keluarga Berencana berhasil menekan pertumbuhan penduduk yang 

sangat tinggi hingga 1,97% pada 1980-an. Swasembada pangan berhasil dicapai, jika pada 

1969 Indonesia hanya memproduksi beras sebanyak 12,2 juta ton, pada 1984 Indonesia sudah 

dapat menghasilkan 25,8 juta ton beras. Di era ini, stabilitas harga terjaga sebelum akhirnya 

pertengahan tahun 1997 inflasi melesat tajam ke dua digit, industrialisasi tumbuh pesat 

sehingga membuka lapangan pekerjaan, dan puncaknya adalah antara 1987 hingga 1992 ketika 

Indonesia menjadi eksportir terkemuka barang-barang industri, Pembangunan di sektor 

pendidikan, menunjukkan tanda-tanda positif, di mana era Soekarno belum tersentuh. Pada 

1980 angka melek huruf semakin meningkat yakni 80,4% bagi laki-laki dan 63,6% bagi 

perempuan. Di bidang budaya, adanya fasilitas kebudayaan seperti Taman Ismail Marzuki 

berkontribusi dalam melahirkan karya-karya seni kontemporer Indonesia. 

Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto tidak hanya sukses di dalam 

negeri, berhasil pula membangun hubungan regionalisme, di mana Indonesia sekaligus

Presiden Soeharto begitu dihormati dan berwibawa di mata internasional. Pada masa Orde Baru 

pendekatan diplomasi yang digunakan oleh Presiden Soeharto terarah kepada diplomasi 

persahabatan, mencari kawan sebanyak-banyaknya dan memperkecil jumlah lawan. Hal itu 

terlihat dengan adanya menormalisasikan kembali hubungan dengan negara-negara tetangga, 

khususnya Malaysia, yang akhirnya membuka jalan bagi pembentukan ASEAN tahun 1967. 

Indonesia juga berusaha menjelaskan perkembangan di Indonesia setelah Gestapu, 

menghilangkan salah interpretasi dunia internasional dan menegakkan kembali kredibilitas 

Indonesia sebagai negara non-blok. Semua ini dilakukan dalam rangka mencari simpati dan 

kepercayaan dunia internasional agar bisa memberikan bantuan ekonomi. Maka terbukalah 

jalan bagi Indonesia untuk ke IGGI. Oleh karena Presiden Soeharto pendekatan politik luar 

negerinya lebih tertuju pada ekonomi dibandingkan politik. Hal itu bisa terlihat diplomasi 

Indonesia pada masa Orde Baru tertuju untuk pencarian dana bantuan luar negeri untuk 

pembangunan Indonesia. Selain itu juga, pendekatan politik luar negeri Soeharto ditandai oleh 

sikap hati-hati tetapi menunjukkan ambisi regional.

Fokus pemerintah Orde Baru pada stabilitas internal dan pembangunan ekonomi 

menyebabkan Indonesia menjadi pendiri dan pemimpin kerja sama regional Perhimpunan 

Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), yang berkontribusi pada transformasi Asia Tenggara 

menjadi kawasan yang lebih stabil .Munculnya demokrasi di Indonesia setelah jatuhnya rezim 

Orde Baru menyebabkan negara tersebut terlibat dalam perjanjian perdagangan preferensial 

bilateral dan mengejar liberalisasi di tingkat regional melalui keanggotaannya di ASEAN. 

Soeharto mendapat gelar sebagai “Bapak Pembangunan” dalam Sidang Umum MPR 

tahun 1983, namun sejumlah keberhasilan atau pencapaiannya dibayang-bayangi berbagai 

peristiwa yang mencederai demokrasi, melanggar kebebasan berekspresi, berpendapat, dan 

Hak Asasi Manusia. Hal ini terlihat dari sejumlah kebijakan seperti P4, asas tunggal, 

NKK/BKK, serta sejumlah kasus restriksi bagi sejumlah seniman, pelukis, budayawan, dan 

pers yang kritis terhadap pemerintah, bahkan sejumlah dari mereka pun adanya mengalami 

penangkapan dan penahanan. Krisis moneter yang melanda Asia tahun 1997-1998 berpengaruh 

terhadap melemahnya posisi ekonomi Indonesia dan puncaknya adalah peristiwa aksi 

demonstrasi, kerusuhan, yang berakhir dengan mundurnya Presiden Suharto pada 21 Mei1998. 

Mundurnya Suharto dari kursi kepresidenan RI menjadi bab penutup dari Jilid 9 buku ini.

Permasalahan

Sejak proses awal terbentuknya Pemerintahan Orde Baru, beberapa hal yang menjadi pokok 

peroalan yang harus diatasi adalah permasalahan yang muncul di akhir pemerintahan demokrsi 

terpimpin, yaitu masalah ketidakstabilan politik dan ekonomi dan masalah keamanan nasional. 

Sepertinya kedua persoalan tersebut mengemuka berdasarkan latar belakang sejarah kehidupan 

politik dan ekonomi diera awal hingga pertengahan1960-an, sehingga tidak heran Presiden 

Suharto bersama para pembantunya dengan melalui kestabilan politik dan keamanan dijadikan 

pondasi demi kelancaran pembangunan ekonomi yang berdampak kepada tercapainya 

masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan Makmur.

Untuk merekonstruksi sebuah sejarah Indonesia era Orde Baru, permasalahan utama yang 

diajukan adalah bagaimana upaya pemerintah Orde Baru melalui kebijakan stabilitas politik 

dan ekonomi dapat mencapai tujuan yang dicita-citakannya yaitu masuarakat yang sejahtera 

adil dan Makmur dan juga dampak yang muncul dari kebijakan tersebut?

Untuk menjawab permasalahan tersebut diajukan beberapa pertanyaan penelitian sebagai 

berikut:

a. Bagaimana upaya penanganan Peristiwa G30S/PKI sejak dikeluarkan Surat Perintah 11 

Maret 1966 hingga tahun 1968?

b. Bagaimana kebijakan terkait stabilitas politik dan ekonomi pada awal Orde Baru?

c. Bagaimana perkembangan Pendidikan, riset dan tenologi era Orde Baru?

d. Bagaimana dampak pembangunan era Orde Baru dan perubahan social yang muncul 

pada masa tersebut?

e. Bagaimana dinamika pembangunan Demokrasi Pancasila selama masa Orde Baru?

f. Bagaimana munculnya reaksi terhadap kebijakan politik dan ekonomi ?

g. Bagaimana dinamika terkait Wawasan Nusantara dan penguatan Negara Kesatuan 

Republik Indonesia?

h. Bagaimana pembangunan di sektor kebudayaan, terkait Kebudayaan Nasional, Seni, 

Sastra, media, olahraga, organisasi Wanita dan kepemudaan?

i. Bagaimana masalah Koilusi, Korupsi, dan Nepotisme, ditambah krisis ekonomi 

berdampak bagi jatuhnya pPemerintah Orde Baru?

Ruang lingkup Pembahasan

Pembahasan dalam Jilid 9 dari buku Sejarah Indonesia edisi 2025 meliputi periode 

pemerintahan Presiden Suharto yang diangkat oleh MPRS sebagai Pejabat Presiden Republik 

Indonesia pada tahun 1967 hingga berakhirnya masa Pemerintahan Orde Baru yang ditandai 

dengan pernyataan mundur Presiden Suharto pada tanggal 21 Mei 1998. Krisis politik tersebut 

merupakan puncak gunung es dari rusaknya sistem pemerintahan Orde Baru yang awalnya 

sangat kuat kemudian berangsur runtuh sejalan dengan munculnya krtidak percayaan rakyat 

terhadap pemerintahan Orde Baru. Munculnya pergolakan politik dan sosial tersebut diawali 

dengan mencuatnya rangkaian krisis multidimensional yang dihadapi bangsa Indonesia yang 

diakibatkan oleh praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang berpuncak sejak tahun 1997. 

Buku Jilid 9 ini mengambil judul yaitu “Orde Baru: Pembangunan dan Stabilitas Nasional 

1966-1998”, meski era Orde Baru resminya bermula di tahun 1967, namun demikian ide dan 

semangat Orde baru sudah menggeliat sejak awal 1966, tepatnya Januari 1966, mulai 

munculnya kritik dan protes terhadap pemerintahan Demokrasi Terpimpin, yaitu Presiden 

Soekarno pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965, yang ditengarai adanya keterlibatan 

organisasi Partai Komunis Indonesia, melalui protes demontrasi mahasiswa dipelopori oleh 

Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan berbagai kelompok elemen masyarakat 

melalui semboyan Tritura atau Tiga Tuntutan Rakyat yang meliputi pembubaran PKI, turunkan 

harga dan retool Kabinat Dwikora. Selanjutnya peristiwa yang dianggap penting sebagai 

tonggal awal Pemerintahan Orde adalah diterbitkannya Surat Pemerintah 11 Maret 1966 yang 

kemudian lebih dikenal dengan Supersemar. Surat perintah ini memberikan kewenangan 

kepada Letnan Jenderal Suharto sebagai pengembannya melakukan Langkah-langkah 

menstabilkan keamanan dan ketertiban yang memang penuh gejolak sejak awal Oktober 1965. 

Dengan surat perintah ini ada akhirnya memperkuat posisi Letjen Suharto untuk secara 

bertahap memperlemah kekuasaan Presiden Sukarno hingga muncul surat pencopotan jabatan 

Presiden Sukarno oleh sidang MPRS 1967 dan mengangkat Jenderal Suharto sebagai Pejabat 

Presiden Republik Indonesia. 

Secara umum pembahasan isi buku ini yaitu bab pertama yang dimulai dengan uraian tentang 

awal Orde Baru sejak tahun 1966 yang ditandai dengan munculnya Gerakan Tritura 10 Januari 

1966 dan terbitnya Surat Perintah 11 Maret 1966 dari Presiden Sukarno kepada pengemban 

surat perintah yaitu Letjen Suharto. Bab ini membahas juga penanganan akibat Gerakan 30 

September PKI 1965, kemudian dibahas juga permasalahan Eksil atau orang-orang pelarian 

dan penanganan tahanan politik eks anggota PKI. Tulisan dalam bab ini juga menjelaskan 

permasalahan dualism kepemimpinan nasional dan diakhiri dengan uraian Jenderal Suharto 

diangkat sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia 1967 dan kemudian menjadi Presdien 

definit pada tahun 1968, didalamnya terdapat uraian program kerja pertama yaitu melalaui 

Kabinet Ampera II dan Pembentukan Kabinet Pembangunan I.

Bab kedua dalam buku ini membahas Pertahanan dan Keamanan Nasional, meliputi Doktrin 

Pertahanan Indonesia, peran dan dinamika Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) 

dari sisi kelembagaan, strategi dan sistem persenjataannya. Dalam bab ini juga menguraikan 

kegiatan ABRI Masuk Desa (AMD) dan peran sosial politik ABRI dalam bentuk dwifungsi 

ABRI. Bab ketiga menguraikan pembangunan politik, meliputi konsepsi pembangunan politik 

nasional, politik dalam negeri yang meliputi kebijakan politik anti komunis, Penentuan 

Pendapat Rakyat di Irian Barat 1969, integrasi Timor Timur 1976, kemudian materi politik luar 

negeri Indonesia yang bebas dan aktif, terkait normalisasi hubungan Indonesia dan Malaysia, 

pendirian organisasi bangsa-bangsa di Asia Tenggara (ASEAN), peran aktif dalam Gerakan 

Non Blok dan juga permasalahan luar negeri lainnya.

Bab selanjutnya yaitu ke empat terkait pembangunan ekonomi nasional, yang membahas 

konsepsi pembangunan nasional, kebijakan Pembangunan Jangka Panjang 1 dan 2, kemudian 

implementasi kebijakan ekonomi terkait revolusi hijau, revolusi biru, industrialisasi, 

swasembada beras dan koperasi. Bagian lain yang dibahas dalam bab ini adalah investasi dari 

dalam dan luar negeri. Bab berikutnya kelima membahas perkembangan pendidikan, riset dan 

teknologi. Dalam bab ini dijelaskan konsepsi pendidikan menurut ideologi Pancasila, 

pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tinggi dan Lembaga-lembaga riset dan 

perkembangan teknologi di era Orde Baru. Selain itu juga dibahas pendidikan keagamaan baik 

formal maupun informal. Sementara itu dibahas judul pembangunan dan perubahan social 

dalam bab keenam, dalam bab ini diuraikan tulisan mengenai etnisitas dan keragaman budaya 

masyarakat Indonesia, program transmigrasi, munculnya kelas menengah masyarakat akibat 

modernisasi, kebijakan terkait kehidupan beragama pada era Orde Baru, kebijakan terkait 

peningkatan mutu kesehatan masyarakat dan bagian tentang Lembaga swadaya masyarakat.

Pada bab ketujuh dibahas tentang Demokrasi Pancasila, yang menguraikan konsep Demokrasi 

Pancasila, perbincangan tentang pemilu-pemilu Orde baru, fusi dan pembatasan jumlah partai, 

pembangunan karakter bangsa, azas tunggal, pendirian Komisi Nasional HAM, dan terakhir 

diuraikan kebebasan dan pembatasan pers. Bagian selanjutanya adalah bab yang membahas 

raksi terhadap kebijakan politik dan ekonomi Orde Baru, yaitu dalam bab kedelapan. Dalam 

bab ini diulas terkait Organisasi papua Merdeka (OPM) yang sudah muncul sejak masa 

Demokrasi Terpimpin era 1960-an, ulasan tentang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) 1976-1999, 

peristiwa Petisi 50 (1980), tragedi Tanjung Priuk 1984, penjelasan tentang konflik-konflik 

agrarian dengan peritiwa yang meninjol adalahKedungombo 1985-1991. Pembahasan bab ini 

dilanjutkan dengan peristiwa Talangsar, Lampung 1989 dan juga aspek perjungan buruh dalam 

konteks jamannya, yang menonjol adanya peristiwa terbunuhnya aktivis buruh perempuan, 

yaitu Marsinah 1993, dalam bab ini juga dibahas kasus-kasus penggaran HAM lainnya.

Bab kesembilan membahas pokok-pokok kajian tentang wawasan nusantara, menguatnya batas 

negara pada saat penetapan beberapa keputusan UNCLOS bagi Indonesia, missal terkait Zona 

Ekonomi Eksklusif, kemudian penetapan Alur Laut Kepulauan Indonesia sebagai warisan 

keputusan UNCLOS terkait pelayaran lintas damai di kawasan perairan laut Indonesia. Bab ini 

juga membahas penguatan batas negara, pertahan dan keamanan laut Indonesia dan persoalan 

pelintas batas baik dari laut maupun dari darat. Bab kesepuluh membicarakan pembangunan 

kebudayaan, pada bagian ini diuraikan kebijakan kebudayaan sebagai upayapenguatan 

kebudayaan nasional, program diplomasi budaya, dan juga kongres Kebudayaan 1991. Selin 

itu bab ini juga membahas organisasi Wanita Dharma Wanita yang menjadi organisasi 

kewanitaan para istri pegawai negeri dalam mendukung program pemerintahan Orde Baru. 

Pembahasan bab ini juga terkait dengan bidang seni, sastra dan media baik cetak maupun 

elektronik dan juga film. Bagian akhir bab ini membahas materi tentang kepemudaan, baik 

terkait pembentukan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Gerakan Pramuka, 

Organisasi Massa kepemudaan dan karang taruna.

Bagian akhir dari jilid 9 ini adalah bab kesebelas yang membahas periode akhir Orde Baru, 

dengan membahas isu suksesi kepemimpinan nasional, munculnya Korupsi Kolusi dan 

Nepotisme yang menjangkiti para elit Orde baru sebagai persoalan yang menyebabkan 

munculkan kritik dan demontrasi yang anti Orde baru. Terutama setelah munculnya krisis 

ekonomi dan krisi multidimensi yang menyertainya sebagai pemicu awal kebangkrutan Orde 

baru. Bab ini juga menjelaskan munculnya tuntutan reformnasi, demontrasi mahasiswa dan 

Gerakan massa lainnya yang kemudian memicu insiden penembakan aktivis mahasiswa 

Universitas Trisakti yang kemudian memicu kerusuhan massal yang menimbulkan banyak 

korban yang meninggal dunia dan terluka. Bab ini diakhiri dengan mundurnya Presiden 

Suharto pada 21 Mei 2025.

Jilid 9 dengan judul Orde Baru: Pembangunan dan Stabilitas Nasional 1966-1998, tentunya 

tidak berdiri sendiri dalam artian ada benang merah dalampoko bahasan yang diuraikan atau 

dijelaskan juga terkait dengan jilid-jilid lainnya seperti halnya dengan jilid 7 yang membahas 

Era Revolusi dan Perang Kemerdekaan 1945-1950, jilid 8 yang membahas era Demokrasi 

Liberal hingga Demokrasi terpimpin 1950-1965, begitu juga dengan Jilid 10 yang membahas 

Era Reformasi pasca 1998. Beberapa poko bahasan terkait kemaritiman yang dibahas di bab 8 

terkait Deklarasi Juanda 1957 yang memproklamirkan wilayah laut territorial atau laut dalam 

dimana pada zaman itu laut territorial Indonesia hanya 3 mil dari sekitaran pulau-pulau 

Indonesia sehingga lebih dari itu menjadi wilayah laut internasional, hal ini berdampak wilayah 

laut antar pulau Indonesia menjadi kantong laut internasional. Pada jilid 9 di era Orde Baru 

menjadi kelanjutan dari peristiwa Deklarasi Djuanda 1957, muncul dalam keputusan PBB 

melalui United Nations Convention on the Law of The Sea tahun 1982 yang mengakui 

Republik Indonesia sebagai negara maritim atau archipelago, dimana laut antara pulau atau 

laut dalam menjadi wilayah laut territorial. Aspek-aspek kemaritiman nusantara bahkan sudah 

diulas juga dalam jilid 1 hingga jilid 4. Sementara itu bidang seni, sastra dan olahraga juga 

menjadi pokok bahasan dalam jilid lainnya, begitu pula tentang peran Angkatan Bersenjata 

Republik Indonesia atau Tentara Nasional Indonesia menjadi pokok bahasan di Jilid 7,8 dan 

10.

Dalam beberapa jilid seperti halnya dalam jilid 9 diuraikan kebijakan Orde baru terkai 

transmigrasi sebagai upaya pemerataan penduduk dan upaya peningkatan kesejahteraan 

penduduk, model seperti ini juga diuraikan sejak masa era awal abad ke20 dengan kebijakan 

emigrasi pemerintahan Hindia Belanda yang memindahkan penduduk Jawa ke Lampung dan 

juga ke beberap tempat lainnya. Seperti halnya pembahasan tentang diaspora penduduk 

nusantara di era berabad-abad yang lalu dari Sulawesi Selatan ke Kalimantan, Sumatera dan 

Kepulauan Riau, begitu juga diaspora Orang Minang ke banyak wilayah Sumatra bahkan 

hingga ke semenanjung Malaya. Pembahasan tentang aspek-aspek kebudayaan sebagai model 

pemersatu bangsa juga menjadi pembahasan dalam banyak jilid. Selain itu keterkaitan dengan 

Jilid 8 cukup signifikan terutam terkait peristiwa Gerakan 30 September PKI 1965 yang 

dijelaskan di Jilid 8, namun di Jilid 9 pembahasan dilanjutkan terkait aksi-aksi yang muncul 

yang menuntut pembubaran PKI yang dianggap terlibat dalam peristiwa tersebut, juga terkait 

pembahasan penanganan pasca peristiwa tersebut misalnya sidang-sidang mahmillub, 

penanganan tahan politik eks anggota PKI, permasalahan orang-orang pelarian eks anggota 

PKI atau simpatisannya di luar negeri atau orang-orang Eksil dan politik anti komunis Orde 

Baru. Sedangkan terkait bab 10 era reformasi, tentunya peristiwa krisi ekonomi, 1997, 

demontrasi mahasiswa, Gerakan massa anti Orde Baru dan kerusuhan massa pasca 

tertembaknya mahasiswa Trisakti dalam peristiwa demonstrasi 12 Mei 1998. Pada bab 10 

menyambung peristiwa pasca kerusuhan atau huru hara 13-15 Mei 1998 dan mundurnya 

Presiden Suharto pada tanggal 21 Mei 1998, disusul diangkatnya Wakil Presiden B.J. Habibie 

sebagai presiden Republik Indonesia, setelahnya menjadi titik berakhirnya Era Orde Baru dan 

mulai awal periode reformasi. Beberapa poin terkait kerusuhan massal dan munculnya tindak 

kekerasan terhadap kaum perempuan utamnya dari kalangan Tionghoa menjadi pokok bahasan 

dalam jilid 10, termasuk dibentuknya Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan 13-15 Mei 

1998, untuk menyelidiki peristiwa adanya kekerasan terhadap perempuan termasuk Tindakan 

perkosaan. 

Kesimpulan

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Jilid 9 yang membahas sejarah Indonesia pada 

masa Orde Baru memiliki ciri yang khas bahwa Pemerintahan Orde baru selama kepemimpinan 

Presiden Suharto sejak awalnya berupaya untuk membangun perekonomian dan kesejahteraan 

bagi rakyat Indonesia. Berkaca dari era sebelumnya dimana pertentangan politik yang sangat 

keras dan merosotnya kesejahteraan rakyat, membuat Orde baru berupaya dengan idiologi 

pembangunannya berusaha menstabilkan kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya dengan 

harapan akan keberhasilan program pembangunan yang dicita-citakan oleh Orde Baru. Banyak 

program-program pembangunan pemerintah yang berhasil mencapai target missal 

pembangunan seKtor pendidikan, teknologi informasi satelit dan penyiaran TVRI dan RRI, 

program transmigrasi, program pembangunan Kesehatan dan Keluarga Berencana. dan lainlain. Namun demikian ada dampak yang bersifat negative bahwa hal yang terkait model 

pemerintahan yang mengedepankan kestabilan dan keamaman ini kemudian berimbas negarif 

terhadap pembangunan demokrasi, kebebasan pers, berekspresi dan menyuarakan pendapat.


SISTEMATIKA PENULISAN

PENDAHULUAN

BAB 1 LAHIRNYA ORDE BARU

1.1. Supersemar 1966

1.1.1. Tri Tuntutan Rakyat

1.1.2. Penanganan Akibat Gerakan 30 September PKI1965

(Langkah-langkah tindakan pasca peristiwa, Mahmilub dan

KOPKAMTIB)

1.1.3. Eksil dan Penanganan Tahanan Politik Eks PKI

1.2. Dualisme Kepemimpinan Nasional

1.2.1. Nawaksara Pembelaan Yang Ditolak

1.2.2. Kondisi Terakhir Presiden Sukarno

1.3. Dari Pejabat Menjadi Presiden RI

1.3.1. Pejabat Presiden Soeharto 1967

1.3.2. Pembentukan Kabinet Ampera II 

1.3.3. Presiden Suharto Dan Pembentukan Kabinet Pembangunan 1

BAB 2 STABILITAS KEAMANAN DAN PEMBANGUNAN POLITIK

1.1. Stabilitas Keamanan 

1.1.1. Dwi Fungsi ABRI

1.1.2. ABRI Masuk Desa

1.1.3. KOPKAMTIB

2.2. Konsepsi Pembangunan Politik Nasional 

2.3. Restrukturisasi dan Strategi Politik

2.4. Politik dalam Negeri

2.4.1. Politik Anti Komunis

2.4.2. Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)

2.4.3. Integrasi Timor Timur 

2.5. Politik Luar Negeri

2.5.1. Upaya Menjaga Perdamaian Dunia

2.5.1.1. Normalisasi Hubungan dengan Malaysia

2.5.1.2. Deklarasi Asean

2.5.2. Politik Bebas dan Aktif

2.5.3. Masalah Luar Negeri Lainnya

BAB 3 PEMBANGUNAN EKONOMI NASIONAL

3.1. Konsepsi Pembangunan Ekonomi Nasional

3.2. Dewan Ketahanan Nasional

3.3. Program dan Praktek Kebijakan Ekonomi Nasional

3.3.1. Program Pembangunan Bertahap (Repelitia)

3.3.2 Praktek Kebijakan Dan Capaian

3.3.2.1. Revolusi Hijau

3.3.2.2. Revolusi Biru/Modernisasi Sektor Perikanan

3.3.2.3. Industrialisasi

3.3.2.4. Swasembada Beras

3.4. Penanaman Modal

3.4.1. Dalam Negeri

3.4.2. Luar Negeri (IGGI, CGI, IMF)

BAB 4 PERTAHANAN DAN KEAMANAN NASIONAL

4.1. Doktrin Pertahanan Indonesia

4.2. Peran Dan Dinamika ABRI

 2.3.1. Kelembagaan

 2.3.2. Strategi

 2.3.3. Alutsista 

BAB 5 KEBIJAKAN PENDIDIKAN DAN RISET 

5.1. Konsepsi Pendidikan Masa Orde Baru

5.2. Pendidikan Dasar dan Menengah 

5.3. Pendidikan Formal Keagamaan 

5.4. Pendidikan Tinggi

5.4.1. Perkembangan Universitas, Sekolah Tinggi

5.4.2. Pendidikan Guru dan Kualitas Pengajaran (PTPG, FKIP, IKIP)

5.5. Lembaga Riset dan Perkembangan Teknologi

5.5.1. Gagasan Awal dan Permasalahan Pengembangan IPTEK 

5.5.2. Mipi (Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia) Menjadi LIPI 

5.5.3. Dinamika Lembaga-Lembaga Iptek (Batan, Lapan, BPPT, Puspiptek) 

5.5.4. Kemajuan Teknologi Masa Orde Baru

5.5.5. Organisasi Ilmuwan Masa Orde Baru

BAB 6 PEMBANGUNAN DAN PERUBAHAN SOSIAL

6.1. Etnisitas Dan Keberagaman Budaya Masyarakat Indonesia

6.2. Transmigrasi Sebagai Sarana Pemerataan Penduduk dan Integrasi Nasional 

6.3. Modernisasi dan Kemajuan Masyarakat

6.4. Kebangkitan Kelas Menengah dan Elite Ekonomi

6.5. Agama dalam Politik Orde Baru

6.6. Peningkatan Mutu Kesehatan Masyarakat

BAB 7 PEMBANGUNAN DEMOKRASI PANCASILA

7.1. Pembangunan Karakter Bangsa

7.1.1. Konsep Demokrasi Pancasila

7.1.2. Pembangunan Karakter Bangsa

7.1.3. Implementasi P4

7.2. Azas Tunggal Pancasila: Latar Belakang, Landasan Hukum, Tujuan, 

Implementasi dan Dampak Pelaksanaan

7.3. Dari Pemilu Ke Pemilu

7.3.1. Landasan Hukum Pelaksanaan Pemilihan Umum 

7.3.2. Fusi Partai dan Pembatasan Jumlah Partai

7.3.3. Golkar Sebagai Kekuatan Dominan 

7.3.4. Sistem dan Pelaksanaan Pemilihan Umum

7.3.5. Dampak Kebijakan Pemilu Orde Baru

7.4. Persoalan Hak Azasi Manusia (HAM)

7.5. Kebebasan dan Pembatasan Pers

BAB 8 REAKSI TERHADAP KEBIJAKAN POLITIK DAN EKONOMI

8.1. Gerakan Organisasi Papua Merdeka (Opm)

8.2. Gerakan Aceh Merdeka (Gam), 1976-2009

8.3. Peristiwa Malari 1974

8.4. Petisi 50 1985

8.5. Tragedi Tanjung Priok 1984

8.6. Peristiwa Talangsari, Lampung 1989

8.7. Konflik Agraria (Peristiwa Kedungombo 1985-1991, 

8.8. Perjuangan Buruh (Marsinah , 1993 Dll)

8.9. Kasus Kasus Pelanggaran Ham Lainnya (Udin Dll)

BAB 9 WAWASAN NUSANTARA DAN PENGUATAN NEGARA KESATUAN 

REPUBLIK INDONESIA 

9.1. Wawasan Nusantara dalam Konteks Geopolitik Kemaritiman

9.2. Tantangan Deklarasi Juanda: Terbentuknya Grey Area dan Perairan Internasional 

9.3. UNCLOS 1982 dan Penguatan Batas Negara: Perubahan Luas Wilayah (ZEE) 

dan Alur Laut Kepulauan Indonesia 

9.4. Isu-Isu Global: Kedaulatan Wilayah Laut dan Perbatasan Wilayah Negara 

9.5. Pertahanan dan Keamanan Laut Indonesia

9.6. Masalah Pelintas Batas dan Diaspora (Laut, Darat, Udara)

BAB 10 PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 

10.1. Kebijakan Kebudayaan: Menuju Persatuan Indonesia

10.2. Keberagaman Budaya

10.3. Kebudayaan Nasional Indonesia

10.4. Kongres Kebudayaan 1991 

10.5. Dharma Wanita dan Kesetaraan Gender

10.6. Seni, Sastra, Film, Literasi dan Media Massa

10.7. Pemuda dan Olahraga (KNPI, Ormas, Pramuka, Karang Taruna)

BAB 11 AKHIR ORDE BARU

11.1. Persoalan Suksesi dan Kepemimpinan Nasional

11.2. Goyahnya Pilar Pendukung Orde Baru

11.3. Persolan Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme (KKN)

11.4. Krisis Ekonomi

11.4.1. Fondasi Ekonomi dan Reformasi Kebijakan Ekonomi 1980-An 

11.4.2. Krisis Moneter 1997-1998

11.4.3. Campur Tangan Asing dalam Kejatuhan Soeharto 

11.5. Kerusuhan Mei 1998 dan Mundurnya Soeharto

11.5.1 Demonstrasi Mahasiswa 

11.5.2 Insiden Trisakti Dan Huru-Hara Mei 1998

11.5.3 Mundurnya Soeharto 21 Mei 1998


PENUTUP

Peristiwa G30S/PKI 1965 menimbulkan konflik horizontal dalam dan luar negeri yang 

berdampak keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret dari Presiden Sukarno kepada Letjen. 

Suharto selaku Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad). 

Supersemar bertujuan agar Suharto dapat mengambil langkah cepat mengamankan negara dan 

memulihkan Kembali stabilitas keamanan. Langkah pertama yang dilakukan Suharto adalah 

menjalankan amanat Tritura dengan merangkul militer, terutama Angkatan Darat sebagai mitra

melalui dwifungsi ABRI yang ditetapkan oleh TAP MPRS XXIV/MPRS/1966. Posisi militer 

semakin kuat setelah Suharto dilantik menjadi Presiden RI tanggal 27 Maret 1968. ABRI tidak 

saja berfungsi sebagai alat pertahanan, tetapi juga menjadi bagian dalam politik dan 

pembangunan ekonomi negara. Orde Baru memperkuat sistem politik untuk membangun 

otoritarianisme melalui sentralisasi kepemimpinan, restrukturisasi birokrasi negara, 

penyederhanaan partai politik, penguatan peran Golkar, serta kontrol media yang ketat. 

Penguatan Demokrasi Pancasila dilakukan dalam seluruh lini kehidupan bangsa Indonesia, 

sementara aspek geopolitik kemaritiman dipertegas berdasarkan Deklarasi Djuanda dan 

perluasan wilayah laut (ZEE) dalam upaya menyatukan keberagaman suku bangsa yang 

tersebar di seluruh wilayah kepulauan Indonesia. 

Pengalaman sejarah masa kolonial dan peristiwa G30S/PKI juga berdampak terhadap 

kebijakan politik dalam negeri Orde Baru terutama dalam upaya membangun nasionalisme 

berbangsa dan bernegara terutama terhadap etnik Tionghoa melalui kebijakan asimilasi total. 

Di bidang budaya, seni, sastra, media, pemuda dan olahraga juga dilakukan penguatan, meski 

dalam kontrol dan batasan tertentu. Politik luar negeri menjadi fokus Orde Baru, terutama 

pemutusan hubungan politik dengan RRC sebagai dampak G30S/PKI pada tahun 1967 yang 

dipulihkan Kembali tahun 1989. Selanjutnya Orde Baru melakukan normalisasi hubungan 

dengan Malaysia dan menjadi anggota PBB kembali tahun 1966, menjalin hubungan bilateral 

dan regional dalam rangka politik dan menarik investor asing, serta berpartisipasi dalam 

menjaga perdamaian dunia. 

Stabilitas politik mendukung kelancaran proses pembangunan ekonomi nasional yang 

dirancang melalui Repelita dan disahkan oleh GBHN. Fokus Repelita I sampai V pada bidang 

pertanian, industri minyak dan industri yang mendukung sektor lainnya). Pencapaian di bidang 

pertanian membawa Indonesia berhasil mewujudkan swasembada beras pada tahun 1984. 

Fokus program ekonomi lainnya meliputi Revolusi Hijau, Revolusi Biru, industrialisasi, 

koperasi, dan penanaman modal baik dalam maupun luar negeri. Di bidang pendidikan, Orde 

Baru memperkuat nasionalisme berlandaskan ideologi Pancasila melalui mata pelajaran wajib 

Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, Bahasa Indonesia dan P4 

bagi Perguruan Tinggi. Program wajib belajar 6 tahun, pemberantasan buta huruf, hingga 

penguatan pengetahuan dan teknologi melalui Perguruan Tinggi serta lembaga-lembaga riset 

menjadi prioritas Orde Baru. Perkebangan industri dan manufaktur akhir tahun 1980-an 

membawa Indonesia memasuki era modernisasi yang berdampak terhadap perubahan sosial 

masyarakat dengan kebangkitan kelas menengah dan elit ekonomi. Pertumbuhan ekonomi 

Indonesia sejalan dengan peningkatan mutu Kesehatan masyarakat yang juga menjadi program 

penting Orde Baru dalam menekan pertumbuhan penduduk melalui program Keluarga 

Berencana. 

Dinamika politik Orde Baru diwarnai dengan berbagai reaksi konflik disintegrasi, seperti 

Organisasi Papua Merdeka dan Gerakan Aceh Merdeka. Sepanjang pemerintahan Orde Baru 

juga tidak lepas dari respon masyarakat dari berbagai lapisan, terutama terhadap 

penyimpangan-penyimpangan kebijakan yang memberi keuntungan kepada oknum tertentu di 

lingkaran kekuasaan Suharto, pelanggaran HAM, penculikan terhadap aktivis, serta maraknya 

korupsi, kolusi dan nepotisme mulai dari peristiwa Malari 1974, Petisi 50, peristiwa Tanjung 

Priok 1984, konflik agraria seperti Kedung Ombo 1985-1991, Talangsari 1989, Kasus 

Marsinah 1993, dan kasus pelanggaran HAM lainnya. 

Krisis Moneter 1997 memperburuk perekonomian Indonesia yang berdampak pada 

kesengsaraan rakyat akibat peningkatan PHK, kenaikan harga BBM dan harga sembako. 

Akumulasi dari situasi ekonomi yang semakin memburuk menyebabkan terjadi protes dan 

demonstrasi yang dimotori mahasiswa hampir di seluruh kota di Indonesia sejak awal tahun 

1998. Bentrok demonstrasi mahasiswa dengan kepolisian meluas menjadi tindak kekerasan dan 

pelanggaran HAM yang puncaknya menewaskan empat mahasiswa pada peristiwa Trisakti 12-

14 Mei 1998. Situasi tidak terkendali saat massa turun secara anarkis melakukan penjarahan 

dan pembakaran terhadap beberapa pusat perbelanjaan, rumah dan kawasan tertentu di ibukota. 

Banyak korban dari kalangan masyarakat yang bahkan tidak terindentivikasi dari peristiwa 

kelam tersebut termasuk dari kalangan etnik Tionghoa baik berupa korban kebakaran, 

kekerasan, penjarahan, maupun pelecehan seksual. Puncak ketidakpercayaan rakyat terhadap 

Pemerintahan Orde Baru adalah suara tuntutan reformasi dan Suharto mengundurkan diri sebagai presiden pada 21 Mei 1998.

Gambar SI Jilid 4

 Jilid 4 BAB I Jilid 4 BAB II