Kamis, 31 Juli 2025

Draft SI 8

 MATERI DISKUSI PUBLIK DRAF PENULISAN BUKU

SEJARAH INDONESIA 2025

JILID 8

KONSOLIDASI NEGARA BANGSA:

KONFLIK, INTEGRASI DAN KEPEMIMPINAN 

INTERNASIONAL 1950-1965

PENULIS:

Dr. Kandar, M.A.P.

Dr. Mohammad Iskandar, M.Hum.

Dr. Dwi Mulyatari, S.S., M.A.

Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M.Hum. 

Nur Aini Setiawati, Ph.D.

Dr. Ahmad Fahrurodji, M.A.

Dr. Ir. Yuke Ardhiati, M.T.

Dr. Zaiyardam Zubir, M.Hum.

Dr. Israr, S.S., M.Si.

Dr. Bondan Kanumoyoso, M.Hum.





PENDAHULUAN

Konsolidasi negara bangsa Indonesia pada periode 1950-1965, berfokus pada upaya membangun kesatuan dan identitas nasional setelah Indonesia mencapai kemerdekaan. Akan tetapi, peristiwa itu diwarnai oleh berbagai tantangan dan dinamika politik. Pada masa ini, terjadi transisi dari demokrasi parlementer ke demokrasi terpimpin, yang kemudian diwarnai oleh ketidakstabilan politik dan polarisasi ideologi. 

Pembahasan konsolidasi negara menekankan pada penguatan dan penyatuan berbagai elemen negara untuk mencapai tujuan besama. 

Hal ini terjadi dikarenakan beberapa argumen, antara lain, pertama usaha untuk menciptakan stabilitas politik dan sosial. 

Kedua, konsolidasi membantu dan memperkuat legitimasi pemerintah dan institusi negara. 

Ketiga, memungkinkan negara untuk menghadapi tantangan eksternal dan internal. 

Keempat, konsolidasi negara berkontribusi pada pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. 

Permasalahan pokok dari bab ini adalah bagaimana konsolidasi negara dalam usahanya untuk menyatukan dan memperkuat hubungan antar masyarakat dalam membentuk suatu entitas yang lebih kuat. 

Isu ketidakstabilan politik akibat sering Jatuh bangun kabinet dalam waktu yang relatif singkat dan konflik antar partai politik. Demikian pula, muncul pergolakan politik dan pemberontakan diberbagai daerah seperti DI/TII, menjadi tantangan besar dalam menjaga keutuhan negara. Selain itu, pembangunan ekonomi nasional menghadapi kendala, termasuk ketergantungan pada modal asing serta belum meratanya pembangunan, sehingga terjadi ketimpangan pembangunan di Jawa dan luar Jawa. 

Kondisi ini memunculkan hubungan yang tidak harmonis antara Pemerintah dan Parlemen, hubungan pusat dan daerah. 

Sesuai dengan rumusan permasalahan bab ini memiliki tujuan mendeskripsikan dan menganalisis konsolidasi negara bangsa dengan dinamika konflik, integrsi, dan Kepemimpinan Internasional 1950-1965. Bab ini mencakup periode 1950-1965. 

Dimana tahun 1950 dipilih sebagai periode berakhirnya kekuasaan kolonialisme di Indonesia dan perjuangan Indonesia dalam menegakkan kedaulatan negara yang diikuti dengan munculnya pergolakan di daerah. 

Adapun diakhiri tahun 1965 karena diakhiri peristiwa dengan adanya tuntutan Tritura. 

Pada 15 Desember 1949 proses ratifikasi hasil KMB selesai dilaksanakan, hasilnya adalah: 236 suara setuju, 62 suara tidak setuju, dan 31 suara abstein.1 Berdasarkan hasil ratifikasi ini maka kesepakatan KMB itu dapat terlaksana. Melalui kesepakatan itu Republik Indonesia Serikat (RIS) memperoleh pengakuan kedaulatan dari Kerajaan Belanda secara de facto maupun de jure. Demi ”satu” pengakuan itu bangsa Indonesia harus bertaruh nyawa di 

1). Kahin. Nationalism and Revolution,. 5

medan perang, di garis depan, sampai akhirnya harus setuju menanggung utang piutang Belanda yang jumlahnya tidak kecil, yaitu sekitar 6,1 miliar gulden ($ 1,732,400.000). Dengan kata lain, pengakuan kedaulatan itu telah menjadikan RIS sebagai satu-satunya bekas koloni (jajahan) yang harus menanggung utang-utang mantan penjajahnya. Meski banyak kaum ”Kiblik” yang tidak setuju dengan keputusan itu, namun Mohammad Hatta memandang kedaulatan yang diterima oleh RIS adalah modal penting dalam bernegara, terutama dalam upaya menjalin hubungan dan dukungan dunia internasional di masa mendatang.

Sejak Januari 1950 Pemerintah RIS mulai menjalankan fungsinya negara yang berdaulat, dengan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang defisit. Hal itu terjadi karena banyak infrastruktur yang “diwarisi” dari Belanda yang nyaris semuanya dalam kondisi rusak dan kurang terpelihara, seperti: jalan-jalan perkebunan-perkebunan, pabrik-pabrik, termasuk sarana pendidikan. Karena itu Pemerintah Hatta berupaya melakukan konsolidasi politik-ekonomi pemerintahannya yang tertuang dalam program kabinetnya. 

Langkah awal yang ditempuhnya adalah melakukan semacam “Rasionalisasi dan Rekonstruksi” para aparatur negara baik sipil maupun militer, termasuk memensiunkan para aparatur pemerintah yang sudah masuk usia pensiun serta memutasikannya ketempat atau bagian yang sesuai dengan kompetensinya. 

Banyak yang mendukung kebijakan itu dan tidak sedikit pula yang menentangnya, terutama datang dari kalangan militer eks anggota KNIL Mereka menolak ditempatkan di bawah perwira TNI, atau menolak menjadi tentara nasional atau hanya mau ditempatkan menjadi tentara federal. 

Faktor-faktor seperti inilah yang kemudian mendorong munculnya pembangkangan atau pemberontakan, seperti: pemberontakan APRA di Jawa Barat,”Andi Azis” di Sulawesi Selatan, dan “RMS” atau Republik Maluku Selatan. 

Peritiwa-peristiwa tersebut dengan pengecualian “peristiwa 17 Oktober 1952, terjadi pada tahun 1950, ternyata berdampak langsung pada pada negara-negara bagian (federal), seperti Negara Pasundan dan Negara Jawa Timur. 

Masyarakat di kedua negara bagian itu merasa sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Republik Indonesia yang merdeka pada 17 Agustus 1945. Masyarakat Jawa Barat menuntut Negara Pasundan dibubarkan dan daerah itu kembali disatukan menjadi bagian dari Republik Indonesia-Yogyakarta. Demikian pula masyarakat di Jawa Timur menuntut agar Negara Jawa Timur dibubarkan dan kembali bergabung dengan Republik Indonesia-Yogyakarta. 

Langkah yang ditempuh oleh kedua negara bagian bikinan Belanda itu, kemudian diikuti oleh nagara-nagara bagian lainnya, sehingga dari 16 negara bagian hanya tersisa dua negara bagian yang tetap bertahan dalam RIS, yaitu Negara Indonesia Timur (NIT) dan Negara Sumatera Timur (NST). 

Untuk lebih meyakinkan benar ada-tidaknya tuntutan masyarakat seperti itu, maka Mohammad Hatta selaku Perdana Menteri RIS menunjuk Moh.Natsir dkk untuk melakukan penjajagan, survei tentang “tuntutan kembali bersatu dengan RI-Yogyakarta” 

Hasil survei itu kemudian dilaporkan dalam sidang DPR-RIS, yang kemudian menghasilkan mosi DPR yang kemudian lebih dikenal dengan nama “mosi Natsir” yang isinya menuntut pembubaran RIS dan kembali bersatu dalam sebuah “negara kesatuan”, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kembalinya RIS menjadi NKRI, secara resmi diumumkan pada 17 Agustus 1950.

Peristiwa kembalinya Indonesia menjadi NKRI secara tidak langsung membuktikan bahwa “semangat nasionalisme Indonesia mampu mementahkan rencana dan tindakan jahat Belanda untuk memecah belah semangat Nasionalisme Indonesia melalui pembentuk negaranegara federal, sekaligus untuk menjaga agar aktivitas bisnis para pengusaha Belanda di alam 

Indonesia merdeka tetap terjaga dan terlindungi. Namun para elit politik Belanda secara umum, memahami bahwa bagi bangsa Indonesia nilai 17 Agustus 1945 lebih bernilai daripada tanggal 27 November 1949. 

Selain itu Pemerintah Belanda menyadari pula bahwa kaum non koperatif di Indonesia kini telah tampil kembali memimpin NKRI menggantikan kaum kooperatif. Kahin menilai kembalinya Indonesia ke bentuk negara kesatuan sebagai petanda berakhirnya “revolusi Indonesia”. 

Meskipun bentuk negara telah berubah menjadi negara kesatuan, namun sistem pemerintahannya masih tetap dalam sistem parlementer, yang artinya pemerintahan dipimpin oleh “ketua” atau “pemimpin” partai politik (parpol) yang paling banyak anggotanya duduk di parlemen atau DPR. Kabinet pertama yang tampil dalam era NKRI adalah Kabinet Natsir, disusul kemudian oleh Kabinet Sukiman, Kabinet Wilopo, Kabinet Ali Sastroamidjojo, 

Kabinet Burhanuddin Harahap, Kabinet Ali Sastroamidjojo II dan terakhir Kabinet Djuanda. 

Dalam kurun waktu kurang dari satu dasawarsa, tampil tujuh kabinet tentu bukan satu prestasi yang membanggakan. Sebaliknya kenyataan seperti ini memunculkan satu pertanyaan bernada kebingungan yang pesimistis.

Memang benar, pada kenyataannya tidak satu pun Kabinet yang mampu melaksanakan programnya dengan tuntas dan baik; kecuali Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi). 

Kabinet yang disebutkan terakhir ini berhasil menyelenggarakan programnya pada tahun 1955, yaitu Pemilihan Umum (Pemilu), yang kemudian dinilai sebagai Pemilu terbaik, terjujur dan terbersih dalam sejarah pemilu yang pernah diselenggaran di Indonesia. Pemilu itu menampilkan PNI sebagai pemenang suara terbanyak, disusul oleh Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Munculnya PKI sebagai salah satu parpol terkuat di Indonesia menjadi berita yang cukup mengejutkan karena sejak penghianatannya kepada RI tahun 1948, sempat menenggelamkannya menjadi satu parpol yang tidak popular di mata masyarakat Indonesia. 

Fenomena ini sangat menarik Presiden Sukarno, sekaligus mendorongnya untuk melobbi pemenang Pemilu agar mengajak orang-orang PKI dalam kabinetnya mengajak serta PKI sebagai kabinet kaki empat. Akan tetapi, kenyataannya Ali Sastroamidjojo II (PNI) tidak mengajak wakil PKI untuk menjadi salah satu menterinya. Demikian pula kabinet yang menggantikan Kabinet Ali II, yaitu Kabinet Djuanda juga tidak menyertakan tokoh-tokoh PKI dalam barisan menterinya. Padahal Djuanda sebagai orang non partai, dapat tampil sebagai “formatur” kabinet karena dukungan Presiden Sukarno. 

Akhirnya Presiden Sukarno berhasil membawa dan melibatkan orang-orang PKI dalam pemerintahannya pasca dekritnya pada 5 Juli 1959. Dekrit itu telah mengaktifkan kembali UUD 1945 sebagai konstitusi NKRI menggantikan UUDS 1950, sekaligus telah menempatkan kembali posisi presiden RI sebagai kepala pemerintahan di samping tetap menjadi kepala negara. Dengan posisinya yang relatif kuat, Presiden Sukarno mulai mengaktifkan kembali pemikirannya yang dikenal dengan ”Konsepsi Presiden” (yang juga “dikritik tajam oleh Hatta selaku wakil Presiden karena dinilai akan mematikan kehidupan berdemokrasi di Indonesia). 

Selain itu Sukarno juga dalam rangka menjaga terlaksananya pembangunan ekonomi seperti yang dirancangnya melalui Dekon, Presiden Sukarno mencetuskan sebuah konsep yang disebutnya “Politik sebagai Panglima”. 

Sementara dalam rangka ikut berpartisipasi dalam pembangunan dunia, Presiden Sukarno menyampaikan gagasannya dalam pidatonya di forum PBB yang berjudul: 

“Membangun Dunia Kembali” (To build the World Anew) yang berisi gagasannya untuk membangun Dunia Baru, yang pengaruhnya berkembang pada KTT Non Blok yang diselenggarakan pada bulan September 1961 di Beograd, Yugoslavia (sekarang Serbia). Ideide itu di Indonesia kemudian berkembang dan memunculkan sebutan Newly Emerging Forces (Nefos) sebagai lawan dari Oldefos (Establised Forces (Oldefos). 

Dalam perkembangannya politik Nefos dan Oldefeos justru secara tidak langsung menempatkan Indonesia ke dalam “blok Timur” yang tercermin dari poros politik, “Jakarta-Phnom Penh – Peking –Pyongyang”.

Dalam kondisi seperti itu PKI relatif berhasil memaksimalkan kedekatannya dengan Presiden Sukarno. Partai komunis ini dipandang oleh Sukarno sebagai salah satu kekuatan progresif revolusioner yang dapat diandalkan. D.N. Aidit selaku Ketua C.C. PKI sering mendampingi Sukarno dalam perjalanan atau kunjungannya ke luar negeri. Banyak anggota PKI terpilih menjadi menteri, anggota parlemen (DPRS dan MPRS) untuk “merebut” satu posisi politik yang strategis dalam rangka mendominasi kekuasaan, antara lain dengan mendukung kebijakan, bahkan slogan-slogan yang disampaikan oleh Presiden Sukarno, seperti: Manipol (Manifesto Politik), Nasakom (Nasional, Agama, Komunis) lalu menjadi “Nasakom Jiwaku”, Land reform, Trikora (Tri Komando Rakyat – Pembebasan Irian Barat), Dekon (Deklarasi Ekonomi}, Kontra Revolusi (Kontrev), Nefos-Oldefos, dan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) untuk mengganyang Malaysia yang disebutnya sebagai boneka Nekolim. 

Melalui program Land Reform PKI berhasil menarik simpati masyarakat desa, khususnya kaum tani, dengan cara mengambil alih kepemilikan tanah dari petani kaya yang kemudian dibagibagi kepada para petani tidak bertanah. Tindakan ini yang kemudian terkenal dengan sebutan ‘Aksi sepihak”, PKI juga dapat menyingkirkan Masyumi sebagai saingan utama politiknya dengan tuduhan terlibat PRRI dan juga berupaya “mengebiri” TNI-AD dengan berbagai isu politik, termasuk isu “Dewan Jenderal”.

Dalam riuh-rendahnya gejolak politik dalam kondisi perekonomian yang masih jauh dari menggembirakan, dalam era “demokrasi parlementer:” sampai “demokrasi terpimpin” serta jargon “Politik sebagai Panglima”, Pemerintah-pemerintah yang berkuasa masih mampu menampilkan prestasi yang membanggakan secara nasional maupun internasional. 

Sebut saja misalnya, Konferensi Asia Afrika (KAA) yang diselenggarakan tahun 1955, mampu melahirkan konsep hidup berdampingan secara damai (Dasa sila Bandung) yang mengilhami banyak bangsa yang masih dijajah bangsa lain, terutama di benua Asia-Afrika, untuk berjuang merebut kemerdekaannya. Kemudian Indonesia juga terlibat langsung dalam membidani lahirnya Gerakan Non-blok yang menyelenggarakan konferensi pertamanya pada bulan September 1961 di Beograd, Yugoslavia (sekarang Serbia). Pada era ini Indonesia membuktikan diri sebagai negara non-blok yang bebas aktif menjaga perdamaian dunia dengan praktik nyata. Indonesia ikut menjaga perdamaian dunia antara lain dengan mengirimkan pasukan perdamaian di bawah panji-panji PBB ke beberapa daerah/negara yang sedang bersengketa/perang, seperti ke: Sinai (1957), kemudian disusul ke Kongo tahun (1960 dan 

Kemudian di dalam negeri, dalam rangka membangunan karakter bangsa yang nasionalistis, Presiden Sukarno mendorong para pengurus dan aktivis olah raga untuk menyelenggarakan pesta olah raga tidak hanya di tingkat nasional tetapi juga internasioal, misalnya Asian Games. Sebab, olah raga tidak semata-mata berguna bagi kesehatan fisik dan nasional, tetapi juga dapat digunakan sebagai sarana mengembangkan jiwa nasionalisme Indonesia yang tangguh dan kuat. 

Semangat itu akhirnya telah mendorong Indonesia berani tampil sebagai tuan rumah walapun sebelumnya merasa pesimistis karena tidak mempunyai sarana dan prasarana yang memadai untuk sebuah pesta olah raga internasional. Tekad yang dilandasi semangat nasionalisme itu akhirnya telah mendorong semangat bangsa Indonesia untuk tampil seagai tuan rumah Asian Games IV di Jakartasebagai juara umum kedua Asian Games IV dan sukses, tampil sebagai juara umum ke-2 di bawah Iepang. Satu prestasi gemilang yang belum berhasil diulangi. (sebagai catatan: sampai era Jokowi, Indonesia belum mampu mengulanginya menjadi juara umum ke-2, apalagi yang pertama). Walaupun akhirnya 

Indonesia dikenai sangsi oleh badan olah raga dunia (IOC) karena dinilai telah mencampur adukan masalah olah raga dengan politik. Kontingen Israel dan Taiwan.dilarang berpartisipasi dalam pesta olah raga tersebut.

Setelah sukses menyelenggarakan Asian Games, pada tahun berikutnya, 1963, Indonesia kembali menyelenggarakan pesta olah raga internasional, Ganefo (Games of the New Emerging Forces). Pesta olah raga dinilai oleh negara-negara Barat (Blok Amerika Serikat) sebagai upaya blok Timur untuk menandingi pesta olah raga Olimpiade. 

Keberhasilan Indonesia dalam menyelenggarakan peseta Ganefo telah membuat IOC mencabut kembali sanksi yang telah dijatuhkan kepada Indonesia pasca Asian Games. Mereka takut peserta 

Ganefo akan melakukan boikot terhadap Olimpiade yang akan diselenggarakan tahun berikutnya.

Sejak menerima kedaulatan di akhir tahun 1949, pemerintah Indonesia memang belum mampu melakukan pembangunan ekonomi-perdagangan yang memberikan kesejahteraan kepada warga negaranya secara maksimal. Akan tetapi, upaya perbaikan dan pembangunan terus berjalan. Meskipun tidak semua pihak atau daerah merasa puas dengan kebijakan yang diambil Pemerintah Pusat. 

Banyak yang menilai pembangunan hanya terjadi atau dipusatkan di pulau Jawa saja. Tidak sedikit daerah yang menuntut diberlakukannya disentralisasi kekuasaan dan pembangunan, agar pembangunan menjadi merata.

Adanya ketidakmerataan itu akhirnya memicu protes yang dalam perkembangannya dilakukan dengan kekuatan bersenjata (memberontak). Dalam situasi masih adanya gangguan dari DI/TII, di beberapa daerah muncul gerakan dewan-dewan, seperti Dewan Gajah (Sumatera Utara), Dewan Manguni (Sulawesi Selatan), Dewan Banteng (Sumatera Barat) dan Dewan Garuda (Sumatera Selatan). Dewan-dewan itulah yang akhirnya melahirkan pemberontakan Permesta dan PRRI. Satu hal yang perlu dicatat dari pemberontakan di Sulawesi dan PRRI di Sumatera, yaitu adanya campur tangan dari pihak Amerika Serikat (Blok Barat). 

Bukti nyata dari keterlibatan itu adalah suplai persenjataan di daerah Riau yang berhasil dirampas dan disita pasukan bersenjata Indonesia, serta ditembak jatuhnya pesawat tempur Amerika yang diikuti ditangkapnya Allan Pope yang mengemudikan pesawat tempur tersebut. 

Akhirnya para pemimpin Permesta dan PRRI setuju untuk berdamai kembali dan mengikuti seruan Presiden Sukarno untuk kembali ke Ibu Pertiwi. Akhirnya perlawanan Kartosuwiryo berakhir dengan ditangkapnya sang Imam Kartosuwiryo dari persembunyiannya oleh kelompok pasukan Batalyon 328/Siliwangi dan Kahar Muzakkar yang terpaksa ditembak mati oleh kelompok penyergapnya dari kesatuan Batalyon 330/Siliwangi.

Namun pemberontakaan yang cukup menggoncangkan dan menimbulkan perdebatan 

berkepanjangan adalah Peristiwa G 30 September 1965. Pihak penguasa dan sebagian besar masyarakat Indonesia menilai dalang peristiwa itu adalah PKI. Karena itu dalam aksi unjuk rasa yang pertama kalinya turun ke jalan pada awal Januari 1966, mereka (yang kemudian disebut aksi Tritura) menuntut pemerintah agar segera membubarkan PKI dan semua onderbouwnya. 

Sumber Data

Kata para ahli, sejarah adalah kontroversi dari masa lampau manusia. Pendapat itu boleh diterima boleh pula disanggah dengan keras. Karena sejarah bukan kenyataan masa lampau tapi hanya sebagian dari masa lampau manusia. Sebab fakta sejarah yang dituliskan atau ditampilkan merupakan hasil pemilihan dan pengujian terhadap bagian-bagian yang menjadi minat sejarawan atau peneliti terkait. Demikian pula, dalam penulisan sejarah yang mencakup jangka waktu yang panjang serta lokasi yang sangat luas pula, kemungkin adanya perbedaan pendapat mungkin saja terjadi. 

Apalagi dalam penulisan sejarah nasional yang orientasinya jelas berbeda dengan sejarah daerah atau sejarah lokal. Dalam penulisan sejarah nasional yang harus terlihat jelas menjadi benang merahnya adalah orientasinya pada peristiwaperistiwa yang penting dan mendukung terbentuknya bangsa dan negara nasional. Berbeda misalnya dengan penulisan sejarah lokal, yang tentu tekanannya pada peristiwa-peristiwa yang penting dan mendorong terbentuknya identitas lokal, walaupun peritiwa itu tidak ada artinya bagi perkembangan nasional.

Demikian pula dalam penulisan sejarah jilid ke-8 ini, berupaya untuk mengungkapkan masalah-masalah atau peristiwa-peristiwa yang mendukung terbentuknya nagara atau bangsa. Untuk menuliskan sejarah semacam itu, kami tim penulis cukup beruntung, karena sudah banyak peneliti atau sejarawan yang mempublikasikan karya-karya, sehingga kami dapat memanfaatkannya untuk menuliskan narasi yang bersifat nasional sesuai dengan kaidah-kaidan ilmiah. 

Seperti sudah banyak diketahui, dalam penelitiamn dan penulisan karya ilmiah kita sebenarnya berpijak pada hasil-hasil penelitian sebelumnya, dan itu bukan sesuatu yang memalukan asal tidak diklaim sebagai milik sendiri atau hasil penelitian sendiri. 

Perlu disampaikan di sini, ada dua karya yang menjadi acuan sekaligus bandingan utama dalam penulisan ini, yaitu Sejarah Nasional Indonesia (6 Jilid) dengan editor utamanya, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto; dan Indonesia Dalam Arus Sejarah (10 jilid) dengan editor utamanya, Tufik Abdullah dan .

Editor Jilid 8

Mohammad Iskandar

Nur Aini Setiawati 



SISTEMATIKA PENULISAN

Bab 1. Upaya Membangun RIS dan Kembali ke NKRI 1950

Mohammad Iskandar

1. Pengantar

1.2. Upaya Menegakkan Pemerintahan RIS

1.3. Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

1.4. Politik Luar Negeri Bebas Aktif

1.5. Peristiwa Ekonomi-moneter sampai 1950

1.5.1. Penyederhanaan ragam mata Uang dan ’Gunting Syafruddin’

1.5.2. Penetapan Sistem Sertifikat Devisa

1.6. Reorganisasi APRIS dan Pergolakan di Negara Federal

1.6.1. Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)

1.6.2. Gerakan Andi Azis dan Kahar Muzakkar

1.6.3.. Republik Maluku Selatan (RMS)

1.7. Membenahi Perguruan Tinggi

1.8. Mosi Integral Natsir dan Kembali ke Negara Kesatuan

1.8.1. Kabinet Natsir: Pemerintahan NKRI menagih kembalinya Irian Barat


Bab 2 Dinamika Demokrasi Parlementer 1951 - 1959 

Dr. Dwi Mulyatari, S.S., M.A. dan Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M.Hum.

2.1 Pengantar 

2.2. Konteks Jatuh Bangunnya Kabinet sejak 1951 hingga 1959

2.3. Peristiwa 17 Oktober 1952 

2.4. Pemilu 1955 dan Konferensi Asia Afrika (KAA) April 1955

2.4.1. Pemilihan Umum 1955

2.4.2. Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955

2.5. Peristiwa Cikini 31 November 1957

2.6. Deklarasi Djuanda, Konsolidasi Teritorial, Dan Penguatan Nkri (Negara Kesatuan Republik Indonesia) Sebagai Negara Maritim

2.6.1. Latar Belakang: Tanah Tumpah Darah, Tanah Air, dan Nusantara

2.6.2. Deklarasi Djuanda: Konsolidasi Teritorial dan Penguatan Negara Maritim Indonesia

2.6.3. Tantangan Diplomasi

2.7. Perdebatan dalam Sidang Konstituante (Buku nya Adnan Buyung)

2.8. Dekrit Presiden 5 Juli 1959

2.9. Manifesto politik Soekarno "Penemuan Kembali Revolusi Kita"


Bab 3 Pembangunan Perekonomian Indonesia Tahun 1950-An: Strategi Meletakkan Fondasi Ekonomi Nasional

Zaiyardam Zubir dan Bondan Kanumoyoso

3.1. Pengantar

3.2 Ekonomi Indonesia Awal 1950-an

3.3. Colombo Plan 1951

3.4. Kebijakan Ekonomi dan Pemerataan

3.5. Membangun Bank Central: Memperkokoh Dasar Ekonomi Yang Kuat

3.6. Nasionalisasi Perusahaan Belanda dan Menegakkan Ekonomi Nasional

3.6.1. Sektor Ekonomi Modern Indonesia

3.6.2. Pengambilalihan Perusahaan Belanda

3.6.3. Menguatnya Peran Ekonomi Negara

3.7. Gunting Syafruddin dan Sanering

3.7.1. Gunting Syafruddin dan Dampaknya

3.7.2. Sanering 1959 dan Dampaknya


Bab 4 Membangun Marwah Negara dan Karakter Bangsa 1950-1965

Dr. Yuke Ardhiati

4. Pengantar

4.1. Memantapkan Eksistensi Republik Di Jakarta

4.1.1. Menetapkan Istana Kepresidenan RI

4.1.2. Marwah Istana Kepresidenan dan Karya Seni

4.1.3. Istana sebagai Venue Kunjungan Kenegaraaan

4.1.4. Muhibah ke Mancanegara 

4.1.5. Istana Bogor sebagai Tempat Menginap Tamu Kenegaraan

4.2. Mencerdaskan Bangsa Melalui Pendidikan Nasional

4.2.1. Memantapkan Bahasa Indonesia dan Kurikulum

4.2.2. Mendirikan Pendidikan Tinggi setingkat Universitas

4.2.3. Gerakan Pramuka menjadi Pendidikan Non Formal

4.3. Mencerdaskan Perempuan Indonesia

4.4.1. Kursus Wanita berbasis Buku ‘Sarinah’

4.4.2. Resep Masakan Nusantara Mustika Rasa

4.4.3. Munculnya Tokoh Srikandi Indonesia

4.4.4. Permainan dan Lagu Kanak-Kanak

4.4.5. Perempuan Indonesia dalam Balutan Kain Kebaya

4.4.6. Kelahiran Kain Batik Indonesia

4.5. Kelahiran Wadah-Wadah Kebudayaan

4.5.1. Lembaga Kebudayaaan pasca Kongres Kebudayaan I – V

4.5.2. Sama Tujuan, Berbeda Ideologis

4.5.3. Pertentangan Ideologis Antar Kelompok Seniman

4.6. Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Delapan Tahun 1961-1969

4.7. Konsepsi Projek Berdikari 1965

4.8. Nilai, Simbol, Spirit dalam Bangunan dan Monumen

4.8.1. Semangat Indonesia Baru melalui Tugu Nasional

4.8.2. Memahami Projek Mercusuar

4.8.3. Pembangunan Masjid Istiqlal

4.8.4. Nilai Seni dalam Relief Patung

4.8.5. Kota Praja Jakarta sebagai Ibukota Negara

4.9. Diplomasi Bidang Keolahragaan

4.9.1. Sepak Bola dan Bulu Tangkis

4.9.2. Menjadi Tuan Rumah Asian Games 1962

4.9.3. Asian Games 1962 dan Ganefo 1963

4.10. Diplomasi Bidang Kesenian

4.9.1. Misi Kesenian ke Mancanegara

4.11. Seruan Trisakti Sukarno dan Tahun Vivere Pericoloso (Tavip) 1964

4.12. Pelarangan Musik Ngak Ngik Ngok


Bab 5 Pembangunan, Ketimpangan dan Pergolakan Daerah

Nur Aini Setiawati, Ph.D, UGM dan Dr. Zaiyardam

5. Pengantar

5.1. Pembangunan Nasional Indonesia : Tujuan dan Perencanaan

5.1.1. Pembangunan Infrastruktur

5.1.2. Pembangunan Pertanian

5.1.3. Pembangunan Industri

5.2. Ketimpangan Pembangunan antara Jawa dan Luar Jawa .

5.3. Pembentukan Dewan-dewan Daerah (mbak Nur)

5.4. Respon Jakarta (Adam)

5.5. PERMESTA-Maret 1957 (Adam)

5.6. PRRI-Januari 1958 (Adam)

5.7. DI/TII (Jawa Barat, Aceh, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan)

5.8. Manipol-USDEK 1960 (Adam)

5.9. Penutup


Bab 6 Demokrasi Terpimpin: Kebijakan Politik Dalam Negeri

Dr Israr

6. Pengantar

6.1. Transisi menuju Demokrasi Terpimpin

6.2. Dekrit Presiden: Kembali ke UUD 1945

6.3. Kabinet Kerja

6.4. Masalah Kepartaian

6.5. ‘Demokrasi Kita’ sebagai Kritik terhadap Demokrasi Terpimpin

6.6. Nasakom dan Ideologi Demokrasi Terpimpin

6.7. Konstelasi Politik: Presiden-PKI-TNI AD

6.8. Politik sebagai Panglima


Bab 7: Politik Luar Negara Era Demokrasi Terpimpin (1959-1965)

Dr Ahmad Fahrurodji

7. Pengantar

7.1. Latar Belakang dan Konteks Kebijakan Luar Negeri Indonesia

7.2. Dari KAA ke Gerakan Non-Blok

7.2.1. Gema KAA di Majelis Umum PBB

7.2.2. Membangun Dunia Baru, Pidato Sukarno di PBB

7.2.2. Gerakan Non-Blok: Peran Bandung-Beograd

7.2.3. Ide-ide Sukarno dan GNB: Politik Bebas Sebagai Gerakan Moral

7.3. Trikora: Merebut Kembali Irian Barat

7.3.1 Diplomasi

7.3.2. Dukungan Seluruh Rakyat untuk Papua

7.3.3. Modernisasi Angkatan Perang: Dukungan Uni Soviet dan Eropa Timur

7.3.4. Pembentukan Sukarelawan, Mobilisasi Umum dan Operasi Militer

7.3.5. Transfer Kedaulatan Irian Barat dan Peran UNTEA

7.4. Dwikora: Konfrontasi Indonesia-Malaysia (1963-1966)

7.4.1. Reaksi Indonesia terhadap Malaysia Plan

7.4.2. Pemberontakan Brunei, Sabah, Sarawak dan Reaksi Indonesia

7.4.3. Meredupnya Dukungan dari Uni Soviet dan ‘Dukungan’ RRC

7.5. Dari NEFO-OLDEFO ke Poros Jakarta-Pyongyang-Peking

7.5.1. Nefo dan Oldefo: Upaya Membentuk Peta Geopolitik Baru

7.5.2. Penyelenggaraan Ganefo (Game of The New Emerging Forces)

7.5.3. Ide tentang Conefo (Conference of the New Emerging Forces)

7.5.4. Poros Jakarta-Pyongyang-Peking

7.6. Indonesia Keluar dari PBB


Bab 8 Peristiwa G.30.S/PKI 1965

Dr. Kandar

8. Pengantar

8.1. Konteks Global dalam Perang Dingin

8.2. Peristiwa G.30.S/PKI 1965

8.2.1. Prolog

8.2.1.1. Aksi Sepihak

8.2.1.2. Desa Mengepung Kota

8.2.1.3. Prahara Budaya

8.2.1.4. Isu-isu Angkatan Kelima

8.2.2. Peristiwa

8.2.2.1. Persiapan Aksi

8.2.2.2. Upaya Penculikan Menko Hankam/KSAB Jenderal A.H. Nasution

8.2.2.3. Penculikan Para Perwira

8.2.2.4. Peristiwa Lubang Buaya

8.2.2.5. Seputar Pengumuman Melalui RRI Tanggal 1 Oktober 1965

8.2.2.6. Suasana PAU Halim Perdanakusuma Tanggal 1-2 Oktober 1965

8.2.2.7. Pencarian dan Evakuasi Jenazah Perwira AD

8.2.2.8. Visum Et Repertum dan Pemakaman Jenazah Perwira AD

8.2.3. Epilog

8.2.3.1. Pandangan Sukarno terhadap Peristiwa G.30.S/1965

8.2.3.2. Penumpasan Kekuatan Bersenjata Pendukung G.30.S/PKI

8.2.3.3. Penumpasan G.30.S/PKI di Jakarta dan Jawa Tengah

8.2.3.4. Mengeliminir Kekuatan PKI di Lembaga Legislatif (MPRS/DPRS)

8.2.3.5. Munculnya Aksi-aksi Masyarakat ‘Anti PKI’

8.2.3.6. Puncak Akumulasi Konflik Masa Lalu

8.2.3.7. Seminar Ekonomi dan Awal Aksi-aksi Tritura (Awal Tahun 1966)

8.3. Beberapa Teori mengenai Dalang G.30.S/PKI


PENUTUP

Sistem demokrasi parlementer yang mendapat pengaruh dari salah satu sistem yang berlaku di Belanda telah menunjukkan kegagalannya dan menjadikan pemerintahan Indonesia tidak stabil. Ketidak stabilan pemerintahan Indonesia telah dimulai setelah hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) diratifikasi pada November 1949 oleh pihak Belanda, Republik Indonesia dan BFO. Meskipun adanya kesepakatan Republik Indonesia Serikat (RIS) memperoleh pengakuan kedaulatan dari Kerajaan Belanda, namun bangsa Indonesia harus bertaruh nyawa di medan perang, di garis depan, sampai akhirnya harus setuju menanggung utang piutang Belanda. 

Banyak politisi yang tidak setuju dengan hasil KMB seperti Partai Sosialis Indonesia yang dipimpin oleh St. Syahrir. Mereka menilai RIS dibentuk agar keinginan Belanda dapat terus menguasai wilayah kepulauan Indonesia, apalagi pengakuan kedaulatan itu tidak utuh karena wilayah Irian Barat (Papua) masih ditunda penyerahannya kepada RIS.

Oleh karena itu, gejala politik terutama dari negara-negara bagian (asal BFO) yang menuntut dikembalikan RIS ke bentuk negara kesatuan sebagaimana dicita-citakan dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1945; mendapat dukungan rakyat dan juga para wakilnya di DPR. Dalam hal ini Pemerintahan Hatta sama sekali tidak mengkonsulatasikan dulu kepada Uni atau Belanda. 

Hasilnya, pada 17 Agustus 1950, RIS dinyatakan dibubarkan dan negara Indonesia kembali ke bentuk semula, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setelah terbentuknya Negara Republik Indonesia (NKRI), sistem pemerintahan Republik Indonesia diharapkan dapat dilaksanakan secara demokratis, yang dilandasi oleh keterlibatan masyarakat secara aktif dalam upaya membangun negara Indonesia yang lebih baik.

Periode Demokrasi Parlementer atau Demokrasi Konstitusional (1950-1959) dalam sejarah Indonesia juga dikenal dengan istilah masa Pemerintahan Partai-Partai. Sistim pemerintahan ini diterapkan setelah diberlakukannya UUD Sementara 1950, yang berlandaskan pada kekuasaan berada di tangan rakyat, melalui partai-partai politik yang dibentuk. Dalam Sejarah politik nasional Indonesia Pemerintahan Parlementer ini menjadi saksi gagalnya Demokrasi Barat diterapkan di Indonesia.

Masa Demokrasi Parlementer ini memperlihatkan ketidakstabilan politik yang akut dengan naik turunnya kabinet secara cepat, sehingga program-program per kabinet tidak semuanya dapat terlaksana sesuai rencana. Pertentangan-pertentangan senantiasa terjadi antara kabinet yang memerintah dengan partai-partai oposisi di parlemen. Konflik juga terjadi antara pemerintah pusat dan daerah, ketegangan-ketegangan yang dipicu oleh faktor internal maupun eksternal di kalangan perwira TNI. Dalam kondisi yang tidak kondusif membuat permasalahan bangsa tidak secara tepat dapat diselesaikan. Ketidakstabilan politik juga menciptakan kondisi perekonomian yang buruk disertai inflasi yang tinggi. 

Selain kelemahan-kelemahan yg terjadi di periode ini, secara parsial terdapat juga beberapa keberhasilan yang sangat membanggakan. APBN positif walaupun dalam waktu yang singkat pada masa Kabinet Sukiman, merupakan hal yg perlu diapresiasi. Pemilu nasional 1955 berhasil dilaksanakan dengan baik dan lancer memberi kesempatan rakyat Indonesia dalam meyuarakan kepentingan politik mereka melalui partai-partai politik yang ada. 

Konferensi Asia Afrika di tahun yang sama mencerlangkan nama Bangsa Indonesia di dunia internasional. Hal tersebut ditambah dengan dikeluarkannya Deklarasi Djuanda 1957 sebagai penguatan kedaulatan dan geopolitik Indonesia. Dalam perjalanan sejarah Bangsa Indonesia, periode Demokrasi Parlementer ini menjadi saksi penting proses pembelajaran politik yang luar biasa bagi para pemimpin bangsa dan rakyat Indonesia dalam perjalanan menentukan sistim politik yang paling tepat untuk Negara Republik Indonesia.

Tahun 1950-1965 stabilitas sosial politik sejak sistem pemerintahan militer di Indonesia 1949-1950 (bersifat sementara untuk menjaga stabilitas dan keamanan negara) dan pada masa demokrasi liberal menjadi tantangan utama dalam perencanaan pembangunan. 

Situasi perekonomian Indonesia pada saat ini tidak menguntungkan bagi pembangunan ekonomi. Pada dekade 1950-an rencana pembangunan pemerintah Indonesia dihadapkan pada rintangan serta hambatan dengan adanya berbagai macam gejolak, mulai dekade 1940-an dari Perang Asia Pasifik, Pendudukan Jepang, serta Perang Kemerdekaan. Meskipun demikian, dalam perkembangannya pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan seperti Membangun Bank Sentral: Indonesianisasi Javasche Bank, Nasionalisasi Bank-Bank dan Perusahaan Swasta Belanda, Upaya Menegakkan wibawa dan nilai Rupiah di wilayah NKRI (Sanering dan Kasus Dollar di kepulauan Riau) dan pendirian berbagai koperasi. Semua kebijakan ekonomi dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mensejahterakan rakyat Indonesia. Meskipun kebijakan pembangunan wilayah telah direncanakan dengan matang dan dalam implementasinya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi pada wilayah lainnya, namun ketimpangan pembangunan nasional sering terjadi antara wilayah satu dengan wilayah lainnya. Kondisi ini yang menyebabkan munculnya pergolakan di daerah seperti PRRI, Permesta, dan DI/TII terjadi diberbagai daerah. Asal muasal peristiwa itu sebagai bentuk koreksi terhadap kebijakan penguasa pusat yang mereka anggap menyimpang.

Kisah PRRI dan Permesta sebagai sebuah perang saudara memberikan banyak pelajaran penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sasaran utama bentuk pemerintahan yang otoriter sesungguhnya sumber utama peraka bangsa. Ditambah lagi terjadi jurang ya g tajam dari berbagai segi kehidupan.Jawa dengan luar Jawa sehingga menjadi sumber petaka yang menghancurkan kehidupan bangsa. Ditambah lagi dengan keberadaan PKI, yang jelas jelas tidak sesuai dan bahkan bertentangan dengan jiwa bangsa - Ketuhanan yang masa esa- sehingga menimbulkan gejolak yang luar biasa di kalangan masyarakat. 

Nasakom yang digabungkan dalam satu wadah oke Soekarno tidak lebih dari cara mempertahankan kekuasaan, yang menimbulkan perlawanan terhadap rezim Soekarno. Untuk itulah, perjuangan mereka melalui PRRI dan PERMESTA, tokoh tokohnya mengoreksi secara total penyimpanan yang dilakukan Soekarno dalam penyelenggaraan negara.

Demikian pula, Perjuangan yang dilakukan oleh masyarakat di Sulawesi Utara dan Tengah itu sebenarnya tidak dengan niat memisahkan diri dari Republik Indonesia. Gerakan mereka lebih pada upaya perlawanan karena ketidakinginan PKI masuk terlalu dalam ke pemerintahan Soekarno. Sementara itu, Soekarno secara terang-terangan menjadi PKI sebagai salah satu penyanggah kekuataannya. Hal ini ditandai dengan konsep nasionalis, agama dan komunis sebagai tiga serangkai dalam menjalankan pemerintahan, sehingga tokoh-tokoh PERMESTA menentangnya. Bahkan, Barbara menyebutkan bahwa PERMESTA itu pemberontakan setengah hati, pemberontakan yang tidak total karena bagaimanapun juga, mereka mencintai Indonesia. Manakala tawaran damai diajukan, para tokoh PERMESTA menerimanya.

Pada tanggal 5 Januari 1960, pemerintah pusat melakukan usaha perdamaian. Melalui perundingan yang dihadiri oleh Samul Hein “Tjame dam Tumbelaka, PERMESTA setuju mengakhiri konflik kekerasan. Pada tanggal 17 Desember 1960, konflik berakhir dengan persetujuan pembentukan Provinsi Sulawesi Tengah dan Provinsi Sulawesi Utara. Hal penting lainnya adalah Somba, sebagai tokoh utama perjuangan rakyat Sulawesi bersedia menyerahkan diri. Pada akhirnya, pemerintah pusat memberikan amnesti dan abolisi kepada setiap orang yang tergabung dalam PERMESTA.

Adapun kebijakan politik dalam negeri Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin, khususnya pasca-Dekrit 5 Juli 1959, yang memberlakukan kembali UUD 1945. Demokrasi Terpimpin pada mulanya muncul sebagai suatu alat atau “jalan keluar” untuk mengatasi perpecahan yang muncul di dataran politik Indonesia sejak pertengahan tahun 1950-an. Untuk menggantikan pertentangan partai-partai dalam sistem parlementer, suatu sistem yang lebih otoriter diciptakan di mana peran utama dimainkan oleh Presiden Sukarno.

Di bawah UUD 1945, Sukarno memiliki tanggung jawab eksekutif serta fungsi seremonial sebagai kepala negara. Pasca Dekrit, ia dengan cepat membentuk pemerintahan baru dengan Djuanda sebagai pemimpinnya dan menunjuk anggota MPR (S) dan DPA, sesuai keperluan UUD 1945. Pada tahun 1960, ketika DPR menolak anggaran pemerintah, ia menggantinya dengan DPR-GR yang anggotanya diangkat Presiden. 

Selama tahun-tahun Demokrasi Terpimpin, kekuasaan Sukarno sangat bergantung pada pelestarian keseimbangan antara tentara dan PKI. Periode tersebut adalah masa pertumbuhan cepat pengaruh komunis, dan Sukarno secara konsisten melindungi PKI dari langkah-langkah represif yang diambil oleh militer terhadapnya. Dia menentang upaya militer sejak awal untuk melarang PKI masuk ke dalam Kabinet Demokrasi Terpimpin, sekalipun upaya militer itu tidak sepenuhnya berhasil.

Tujuan utama Sukarno adalah menjaga persatuan negara dan mengembalikan rasa identitas nasional. Selain itu, Sukarno juga berupaya merealisir janji-janjinya untuk terus menjalankan “revolusi”-nya (karena menurut Presiden Sukarno, revolusi belum selesai) demi mensejahterakan bangsa dan warga negara Indonesia. Untuk mewujudkan itu, ia tidak hanya berpedoman pada Manipol-USDEK sebagai haluan negara dan Nasakom sebagai “koalisi” aliran nasionalis, agama dan komunis, tetapi juga Dekon (Deklarasi Ekonomi) sebagai pedoman bagi pembangunan dan mengatasi ketimpangan ekonomi. Hanya saja, perhatian Sukarno terhadap simbol-simbol kebesaran lewat sejumlah bangunan megah, slogan-slogan dan kebijakannya tidak disertai dengan upaya yang solid untuk mengatasi masalah ekonomi negara yang menyebabkan penurunan ekspor dan inflasi yang cepat, terutama di saat-saat menjelang meletusnya kudeta G30S/PKI.

Demikian pula, dari rekonstruksi perjalanan sejarah kebijakan luar negeri terlihat bahwa periode ini menunjukkan dinamika peran Indonesia sebagai sebuah negara Dunia Ketiga yang terlahir dari dinamika politik global dan perubahan geopolitik pasca Perang Dunia 

II. Indonesia yang selama masa kolonial yang panjang hanya menjadi obyek dari penindasan dan pengerukan sumber daya alamnya, melahirkan tokoh-tokoh pemimpin bangsa yang tidak hanya peduli pada nasib bangsanya sendiri, tetapi juga hirau akan nasib sesama bangsa-bangsa terjajah. Konferensi Asia – Afrika, yang diselenggarakan kurang dari satu dasawarsa sejak kemerdekaan Indonesia, merupakan bukti sikap solidaritas bangsa Indonesia terhadap bangsa-bangsa lain yang masih terjajah. Di usia yang masih sangat muda, Indonesia, lewat prakarsa para pendiri dan tokoh-tokoh bangsa ini telah memberikan ruang bagi bangsa-bangsa di Dunia 

Ketiga untuk unjuk kekuatan moral dan solidaritasnya.

Tak hanya sampai di situ, setengah dekade setelah konferensi Bandung yang monumental, Presiden Sukarno di depan Majelis Umum PBB pada 30 september 1960 menyampaikan kritik dan masukan bagi peta politik dunia yang ditengah perseteruan bipolar Perang Dingin. Dalam pidato bertajuk Membangun kembali Dunia itu Presiden pertama RI ini menegaskan perlunya reformasi di tubuh lembaga internasional ini, jika PBB ingin bisa berkontribusi bagi perdamaian dunia, dan bukan hanya menjadi perpanjangan kekuatankekuatan besar yang tengah bertarung dalam perang Dingin, Tata dunia baru yang diusulkan presiden Indonesia itu dilandaskan pada pemahamannya tentang tatanan dunia yang seimbang, antara dunia lama yang selama ini dikuasai oleh para kolonialis dan imperialis dan dunia baru yang mengakomodir kekuatan-kekuatan baru yang berasal dari negara-negara yang sebelumnya merupakan daerah-daerah jajahan. Bung Karno menyatakan keyakinannya bahwa era tahun 60-am tersebut sebagai masa transisi sebagai konsekuensi runtuhnya imperiumimperium dan bangkitnya bangsa-bangsa.

Pidato Bung karno di Majelis Umum PBB tersebut, terimplementasi setahun kemudian dengan berdirinya Gerakan Non-Blok (Non-aligned Movement) dalam konferensi negara-negara berpolitik bebas yang digagas pemimpin Indonesia itu. Sejalan dengan politikluar negeri Indonesia yang bebas aktif, politik bebas bukanlah politik netralis yang menjauhkan diri dari perseteruan dan pertikaian bipolar yang mau tak mau berdampak pada nasib seluruh bangsa di dunia. Politik bebas adalah sebuah gerakan moral yang secara aktif berpihak pada perdamaian dan pengakuan terhadap prinsip kesetaraan kedaulatan semua bangsa.

Sistem politik demokrasi terpimpin memungkinkan Presiden Sukarno secara total menjadi panglima bagi kebijakan luar negeri Indonesia. Kebijakan luar negeri Indonesia sejalan dan berbanding lurus dengan ide-ide pemikiran Bung Karno. Dinamika pemikiran Sukarno yang merupakan sintesis dan hasil dari interaksinya dengan pemikiran-pemikiran besar tokoh politik dunia, terus mewarnai tak hanya politik regional tapi juga perubahan geopolitik global. Dalam perjalanannya Bung Karno menyampaikan pentingnya membangun ‘kubu’ dengan negara-negara Asia Timur dalam poros Jakarta-Pyongnyang-PnompenhPeking, hal mana yang pada tahun 1960 dia jauhi. Menguatnya suhu politik kawasan Asia Tenggara, pasca seruannya teerhadap ancaman Nekolim (neo-kolonialisme dan imperialism) dan konfrontasi Indonesia terhadap berdirinya Federasi Malaysia, membuat Indonesia bergeser ke Timur dan mendekat dengan RRC.

Kedekatan Indonesia dengan RRC yang terjalin sejak penyelenggaraan Konferensi Asia – Afrika mengalami peningkatan pesat, di satu sisi, membuat Indonesia menjadi condong ke Timur dan kubu Sosialis. Sementara itu hubungan Sino-Soviet yang renggang pasca Khruschev mengumumkan destalinisasi justru menjadikan Indonesia berada pada posisi yang kurang menguntungkan. Kubu sosialis yang pecah ini memang tidak secara langsung mempengaruhi hubungan kedua negara, tapi sejak turunnya Nikita Khruschev dari pucuk pimpinan Soviet, menjadikan Indonesia kehilangan mitra penting di dalam Konflik antikolonialisme yang sedang digerakkan di Sumatera dan Kalimantan Utara. Uni Soviet dibawah kepemimpinan baru Leonid Brezhnev, tidak lagi menjadikan Indonesia sebagai prioritas. 

Dukungan RRC yang diharapkan tidak bisa menggantikan Soviet dalam hal dukungan poltik dan pasokan persenjataan guna menghadapi Malaysia yang mendapat dukungan penuh dari Inggris.

Situasi politik dalam negeri yang terus memanas setelah peristiwa 30 September yang melibatkan PKI, yang merupakan partai terbesar ketiga di dunia saat itu mendorong perubahan politik dan jatuhnya Sukarno. Hal ini secara drastis mempengaruhi kebijakan luar negeri Indonesia di era demokrasi terpimpin. Pemerintahan baru Suharto secara drastis mengubah kebijakan luar negeri yang telah dibangun Sukarno.

Hal yang tak kalah penting dari periode ini adalah proses perjuangan merebut kembali Irian Barat dari tangan Belanda. Upaya menuntut janji Belanda sebagaimana yang tertuang dalam kesepakatan damai pengakuan kedaulatan terhadap Indonesia di penghujung tahun 1949 dilakukan baik dengan diplomasi dan cara-cara damai hingga dengan unjuk kekuatan senjata. 

Diplomasi militer yang dilakukan Indonesia membuahkan hasil dengan disepakatinya perjanjian New York pada 15 Agustus 1962, dimana Belanda mengakui Irian Barat (West Nieuw Guinea) sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kedaulatan Indonesia. Proses perjuangan merebut kembali tanah Papua ini melibatkan seluruh rakyat Indonesia dan partisipasi seluruh elemen bangsa secara sukarela. Rakyat bersama-sama dengan kekuatan militer dari ketiga matra (darat, laut dan udara) menunjukkan kepada kita bahwa persatuan dan kesatuan bangsa menjadi modal penting dalam menghadapi setiap ancaman akan kedaulatan bangsa.

Draft SI 7

 MATERI DISKUSI PUBLIK DRAF PENULISAN BUKU

SEJARAH INDONESIA 2025

JILID 7

PERJUANGAN MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN

PENULIS:

Dr. Haryono Rinardi, M.Hum.

Prof. Dr. Endang Susilowati, M.A.

Prof. Drs. Nawiyanto, M.A., Ph.D.

Dr. Susanto, M.Hum.

Dr. G. Ambar Wulan, S.S., M.Hum.

Dr. Kusuma, M.Si.

Heri Priyatmoko, M.A.

Rifa’i Shodiq Fathoni, M.A.

Krisnanda Theo Primaditya, S.Pd., M.A.





PENDAHULUAN

Masa perjuangan kemerdekaan Indonesia 1945-1949, yang secara umum sering disebut masa revolusi, telah melahirkan perdebatan panjang seputar makna revolusi nasional, revolusi sosial, dan perang kemerdekaan. Istilah-istilah ini mencerminkan perspektif yang berbeda akibat perbedaan latar belakang, sudut pandang kepentingan kelompok, dan ideologi tertentu pada masa 
awal kemerdekaan. 

Revolusi nasional secara sederhana dapat dikatakan bertujuan akhir meraih “pengakuan kedaulatan” terhadap negara nasional Indonesia. Perang kemerdekaan yang juga diingat sebagai revolusi fisik lebih menonjolkan aspek militer, namun kemudian fakta yang diterima adalah “pengakuan kedaulatan” dicapai melalui upaya bersama perjuangan bersenjata dan diplomasi. Adapun revolusi sosial menunjuk pada gejala bahwa perjuangan kemerdekaan juga diarahkan terhadap praktik-praktik masyarakat feodalistis yang harus dihilangkan. 

Pokok permasalahan yang menjadi fokus pembahasan dalam buku ini adalah proses dan implikasi kelahiran Indonesia sebagai negara-bangsa yang merdeka dan berdaulat. Faktor-faktor struktural apakah yang telah mendorong kelahirannya? Konsekuensi apakah yang menyertai kelahiran negara-bangsa yang baru bernama Republik Indonesia dari status sebelumnya sebagai 
negara dan wilayah jajahan? Bagaimana negara baru ini diperlengkapi organ-organ kenegaraan dan perangkat institusionalnya, diperjuangkan dan dipertahankan keberadaannya dari berbagai ancaman yang datang dari luar yang tidakmenghendakinya maupun pembajakan internal oleh kelompok-kelompok tertentu yang tidak puas dengan kepemimpinan yang ada dan ingin membelokkan orientasi ideologis negara? Kebijakan dan upaya-upaya apakah yang dilakukan pemerintah Republik Indonesia untuk membiayai revolusi, mewujudkan kedaulatan ekonomi dan 
menyejahterakan rakyat? Bagaimanakah aspek-aspek seni, budaya dan media memainkan peran dalam perjuangan kemerdekaan? Serta warisan-warisan apakah yang ditinggalkan masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan 1945-1949 dan mempengaruhi arah dan perkembangan sejarah pada masa berikutnya. Ruang lingkup pembahasan buku ini secara temporal mencakup periode 1945-1949, yang dapat disebut sebagai masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dua tonggak penanda lingkup temporalnya adalah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Kerajaan Belanda pada 27 Desember 1949. 
Sudut pandang dalam narasi buku ini 
menggunakan perspektif Indonesia sentris. Judul buku secara eksplisit menegaskan sudut-pandang ini. Perubahan besar dan cepat pada masa ini dilihat sebagai revolusi nasional. 
Penulisannya menonjolkan proses menjadi Indonesia melalui pembentukan kesadaran dan identitas nasional, agensi orang-orang Indonesia dalam peristiwa dan proses sejarah yang terjadi pada periode ini, dan nilai-nilai keindonesiaan yang teraktualisasi nyata pada masa mempertahankan kemerdekaan.

Dalam perjalanan panjang sejarah Indonesia, masa 1945-1949 tampak sangat mencolok karena penuh gejolak dan revolusioner. Republik Indonesia yang baru lahir melalui Proklamasi 17 Agustus 1945, harus segera berjuang demi mempertahankan kedaulatannya. Setelah Jepang menyerah dalam Perang Dunia II, terjadi kekosongan kekuasaan. Pasukan Sekutu yang dipimpin oleh Inggris datang untuk mengurus penyerahan Jepang dan memulangkan para tahanan, namun 
segera terlibat bentrokan keras dengan kekuatan Republik, termasuk Pertempuran Surabaya pada November 1945. 
Sementara itu, dengan membonceng Sekutu Belanda melalui NICA (Netherlands-Indies Civil Administration) berambisi menguasai kembali bekas koloninya melalui aksi-aksi militer. Periode yang tidak stabil ini memperlihatkan gesekan dan bahkan benturan kepentingan sehingga menciptkakan turbulensi politik yang rumit yang melibatkan tidak hanya kekuatan senjata di medan pertempuran tetapi juga diplomasi di meja perundingan.1

Masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan (1945–1949) merupakan fase yang menentukan dalam bentangan panjang benang merah keindonesiaan. Pada periode inilah identitas keiindonesian ditegaskan melalui pembentukan Indonesia sebagai negara-bangsa, mempunyai wilayah, rakyat, dan pemerintahan sendiri. Secara politik, Indonesia mengalami perubahan status 
dari sebuah wilayah jajahan menjadi negara yang merdeka dan berdaulat. 
Merdeka di sini berarti terbebas dari belenggu penjajahan dan muncul dengan identitas baru, sedangkan berdaulat dalam 
arti sebagai perwujudan diri sebagai bangsa merdeka dalam bentuk penolakan dan bahkan perlawanan ketika berhadapan dengan pihak luar yang mengancam kemerdekaan.2 

Pilar-pilar dan prinsip dasar yang menopang eksistensi Indonesia sebagai negara-bangsa diletakkan, mulai dari dasar negara, landasan konstitusional, lembaga pemerintahan, pertahanan dan keamanan, serta institusi ekonomi dan keuangan. Berbagai unsur pembentuk identitas nasional seperti bahasa, bendera, lagu kebangsaan, dan mata uang ditetapkan secara yuridis-formal. Demikian pula, nilainilai keindonesiaan, seperti patriotisme, persatuan, dan kegotong-royongan, mendapatkan ruang aktualisasi dan ujian secara nyata melalui tantangan dan ancaman kembalinya imperialisme dan 
kolonialisme Belanda maupun dinamika interaksi antar aktor dan kekuatan nasional. 

Pembentukan wilayah dan batas-batas teritorial Republik Indonesia antara tahun 1945 dan 1949 merupakan proses yang kompleks dan dinamis, yang dibentuk oleh perjuangan revolusioner, upaya militer Belanda untuk merebut kembali kendali, dan meningkatnya keterlibatan internasional. Menjelang proklamasi, cakupan wilayah teritorial Indonesia yang dibayangkan para 
 
1 Lucian Ashworth, “The 1945-1949 Dutch-Indonesian Conflict: Lessons and Perspectives in the Study of 
Insurgency”, Conflict Quarterly, Winter 1990, 42. Ashworth membedakan 6 tahap dalam konflik Indonesia-Belanda: 
tahap teror, tahap diplomatic, tahap konvensional dan gerilya, tahap diplomasi, tahap gerilya, dan tahap diplomasi.
2 Bambang Purwanto, “Merdeka dalam Kenyataan dan Historiografi Indonesia”, dalam Harry Poeze dan Henk Schulte 
Nordholt, Merdeka: Perang Kemerdekaan dan Kebangkitan Republik Yang tak pasti (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 
2023), x-x

pendiri negara tampaknya tidak hanya meliputi bekas wilayah Hindia-Belanda, melainkan juga Semenanjung Malaya dan wilayah-wilayah koloni Inggris di Kalimantan. Wilayah yang dibayangkan kurang lebih adalah wilayah pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Akan tetapi, 
ketika Sukarno, Hatta, dan Rajiman bertemu dengan Panglima Militer Tertinggi Wilayah Selatan, Terauchi Hisaichi, wilayah teritorial yang dijanjikan kemerdekaan adalah bekas Hindia-Belanda.3
 
Meskipun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 tidak secara eksplisit menyebutkan klaim teritorial yang didiami bangsa Indonesia, wilayah yang dimaksudkan adalah 
seluruh bekas Hindia Belanda dengan batas-batas wilayah kekuasaan politis Hindia-Belanda. Akan tetapi, bagi Belanda eksistensi pemerintahan Indonesia dengan klaim wilayah teritorialnya dianggap tidak absah. Menyusul kekalahan Jepang, Belanda ingin segera menegakkan kembali pemerintahan atas wilayah yang dikuasainya sebelum perang, yang disebut HindiaBelanda. 
Selama empat tahun sejak proklamasi, klaim teritorial dan batas-batasnya menjadi bagian penting dalam perjuangan yang dilakukan Indonesia melalui serangkaian konflik militer, negosiasi politik, dan akhirnya pengakuan internasional. Pada periode ini terjadi apa yang disebut Hatta sebagai tabrakan antara kedaulatan de jure Belanda dengan klaim hak yuridisnya versus 
kedaulatan de facto Republik Indonesia dengan hak morilnya.4 

Semuanya ini mempengaruhi dinamika wilayah teritorial dan batas-batasnya, bahkan juga legitimasi pemerintahan. 
Secara umum proses terbentuknya wilayah teritorial Republik Indonesia selama periode 1945-1949 berlangsung melalui tiga fase, yakni Fase Proklamasi dan Kontrol Awal (1945-1946), 
Fase Kedua: Agresi Militer Belanda dan Fragmentasi Wilayah (1947–1948), dan Fase Ketiga: Diplomasi dan Pengakuan Internasional (1948–1949). Melalui ketiga fase ini, wilayah teritorial Republik Indonesia dan batas-batasnya secara politis mengalami proses pembentukan, meskipun 
belum mencapai titik akhir hingga dekade berikutnya. Masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan menyisakan masalah Papua sebagai wilayah sengketa antara Pemerintah RI dengan Kerajaan Belanda yang belum terselesaikan melalui Konferensi Meja Bundar (KMB).
Dalam fase pertama (1945–1946), yakni segera setelah proklamasi, wilayah territorial Indonesia mengalami perubahan cepat. Saat proklamasi wilayah territorial Republik Indonesia adalah bekas wilayah Hindia-Belanda. Akan tetapi, kehadiran pasukan Sekutu (terutama pasukan 
Inggris) telah mengurangi wilayah territorial Indonesia. Beberapa wilayah seperti Borneo, Sulawesi, Sunda Kecil, dan Maluku berhasil dikembalikan kepada Belanda.5 Dengan bantuan Sekutu, kekuasaan kolonial Belanda hendak ditegakkan kembali melalui Pemerintahan Sipil 
 
3 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta), 442-442.
4 Mohammad Hatta, “Tudjuh Belas Agustus 1947”, Kumpulan Karangan IV (Jakarta: Penerbitan dan Balai Buku 
Indonesia, 1954), 253.
5 Mohammad Hatta, “Tudjuh Belas Agustus 1947”, 253.

Hindia Belanda (NICA) di bekas wilayah Hindia Belanda yang di atasnya telah berdiri negara dan pemerintahan baru bernama Republik Indonesia. Ketegangan meningkat, tetapi upaya diplomatik awal seperti Perjanjian Linggarjati pada tahun 1946 mengakui kontrol de facto Republik atas 
sebagian wilayah Indonesia, yakni Jawa dan Sumatera,6
yang menjadi landasan bagi negosiasi 
antara kedua belah pihak di tahun-tahun berikutnya. 
Fase kedua (1947-1948) ditandai oleh serangan militer Belanda yang dikenal sebagai Agresi Militer Belanda I pada bulan Juli 1947 dan Agresi Militer Belanda II pada bulan Desember 1948. Serangan-serangan militer yang dilancarkan Belanda bertujuan untuk menghancurkan Republik dan membangun kembali kendali Belanda. Hasilnya, Belanda berhasil menduduki 
sebagian wilayah Jawa dan Sumatra dan mendirikan sejumlah negara federal, seperti Negara Indonesia Timur. Upaya-upaya ini ditempuh untuk melemahkan klaim Republik atas persatuan 
nasional dengan mempromosikan struktur federal di bawah pengaruh Belanda. Akibat Agresi Militer Belanda I dan kesepakatan dalam Perjanjian Renville yang ditandatangani 9 Januari 1948 
membuat wilayah territorial Republik Indonesia tinggal sebagian Jawa Tengah dan Jawa Timur,7
jauh lebih sempit dibanding yang disepakati dalam Perjanjian Linggarjati. Segi positif yang diraih Indonesia dari aksi militer Belanda adalah meminjam istilah Hatta, “soal Indonesia” menjadi “soal 
internasional” dan “Republik Indonesia telah masuk gelanggang politik internasional”.8
Fase ketiga adalah diplomasi dan pengakuan internasional (1948–1949). Fase ini ditandai 
dengan besarnya perhatian internasional, khususnya dari negara-negara yang baru merdeka terutama India dan negara-negara besar seperti Amerika Serikat. Hal ini mengubah keadaan menjadi lebih menguntungkan bagi Indonesia. Perserikatan Bangsa-Bangsa membentuk Komite Jasa Baik (yang kemudian menjadi Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia) untuk 
menjadi penengah antara Belanda dan Republik. Kegagalan Agresi Militer Belanda II untuk merobohkan RI, ditambah dengan meningkatnya tekanan global, menyebabkan diadakannya Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada akhir 1949. Dalam perundingan Belanda setuju untuk 
menyerahkan kedaulatan kepada negara federal baru bernama Republik Indonesia Serikat (RIS) yang meliputi Republik Indonesia dengan wilayah sesuai Perjanjian Renville, ditambah dengan 15 negara bagian/daerah otonom yang tergabung dalam RIS.9 Perjanjian ini menandai berakhirnya secara resmi pemerintahan kolonial Belanda dan dimulainya kedaulatan Indonesia di bawah 
 
6 R.Z. Leirissa, “Jalur Linggarjati”, dalam A.B. Lapian dan P.J. Drooglever (Penyunting), Menelusuri Jalur 
Linggarjati (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992), 4.
7 Ricklefs, Sejarah Indonesia, 476-477.
8 Mohammad Hatta, “Dua Tahun Merdeka”, Kumpulan Karangan IV (Jakarta: Penerbitan dan Balai Buku Indonesia, 
1954), 248.
9 Agus Setiawan, Rita Krisdiana dan Allan Akbar, Konferensi Meja Bundar: Jalan Menuju terbentuknya Bank Sentral 
Republik Indonesia (Jakarta: Bank Indonesia Institute, 2023), 200

kerangka federal, yang tidak lama kemudian bertransformasi menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 17 Agustus 1950. Wilayah territorial Indonesia sebagai transformasi RIS meliputi bekas Hindia-Belanda, kecuali Papua Barat.
Identitas teritorial Indonesia yang diperjuangkan tidak terbatas pada daratan, melainkan juga wilayah perairannya. Peristiwa di perairan Cirebon menjelang Perjanjian Linggajati dimana 
delegasi Belanda terpaksa menerima kawalan ALRI menunjukkan keberhasilan memaksa Belanda mengakui kekuasaan perairan teritorial Indonesia.10 Sebagai negara kepulauan yang terdiri dari 
ribuan pulau, identitas dan persatuan Indonesia sangat terkait dengan perairan di sekitarnya. Dalam konteks wilayah kepulauan Nusantara, perairan adalah penghubung.11 

Selama berabad-abad, penduduk di Nusantara menyebar dan berinteraksi dengan menggunakan jalur laut. Konsepsi wilayah laut sebagai jalur penghubung dalam kesadaran mayoritas masyarakat Indonesia tampaknya melemah pada masa Hindia Belanda, yang berorientasi pada eksploitasi agraris, dan di masa Jepang yang menekankan ekonomi autarki. Bahkan dalam konteks sejarah perdagangan antar pulau Indonesia, periode Jepang disebut periode gelap.12
 
Akan tetapi, periode revolusi menyadarkan kembali pentingnya kedaulatan Indonesia atas wilayah perairannya. Blokade laut yang dilakukan Angkatan Laut Belanda mendatangkan banyak kesulitan bagi Indonesia yang secara ekonomi karena sumber pemasukan utamanya sangat 
bergantung pada kegiatan perdagangan ekspor dan impor terutama melalui Singapura. Blokade dilakukan Belanda untuk melumpuhkan pemerintah Republik dan membuka jalan untuk penguasaan kembali bekas koloninya. Oleh karena itu, pemerintahan Republik berusaha keras 
untuk menembus blokade Belanda dan salah satu caranya adalah dengan melakukan kegiatan penyelundupan. Operasi ini melibatkan sejumlah tokoh dan jejaring, moda pengangkutan dan rute tempuh, serta produk-produk penting yang diselundupkan masuk dan keluar Indonesia melalui Singapura.13 

Kegiatan penyelundupan ke dan dari Singapura menjadi penting secara strategis dan simbolis bagi eksistensi Indonesia karena membangkitkan kesadaran pentingnya menegakkan kedaulatan maritim negara di masa depan. Tanpa kedaulatan atas wilayah perairan, eksistensi 
Republik Indonesia akan rentan terhadap ancaman yang datang dari kekuatan asing. Pengalaman masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan menyadarkan adanya kebutuhan penting untuk 
 
10 Burhanuddin Sanna, Pahlawan Samudera Kapten Samadikun (Jakarta: Dinas Sejarah TNI-AL, 1976), 24-25.
11 J.S. Furnivall, Netherlands India: A Study of Plural Economy (Cambridge: Cambridge University Press,1967), 4.
12 Singgih Tri Sulistiyono, “The Java Sea Network: Pattern in the Development of Interregional Shipping and Trade 
in the Process of National Economic Integration in Indonesia, 1870s-1970s”, PhD Thesis, Universiteit Leiden, 2003, 
210.
13 Lesta Alfatiana dan Ayu Wulandari, “Di Balik Layar Penyelundupan: Tokoh-Tokoh Dalam Perdagangan Gelap 
Pemerintah Republi di Singapura, 1947-1949”, Lembaran Sejarah, 18(1), 2022; Kustiniyati Mochtar (ed), Memoar 
Pejuang Republik Indonesia Seputar “Zaman Singapura” 1945-1970 (Jakarta: PT Gramedia, 1992).

memperlakukan perairan bukan sebagai pemisah, melainkan sebagai penghubung yang mengikat kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan territorial yang tidak terpisahkan.

Selama perang kemerdekaan, perairan Indonesia juga berfungsi sebagai rute penting untuk komunikasi, transportasi, dan rantai pasokan yang menghubungkan pulau-pulau di bawah kendali Republik. Koridor maritim ini sangat diperlukan untuk pergerakan bahan makanan, produkproduk perdagangan, senjata, logistik dan perlengkapan militer, khususnya antara Jawa, Sumatra, dan wilayah penting lainnya. Kontrol atas wilayah pesisir menjadi sangat penting secara strategis, karena menawarkan posisi untuk pertahanan dan dukungan logistik dalam menghadapi serangan militer Belanda. Kaum pejuang kemerdekaan dan masyarakat lokal diuji kemampuan kemaritimannya dalam menggunakan perahu/kapal, rute dan pengetahuan tradisionalnya agar hubungan antarpulau tetap berlangsung di tengah situasi darurat dan blokade laut yang diberlakukan Belanda. Pengalaman sulit pada masa ini menggarisbawahi pentingnya ruang maritim sebagai bagian dari wilayah teritorial negara.

Perjuangan kemerdekaan mendorong pergeseran konseptual dalam cara orang Indonesia memandang wilayah maritim mereka. Secara tradisional, hukum kolonial yang menetapkan batas laut teritorial sejauh 3 mil, memperlakukan laut antarpulau sebagai perairan internasional. 
Ketentuan ini secara efektif membagi dan memisahkan banyak pulau yang menyusun wilayah territorial negeri kepulauan. Namun, semangat revolusioner dan kebutuhan akan persatuan nasional membawa pada kesadaran bahwa laut antarpulau merupakan bagian integral dari 
kedaulatan Indonesia. Hal ini pada akhirnya menghasilkan perumusan Wawasan Nusantara, yang memandang daratan dan lautan sebagai satu kesatuan. Meskipun doktrin ini secara resmi baru dideklarasikan kemudian pada tahun 1957 melalui Deklarasi Djuanda dengan konflik atas Papua sebagai pemicu urgensinya,14 pengalaman perjuangan pada masa perang dan kesadaran ruang maritim yang strategis selama periode kemerdekaan adalah faktor kondisional. Dengan kata lain, perjuangan untuk kemerdekaan juga meletakkan dasar bagi klaim Indonesia di masa depan atas 
wilayah maritimnya di panggung internasional. 

Selain wilayah territorial, masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan juga menjadi fase penting dalam dekolonisasi ekonomi yang prosesnya lebih rumit dan lebih lama dibanding dekolonisasi politik. Pemerintah RI bertekad merombak ekonomi kolonial yang merusak kehidupan rakyat. Daya rusak kapitalisme jajahan yang dipraktikkan Belanda sangat besar karena, 
seperti ditegaskan Hatta dalam pidato radio pada 17 Agustus 1946, kapitalisme jajahan melakukan 
 
14 Yuda B. Tangkilisan, “Sovereignty on Seas: The Making of the Declaration of Djuanda 1957”, Proceedings of the 
fourth Asia-Pacific Research in Social Sciences and Humanities, Arts and Humanities Stream (AHS-APRISH 2019).

penindasan ganda, yakni “penindasan kapital dan penindasan ras”.15 Penindasan ini memantik reaksi kuat dalam bentuk semangat nasionalisme ekonomi. Gagasan kunci ideologi ini adalah keyakinan bahwa sumber daya dan industri Indonesia harus melayani kepentingan rakyat, bukan 
kepentingan asing. 

Kebijakan Indonesianisasi dan nasionalisasi kelembagaan dan asset ekonomi yang dilakukan pasca proklamasi merefleksikan nasionalisme ekonomi. 

Pemerintah mendirikan lembaga-lembaga ekonomi nasional yang penting, seperti pendirian BNI 1946 menjadi salah satu 
institusi keuangan yang penting sebagai bank sentral Republik Indonesia.16 Lalu melakukan penerbitan mata uangnya sendiri yang dikenal dengan nama Oeang Republik Indonesia (ORI)17 dan mempromosikan koperasi sebagai institusi vital untuk memberdayakan rakyat Indonesia.

Perjuangan Indonesia untuk kemerdekaan dari tahun 1945 hingga 1949 bukan hanya 
revolusi politik dan militer, tetapi juga perlawanan budaya. Dalam menghadapi penindasan kolonial dan konflik bersenjata, budaya menjadi alat yang ampuh untuk perlawanan, persatuan, dan identitas nasional. Di seluruh Nusantara, seniman, penulis, musisi, pendidik, jurnalis, dan atlet 
berkontribusi pada semangat kemerdekaan dengan mengekspresikan harapan, perjuangan, dan cita-cita revolusi. Ekspresi budaya seperti lagu, puisi, sastra, surat kabar, siaran radio, pendidikan, dan olahraga memainkan peran penting dalam membentuk kesadaran nasional bersama, 
memperkuat solidaritas, dan menginspirasi masyarakat untuk memperjuangkan kebebasan. 
Periode ini meletakkan dasar bagi budaya Indonesia modern yang sangat terkait dengan nilai-nilai 
patriotisme, persatuan, dan ketahanan.
Selama perjuangan kemerdekaan, seni menjadi media yang digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk mengekspresikan perlawanan dan aspirasi mereka. Penulis dan penyair seperti 
Chairil Anwar dan Idrus menggunakan karya mereka untuk menyuarakan intensitas emosional saat itu—kesedihan, perlawanan, harapan, dan kebanggaan. Lagu-lagu seperti Halo-Halo Bandung 
dan Indonesia Raya bukan hanya sekadar hiburan, tetapi juga lagu perlawanan, yang menggalang dukungan masyarakat. Seniman visual membuat poster propaganda yang menyampaikan pesan perlawanan dan patriotik yang kuat, yang sering dipajang di ruang publik atau dipublikasikan di 
media cetak. Sebagai bentuk perlawanan, poster-poster propaganda menggambarkan Belanda serba negatif atau yang diistilahkan Yuanda Zara dengan “demonisasi visual terhadap Belanda”. 

Belanda dan tokoh-tokoh Belanda digambarkan misalnya sebagai monster jahat, tuan besar jahat dan egois, tentara rakus dan kejam tapi lemah, Vander Plas: penjajah, pengadu domba dan dalang 
 
15Mohammad Hatta, “Satu Tahun Indonesia Merdeka”, Kumpulan Karangan IV (Jakarta: Penerbitan dan Balai Buku 
Indonesia, 1954), 247.
16 Agus Setiawan, Rita Krisdiana dan Allan Akbar, Konferensi Meja Bundar, 126-142.
17 Nawiyanto, Tony N. Tjahjono, dan Mirza Ardi Wibawa, Rupiah untuk Kedaulatan Negara (Jakarta: Bank Indonesia 
Institute, 2024), 126-134.

jahat, serta Van Mook: Si pengadu domba dan dalang jahat.18 Bentuk-bentuk kreatif ini berakar kuat dalam pengalaman kolektif perjuangan dan menjadikannya instrumen yang kuat untuk mobilisasi emosional dan ideologis. 

Selain seni, ekspresi budaya lainnya berupa radio dan surat kabar. Keduanya memainkan peran penting dalam menginformasikan, menyatukan, dan menginspirasi penduduk Indonesia 
selama periode revolusioner. Radio Republik Indonesia (RRI) yang didirikan tak lama setelah proklamasi pada tahun 1945 menjadi suara Republik, menyiarkan pidato, lagu-lagu patriotik, berita revolusioner, dan berita terkini dari garis depan. Meskipun Belanda berupaya untuk menekannya, RRI tetap beroperasi dari berbagai kota, memastikan bahwa semangat Republik 
mencapai bahkan ke daerah-daerah yang paling terpencil. Sementara itu, surat kabar revolusioner seperti Suara Asia, Merdeka, dan Indonesia Raya menerbitkan berita, tajuk rencana, kartun politik, dan literatur yang menentang narasi kolonial dan memperkuat sentimen nasionalis. Platform media massa ini penting dalam membentuk opini publik dan menjaga persatuan nasional selama konflik. 

Perlu ditambahkan pula, pendidikan ikut memberi sumbangan penting dalam perjuangan kemerdekaan. Selain partisipasi kaum pelajar dalam bentuk kelasykaran dengan terlibat di medan perang, sektor pendidikan terus beroperasi meskipun dengan sumber daya terbatas. Penggunaan
Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar utama merupakan tindakan budaya dan politik, yang mendorong persatuan dan menjauhkan sistem pendidikan dari akar kolonialnya. 

Pendidikan revolusioner menanamkan nilai-nilai patriotik, meningkatkan kesadaran politik, dan memberdayakan generasi muda untuk berpartisipasi aktif dalam masa depan bangsa.

Masa perjuangan kemerdekaan dari tahun 1945 hingga 1949 membentuk dan mengokohkan nilai-nilai keiindonesian terutama patriotisme, militansi, persatuan, gotong-royong, dan pengorbanan. Patriotisme merupakan kekuatan pendorong di balik tekad rakyat Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan selama revolusi. Kecintaan terhadap tanah air ini melampaui kepentingan pribadi, karena individu dari semua lapisan masyarakat secara aktif melawan kekuatan kolonial. 

Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, memicu gelombang 
antusiasme dan komitmen untuk mempertahankan kedaulatan bangsa, bahkan dalam menghadapi kekuatan militer yang luar biasa. Rasa patriotisme yang mendalam ini tidak hanya memotivasi 
para pejuang di medan perang tetapi juga mengilhami warga sipil untuk berkontribusi dengan cara apa pun yang mereka bisa, mulai dari menyebarkan informasi hingga menyediakan makanan dan tempat tinggal. Penyerahan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949 yang menandai 
 
18 Muhammad Yuanda Zara, “Demonisasi Visual terhadap belanda pada masa Revolusi Indonesia,” dalam dalam 
Bambang Purwanto, Abdul Wahid, Gerry van Klinken, Martijn Eickof, Yulianti, dan Ireen Hoogenboom (Editor), 
Dunia Revolusi: Perspektif dan Dinamika Lokal pada Masa Perag Kemerdekaan Indonesia, 1945-1949 (Jakarta: 
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2023).

berakhirnya kekuasaan kolonial secara resmi memperkuat bangsa Indonesia untuk memegang nilai bahwa kemerdekaan diraih melalui perjuangan dan bukan sekadar pemberian cuma-cuma. 
Terdapat pula militansi sebagai nilai khas perjuangan kemerdekaan Indonesia, khususnya selama tahun-tahun revolusi 1945 hingga 1949, ketika rakyat Indonesia mempertahankan republik yang baru diproklamasikan dari upaya rekolonisasi Belanda. 
Militansi ini terwujud tidak hanya melalui perlawanan militer yang terorganisasi yang dilancarkan Tentara Republik Indonesia, tetapi juga keterlibatan kaum sipil dalam perjuangan bersenjata. Salah satu sumber utama militansi dalam perjuangan adalah ideologi perang jihad dalam Islam, tentang pengorbanan dan janji pahala bagi mereka yang mati syahid dalam perjuangan. Resolusi jihad diserukan dalam berbagai pertemuan para ulama di Jawa dan Sumatera di bulan-bulan setelah proklamasi.19 Militansi juga tampak jelas dalam slogan “Merdeka atau Mati” dan tekad “lebih baik hancur lebur daripada 
dijajah kembali”,20 yang mengekspresikan sikap tak kenal kompromi yang diambil oleh kaum pejuang. 
Pertempuran Surabaya pada bulan November 1945 merupakan salah satu contoh paling jelas dari semangat militansi ini, di mana ribuan pemuda dan pejuang terlibat dalam pertahanan kota yang sengit dan berani mati menghadapi pasukan Inggris dan Belanda. 

Selain itu, nilai lainnya yaitu persatuan yang merupakan nilai dasar dalam perjuangan 
kemerdekaan Indonesia. Persatuan berfungsi sebagai kekuatan vital yang menyatukan berbagai komunitas etnis, budaya, dan agama di kepulauan ini dalam upaya mencapai identitas nasional 
bersama. 
Meskipun wilayah geografisnya sangat luas dan terdapat perbedaan sosial budaya di antara penduduk Indonesia, proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 menandai tekad kolektif untuk melawan penjajahan. Para pemimpin nasionalis seperti Sukarno dan Mohammad Hatta menekankan pentingnya persatuan sebagai hal yang utama dalam pembentukan negara-bangsa Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika atau yang diistilahkan Hatta “persatuan dalam puspa ragam”,21 merangkum tekad persatuan untuk Indonesia yang sangat heterogen. 
Sukarno menyatakan bahwa perbedaan ciri-ciri fisik seperti warna kulit, bentuk hidung dan dahi, tinggi tubuh di antara etnik-etnik di Nusantara tidak menjadikan mereka orang asing dan orang-orang pulau karena mereka adalah orang-orang Indonesia dan mereka adalah satu di bawah moto Bhinneka Tunggal Ika.22 Dalam pidato proklamasi juga dinyatakan, “Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan Kemerdekaan Indonesia,” sebuah pernyataan yang merangkum visi inklusif 
persatuan nasional yang melampaui batas-batas suku, ras, agama, dan berbagai pembeda lainnya. 
 
19 Anthony Reid, Revolusi Nasional Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), 92-93.
20 William H. Frederick, Pandangan dan Gejolak: Maysrakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 
1926-1946 (Jakarta: Yayasan Karti Sarana dan PT Gramedia, 1989), 342-343.
21 Mohammad Hatta, “Kemana Arah Kebudajaan Kita?” dalam Kumpulan Karangan IV (Jakarta: Penerbitan dan 
Balai Buku Indonesia, 1954), 88.
22 Donald Wilhelm, Emerging Indonesia (Jakarta: Indira, 1980), 18.

Selama periode 1945-1949, persatuan bukan hanya cita-cita aspiratif tetapi nilai yang dihayati dan dimobilisasi yang memberdayakan perlawanan Indonesia sehingga pada akhirnya berhasil 
mendapatkan pengakuan kedaulatan pada 1949. Pengalaman masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan membuktikan bahwa meskipun ada perbedaan, rakyat Indonesia dapat bersatu untuk meraih tujuan yang sama, yakni mempertahankan kemerdekaan dari ancaman musuh.

Semangat gotong royong, atau kerja sama timbal balik, juga muncul sebagai nilai utama selama revolusi. Menghadapi keterbatasan sumber daya dan militer kolonial yang lebih maju, masyarakat Indonesia mengandalkan solidaritas komunal untuk bertahan hidup dan berjuang. 
Desa-desa menjadi pusat dukungan tempat orang-orang berbagi makanan, intelijen, dan tenaga kerja untuk membantu revolusi. Gotong royong mencerminkan ketahanan masyarakat dan menjadi perekat sosial yang menyatukan masyarakat di masa-masa sulit. Masa perjuangan mempertahankan Kemerdekaan Indonesia menjadi momen krusial dalam aktualisasi nilai kegotong-royongan. 
Menurut Sukarno, “gotong-royong” adalah kosa kata tulen Indonesia, yang merangkum hasil perasan dari lima mutiara berharga yang disebutnya dengan nama Pancasila. 

Sukarno lebih jauh menyatakan, “Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua.”23
 
Nilai yang dijunjung tinggi dan sangat dihormati selama perang kemerdekaan adalah pengorbanan. Masa perjuangan kemerdekaan diwarnai kesiapan menghadapi kesulitan dan kerelaan menanggung penderitaan, bahkan mengorbankan nyawa demi kemerdekaan. Sebuah perkiraan sarjana Belanda menyebutkan paling tidak sekitar 100.000 orang Indonesia menjadi korban tewas pada masa perang ini. Di antara korban tewas adalah 2.500 orang yang tewas dalam 
pertempuran di Surabaya,24 3.500 orang yang dilaporkan tewas dieksekusi militer Belanda di Sulawesi Selatan antara Desember 1946-Februari 1947,25 dan terdapat pula sederet kasus korban 
tewas lainnya akibat kekerasan yang dilakukan militer Belanda. Pada akhir tahun 1949 sebanyak 116 penduduk di berbagai desa di Sukabumi tewas ditembaki militer Belanda, dan tidak lama kemudian disusul dengan 77 kematian akibat tindakan serupa.26

 Kisah-kisah para pejuang yang 
 
23 Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Bangsa Indonesia (Jakarta: PT Media Pressindo dan Yayasan Bung 
Karno, 2012), 242.
24 Frederick, Pandangan dan Gejolak, 356.
25 Thijs Brocades Zaalberg dan Bart Luttikhuis, “Melampau Peringkat Kesalahan Kolonial,“ dalam Tim Penulis 
ODGOI, Melewati Batas: Kekarasan Ekstrem Belanda dalam Perang Kemerdekaan, 1945-1946 (Jakarta: Yayasan 
Pustaka Obor Indonesia, 2023), 336-338.
26 Roel Frakking dan Martijn Eijkoff, “Dunia Revolusi: Legitimasi, Kekerasan, dan Loyalitas Selama Perang 
Kemerdekaan”, dalam im Penulis ODGOI, Melewati Batas: Kekarasan Ekstrem Belanda dalam Perang 
Kemerdekaan, 1945-1946 (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2023), 160-162; Roel Frakking, “Semakin 
Keras Mereka Bertindak, akan Semakin Keras Permusuhan: Dinamika Kekerasan di Sulawesi Selatan,” dalam 
Bambang Purwanto, Abdul Wahid, Gerry van Klinken, Martijn Eickof, Yulianti, dan Ireen Hoogenboom (Editor), 
Dunia Revolusi: Perspektif dan Dinamika Lokal pada Masa Perag Kemerdekaan Indonesia, 1945-1949 (Jakarta: 
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2023), 264.

gugur di medan perang dan rakyat desa yang berkorban dengan menyumbangkan harta miliknya untuk mendukung perjuangan menjadi bentuk-bentuk nyata pengorbanan. Dalam pidato radio memperingati lima tahun kemerdekaan pada 17 Agustus 1950, Mohammad Hatta mengakui nilai pengorbanan ini. “Banjak sekali kurban jang harus diberikan dalam perjuangan lima tahun…Kurban jiwa pemuda, pahlawan dan perwira….Kurban perasaan karena harus menderita 
berbagai kesulitan jang hanja dapat diatasi dengan kejakinan….mendatangkan Indonesia yang merdeka dan berdaulat….Kurban harta benda jang tidak sedikit sebagai akibat daripada 
pertempuran, jang diderita dan diterima oleh rakjat dengan hati sabar jang tidak berhingga.”27

Perjuangan kemerdekaan Indonesia dari 1945 hingga 1949 bukan hanya momen penting dalam mengamankan kebebasan dari penjajahan, tetapi juga periode dasar yang membentuk masa depan negara dalam politik, ekonomi, urusan militer, dan kebijakan luar negeri. 
Saat Republik 
berjuang untuk menegaskan kedaulatannya, secara bersamaan ia menetapkan prinsip, lembaga, dan strategi yang akan memengaruhi arah nasionalnya dalam beberapa dekade berikutnya. 
Revolusi tersebut menanamkan semangat nasionalisme, kemandirian, dan perlawanan terhadap dominasi asing—nilai-nilai yang tertanam kuat dalam kebijakan Indonesia pascakemerdekaan. 

Revolusi nasional juga mengajarkan Indonesia pentingnya dukungan internasional bagi eksistensi negara. Warisan masa perjuangan kemerdekaan Indonesia menjangkau jauh dan mempengaruhi perkembangan Indonesia dalam memperkuat persatuan dan kesatuan, membangun ekonomi nasional demi terwujudnya masyarakat adil dan makmur, serta mengarahkan diplomasi internasional masa selanjutnya.
Berakhirnya periode 1945-1949 ternyata juga masih menyisakan pertentangan di kalangan bangsa Indonesia sendiri yakni kelompok yang berorientasi sosialis-komunis dengan nasionalis dan agama. Apakah representasi keduanya terbelah ke dalam pandangan yang menganggap 
“Revolusi belum selesai” dan “Revolusi sudah selesai”. Mohammad Hatta mewakili yang berpandangan bahwa sesudah pengakuan kedaulatan maka “revolusi sudah selesai”, namun sebaliknya Sukarno mengatakan “revolusi belum selesai”. Bagi Mohammad Hatta, setelah periode perang kemerdekaan, bangsa Indonesia tinggal lagi memperbaiki kerusakan prasarana dan sarana serta tatanan kehidupan akibat peperangan. Bagi Sukarno, di sisi lain, meskipun penjajahan Belanda sudah berakhir, tetapi kolonialisme dan imperialisme masih terus mengancam 
kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, semangat untuk melawannya harus dikobarkan dengan slogan “revolusi belum selesai”. 
Sejarah pun kemudian mencatat bahwa dinamika revolusioner berakhir dengan terjadinya tragedi nasional 1965, diganti dengan slogan “pembangunan”
 
27 Mohammad Hatta, “Pelaksanaan negara Kesatuan Republik Indonesia 5 Tahun,” dalam Kumpulan Karangan IV 
(Jakarta: Penerbitan dan Balai Buku Indonesia, 1954), 263.


SISTEMATIKA PENULISAN

PENDAHULUAN

BAB 1. Masa Akhir Penjajahan Jepang

Pengantar

1.1. Kesadaran Nasionalis dan Identitas Politik
1.2. Nasionalisme Islam
1.3. Disiplin dan Budaya Militer
1.4. Bahasa Indonesia sebagai Indentitas Nasional
1.5. Perubahan Sosial dan Perlawanan

Penutup


BAB 2. Dari Perang Dunia II ke Proklamasi: Menegakkan Kedaulatan Negara

Pengantar

2.1. Situasi Menjelang Proklamasi
2.1.1. Perang Pasifik
2.1.2. Janji Jepang
2.1.3. Amanat dari Dalat, Saigon
2.2. Proklamasi Kemerdekaan
2.2.1. Seputar Proklamasi
2.2.2. Penyebaran Berita Proklamasi
2.2.3. Peristiwa Rapat Ikada
2.3. Revolusi Sosial
2.3.1. Peristiwa Tiga Daerah
2.3.2. Revolusi Sosial di Sumatra Timur
2.3.3. Revolusi Sosial di Aceh
2.3.4. Revolusi Sosial di Surakarta
2.3.5. Revolusi Sosial di Jakarta
2.4. Pembentukan Pemerintahan
2.4.1. Dari kabinet Presidensial ke Parlementer
2.4.2. Dinamika Politik Internal

Penutup


BAB 3. Perjuangan Diplomasi dan Militer

Pengantar

3.1. Perjuangan Diplomasi
3.1.1.Jalan diplomasi
3.1.2.Perundingan Hoge Veluwe
3.1.3.Perjanjian Linggajati
3.1.4.Perjanjian Renville dan keterlibatan PBB
3.1.5.Menuju Kesepakatan Roem-Roijen
3.1.6.Menyatu di Bawah Dwi Tunggal
3.1.7.Konferensi Meja Bundar
3.2. Penggalangan Dukungan Internasional
3.2.1. Diplomasi ke Australia
3.2.2. Diplomasi Beras ke India
3.2.3. Inter Asia Relations Conference
3.2.4. Diplomasi ke Timur Tengah
3.2.5. Diplomasi ke Vatican
3.2.6. New Delhi Conference
3.2.7. Perdebatan dalam Sidang Dewan Keamanan PBB
3.2.8. Diplomat Indonesia di PBB
3.3. Perjuangan Bersenjata
3.3.1. Organisasi Bersenjata di Bawah Pemerintah
3.3.2. Organisasi Bersenjata di Bawah Partai
3.3.3. Organisasi Bersenjata Swadaya
3.3.3.1. Barisan Banteng Republik Indonesia
3.3.3.2. Kebaktian Rakyat Sulawesi
3.3.3.3. Lasykar Rakyat
3.3.3.4. Lasykar Perempuan
3.3.3.5. Barisan Bersenjata dan Lasykar di Sumatra
3.3.3.6. Tentara Pelajar dan Tentara Republik Indonesia Pelajar
3.3.4.Palang Merah Indonesia (PMI)
3.3.5.Perjuangan Fisik
3.3.5.1. Perang Kemerdekaan Fase I (September 1945 – November 1946)

• Perang menghadapi Jepang (Pertempuran Lima Hari di 
Semarang, Pertempuran Kota Baru Yogyakarta, Peristiwa 
Lengkong Tangerang)
● Perang menghadapi Sekutu + NICA (Pertempuran Surabaya, Pertempuran Ambarawa, Bandung Lautan Api, Medan Area, Puputan Margarana, dan lain-lain) 
3.3.5.2. Perang Kemerdekaan Fase II
● Agresi Militer Belanda I
● Agresi Militer Belanda II
● Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)
● Siasat Perang Gerilya
● Pertahanan Rakyat Semesta 

Penutup


BAB 4. Ancaman Internal: Pemberontakan di Masa Perjuangan
Pengantar
4.1.Pemberontakan PKI Madiun 1948
4.1.1. Situasi Politik Jelang Pemberontakan
4.1.1.1. Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) Hatta
4.1.1.2. Front Demokrasi Rakyat
4.1.2. Dari Wild West Solo Menuju keSasaran Madiun
4.1.3. Proses Pemberontakan
4.1.4. Penumpasan Pemberontakan
4.2. Pemberontakan DI/TII
4.2.1. Sang Tokoh Pergerakan Nasional
4.2.2. Kartosuwirjo dan Pilihan Islamisme
4.2.3. Hijrah dalam Pemikiran Kartosuwirjo
4.2.4. Kartosuwirjo dan Negara Proklamasi RI
4.2.5. Terbentuknya Tentara Islam Indonesia
4.2.6. Proklamasi Darul Islam dan Qanun Asasi DI
4.2.7. DI/TII dan Kekerasan Horozontal pasca KMB di Jabar
4.2.8. Potret Dislokasi Sosial di Titik-titik Konflik

Penutup


BAB 5. Memperjuangkan Kedaulatan Ekonomi

Pengantar

5.1. Kondisi Ekonomi Awal Kemerdekaan
5.2. Kebijakan Ekonomi Masa Awal kemerdekaan
5.2.1. Gagasan dan Rancangan Kebijakan
5.2.2. Bank Negara Indonesia 1946
5.2.3. Penerbitan ORI dan Peredarannya
5.2.4. Perang Uang: Uang Merah versus Uang Putih
5.3. Merebut Aset-Aset Ekonomi
5.3.1. Indonesianisasi Kepemilikan Asing
5.3.2. Menggalang Dana Revolusi
5.3.3. Menembus Blokade Belanda: Penyelundupan lintas batas
5.4. Meletakkan Dasar-dasar Kemakmuran
5.4.1. Pengembangan Sektor Pertanian Rakyat
5.4.2. Perkembangan Koperasi, Perdagangan, Industri dan infrastruktur

Penutup


BAB 6. Aspek Seni Budaya Masa Revolusi

Pengantar

6.1. Organisasi Seni Budaya pada Masa Revolusi
6.1.1.Pusat Badan Kesenian Indonesia (PBKI)
6.1.2.Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA)
6.1.3.Keimin Bunka Shidosho
6.2. Sastra dan Perjuangan
6.3. Seni dan Perjuangan
6.4. Lagu-Lagu Perjuangan
● Karya dan Pencipta Lagu Perjuangan
6.5. Olah Raga dan Perjuangan
6.5.1. Suasana Politik di Seputar Pelaksanaan PON 1948
6.5.2. Misi Politik PON
6.5.3. Solo penyelenggara PON Pertama
6.6. Lukisan dan Perjuangan
6.6.1.Sudjojono
6.6.2.Dullah
6.6.3.Tino Sidin
6.7.Pendidikan dan Perjuangan
6.7.1. Kebijakan Pendidikan
6.7.2.Jenjang Pendidikan pada Awal Kemerdekaan
6.7.3. Perkembangan Institusi Pendidikan
6.7.4. Partisipasi Kaum Terpelajar dalam Perjuangan
6.8. Media Massa dan Perjuangan
6.8.1. Upaya Pemerintah RI Mengelola Informasi Publik
6.8.1.1.Kelahiran PWI dan SPS
6.8.1.2.Kelahiran RRI
6.8.2.RRI Sebagai Media Suara Perjuangan Rakyat
6.8.3. Penerbitan Media Republiken
6.8.3.1. Merdeka
6.8.3.2. Antara
6.8.3.3. Kedaulatan Rakjat

Penutup


BAB 7. Warisan Masa Revolusi
Pengantar
7.1. Warisan Politik
7.1.1.Kekuatan Ketiga
7.1.2.Dari RIS ke Negara Kesatuan
7.1.3.Polarisasi Politik
7.1.4.Institusi Militer
7.1.5.Benih-Benih Disintegrasi
7.2. Warisan Ekonomi
7.2.1.Beban Utang Perang
7.2.2. Kembalinya Perusahaan Belanda
7.2.3. Kembalinya De Javasche Bank
7.2.4. Kerusakan Infrastruktur Ekonomi
7.3. Warisan Diplomasi
7.3.1. Masalah Irian Barat (Papua)
7.3.2. Politik Luar Negeri Bebas Aktif
7.3.3. Hubungan dengan Blok Timur dan Barat

Penutup


PENUTUP

Pembahasan buku ini memperlihatkan bahwa periode 1945–1949 merupakan fase paling krusial dalam sejarah Indonesia. Pada periode ini Indonesia lahir sebagai negara-bangsa yang merdeka dan berdaulat. Di tengah kancah politik global yang bergejolak, para pemimpin bangsa 
berhasil memadukan semangat nasionalisme, kekuatan militer, dan diplomasi secara cerdas. 

Dari proklamasi kemerdekaan yang heroik dan kemudian disambung dengan perjuangan diplomatik dan militer, terlihat bagaimana persatuan menjadi benteng terkuat melawan ancaman baik dari dalam maupun luar negeri. 
Pengorbanan para pejuang, baik yang berjuang di medan perang maupun di meja perundingan, serta rakyat yang mendukung di garis belakang, menandai sebuah periode kebangkitan di mana setiap elemen masyarakat, dari kaum intelektual hingga rakyat jelata, bersatu untuk mengukir sejarah. Pada periode ini pula kesadaran kolektif bangsa Indonesia tentang arti kemerdekaan, kedaulatan, dan identitas nasional memperoleh wujud nyata, setelah tumbuh dan berkembang sebagai gagasan pada masa Hindia-Belanda dan dimatangkan pada masa penjajahan Jepang. Periode 1945-1949 bukan sekadar masa perjuangan mempertahankan 
kemerdekaan dari ancaman kolonialisme Belanda yang ingin kembali berkuasa, melainkan juga fase penting terbentuknya identitas nasional, kristalisasi nilai-nilai ke-Indonesiaan, dan tampilnya agensi orang-orang Indonesia dalam panggung nasional dan global. Pada masa ini pulalah pilarpilar dasar negara dibangun, identitas nasional ditegaskan, solidaritas dan komitmen kebangsaan diuji serta diperkuat melalui jalan terjal penuh tantangan, baik secara fisik melalui perlawanan 
bersenjata maupun secara diplomatik melalui perundingan-perundingan yang menentukan nasib Republik.

Perjalanan dari proklamasi kemerdekaan hingga pengakuan kedaulatan yang diperoleh Indonesia di Konferensi Meja Bundar pada 1949 menunjukkan dinamika yang kompleks dan penuh tantangan. Di satu sisi, terlihat jelas bagaimana pemerintah Indonesia berupaya keras 
membangun struktur pemerintahan yang kokoh, dari pembentukan kabinet hingga lembaga-lembaga negara dan organ-organ pemerintahan. 
Di sisi lain, ancaman disintegrasi muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari pemberontakan bersenjata seperti PKI Madiun dan DI/TII di Jawa Barat hingga polarisasi politik yang semakin tajam antara berbagai elemen bangsa dan kekuatan perjuangan pendukung revolusi kemerdekaan. 
Pemberontakan PKI di Madiun dan DI/TII di Jawa Barat pada masa revolusi ini mencerminkan konflik tentang arah dan fondasi negara yang hendak 
dibangun. 
Kedua pemberontakan ini hendak membajak Republik demi ideologi transnasional, komunisme sebagaimana dikehendaki PKI atau Islam bagi DI/TII. Kegagalan dua pemberontakan 
itu menunjukkan bahwa mayoritas rakyat lebih memilih jalan nasionalisme yang berakar pada nilai-nilai keindonesiaan yang bersifat pluralistik dan inklusif di mana kebhinekaan dihargai. 

Seluruh peristiwa ini menjadi cerminan bahwa proses pembentukan negara-bangsa bukan hanya tentang deklarasi, tetapi juga tentang bagaimana mengelola perbedaan dan mengatasi konflik demi satu tujuan bersama, yakni tegaknya kedaulatan negara-bangsa berdasarkan ideologi Pancasila, 
bukan negara komunis atau negara agama, sebagai salah satu unsur utama identitas nasionalnya.

Perjuangan mempertahankan kemerdekaan bukan hanya soal politik dan militer, tetapi juga secara esensial berhubungan dengan soal ekonomi. Tatanan ekonomi kolonial yang eksploitatif dan menyengsarakan rakyat hendak dirombak dan digantikan dengan tatanan ekonomi nasional yang 
berkeadilan dan menyejahterakan rakyat melalui pintu gerbang kemerdekaan. Periode 1945–1949 menjadi fase historis yang sarat makna karena menjadi momen konsolidasi antara cita-cita politik 
dan ekonomi bangsa Indonesia yang merdeka. Proklamasi 17 Agustus 1945 bukan hanya menjadi penanda berakhirnya status bangsa terjajah, tetapi juga menjadi landasan membangun ekonomi nasional yang berdaulat. Dalam suasana perang dan krisis, Indonesia tidak hanya mengandalkan 
kekuatan senjata dan diplomasi, tetapi juga berjuang untuk merebut aset-aset dan sumberdaya ekonomi yang sebelumnya dikuasai kaum penjajah. Peran berbagai elemen masyarakat begitu sentral dalam menopang revolusi, baik melalui dukungan finansial maupun keterlibatan langsung 
dalam perjuangan revolusi. 
Langkah-langkah strategis seperti pengambilalihan aset asing, penerbitan uang republik, dan pembentukan lembaga keuangan nasional mencerminkan kesadaran bahwa kemerdekaan sejati tidak dapat dicapai tanpa kemandirian ekonomi. Di tengah keterbatasan, para pemimpin bangsa tetap berupaya membangun fondasi ekonomi yang kuat dengan mendorong bidang pertanian, industri rakyat, dan distribusi kebutuhan pokok secara merata. Semangat gotong royong dan partisipasi luas masyarakat dalam perjuangan revolusi menegaskan bahwa kemerdekaan bukan hanya milik segelintir elit, melainkan hasil perjuangan kolektif yang bertumpu pada nilai-nilai keindonesiaan. Oleh karena itu, masa revolusi bukan hanya tentang membebaskan diri dari penjajahan, tetapi juga tentang membentuk identitas ekonomi yang berkeadilan dan berorientasi pada kesejahteraan seluruh rakyat.

Di tengah perjuangan yang tak kenal lelah, aspek-aspek lain dari kehidupan bangsa juga turut berkembang. 
Melalui sastra, seni, budaya dan bahkan olahraga pengalaman perjuangan mempertahankan kemerdekaan dimaknai bersama dan diartikulasikan. Semangat kemerdekaan, gagasan dan identitas ke-Indonesian sebagai bangsa yang berdaulat diserbarluaskan kepada khalayak luas. Lagu-lagu perjuangan, lukisan, dan tulisan-tulisan patriotik menjadi saksi bisu betapa kreativitas seni dan budaya dapat menjadi kekuatan revolusioner. 
Demikian pula, lembagalembaga pendidikan, media massa, Radio Republik Indonesia dan pemancar radio perjuangan lainnya telah memainkan peran sentral dalam membangun solidaritas dan menyatukan rakyat dalam spirit perjuangan kemerdekaan. Patriotisme dan militansi perjuangan bukan hanya tertanam dalam pertempuran fisik, tetapi juga meresap kuat dalam pelbagai lini kehidupan, membentuk karakter pejuang yang pantang menyerah dalam melawan penjajahan dengan segala sifat buruknya dalam rupa pemerasan, penindasan, diskriminasi dan ketidakadilan.
Masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang berpuncak pada pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda meninggalkan warisan historis yang penting untuk dikelola. 

Secara politik, pengakuan dari Belanda menegaskan legitimasi Indonesia sebagai negara merdeka, menyusul dukungan dan pengakuan dari sejumlah negara sahabat. Pencapaian besar ini menempatkan Indonesia sebagai negara berdaulat di mata dunia. 
Namun, revolusi juga meninggalkan benih-benih disintegrasi dan polarisasi politik yang akan terus menjadi tantangan untuk diselesaikan. Secara ekonomi, bangsa ini mewarisi utang perang yang besar dan kerusakan infrastruktur. Hal itu memaksa pemerintah untuk bekerja ekstra keras membangun kembali fondasi dan tatanan ekonomi nasional. 
Tidak diragukan, warisan dari masa perjuangan 1945–1949 menentukan arah Indonesia pada dekade-dekade berikutnya. Struktur pemerintahan, dinamika sosio-politik dan ideologi, permasalahan ekonomi, hingga kebijakan luar negeri semuanya berakar dari pengalaman pada masa perjuangan. 
Babak baru dalam sejarah bangsa pun dimulai, namun dengan problem lama yang kompleks dan banyak di antaranya bersifat warisan. Warisan masa revolusi menjadi ujian berat bagi kepemimpinan nasional di bawah Presiden Sukarno dalam upaya 
membangun sebuah negara modern karena menghadapi dinamika politik yang semakin rumit. 

Perjuangan membangun negara-bangsa secara politik dan ekonomi, serta meneguhkan identitas nasional dan persatuan bangsa di tengah-tengah kuatnya dinamika internal maupun arus global 
menjadi tantangan yang harus dijawab pemerintah Republik pada 1950-an hingga pertengahan 1960-an dan persoalan ini akan menjadi fokus pembahasan pada jilid selanjutnya.

Gb Jilid 10 Bab VII