Jumat, 25 Juli 2025

Penulisan Sejarah

*Diskusi Proyek Penulisan Sejarah Resmi, Soroti Ketiadaan Peran Masyarakat*

Juli 21, 2025

©Abby/Bal

Berangkat dari keresahan terhadap penulisan ulang sejarah oleh pemerintah, pada Jumat (18-7), The Conversation Indonesia (TCID)  menggelar diskusi publik bertajuk “Untuk Siapa Sejarah Ditulis?”. Digelar secara daring, diskusi ini dihadiri oleh Adrian Perkasa, peneliti pascadoktoral di Koninklijk Instituut voor Taal –, Land – en Volkenkunde (KITLV) dan sejarawan dari Sejarah Lintas Batas (Sintas), Fijar Lazuardi. Salah satu keresahan yang diangkat dalam diskusi tersebut terkait pelibatan komunitas dan sejarawan lokal  dalam prosesnya. Hayu Rahmitasari, editor pendidikan dan kebudayaan TCID yang menjadi moderator, bertanya kepada kedua narasumber, ”Pernah nggak teman- teman sejarawan lokal dan komunitas-komunitas dilibatkan dalam penulisan buku seperti itu?”.

Menurut Fijar, tidak ada transparansi dalam internal tim penulisan sejarah karena sampai saat ini satu-satunya anggota yang dibuka ke publik hanya editor utamanya. Lebih jauh, ia beranggapan bahwa, andai komunitas nantinya dilibatkan, mereka akan tetap disetir dalam pekerjaannya karena sudah ada outline tulisan yang ditetapkan. Kemudian, perihal uji publik yang mulai dilakukan pada 20 Juli, ia menuturkan bahwa pemerintah seharusnya tidak boleh tutup telinga ketika dicecar berbagai kritik. “Ada aspirasi masyarakat yang selama ini termarginalkan, ada aspirasi korban, dan lain sebagainya yang bisa [digunakan-red] untuk masukan,” tuturnya.

Adrian menambahkan, dia sendiri merasa skeptis jika masyarakat dilibatkan dalam pengerjaan proyek yang waktunya sangat singkat. Ia kemudian mengiaskan proyek tersebut dengan Proyek Bandung Bondowoso. “Yang periode cuma empat tahun aja butuh waktu lima tahun riset dan banyak sekali keterlibatan,” tuturnya. Alih-alih mengerjakan Proyek Bandung Bondowoso, Adrian menuturkan lebih baik jika masyarakat diberikan akses terhadap proyek-proyek sejarah lokal yang lebih terlihat hasilnya.

Ia juga menyoroti permasalahan yang menjadi kecurigaan banyak kalangan, yakni pemanfaatan sejarah resmi untuk memilih beberapa orang tokoh yang ingin diangkat menjadi pahlawan. Pasalnya, editor utama, Menteri Kebudayaan, dan juga pimpinan proyek ini menjadi tim yang menilai layak atau tidaknya seseorang diajukan menjadi pahlawan nasional. Hal itu diperparah dengan kebiasaan pemerintah yang sering kali menetapkan hasil terlebih dahulu baru kemudian membuka kritik. “Nanti setelah tokoh ini jadi pahlawan nasional baru dikritik. Itu kan produk udah jadi, masa langsung dikritik,” geramnya.

Pemilihan sumber sejarah menjadi kekhawatiran tersendiri bagi Fijar. Menurutnya, jika sumber-sumber resmi saja yang dipakai, justru akan menimbulkan bias. Semangat Indonesia-sentris justru terletak pada sumber-sumber non-resmi yang bisa melawan narasi-narasi kolonial yang saklek pada sumber-sumber pengadilan. “Karena kalau sumber-sumber pengadilan yang dipakai, Pak Sartono [Kartodirjo-red] bakal menulis perlawanan para petani di Banten sebagai satu acara pemberontakan,” guraunya.

Terkait konsekuensi, Fijar menuturkan bahwa penulisan sejarah nasional dapat semakin menyempitkan narasi sejarah yang luas. “Jadi kayak hal-hal yang seharusnya penuh warna atau hal-hal yang seterusnya deliberatif menjadi semakin general,” tuturnya. Melihat ke belakang, Ia juga khawatir keprihatinan terhadap penulisan sejarah yang itu-itu saja, tidak ada temuan baru, dan akan terulang kembali. Teori datangnya Hindu dan Budha yang tidak pernah berubah sejak kemunculannya pada tahun 1946 adalah salah satu contohnya  

Memberikan pandangan lain, Adrian berpendapat bahwa sejarah resmi identik dengan kekuasaan otoriter. “Kalau ini dianggap resmi dan satu-satunya versi sejarah, itu seolah-olah kayak kitab suci,” ungkapnya. Bahkan, karena pendanaan dalam proyek ini didapat dari pemerintah, bisa saja elit ikut campur dalam prosesnya.

Penulis: Muhamad Muflihun

Penyunting: Nabeel Fayyaz

Ilustrator: Nicholas Abby


Hypereport: 

*Cerita di Balik Penulisan Ulang Sejarah Indonesia*

14 July 2025   |   18:00 WIB

Chelsea Venda

Jurnalis Hypeabis.id

Nasib ilmu pengetahuan sejarah selalu dinamis. Setiap upaya untuk merekonstruksi masa lalu nyaris tak pernah benar-benar selesai. Bahkan, sebelum tinta terakhir mengering, segeralah muncul pertanyaan-pertanyaan baru yang siap menggugatnya.

Begitulah yang juga terjadi pada proyek penulisan ulang buku Sejarah Nasional Indonesia yang didukung Kementerian Kebudayaan. Proyek ini mulanya bertujuan untuk melakukan pemutakhiran narasi sejarah Indonesia yang sudah lama tak ditulis pembaharuannya.

Buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) pertama kali diterbitkan pada tahun 1975 oleh Balai Pustaka. Edisi pemutakhiran kemudian diterbitkan beberapa kali. Indonesia juga punya buku babon serupa dalam judul Indonesia Dalam Arus Sejarah (IDAS) yang diterbitkan pada 2012. Setelah itu, nyaris tak ada lagi buku serupa.

Penulisan ulang buku Sejarah Nasional Indonesia tahun ini pun digadang-gadang jadi jawaban pemutakhiran data. Rencananya, buku ini juga akan diluncurkan sebagai kado menyambut peringatan 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus mendatang. Meski begitu, proses penyusunannya tidak berjalan tanpa sorotan. Sejumlah kontroversi pun turut menyertainya.

Ketua Tim Penulisan Ulang Sejarah Indonesia Susanto Zuhdi mengatakan rencana penulisan ulang sejarah sebenarnya sudah mengemuka sejak lima tahun lalu. Para sejarawan dan dosen dari prodi sejarah banyak yang menginginkan, atau paling tidak berangan-angan perlu menulis sejarah nasional lagi. Pertimbangannya, mulai banyak hasil disertasi dan hasil riset baru yang muncul, tetapi itu belum masuk ke dalam buku SNI.

Di luar itu, dalam konteks global, dirinya juga melihat dengan makin masifnya globalisasi ada semacam anggapan bahwa nasionalisme kita makin tergerus. Dalam konteks ini, lanjutnya, sejarah mesti muncul menjadi penjelas juga menjawab tantangan zaman. Alasan itulah yang kemudian membuat kenapa buku sejarah ini ditulis.

Dalam beberapa tahun terakhir, kebudayaan juga makin dianggap penting oleh negara. Hal ini dilihat dari dibukanya kembali Direktorat Sejarah dan terbentuknya Kementerian Kebudayaan. Susanto melihat ini sebagai gayung bersambut dan terbentuknya kerja sama Masyarakat Sejarawan Indonesia dengan pemerintah.

"Kebutuhan untuk suatu buku sejarah yang kita tulis lagi mestinya memang sudah waktunya. Karena buku sejarah terkahir itu antara 15-20 tahun lalu," katanya kepada Hypeabis.id

Susanto menjelaskan tim penulisan kemudian dibentuk. Tim ini terdiri dari 113 orang yang kebanyakan adalah dosen dari berbagai perguruan tinggi. Di kalangan dosen, katanya, project ini pun disambut antusias. Bahkan, katanya tak sedikit dosen yang bertanya mengapa dirinya tak masuk dan sebagainya.

Dalam proses penulisannya, Susanto tak menampik bahwa penulisan sejarah ini diliputi berbagai sorotan. Namun, Susanto memilih melihatnya justru dari sudut pandang lain. Sorotan publik yang besar terhadap project ini dianggapnya sebagai suatu kepedulian terhadap sejarah Indonesia yang tengah ditulis.

Sebab, menurutnya, publik tak sekadar memprotes. Beberapa lainnya justru ingin berkontribusi lebih agar tulisannya lebih lengkap. Susanto mengatakan keterlibatan masyarakat memang sangat tinggi, bahkan berbagai komunitas dan institusi aktif mengirimkan masukan dan bahan sejarah ke tim penulis. Dia pun bersyukur karena sejarah akhirnya naik daun.

“Saya hampir setiap hari dihubungi kelompok masyarakat, komunitas sejarah, budaya, dan sebagainya. Mereka itu bilang, eh jangan lupa ya, daerah saya, tokoh saya," katanya.

Menurutnya, sorotan besar terhadap buku ini berawal dari outline pertama yang bocor. Hal itu menimbulkan banyak perbincangan soal representasi dan proporsi. Namun, dirinya memastikan bahwa apa yang tersebar masih draft awal sekali dan itu kemudian terus dikembangkan ke dalam berbagai sub topik.

Isu yang makin berkembang membuat DPR turut serta berkomentar. Dia pun mencatat ada tiga rekomendasi dari Rapat Dengar Pendapat Kemenbud dengan Komisi X DPR RI pada 25 Mei 2025. Pihaknya mengapresiasi hal tersebut dan secara umum menyetujuinya. Pertama ialah jangan tergesa. Dia menerima hal itu.

Kedua, melibatkan sebanyak atau seluas mungkin masyarakat. Dia pun juga setuju dan sudah menerima masukan data dari masyarakat. Ketiga, untuk melakukan uji publik. Susanto pun juga setuju. Dia menyebut uji publik akan segera dilakukan pada akhir Juli nanti.

"Untuk di Jakarta, itu pada 23 Juli nanti di Universitas Indonesia. Kemudian, akan ada di Padang, Makassar, dan Banjarmasin," ungkapnya.

*Sejarah Tidak Selalu yang Baik-baik Saja*

Seperti namanya, Susanto mengatakan buku ini akan membahas soal sejarah yang kemudian menjadi identitas manusia-manusia Indonesia. Dimulai dari awal peradabannya, masuk ke masa kejayaan kerajaan-kerajaan, penjajahan dan trauma kolonialisme, hingga era setelah kemerdekaan. Ujung dari buku ini ialah pergantian kekuasaan dari Presiden Joko Widodo ke Presiden Prabowo Subianto.

Semua itu ditulis dengan landasan Indonesia-sentris. Sudut pandang ini bukanlah hal baru karena sudah dipelopori lama dari sejarawan Sartono Kartodirdjo. Namun, perspektifnya akan bertambah karena angle-angle pun makin beragam, termasuk soal pembangunan narasi sejarah yang lebih otonom, meski tanpa mengabaikan interaksi Indonesia dengan lintasan budaya antarbangsa lain.

"Perspektifnya juga makin beragam. Tidak hanya Jawa-centris. Kebaruannya nanti di buku ini itu ada doktor yang menulis sejarah dari zaman Portugis, yang biasanya kalau bicara sejarah itu kita langsung Belanda saja. Padahal, Portugis itu satu abad sebelum Belanda datang," jelasnya dalam diskusi Penulisan Sejarah indonesia yang digelar Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia.

Susanto mengatakan benang merah dalam sejarah ini nantinya adalah tentang Indonesia yang menjadi negara bahari. Menurutnya, unsur-unsur maritim rupanya telah membentuk sejarah Indonesia dari waktu ke waktu. Dimulai dari lukisan-lukisan perahu di gua hingga ke kehidupan modern masyarakat Indonesia sekarang.

Disadari atau tidak, kata Susanto, elemen-elemen kebaharian ini selalu muncul dalam peristiwa-peristiwa di Indonesia. Salah satu yang terbaru, Susanto mencontohkan Presiden ketujuh Indonesia, Joko Widodo yang berpasangan dengan Jusuf Kala pernah menyampaikan visi misinya di atas kapal Pinisi di Tanjung Priok dan menyatakan ingin mengembalikan kejayaan di laut.

Baginya, itu bagian dari potret pemikiran kolektif yang masih terbentuk hingga sekarang. Di luar itu, pihaknya juga memastikan bahwa sejarah yang akan ditulis ini tidak hanya yang baik-baik saja.

Susanto mencontohkan ideologi Nasakom, yakni Nasionalisme, Agama, dan Komunisme yang pernah menjadi tiga kekuatan besar bangsa, tetapi kemudian satu harus tanggal dalam sejarahnya. Hal tersebut akan muncul di dalam penulisan sekitar 1965.

Kemudian, masalah korupsi hingga isu HAM juga akan hadir. "Isu-isu akan tampil supaya kita tidak yang baik-baik saja. Apa pun mari kita lihat siapa kita dalam perjalanan sejarah yang panjang itu," katanya.

Susanto memastikan bahwa dalam penulisan buku ini, pemerintah sama sekali tidak cawe-cawe. Menurutnya, para penulis sama sekali tidak diberi perintah untuk menulis topik ini atau menghilangkan topik itu. Semua berjalan sesuai dengan koridor penulisan buku sejarah.

Terkait dengan ucapan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang kerap jadi sorotan, Susanto meminta publik untuk lebih jeli melihatnya. Dalam artian, posisi seseorang kerap tidak tunggal. Dia menyebut Fadli Zon punya empat sisi, pertama dia sebagai sejarawan yang mana berdebat itu hal biasa, kedua sebagai birokrat, ketiga sebagai politisi yang mana banyak musuhnya, dan keempat sebagai aktivis.

"Kita harus pilah-pilah. Kami juga enggak setuju pada menteri soal pemerkosaan. Apakah kami tidak menulis, kami menulis, dan beliau juga tidak mengatakan tidak boleh ditulis," imbuhnya.

Sementara itu, editor jilid Cecep Eka Permana mengatakan naskah buku ini umumnya bukan didasarkan pada penulisan ulang. Buku ini lebih tepat disebut dengan pemutakhiran. Oleh karena itu, naskah buku ini tidak mengulang apa yang sudah ditulis di SNI maupun IDAS, kecuali sebagai pengantar tiap topik yang dibicarakan.

Dengan demikian, naskah buku ini tidak menafikan keberadaan SNI dan IDAS yang sudah lengkap sesuai tema dan masanya. Cecep menjelaskan buku ini nantinya akan bersifat tematis, seperti IDAS. Hal inilah yang membedakannya dari buku SNI terdahulu. Namun, di dalam setiap topik, tetap penyampaiannya dilakukan secara kronologis.

"Perbedaan lain adalah sumber referensi yang digunakan adalah setelah penulisan SNI dan IDAS," imbuhnya.

Menurut saran dari DPR, buku ini nanti juga tidak menggunakan istilah Sejarah Resmi Indonesia agar selalu terbuka untuk ruang diskusi dan penulisan sejarah lebih dinamis. Cecep mengatakan proses penulisan buku ini secara kuantitatif rata-rata sudah mencapai 80 persen.

*Menulis Sejarah dengan Prinsip*

Sejarawan JJ Rizal mengatakan proyek penulisan ulang sejarah Indonesia mestinya jadi hal yang dirayakan bersama. Sebab, ada kepedulian lebih dari negara untuk kembali menengok sejarahnya. Sayangnya, harapan itu pupus dan yang terjadi justru sebaliknya.

"Kita tetap harus rasional ya, bahwa proyek penulisan ulang sejarah nasional ini aspek keseriusannya harus dipertanyakan gitu, seserius apa dengan sejarah nasional kita," ungkap JJ Rizal.

Dirinya menyoroti persoalan waktu yang cukup singkat lantaran harus mengejar momen, yakni pada saat HUT ke-80 Republik Indonesia. Padahal, penulisan buku sejarah semestinya diberi keleluasan waktu agar isinya lebih berbobot.

Selain itu, JJ juga menyoroti perihal dana penulisan ulang buku ini yang hanya Rp9 miliar, yang mana itu dinilainya masih terlalu minim. "Kita harus melihat proyek ini sebagai proyek bagaimana pemerintah sebenarnya enggak peduli terhadap sejarah Indonesia. Jadi, enggak perlu ditanggapin terlalu serius, karena mereka juga enggak serius," imbuhnya.

JJ mengatakan bahwa menulis sejarah bangsa itu harus punya prinsip. Jika menilik ke belakang, satu prinsip yang mesti diusung bersama ialah perihal nasionalisme. Prinsip ini kemudian jadi dasar bagaimana cara pandang baru kita melihat ke sejarah.

Hal itu bisa dimulai dengan diurai terlebih dahulu bagaimana nasionalisme terbentuk di masa lalu, kemudian perkembangan pada hari ini. Misalnya, inti dari nasionalisme itu kan kemanusiaan.

"Terus, kalau cerita tentang korban di perkebunan, di laut, belum lagi korban HAM itu enggak ada, ya gimana. Itu kan sama saja dengan sejarah kolonial yang menutupi semua," jelasnya.

JJ mengatakan kolonialisme itu bisa berupa apa saja, misalnya tentang eksploitasi ekologi. Namun, jika di buku kemudian itu dihilangkan, bagian kerusakan ekologi ditiadakan, maka berpotensi menjadi problematik.

Editor: Nirmala Aninda


Hypereport: 

*Hal-hal yang Direvisi dalam Buku Sejarah Nasional Terbaru*

14 July 2025   |   17:05 WIB

Luke Andaresta

Jurnalis Hypeabis.id

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kebudayaan tengah menggarap proyek penulisan ulang sejarah Nasional. Proyek ini ditargetkan rampung dan akan secara resmi diluncurkan pada 17 Agustus 2025, bertepatan dengan perayaan 80 tahun kemerdekaan Indonesia.

Penulisan ulang sejarah nasional ini didasarkan pada anggapan bahwa dibutuhkan pemutakhiran sejarah, sebagaimana dikutip dari draft Kerangka Konsep Penulisan Sejarah Indonesia per 16 Januari 2025. Selama ini, telah terbit dua buku "sejarah resmi" yang disusun oleh pemerintah yakni Sejarah Nasional Indonesia sebanyak 6 jilid, dan Indonesia Dalam Arus Sejarah sebanyak 8 jilid.

Seri buku Sejarah Nasional Indonesia terbit pertama kali tahun 1977 dan terakhir 1984, sementara seri buku Indonesia Dalam Arus Sejarah diterbitkan pada 2012 meski proses penggarapannya dimulai tahun 2002.

Setelah dua dekade lebih, telah banyak karya tulis sejarah seperti disertasi dan tesis dari sejarawan Indonesia, yang memuat temuan baru berupa fakta, interpretasi dan perspektif yang memperkaya sejarah Indonesia.

Atas dasar itulah, maka dianggap perlu dan segera untuk menulis kembali perjalanan sejarah Indonesia dalam suatu buku resmi (official history), yang didanai oleh Kementerian Kebudayaan bekerja sama dengan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI).

"Tujuan penulisan ini untuk menghasilkan buku yang merupakan sejarah resmi [official history] dengan orientasi dan kepentingan nasional, untuk meningkatkan rasa kebangsaan [nasionalisme] dan cinta Tanah Air tanpa bersifat nasionalistik," demikian tulis dokumen kerangka tersebut.

Buku Sejarah Indonesia yang disusun akan terdiri dari 11 jilid yang disusun oleh 113 penulis. Mereka terdiri dari sejarawan, akademisi sejarah, arkeolog, ahli arsitektur dan geografi hingga ilmuwan humaniora lainnya dari 34 perguruan tinggi dan 8 institusi. Adapun, dilibatkan juga sebanyak 20 editor jilid dan 3 editor umum untuk menyusun buku tersebut.

Lantas, apa saja perubahan atau revisi yang akan tersaji dalam buku Sejarah Nasional terbaru? Berikut adalah informasinya.

*1. Hadir Sebanyak 11 Jilid*

Berbeda dengan dua buku seri sejarah pendahulunya, Sejarah Nasional Indonesia sebanyak 6 jilid dan Indonesia Dalam Arus Sejarah sebanyak 8 jilid, buku sejarah Nasional terbaru akan hadir dalam 11 jilid mencakup:

Sejarah Awal Nusantara

Nusantara dalam Jaringan Global: India dan China

Nusantara dalam Jaringan Global: Timur Tengah

Interaksi dengan Barat: Kompetisi dan Aliansi

Respons Terhadap Penjajahan

Pergerakan Kebangsaan

Perang Kemerdekaan Indonesia

Masa Bergejolak dan Ancaman Integrasi

Orde Baru (1967-1998)

Era Reformasi (1999-2024)

Faktaneka dan Indeks

Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon menjelaskan terdapat beberapa pembaruan dalam tiap jilid yang akan disajikan di buku sejarah Nasional, berdasarkan temuan-temuan dari para akademisi. Misalnya di jilid Nusantara dalam Jaringan Global: Timur Tengah, akan dimasukkan beberapa temuan baru terkait masuknya Islam ke Indonesia dengan ditemukannya Situs Bongal beberapa tahun lalu di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.

"Ternyata Islam masuk lebih awal. Di catatan sejarah kita [saat ini], Islam masuk pada abad ke-13, tetapi dengan adanya temuan-temuan di Situs Bongal, ternyata Islam masuk lebih awal pada abad ke-7 masehi atau awal abad Hijriah," katanya dalam rapat dengan Komisi X DPR RI, belum lama ini.

Perubahan lainnya juga terdapat pada jilid Perang Kemerdekaan Indonesia. Fadli mengatakan dalam buku sejarah versi perspektif Belanda, era tahun 1945-1950 disebut sebagai revolusi. Tapi, dalam perspektif Indonesia adalah perang mempertahankan kemerdekaan.  

*2. Istilah Prasejarah Berubah Menjadi Sejarah Awal*

Fadli juga menjelaskan bahwa pihaknya akan mengubah istilah 'prasejarah' yang selama ini tertulis dalam buku-buku sejarah nasional. Menurutnya, prasejarah merupakan istilah yang selama ini sudah baku dalam bidang arkeologi, yang seiring waktu memunculkan perdebatan antara penggunaan istilah prasejarah atau sejarah awal (early history).

Dia menuturkan penggunaan istilah prasejarah dalam buku-buku sejarah menciptakan anggapan bahwa sejarah Indonesia dimulai sejak abad ke-4 ketika adanya tradisi tulis-menulis dalam bentuk prasasti. Terlebih, katanya, prasejarah merupakan istilah yang dibuat oleh para pemikir Belanda. 

"Kita ingin mengembalikan istilah kepada early history [sejarah awal]. Sejarah awal itu dimulai dari 1,8 juta tahun yang lalu, yaitu dari penemuan Pitecantropus Erectus, Homo Erectus, yang ternyata jumlahnya dalam temuan terakhir setelah dikompilasi mencapai 50 persen-60 persen, jumlah Homo Erectus yang ada di dunia itu ditemukan itu di Nusantara. Sehingga bisa dikatakan Indonesia adalah salah satu peradaban tertua di dunia," paparnya. 

*3. Tekankan Perspektif Indonesia-Sentris*

Hal lain yang menjadi unsur pembaru dalam buku sejarah Nasional yang tengah disusun ialah ditulis dengan menekankan perspektif Indonesia-Sentris. Fadli menjelaskan hal ini menjadi penting lantaran selama ini seri buku sejarah yang pernah diterbitkan pada masa Hindia Belanda, yakni Geschiedenis Van Nederlandsch Indie karya F.W. Stapel, kerap dijadikan rujukan.

Padahal, menurutnya, buku yang terbit pada 1939-1940 sebanyak 5 jilid itu disusun oleh pemerintah kolonial, sehingga dinilai telah melahirkan historiografi kolonial, yang membuat pilihan fakta sejarah dan perspektif yang digunakan sesuai dengan kepentingan kolonialisme. Demikian juga penokohannya, lebih menonjolkan tokoh-tokoh kolonial, sementara tokoh-tokoh pribumi hanya sebagai pemeran pelengkap.

Fadli memberikan contoh, dalam buku tersebut tidak menceritakan Belanda menjajah Indonesia, tetapi tentang berdirinya United East Hindia Company, perusahaan Hindia Belanda Timur, lalu kemudian Republik Baataf, penjelasan aspek sejarah Hindia Belanda, termasuk periode kolonial dan perkembangan politik masa itu. Tidak ada cerita bahwa Belanda menjajah Indonesia.

Selain itu, buku sejarah Nasional yang baru juga hendak melanjutkan perspektif Indonesia-Sentris yang telah dibangun oleh seri buku Sejarah Nasional Indonesia, seiring upaya dekolonisasi historiografi. Hal itu membuat terciptanya historiografi nasionalistis yang membalikkan dari perspektif kolonial ke perspektif nasional.

"Itu adalah buku lima jilid yang ditulis oleh pihak Belanda, yang dipakai sampai tahun 1950-an. Tentu versi kolonialis, perspektifnya kolonialis. Nah, yang ingin kita buat dan perbarui adalah Indonesia-Sentris, jadi perspektif Indonesia. Yang ingin kita buat ini adalah sejarah versi Indonesia," ucapnya.

*4. Ditulis dengan "Nada" Positif*

Selain disusun dengan perspektif Indonesia-Sentris, buku sejarah Nasional juga ditulis dengan tone atau nada yang lebih netral dan positif. Terutama, narasi sejarah terkait jasa para tokoh pemimpin bangsa yang diharapkan bisa lebih netral dan positif, mulai dari era kepimpinan Presiden ke-1 RI Sukarno hingga Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi).

"Ini [sejarah nasional] akan berhenti hingga pelantikan Presiden Prabowo, dan tone yang akan kita harapkan lebih netral dan positif. Setiap pemimpin bangsa itu pasti ada kebaikan dan kekurangan, tetapi yang kita harapkan tone-nya itu lebih netral dan positif," ujar Fadli.

*5. Tidak Detail & Dari Nol*

Fadli menegaskan penulisan ulang sejarah nasional tidak dilakukan dari nol atau tanpa acuan buku sejarah sebelumnya. Buku yang sedang disusun akan menjadikan literatur sejarah sebelumnya seperti seri buku Indonesia dalam Arus Sejarah sebanyak 8 jilid, serta Sejarah Nasional Indonesia sebanyak 6 jilid, sebagai salah satu acuan utamanya. Adapun, buku seri sejarah Geschiedenis Van Nederlandsch Indie karya F.W. Stapel tidak dijadikan acuan.

Adapun, sejarah yang akan ditulis lebih bersifat garis besar (highlight), alih-alih disajikan secara detail. Buku sejarah Nasional mendatang akan menghadirkan narasi sejarah secara garis besar (highlight) dari berbagai aspek kehidupan mulai dari aspek politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain sebagainya.

"Sejarah yang ditulis ini adalah sejarah yang sifatnya highlight, garis besar. Tidak menulis secara terlalu detail. Jadi kita tentu saja tidak bisa menuliskan sejarah itu secara keseluruhan detail. Jadi sepuluh jilid itu hanyalah highlight. Karena kalau terlalu detail mungkin kita memerlukan lebih dari 100 jilid," ucap Fadli.

Editor: Nirmala Aninda

 

*Fadli Zon Janji Penulisan Sejarah Nasional Lebih Terbuka & Berbasis Temuan Baru*

03 July 2025   |   07:00 WIB

Prasetyo Agung Ginanjar

Jurnalis Hypeabis.id

Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, menegaskan komitmennya untuk membuka lembaran baru dalam penulisan sejarah nasional Indonesia. Penegasan itu dia sampaikan saat menghadiri Rapat Kerja bersama Komisi X DPR RI di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Jakarta.

Fadli mengatakan bahwa program penulisan sejarah nasional bukanlah gagasan baru, melainkan kelanjutan dari upaya memperbarui narasi sejarah Indonesia yang selama ini stagnan. Menurutnya, sudah lebih dari dua dekade, tidak ada pembaruan signifikan pada buku sejarah nasional resmi sejak masa pemerintahan Presiden BJ Habibie.

“Dalam waktu dekat, tentu akan kita lakukan uji publik karena penulisan sejarah ini sangat terbuka untuk didiskusikan,” ujar Menteri Fadli Zon di hadapan para anggota dewan pada Rabu (2/7/25).

Lebih lanjut, Fadli menjelaskan bahwa penulisan ulang sejarah adalah langkah strategis untuk merawat identitas bangsa di tengah derasnya arus globalisasi. Menurutnya, sejarah tidak hanya catatan masa lalu, tetapi juga pondasi agar generasi muda memahami jati diri bangsanya sendiri.

“Sejarah ini penting dan merupakan identitas bangsa dan penulisan sejarah ini menjadi momentum yang tepat untuk mengedukasi generasi muda supaya jangan lupa akan sejarah dan sejarah sebagai jati diri bangsa di tengah arus globalisasi yang kuat,” tegasnya.

Dalam prosesnya, Fadli menegaskan sejarah Indonesia akan ditulis dengan perspektif Indonesia sentris, artinya berfokus pada kepentingan nasional dan keberpihakan pada perjuangan rakyat. Sebagai contoh, pada periode kolonialisme, sorotan utama bukan pada lamanya penjajahan, tetapi pada upaya perlawanan rakyat Indonesia melawan penindasan.

Selain itu, narasi baru ini juga akan diperkaya dengan temuan-temuan arkeologi terbaru yang menunjukkan betapa panjangnya jejak peradaban Nusantara. Momen ini, paparnya, juga menegaskan bahwa jejak sejarah Indonesia bahkan bisa ditarik mundur hingga 1,8 juta tahun silam, berdasarkan artefak-artefak yang ditemukan para arkeolog.

“Awal sejarah peradaban Indonesia dan berbagai temuan arkeologis terbaru juga ingin kita masukkan ke dalam penulisan sejarah ini [...] sehingga kita bisa menjadi salah satu peradaban tertua di dunia yang memang diakui oleh dunia internasional,” imbuhnya.

Menbud juga menanggapi isu yang hangat di ruang publik soal diksi “pemerkosaan massal” dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998. Dia menegaskan tidak pernah menafikan peristiwa kelam tersebut, tetapi mengaku punya pandangan berbeda terkait penggunaan istilah “massal” yang baginya bermakna terstruktur dan sistematis.

“Massal itu sangat identik dengan terstruktur dan sistematis. Di Nanjing, korbannya diperkirakan 100.000 sampai 200.000, di Bosnia 30.000 sampai 50.000. Nah, di kita, saya tidak menegasikan bahwa itu terjadi, dan saya mengutuk dengan keras,” kata Fadli.

Lebih lanjut dia menegaskan bahwa pendapatnya soal diksi tersebut adalah pandangan pribadi, dan tidak akan memengaruhi isi penulisan sejarah resmi. Dia pun memastikan proses penulisan sejarah nasional akan dilakukan secara akademis, melibatkan para sejarawan kredibel, dan bebas intervensi.

Namun, selain merevisi narasi sejarah kelam, Fadli juga menekankan perlunya tone positif dalam penulisan sejarah ke depan. Dia berharap penulisan sejarah tidak hanya fokus pada konflik, tetapi juga menyoroti capaian dan kebanggaan Indonesia di kancah global agar dapat menumbuhkan optimisme dan kepercayaan diri generasi muda.

"Kita berharap penulisan sejarah ini akan menjadi pemersatu bangsa dan jangan sampai kita terpengaruh oleh narasi luar yang dapat memecah belah bangsa. Semoga kita dapat segera melakukan uji publik sebagai bentuk keterbukaan kita kepada masyarakat,” jelasnya.

Editor: Nirmala Aninda


*Tangis Pecah di DPR Saat Fadli Zon Bahas Luka Pemerkosaan Mei 1998*

02 July 2025   |   20:30 WIB

Chelsea Venda

Jurnalis Hypeabis.id

Suasana rapat kerja Komisi X DPR RI bersama Menteri Kebudayaan Fadli Zon pada Rabu (2/7/2025), mendadak berubah menjadi penuh emosi dan ketegangan. Wakil Ketua Komisi X, Maria Yohana Esti Wijayati, dan anggota komisi X lainnya, Mercy Chriesty Barends, tampak tak kuasa menahan tangisnya saat menyampaikan interupsi.

Pernyataan Fadli Zon yang tetap mempertanyakan penggunaan istilah "pemerkosaan massal" dalam konteks Tragedi Mei 1998. Esti mengatakan  bahwa penjelasan Fadli Zon terasa terlalu teoritis dan jauh dari empati terhadap para korban. 

Menurut Esti, sikap seperti itu justru berpotensi melukai kembali mereka yang telah mengalami trauma mendalam sejak dua dekade lalu. "Semakin Pak Fadli berbicara, semakin terasa sakit mendalam yang saya rasakan sebagai perempuan, sebagai sesama manusia. Ini menunjukkan bahwa beliau tidak memahami luka batin para korban," ujarnya

Senada, Mercy juga menyampaikan kekecewaannya sembari menangis. Ia mendesak agar Fadli Zon segera meminta maaf secara terbuka atas sikap dan narasi yang dinilainya minim empati.

Mercy menegaskan bahwa mempertanyakan diksi “massal” dalam kasus pemerkosaan 1998 adalah hal yang tak dapat diterima, sebab jumlah korban diketahui lebih dari satu. 

Baginya, itu sudah cukup kuat untuk mengafirmasi istilah tersebut secara sahih. Mercy mengatakan data lengkap tak dipublikasikan secara luas karena menyangkut harkat dan martabat korban, bukan berarti peristiwa itu bisa disangkal.

Mercy sendiri mengaku terlibat langsung dalam kerja-kerja Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) bersama Komnas Perempuan pada 1999-2002, terutama untuk mendalami kerusuhan yang terjadi di wilayah Maluku.

Mercy pun mempersilakan Fadli Zon untuk langsung mengecek ke Komnas Perempuan, jika meragukan laporan kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998. Dirinya juga menyerahkan dokumen resmi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) terkait kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998.

Dirinya berharap dokumen yang diserahkan dapat menjadi bahan pertimbangan Fadli Zon dalam menyusun ulang sejarah nasional.

Di tengah suasana haru, Menteri Kebudayaan Fadli Zon akhirnya menyampaikan permintaan maaf apabila pernyataannya dianggap menyakitkan atau tidak sensitif terhadap penderitaan korban. Dia menegaskan bahwa pandangannya sebelumnya bersifat pribadi. 

Dirinya pun mengaku jadi pihak yang mengecam segala bentuk kekerasan seksual, termasuk yang terjadi pada Mei 1998. Namun, Fadli mengaku masih menyangsikan diksi massal pada peristiwa tersebut.

“Saya minta maaf kalau dianggap tidak sensitif, tapi saya sekali lagi dalam posisi yang mengutuk dan mengecam itu juga. Cuma secara spesifik tadi kalau ada perbedaan terkait diksi 'massal' yang menurut saya pendapat pribadi, harus lebih teliti lagi ke depan supaya lebih akurat,” ujar Fadli.

Fadli juga menyampaikan perlunya dokumentasi sejarah yang lebih sistematis dan terverifikasi agar kejadian-kejadian seperti ini dapat tercatat secara akurat dan tidak menjadi sumber perpecahan.

Dia membandingkan hal ini dengan kasus Tragedi Trisakti yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan fakta yang tidak terbantahkan. Dia menilai bahwa kejelasan hukum akan membantu memperkuat legitimasi sejarah.

Menurutnya, dokumentasi itu penting supaya kita tidak keliru dalam menyusun narasi sejarah. Bukan untuk menutupi atau mengaburkan, tapi agar berdiri di atas fakta yang bisa diuji secara hukum.

Fadli menambahkan bahwa tidak ada maksud untuk mereduksi sejarah atau menyangkal penderitaan korban. Menurutnya, jika ada pelaku yang bisa diidentifikasi secara hukum, maka mereka harus diadili.

Meski telah menyampaikan klarifikasi dan permintaan maaf, pernyataan Fadli Zon tetap menyisakan kekecewaan mendalam di ruang rapat Komisi X. Momen tersebut menjadi penanda bahwa luka sejarah, terutama yang menyangkut kekerasan terhadap perempuan, masih sangat hidup dalam ingatan kolektif bangsa, dan kehati-hatian serta empati dalam membicarakan masa lalu adalah hal yang tak bisa ditawar.

Editor: Nirmala Aninda


*5 Kejanggalan Penyusunan Buku Sejarah Nasional Indonesia Diungkap Peneliti Truman Simanjuntak*

18 June 2025   |   16:02 WIB

Chelsea Venda

Jurnalis Hypeabis.id

Buku Sejarah Nasional Indonesia yang sedang dalam proses pemutakhiran, terus menuai sorotan tajam dari kalangan akademisi. Terbaru, salah satunya datang dari Truman Simanjuntak, arkeolog dan ahli prasejarah senior yang terlibat dalam tahap awal penyusunan buku, tetapi kini telah mengundurkan diri.

Keterlibatan Prof. Truman dalam penyusunan buku ini berawal dari ajakan langsung sejak tahap persiapan. Dia mengaku ‘dieret-eret’ untuk bergabung ke dalam tim. Akhirnya dia menyetujuinya.

Pada awalnya, dirinya cukup menyambut baik proyek tersebut. Truman bercerita bahwa saat rapat-rapat awal penyusunan telah dimulai sejak akhir November dan berlanjut ke Desember 2024. Lalu pada Januari 2025, tim mulai memasuki tahap konsepsi.

Optimisme Truman muncul karena ada janji bahwa proyek itu bertujuan memutakhirkan data, terutama dalam bidang prasejarah yang selama dua dekade terakhir mengalami banyak perkembangan.

“Saya senang, bahkan ingin bantu sepenuhnya. Karena saya lihat editor menyampaikan buku ini untuk update data, dan itu saya sangat setuju,” ungkapnya dalam diskusi luring bertajuk Prasejarah Bukan Sejarah yang digelar Center For Prehistory and Austronesian Studies (CPAS).

Menurut Truman, dalam bidang prasejarah, memang ada banyak sekali temuan baru. Dia pun menyambut baik jika temuan-temuan itu bisa masuk ke dalam buku tersebut. 

Sebab, penemuan baru di bidang prasejarah selalu punya dampak besar. Sebab, penemuan ini tidak hanya menambah pengetahuan faktual, tetapi juga menggugah lahirnya pandangan-pandangan baru atau bahkan membongkar pemahaman lama.

Namun, seiring jalannya proses, Truman mencatat ada banyak kejanggalan yang muncul. Setidaknya, lanjutnya, ada lima hal yang tidak lazim muncul dalam penyusunan buku ini.

Pertama, soal target penyusunan yang terlalu cepat dan tidak realistis. Truman menyayangkan bahwa proses penyusunan ulang Buku Sejarah Nasional Indonesia dikejar tenggat hanya dalam waktu sekitar lima bulan, yakni dari Januari hingga Juni.

Menurutnya, target itu tidak sepadan dengan kompleksitas dan tanggung jawab akademik dalam menyusun buku sejarah berskala nasional. Dia pun membandingkannya dengan proyek buku Indonesia dalam Arus Sejarah (IDAS) yang disusun selama sepuluh tahun penuh (2002–2012).

“Bukan main. Kita yang sudah biasa menulis buku sejarah bisa butuh waktu bertahun-tahun,” ujar Truman.

Kedua, adanya dugaan intervensi penguasa dalam konsepsi ilmiah. Truman menjelaskan bahwa kejanggalan ini telah menyentuh integritas independensi akademik.

Dengan demikian, penulisan buku tidak tumbuh dari semangat akademik yang bebas, melainkan dirancang oleh editor umum berdasarkan arahan langsung dari pejabat negara.

“Konsepsi penulisan buku itu disusun editor umum arahan penguasa. Saya masih ingat ketika rapat persiapan pertama di akhir November. Menteri ada di rapat itu. Lalu, bahkan di bulan Januari masih perlu lagi mengarahkan tim editor dalam suatu rapat di sore hari. Janganlah menyusun konsepsi itu di bawah arahan penguasa,” tuturnya.

Menurutnya, wilayah keilmuan yang seharusnya steril dari pengaruh luar. Truman juga mengkritik penyusunan buku ini tidak didahului oleh diskusi akademik yang terbuka seperti seminar atau lokakarya.

Alih-alih menjaring pemikiran dari para ahli lintas bidang, penyusunan hanya didasarkan pada rapat-rapat terbatas. Truman menilai hal ini sebagai bentuk pelemahan proses verifikasi ilmiah.

Ketiga, arkeolog ternama ini juga mengkritik perihal aspek metodologis, terutama di bab prasejarah. Dia menyebut outline atau kerangka jilid tentang prasejarah justru ditulis oleh sejarawan, bukan prasejarawan.

“Mestinya yang menyusun outline itu orang-orang yang ahli di bidang itu, bukan ahli lain. Itu sangat logis. Dalam bahasa Batak ini disebut marambalangan, atau kacau balau semua nanti,” imbuhnya.

Penerima Sarwono Awards 2015 ini juga menilai hal tersebut menyebabkan konten yang direduksi secara signifikan serta banyaknya kekeliruan dalam struktur dan alur pikir. Selain itu, penyusunan seperti ini dapat mengakibatkan kemunduran narasi yang sudah berkembang dalam penelitian arkeologi modern.

Keempat, kejanggalan yang paling memantik perdebatan adalah keputusan mengganti istilah prasejarah menjadi sejarah awal. Truman dengan tegas menolak istilah tersebut karena bertentangan dengan kerangka ilmiah yang telah mapan.

Menurutnya, perubahan istilah itu bukan sekadar semantik, melainkan membawa konsekuensi epistemologis yang serius. Sebab, ini menyangkut bidang keilmuwan dan cara berpikir yang jelas-jelas berbeda antara sejarawan dan prasejarawan. Hal ini karena Studi prasejarah pun memiliki metode dan pendekatan sendiri.

Kelima, kritik Truman berkaitan dengan narasi “Indonesia-sentris” yang cenderung glorifikatif dan tidak obyektif. Dia mengingatkan bahwa dalam ilmu pengetahuan, kebenaran tidak boleh disaring melalui lensa politik atau kebanggaan nasional berlebihan.

“Kalau salah ya katakan salah. Kalau hebat ya puji. Tapi kalau tidak, jangan direkayasa,” tegasnya.

Truman mengingatkan agar narasi akademik tidak dicemari bahasa politik yang bombastis dan penuh sensasi. Sebab, ada konsekuensi besar yang menanti. “Jangan ngarang. Sekali Anda mengarang, Anda tak akan dipercaya lagi seumur hidup,” pungkasnya.

Editor: Fajar Sidik


*Penulisan Ulang Sejarah Nasional Tekankan Perspektif Indonesia-Sentris dengan Tone Positif*

09 June 2025   |   20:02 WIB

Luke Andaresta

Jurnalis Hypeabis.id

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kebudayaan tengah menggarap proyek penulisan ulang sejarah nasional. Narasi sejarah nasional pun ditulis menggunakan perspektif Indonesia-Sentris untuk menghapus bias kolonial, sekaligus disampaikan dengan nada (tone) yang positif guna menyampaikan capaian-capaian para pemimpin bangsa.

Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon mengatakan tone atau nada dari narasi hasil penulisan ulang sejarah nasional diharapkan bisa lebih netral dan positif. Terutama, narasi sejarah terkait jasa para tokoh pemimpin bangsa yang diharapkan bisa lebih netral dan positif, mulai dari era kepimpinan Presiden ke-1 RI Sukarno hingga Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi).

"Ini [sejarah nasional] akan berhenti hingga pelantikan Presiden Prabowo, dan tone yang akan kita harapkan lebih netral dan positif. Setiap pemimpin bangsa itu pasti ada kebaikan dan kekurangan, tetapi yang kita harapkan tone-nya itu lebih netral dan positif," kata Fadli dalam Rapat Komisi X DPR RI, Senin (26/5/2025).

Selain mengusung narasi dengan nada yang lebih netral dan positif, penulisan ulang sejarah nasional juga dilakukan menggunakan perspektif Indonesia-Sentris untuk menghilangkan bias kolonial. Menurut Fadli, sejarah yang ditulis menggunakan perspektif kolonial akan sangat berbeda dengan yang ditulis ulang dengan sudut pandang Indonesia-Sentris.

Dalam hal ini, Fadli menyoroti seri buku sejarah yang pernah diterbitkan pada masa Hindia Belanda, yakni Geschiedenis Van Nederlandsch Indie karya F.W. Stapel. Buku yang terdiri dari beberapa volume itu terbit pada 1939-1940 oleh Joost van den Vondel di Amsterdam.

Buku yang disusun oleh pemerintah kolonial tersebut dinilai telah melahirkan historiografi kolonial, sehingga pilihan fakta sejarah dan perspektif yang digunakan sesuai dengan kepentingan kolonialisme. Demikian juga penokohannya, lebih menonjolkan tokoh-tokoh kolonial, sementara tokoh-tokoh pribumi hanya sebagai pemeran pelengkap.

"[Sejarah nasional] yang ingin kita buat ini adalah sejarah versi Indonesia, jadi Indonesia-Sentris atau perspektif Indonesia. Dalam perspektif Indonesia, saya kira aktor-aktor [sejarah]-nya juga tentu akan berbeda, dan inilah yang ingin ditulis," ucap Fadli.

Dalam paparannya, Fadli menjelaskan bahwa Buku Sejarah Indonesia yan disusun akan terdiri dari 11 Jilid, mencakup Sejarah Awal Nusantara, Nusantara dalam Jaringan Global: India dan China, Nusantara dalam Jaringan Global: Timur Tengah, Interaksi dengan Barat: Kompetisi dan Aliansi, dan Respons Terhadap Penjajahan.

Termasuk, Pergerakan Kebangsaan, Perang Kemerdekaan Indonesia, Masa Bergejolak dan Ancaman Integrasi, Orde Baru (1967-1998), Era Reformasi (1999-2024), dan Faktaneka dan Indeks. "Itu merupakan konsep yang ditulis oleh para sejarawan dan tentu kita berikan semaksimal mungkin kebebasan untuk menulis ini, sesuai dengan kompetensi keilmuan masing-masing," kata Fadli.

Buku Sejarah Indonesia terbaru disusun oleh 113 penulis yang terdiri dari sejarawan, akademisi sejarah, arkeolog, ahli arsitektur dan geografi hingga ilmuwan humaniora lainnya dari 34 perguruan tinggi dan 8 institusi. Adapun, dilibatkan juga sebanyak 20 editor jilid dan 3 editor umum untuk menyusun buku tersebut.

"Secara gender [penulis] juga ada laki-laki dan perempuan, dan supaya tidak bias dari daerah tertentu, ini juga tim penulis dari Aceh sampai Papua ada," ucapnya.

Fadli menegaskan penulisan ulang sejarah nasional tidak dilakukan dari nol atau tanpa acuan buku sejarah sebelumnya. Buku yang sedang disusun akan menjadikan literatur sejarah sebelumnya seperti Indonesia dalam Arus Sejarah sebanyak 8 jilid, serta Sejarah Nasional Indonesia sebanyak 6 jilid, sebagai salah satu acuan utamanya.

Adapun, sejarah yang akan ditulis lebih bersifat garis besar (highlight), alih-alih disajikan secara detail. "Ini mengungkap secara garis besar [highlight] aspek kehidupan dari aspek politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain sebagainya. Tapi yang ingin kita tegakkan adalah perspektif Indonesia-Sentris-nya," imbuhnya.

Fadli juga memaparkan ada sejumlah hal yang menjadi urgensi dari penulisan ulang sejarah nasional, yakni menghapus bias kolonial dan menegaskan perspektif Indonesia-Sentris, menjawab tantangan kekinian dan globalisasi, membentuk identitas nasional yang kuat, menegaskan otonomi sejarah/sejarah otonom, relevansi untuk generasi muda, dan reinventing Indonesian Identity.

Dia menambahkan sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, tetapi dalam konteks Indonesia, sejarah telah menjadi jembatan yang menghubungkan identitas nasional, kebijakan politik, dan perjuangan kolektif. 

Selain itu, masih ada narasi sejarah yang belum sepenuhnya terbebas dari perspektif kolonial, kurang menjawab tantangan kekinian dan globalisasi, sehingga seringkali dipandang kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat modern terutama generasi muda. "Kita terakhir menulis sejarah itu 25 tahun yang lalu, dan belum pernah ada lagi penulisan [sejarah]," katanya.

Editor: Fajar Sidik


*Penulisan Ulang Sejarah Nasional Rampung 70 Persen Disesuaikan dengan Temuan Terbaru*

21 May 2025   |   08:00 WIB

Prasetyo Agung Ginanjar

Jurnalis Hypeabis.id

Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Kebudayaan, berencana menerbitkan 'buku babon' sejarah nasional. Langkah ini digagas untuk memperbarui kajian buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) sebagai bagian dari peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia yang jatuh pada Agustus mendatang.

Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengatakan, tujuan dari penulisan buku ini adalah untuk memperbarui narasi sejarah nasional dari era prasejarah hingga kontemporer, dengan mengintegrasikan temuan-temuan baru, dari fakta yang ada di lapangan.

Menurutnya, pembuatan buku ini dilakukan untuk memperbarui buku sejarah terakhir yang diterbitkan pada 2012, Indonesia Dalam Arus Sejarah (IDAS), serta melanjutkan warisan karya sebelumnya, yakni Sejarah Nasional Indonesia dari era 1980-an.

"Penulisan ini melibatkan lebih dari 100 sejarawan dari banyak perguruan tinggi yang yang ahli di bidangnya, untuk punya kompetensi untuk menulis dan juga melakukan editing di dalam buku itu, katanya.

Fadli menambahkan, penulisan buku ini juga bukan sebagai buku pelajaran, melainkan buku acuan sejarah formal. Ditulisnya buku ini juga dilakukan untuk memperbarui narasi sejarah Indonesia yang komprehensif, dan inklusif berdasarkan temuan terbaru.

Terpisah, Ketua Tim Pelaksana Penulisan Ulang Sejarah Nasional Indonesia, Susanto Zuhdi mengatakan, buku ini nantinya akan memiliki 10 jilid dengan masing-masing terdiri dari 500 halaman, yang membentang dari masa prasejarah hingga era pemerintahan Joko Widodo.

Menurut Susanto, berdasarkan buku yang terakhir terbit, sudah waktunya Indonesia memperbarui lagi apa yang ada di sana. Salah satu alasannya adalah semakin banyaknya hasil temuan, kajian, dan fakta baru di lapangan yang dibuat sejarawan baik di dalam dan luar negeri.

"Sejauh ini progresnya sudah 70 persen. Bahkan di jilid 7 tentang sejarah kemerdekan sudah selesai. Pada jilid yang lain juga sedang digeber, dengan memanfaatkan libur semester, karena menulis juga butuh riset," katanya.

Susanto mengungkap, tantangan terbesar dari penulisan buku ini adalah menyamakan persepsi dan konsepsi dari tim yang terlibat. Sebab, tidak semua sejarawan yang terlibat sepakat dengan apa yang diajukan oleh satu sejarawan dengan yang lainnya.

Namun, salah satu benang merahnya adalah me-reinventing identitas Indonesia dalam lanskap regional dan global. Lain dari itu, penulisan buku ini umumnya juga masih dalam bentuk ikhtisar, karena untuk menggambarkan sejarah Indonesia yang utuh tidak cukup 10 jilid.

Lebih lanjut, dia mengungkap, penulisan ulang sejarah ini juga untuk mendorong tinjauan ulang pada masa kolonial. Salah satunya terkait narasi '350 tahun dijajah' yang menurutnya tidak bisa disamaratakan, sebab hadirnya VOC atau kekuasan Belanda juga memerlukan proses panjang di mana sampai awal abad ke-20 masih ada sejumlah kerajaan yang merdeka.

"Di sisi lain kita juga akan menambah sejarah yang belum ada, dan menguatkan yang sudah ada dengan perspektif dan teori baru. Salah satunya terkait surat-surat dari Dewi Sukarno pada Presiden Soekarno," katanya. 

Sejarawan Christopher Reinhart mengatakan pembaruan buku sejarah Indonesia memang sangat dibutuhkan. Sebab, seperti ilmu-ilmu lain, pengetahuan tentang kesejarahan juga berkembang. Terlebih, publik atau sejarawan selalu mencari sumber referensi dari  buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI).

Reinhart mengatakan idealnya penulisan ulang buku sejarah memang dilakukan secara berkala. Dahulu, bahkan sempat ada wacana setiap kongres sejarah 5 tahun sekali mestinya ada penulisan baru. Namun, karena ada dinamika politik atau hal lain, rencana tersebut urung terjadi. 

“Dengan adanya kemauan untuk merevisi dan menambah SNI, saya kira itu bagus. Jadi, ada pengetahuan-pengetahuan baru yang muncul dari referensi utama ini,” papar Reinhart.

Editor: Fajar Sidik


*Sejarah Kurikulum Pendidikan di Indonesia, dari Rencana 1947 hingga Kurikulum Merdeka*

02 May 2025   |   09:00 WIB

Yudi Supriyanto

Jurnalis Hypeabis.id

Dalam dunia pendidikan, kurikulum memiliki peranan penting karena akan menentukan arah dan cara pendidikan di suatu negara. Sepanjang Indonesia merdeka, berbagai kurikulum tercatat telah mengalami berbagai macam pergantian.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

Dengan begitu, ada dua dimensi dalam kurikulum. Pertama, rencana dan pengaturan tentang tujuan, isi, dan bahan pelajaran. Kedua adalah cara yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran.

Dalam perjalanan dunia pendidikan Indonesia, berbagai kurikulum pernah diterapkan oleh pemerintah. Perubahan kurikulum yang terjadi di dalam negeri tidak dapat dilepaskan dari perkembangan zaman.

Berikut kurikulum di dalam negeri dari Indonesia merdeka sampai dengan saat ini dikutip dari buku Ilmu Pendidikan: Konsep, Teori, dan Aplikasinya karya Dr. Rahmat Hidayat, MA dan Dr. Abdillah S.Ag., M.Pd terbitan LPPPI dan berbagai sumber lainnya:

*Kurikulum 1947 atau Rencana Pelajaran 1947*

Rencana Pelajaran 1947 mengutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara, dan masyarakat. Materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian, dan pendidikan jasmani.

Pemerintah juga membuat sekolah khusus bagi masyarakat yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang sekolah menengah pertama. Masyarakat akan mendapatkan keterampilan yang membuat mereka bisa langsung bekerja ketika tidak menempuh pendidikan SMP.

*Kurikulum 1952 atau Pelajaran Terurai 1952*

Ciri khas dalam kurikulum ini adalah setiap rencana pelajaran harus dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Kemudian, kurikulum 1952 juga memiliki fokus utama berupa pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (pancawardhana).

Pemerintah mengklasifikasikan pelajaran ke dalam 5 kelompok dalam kurikulum ini, yakni  moral, kecerdasan, emosional, keterampilan (keprigelan), dan jasmaniah. Tidak hanya itu, pemerintah juga menekankan pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis dalam pendidikan dasar.

*Kurikulum 1964*

12 tahun kemudian atau pada 1964, kurikulum 1952 mengalami perubahan menjadi Rentjana Pendidikan 1964. Tidak ada perbedaan yang terlalu besar dalam kurikulum ini dengan yang sebelumnya. Meskipun begitu, pemerintah memiliki keinginan rakyat memperoleh pengetahuan akademik sebagai bekal di jenjang sekolah dasar dalam kurikulum 1964.

*Kurikulum 1968*

4 tahun kemudian atau pada 1968, pemerintah pada saat itu melakukan pembaruan kurikulum. Pendekatan pancawardhana mengalami perubahan menjadi pembinaan jiwa Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus.

Lewat kurikulum ini, pemerintah mengarahkan Pendidikan dapat membentuk manusia Pancasila sejati, sehat jasmani, cerdas, terampil, bermoral, berbudi pekerti luhur, dan beriman. Murid fokus terhadap peningkatan kecerdasan, keterampilan, dan pengembangan fisik.

*Kurikulum 1975*

Kurikulum ini memiliki penekanan terhadap efisiensi dan efektivitas Pendidikan. Dengan begitu, materi, metode, dan tujuan pembelajaran mdirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI).

Dalam kurikulum ini istilah Satuan Pelajaran mulai dikenal, yang mencakup petunjuk umum, Tujuan Instruksional Khusus (TIK), materi, alat pelajaran, kegiatan, dan evaluasi. Kurikulum ini juga menekankan pentingnya pelajaran matematika untuk kehidupan sehari-hari.

*Kurikulum 1984 (CBSA)*

Kurikulum 1984 atau yang lebih dikenal dengan cara belajar siswa aktif menggunakan pendekatan process skill approach. Dalam kurikulum ini, siswa adalah subjek belajar yang aktif, sehingga pemberian pengalaman belajar di sekolah harus fungsional dan efektif. Jadi, tenaga Pendidikan harus merumuskan terlebih dahulu tujuan pembelajaran sebelum memilih bahan ajar.

*Kurikulum 1994*

Kurikulum ini memiliki fokus terhadap pemahaman konsep dan keterampilan murid dalam menyelesaikan soal dan pemecahan masalah. Kurikulum yang dianggap sebagai penyempurnaan versi 1984 itu juga mengubah sistem pembagian waktu dari semester ke caturwulan.

*Kurikulum Berbasis Kompetensi (Kurikulum 2004)*

Kurikulum ini memiliki titik berat terhadap pengembangan kemampuan siswa dalam menjalankan tugas sesuai dengan standar kinerja yang telah ditetapkan. Pendidikan diarahkan pada hasil dan dampak, serta mengakomodasi keberagaman individu dalam menguasai kompetensi.

*Kurikulum 2006 (KTSP)*

Kurikulum yang juga disebut sebagai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan memberikan kebebasan terhadap guru dalam merencanakan pembelajaran sesuai dengan kondisi sekolah. Meskipun begitu, Departemen Pendidikan Nasional telah menetapkan kerangka dasar, standar kompetensi lulusan (SKL), serta standar kompetensi dan kompetensi dasarnya.

*Kurikulum 2013*

Kurikulum 2013 memiliki fokus terhadap keseimbangan pengetahuan, sikap, dan keterampilan, pendekatan saintifik dalam pembelajaran, model pembelajaran berbasis penemuan, proyek, dan masalah, dan penilaian autentik.

*Kurikulum Merdeka*

Kurikulum Merdeka merupakan kurikulum dengan pembelajaran intrakurikuler yang beragam dengan konten yang akan lebih optimal, sehingga peserta didik memiliki cukup waktu untuk mendalami konsep dan menguatkan kompetensi. Dalam kurikulum ini, guru memiliki keleluasaan memilih berbagai perangkat ajar sehingga pembelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan belajar dan minat peserta didik.

Editor: Nirmala Aninda


*Sejarawan Kasih Catatan Rencana Penulisan Ulang Sejarah Nasional Indonesia*

30 April 2025   |   14:32 WIB

Chelsea Venda

Jurnalis Hypeabis.id

Menteri Kebudayaan Fadli Zon tengah menggagas langkah strategis dalam bidang historiografi Indonesia. Salah satu inisiatif utamanya adalah program penyusunan ulang buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) sebagai bagian dari peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia yang jatuh pada tahun ini.

Proyek besar yang masih pada tahap awal ini bertujuan untuk memperbarui narasi sejarah nasional dari era prasejarah hingga masa kontemporer dengan mengintegrasikan temuan-temuan baru.

Sejumlah sejarawan memberikan tanggapan beragam terhadap langkah ini. Sebagian menyambutnya dengan antusias, sebagian lain lagi memberikan catatan khusus terhadap rencana ini.

Sejarawan Christopher Reinhart mengatakan pembaharuan buku sejarah Indonesia memang sangat dibutuhkan. Sebab, seperti ilmu-ilmu lain, pengetahuan tentang kesejarahan juga berkembang.

“Kalau untuk publik atau mahasiswa sejarah gitu ya, hampir selalu referensinya itu buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI). Dengan adanya kemauan untuk merevisi dan menambah SNI, saya kira itu bagus. Jadi, ada pengetahuan-pengetahuan baru yang muncul dari referensi utama ini,” ucap Reinhart.

Reinhart mengatakan idealnya penulisan ulang buku sejarah memang dilakukan secara berkala. Dahulu, sempat ada wacana setiap kongres sejarah 5 tahun sekali mestinya ada penulisan baru.

Namun, kata Reinhart, mungkin karena ada dinamika politik atau hal lain, rencana tersebut memang urung terjadi. Hal ini tentu sangat disayangkan karena ilmu sejarah sebenarnya perkembangannya cukup dinamis.

“Kalau dulunya, rencananya pak Sartono Kartodirdjo dan lainnya itu kan setiap 5 tahun ada update. Harusnya begitu. Karena setiap 5 tahun umumnya ada temuan baru,” jelasnya.

Sejarawan Nanyang Technological University ini menyebut di dalam sektor sejarah atau peristiwa modern, umumnya perubahannya akan lebih minor. Biasanya yang akan berubah hanya seperti interpretasi baru dari fakta yang sudah ada.

Namun, yang perkembangannya cukup progresif ialah di sektor arkeologi. Jadi, ada temuan-temuan baru yang selalu mungkin akan mengubah cara pandang kita melihat sesuatu.

“Misalnya, baru-baru ini ada ekskavasi baru kompleks Percandian Batujaya yang adalah sebuah suatu kompleks percandian Buddha kuno. Itu kan selama ini kita enggak tahu, dan semestinya segera dimasukkan ke SNI,” imbuhnya.

Reinhart mengatakan pengaruh revisi maupun penambahan di buku SNI ini akan berpengaruh besar dalam dinamika sejarah Indonesia ke depan. Sebab, bagaimana pun, produksi ilmu pengetahuan sejarah hampir selalu mengacu ke buku ini.

Dia bercerita, para mahasiswa sejarah kerap menjadikan buku SNI ini sebagai referensi utama. Kemudian, jika ada pendalaman, baru mereka akan mencari referensi tambahan.

Oleh karena itu, dalam penulisan ulang ini, tentu faktor kehati-hatian dan kevalidan sumber mesti menjadi landasan utama. Jangan sampai ada pemaksaan di sejumlah sektor demi hal-hal yang tidak berbasis ilmu pengetahuan.

“Yang mengubah pengetahuan sejarah itu ya ketika ketemu sumber baru. Itu yang paling dasar,” tuturnya.

*Menambah dan Merevisi Sejarah*

Sementara itu, sejarawan UIN Syarif Hudayatullah Jakarta Johan Wahyudi mengatakan wacana tentang sejarah, meski berbicara tentang masa lalu, nyatanya tidak semua telah terekam. Dalam perjalannya, selalu perlu untuk menambahkan atau merevisi yang sudah ada.

Johan mengatakan Indonesia itu negara yang punya cakupan wilayah yang luas. Oleh karena itu, sangat dimungkinkan pada masa sekarang atau yang akan datang, ditemukan fakta-fakta sejarah baru.

Terlebih, menurutnya, selama ini porsi penulisan sejarah masih didominasi oleh daerah-daerah yang punya populasi banyak, seperti Jawa dan Sumatra. Adapun, wilayah lain, seperti Papua, masih belum terlalu tergali.

Padahal, wilayah-wilayah lain juga patut untuk mendapatkan porsi yang sama. Sebab, wilayah-wilayah tersebut juga punya rentang sejarah yang panjang, ada kerajaan atau riwayat perdagangan tertentu misalnya, yang penting untuk digali dan diceritakan.

“Dengan adanya update version, harapannya kantung-kantung kehidupan manusia di luar dari populasi yang dominan, bisa turut direkam,” ungkapnya.

Johan menyebut secara makro, sejarah Indonesia memang perlu untuk terus digali dan diperbaharui. Setidaknya, itu dilakukan 5 tahun sekali. Namun, untuk taraf yang lebih mikro, seperti pada tataran kabupaten atau kota, itu bahkan lebih singkat lagi bisa per tahun.

“Pengaruhnya ini penting sekali ya. Di tengah era digital, kebenaran kerap jadi bias dan kabur. Oleh karena itu, Bangsa Indonesia harus tetap punya pegangan. Pegangan yang penting adalah ingatan historis atau sejarah. Dalam hal inilah, buku sejarah jadi penting,” jelasnya.

Namun, sekali lagi, kata Johan, penulisan sejarah perlu dibarengi dengan penerapan pendekatan dan metodologi yang valid. Selain itu, pembabakan dan penokohan yang diambil juga harus bijak.

“Dalam artian, jangan sampai mengambil tokoh tertentu yang secara sejarah tidak clear. Jangan pula mengambil tokoh yang punya riwayat kriminal untuk dipahlawankan. Intinya, semua harus bisa dipertanggungjawabkan secara akademik,” tutupnya.

Editor: Fajar Sidik


*Menarasikan Ulang Sejarah Islam Nusantara lewat Situs Bongal*

22 April 2025   |   12:30 WIB

Prasetyo Agung Ginanjar

Jurnalis Hypeabis.id

Sebuah kayu hitam teronggok dalam kotak kaca di Museum Nasional Indonesia. Sebagian telah lapuk dimakan waktu, menjadi serpihan dan mengambang di air. Di deskripsi artefak, kayu ini merupakan bagian dari kapal digunakan pada abad ke-7. Kayu kapal tersebut ditemukan di pesisir barat Sumatera yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia.

Pada abad ke-7 Masehi, lokasi ditemukannya puing kapal ini ditengarai merupakan jalur perdagangan yang sibuk, bahkan menjadi simpul perdagangan internasional. Premis ini diperkuat dengan uji penanggalan radiokarbon dari kayu tersebut yang berusia 656-687 M. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis, kapal yang ditemukan di Situs Bongal ini, dibuat dengan teknik tambuktu terikat. 

Situs Bongal terletak di Desa Jago-jago, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumut. Di lokasi ini terdapat Sungai Lumut yang bermuara ke Teluk Tapian Nauli. Teluk inilah yang dulunya dinilai strategis untuk melabuhkan kapal-kapal yang berniaga di sana.

Salah satu artefak kayu yang ditemukan di Situs Bongal (sumber gambar: Museum Nasional Indonesia)

Salah satu artefak kayu yang ditemukan di Situs Bongal (sumber gambar: Museum Nasional Indonesia)

Sejarawan Ichwan Azhari mengatakan, penemuan sejumlah artefak di situs ini memberi wacana baru tentang kedatangan Islam di Nusantara. Selain kapal, di Bongal juga ditemukan koin emas dinasti Umayyah yang diprediksi berasal dari tahun 694-713 M.

Dia menambahkan, koin tersebut juga dibubuhi tulisan Arab, yang diambil dari ayat suci Alquran. Koin dirham ini diduga dicetak oleh Khalifah Abdul Malik pada 699, yang kemudian dibawa oleh para pedagang untuk berniaga di Nusantara.

Menurut Azhari, diskusi tentang masuknya Islam sudah dimulai di Medan pada 1963, dan para ahli menduga Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-7, tapi belum ditemukan bukti konkrit. "Baru pada 2019 ditemukan koin tersebut, yang akhirnya memperkuat premis tersebut," katanya.

*Kota Kosmopolit*

Bongal merupakan kota Kosmopolit kuno yang berkembang dari abad ke-3 hingga ke-12 Masehi. Sejumlah bukti sejarah juga menunjukan bahwa Bongal memiliki hubungan perdagangan dan budaya dengan wilayah Timur Tengah, Romawi, India, Tiongkok, dan budaya lokal.

Namun, kejayaan Bongal berakhir  ketika tsunami besar melanda pada 1180, yang menyebabkan kota ini lenyap dari peradaban. Sisa-sisa artefak kejayaan Bongal dapat dilihat dalam pameran Misykat, di Museum Nasional Indonesia hingga Juni 2025.

Menteri Kebudayaan Republik Indonesia Fadli Zon mengatakan, temuan arkeologis dari situs Bongal, termasuk artefak seperti koin dinasti Umayyah, manik-manik Islam, alat medis, dan batu kapur aromatik, memperkuat bukti bahwa Islam telah hadir di Indonesia sejak abad ke-7 Masehi.

Salah satu artefak kayu yang ditemukan di Situs Bongal (sumber gambar: Museum Nasional Indonesia)

Dirham atau koin emas yang dipamerkan dalam seteleng Misykat (sumber gambar: Museum Nasional Indonesia)

Bukti ini juga memperjelas bahwa Islam hadir hanya berselang satu hingga dua abad daru masa kelahirannya di Jazirah Arab. Masuknya Islam lewat jalur damai, seperti perdagangan, pendidikan, dan kesenian juga melahirkan sintetis budaya yang khas di Nusantara.

"Fakta ini memperkaya pemahaman kita mengenai periode kedatangan Islam di Nusantara yang lebih awal dari perkiraan sebelumnya, sekaligus menegaskan posisi Nusantara sebagai simpul penting dalam jaringan peradaban Islam global," katanya.

Secara umum, pameran ini dibagi menjadi 10 area kuratorial yang mengangkat tema-tema penting. Titik toloknya dimulai dari situs Bongal, dakwah Wali Songo, hingga kontribusi pers Islam abad ke-19 sampai ke-20, yang menyuarakan pesan-pesan pendidikan, kemerdekaan, dan kesadaran berbangsa.

Lain dari itu, dinarasikan pula temuan berbagai mushaf Alquran di Indonesia, baik yang dituliskan secara manual maupun replika. Berbeda dari mushaf Alquran yang dikenal sekarang, ayat-ayat suci tersebut ditulis dengan indah oleh para ulama Nusantara, sehingga menjelma artefak seni budaya.

Editor: Fajar Sidik


*Resmi Dibuka, Pameran Misykat Tampilkan Artefak Islam Nusantara dari Situs Bongal*

18 April 2025   |   07:19 WIB

Prasetyo Agung Ginanjar

Jurnalis Hypeabis.id

Setelah menghelat pameran Kongsi: Akulturasi Budaya Tionghoa di Nusantara, Museum Nasional Indonesia (MNI) kembali menghelat pameran baru yang mengetengahkan peradaban Islam di Nusantara, bertajuk Misykat: Cahaya Peradaban Indonesia.

Sesuai tajuknya, pameran ini akan mengajak Genhype untuk mengeksplorasi tentang sejarah perjalanan panjang kehadiran Islam di Nusantara. Uniknya, seteleng ini juga membawa premis tentang kehadiran Islam di Nusantara sejak abad ke-7 sampai 8 Masehi.

Informasi ini, tak ayal bakal memperkaya pemahaman Genhype terkait periode kedatangan Islam di Nusantara yang lebih awal dari perkiraan sebelumnya, sekaligus menegaskan posisi Nusantara sebagai simpul penting dalam jaringan perdagangan global.

Menteri Kebudayaan Republik Indonesia Fadli Zon mengungkap perjalanan Islam di Nusantara yang berlangsung melalui jalur damai, seperti perdagangan, pendidikan, dan kesenian tak ayal melahirkan sintetis budaya yang khas dibanding dengan negara Muslim lain di dunia.

Momen tersebut misalnya, tercermin dari peninggalan berbagai mushaf Alquran di penjuru Nusantara. Lain dari itu ada pula nisan-nisan khas di berbagai daerah, manuskrip keagamaan, karya sastra, hingga arsitektur masjid yang adaptif dari kebudayaan sebelumnya.

"Pameran ini juga fokus pada penemuan Situs Bongal di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Situs ini ditemukan pada 2019, yang kemungkinan besar dulunya merupakan pusat peradaban di wilayah Barat Pantai Sumatera, akan tetapi tertutup akibat tsunami," katanya saat ditemui awak media, Kamis (17/4/25).

Menteri Kebudayaan Fadli Zon, dan Wakil Menteri Kebudayaan Giring Ganesha saat meninjau pameran 

Menteri Kebudayaan Fadli Zon, dan Wakil Menteri Kebudayaan Giring Ganesha (tengah) saat meninjau  pameran Misykat: Cahaya Peradaban Indonesia di Museum Nasional Indonesia (sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)

Selain menarasikan sejarah peradaban Islam di Nusantara, pameran ini menurut Menbud juga menyajikan sejumlah temuan penting di situs Bongal. Di antaranya adalah artefak seperti koin dinasti Umayyah, manik-manik Islam, dan kafur aromatik yang memperkuat bukti bahwa Islam telah hadir di Nusantara sejak abad ke-7.

Lain dari itu dinarasikan pula temuan berbagai mushaf Alquran di Indonesia, baik yang dituliskan secara manual maupun replika. Berbeda dari mushaf Alquran yang kita kenal sekarang, ayat-ayat suci tersebut sebelumnya ditulis dengan indah oleh para ulama, sehingga menjelma artefak seni budaya.

"Dari pameran ini, kita juga bisa menulis ulang sejarah masuknya Islam di Indonesia yang selama ini diyakini dimulai pada abad ke-13 SM. Namun dari temuan situs Bongal ini kita bisa melihat Islam masuk di Nusantara lebih awal," imbuhnya.

Kurator pameran Misykat, Ichwan Azhari mengatakan, pameran ini menyuguhkan lebih dari 300 koleksi artefak dari berbagai institusi. Di antaranya dari museum dan kolektor yang mencakup periode sejarah yang luas, mulai dari masa kedatangan Islam hingga era modern.

Secara umum, dia mengungkap pameran ini dibagi menjadi 10 area kuratorial yang mengangkat tema-tema penting. Titik toloknya dimulai dari situs Bongal, dakwah Wali Songo, hingga kontribusi pers Islam abad ke-19 sampai ke-20, yang menyuarakan pesan-pesan pendidikan, kemerdekaan, dan kesadaran berbangsa.

"Situs Bongal itu ditemukan oleh para penambang, makanya kajian terkait situs ini belum masuk dalam buku-buku sejarah. Salah satu koin emas pada dinasti Umayyah yang ditemukan pada situs ini juga baru terjadi pada akhir 2024. Oleh karena itu situs ini akan terus dipelajari," katanya.

*Sejumlah manuskrip dengan huruf Arab Jawa Pegon*

Sebagai tambahan informasi, pameran Misykat sebelumnya telah dibuka untuk undangan khusus pada 26 Maret 2025. Namun, pameran ini baru diresmikan oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon pada Kamis, (17/4/25). Pameran Misykat dapat dikunjungi publik hingga Juni 2025.

Adapun harga tiket bagi masyarakat yang tertarik datang adalah Rp25.000. Akan tetapi, sebelum menikmati pameran ini masyarakat diwajibkan membeli tiket masuk ke MNI sebesar Rp15.000 bagi anak usia 3-12 tahun, Rp25.000 untuk dewasa dan Rp50.000 untuk WNA.

Pembelian tiket pameran dapat dilakukan secara langsung di tempat yakni di loket museum ataupun melalui aplikasi Traveloka. Dihelatnya pameran ini adalah upaya dari Museum dan Cagar Budaya (IHA) dalam melakukan tugasnya dalam mempromosikan kegiatan budaya sebagai upaya penguatan wawasan masyarakat. 

Editor: Nirmala Aninda


*JJ Rizal: Menyongsong 500 Tahun Jakarta dengan Memahami Sejarah untuk Modal Masa Depan*


15 June 2025   |   10:30 WIB


Chelsea Venda

Jurnalis Hypeabis.id


Sejarawan JJ Rizal menekankan pentingnya memahami sejarah Jakarta sebagai bekal utama menyongsung usia 500 tahun kota ini. Dalam paparannya di Jakarta Future Festival, dia menegaskan bahwa sejarah bukan sekadar masa lalu, melainkan fondasi membangun masa depan.


Memasuki fase penting perkembangan kota, JJ Rizal mengajak seluruh publik dan pemangku kebijakan untuk kembali ke akar identitas kota. Tidak hanya dari segi administratis atau simbolis, melainkan dari lapisan-lapisan historis yang membentuk kota ini.


“Kalau kita runut, Jakarta itu berawal dari masyarakat sungai,” ungkap JJ Rizal di Taman Ismail Marzuki, Sabtu (15/6/2025).


Dia menjelaskan bahwa situs-situs tertua di Jakarta banyak ditemukan di sepanjang aliran sungai. Sungai-sungai ini kemudian membentuk kehidupan sosial dan budaya masyarakat Betawi pada masa lalu.


Ciri identitas itu, lanjutnya, masih terlihat sampai saat ini. Menurutnya, tradisi membawa rati biaya dalam upacara pernikahan Betawi merupakan simbol bahwa ada hubungan luhur antara mereka dengan sungai.


“Di kuliner, kita juga kenal gabung pucung, yang merefleksikan kedekatan masyarakat dengan ekosistem air. Ya, walau lebih mudah menemukan kuntilanak sekarang daripada gabus, karena muara makin habis,” imbuhnya.


Dari masyarakat sungai, Jakarta terus berkembang menjadi masyarakat bandar atau dagang. Kota ini kemudian mulai dikenal sebgaia Jayakarta, meski sebenarnya ada nama yang lebih dulu, yakni Yen Cen atau Kelapa, oleh pendatang dari China.


Namun, setelah itu, datang pula Portugis. Mereka kemudian menyebutnya Sunda Kelapa. Dalam konteks ini, Rizal ingin menunjukkan bahwa Jakarta bukan sekadar kota bisnis belaka, melainkan kota bisnis internasional.


Hubungan dagang dengan bangsa Portugis bahkan memicu keterlibatan dari Kesultanan Demak yang dipimpin Prabu Trenggono. Di sinilah, menurut Rizal, Jakarta mengalami peristiwa penting sebagai tempat lahirnya salah satu perjanjian internasional pertama di wilayah Nusantara.


Perubahan besar kembali di Jakarta setelah VOC datang dan menjadikannya kota Batavia. Menurut Rizal, VOC pada mulanya ingin menjadikan kota ini sebagai ‘kota kulit putih’. Namun, karena satu dan lain hal, hal itu tak terjadi.


Karena berbagai kendala, mereka justru membuka kota ini bagi berbagai etnis Nusantara untuk sama-sama menjalankan kota. Dari sinilah, kemudian muncul kampung-kampung etnik, dari Kampung Bugis, Kampung Ambon, Kampung Banda, Kampung Makassar, dan banyak lainnya.


Hal menariknya, kata Rizal, meski kampung-kampung ini secara spesifik menunjukkan identitas, ketika dibedah sebenarnya tidak demikian. Justru, di dalam kampung-kampung etnik ini terjadi kawin-mawin budaya yang intens.


Jakarta pun tumbuh bukan hanya sebagai kota multikultural, tetapi interkultural. Berbagai kelompok menyumbang budaya terbaiknya dan membentuk budaya baru bersama.


“Misalnya, di sini kan ada Tanjidor. Kesenian ini banyak terinspirasi dari musik Eropa, terutama dalam penggunaan alat musik tiup. Kemudian, di sini juga ada gambang kromong sampai keroncong,” jelasnya.


Rizal kemudian menambahkan satu sejarah lain dari Jakarta. Kota ini, katanya, juga pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan. Dia menyinggung tokoh Georg Eberhard Rumphius, ilmuwan asal Jerman yang menghasilkan Herbarium Amboinense, salah satu karya ilmiah paling penting dari masa kolonial.


Meski mengalami berbagai musibah, termasuk gempa dan banjir, naskah Rumphius berhasil diselamatkan oleh komunitas intelektual yang peduli pada sains, termasuk tokoh-tokoh seperti Cornelis Chastelein dan Gubernur Jenderal Camphuys.


Dia menyebut peristiwa ini menjadi bukti bahwa dukungan dan kesadaran kepedulian terhadap ilmu pengetahuan di kota ini sudah ada sejak abad ke-17. Jakarta, katanya, telah memiliki simpul-simpul aktivitas keilmuan yang signifikan.


Kemudian, di kota ini juga berdiri Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, sebuah lembaga yang didirikan untuk mendorong kemajuan penelitian di bidang seni dan ilmu pengetahuan, sekaligus berperan dalam menghimpun serta merawat berbagai artefak budaya dan temuan ilmiah.


JJ Rizal menggarisbawahi bahwa menyongsong 500 tahun Jakarta tidak bisa hanya dilakukan dengan pembangunan fisik atau selebrasi semata. Menurtunya, perlu ada kesadaran dan penghormatan terhadap warisan sejarah Jakarta yang kompleks, yakni sebagai kota sungai dan kota biru-hijau, kota dagang, serta kota sains yang membuka ruang bagi pengetahuan.


“Enggak mungkin kita ke masa depan kalau kita tidak menghormati dan memberi ruang pada sains,” tegasnya.


Dengan menjadikan sejarah sebagai modal besar, Jakarta punya peluang untuk tidak hanya merayakan usia ke-500 tahun sebagai peringatan, tetapi juga momentum strategis untuk membangun kota yang lebih manusiawi, berakar, dan berdaya saing global.


Editor: Nirmala Aninda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penulisan Sejarah

*Diskusi Proyek Penulisan Sejarah Resmi, Soroti Ketiadaan Peran Masyarakat* Juli 21, 2025 ©Abby/Bal Berangkat dari keresahan terhadap penuli...