MATERI DISKUSI PUBLIK DRAF PENULISAN BUKU
SEJARAH INDONESIA 2025
JILID 8
KONSOLIDASI NEGARA BANGSA:
KONFLIK, INTEGRASI DAN KEPEMIMPINAN
INTERNASIONAL 1950-1965
PENULIS:
Dr. Kandar, M.A.P.
Dr. Mohammad Iskandar, M.Hum.
Dr. Dwi Mulyatari, S.S., M.A.
Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M.Hum.
Nur Aini Setiawati, Ph.D.
Dr. Ahmad Fahrurodji, M.A.
Dr. Ir. Yuke Ardhiati, M.T.
Dr. Zaiyardam Zubir, M.Hum.
Dr. Israr, S.S., M.Si.
Dr. Bondan Kanumoyoso, M.Hum.
PENDAHULUAN
Konsolidasi negara bangsa Indonesia pada periode 1950-1965, berfokus pada upaya membangun kesatuan dan identitas nasional setelah Indonesia mencapai kemerdekaan. Akan tetapi, peristiwa itu diwarnai oleh berbagai tantangan dan dinamika politik. Pada masa ini, terjadi transisi dari demokrasi parlementer ke demokrasi terpimpin, yang kemudian diwarnai oleh ketidakstabilan politik dan polarisasi ideologi.
Pembahasan konsolidasi negara menekankan pada penguatan dan penyatuan berbagai elemen negara untuk mencapai tujuan besama.
Hal ini terjadi dikarenakan beberapa argumen, antara lain, pertama usaha untuk menciptakan stabilitas politik dan sosial.
Kedua, konsolidasi membantu dan memperkuat legitimasi pemerintah dan institusi negara.
Ketiga, memungkinkan negara untuk menghadapi tantangan eksternal dan internal.
Keempat, konsolidasi negara berkontribusi pada pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Permasalahan pokok dari bab ini adalah bagaimana konsolidasi negara dalam usahanya untuk menyatukan dan memperkuat hubungan antar masyarakat dalam membentuk suatu entitas yang lebih kuat.
Isu ketidakstabilan politik akibat sering Jatuh bangun kabinet dalam waktu yang relatif singkat dan konflik antar partai politik. Demikian pula, muncul pergolakan politik dan pemberontakan diberbagai daerah seperti DI/TII, menjadi tantangan besar dalam menjaga keutuhan negara. Selain itu, pembangunan ekonomi nasional menghadapi kendala, termasuk ketergantungan pada modal asing serta belum meratanya pembangunan, sehingga terjadi ketimpangan pembangunan di Jawa dan luar Jawa.
Kondisi ini memunculkan hubungan yang tidak harmonis antara Pemerintah dan Parlemen, hubungan pusat dan daerah.
Sesuai dengan rumusan permasalahan bab ini memiliki tujuan mendeskripsikan dan menganalisis konsolidasi negara bangsa dengan dinamika konflik, integrsi, dan Kepemimpinan Internasional 1950-1965. Bab ini mencakup periode 1950-1965.
Dimana tahun 1950 dipilih sebagai periode berakhirnya kekuasaan kolonialisme di Indonesia dan perjuangan Indonesia dalam menegakkan kedaulatan negara yang diikuti dengan munculnya pergolakan di daerah.
Adapun diakhiri tahun 1965 karena diakhiri peristiwa dengan adanya tuntutan Tritura.
Pada 15 Desember 1949 proses ratifikasi hasil KMB selesai dilaksanakan, hasilnya adalah: 236 suara setuju, 62 suara tidak setuju, dan 31 suara abstein.1 Berdasarkan hasil ratifikasi ini maka kesepakatan KMB itu dapat terlaksana. Melalui kesepakatan itu Republik Indonesia Serikat (RIS) memperoleh pengakuan kedaulatan dari Kerajaan Belanda secara de facto maupun de jure. Demi ”satu” pengakuan itu bangsa Indonesia harus bertaruh nyawa di
1). Kahin. Nationalism and Revolution,. 5
medan perang, di garis depan, sampai akhirnya harus setuju menanggung utang piutang Belanda yang jumlahnya tidak kecil, yaitu sekitar 6,1 miliar gulden ($ 1,732,400.000). Dengan kata lain, pengakuan kedaulatan itu telah menjadikan RIS sebagai satu-satunya bekas koloni (jajahan) yang harus menanggung utang-utang mantan penjajahnya. Meski banyak kaum ”Kiblik” yang tidak setuju dengan keputusan itu, namun Mohammad Hatta memandang kedaulatan yang diterima oleh RIS adalah modal penting dalam bernegara, terutama dalam upaya menjalin hubungan dan dukungan dunia internasional di masa mendatang.
Sejak Januari 1950 Pemerintah RIS mulai menjalankan fungsinya negara yang berdaulat, dengan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang defisit. Hal itu terjadi karena banyak infrastruktur yang “diwarisi” dari Belanda yang nyaris semuanya dalam kondisi rusak dan kurang terpelihara, seperti: jalan-jalan perkebunan-perkebunan, pabrik-pabrik, termasuk sarana pendidikan. Karena itu Pemerintah Hatta berupaya melakukan konsolidasi politik-ekonomi pemerintahannya yang tertuang dalam program kabinetnya.
Langkah awal yang ditempuhnya adalah melakukan semacam “Rasionalisasi dan Rekonstruksi” para aparatur negara baik sipil maupun militer, termasuk memensiunkan para aparatur pemerintah yang sudah masuk usia pensiun serta memutasikannya ketempat atau bagian yang sesuai dengan kompetensinya.
Banyak yang mendukung kebijakan itu dan tidak sedikit pula yang menentangnya, terutama datang dari kalangan militer eks anggota KNIL Mereka menolak ditempatkan di bawah perwira TNI, atau menolak menjadi tentara nasional atau hanya mau ditempatkan menjadi tentara federal.
Faktor-faktor seperti inilah yang kemudian mendorong munculnya pembangkangan atau pemberontakan, seperti: pemberontakan APRA di Jawa Barat,”Andi Azis” di Sulawesi Selatan, dan “RMS” atau Republik Maluku Selatan.
Peritiwa-peristiwa tersebut dengan pengecualian “peristiwa 17 Oktober 1952, terjadi pada tahun 1950, ternyata berdampak langsung pada pada negara-negara bagian (federal), seperti Negara Pasundan dan Negara Jawa Timur.
Masyarakat di kedua negara bagian itu merasa sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Republik Indonesia yang merdeka pada 17 Agustus 1945. Masyarakat Jawa Barat menuntut Negara Pasundan dibubarkan dan daerah itu kembali disatukan menjadi bagian dari Republik Indonesia-Yogyakarta. Demikian pula masyarakat di Jawa Timur menuntut agar Negara Jawa Timur dibubarkan dan kembali bergabung dengan Republik Indonesia-Yogyakarta.
Langkah yang ditempuh oleh kedua negara bagian bikinan Belanda itu, kemudian diikuti oleh nagara-nagara bagian lainnya, sehingga dari 16 negara bagian hanya tersisa dua negara bagian yang tetap bertahan dalam RIS, yaitu Negara Indonesia Timur (NIT) dan Negara Sumatera Timur (NST).
Untuk lebih meyakinkan benar ada-tidaknya tuntutan masyarakat seperti itu, maka Mohammad Hatta selaku Perdana Menteri RIS menunjuk Moh.Natsir dkk untuk melakukan penjajagan, survei tentang “tuntutan kembali bersatu dengan RI-Yogyakarta”
Hasil survei itu kemudian dilaporkan dalam sidang DPR-RIS, yang kemudian menghasilkan mosi DPR yang kemudian lebih dikenal dengan nama “mosi Natsir” yang isinya menuntut pembubaran RIS dan kembali bersatu dalam sebuah “negara kesatuan”, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kembalinya RIS menjadi NKRI, secara resmi diumumkan pada 17 Agustus 1950.
Peristiwa kembalinya Indonesia menjadi NKRI secara tidak langsung membuktikan bahwa “semangat nasionalisme Indonesia mampu mementahkan rencana dan tindakan jahat Belanda untuk memecah belah semangat Nasionalisme Indonesia melalui pembentuk negaranegara federal, sekaligus untuk menjaga agar aktivitas bisnis para pengusaha Belanda di alam
Indonesia merdeka tetap terjaga dan terlindungi. Namun para elit politik Belanda secara umum, memahami bahwa bagi bangsa Indonesia nilai 17 Agustus 1945 lebih bernilai daripada tanggal 27 November 1949.
Selain itu Pemerintah Belanda menyadari pula bahwa kaum non koperatif di Indonesia kini telah tampil kembali memimpin NKRI menggantikan kaum kooperatif. Kahin menilai kembalinya Indonesia ke bentuk negara kesatuan sebagai petanda berakhirnya “revolusi Indonesia”.
Meskipun bentuk negara telah berubah menjadi negara kesatuan, namun sistem pemerintahannya masih tetap dalam sistem parlementer, yang artinya pemerintahan dipimpin oleh “ketua” atau “pemimpin” partai politik (parpol) yang paling banyak anggotanya duduk di parlemen atau DPR. Kabinet pertama yang tampil dalam era NKRI adalah Kabinet Natsir, disusul kemudian oleh Kabinet Sukiman, Kabinet Wilopo, Kabinet Ali Sastroamidjojo,
Kabinet Burhanuddin Harahap, Kabinet Ali Sastroamidjojo II dan terakhir Kabinet Djuanda.
Dalam kurun waktu kurang dari satu dasawarsa, tampil tujuh kabinet tentu bukan satu prestasi yang membanggakan. Sebaliknya kenyataan seperti ini memunculkan satu pertanyaan bernada kebingungan yang pesimistis.
Memang benar, pada kenyataannya tidak satu pun Kabinet yang mampu melaksanakan programnya dengan tuntas dan baik; kecuali Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi).
Kabinet yang disebutkan terakhir ini berhasil menyelenggarakan programnya pada tahun 1955, yaitu Pemilihan Umum (Pemilu), yang kemudian dinilai sebagai Pemilu terbaik, terjujur dan terbersih dalam sejarah pemilu yang pernah diselenggaran di Indonesia. Pemilu itu menampilkan PNI sebagai pemenang suara terbanyak, disusul oleh Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Munculnya PKI sebagai salah satu parpol terkuat di Indonesia menjadi berita yang cukup mengejutkan karena sejak penghianatannya kepada RI tahun 1948, sempat menenggelamkannya menjadi satu parpol yang tidak popular di mata masyarakat Indonesia.
Fenomena ini sangat menarik Presiden Sukarno, sekaligus mendorongnya untuk melobbi pemenang Pemilu agar mengajak orang-orang PKI dalam kabinetnya mengajak serta PKI sebagai kabinet kaki empat. Akan tetapi, kenyataannya Ali Sastroamidjojo II (PNI) tidak mengajak wakil PKI untuk menjadi salah satu menterinya. Demikian pula kabinet yang menggantikan Kabinet Ali II, yaitu Kabinet Djuanda juga tidak menyertakan tokoh-tokoh PKI dalam barisan menterinya. Padahal Djuanda sebagai orang non partai, dapat tampil sebagai “formatur” kabinet karena dukungan Presiden Sukarno.
Akhirnya Presiden Sukarno berhasil membawa dan melibatkan orang-orang PKI dalam pemerintahannya pasca dekritnya pada 5 Juli 1959. Dekrit itu telah mengaktifkan kembali UUD 1945 sebagai konstitusi NKRI menggantikan UUDS 1950, sekaligus telah menempatkan kembali posisi presiden RI sebagai kepala pemerintahan di samping tetap menjadi kepala negara. Dengan posisinya yang relatif kuat, Presiden Sukarno mulai mengaktifkan kembali pemikirannya yang dikenal dengan ”Konsepsi Presiden” (yang juga “dikritik tajam oleh Hatta selaku wakil Presiden karena dinilai akan mematikan kehidupan berdemokrasi di Indonesia).
Selain itu Sukarno juga dalam rangka menjaga terlaksananya pembangunan ekonomi seperti yang dirancangnya melalui Dekon, Presiden Sukarno mencetuskan sebuah konsep yang disebutnya “Politik sebagai Panglima”.
Sementara dalam rangka ikut berpartisipasi dalam pembangunan dunia, Presiden Sukarno menyampaikan gagasannya dalam pidatonya di forum PBB yang berjudul:
“Membangun Dunia Kembali” (To build the World Anew) yang berisi gagasannya untuk membangun Dunia Baru, yang pengaruhnya berkembang pada KTT Non Blok yang diselenggarakan pada bulan September 1961 di Beograd, Yugoslavia (sekarang Serbia). Ideide itu di Indonesia kemudian berkembang dan memunculkan sebutan Newly Emerging Forces (Nefos) sebagai lawan dari Oldefos (Establised Forces (Oldefos).
Dalam perkembangannya politik Nefos dan Oldefeos justru secara tidak langsung menempatkan Indonesia ke dalam “blok Timur” yang tercermin dari poros politik, “Jakarta-Phnom Penh – Peking –Pyongyang”.
Dalam kondisi seperti itu PKI relatif berhasil memaksimalkan kedekatannya dengan Presiden Sukarno. Partai komunis ini dipandang oleh Sukarno sebagai salah satu kekuatan progresif revolusioner yang dapat diandalkan. D.N. Aidit selaku Ketua C.C. PKI sering mendampingi Sukarno dalam perjalanan atau kunjungannya ke luar negeri. Banyak anggota PKI terpilih menjadi menteri, anggota parlemen (DPRS dan MPRS) untuk “merebut” satu posisi politik yang strategis dalam rangka mendominasi kekuasaan, antara lain dengan mendukung kebijakan, bahkan slogan-slogan yang disampaikan oleh Presiden Sukarno, seperti: Manipol (Manifesto Politik), Nasakom (Nasional, Agama, Komunis) lalu menjadi “Nasakom Jiwaku”, Land reform, Trikora (Tri Komando Rakyat – Pembebasan Irian Barat), Dekon (Deklarasi Ekonomi}, Kontra Revolusi (Kontrev), Nefos-Oldefos, dan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) untuk mengganyang Malaysia yang disebutnya sebagai boneka Nekolim.
Melalui program Land Reform PKI berhasil menarik simpati masyarakat desa, khususnya kaum tani, dengan cara mengambil alih kepemilikan tanah dari petani kaya yang kemudian dibagibagi kepada para petani tidak bertanah. Tindakan ini yang kemudian terkenal dengan sebutan ‘Aksi sepihak”, PKI juga dapat menyingkirkan Masyumi sebagai saingan utama politiknya dengan tuduhan terlibat PRRI dan juga berupaya “mengebiri” TNI-AD dengan berbagai isu politik, termasuk isu “Dewan Jenderal”.
Dalam riuh-rendahnya gejolak politik dalam kondisi perekonomian yang masih jauh dari menggembirakan, dalam era “demokrasi parlementer:” sampai “demokrasi terpimpin” serta jargon “Politik sebagai Panglima”, Pemerintah-pemerintah yang berkuasa masih mampu menampilkan prestasi yang membanggakan secara nasional maupun internasional.
Sebut saja misalnya, Konferensi Asia Afrika (KAA) yang diselenggarakan tahun 1955, mampu melahirkan konsep hidup berdampingan secara damai (Dasa sila Bandung) yang mengilhami banyak bangsa yang masih dijajah bangsa lain, terutama di benua Asia-Afrika, untuk berjuang merebut kemerdekaannya. Kemudian Indonesia juga terlibat langsung dalam membidani lahirnya Gerakan Non-blok yang menyelenggarakan konferensi pertamanya pada bulan September 1961 di Beograd, Yugoslavia (sekarang Serbia). Pada era ini Indonesia membuktikan diri sebagai negara non-blok yang bebas aktif menjaga perdamaian dunia dengan praktik nyata. Indonesia ikut menjaga perdamaian dunia antara lain dengan mengirimkan pasukan perdamaian di bawah panji-panji PBB ke beberapa daerah/negara yang sedang bersengketa/perang, seperti ke: Sinai (1957), kemudian disusul ke Kongo tahun (1960 dan
Kemudian di dalam negeri, dalam rangka membangunan karakter bangsa yang nasionalistis, Presiden Sukarno mendorong para pengurus dan aktivis olah raga untuk menyelenggarakan pesta olah raga tidak hanya di tingkat nasional tetapi juga internasioal, misalnya Asian Games. Sebab, olah raga tidak semata-mata berguna bagi kesehatan fisik dan nasional, tetapi juga dapat digunakan sebagai sarana mengembangkan jiwa nasionalisme Indonesia yang tangguh dan kuat.
Semangat itu akhirnya telah mendorong Indonesia berani tampil sebagai tuan rumah walapun sebelumnya merasa pesimistis karena tidak mempunyai sarana dan prasarana yang memadai untuk sebuah pesta olah raga internasional. Tekad yang dilandasi semangat nasionalisme itu akhirnya telah mendorong semangat bangsa Indonesia untuk tampil seagai tuan rumah Asian Games IV di Jakartasebagai juara umum kedua Asian Games IV dan sukses, tampil sebagai juara umum ke-2 di bawah Iepang. Satu prestasi gemilang yang belum berhasil diulangi. (sebagai catatan: sampai era Jokowi, Indonesia belum mampu mengulanginya menjadi juara umum ke-2, apalagi yang pertama). Walaupun akhirnya
Indonesia dikenai sangsi oleh badan olah raga dunia (IOC) karena dinilai telah mencampur adukan masalah olah raga dengan politik. Kontingen Israel dan Taiwan.dilarang berpartisipasi dalam pesta olah raga tersebut.
Setelah sukses menyelenggarakan Asian Games, pada tahun berikutnya, 1963, Indonesia kembali menyelenggarakan pesta olah raga internasional, Ganefo (Games of the New Emerging Forces). Pesta olah raga dinilai oleh negara-negara Barat (Blok Amerika Serikat) sebagai upaya blok Timur untuk menandingi pesta olah raga Olimpiade.
Keberhasilan Indonesia dalam menyelenggarakan peseta Ganefo telah membuat IOC mencabut kembali sanksi yang telah dijatuhkan kepada Indonesia pasca Asian Games. Mereka takut peserta
Ganefo akan melakukan boikot terhadap Olimpiade yang akan diselenggarakan tahun berikutnya.
Sejak menerima kedaulatan di akhir tahun 1949, pemerintah Indonesia memang belum mampu melakukan pembangunan ekonomi-perdagangan yang memberikan kesejahteraan kepada warga negaranya secara maksimal. Akan tetapi, upaya perbaikan dan pembangunan terus berjalan. Meskipun tidak semua pihak atau daerah merasa puas dengan kebijakan yang diambil Pemerintah Pusat.
Banyak yang menilai pembangunan hanya terjadi atau dipusatkan di pulau Jawa saja. Tidak sedikit daerah yang menuntut diberlakukannya disentralisasi kekuasaan dan pembangunan, agar pembangunan menjadi merata.
Adanya ketidakmerataan itu akhirnya memicu protes yang dalam perkembangannya dilakukan dengan kekuatan bersenjata (memberontak). Dalam situasi masih adanya gangguan dari DI/TII, di beberapa daerah muncul gerakan dewan-dewan, seperti Dewan Gajah (Sumatera Utara), Dewan Manguni (Sulawesi Selatan), Dewan Banteng (Sumatera Barat) dan Dewan Garuda (Sumatera Selatan). Dewan-dewan itulah yang akhirnya melahirkan pemberontakan Permesta dan PRRI. Satu hal yang perlu dicatat dari pemberontakan di Sulawesi dan PRRI di Sumatera, yaitu adanya campur tangan dari pihak Amerika Serikat (Blok Barat).
Bukti nyata dari keterlibatan itu adalah suplai persenjataan di daerah Riau yang berhasil dirampas dan disita pasukan bersenjata Indonesia, serta ditembak jatuhnya pesawat tempur Amerika yang diikuti ditangkapnya Allan Pope yang mengemudikan pesawat tempur tersebut.
Akhirnya para pemimpin Permesta dan PRRI setuju untuk berdamai kembali dan mengikuti seruan Presiden Sukarno untuk kembali ke Ibu Pertiwi. Akhirnya perlawanan Kartosuwiryo berakhir dengan ditangkapnya sang Imam Kartosuwiryo dari persembunyiannya oleh kelompok pasukan Batalyon 328/Siliwangi dan Kahar Muzakkar yang terpaksa ditembak mati oleh kelompok penyergapnya dari kesatuan Batalyon 330/Siliwangi.
Namun pemberontakaan yang cukup menggoncangkan dan menimbulkan perdebatan
berkepanjangan adalah Peristiwa G 30 September 1965. Pihak penguasa dan sebagian besar masyarakat Indonesia menilai dalang peristiwa itu adalah PKI. Karena itu dalam aksi unjuk rasa yang pertama kalinya turun ke jalan pada awal Januari 1966, mereka (yang kemudian disebut aksi Tritura) menuntut pemerintah agar segera membubarkan PKI dan semua onderbouwnya.
Sumber Data
Kata para ahli, sejarah adalah kontroversi dari masa lampau manusia. Pendapat itu boleh diterima boleh pula disanggah dengan keras. Karena sejarah bukan kenyataan masa lampau tapi hanya sebagian dari masa lampau manusia. Sebab fakta sejarah yang dituliskan atau ditampilkan merupakan hasil pemilihan dan pengujian terhadap bagian-bagian yang menjadi minat sejarawan atau peneliti terkait. Demikian pula, dalam penulisan sejarah yang mencakup jangka waktu yang panjang serta lokasi yang sangat luas pula, kemungkin adanya perbedaan pendapat mungkin saja terjadi.
Apalagi dalam penulisan sejarah nasional yang orientasinya jelas berbeda dengan sejarah daerah atau sejarah lokal. Dalam penulisan sejarah nasional yang harus terlihat jelas menjadi benang merahnya adalah orientasinya pada peristiwaperistiwa yang penting dan mendukung terbentuknya bangsa dan negara nasional. Berbeda misalnya dengan penulisan sejarah lokal, yang tentu tekanannya pada peristiwa-peristiwa yang penting dan mendorong terbentuknya identitas lokal, walaupun peritiwa itu tidak ada artinya bagi perkembangan nasional.
Demikian pula dalam penulisan sejarah jilid ke-8 ini, berupaya untuk mengungkapkan masalah-masalah atau peristiwa-peristiwa yang mendukung terbentuknya nagara atau bangsa. Untuk menuliskan sejarah semacam itu, kami tim penulis cukup beruntung, karena sudah banyak peneliti atau sejarawan yang mempublikasikan karya-karya, sehingga kami dapat memanfaatkannya untuk menuliskan narasi yang bersifat nasional sesuai dengan kaidah-kaidan ilmiah.
Seperti sudah banyak diketahui, dalam penelitiamn dan penulisan karya ilmiah kita sebenarnya berpijak pada hasil-hasil penelitian sebelumnya, dan itu bukan sesuatu yang memalukan asal tidak diklaim sebagai milik sendiri atau hasil penelitian sendiri.
Perlu disampaikan di sini, ada dua karya yang menjadi acuan sekaligus bandingan utama dalam penulisan ini, yaitu Sejarah Nasional Indonesia (6 Jilid) dengan editor utamanya, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto; dan Indonesia Dalam Arus Sejarah (10 jilid) dengan editor utamanya, Tufik Abdullah dan .
Editor Jilid 8
Mohammad Iskandar
Nur Aini Setiawati
SISTEMATIKA PENULISAN
Bab 1. Upaya Membangun RIS dan Kembali ke NKRI 1950
Mohammad Iskandar
1. Pengantar
1.2. Upaya Menegakkan Pemerintahan RIS
1.3. Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
1.4. Politik Luar Negeri Bebas Aktif
1.5. Peristiwa Ekonomi-moneter sampai 1950
1.5.1. Penyederhanaan ragam mata Uang dan ’Gunting Syafruddin’
1.5.2. Penetapan Sistem Sertifikat Devisa
1.6. Reorganisasi APRIS dan Pergolakan di Negara Federal
1.6.1. Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)
1.6.2. Gerakan Andi Azis dan Kahar Muzakkar
1.6.3.. Republik Maluku Selatan (RMS)
1.7. Membenahi Perguruan Tinggi
1.8. Mosi Integral Natsir dan Kembali ke Negara Kesatuan
1.8.1. Kabinet Natsir: Pemerintahan NKRI menagih kembalinya Irian Barat
Bab 2 Dinamika Demokrasi Parlementer 1951 - 1959
Dr. Dwi Mulyatari, S.S., M.A. dan Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M.Hum.
2.1 Pengantar
2.2. Konteks Jatuh Bangunnya Kabinet sejak 1951 hingga 1959
2.3. Peristiwa 17 Oktober 1952
2.4. Pemilu 1955 dan Konferensi Asia Afrika (KAA) April 1955
2.4.1. Pemilihan Umum 1955
2.4.2. Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955
2.5. Peristiwa Cikini 31 November 1957
2.6. Deklarasi Djuanda, Konsolidasi Teritorial, Dan Penguatan Nkri (Negara Kesatuan Republik Indonesia) Sebagai Negara Maritim
2.6.1. Latar Belakang: Tanah Tumpah Darah, Tanah Air, dan Nusantara
2.6.2. Deklarasi Djuanda: Konsolidasi Teritorial dan Penguatan Negara Maritim Indonesia
2.6.3. Tantangan Diplomasi
2.7. Perdebatan dalam Sidang Konstituante (Buku nya Adnan Buyung)
2.8. Dekrit Presiden 5 Juli 1959
2.9. Manifesto politik Soekarno "Penemuan Kembali Revolusi Kita"
Bab 3 Pembangunan Perekonomian Indonesia Tahun 1950-An: Strategi Meletakkan Fondasi Ekonomi Nasional
Zaiyardam Zubir dan Bondan Kanumoyoso
3.1. Pengantar
3.2 Ekonomi Indonesia Awal 1950-an
3.3. Colombo Plan 1951
3.4. Kebijakan Ekonomi dan Pemerataan
3.5. Membangun Bank Central: Memperkokoh Dasar Ekonomi Yang Kuat
3.6. Nasionalisasi Perusahaan Belanda dan Menegakkan Ekonomi Nasional
3.6.1. Sektor Ekonomi Modern Indonesia
3.6.2. Pengambilalihan Perusahaan Belanda
3.6.3. Menguatnya Peran Ekonomi Negara
3.7. Gunting Syafruddin dan Sanering
3.7.1. Gunting Syafruddin dan Dampaknya
3.7.2. Sanering 1959 dan Dampaknya
Bab 4 Membangun Marwah Negara dan Karakter Bangsa 1950-1965
Dr. Yuke Ardhiati
4. Pengantar
4.1. Memantapkan Eksistensi Republik Di Jakarta
4.1.1. Menetapkan Istana Kepresidenan RI
4.1.2. Marwah Istana Kepresidenan dan Karya Seni
4.1.3. Istana sebagai Venue Kunjungan Kenegaraaan
4.1.4. Muhibah ke Mancanegara
4.1.5. Istana Bogor sebagai Tempat Menginap Tamu Kenegaraan
4.2. Mencerdaskan Bangsa Melalui Pendidikan Nasional
4.2.1. Memantapkan Bahasa Indonesia dan Kurikulum
4.2.2. Mendirikan Pendidikan Tinggi setingkat Universitas
4.2.3. Gerakan Pramuka menjadi Pendidikan Non Formal
4.3. Mencerdaskan Perempuan Indonesia
4.4.1. Kursus Wanita berbasis Buku ‘Sarinah’
4.4.2. Resep Masakan Nusantara Mustika Rasa
4.4.3. Munculnya Tokoh Srikandi Indonesia
4.4.4. Permainan dan Lagu Kanak-Kanak
4.4.5. Perempuan Indonesia dalam Balutan Kain Kebaya
4.4.6. Kelahiran Kain Batik Indonesia
4.5. Kelahiran Wadah-Wadah Kebudayaan
4.5.1. Lembaga Kebudayaaan pasca Kongres Kebudayaan I – V
4.5.2. Sama Tujuan, Berbeda Ideologis
4.5.3. Pertentangan Ideologis Antar Kelompok Seniman
4.6. Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Delapan Tahun 1961-1969
4.7. Konsepsi Projek Berdikari 1965
4.8. Nilai, Simbol, Spirit dalam Bangunan dan Monumen
4.8.1. Semangat Indonesia Baru melalui Tugu Nasional
4.8.2. Memahami Projek Mercusuar
4.8.3. Pembangunan Masjid Istiqlal
4.8.4. Nilai Seni dalam Relief Patung
4.8.5. Kota Praja Jakarta sebagai Ibukota Negara
4.9. Diplomasi Bidang Keolahragaan
4.9.1. Sepak Bola dan Bulu Tangkis
4.9.2. Menjadi Tuan Rumah Asian Games 1962
4.9.3. Asian Games 1962 dan Ganefo 1963
4.10. Diplomasi Bidang Kesenian
4.9.1. Misi Kesenian ke Mancanegara
4.11. Seruan Trisakti Sukarno dan Tahun Vivere Pericoloso (Tavip) 1964
4.12. Pelarangan Musik Ngak Ngik Ngok
Bab 5 Pembangunan, Ketimpangan dan Pergolakan Daerah
Nur Aini Setiawati, Ph.D, UGM dan Dr. Zaiyardam
5. Pengantar
5.1. Pembangunan Nasional Indonesia : Tujuan dan Perencanaan
5.1.1. Pembangunan Infrastruktur
5.1.2. Pembangunan Pertanian
5.1.3. Pembangunan Industri
5.2. Ketimpangan Pembangunan antara Jawa dan Luar Jawa .
5.3. Pembentukan Dewan-dewan Daerah (mbak Nur)
5.4. Respon Jakarta (Adam)
5.5. PERMESTA-Maret 1957 (Adam)
5.6. PRRI-Januari 1958 (Adam)
5.7. DI/TII (Jawa Barat, Aceh, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan)
5.8. Manipol-USDEK 1960 (Adam)
5.9. Penutup
Bab 6 Demokrasi Terpimpin: Kebijakan Politik Dalam Negeri
Dr Israr
6. Pengantar
6.1. Transisi menuju Demokrasi Terpimpin
6.2. Dekrit Presiden: Kembali ke UUD 1945
6.3. Kabinet Kerja
6.4. Masalah Kepartaian
6.5. ‘Demokrasi Kita’ sebagai Kritik terhadap Demokrasi Terpimpin
6.6. Nasakom dan Ideologi Demokrasi Terpimpin
6.7. Konstelasi Politik: Presiden-PKI-TNI AD
6.8. Politik sebagai Panglima
Bab 7: Politik Luar Negara Era Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Dr Ahmad Fahrurodji
7. Pengantar
7.1. Latar Belakang dan Konteks Kebijakan Luar Negeri Indonesia
7.2. Dari KAA ke Gerakan Non-Blok
7.2.1. Gema KAA di Majelis Umum PBB
7.2.2. Membangun Dunia Baru, Pidato Sukarno di PBB
7.2.2. Gerakan Non-Blok: Peran Bandung-Beograd
7.2.3. Ide-ide Sukarno dan GNB: Politik Bebas Sebagai Gerakan Moral
7.3. Trikora: Merebut Kembali Irian Barat
7.3.1 Diplomasi
7.3.2. Dukungan Seluruh Rakyat untuk Papua
7.3.3. Modernisasi Angkatan Perang: Dukungan Uni Soviet dan Eropa Timur
7.3.4. Pembentukan Sukarelawan, Mobilisasi Umum dan Operasi Militer
7.3.5. Transfer Kedaulatan Irian Barat dan Peran UNTEA
7.4. Dwikora: Konfrontasi Indonesia-Malaysia (1963-1966)
7.4.1. Reaksi Indonesia terhadap Malaysia Plan
7.4.2. Pemberontakan Brunei, Sabah, Sarawak dan Reaksi Indonesia
7.4.3. Meredupnya Dukungan dari Uni Soviet dan ‘Dukungan’ RRC
7.5. Dari NEFO-OLDEFO ke Poros Jakarta-Pyongyang-Peking
7.5.1. Nefo dan Oldefo: Upaya Membentuk Peta Geopolitik Baru
7.5.2. Penyelenggaraan Ganefo (Game of The New Emerging Forces)
7.5.3. Ide tentang Conefo (Conference of the New Emerging Forces)
7.5.4. Poros Jakarta-Pyongyang-Peking
7.6. Indonesia Keluar dari PBB
Bab 8 Peristiwa G.30.S/PKI 1965
Dr. Kandar
8. Pengantar
8.1. Konteks Global dalam Perang Dingin
8.2. Peristiwa G.30.S/PKI 1965
8.2.1. Prolog
8.2.1.1. Aksi Sepihak
8.2.1.2. Desa Mengepung Kota
8.2.1.3. Prahara Budaya
8.2.1.4. Isu-isu Angkatan Kelima
8.2.2. Peristiwa
8.2.2.1. Persiapan Aksi
8.2.2.2. Upaya Penculikan Menko Hankam/KSAB Jenderal A.H. Nasution
8.2.2.3. Penculikan Para Perwira
8.2.2.4. Peristiwa Lubang Buaya
8.2.2.5. Seputar Pengumuman Melalui RRI Tanggal 1 Oktober 1965
8.2.2.6. Suasana PAU Halim Perdanakusuma Tanggal 1-2 Oktober 1965
8.2.2.7. Pencarian dan Evakuasi Jenazah Perwira AD
8.2.2.8. Visum Et Repertum dan Pemakaman Jenazah Perwira AD
8.2.3. Epilog
8.2.3.1. Pandangan Sukarno terhadap Peristiwa G.30.S/1965
8.2.3.2. Penumpasan Kekuatan Bersenjata Pendukung G.30.S/PKI
8.2.3.3. Penumpasan G.30.S/PKI di Jakarta dan Jawa Tengah
8.2.3.4. Mengeliminir Kekuatan PKI di Lembaga Legislatif (MPRS/DPRS)
8.2.3.5. Munculnya Aksi-aksi Masyarakat ‘Anti PKI’
8.2.3.6. Puncak Akumulasi Konflik Masa Lalu
8.2.3.7. Seminar Ekonomi dan Awal Aksi-aksi Tritura (Awal Tahun 1966)
8.3. Beberapa Teori mengenai Dalang G.30.S/PKI
PENUTUP
Sistem demokrasi parlementer yang mendapat pengaruh dari salah satu sistem yang berlaku di Belanda telah menunjukkan kegagalannya dan menjadikan pemerintahan Indonesia tidak stabil. Ketidak stabilan pemerintahan Indonesia telah dimulai setelah hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) diratifikasi pada November 1949 oleh pihak Belanda, Republik Indonesia dan BFO. Meskipun adanya kesepakatan Republik Indonesia Serikat (RIS) memperoleh pengakuan kedaulatan dari Kerajaan Belanda, namun bangsa Indonesia harus bertaruh nyawa di medan perang, di garis depan, sampai akhirnya harus setuju menanggung utang piutang Belanda.
Banyak politisi yang tidak setuju dengan hasil KMB seperti Partai Sosialis Indonesia yang dipimpin oleh St. Syahrir. Mereka menilai RIS dibentuk agar keinginan Belanda dapat terus menguasai wilayah kepulauan Indonesia, apalagi pengakuan kedaulatan itu tidak utuh karena wilayah Irian Barat (Papua) masih ditunda penyerahannya kepada RIS.
Oleh karena itu, gejala politik terutama dari negara-negara bagian (asal BFO) yang menuntut dikembalikan RIS ke bentuk negara kesatuan sebagaimana dicita-citakan dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1945; mendapat dukungan rakyat dan juga para wakilnya di DPR. Dalam hal ini Pemerintahan Hatta sama sekali tidak mengkonsulatasikan dulu kepada Uni atau Belanda.
Hasilnya, pada 17 Agustus 1950, RIS dinyatakan dibubarkan dan negara Indonesia kembali ke bentuk semula, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setelah terbentuknya Negara Republik Indonesia (NKRI), sistem pemerintahan Republik Indonesia diharapkan dapat dilaksanakan secara demokratis, yang dilandasi oleh keterlibatan masyarakat secara aktif dalam upaya membangun negara Indonesia yang lebih baik.
Periode Demokrasi Parlementer atau Demokrasi Konstitusional (1950-1959) dalam sejarah Indonesia juga dikenal dengan istilah masa Pemerintahan Partai-Partai. Sistim pemerintahan ini diterapkan setelah diberlakukannya UUD Sementara 1950, yang berlandaskan pada kekuasaan berada di tangan rakyat, melalui partai-partai politik yang dibentuk. Dalam Sejarah politik nasional Indonesia Pemerintahan Parlementer ini menjadi saksi gagalnya Demokrasi Barat diterapkan di Indonesia.
Masa Demokrasi Parlementer ini memperlihatkan ketidakstabilan politik yang akut dengan naik turunnya kabinet secara cepat, sehingga program-program per kabinet tidak semuanya dapat terlaksana sesuai rencana. Pertentangan-pertentangan senantiasa terjadi antara kabinet yang memerintah dengan partai-partai oposisi di parlemen. Konflik juga terjadi antara pemerintah pusat dan daerah, ketegangan-ketegangan yang dipicu oleh faktor internal maupun eksternal di kalangan perwira TNI. Dalam kondisi yang tidak kondusif membuat permasalahan bangsa tidak secara tepat dapat diselesaikan. Ketidakstabilan politik juga menciptakan kondisi perekonomian yang buruk disertai inflasi yang tinggi.
Selain kelemahan-kelemahan yg terjadi di periode ini, secara parsial terdapat juga beberapa keberhasilan yang sangat membanggakan. APBN positif walaupun dalam waktu yang singkat pada masa Kabinet Sukiman, merupakan hal yg perlu diapresiasi. Pemilu nasional 1955 berhasil dilaksanakan dengan baik dan lancer memberi kesempatan rakyat Indonesia dalam meyuarakan kepentingan politik mereka melalui partai-partai politik yang ada.
Konferensi Asia Afrika di tahun yang sama mencerlangkan nama Bangsa Indonesia di dunia internasional. Hal tersebut ditambah dengan dikeluarkannya Deklarasi Djuanda 1957 sebagai penguatan kedaulatan dan geopolitik Indonesia. Dalam perjalanan sejarah Bangsa Indonesia, periode Demokrasi Parlementer ini menjadi saksi penting proses pembelajaran politik yang luar biasa bagi para pemimpin bangsa dan rakyat Indonesia dalam perjalanan menentukan sistim politik yang paling tepat untuk Negara Republik Indonesia.
Tahun 1950-1965 stabilitas sosial politik sejak sistem pemerintahan militer di Indonesia 1949-1950 (bersifat sementara untuk menjaga stabilitas dan keamanan negara) dan pada masa demokrasi liberal menjadi tantangan utama dalam perencanaan pembangunan.
Situasi perekonomian Indonesia pada saat ini tidak menguntungkan bagi pembangunan ekonomi. Pada dekade 1950-an rencana pembangunan pemerintah Indonesia dihadapkan pada rintangan serta hambatan dengan adanya berbagai macam gejolak, mulai dekade 1940-an dari Perang Asia Pasifik, Pendudukan Jepang, serta Perang Kemerdekaan. Meskipun demikian, dalam perkembangannya pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan seperti Membangun Bank Sentral: Indonesianisasi Javasche Bank, Nasionalisasi Bank-Bank dan Perusahaan Swasta Belanda, Upaya Menegakkan wibawa dan nilai Rupiah di wilayah NKRI (Sanering dan Kasus Dollar di kepulauan Riau) dan pendirian berbagai koperasi. Semua kebijakan ekonomi dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mensejahterakan rakyat Indonesia. Meskipun kebijakan pembangunan wilayah telah direncanakan dengan matang dan dalam implementasinya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi pada wilayah lainnya, namun ketimpangan pembangunan nasional sering terjadi antara wilayah satu dengan wilayah lainnya. Kondisi ini yang menyebabkan munculnya pergolakan di daerah seperti PRRI, Permesta, dan DI/TII terjadi diberbagai daerah. Asal muasal peristiwa itu sebagai bentuk koreksi terhadap kebijakan penguasa pusat yang mereka anggap menyimpang.
Kisah PRRI dan Permesta sebagai sebuah perang saudara memberikan banyak pelajaran penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sasaran utama bentuk pemerintahan yang otoriter sesungguhnya sumber utama peraka bangsa. Ditambah lagi terjadi jurang ya g tajam dari berbagai segi kehidupan.Jawa dengan luar Jawa sehingga menjadi sumber petaka yang menghancurkan kehidupan bangsa. Ditambah lagi dengan keberadaan PKI, yang jelas jelas tidak sesuai dan bahkan bertentangan dengan jiwa bangsa - Ketuhanan yang masa esa- sehingga menimbulkan gejolak yang luar biasa di kalangan masyarakat.
Nasakom yang digabungkan dalam satu wadah oke Soekarno tidak lebih dari cara mempertahankan kekuasaan, yang menimbulkan perlawanan terhadap rezim Soekarno. Untuk itulah, perjuangan mereka melalui PRRI dan PERMESTA, tokoh tokohnya mengoreksi secara total penyimpanan yang dilakukan Soekarno dalam penyelenggaraan negara.
Demikian pula, Perjuangan yang dilakukan oleh masyarakat di Sulawesi Utara dan Tengah itu sebenarnya tidak dengan niat memisahkan diri dari Republik Indonesia. Gerakan mereka lebih pada upaya perlawanan karena ketidakinginan PKI masuk terlalu dalam ke pemerintahan Soekarno. Sementara itu, Soekarno secara terang-terangan menjadi PKI sebagai salah satu penyanggah kekuataannya. Hal ini ditandai dengan konsep nasionalis, agama dan komunis sebagai tiga serangkai dalam menjalankan pemerintahan, sehingga tokoh-tokoh PERMESTA menentangnya. Bahkan, Barbara menyebutkan bahwa PERMESTA itu pemberontakan setengah hati, pemberontakan yang tidak total karena bagaimanapun juga, mereka mencintai Indonesia. Manakala tawaran damai diajukan, para tokoh PERMESTA menerimanya.
Pada tanggal 5 Januari 1960, pemerintah pusat melakukan usaha perdamaian. Melalui perundingan yang dihadiri oleh Samul Hein “Tjame dam Tumbelaka, PERMESTA setuju mengakhiri konflik kekerasan. Pada tanggal 17 Desember 1960, konflik berakhir dengan persetujuan pembentukan Provinsi Sulawesi Tengah dan Provinsi Sulawesi Utara. Hal penting lainnya adalah Somba, sebagai tokoh utama perjuangan rakyat Sulawesi bersedia menyerahkan diri. Pada akhirnya, pemerintah pusat memberikan amnesti dan abolisi kepada setiap orang yang tergabung dalam PERMESTA.
Adapun kebijakan politik dalam negeri Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin, khususnya pasca-Dekrit 5 Juli 1959, yang memberlakukan kembali UUD 1945. Demokrasi Terpimpin pada mulanya muncul sebagai suatu alat atau “jalan keluar” untuk mengatasi perpecahan yang muncul di dataran politik Indonesia sejak pertengahan tahun 1950-an. Untuk menggantikan pertentangan partai-partai dalam sistem parlementer, suatu sistem yang lebih otoriter diciptakan di mana peran utama dimainkan oleh Presiden Sukarno.
Di bawah UUD 1945, Sukarno memiliki tanggung jawab eksekutif serta fungsi seremonial sebagai kepala negara. Pasca Dekrit, ia dengan cepat membentuk pemerintahan baru dengan Djuanda sebagai pemimpinnya dan menunjuk anggota MPR (S) dan DPA, sesuai keperluan UUD 1945. Pada tahun 1960, ketika DPR menolak anggaran pemerintah, ia menggantinya dengan DPR-GR yang anggotanya diangkat Presiden.
Selama tahun-tahun Demokrasi Terpimpin, kekuasaan Sukarno sangat bergantung pada pelestarian keseimbangan antara tentara dan PKI. Periode tersebut adalah masa pertumbuhan cepat pengaruh komunis, dan Sukarno secara konsisten melindungi PKI dari langkah-langkah represif yang diambil oleh militer terhadapnya. Dia menentang upaya militer sejak awal untuk melarang PKI masuk ke dalam Kabinet Demokrasi Terpimpin, sekalipun upaya militer itu tidak sepenuhnya berhasil.
Tujuan utama Sukarno adalah menjaga persatuan negara dan mengembalikan rasa identitas nasional. Selain itu, Sukarno juga berupaya merealisir janji-janjinya untuk terus menjalankan “revolusi”-nya (karena menurut Presiden Sukarno, revolusi belum selesai) demi mensejahterakan bangsa dan warga negara Indonesia. Untuk mewujudkan itu, ia tidak hanya berpedoman pada Manipol-USDEK sebagai haluan negara dan Nasakom sebagai “koalisi” aliran nasionalis, agama dan komunis, tetapi juga Dekon (Deklarasi Ekonomi) sebagai pedoman bagi pembangunan dan mengatasi ketimpangan ekonomi. Hanya saja, perhatian Sukarno terhadap simbol-simbol kebesaran lewat sejumlah bangunan megah, slogan-slogan dan kebijakannya tidak disertai dengan upaya yang solid untuk mengatasi masalah ekonomi negara yang menyebabkan penurunan ekspor dan inflasi yang cepat, terutama di saat-saat menjelang meletusnya kudeta G30S/PKI.
Demikian pula, dari rekonstruksi perjalanan sejarah kebijakan luar negeri terlihat bahwa periode ini menunjukkan dinamika peran Indonesia sebagai sebuah negara Dunia Ketiga yang terlahir dari dinamika politik global dan perubahan geopolitik pasca Perang Dunia
II. Indonesia yang selama masa kolonial yang panjang hanya menjadi obyek dari penindasan dan pengerukan sumber daya alamnya, melahirkan tokoh-tokoh pemimpin bangsa yang tidak hanya peduli pada nasib bangsanya sendiri, tetapi juga hirau akan nasib sesama bangsa-bangsa terjajah. Konferensi Asia – Afrika, yang diselenggarakan kurang dari satu dasawarsa sejak kemerdekaan Indonesia, merupakan bukti sikap solidaritas bangsa Indonesia terhadap bangsa-bangsa lain yang masih terjajah. Di usia yang masih sangat muda, Indonesia, lewat prakarsa para pendiri dan tokoh-tokoh bangsa ini telah memberikan ruang bagi bangsa-bangsa di Dunia
Ketiga untuk unjuk kekuatan moral dan solidaritasnya.
Tak hanya sampai di situ, setengah dekade setelah konferensi Bandung yang monumental, Presiden Sukarno di depan Majelis Umum PBB pada 30 september 1960 menyampaikan kritik dan masukan bagi peta politik dunia yang ditengah perseteruan bipolar Perang Dingin. Dalam pidato bertajuk Membangun kembali Dunia itu Presiden pertama RI ini menegaskan perlunya reformasi di tubuh lembaga internasional ini, jika PBB ingin bisa berkontribusi bagi perdamaian dunia, dan bukan hanya menjadi perpanjangan kekuatankekuatan besar yang tengah bertarung dalam perang Dingin, Tata dunia baru yang diusulkan presiden Indonesia itu dilandaskan pada pemahamannya tentang tatanan dunia yang seimbang, antara dunia lama yang selama ini dikuasai oleh para kolonialis dan imperialis dan dunia baru yang mengakomodir kekuatan-kekuatan baru yang berasal dari negara-negara yang sebelumnya merupakan daerah-daerah jajahan. Bung Karno menyatakan keyakinannya bahwa era tahun 60-am tersebut sebagai masa transisi sebagai konsekuensi runtuhnya imperiumimperium dan bangkitnya bangsa-bangsa.
Pidato Bung karno di Majelis Umum PBB tersebut, terimplementasi setahun kemudian dengan berdirinya Gerakan Non-Blok (Non-aligned Movement) dalam konferensi negara-negara berpolitik bebas yang digagas pemimpin Indonesia itu. Sejalan dengan politikluar negeri Indonesia yang bebas aktif, politik bebas bukanlah politik netralis yang menjauhkan diri dari perseteruan dan pertikaian bipolar yang mau tak mau berdampak pada nasib seluruh bangsa di dunia. Politik bebas adalah sebuah gerakan moral yang secara aktif berpihak pada perdamaian dan pengakuan terhadap prinsip kesetaraan kedaulatan semua bangsa.
Sistem politik demokrasi terpimpin memungkinkan Presiden Sukarno secara total menjadi panglima bagi kebijakan luar negeri Indonesia. Kebijakan luar negeri Indonesia sejalan dan berbanding lurus dengan ide-ide pemikiran Bung Karno. Dinamika pemikiran Sukarno yang merupakan sintesis dan hasil dari interaksinya dengan pemikiran-pemikiran besar tokoh politik dunia, terus mewarnai tak hanya politik regional tapi juga perubahan geopolitik global. Dalam perjalanannya Bung Karno menyampaikan pentingnya membangun ‘kubu’ dengan negara-negara Asia Timur dalam poros Jakarta-Pyongnyang-PnompenhPeking, hal mana yang pada tahun 1960 dia jauhi. Menguatnya suhu politik kawasan Asia Tenggara, pasca seruannya teerhadap ancaman Nekolim (neo-kolonialisme dan imperialism) dan konfrontasi Indonesia terhadap berdirinya Federasi Malaysia, membuat Indonesia bergeser ke Timur dan mendekat dengan RRC.
Kedekatan Indonesia dengan RRC yang terjalin sejak penyelenggaraan Konferensi Asia – Afrika mengalami peningkatan pesat, di satu sisi, membuat Indonesia menjadi condong ke Timur dan kubu Sosialis. Sementara itu hubungan Sino-Soviet yang renggang pasca Khruschev mengumumkan destalinisasi justru menjadikan Indonesia berada pada posisi yang kurang menguntungkan. Kubu sosialis yang pecah ini memang tidak secara langsung mempengaruhi hubungan kedua negara, tapi sejak turunnya Nikita Khruschev dari pucuk pimpinan Soviet, menjadikan Indonesia kehilangan mitra penting di dalam Konflik antikolonialisme yang sedang digerakkan di Sumatera dan Kalimantan Utara. Uni Soviet dibawah kepemimpinan baru Leonid Brezhnev, tidak lagi menjadikan Indonesia sebagai prioritas.
Dukungan RRC yang diharapkan tidak bisa menggantikan Soviet dalam hal dukungan poltik dan pasokan persenjataan guna menghadapi Malaysia yang mendapat dukungan penuh dari Inggris.
Situasi politik dalam negeri yang terus memanas setelah peristiwa 30 September yang melibatkan PKI, yang merupakan partai terbesar ketiga di dunia saat itu mendorong perubahan politik dan jatuhnya Sukarno. Hal ini secara drastis mempengaruhi kebijakan luar negeri Indonesia di era demokrasi terpimpin. Pemerintahan baru Suharto secara drastis mengubah kebijakan luar negeri yang telah dibangun Sukarno.
Hal yang tak kalah penting dari periode ini adalah proses perjuangan merebut kembali Irian Barat dari tangan Belanda. Upaya menuntut janji Belanda sebagaimana yang tertuang dalam kesepakatan damai pengakuan kedaulatan terhadap Indonesia di penghujung tahun 1949 dilakukan baik dengan diplomasi dan cara-cara damai hingga dengan unjuk kekuatan senjata.
Diplomasi militer yang dilakukan Indonesia membuahkan hasil dengan disepakatinya perjanjian New York pada 15 Agustus 1962, dimana Belanda mengakui Irian Barat (West Nieuw Guinea) sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kedaulatan Indonesia. Proses perjuangan merebut kembali tanah Papua ini melibatkan seluruh rakyat Indonesia dan partisipasi seluruh elemen bangsa secara sukarela. Rakyat bersama-sama dengan kekuatan militer dari ketiga matra (darat, laut dan udara) menunjukkan kepada kita bahwa persatuan dan kesatuan bangsa menjadi modal penting dalam menghadapi setiap ancaman akan kedaulatan bangsa.