Kamis, 31 Juli 2025

Draft Pendahuluan SI

 SEJARAH INDONESIA:

DINAMIKA KEBANGSAAN DALAM ARUS GLOBAL

PENDAHULUAN

Outline Pendahuluan:

1. Dasar Pemikiran 

2. Sejarah Kebangsaan: Signifikansi dan Urgensi

3. Landasan Nilai Kebangsaan

4. ‘Benang Merah’ Keindonesiaan

5. Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global

5.a Fondasi Konstitusional Kebangsaan 

5.b Masa Mempertahankan Kemerdekaan: Kebangsaan dalam Fragmentasi Ideologi

5.c Demokrasi Parlementer dan Penguatan Kebangsaan

5.d Kebangsaan dalam Semangat Revolusioner

5.e Kebangsaan yang Dipersatukan

5.f Era Reformasi: Kebangsaan dalam Tantangan Lokal dan Global

6. Kebaruan

6.a Pengayaan Fakta

6.b Pembaruan Metodologi

6.c Perspektif

Penguatan dan Pengembangan Perspektif Indonesia Sentris Otonomi Sejarah

7. Gambaran Isi Buku

8. Penutup


1. Dasar Pemikiran 

Walau terkesan klise, adagium yang menyatakan bahwa setiap generasi berhak menulis sejarah dari perspektifnya sendiri tetap relevan dan layak ditegaskan di awal Pendahuluan ini. 

Pandangan ini sejalan dengan pernyataan Benedetto Croce dalam salah satu bab “ the practical requirement which underlie every historical judgment give to all history the character of ‘contemporary history’ “.1

 Pemahaman sejarah tidak sekadar pada catatan masa lampau, tetapi melalui rekonstruksi yang menjadi lensa masa kini. Rekonstruksi sebagai penulisan sejarah akan selalu mengalami pembaruan dan pemutakhiran sesuai dengan nilai-nilai, kebutuhan, dan orientasi kolektif yang hidup dalam konteks sosial-budaya generasi yang sedang menulisnya.2

Dalam kaitan ini Alun Munslow juga mengatakan bahwa “sejarah tidak pernah hanya mengenai masa lampau, tetapi selalu mengenai dirinya pada masa kini” (history is never just abaut the past, it is always about itself in the present”).3 Namun jika boleh lebih ditegaskan seperti 

 Catatan :

1 Benedetto Croce. History as The Story of Liberty (London: George Allen and Unwin Limited, 1949), hlm. 19.

2Benedetto Croce, “History and Cronicle”, dalam: Hans Meyerhoff, The Philosophy of History in Our Time: An Anthology (New York: Anchor Original Publisher, 1959), hlm. 44.

3Alun Munslow, The Routledge Companion to Historical Studies, 2nd Edition (London & New York: Routledge, 2000), hlm 5.dikatakan John R. Smail bertolak dari aforisme Croce bahwa “the only truth history is contemporary history”.4

Tentu ada banyak alasan kenapa buku ini ditulis, dan salah satunya yang utama adalah bahwa dalam waktu setidaknya dua dekade belakangan telah bermunculan generasi sejarawan Indonesia yang membuat kajian sejarah Indonesia mengalami perkembangan signifikan. Hal 
ini terefleksikan terutama melalui disertasi dan tesis yang dihasilkan dari berbagai perguruan tinggi di dalam dan luar negeri. Hal itu belum termasuk hasil penelitian, makalah, artikel ilmiah di jurnal akademik, dan sebagainya. Mereka, para sejarawan Indonesia, telah memperluas cakrawala historiografi negeri ini dengan temuan-temuan baru, baik berupa fakta, reinterpretasi kritis, maupun konstruksi teoretis yang telah memperkaya pemahaman dan pemaknaan tentang 
masa lalu bangsa Indonesia.
Bersamaan dengan itu, absennya karya sejarah Indonesia yang komprehensif dalam dua dekade terakhir, bahkan lebih, juga menjadi alasan penting lain dari penulisan buku sejarah ini.
Karya komprehensif terakhir, Indonesia dalam Arus Sejarah (IDAS), mulai ditulis pada 2002 dan baru terbit satu dekade kemudian, pada 2012. 
Sementara itu, karya sejarah Indonesia yang lebih awal, Sejarah Nasional Indonesia (SNI), terbit pada 1975, dan telah beberapa kali 
direvisi kemudian dimutakhirkan hingga pada 2008. Buku ini, berjudul Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global, ditulis sebagai buku tersendiri, meski seraya banyak merujuk dua buku tersebut di atas. 
Tidak kalah penting dicatat di sini alasan lain penulisan buku ini, yang terkait dengan 
proses globalisasi yang demikian intensif, yang membuat batas-batas antarnegara tidak lagi jelas (borderless state). Dalam kerangka tersebut, muncul pertanyaan kritis mengenai relevansi nasionalisme di era kini. Di sisi lain, perkembangan teknologi digital telah menghadirkan disrupsi dalam ranah informasi. Secara khusus dalam bidang sejarah, kondisi ini telah mendorong terjadinya demokratisasi penulisan sejarah, ditandai dengan semakin terbukanya 
akses bagi berbagai kalangan untuk memproduksi narasi historis melalui beragam platform digital. Namun, di sisi lain, hoaks sejarah terus berkembang di tengah masyarakat, ditambah menguatnya kecenderungan primordialisme sempit berbasis identitas lokal, dan menurunnya 
tingkat kepercayaan publik terhadap institusi negara. Indonesia saat ini menghadapi tantangan disrupsi global dan era digital yang mengikis kesadaran historis serta melemahkan semangat kebangsaan, terutama di kalangan generasi muda. Dalam konteks ini, sejarah nasional memegang peran strategis sebagai sarana pembentukan karakter dan penguatan identitas 
kolektif bangsa.
Indonesia adalah satu-satunya negara dengan karakteristik kepulauan terluas dan 
dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia. Selain itu dengan jumlah lebih dari 500 etnik, Indonesia merupakan negara dengan keragaman budaya maha besar (mega diversity) di dunia. 
Dengan keragaman demikian kompleks, Indonesia sesungguhnya memiliki potensi konflik yang besar. Kendati demikian, Indonesia masih mencerminkan suasana budaya yang cukup toleran, sebagaimana tercermin dalam praktik kehidupan sehari-hari dan turut menjadi salah 
satu unsur perekat dalam masyarakat yang majemuk. Nilai-nilai luhur semacam ini telah ditangkap secara puitis oleh pujangga Mpu Tantular melalui ungkapan Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa. Ungkapan pertama dimaknai sebagai keberagaman yang tetap terikat dalam kesatuan (unity in diversity), sedangkan ungkapan kedua sering ditafsirkan 
 
Catatan :
4
John R. Smail, “On the Possibility of an Autonomous History of Modern Southeast 
Asia”, dalam: Laurie J. Sears (ed.), Autonomous Histories, Particular Truths Essays in Honor 
of John R. Smail (University of Wisconsin Center for Southeast Asian Studies Monograph 
Number 11, 1993), hlm. 39.sebagai penolakan terhadap kebenaran yang mendua, yakni penegasan akan pentingnya 
loyalitas tunggal terhadap nilai kebenaran dan pengabdian (dharma) kepada negara. Kedua semboyan ini kini telah dikenal secara luas, bahkan memperoleh pengakuan dalam wacana kebangsaan di tingkat global.5 Selain merefleksikan kenyataan pluralisme pada masa kejayaan 
Majapahit sebagai entitas politik yang bersifat ‘supra-etnik’, pernyataan tersebut juga mencerminkan “loyalitas” suatu masyarakat kepada suatu cita-cita bersama untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang ideal. 
Berangkat dari kenyataan bahwa masyarakat Indonesia memiliki tradisi dan kebudayaan yang sangat beragam, buku ini disusun dengan menjunjung prinsip akomodatif, yakni berupaya semaksimal mungkin untuk merekam berbagai peristiwa yang terjadi di seluruh kepulauan 
Indonesia. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa sejarah kebangsaan Indonesia adalah milik kolektif seluruh elemen bangsa. Karena keterbatasan ruang, tentu tidak semua aspek dan seluruh daerah dalam rentang waktu yang panjang bisa semuanya ditulis. Meski demikian, 
paparan dibuat seproporsional dan serepresentatif mungkin. Dengan pola penulisan yang menekankan kronologi atau periodisasi, buku ini bermaksud menunjukkan “benang merah” 
nilai-nilai keindonesiaan dalam proses menjadi Indonesia. 
Dengan demikian, permasalahan bangsa setidaknya dapat diatasi melalui sejarah yang mengajarkan daya kritis dan menjadikan manusia bijak. Alih-alih mengglorifikasi masa silam, sejarah jauh lebih penting diarahkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sejarah adalah ilmu untuk memahami manusia dalam pergumulannya menghadapi tantangan zaman dan lingkungankehidupan yang dinamis.

2. Sejarah Kebangsaan: Signifikansi dan Urgensi

Melalui kajian yang mendalam terhadap perjalanan historis dan realitas sosiologis Indonesia, sosiolog terkemuka Harsja Bachtiar menyimpulkan bahwa masyarakat Indonesia telah berhasil membentuk dan mengembangkan suatu entitas kebangsaan yang sepenuhnya baru, yakni bangsa Indonesia, yang ditandai dengan munculnya kesatuan sosial yang orisinal serta terbentuknya solidaritas yang mencakup seluruh warga bangsa. Kebaruan ini terletak pada fakta bahwa bangsa Indonesia bukan sekadar aliansi dari kelompok-kelompok etnis atau budaya yang memiliki identitas masing-masing, melainkan suatu komunitas dengan budaya, bahasa, dan identitas yang khas sebagai bangsa tersendiri. Nilai-nilai dasar yang kemudian dirumuskan sebagai Pancasila berakar kuat dalam konsensus nilai-nilai bersama yang tumbuh dari 
pengalaman kolektif masyarakat Nusantara, dan bukan berasal dari pandangan atau 
kepentingan satu golongan tertentu. Terkait aspek kebahasaan, ditegaskan bahwa bangsa Indonesia memiliki bahasa sendiri yang bukan berasal dari bahasa asing yang diadopsi secara paksa. Bahasa ini memang berakar dari bahasa Melayu, tetapi telah mengalami proses pengembangan dan pembentukan sehingga menjadi bahasa yang khas dan mencerminkan identitas bangsa Indonesia. Dalam bidang kesusastraan pun, bangsa ini telah melahirkan karyakarya sastra yang mencerminkan karakter dan pengalaman kolektifnya, bukan sekadar 
 
Catatan :
5Lihat analisis Johan Meuleman, “Between Unity and Diversity: The Construction of the 
Indonesian Nation”, European Journal of East Asian Studies, Vol. 5, No. 1 (2006), hlm. 45-69. 
https://www.jstor.org/stable/23615667 . Lihat juga Robert M. Fitch and Sheila Anne Webb, 
“Cultural Immersion in Indonesia through Pancasila: State Ideology”, The Journal of 
Educational Thought (JET) / Revue de la Pensée Éducative, Vol. 23, No. 1 (April 1989), hlm. 44-51. https://www.jstor.org/stable/23768636


kelanjutan dari tradisi sastra etnis tertentu. Demikian pula, bangsa Indonesia memiliki sistem norma dan aturan perilaku yang berdiri sendiri, yang tidak identik dengan adat dari kelompok mana pun. Aktivitas-aktivitas seperti pendidikan, politik, administrasi, dan olahraga dijalankan 
berdasarkan prinsip dan sistem baru yang berlaku secara nasional, bukan bersumber dari aturan lokal. Dengan demikian, bahkan sebelum individu-individu diakui sebagai warga negara secara formal melalui ketentuan hukum, mereka sejatinya telah menjadi bagian dari satu kesatuan 
solidaritas sosial yang luas, yakni entitas kebangsaan yang disebut sebagai bangsa Indonesia.6
 
Di sinilah sejarah kebangsaan berperan sangat sentral sebagai alat kohesi sosial. Dengan mengedepankan pengalaman sejarah bersama (shared historical experiences), buku ini bisa dimanfaatkan sebagai media untuk semakin menyatukan berbagai kelompok etnis, agama, dan bahasa ke dalam satu kerangka "Indonesia". Dengan demikian sejarah kebangsaan ini masih 
penting bagi Indonesia karena menjadi fondasi reinventing Indonesian identity dan memperkuat rasa persatuan di tengah keberagaman etnis, budaya, dan agama. Dalam konteks ini sejarah 
kebangsaan dapat dipandang sebagai cabang historiografi yang menitikberatkan pada penyusunan, pengkajian, dan penulisan sejarah yang merekam proses pembentukan, artikulasi, dan perkembangan suatu bangsa. Fokus utamanya terletak pada konstruksi identitas nasional, peristiwa-peristiwa kunci dalam perjuangan kolektif menuju kemerdekaan, serta perumusan dan internalisasi cita-cita bersama dan nilai-nilai dasar yang melandasi berdirinya negarabangsa. Sejarah kebangsaan tidak sekadar merekam masa lalu, melainkan juga memainkan 
peran performatif dalam membentuk kesadaran historis, memperkuat solidaritas warga negara, dan meneguhkan jati diri bangsa dalam lanskap sosial-politik yang terus berubah.
Khusus untuk generasi muda, narasi ini juga memberikan struktur dasar pengetahuan 
sejarah dan menginspirasi mereka belajar lebih banyak dari sejarah bangsanya.7 Narasi yang tidak utuh menyebabkan fragmentasi dalam memahami sejarah, yang kini menjadi isu sentral dalam penulisan sejarah, yang dalam beberapa hal sama dengan pola persepsi ahistoris yang 
pernah disoroti Soedjatmoko sejak dekade 1960-an.8 Hal ini terutama sangat menonjol pada generasi muda, di mana tingkat partisipasi mereka dalam berbagai isu sosial-politik sangat tinggi, tetapi tidak sebanding dengan pemahaman mereka terhadap sejarah kebangsaan. 
Ketimpangan ini berkontribusi pada terbentuknya opini dan sikap yang sering kali ahistoris, serta menjauhkan mereka dari akar nilai-nilai kebangsaan. Akibatnya, tingkat kepercayaan 
mereka terhadap institusi negara cenderung menurun, karena mereka tidak memiliki kerangka historis yang memadai untuk memahami legitimasi, peran, dan dinamika kelembagaan dalam konteks perjalanan bangsa. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat melemahkan kohesi nasional dan memperbesar jarak antara negara dan warga negaranya.

Pembelajaran sejarah yang masih didominasi oleh pendekatan hafalan dan bias politis tampaknya telah mereduksi sejarah menjadi sekadar kumpulan fakta, tanpa dimensi kritis maupun potensi emansipatoris. Dalam situasi seperti itu, sejarah justru dapat menjadi sumber 

Catatan :
 
6Harsja W. Bachtiar “Masalah Integrasi Nasional di Indonesia” Prisma No.8, Agustus 
1976, hlm. 6-7.
7Lihat Diane Ravitch, “The Controversy over National History Standards”, Bulletin of the 
American Academy of Arts and Sciences, Vol. 51, No. 3 (Jan. - Feb., 1998), hlm. 14-28. 
https://www.jstor.org/stable/3824089
8Soedjatmoko, “Indonesian Historian and His Time”, dalam Soedjatmoko (ed.) An 
Introduction to Indonesian Historiography (Ithaca: Cornell University Press, 1965), 404-416. 

fragmentasi sosial.9 Dalam realitas sosial-politik Indonesia kontemporer, kecenderungan meningkatnya ekspresi politik identitas berbasis afiliasi keagamaan dan etnisitas menunjukkan bahwa semangat integratif yang terkandung dalam Sumpah Pemuda 1928 belum sepenuhnya 
terwujud dalam praktik kehidupan kebangsaan.10 Oleh karena itu, buku sejarah ini menghadirkan narasi yang tidak monolitik sehingga diharapkan mampu merefleksikan kompleksitas sosial, budaya, dan historis masyarakat Indonesia yang majemuk.

Dengan demikian sesungguhnya sejarah kebangsaan memiliki peran strategis dalam 
membentuk identitas kolektif bangsa Indonesia yang majemuk. Di tengah arus globalisasi yang semakin menguat, sejarah kebangsaan berfungsi sebagai jangkar nilai dan sumber inspirasi bersama segenap elemen bangsa. Ia merekam perjuangan, penderitaan, dan cita-cita kolektif 
yang melandasi berdirinya negara-bangsa, sekaligus meneguhkan konsensus nasional yang termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945. Selain itu, urgensisejarah kebangsaan terletak pada upaya membangun kesadaran historis generasi muda agar tidak terjebak dalam ahistorisme dan kehilangan orientasi kebangsaan. Tanpa narasi sejarah yang utuh, inklusif, dan reflektif, risiko 
fragmentasi sosial dan lemahnya solidaritas kebangsaan akan semakin besar. Oleh karena itu, penulisan sejarah kebangsaan bukan sekadar aktivitas akademik, melainkan merupakan investasi strategis dan kultural dalam membangun kesadaran kolektif serta memperkuat keberlangsungan Indonesia sebagai suatu entitas bangsa dan negara.

3. Landasan Nilai Kebangsaan

Bertolak dari uraian sebelumnya, muncul satu pertanyaan mendasar yang layak diajukan: bagaimana dinamika kebangsaan direpresentasikan dalam penulisan buku ini? Pertanyaan "bagaimana" dalam konteks ini tidak semata mengacu pada aspek teknis atau prosedural penyusunan buku, yang melibatkan kontribusi kolektif ratusan sejarawan dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia, melainkan lebih pada kerangka konseptual dan prinsip-prinsip 
normatif yang dijadikan pijakan dalam membangun narasi historis. Dengan kata lain, fokusnya tertuju pada paradigma penulisan sejarah yang merefleksikan nilai-nilai dasar kebangsaan sebagai fondasi etis bagi konstruksi historiografi kebangsaan.
Merujuk kembali pada premis awal tulisan ini, perlu ditegaskan bahwa konteks kekinian dari penulisan buku ini tidak hanya berfungsi sebagai latar belakang atau alasan penulisan, tetapi juga membuka kembali perdebatan klasik dalam epistemologi sejarah mengenai relasi 
antara subjektivitas dan objektivitas. 

Meskipun elaborasi mendalam atas dikotomi tersebut tidak menjadi fokus pembahasan di sini, satu hal yang patut ditekankan adalah bahwa sejarah, pada dasarnya, senantiasa ditulis dari perspektif masa kini dan tidak terlepas dari nilai-nilai serta kepentingan zaman penulisnya. 

Oleh karena itu, dilema antara nilai (value-laden) dan objektivitas dalam penulisan buku ini tidak diselesaikan dengan meniadakan salah satu kutub, melainkan ditanggapi melalui pendekatan kritis dan reflektif. Objektivitas dalam penulisan buku ini merupakan "a noble dream", suatu cita-cita yang menjadi standar etis dan metodologis agar para penulis buku ini 
 
Catatan :

9Eric Hobsbawm, The Age of Extremes: The Short Twentieth Century, 1914–1991
(London: Michael Joseph, 1994), hlm. 
3–4. 
https://archive.org/details/ageofextremeshis0000hobs
10Drake pernah menghitung bahwa selama 20 tahun pertama sejak proklamasi 
kemerdekaan telah terjadi tidak kurang dari 21 resistensi dan pemberotakan daerah di 
Indonesia. Lihat Christine Drake, ‘The spatial pattern of national integration in Indonesia’, 
Transaction Institute of British Geographers [New Series] 6 (1981), hlm. 471-472.


tidak terjerumus pada manipulasi kepentingan atau fiksi belaka.11 Dalam hal ini, para penulis buku ini menyadari keterbatasannya dalam mencapai netralitas absolut, seraya tetap menjaga integritas ilmiah dengan menerapkan metode yang ketat, penggunaan sumber-sumber yang dapat diverifikasi, serta keterbukaan terhadap perbedaan tafsir historis. 

Dengan demikian, keterlibatan nilai yang melekat pada diri penulis buku ini tidak harus menegasikan objektivitas, melainkan dapat dikendalikan melalui kesadaran reflektif dan komitmen terhadap etika metodologis yang bertanggung jawab. 

Pendekatan inilah yang memungkinkan buku ini dapat berfungsi tidak hanya sebagai representasi masa lalu, tetapi juga sebagai instrumen pembelajaran kritis untuk masa kini dan masa depan bangsa Indonesia. Ini sejalan dengan pemikiran sejarawan modern E. H. Carr, bahwa sejarah adalah konstruksi intelektual yang sarat dengan nilai dan selalu terbuka terhadap reinterpretasi.12
Buku Sejarah Indonesia ini bukanlah narasi final, melainkan terus mengalami pembaruan seiring ditemukannya bukti baru, munculnya perspektif analitis berbeda, serta berkembangnya 
kepentingan dan kesadaran kolektif masyarakat dari waktu ke waktu. Dalam konteks ini, peran sejarawan tidak hanya merekam peristiwa, tetapi secara aktif memberi makna pada masa lalu 
melalui konstruksi naratif.13 Masa lalu itu memang ada, namun ia menjadi bermakna hanya ketika diinterpretasikan dan dituliskan oleh sejarawan sebagai sejarah.14 Penulisan sejarah 
merupakan suatu proses artikulatif yang menghubungkan antara dimensi kognitif (“knowing”) dengan dimensi naratif (“telling”).15 Penulisan buku ini didasarkan atas riset berbagai sumber sejarah yang kemudian transformasikan ke dalam bangunan narasi sistematis dan bermakna, 
yang diharapkan mampu menjembatani pemahaman generasi kini terhadap dinamika historis bangsa Indonesia.

Bertolak dari berbagai pemikiran di atas, buku Sejarah Indonesia: Dinamika 
Kebangsaan dalam Arus Global ini disusun sebagai sebuah kerja historiografi yang bersifat demokratis. Buku ini dirancang sebagai ruang pembelajaran kritis yang memberi tempat bagi keragaman suara baik dari kalangan elite maupun akar rumput, dari pusat maupun pinggiran, 
serta dari kelompok mayoritas maupun minoritas. Dengan menjunjung tinggiprinsip keilmuan yang terbuka terhadap kritik dan didasarkan pada data serta sumber-sumber sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan, buku ini dimaksudkan untuk menjadi medium dialog dan pembebasan, bukan instrumen legitimasi kekuasaan hegemonik. Dengan semangat tersebut, 
seraya mengoreksi historiografi kebangsaan yang cenderung tertutup dan eksklusif, karya ini berupaya menyajikan narasi sejarah yang mencerahkan dan relevan bagi Indonesia masa kini dan masa depan.

Catatan :
 
11Thomas L. Haskell, ‘Objectivity is not Neutrality: Rhetoric vs. Practice in Peter 
Novick's That Noble Dream’, History and Theory, Vol. 29, No. 2 (May, 1990), hlm. 
129-157. https://www.jstor.org/stable/2505222 
12E. H. Carr, What Is History? The George Macaulay Trevelyan Lectures (Cambridge -
London: Macmillan, 1961), hlm. 8-14.
13Alun Munslow, Deconstructing History (London & New York: Routledge, 1997), hlm. 
20. 
14
‘Professor Alun Munslow - The Gap Between the Past and History’, 
https://www.youtube.com/watch?v=CHC3PAbpI1U (Dikunjungi pada 4 Juni 2025)
15Hayden White, “The Value of Narrativity in the Representation of Reality”, Critical 
Inquiry, Autumn, 1980, Vol. 7, No. 1, On Narrative (Autumn, 1980), pp. 5-27. 
https://www.jstor.org/stable/1343174


4. ‘Benang Merah’ Keindonesiaan
Penggunaan istilah "Indonesia" untuk menggambarkan kondisi sebelum abad ke-20 sejatinya bersifat anakronistik, karena istilah tersebut baru dimunculkan oleh kaum elite modern pada awal abad ke-20 seiring dengan berkembangnya kesadaran nasional. Namun demikian, berbagai unsur pembentuk entitas yang kini disebut Indonesia sesungguhnya telah hadir jauh 
sebelumnya. Secara geografis, wilayah yang menjadi cikal bakal Indonesia dapat ditelusuri jejaknya selama berabad-abad, ditandai oleh keberadaan komunitas manusia di gugusan kepulauan yang kemudian dikenal sebagai Nusantara. Lebih jauh ke belakang, bukti keberadaan manusia purba yang menghuni wilayah ini sejak jutaan tahun lalu menunjukkan 
adanya akar-akar peradaban. Kemampuan mereka dalam membuat alat serta mengekspresikan gagasan, sebagaimana terlihat dari temuan lukisan gua seperti gambar perahu, menunjukkan tingkat kemajuan kognitif dan teknologis. Temuan ini menegaskan bahwa manusia di wilayah Nusantara telah memiliki keterampilan pelayaran sejak puluhan ribu tahun sebelum Masehi. 
Dari sinilah dapat disimpulkan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia adalah pelaut ulung yang telah membangun dan menghidupkan jaringan maritim. Tradisi kemaritiman tersebut tidak hanya menjadi ciri utama dalam perkembangan peradaban di Nusantara, tetapi juga menjadi pintu bagi keterlibatan masyarakat kepulauan ini dalam interaksi global sejak masamasa awal sejarah manusia.
Dengan dasar pemikiran di atas, jelas diperlukan suatu buku sejarah Indonesia yang menggambarkan dinamika kebangsaan dalam arus global. Buku ini terdiri atas 10 jilid. Dari jilid Kesatu hingga Kesepuluh dapat ditunjukkan bahwa ‘benang merah’ sejarah bangsa Indonesia adalah kemaritiman. Namun demikian basis agraris negeri kepulauan ini tidak 
mungkin diabaikan. Jika Sriwijaya lebih terlihat kuat pada aspek bahari, maka Kerajaan Majapahit menjadi acuan keberhasilan dalam memadukan ciri maritim dan agraris. Dengan demikian dapat diterangkan bahwa memori kolektif bangsa didasarkan dari narasi kerajaan-kerajaan yang dianggap mampu “mempersatukan” Nusantara. Jadi seperti ada korelasi antara pembentukan memori kolektif dengan jaringan maritim. Gejala itu jauh melampaui wilayah Indonesia kini. Di dalam luasnya jaringan maritim itulah pelaut Indonesia berlayar dan berdagang ke jaringan Asia. Demikian juga penduduknya berdiaspora di seantero Asia Tenggara.
Kombinasi keduanya menciptakan konfigurasi kekuasaan yang tidak hanya mampu menjalin konektivitas antarpulau, tetapi juga menjangkau pedalaman dan pusat-pusat produksi agrikultural. Oleh karena itu, narasi sejarah kebangsaan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari 
warisan kerajaan-kerajaan besar yang secara simbolik dan politis dianggap sebagai tonggak pemersatu wilayah Nusantara. Dalam konteks ini, memori kolektif bangsa banyak dibentuk melalui pengakuan terhadap figur-figur pemimpin dan struktur kerajaan yang dipersepsikan berhasil menghadirkan kesatuan di tengah keragaman. Kahin mencatat bahwa ingatan akan negara-negara prakolonial yang kuat seperti Sriwijaya dan Majapahit berperan dalam membentuk imajinasi kolektif para pemimpin nasionalis. Kerajaan-kerajaan ini sering dikutip dalam tulisan dan pidato nasionalis sebagai bukti bahwa masyarakat nusantara pernah bersatu di bawah pemerintahan pribumi, sehingga menantang klaim kolonial bahwa Indonesia adalah 
konstruksi buatan atau yang dipaksakan dari luar.16 

Sudah jelas bahwa Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 bukan merupakan kelanjutan langsung dari Kadatuan Sriwijaya yang oleh Muhammad 
Yamin pernah disebut sebagai "republik pertama," maupun dari Kerajaan Majapahit yang 
 
Catatan :
16George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (Ithaca, NY: 
Cornell University Press, 1952), hlm. 37-38. 


disebutnya sebagai "republik kedua." 17 Pandangan tersebut lebih mencerminkan konstruksi historis yang bernuansa simbolik daripada realitas institusional yang berkesinambungan. 
Namun demikian, kontribusi historis Sriwijaya dan Majapahit tidak dapat diabaikan, khususnya dalam hal pembentukan jaringan maritim yang luas dan strategis. Melalui kekuatan 
baharinya, kedua kerajaan tersebut telah membentangkan jaringan konektivitas antarpulau dan antar kawasan yang merajut wilayah-wilayah yang kini menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan, jangkauan maritim mereka melampaui batas-batas Indonesia 
kontemporer, menjangkau Semenanjung Malaya, Filipina, pesisir Indochina, hingga wilayah India dan Tiongkok bagian selatan. Dalam jaringan maritim yang luas inilah para pelaut dan pedagang dari Nusantara aktif menjalin hubungan dagang, budaya, dan diplomatik dengan kawasan Asia yang lebih luas. Selain itu, mobilitas penduduk Nusantara yang menyebar melalui jalur laut menunjukkan terjadinya diaspora maritim ke berbagai wilayah di Asia Tenggara. Jejak diaspora ini masih dapat ditemukan dalam bentuk komunitas-komunitas perantauan, pengaruh bahasa, serta pertukaran budaya dan teknologi. Dengan demikian, 
kekuatan maritim masa Sriwijaya dan Majapahit tidak hanya meletakkan fondasi geopolitik Nusantara, tetapi juga memperlihatkan peran aktif leluhur bangsa Indonesia dalam dunia 
maritim Asia, jauh sebelum lahirnya negara-bangsa modern.18
Elemen pemersatu utama dalam sejarah kebangsaan Indonesia yang menjadi garis 
penghubung lintas waktu adalah terbentuknya jaringan atau network yang mendorong proses integrasi dan memperkuat kohesi nasional. Jaringan ini, pada dasarnya, bertumpu pada 
dinamika aktivitas kemaritiman yang sejak lama menjadi fondasi utama dalam menyatukan wilayah-wilayah Nusantara. Sejalan dengan pemikiran Sartono Kartodirdjo, sejarah 
kebangsaan Indonesia merefleksikan proses bertahap dan berkesinambungan menuju integrasi, sejak masa awal hingga tercapainya kesatuan nasional seperti yang ada sekarang.19 

Disamping aspek kemaritiman, unsur-unsur integratif lainnya seperti diaspora, bahasa Melayu sebagai lingua franca, dan pengalaman hidup dalam negara supra-etnik juga menjadi fondasi historis 
utama pembentuk keindonesiaan. Meskipun bentuk keterhubungan sejarah antar-periode bervariasi, elemen-elemen tersebut secara konsisten merajut kesinambungan identitas kebangsaan Indonesia. Jejaring tersebut tampil sebagai satu kekuatan integratif yang menghubungkan masyarakat.20

Seperti dikemukakan Harsja W. Bachtiar, agama-agama di Indonesia juga berperan 
sebagai faktor integrasi bangsa. Agama-agama yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik Roma, Hindu Dharma, Buddha merupakan sumber daya pemersatu yang ampuh. Para penganut agama-agama itu berasal dari masyarakat daerah dari berbagai nasion lama.21 Sementara itu 

Catatan :
 
17Muhammad Yamin, 6000 Tahun Sang Saka Merah Putih (Djakarta: Balai Pustaka, 
1958)
18Lihat misalnya Kenneth R. Hall, Maritime Trade and State Development in Early 
Southeast Asia (Honolulu: University of Hawaii Press, 1985). Lihat juga O.W. Wolters, Early 
Indonesia Commerce: A Study of the Origins of Srivijaya (Ithaca, New York: Cornell University 
Press, 1967). 
19Lihat Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900: Dari 
Emporium sampai Imperium I (Jakarta: Gramedia, 1988), hlm. xiii-xxiii.
20Alberto Melucci, “The Rise of the Network Society by Manuel Castells”, American 
Journal of Sociology, Vol. 103, No. 2 (September 1997), hlm. 521-523. 
https://www.jstor.org/stable/10.1086/231245
21Harsja W. Bachtiar “Masalah Integrasi Nasional di Indonesia” dalam Prisma, No. 8 
Tahun V, Agustus 1976, hlm 11.


dalam kajiannya, Azyumardi Azra mengatakan bahwa perkembangan Islam di Indonesia telah lama berlangsung dalam kaitannya dengan jaringan para ulama di Haramain (Mekkah dan Medinah) dengan kepulauan Nusantara. Jaringan ini semakin intensif dalam abad ke-17. Dapat disebut ulama Nusantara yang berguru ke ulama di Haramain antara lain Yusuf Al Makasari 
(Sulawesi Selatan), Al Sinkili (Aceh), Al Palimbani (Palembang), Al-Banjari (Kalimantan Selatan).22

Menarik untuk diketahui ada kisah pekabaran Injil dan Gereja di Papua (d/h Irian Jaya) bahwa yang merintis adalah dua orang Jerman yaitu C.W. Ottow dan J.G. Geissler. Pada 5 Februari 1855, setelah memperoleh izin dari Sultan Tidore, mereka melakukan pelayaran tiga minggu dengan kapal dagang dan mendarat di Mansinam. Pulau itu didiami oleh suku 
Numfor.23

Pada masa kolonial, pengalaman kolektif yang berakar pada kemaritiman, bahasa 
Melayu, dan keberadaan sistem pemerintahan supra-etnik tetap menjadi fondasi keberlanjutan integrasi antarkelompok di wilayah Nusantara. Setelah Indonesia memproklamasikan 
kemerdekaannya, dasar dan ideologi negara, yakni Pancasila, hadir sebagai kekuatan integratif baru yang merekatkan keindonesiaan. Meskipun perjalanannya tidak lepas dari dinamika dan 
pasang surut, Pancasila tetap menjadi landasan utama dalam menjaga kohesi nasional hingga masa kini. Selain itu, penetapan batas-batas teritorial dalam kerangka negara modern terutama 
semenjak Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 turut mempertegas identitas keindonesiaan yang membedakannya dari bangsa-bangsa serumpun di kawasan ini, meskipun memiliki akar etnis dan budaya yang beririsan.24

Pertanyaan penting yang patut diajukan adalah bagaimana menjalin kesinambungan sejarah dari masa awal Nusantara hingga era pemerintahan Joko Widodo dan menjelang kepemimpinan Presiden Prabowo. Visi poros maritim dunia yang diusung Jokowi–Jusuf Kalla sejak 2014 merupakan bentuk revitalisasi peran strategis Indonesia dalam konstelasi kelautan global, meski implementasinya belum sepenuhnya optimal. Kebijakan ini berpijak pada akar historis yang kuat, di mana tradisi maritim Indonesia bukan hanya aspek geografis, melainkan 
elemen integratif lintas zaman. Bukti arkeologis dan peran Nusantara dalam jejaring maritim global menunjukkan adanya warisan budaya bahari yang kokoh. Namun, tantangan utama kini 
adalah memastikan bahwa warisan tersebut tetap hidup dan dijalankan oleh generasi penerus bangsa.
Sejarah Indonesia, pada hakikatnya, harus mencerminkan keseimbangan antara wilayah darat dan laut, yang terangkum dalam konsep “Tanah-Air”. Pandangan ini perlu dikembangkan sebagai suatu archipelagic thinking, yaitu cara pandang kepulauan, yang dalam lintasan sejarah 
panjang telah terformulasi menjadi konsep “Wawasan Nusantara”. Jika dahulu van Leur menyarankan agar kita tidak memahami sejarah Indonesia hanya dari perspektif kapal VOC, dan A.B. Lapian mendorong untuk terus berlayar demi memahami Indonesia, maka penting pula ditambahkan satu ajakan lagi: berhentilah sejenak dan pelajari setiap pulau satu per satu. 
Bukankah masih banyak pulau yang belum tersentuh kajian sejarah secara memadai? Dalam kerangka inilah, kehilangan Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi pelajaran sejarah yang sangat 

Catatan :
 
22Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII 
dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Penerbit 
Mizan, 1994), hlm 101,250, 251.
23Th. van Der End & J. Weitjens S.J., Ragi Carita Sejarah Gereja di Indonesia 2 1860-
an –Sekarang (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia), hlm. 121.
24Lihat Singgih Tri Sulistiyono, dkk.,”Traditional Knowledge and Origin of Maritime 
Territorialisation Idea in Indonesia”, Journal of Marine and Island Cultures, Vol.12, No. 3 
(2023), hlm. 308 – 324. 


berharga. Mungkin karena kesadaran akan pentingnya tanah, laut, dan pulau-pulau itulah lagu “Indonesia Raya” dinyanyikan lengkap hingga stanza ketiga, di mana terdapat seruan: “jagalah 
rakyatnya, jagalah lautnya, pulaunya… semuanya.”25

Kajian antropolog Marshall Sahlins dalam Islands of History mengenai Kepulauan
Hawai’i 26 menjadi contoh penting akan potensi kajian mendalam yang sepatutnya juga diarahkan pada kawasan-kawasan seperti Maluku, Raja Ampat, dan wilayah-wilayah Indonesia Timur secara lebih luas. Kesadaran ini diharapkan mampu mendorong upaya pelestarian serta 
pemanfaatan sumber daya kepulauan Nusantara secara berkelanjutan demi kesejahteraan bersama. Tradisi lisan seperti onotan, yakni nyanyian pelayaran orang Banda menuju Kepulauan Kei pasca-peristiwa genosida oleh VOC tahun 1621, menghadirkan kesaksian emosional tentang trauma kolektif dan diaspora yang terpaksa mencari kehidupan baru. Di sisi 
lain, kontribusi historis para budak dalam proses pembentukan Indonesia juga tidak dapat diabaikan. Penelitian disertasi mengenai perbudakan memperlihatkan bagaimana para budak, yang umumnya didatangkan oleh otoritas kolonial dan ditempatkan di wilayah perkebunan atau 
pelabuhan strategis, turut menjadi bagian integral dalam jaringan sosial dan ekonomi yang kemudian merajut fondasi Indonesia modern.
Jaringan maritim Nusantara bukan sekadar jalur ekonomi, melainkan juga membentuk 
konektivitas sosial-budaya antarwilayah. Melalui perdagangan jarak jauh, wilayah ini 
terintegrasi ke dalam jaringan global, tercermin dalam perjumpaan dengan Hindu-Buddha dan Islam. Dalam proses tersebut, bahasa dan budaya memperkuat interaksi lintas etnis dan keterhubungan antarkomunitas di kepulauan Nusantara.27 Bahasa Melayu telah berfungsi 
sebagai bahasa pengantar utama (lingua franca) di wilayah Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa.28 

Bahasa ini berkembang dari perpaduan antara Bahasa Melayu Kuno, yang 
telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat kepulauan, dengan pengaruh bahasa Sanskerta yang masuk melalui interaksi budaya dengan peradaban India. Fungsinya sebagai alat komunikasi antarkelompok masyarakat semakin menguat seiring dengan pesatnya penyebaran Islam sejak abad ke-13, yang juga mendorong penggunaan aksara Arab dalam bentuk lokal, yakni aksara Jawi, sebagai media penulisan Bahasa Melayu. 
Aksara Jawi tidak hanya menjadi medium penulisan teks-teks keagamaan, tetapi juga 
berfungsi luas dalam ranah administratif, sastra, dan ilmu pengetahuan. Penyebarannya mencerminkan tingkat integrasi budaya dan intelektual yang tinggi di antara komunitaskomunitas Muslim di berbagai wilayah Nusantara. Fenomena ini dapat dilihat, misalnya, dalam keseragaman bahasa dan bentuk tulisan yang digunakan dalam surat resmi Raja Ternate kepada Raja Portugal pada tahun 1590, yang memiliki kesamaan linguistik dengan karya-karya 

Catatan :
 
25Lihat Susanto Zuhdi, Perspektif Tanah-Air dalam Sejarah Indonesia (Pengukuhan Guru 
Besar Tetap FIB-UI, Depok: Universitas Indonesia, 2006). Lihat juga Singgih Tri Sulistiyono, 
dkk., ”Traditional Knowledge and Origin of Maritime Territorialisation Idea in Indonesia”, 
Journal of Marine and Island Cultures, Vol.12, No. 3 (2023), hlm. 308 – 324. 
https://doi.org/10.21463/jmic.2023.12.3.20
26Marshall Sahlins, Islands of History (Chicago ; London: University of Chicago Press, 
1985). https://archive.org/details/islandsofhistory00sahl 
27Geoff Wade, “An Early Age of Commerce in Southeast Asia, 900-1300 CE”, Journal of 
Southeast Asian Studies, Vol. 40, No. 2 (Jun., 2009), hlm. 221-265. 
https://www.jstor.org/stable/27751563. 
28H. Steinhauer, “On the History of Indonesian”, Studies in Slavic and General 
Linguistics, Vol. 1, (1980), hlm. 349-375. https://www.jstor.org/stable/40996873 


para ulama Aceh pada periode yang sama. Kesamaan tersebut menunjukkan bahwa Bahasa Melayu, dalam wujud tulisan Jawi, telah menjadi alat komunikasi transregional yang memperkuat keterhubungan antarwilayah, baik dalam konteks perdagangan, keagamaan, maupun intelektual.
Bahasa Melayu memainkan peran penting sebagai penanda identitas budaya dan sosial 
masyarakat Nusantara dalam interaksinya dengan kekuatan-kekuatan Barat sejak abad ke-16, yakni ketika bangsa Portugis, Spanyol, dan kemudian Belanda mulai berdatangan ke wilayah ini untuk mencari rempah-rempah. Kehadiran Belanda, yang dimulai pada 1596 dan kemudian secara resmi diwakili oleh perusahaan dagang VOC sejak 1602, berlangsung pada saat Islam 
telah mengakar kuat sebagai kekuatan politik dan budaya. Bahasa Melayu berfungsi sebagai alat komunikasi diplomatik, perdagangan, dan penulisan keagamaan beraksara Jawi. Pada abad 
ke-19, bahasa Melayu beradaptasi dengan aksara Latin dan berkembang menjadi bahasa Indonesia, yang kemudian dijadikan simbol persatuan oleh generasi muda dalam Sumpah Pemuda 1928.
Tidak terbantahkan bahwa eksistensi negara kolonial Belanda, yang dalam perspektif 
sejarah mirip seperti Majapahit, dapat dipahami sebagai struktur kekuasaan yang melampaui batas etnis atau bersifat supra-etnis, telah memainkan peran signifikan dalam meletakkan fondasi awal bagi terbentuknya wadah keindonesiaan. Periode kolonial ini menjadi semacam jembatan historis yang menghubungkan masa sebelum pergerakan nasional dengan fase 
perjuangan kemerdekaan yang berpuncak pada proklamasi Indonesia pada Agustus 1945. 
Dalam proses ini, pengalaman hidup di bawah pemerintahan kolonial Belanda, bersama dengan peran jaringan maritim, penggunaan bahasa Melayu, dan mobilitas diaspora, menjadi unsur-unsur penting yang ikut merajut kesadaran kebangsaan Indonesia. Bahkan, peta-peta 
kartografi yang dibuat oleh Belanda kemudian menjadi referensi awal bagi batas wilayah Indonesia modern. Sebagai bekas koloni Hindia Belanda, masyarakat di kepulauan Nusantara secara bertahap terbiasa dengan sistem pemerintahan yang terpusat, berkarakter supra-etnis, 
dan berpusat di Batavia. Pengalaman ini membentuk landasan bagi pemahaman kolektif tentang tatanan politik yang melampaui batas-batas etnis. Namun demikian, pada masa pergerakan nasional, pengalaman tersebut justru menjadi titik tolak kritik terhadap kolonialisme dan memicu perjuangan untuk membebaskan diri dari kekuasaan asing. Aspirasi 
untuk hidup sebagai warga negara merdeka akhirnya diwujudkan dalam bentuk negara-bangsa Indonesia.
Dengan semua butir utama dari benang merah di atas, pembentukan negara Indonesia melalui proses sejarah panjang dan jauh lebih kompleks dari sekadar konsep imagined community oleh Anderson.29 Justru, pernyataan sejarawan Indonesia Sartono Kartodirdjo 
sangat penting dirujuk di sini. Baginya, menjadi Indonesia adalah proses panjang bersifat kumulatif, berlangsung berabad-abad melalui interaksi sosial, pertukaran budaya, dan mobilisasi politik di berbagai wilayah Nusantara. Semua itu telah menciptakan kesadaran kolektif lintas wilayah yang menjadi fondasi bagi munculnya identitas baru sebagai bangsa,30

 
Catatan :
29Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of 
Nationalism, Revised Edition (London and New York: Verso, 1991), hlm. 5-6.
30Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900: Dari Emporium 
sampai Imperium I (Jakarta: Gramedia, 1988), hlm. xiii-xxiii.


sebagaimana juga ditegaskan Harsja Bachtiar yang telah dikutip di atas. Di titik ini, "kehendak untuk hidup bersama" juga berlaku untuk konteks Indonesia. 31
Pasca perang mempertahankan kemerdekaan (1945-1949) , keindonesiaan menghadapi tantangan internal serius. Presiden Sukarno pernah mengatakan bahwa musuh yang utama adalah datang dari dalam bangsa sendiri. Pada 1950-an, ketidakstabilan pemerintahan dan 
ekonomi, disertai gejolak daerah yang disebut "pemberontakan setengah hati", mengancam integrasi nasional. Dalam situasi ini, korupsi mulai mencuat, mendorong dibentuknya "Operasi 
Budi" oleh Kabinet Juanda (1957–1958). Muncul pertanyaan: apakah semangat perjuangan kemerdekaan mulai dilupakan? Tidak kalah pentingnya, pada masa ini juga terjadi ketegangan politik yang tajam yang ditandai dengan polarisasi dan kompetisi kekuasaan dan ideologi yang menyebabkan gagalnya proyek politik Nasakom, meskipun semula diharapkan mampu menjadi perekat seluruh kekuatan sosial-politik bangsa. Situasi tersebut akhirnya mencapai 
puncaknya dalam tragedi nasional 1965, peristiwa traumatis yang hingga kini masih membekas dalam ingatan kolektif bangsa Indonesia. Dalam kerangka ini, persoalan kebangsaan kembali menjadi isu krusial yang menuntut perhatian dan pemikiran serius.

5. Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global
Dalam konteks NKRI, kebangsaan berperan vital sebagai perekat ideologis yang menyatukan bangsa di tengah keberagaman geografis, etnis, budaya, dan agama. Ia bukan sekadar simbol 
administratif, melainkan fondasi normatif dan kultural yang menopang kehidupan berbangsa. 
Dalam perjalanan sejarahnya, sebagaimana telah ditunjukkan di atas, konstruksi identitas nasional Indonesia banyak dipengaruhi oleh kontak dengan dunia luar, baik melalui jalur 
perdagangan antarbenua, kolonialisme yang menanamkan sistem politik-ekonomi baru, 
migrasi lintas wilayah yang membawa ide dan praktik budaya baru, hingga perkembangan teknologi komunikasi yang membentuk ruang publik digital masa kini. Arus global membuka peluang memperkaya identitas nasional, tetapi juga bisa mengancam jati diri kebangsaan. 
Karena itu, pemahaman kebangsaan harus dilihat sebagai dialektika antara lokal dan global. 
Hanya melalui kesadaran historis dan refleksi kritis, kebangsaan Indonesia dapat dijaga dan diperkuat menghadapi tantangan zaman.
Kebangsaan juga berfungsi sebagai sumber legitimasi bagi keberadaan negara Indonesia. 
Melalui sejarah, negara menemukan dan merumuskan identitas misalnya sebagai bangsa yang toleran, gotong-royong, religius, dan alasan moral-politik untuk terus mempertahankan keutuhan NKRI. Sebagai contoh, narasi tentang integrasi Papua atau Aceh ke dalam NKRI bukan hanya persoalan geopolitik, tetapi disandarkan pada argumen historis bahwa wilayah tersebut memiliki memori sejarah bersama dan turut serta dalam proses kemerdekaan atau 
memiliki jejak perjuangan nasional. Tanpa keberadaan sejarah kebangsaan, dasar eksistensi negara akan rentan dan mudah digugat. Berikut ini disajikan gambaran dinamika kebangsaan Indonesia dalam konteks arus global, khususnya sejak periode di seputar Proklamasi 
Kemerdekaan.

5.a Fondasi Konstitusional Kebangsaan 
Konsep kebangsaan Indonesia secara resmi dirumuskan menjelang Proklamasi 17 Agustus 1945 dan dituangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Rumusan tersebut merupakan artikulasi dari semangat anti-kolonialisme yang telah berkembang sejak awal abad 

Catatan :
 
31Ernest Renan, “What is a Nation?” dalam: Geoff Eley dan Ronald Grigor Suny (eds.),
Becoming National: A Reader (New York: Oxford University Press, 1996), hlm. 42–55. 
http://ucparis.fr/files/9313/6549/9943/What_is_a_Nation.pdf


ke-20 dan mencerminkan aspirasi kolektif untuk membentuk suatu negara yang merdeka, berdaulat, adil, dan beradab. Esensi kebangsaan dalam pembukaan UUD 1945 menegaskan tiga prinsip utama: 
(1) kemerdekaan sebagai hak segala bangsa; (2) perlindungan negara terhadap segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; serta 
(3) tujuan negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut serta dalam 
menciptakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Konsepsi kebangsaan yang dikandung dalam dokumen tersebut bukanlah bentuk 
nasionalisme yang berbasis etnisitas, agama, atau golongan tertentu, melainkan sebuah 
nasionalisme yang inklusif. Ia berakar pada nilai-nilai universal kemanusiaan dan keadilan sosial, serta berupaya mengintegrasikan keberagaman budaya, etnis, dan agama ke dalam 
kerangka negara-bangsa yang satu.32

Dengan demikian, kebangsaan Indonesia diposisikan bukan sebagai identitas eksklusif, tetapi sebagai proyek integratif yang terus menerus dibangun melalui proses sejarah, dialog sosial, dan institusionalisasi politik.33

5.b Masa Mempertahankan Kemerdekaan: Kebangsaan dalam Fragmentasi Ideologi
Meskipun idealisasi kebangsaan telah secara tegas dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, realitas sosial-politik Indonesia pada paruh akhir 1940-an menunjukkan bahwa kebangsaan sebagai konstruksi politik masih sangat rapuh dan problematik. Negara Indonesia yang baru merdeka harus segera menghadapi serangkaian krisis internal berupa konflik ideologis yang bersumber dari perbedaan visi mengenai bentuk negara dan arah ideologinya. Pemberontakan 
Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun pada September 1948 dan gerakan Darul 
Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang bermula di Jawa Barat pada tahun berikutnya merupakan dua ekspresi ekstrem dari fragmentasi ideologi dalam tubuh bangsa yang baru terbentuk.34

Konflik-konflik tersebut berlangsung di tengah perjuangan diplomatik dan militer 
melawan agresi Belanda yang belum mengakui kemerdekaan Indonesia. Di tingkat internasional, Indonesia mendapat dukungan dari negara-negara Asia dan Timur Tengah dalam 
konteks dekolonisasi pasca-Perang Dunia II dan munculnya tatanan dunia bipolar antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.
35 

Dalam suasana Perang Dingin yang mulai mengeras, Indonesia harus menavigasi jalan kebangsaannya di antara tekanan ideologis global antara kapitalisme liberal dan sosialisme-komunisme. 
Konferensi Meja Bundar (1949) merupakan kemenangan diplomatik karena Belanda 
mengakui kedaulatan Indonesia, namun juga mencerminkan kompromi politik melalui 


Catatan :
 
32Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas 
Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), hlm. 89–91.
33Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of 
Nationalism (London: Verso, 2006), hlm. 6–7
34Lihat Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Ithaca: 
Cornell University Press, 1962), hlm. 104–115; Mengenai Darul Islam, lihat C. van 
Dijk, Rebellion under the Banner of Islam: The Darul Islam in Indonesia (The Hague: Martinus 
Nijhoff, 1981).
35J.D. Legge, Indonesia (Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1964), hlm. 122–126.


pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) yang sempat melemahkan sentralitas NKRI.36

Dalam konteks ini, kebangsaan Indonesia diuji oleh kompleksitas antara aspirasi nasional yang menghendaki kesatuan dan kedaulatan penuh, dengan kenyataan keberagaman ideologi, fragmentasi elite politik, dan loyalitas lokal yang masih kuat. Tantangan konsolidasi negarabangsa menjadi agenda utama dalam masa transisi ini, termasuk upaya integrasi wilayah dan 
penataan ulang institusi politik yang masih cair.

5.c Demokrasi Parlementer dan Penguatan Kebangsaan

Pada 1950-an, Indonesia mulai mengonsolidasikan diri sebagai negara-bangsa dengan mengembalikan bentuk negara dari RIS ke NKRI, mencerminkan aspirasi rakyat untuk persatuan nasional. Konsolidasi ini dilanjutkan dengan Pemilu 1955, yang menjadi tonggak penting dalam sejarah demokrasi negara-negara pasca-kolonial. Pemilu ini menghasilkan dua 
lembaga penting: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Konstituante, yang bertugas merumuskan konstitusi baru sebagai landasan demokrasi yang lebih matang.
Namun, harapan terhadap sistem demokrasi parlementer segera dihadapkan pada 
kenyataan politik yang kompleks. Tingginya fragmentasi politik dengan lebih dari 30 partai dan poros ideologi yang kuat, nasionalisme sekuler, Islam politik, dan komunisme, menyuburkan politik aliran yang sektarian. Hal ini menghambat tercapainya konsensus nasional, termasuk dalam Majelis Konstituante yang gagal menyepakati dasar negara antara 
pendukung Pancasila dan Islam, sehingga penyusunan konstitusi baru terhambat.37

Keadaan ini semakin kompleks akibat dinamika global selama era Perang Dingin, ketika Indonesia sebagai negara nonblok berada dalam tekanan ideologis dari kedua kutub kekuatan dunia: 
Blok 
Barat dan Blok Timur. Dengan memanfaatkan momentum gelombang dekolonisasi, Indonesia tampil sebagai motor penggerak solidaritas negara-negara Dunia Ketiga, khususnya melalui 
penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 dan keterlibatannya dalam pembentukan Gerakan Non-Blok. Dalam posisi ini, Indonesia mengartikulasikan suara negara-negara baru yang menolak untuk terjerat dalam politik aliansi ideologis global.
Dalam konteks rivalitas geopolitik tersebut, proses institusionalisasi kebangsaan 
Indonesia berlangsung di tengah tekanan dan tarik-menarik kepentingan internasional. 
Ketidakmampuan elite politik domestik untuk menyelesaikan perbedaan secara deliberatif dan konstitusional mendorong Presiden Sukarno untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945. Keputusan ini mengakhiri sistem demokrasi parlementer dan mengkonsolidasikan kekuasaan eksekutif atas nama stabilitas dan kesatuan nasional, meskipun pada saat yang sama mengorbankan nilai-nilai 
demokrasi partisipatif dan prinsip deliberasi dalam proses politik.

5.d Kebangsaan dalam Semangat Revolusioner

Dekrit 5 Juli 1959 menandai peralihan dari demokrasi parlementer ke Demokrasi Terpimpin, di mana kebangsaan diposisikan sebagai proyek ideologis dan revolusioner yang dipimpin langsung Presiden Sukarno. Dalam sistem ini, negara berperan sebagai penggerak utama 

Catatan :
 
36Robert Cribb, Historical Atlas of Indonesia (Richmond: Curzon Press, 2000), hlm. 162–
164.
37R. William Liddle, "The Islamic Turn in Indonesia: A Political Explanation," The 
Journal of Asian Studies, Vol. 55, 
No. 3 (1996): hlm. 
613–614.
https://www.jstor.org/stable/2646448


revolusi dan pengarah tunggal kehidupan politik nasional. Konsep Nasakom, penyatuan Nasionalis, Agama, dan Komunis, menjadi pilar gagasan kebangsaan era Presiden Sukarno, dengan harapan membentuk basis ideologis revolusi Indonesia. Meski dimaksudkan untuk 
menjembatani perbedaan, Nasakom justru memperdalam polarisasi, khususnya antara PKI dan TNI, yang menimbulkan ketegangan luas dan memicu instabilitas yang memuncak pada tragedi 1965. 
Gejolak domestik, termasuk pemberontakan daerah seperti PRRI/Permesta akibat 
ketimpangan pembangunan, mendorong Presiden Sukarno memperkuat peran Indonesia di tingkat internasional. Melalui Gerakan Non-Blok, Indonesia menyuarakan solidaritas negaranegara baru yang menolak berpihak pada Blok Barat atau Timur. Namun demikian dalam praktiknya, politik luar negeri Indonesia semakin condong ke Blok Timur, dengan kedekatan terhadap Tiongkok, Uni Soviet, dan Korea Utara. Arah ini menegaskan posisi ideologis Indonesia secara global, namun juga menimbulkan kekhawatiran di dalam negeri dan di 
kalangan negara Barat, terutama Amerika Serikat dan sekutunya. 
Kecenderungan Indonesia mendekat ke Blok Timur menyebabkan isolasi dari beberapa 
lembaga internasional dan memperbesar ketegangan domestik akibat menguatnya pengaruh PKI. Sukarno memproyeksikan kebangsaan sebagai alat pembebasan dari imperialisme dan dasar “revolusi belum selesai.” Namun, fokus pada mobilisasi massa, kontrol negara atas masyarakat sipil, dan penguatan eksekutif justru mendorong otoritarianisme dan melemahkan 
institusi serta ruang demokrasi.

5.e Kebangsaan yang Dipersatukan

Tragedi nasional Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI) merupakan titik balik fundamental dalam sejarah kebangsaan Indonesia. Peristiwa tersebut tidak hanya menandai kehancuran 
kekuatan kiri, khususnya PKI, tetapi juga membuka jalan bagi militer, di bawah pimpinan Jenderal Soeharto, untuk mengambil alih kendali politik nasional. Dengan dukungan kuat dari Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya di tengah ketegangan Perang Dingin, Soeharto membangun rezim Orde Baru yang didasarkan pada agenda utama: stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, dan penanggulangan komunisme.
Dalam kerangka Orde Baru, konsep kebangsaan mengalami transformasi menjadi proyek integrasi nasional yang dibingkai oleh prinsip militerisme, sentralisme kekuasaan, dan depolitisasi warga negara. Penyeragaman ideologis dilakukan melalui pemberlakuan asas 
tunggal Pancasila bagi seluruh organisasi sosial dan politik, yang ditujukan untuk 
menghilangkan pluralisme ideologi dan mempersempit ruang oposisi.38 Fusi partai politik dalam Golkar, PPP, dan PDI pada tahun 1973 menjadi instrumen pengendalian politik yang efektif, yang sejalan dengan konsep “stabilitas nasional” sebagai fondasi pembangunan.
Pada era ini, Pancasila direduksi menjadi alat hegemonik untuk meneguhkan dominasi negara atas masyarakat. Pembangunan dijalankan melalui Repelita yang berfokus pada pertanian, industri, dan infrastruktur, dikendalikan oleh militer dan birokrasi sipil. Seluruh kebijakan dibingkai dalam ideologi “pembangunan nasional” yang erat kaitannya dengan penguatan identitas kebangsaan. Konsep Wawasan Nusantara, yang menekankan pentingnya 
kesatuan wilayah kepulauan sebagai satu kesatuan politik dan ekonomi, juga digunakan 
 
38R. William Liddle, "The Politics of Shared Growth: Some Indonesian 
Cases," Comparative Politics, Vol. 19, No. 2 (1987): 127–146.
https://www.jstor.org/stable/421795

sebagai instrumen ideologis untuk menginternalisasi nasionalisme teritorial di seluruh wilayah Indonesia.
Kebangsaan versi Orde Baru bersifat teknokratis, elitis, dan eksklusif, dipengaruhi oleh paradigma liberal dan teori modernisasi yang menekankan pertumbuhan ekonomi.39

Pendekatan ini mengabaikan pemerataan, partisipasi politik, dan hak sipil. Identitas 
kebangsaan dibentuk dari atas tanpa melibatkan masyarakat, sehingga identik dengan disiplin politik, efisiensi administratif, dan depolitisasi rakyat, bukan sebagai ruang inklusif bagi partisipasi warga negara. Kontradiksi antara pertumbuhan ekonomi yang eksklusif dan praktik 
kekuasaan yang represif menjadi sebab struktural dari runtuhnya rezim Orde Baru dan menjadi babak baru dalam sejarah kebangsaan Indonesia.

5.f Era Reformasi: Kebangsaan dalam Tantangan Lokal dan Global

Runtuhnya Orde Baru pada Mei 1998 menandai awal era Reformasi, yang mengusung demokrasi, akuntabilitas, dan keadilan sosial. Capaian utamanya adalah empat kali amandemen UUD 1945 (1999–2002) yang secara mendasar mengubah struktur ketatanegaraan, desentralisasi, memperkuat parlemen, memperluas hak warga negara, serta memperkenalkan 
pemilu langsung dan pembatasan masa jabatan presiden.
Namun, demokrasi Indonesia secara luas menghadapi tantangan substantif. Di balik 
prosedur elektoral yang demokratis, kebangsaan justru menghadapi fragmentasi baru yang ditandai oleh domestifikasi oligarki dalam struktur politik.40 

Demokrasi elektoral berkembang 
secara transaksional, ditandai oleh dominasi uang, patronase, dan pembajakan partai oleh elite ekonomi, sementara lemahnya pendidikan politik turut memperburuk kualitas demokrasi. 
Koalisi elite politik dan pengusaha besar merusak integritas perwakilan dan menciptakan ekonomi monopolistik yang melanggar prinsip keadilan sosial Pasal 33 UUD 1945. Agenda reformasi untuk membangun kebangsaan inklusif justru tersandera oleh ketimpangan dan 
eksklusi sosial dalam wajah baru yang lebih “demokratis”. Kebebasan politik pasca-Orde Baru memunculkan dinamika identitas etnis, agama, dan lokal yang kompleks. Meski merupakan ekspresi demokratis, politik identitas ini berisiko merongrong narasi kebangsaan inklusif jika tidak ditopang toleransi, solidaritas antarkelompok, dan konsensus Pancasila sebagai etika publik.
Uraian di atas menunjukkan bahwa konsep kebangsaan Indonesia merupakan konstruksi yang terus mengalami perkembangan seiring dengan perubahan sosial, politik, ekonomi, serta pengaruh dinamika global. Dari terbentuknya jejaring budaya lintas wilayah selama ribuan 
tahun, tumbuhnya semangat nasionalisme anti-kolonial yang memunculkan pergerakan Indonesia, hingga masa integrasi ideologis dan sentralisasi pembangunan pada era Orde Lama dan Orde Baru, serta gerak menuju demokratisasi dan desentralisasi di era Reformasi, 
kebangsaan Indonesia bukanlah sesuatu yang tetap, melainkan sebuah proses historis yang senantiasa dibentuk, diperdebatkan, dan diperjuangkan dalam ranah publik. Dalam konteks ini, buku ini penting sebagai sarana refleksi dan pembentuk identitas kolektif kebangsaan. Buku 
ini diharapkan menjadi ruang kritik dan dialog, bukan sekadar narasi heroik tunggal. Para penulis buku ini meyakini bahwa upaya menghidupkan kembali semangat kebangsaan 
 
39Anne Booth, The Indonesian Economy in the Nineteenth and Twentieth Centuries: A 
History of Missed Opportunities (New York: Macmillan, 1998), hlm. 205–208.
40Vedi R. Hadiz dan Richard Robison, “Oligarchy and Capitalism in Indonesia: 
Structural Analysis,” Journal of Contemporary Asia Vol. 40 No. 4 (2010): 539–559.
https://www.jstor.org/stable/10.5728/indonesia.96.0033

Indonesia harus didukung oleh historiografi yang dinamis dan responsif, mampu merangkai masa lalu, menjawab tantangan masa kini, dan memberi arah bagi masa depan. 

6. Kebaruan

Buku Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global menghadirkan kebaruan historiografis yang signifikan melalui tiga dimensi utama: pengayaan fakta sejarah, pembaruan 
metodologi, dan perluasan dan penegasan perspektif. Ketiganya menjadi fondasi untuk 
mendorong pembentukan historiografi nasional yang lebih inklusif, kritis, dan kontekstual dalam menjawab tantangan global serta disrupsi epistemik di era pascakolonial.

6.a Pengayaan Fakta
Dari sisi pengayaan fakta, buku ini secara eksplisit menghadirkan integrasi atas temuantemuan fakta baru dari berbagai riset akademik mutakhir selama dua dekade terakhir. Temuan tersebut mencakup disertasi, tesis, artikel jurnal ilmiah terindeks, hasil ekskavasi arkeologis, 
laporan riset kebudayaan, hingga kajian lapangan etnografis yang selama ini belum sepenuhnya terakomodasi dalam penulisan sejarah nasional arus utama, baik dalam Sejarah Nasional Indonesia (SNI) maupun Indonesia dalam Arus Sejarah (IDAS). Beragam sumber ini, yang sebelumnya kerap terpinggirkan dari narasi besar sejarah nasional karena dianggap terlalu 
lokal, marginal, atau tidak sesuai dengan skema politik sejarah dominan, kini secara sadar diartikulasikan secara sistematis dalam struktur naratif buku ini.
Dengan membuka ruang bagi berbagai hasil penelitian, baik dari kalangan sejarawan 
Indonesia maupun kontribusi penting dari sejarawan asing seperti Anthony Reid, Barbara Watson Andaya, Leonard Y. Andaya, Geoff Wade, Kenneth R. Hall, dan lainnya, buku ini memperkaya cakrawala historiografis dalam tiga dimensi utama: tematik, dengan menghadirkan isu-isu baru seperti sejarah perempuan, sejarah lingkungan, dan sejarah 
maritim; geografis, dengan mengangkat wilayah-wilayah yang sebelumnya dianggap perifer seperti Nusa Tenggara, Maluku, Kalimantan pedalaman, dan Papua; serta kronologis, dengan memperluas perhatian dari masa prasejarah dan awal sejarah hingga perkembangan mutakhir 
pasca-Reformasi.
Dengan demikian, buku ini tidak hanya menghadirkan data baru, tetapi juga mereposisi siapa yang dianggap sebagai aktor sejarah dan dari mana narasi sejarah layak dimulai. Ini merupakan langkah penting dalam mendemokratisasi historiografi Indonesia dan menegaskan 
bahwa sejarah kebangsaan bukan milik elite politik atau pusat kekuasaan, melainkan hasil pergulatan kolektif masyarakat Indonesia yang beragam dalam ruang dan waktu.
Fakta-fakta baru yang diungkap melalui pendekatan mikro-historis, sejarah lokal, sejarah sosial, dan sejarah maritim, misalnya, telah membuka ruang bagi narasi yang lebih kontekstual dan beragam termasuk kelompok-kelompok sosial yang selama ini dipandang marginal. 
Penemuan kembali peran lokal dalam peristiwa nasional, seperti keterlibatan komunitas Ambon, Buton, Mandar, atau Aceh dalam membentuk jaringan politik dan dagang transregional, membuktikan bahwa sejarah Indonesia tidak pernah tunggal, melainkan terajut dari mosaik pengalaman kolektif yang beragam.41

Bahkan dalam isu-isu kunci seperti pembentukan identitas kebangsaan, sejarah konflik, perlawanan terhadap kolonialisme, dan dinamika Islam lokal, temuan-temuan baru ini berhasil menantang asumsi narasi besar yang cenderung Jakarta-sentris atau Jawa-sentris. Penggunaan 
 
41Lihat misalnya Leonard Y. Andaya, Leaves of the Same Tree: Trade and Ethnicity in 
the Straits of Melaka (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2008).

sumber-sumber lokal baik tradisi lisan, artefak, manuskrip lokal, prasasti, serta naskah-naskah tradisional memperkuat posisi sejarah sebagai ruang artikulasi memori kolektif yang sebelumnya belum diperhitungkan. Dengan demikian, buku ini menghadirkan pembaruan substansial yang tidak sekadar menambahkan data baru, tetapi juga menegaskan pentingnya 
reposisi aktor dan wilayah dalam konstruksi historiografi kebangsaan, sebuah langkah penting dalam upaya menciptakan sejarah kebangsaan yang lebih demokratis, plural, dan berakar pada kenyataan sosial masyarakat Indonesia sendiri.

6.b Pembaruan Metodologi

Secara metodologis, buku Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus
Global berusaha melakukan pembaruan dalam pendekatan historiografi, dengan melanjutkan sekaligus mengembangkan warisan metodologis dari Prof. Sartono Kartodirdjo, pelopor pendekatan multidimensi dalam penulisan sejarah Indonesia. Dalam karyanya, Sartono 
menekankan pentingnya penggunaan konsep dan teori ilmu-ilmu sosial dalam seperti sosiologi, antropologi, ekonomi, politik, dan sebagainya guna memahami gerak sejarah sebagai ekspresi dari struktur sosial dan konflik kekuasaan yang nyata dalam masyarakat. Baginya, sejarah 
bukan sekadar kronik peristiwa, melainkan hasil dari relasi dinamis antara struktur dan agen sosial. Pendekatan inilah yang menjadi pijakan awal dalam menolak historiografi tradisional yang elitis, deskriptif, dan sentralistik.42

Namun demikian, buku ini tidak berhenti pada penggunaan konsep dan teori ilmu-ilmu sosial klasik lebih dari seperempat abad yang lalu. Buku ini memperluas cakupan metodologis dengan menyerap kerangka konsep dan teori mutakhir dari ilmu sosial dan humaniora, yang telah mengalami perkembangan pesat pasca-1980-an. Di antaranya adalah pendekatan poskolonial seperti yang dirintis oleh Edward Said, yang melalui Orientalism
mengkritik bagaimana wacana kolonial membentuk representasi tentang "Timur" sebagai liyan yang inferior dan pasif.43 Pemikiran ini diteruskan oleh Dipesh Chakrabarty yang mendorong 
pembebasan sejarah dari kategori-kategori universal Eropa dengan menyerukan perlunya “pluralitas waktu” dalam menulis sejarah masyarakat non-Barat. Chakrabarty menekankan bahwa menulis sejarah masyarakat non-Barat harus mengakui keberagaman pengalaman 
waktu, bukan memaksakannya ke dalam kerangka waktu tunggal Eropa. Ini membuka jalan bagi sejarah yang lebih inklusif, desentralistik, dan menghargai kompleksitas kultural.
Pemikiran ini sekaligus juga membuka ruang bagi kemunculan narasi-narasi sejarah alternatif, termasuk dari kelompok-kelompok subaltern yang sebelumnya termarginalkan dalam narasi 
arus utama yang tercermin dalam historiografi seperti kelompok perempuan, kelompok minoritas, kelompok orang kecil, masyarakat adat dan sebagainya.
44

Pembaruan metodologis dalam buku ini menandai langkah penting dalam melengkapi historiografi Indonesia menuju pendekatan yang multidimensional, reflektif, dan dekolonial. 
 
42Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: 
Gramedia, 1992)
43Edward W. Said, Orientalism (New York: Pantheon Books, 1978). Lihat juga tulisannya 
Edward W. Said, “Orientalism Reconsidered”, Cultural Critique, No. 1 (Autumn, 1985), hlm. 
89-107. https://www.jstor.org/stable/1354282 
44Dipesh Chakrabarty, Provincializing Europe: Postcolonial Thought and Historical 
Difference (Princeton: Princeton University Press, 2000). Lihat juga Dipesh Chakrabarty, “In 
Defense of "Provincializing Europe": A Response to Carola Dietze”, History and Theory, Vol. 
47, No. 1 (Feb., 2008), hlm. 85-96. https://www.jstor.org/stable/25478726 

Dengan tetap berpijak pada warisan intelektual Prof. Sartono Kartodirdjo yang menekankan pentingnya rapproachment antara sejarah dan ilmu-ilmu sosial, buku ini berusaha memperluas cakrawala metodologis melalui adopsi teori-teori mutakhir, seperti poskolonialisme,pluralitas 
waktu, dan studi subaltern. Hasilnya adalah konstruksi narasi sejarah yang tidak hanya 
menggambarkan dinamika kekuasaan dan struktur sosial, tetapi juga membuka ruang bagi suara-suara yang selama ini terpinggirkan. Melalui pendekatan ini, buku ini menghadirkan historiografi kebangsaan yang lebih inklusif, adil, kritis, dan demokratis, yang mampu menangkap kompleksitas pengalaman historis masyarakat Indonesia baik dalam kerangka 
lokal maupun global.

6.c Perspektif

Salah satu kebaruan dalam buku ini terletak pada penguatan perspektif historiografis ke arah yang lebih Indonesia-sentris dan berprinsip otonomi sejarah. Perspektif ini tidak hanya menjadi respons terhadap dominasi historiografi kolonial yang menempatkan Indonesia sebagai objek 
pasif dalam sejarah dunia, tetapi juga merupakan koreksi kritis terhadap narasi sejarah nasionalyang sebelumnya terlalu tersentralisasi, homogen, dan bersifat top-down. 
Penguatan dan Pengembangan Perspektif Indonesia SentrisPerspektif Indonesia-sentris dalam historiografi merupakan cara pandang yangmenempatkan masyarakat Indonesia sebagai pelaku utama dalam perjalanan sejarah Indonesia 
itu sendiri, bukan sekadar sebagai objek dari kekuasaan kolonial atau narasi barat-sentris. 
Wacana penulisan sejarah bercorak Indonesia-sentris muncul sebagai respons kritis terhadap dominasi historiografi Neerlandosentris, yakni sejarah Indonesia yang ditulis dari sudut pandang Belanda oleh sejarawan kolonial. Corak ini wajar muncul karena sejarawan Belanda 
menulis berdasarkan perspektif, nilai, dan kepentingan mereka sendiri. Akibatnya, dalam narasi kolonial, orang Belanda tampil sebagai tokoh utama (dramatisch persoon), sementara masyarakat pribumi hanya diposisikan sebagai figuran, antagonis, atau pemberontak. 
Perlawanan rakyat terhadap kolonialisme dikonstruksi sebagai tindakan ekstremis yang mengganggu ketertiban, sedangkan penumpasan oleh Belanda dirayakan sebagai keberhasilan heroik. Perspektif Indonesia-sentris hadir untuk mengoreksi ketimpangan representasi ini, dengan mengangkat pengalaman, agensi, dan pandangan dunia masyarakat Indonesia sebagai inti narasi sejarah. Karya J.C. van Leur menandai tonggak penting dalam upaya menggeser perspektif 
historiografi Indonesia dari sudut pandang Eurocentris menuju pendekatan yang lebih Asiasentris. Dalam konteks kolonial, sejarah Nusantara umumnya ditulis oleh sejarawan Belanda dengan menjadikan aktor-aktor Eropa sebagai pusat narasi. Van Leur meskipun ia orang Belanda, mengkritisi pendekatan ini dan mengusulkan penulisan history from within, yakni sejarah yang ditulis dengan empati terhadap masyarakat Indonesia sebagai subjek utama, bukan 
sekadar objek kolonial.45

Fenomena Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 mendorong para penulis sejarah Indonesia melakukan dekolonisasi historiografi, menggantikan narasi Neerlandosentris dengan menempatkan pribumi sebagai aktor utama sejarah. Apa yang dahulu disebut pemberontak kini 
diposisikan sebagai pahlawan, sebaliknya tokoh kolonial direduksi perannya. Dari sinilah lahir historiografi nasionalistis, yang menonjolkan semangat antikolonial dan nasionalisme. 
Meskipun cenderung anakronistis dan interpretatif secara berlebihan, corak ini dapat dipahami sebagai respons atas kebutuhan zaman: negara-bangsa yang baru merdeka memerlukan 
 
45J.C. van Leur, Indonesian Trade and Society: Essays in Asian Social and Economic 
History (Dordrecht/Providence: Foris, 1983) 

legitimasi historis untuk memperkuat identitas nasional dan menghadapi sisa-sisa kolonialisme Belanda. Dalam konteks ini, sejarah ditulis sebagai instrumen perjuangan dan pembentukan 
kesadaran kolektif.
Seiring melemahnya ancaman kolonial Belanda dengan berakhirnya Perang 
Kemerdekaan dan meningkatnya kematangan intelektual sejarawan Indonesia, perspektif Indonesia-sentris mulai disempurnakan melalui penerapan metodologi sejarah kritis. Dengan demikian, orientasi kebangsaan tidak lagi mengorbankan akurasi dan objektivitas historis. Untuk memperkuat legitimasi ilmiahnya, tokoh seperti Sartono 
Kartodirdjo memelopori pendekatan multidimensional dengan mengintegrasikan konsep dan teori ilmu-ilmu sosial ke dalam historiografi Indonesia-sentris, sehingga sejarah tidak hanya menjadi alat ideologis, tetapi juga analisis ilmiah terhadap dinamika masyarakat Indonesia. 46
Pada periode selanjutnya Bambang Purwanto menilai bahwa historiografi Indonesiasentris mengalami kemandekan setelah era Sartono Kartodirdjo. Meskipun berhasil membalik sudut pandang dari kolonial ke nasional, pendekatan ini dinilai tetap terjebak dalam kerangka lama, bahkan cenderung anakronistik karena semangat nasionalisme yang berlebihan. 
Dominasi sejarah struktural juga membatasi eksplorasi epistemologi baru di kalangan 
sejarawan muda. 47

Memang tepat jika dikatakan bahwa perspektif Indonesia-sentris telah memainkan peran krusial dalam mendekolonisasi narasi sejarah Indonesia, khususnya untuk periode kolonial, 
dengan memindahkan fokus dari tokoh-tokoh kolonial Eropa kepada rakyat Indonesia sebagai subjek utama sejarah. Namun demikian, penerapan perspektif ini secara linier terhadap periode pascakemerdekaan justru menghadirkan persoalan baru. Ketika sebagian besar aktor 
sejarah Indonesia pasca-1945 adalah orang Indonesia sendiri, pendekatan ini cenderung mengalami stagnasi metodologis dan konseptual. Tanpa pembaruan epistemologis, Indonesiasentrisme berpotensi menjadi sekadar glorifikasi nasionalisme yang menutupi kompleksitas, 
konflik internal, dan deviasi kuasa pasca-kolonial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebagai gantinya, dua perspektif yang lebih adaptif digunakan dalam penulisan buku ini: 
pertama, perspektif kebangsaan yang kritis, yakni pendekatan yang menempatkan nilai-nilai dasar kebangsaan sebagaimana yang termaktub dalam dasar negara Pancasila dan konstitusisebagai tolok ukur nilai dan kerangka moral terhadap jalannya sejarah kebangsaan. Perspektif ini tidak apriori memihak negara, melainkan menguji bagaimana kekuasaan dijalankan dan 
untuk siapa. 
Kedua, perspektif kerakyatan berbasis nilai keadilan, yang menjadikan suara dan 
pengalaman rakyat, terutama kelompok marginal seperti petani, buruh, perempuan, masyarakat adat, dan minoritas, sebagai pusat dalam interpretasi sejarah. Dengan demikian, sejarah bukan hanya milik elite tetapi juga menjadi narasi yang memperjuangkan keadilan, partisipasi, dan 
inklusivitas bagi masyarakat biasa. Dengan demikian, buku ini tidak sekadar sebagai media untuk menatap masa lalu sebagai sumber kebanggaan, tetapi juga sebagai medan refleksi untuk membentuk masa depan Indonesia yang lebih demokratis, inklusif, dan berkeadilan.

Otonomi Sejarah

Selain memperkuat dan mengembangkan perspektif Indonesia-sentris, buku ini juga dirancang dengan perspektif otonomi sejarah. Jika perspektif Indonesia-sentris menekankan pentingnya menempatkan masyarakat Indonesia sebagai aktor utama sejarah, maka perspektif otonomi 
 
46Lihat Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: 
Suatu Alternatif (Jakarta: Gramedia, 1982).
47Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?! (Yogyakarta: Ombak, 
2006), hlm. 46. 

sejarah atau sejarah otonom merupakan perspektif sejarawan dalam penulisan sejarah yang berfokus pada dinamika internal, agensi, dan perspektif lokal suatu masyarakat atau kelompok, tanpa terlalu terpaku pada pandangan yang dipengaruhi oleh kekuatan eksternal seperti 
kolonialisme, imperialisme, atau narasi dominan dari kekuatan luar. Konsep ini muncul sebagai kritik terhadap historiografi kolonial dan Eurosentris yang cenderung menggambarkan sejarah masyarakat non-Eropa sebagai "reaksi pasif" terhadap intervensi asing, atau hanya sebagai 
bagian dari narasi besar peradaban Barat.48

Salah satu contoh dalam mengimplementasikan perspektif otonomi sejarah adalah penggantian istilah ‘prasejarah Nusantara’ dengan ‘akar peradaban Nusantara’. 

Penggunaan istilah ini menandai perubahan mendasar dalam historiografi kebangsaan Indonesia. Konsep ini mencerminkan perspektif lokal dan nasional, yang tidak terpaku pada dominasi sumber tertulis sebagai satu-satunya validasi historis yang biasanya dijadikan standar oleh negaranegara maju yang memiliki tradisi literasi. Dengan konsep ini warisan budaya berupa tradisi lisan, artefak arkeologis, struktur megalitik, serta jejak permukiman kuno dan sebagainya diposisikan sebagai sumber sah memori kolektif bangsa Indonesia. Dengan demikian, penggunaan istilah ‘akar peradaban Nusantara’ dalam buku ini membuka ruang bagi rekognisi 
terhadap pengalaman historis masyarakat adat, komunitas marjinal, dan kelompok lokal dalam struktur sejarah kebangsaan yang lebih inklusif dan otonom. 
Penggunaan istilah ‘akar peradaban Nusantara’ adalah bentuk dari kedaulatan 
epistemologis, bahwa bangsa Indonesia berhak mendefinisikan sendiri periodisasi dan kategori-kategori sejarahnya tanpa harus tunduk pada standar kolonial atau Euro-sentris. 
Seorang arkeolog kenamaan, Timothy Taylor, menyatakan bahwa istilah ‘prasejarah’ tidak bersifat netral maupun universal, melainkan merupakan produk konstruksi intelektual Eropa abad ke-19 yang sarat dengan asumsi implisit mengenai kemajuan linear, marginalisasi kebudayaan, serta pembelahan antara kelompok yang diakui memiliki sejarah (historical 
peoples) dan mereka yang dianggap tidak memiliki sejarah (people without history).49 

Di Indonesia, istilah ‘prasejarah’ ini diadopsi oleh Belanda dan dimasukkan dalam kerangka penulisan dan pengajaran sejarah kolonial. Hal ini secara jelas terlihat dalam buku yang dikategorikan sebagai historiografi kolonial, yaitu karya F.W. Stapel yang berjudul Geschiedenis van Nederlands-Indie sebanyak 6 jilid. Dalam Jilid I, Stapel menulis beberapa bab. Bab I berjudul ‘De Praehistorie’ atau ‘Prasejarah’. Selanjutnya disusul dengan bab-bab tentang Zaman Hindu yang kemudian diikuti dengan periode ‘Penyebaran Islam’. Jilid-jilid 
selanjutnya menceritakan kedatangan orang-orang Belanda di Nusantara dan berdirinya VOC hingga pemeritahan Kolonial Belanda.
Perspektif otonomi sejarah seperti itu sejalan dengan pemikiran Chakrabarty yang 
menyerukan desentralisasi epistemologi Barat dalam menulis sejarah, dengan menyatakan bahwa proyek modernitas tidak boleh menjadi satu-satunya kerangka dalam memahami 
 
48John R. W. Smail, “On the Possibility of an Autonomous History of Modern Southeast
Asia.” Journal of Southeast Asian History 2, no. 2 (July) 1961, hlm. 72-102. 
https://www.jstor.org/stable/20067340 . Lihat juga Eric Jones, ‘J.C. van Leur and the 
Problematic Origins of “Autonomous” Indonesian History’, Journal of Maritime Studies and 
National Integration, vol. 6, no. 1, Jun. 2022, hlm. 38-
49. https://doi.org/10.14710/jmsni.v6i1.13938 
49Timothy Taylor, “Prehistory vs. Archaeology: Terms of Engagement.” Journal of 
World Prehistory, vol. 21, no. 1, 2008, hlm. 1–18. http://www.jstor.org/stable/25801250. 


masyarakat non-Barat.50 

Penerapan perspektif ini diharapkan menjadi wujud kedaulatan bangsa dalam penulisan sejarah. Contoh lain adalah bahwa buku ini sependapat dengan temuan 
Resink yang menyatakan bahwa Indonesia tidak dijajah Belanda selama 350 tahun.51 Meskipun temuan Resink ini sudah lama dipublikasikan namun belum sepenuhnya diakomodasi dalam penulisan sejarah kebangsaan secara tegas. Indonesia tidak boleh lagi dipandang hanya menjadi 
objek dalam sejarah dunia, melainkan menjadi subjek yang aktif.

7. Gambaran Isi Buku

Buku ini terdiri atas sepuluh jilid dan setiap jilid dirancang secara tematik dan kronologis untuk menyajikan lintasan panjang sejarah Indonesia sebagai sebuah entitas geografis, sosial, dan kultural yang dinamis. 

Jilid 1, berjudul “Akar Peradaban Nusantara”, menyajikan fondasi 
ekologis, antropologis dan kultural dari sejarah panjang kawasan Nusantara sebelum terjadinya perjumpaan budaya (cultural encounter) dengan pusat peradaban dunia. Dinamika geologis 
dan klimatologis telah membentuk lingkungan hayati kaya dan menantang; manusia purba dan modern membangun kehidupan melalui migrasi, adaptasi ekologis, dan inovasi teknologi; juga 
mereka memiliki evolusi sistem sosial, kepercayaan, serta teknologi awal bercocok tanam dan peleburan logam; semua itu memperlihatkan adanya budaya unggul yang demikian mapan. 
Tradisi maritim dan permukiman pesisir turut menegaskan simpul peradaban yang terbuka terhadap pertukaran budaya lintas wilayah. 


Berbekal fondasi sosio-kultural yang dijelaskan di atas, masyarakat Nusantara kemudian menjalin kontak dan jejaring budaya khususnya dengan India dan Tiongkok, sebagaimana dibahas bagian berikutnya buku ini (jilid 2). Berjudul “Nusantara dalam Jaringan Global:
India, Tiongkok dan Persia”, pembahasan jilid ini difokuskan pada penciptaan peradaban yang berlangsung seiring dengan persilangan budaya dengan pusat-pusat peradaban tersebut. Dalam 
hal ini, Hindu-Budha menjadi agama dominan, dan sekaligus tampil dengan pranata peradaban semisal aksara, penanggalan, bahkan konsep kekuasaan yang kemudian menjadi landasan binanegara (statecraft) pada kerajaan-kerajaan berbasis agama tersebut, mulai dari Kuta hingga Majapahit. Diperkuat budaya maritim, Nusantara menyaksikan puncak pencapaian dari proses 
persilangan dengan Hindu-Budha, mulai dari literasi pengetahuan, ritual keagamaan, hingga arsitektur bangunan. 

Di tengah puncak pencapaian Hindu-Budha di atas, Nusantara pada saat bersamaan juga menjalin jejaring dengan pusat kekuasaan Islam yang baru berkembang di kawasan Timur Tengah, yang secara geografis terletak di Asia Barat dan Afrika Utara. Hal ini dibahas di jilid 3 dengan judul “Nusantara Dalam Jaringan Global: Asia Barat”, sebagai ekstensi dari proses historis serupa yang dibahas jilid sebelumnya. Jaringan perdagangan maritim berperan sangat 
sentral, yang membawa kepulauan Nusantara sejak abad ke-7 menjadi simpul utama dalam arus perpindahan orang dan barang (khususnya rempah-rempah) dari Timur Tengah ke “negeri di bawah angin” dan sebaliknya dengan melintasi Samudra Hindia. Diramaikan dengan kehadiran pedagang Tiongkok, maka jaringan perdagangan global-berbasis rempah terbentuk, di mana pedagang Muslim menjadi kontingen utama. Maka, di bandar-bandar dagang di bawah kerajaan Hindu-Budha, interaksi masyarakat Nusantara dengan para pedagang Muslim terjalin, 
 
50Dipesh Chakrabarty, Provincializing Europe: Postcolonial Thought and Historical 
Difference (Princeton: Princeton University Press, 2000).
51G.J. Resink, History Between the Myths: Essays in Legal History and Historical 
Theory (The Hague: W.van Hoeve, 1968). Lihat juga Harry J. Benda, “Reviewed Work(s): 
Indonesia's History between the Myths: Essays in Legal History and Historical Theory by G. 
J. Resink”, Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 1, No. 2 (Sep., 1970), hlm. 134-136. 
https://www.jstor.org/stable/20069882

yang melahirkan terbentuknya komunitas Islam, dan kemudian pada abad ke-13 terjadi transformasi menjadi pusat-pusat kekuasaan politik berupa kesultanan. Proses ini menandai fase penting penyebaran dan pembentukan peradaban Islam diNusantara, seraya bersandar pada peradaban yang telah berkembang sebelumnya.
Isu berikutnya terkait pertemuan dengan Barat, yang menjadi lapisan ketiga dalam proses pembentukan peradaban Nusantara. 

Ini menjadi pembahasan jilid 4, berjudul “Interaksi Awal dengan Barat: Kompetisi dan Aliansi”. Jilid ini menarasikan awal interaksi Nusantara dengan dunia Barat yang ditandai masuknya Eropa ke dalam jaringan perdagangan di Nusantara, mulai dengan Portugis dan Spanyol, disusul Belanda yang sejak 1602 hadir sebagai maskapai dagang 
VOC, dan bangsa-bangsa Barat lain. Datang di saat kerajaan-kerajaan Islam sudah berkembang demikian mapan, kehadiran mereka menciptakan dinamika dan gejolak sosial-politik, mulai dari kompetisi, aliansi, hingga resistensi. Aceh, Riau-Johor, Gowa-Tallo, Mataram, Ternate, dan Tidore tampil sebagai kerajaan berdaulat yang menjalin kontak dengan VOC, baik melalui 
diplomasi maupun resistensi melawan kekuatan militer dan monopoli dagang oleh maskapai dagang Belanda tersebut, yang berkembang menjadi kekuatan besar di Nusantara sampai akhir abad ke-18. Interaksi ini juga memperluas pertukaran budaya dan pengetahuan, memicu 
intensifikasi dan bahkan aktivisme Islam dan misi Kristenisasi, sekaligus melahirkan diaspora maritim serta perlawanan rakyat terhadap VOC.
Menyusul kejatuhan VOC di penghujung abad ke-19, kerajaan Belanda hadir secara 
resmi sebagai “penguasa wilayah Nusantara”, menandai babak baru sebagai periode kolonial dalam sejarah Indonesia. 

Hal ini menjadi pembahasan jilid 5, berjudul “Masyarakat Indonesia dan Terbentuknya Negara Kolonial”, di mana pemerintah Belanda hadir dengan perangkat 
kekuasaan penuh sebagai negara kolonial berikut imajinasi kesatuan wilayah Hindia Belanda. 
Bersama dengan itu, Belanda menerapkan aturan terkait administrasi, hukum, dan kebijakanekonomi, selain pembangunan fasilitas publik semisal jalan raya, pelabuhan dan pos. Sebagai akibatnya, perubahan sosial di kalangan masyarakat Indonesia menjadi keniscayaan. Di samping mereka yang berkolaborasi, muncul pula gerakan perlawanan di berbagai daerah 
dengan beragam corak, mulai dari Perang Padri (1820-1837) hingga pemberontakan petani Banten pada 1888. Tentu tidak semua, gerakan perlawanan tersebut terkait dengan kebijakan ekonomi eksploitatif, termasuk bidang pertanahan, juga jaringan keagamaan dengan Mekah yang kian intensif sebagai pusat pembelajaran dan ritual Islam. 
Masih di era kolonial, awal abad ke-20 menyaksikan geliat baru di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya mereka sebagai jebolan pendidikan Barat modern di sekolah Belanda, yang dibangun sebagai bagian dari kebijakan Politik Etis. 

Sebagaimana dibahas di jilid 6,
berjudul “Pergerakan Kebangsaan”, mereka yang disebut kaum intelegensia bangkit dengan kesadaran baru kebangsaan di tengah pertumbuhan kota kolonial, kemajuan pendidikan, dan meluasnya media massa. Beragam organisasi pergerakan, baik berbasis ideologi (Islamisme, komunisme dan nasionalisme), agama dan etnis, maupun pemuda dan perempuan, tumbuh dan berkembang, menyuarakan aspirasi kemerdekaan dan keadilan. Di tengah represi kolonial dan krisis global, pergerakan nasional mengalami konsolidasi strategis hingga masa penjajahan Jepang, yang justru membuka peluang bagi persiapan kemerdekaan Indonesia melalui 
BPUPKI, PPKI, dan momentum Proklamasi 17 Agustus 1945.

Setelah Proklamasi sebagai negara-bangsa merdeka, Indonesia memasuki kondisi terjal menghadapi tantangan baik dari dalam maupun luar, sebagaimana dibahas jilid 7 dengan judul “Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan”. Masa ini adalah fase krusial perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan dari 1945 hingga akhir 1949 melalui jalur diplomasi, pertempuran bersenjata, dan konsolidasi pemerintahan. Di tengah tekanan agresi 
militer Belanda dan dinamika internal seperti pemberontakan PKI Madiun dan DI/TII, rakyat dan pemimpin nasional berjuang menegakkan kedaulatan politik, ekonomi, serta identitas 
budaya bangsa. Penting pula dicatat dalam konteks ini gejolak revolusi sosial di berbagai daerah di Indonesia, khususnya di Sumatra. Masa ini juga melahirkan warisan penting berupa institusi negara, ideologi kebangsaan Pancasila, dan visi hubungan internasional yang membentuk fondasi Indonesia berdaulat.

Berikutnya adalah jilid 8 berjudul “Konsolidasi Negara Bangsa: Konflik, Integrasi, dan Kepemimpinan Internasional, 1950 – 1965”. Bagian ini mengkaji konsolidasi negara-bangsa Indonesia pasca-perang kemerdekaan, suatu periode penting yang ditandai oleh pergulatan untuk membangun tata negara merdeka di tengah dinamika internal dan geopolitik global yang berubah. Dalam konteks ini, kepemimpinan Presiden Sukarno telah menorehkan sejumlah pencapaian monumental bagi bangsa, antara lain menyelenggarakan Pemilu demokratis 1955, yang menghasilkan sistem politik parlementer, serta merumuskan arah politik luar negeri bebas 
aktif, memelopori dan menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika (1955). Di dalam negeri, Sukarno menggagas konsep Demokrasi Terpimpin sebagai jalan mempersatukan ideologi-ideologi besar bangsa, yang terlibat dalam debat berkepanjangan di Majelis Konstituante hasil Pemilu 1955. Meskipun, periode ini diakhiri dengan tragedi nasional Gerakan 30S/PKI 1965dan berakhirnya kepemimpinan Presiden Sukarno.

Selanjutnya adalah era Orde Baru, dibahas jilid 9 berjudul “Era Orde Baru: Pembangunan dan Stabilitas Nasional, 1967-1998”. Jilid ini membahas era kepemimpinan Presiden Suharto yang menamainya sebagai pemerintahan Orde Baru, periode konsolidasi kekuasaan negara yang ditandai pembangunan ekonomi, modernisasi kelembagaan, dan stabilitas politik. Dengan 
landasan ideologi Pancasila dan penerapan Dwi Fungsi ABRI, pemerintah Orde Baru dalam dua dekade pertama berhasil menciptakan pertumbuhan ekonomi dan kemajuan pembangunan dalam berbagai aspek. Namun, dekade berikutnya ditandai oleh sentralisasi kekuasaan, pembatasan kebebasan sipil, pembungkaman oposisi politik, sehingga disinyalir terlibat dalam tindakan-tindakan yang melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia. Juga sangat penting dicatat adalah merebaknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pemilihan umum dijalankan 
secara periodik namun dalam kerangka politik yang terkendali, dengan dominasi Golkar sebagai kekuatan utama. Meskipun berhasil menjaga stabilitas dan memperkuat posisi Indonesia di forum internasional, akumulasi krisis ekonomi dan sosial, terutama pada 1997–1998, memunculkan gelombang demonstrasi mahasiswa disertai kerusuhan serta kekerasan yang berujung pada pengunduran diri Soeharto. 

Terakhir adalah jilid 10, berjudul “Dari Reformasi ke Konsolidasi Demokrasi, 1998-
2024”, membahas masa reformasi Indonesia pasca-1998 menyusul berakhirnya pemerintahanOrde Baru, yang ditandai bergulirnya demokratisasi dan desentralisasi kekuasaan. Periode ini 
memuat dinamika reformasi politik, konsolidasi demokrasi, perubahan konstitusi, pemilu multipartai, serta penguatan peran masyarakat sipil. Di tengah upaya membangun tata pemerintahan yang lebih terbuka dan partisipatif, Indonesia menghadapi tantangan serius seperti konflik horizontal, terorisme, krisis ekonomi global, dinamika politik identitas, dan juga 
masih kuatnya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Juga perlu dicatat pembajakan demokrasi untuk kepentingan pragmatis. Meski penuh gejolak, era ini memperlihatkan ketahanan bangsa 
dalam memperjuangkan demokrasi, keadilan sosial, dan posisi strategis Indonesia dalam percaturan global abad ke-21.

8. Penutup

Demikianlah, dalam sepuluh jilid buku Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus 
Global ini, keindonesiaan dijelajahi laksana menelusuri dan menjelujuri benang merah yang menjalin kisah panjang perjalanan bangsa Indonesia. Kadang benang merah itu tampak tegas dan menyala, menjelma semangat yang menggerakkan rakyat dari Sabang hingga Merauke. 
Namun di waktu lain, benang merah itu mengendur, memudar dalam hiruk pikuk zaman, nyaris larut dalam kabut kepentingan dan lupa ingatan kolektif. Keindonesiaan yang dahulu diperjuangkan dengan darah dan air mata kini sering kali digugat oleh kenyataan: ketika semangat Pancasila direduksi menjadi slogan, dan cita-cita Proklamasi 1945 seperti gema yang 
makin jauh terdengar.
Kepemimpinan menjadi simpul penting dalam simpang-siur sejarah itu. Ada masa ketikadialektika revolusioner terbangun, yakni gaya Sukarno yang visioner bersanding dengan keteguhan Hatta yang rasional, yang membentuk keseimbangan. Namun harmoni itu pelanpelan tergerus, digantikan oleh otoritarianisme yang melahirkan pembangunan, tetapi 
menyisakan jutaan perut yang lapar dan harapan yang patah. Indonesia memang telah bergerak maju, tetapi cita-cita “tidak ada lagi kelaparan di bumi merdeka” kadang masih terhenti di batas mimpi.
Reformasi hadir membawa harapan akan negara yang adil dan demokratis. Namun jalan keadilan itu masih panjang, tertatih-tatih oleh dominasi oligarki, keroposnya institusi, dan semangat kebangsaan yang kian terfragmentasi. Dalam pusaran global yang menggoda dan dalam dinamika domestik yang rumit, upaya meneguhkan kembali identitas kebangsaan menjadi semakin mendesak.
Buku ini ditulis bukan sebagai pengadilan masa lalu, tetapi diupayakan sebagai cermin jernih agar anak-anak bangsa dapat melihat pantulan dirinya, apa yang telah diperjuangkan, dan ke mana arah yang hendak dituju. Inilah kontribusi untuk mengasah sikap kritis, mencerdaskan bangsa dan menumbuhkan kesadaran sejarah dalam membentuk karakter 
bangsa, sebagai fondasi dalam upaya reinventing Indonesian identity yang kini kembali menggema. Semoga setiap halaman menjadi lentera yang menuntun bangsa ini memahami perjalanan sejarahnya dalam upaya mewujudkan Indonesia yang adil dan sejahtera, bersatu dalam kemajemukan, dan berkemajuan serta berkeadaban. ***




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gambar SI Jilid 4

 Jilid 4 BAB I Jilid 4 BAB II