[18/5 23.42] rudysugengp@gmail.com: Mutasi kepala sekolah di Surabaya bisa terjadi sebagai bagian dari rotasi jabatan atau karena alasan lainnya. Mutasi biasanya dilakukan oleh Dinas Pendidikan, dan tidak dipungut biaya.
Proses Mutasi:
1. Usulan dari Kepala Sekolah:
Kepala sekolah dapat mengusulkan mutasi tenaga pendidik dan kependidikan PNS ke Dinas Pendidikan Kota Surabaya, dengan mempertimbangkan kebutuhan sekolah.
2. Persetujuan Dinas Pendidikan:
Dinas Pendidikan Kota Surabaya akan mempertimbangkan usulan tersebut dan memberikan persetujuan.
3. Pelaksanaan Mutasi:
Setelah mendapatkan persetujuan, mutasi akan dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Alasan Mutasi:
Rotasi Jabatan: Mutasi bisa dilakukan sebagai bagian dari rotasi jabatan untuk menjaga kesegaran dan inovasi dalam pengelolaan sekolah.
Kebutuhan Sekolah: Mutasi juga dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tenaga pendidik dan kependidikan di sekolah yang berbeda.
Evaluasi Kinerja: Mutasi bisa menjadi bagian dari evaluasi kinerja kepala sekolah atau guru.
Perlu diperhatikan:
Mutasi kepala sekolah yang baru menjabat tidak selalu berarti mutasi tersebut tidak sesuai dengan regulasi. Mutasi bisa saja terjadi karena kebutuhan sekolah atau kebijakan yang lebih luas.
Beberapa pihak mungkin memberikan reaksi keras atau protes terhadap mutasi kepala sekolah yang dinilai berdampak negatif pada kualitas pendidikan di sekolah tersebut.
Contoh Kasus:
Salah satu contoh kasus mutasi kepala sekolah di Surabaya adalah mutasi Kepala Sekolah SMAN 10 Surabaya ke Kabupaten Pasuruan. Mutasi ini sempat memicu reaksi keras dari alumni, komite sekolah, dan kelompok masyarakat karena kepemimpinan kepala sekolah tersebut dinilai sangat sukses dan berdampak positif terhadap peningkatan kualitas pendidikan di SMAN 10.
Kesimpulan:
Mutasi kepala sekolah di Surabaya adalah bagian dari proses pengelolaan pendidikan yang wajar dan umum terjadi. Namun, mutasi tersebut harus memperhatikan prinsip transparansi, keadilan, dan kepentingan sekolah serta masyarakat luas.
[18/5 23.45] rudysugengp@gmail.com: Mutasi kepala Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Surabaya tahun 2025 kemungkinan akan dilakukan menjelang awal tahun ajaran baru, yaitu sekitar bulan Juni atau Juli. Dinas Pendidikan (Dispendik) Kota Surabaya akan memberikan pengarahan dan informasi terkait mutasi kepada para kepala SDN, termasuk mengenai kedisiplinan pegawai, tugas dan fungsi kepala sekolah, serta inovasi program pembelajaran.
Elaborasi:
Jadwal:
Mutasi kepala SDN biasanya dilakukan menjelang awal tahun ajaran baru, karena kepala sekolah baru akan mulai bertugas saat tahun ajaran baru dimulai.
Dispendik Kota Surabaya:
Dispendik Kota Surabaya akan memberikan pengarahan kepada kepala SDN, termasuk mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi kepala sekolah.
Tujuan:
Mutasi bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan mutu sekolah, serta memastikan kepala sekolah memiliki strategi yang tepat dalam memajukan sekolah.
Jalur Mutasi:
Jalur mutasi juga menjadi salah satu jalur penerimaan murid baru di SD, diperuntukkan bagi calon murid yang pindah domisili karena tugas orang tua atau karena orang tua adalah guru di sekolah tersebut.
Pengarahan Dispendik:
Selain mengenai mutasi, Dispendik juga memberikan pengarahan mengenai kedisiplinan pegawai, tugas dan fungsi kepala sekolah, bullying, serta inovasi program pembelajaran.
Brand Sekolah:
Dispendik juga mengingatkan bahwa sekolah harus mampu membangun brand diri dengan kemampuan yang ada, sehingga dapat menciptakan program-program inovatif.
Tahun Ajaran Baru:
Mutasi kepala sekolah ini biasanya terkait dengan persiapan penerimaan siswa baru untuk tahun ajaran baru mendatang.
[19/5 21.11] rudysugengp@gmail.com: *Tolak Penulisan Ulang Sejarah Indonesia Yang Bertujuan Mencuci Dosa Rezim Dan Mencari-cari Legitimasi Kekuasaan*
By
surat min 61
18 Mei 2025
Mudanews.com Jakarta – Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) hari ini melakukan audiensi dengan Komisi X DPR RI untuk menyampaikan penolakan terhadap proyek ambisius “penulisan sejarah resmi” Indonesia yang saat ini dijalankan oleh Kementerian Kebudayaan.
Aliansi tersebut, yang anggotanya terdiri dari sejarawan, aktivis hak asasi manusia serta tokoh-tokoh dari berbagai disiplin ilmu, menilai program yang digagas oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon tersebut akan menjadi alat legitimasi kekuasaan.
Adapun tokoh-tokoh yang menadatangani penolakan penulisan sejarah resmi pemerintah yang di gagas oleh kementerian kebudayaan sebagai berikut : 1.Marzuki Darusman 2.Hamid Basyaib 3.Andi Widjajanto 4.Rizal Mustary 5.Sandra Moniaga 6.Ruby Kholifah 7.Ika Ardiana 8.Makmur Keliat 9.DR Hariyadi (Unair) 10. Yunarto Wijaya 11. Valentina Sri Wijiyati (warga RI) 12. Feri Amsari 13. Bivitri Susanti (STHI Jentera) 14.Wahyu Susilo (Sejarawan cum Aktivis HAM/Migrant CARE) 15. Setri Yasra 16.Luthfi Ashari.
Penulisan sejarah resmi lewat tangan pemerintah bukan hanya tidak lazim dalam sistem demokrasi, kebijakan tersebut juga berpotensi menghilangkan fakta-fakta sejarah masa lalu khususnya pelanggaran HAM yang melibatkan Presiden Prabowo Subianto dan juga pelanggaran HAM berat lainnya yang dilakukan oleh rezim Orde Baru Soeharto.
“Yang paling berbahaya adalah program ini bisa digunakan untuk mencuci dosa rezim baik yang berjalan saat ini maupun yang terjadi selama masa Orba dimana pelanggaran HAM berat masif terjadi,” kata Ketua AKSI Marzuki Darusman setelah melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi X Senin 19 Mei 2025 di Jakarta.
Penulisan sejarah resmi oleh negara seperti ini hanya lazim terjadi di negara otoriter. Proyek politik pemerintah Indonesia ini mirip dengan langkah Adolf Hitler yang saat itu berupaya menuliskan kembali sejarah Perang Dunia I.
Dalam era demokrasi, contoh teranyar manipulasi sejarah oleh negara terjadi di Korea Selatan. Pada tahun 2015 Presiden Park Geun-hye, yang merupakan anak dari diktator Park Chung-hee, berupaya untuk menulis ulang buku sejarah. Namun, gerakan penolakan yang masif dari masyarakat berhasil menggagalkan upaya manipulasi sejarah tersebut.
“Ini yang sedang kami lakukan di Indonesia, menolak erosi demokrasi lewat penggelapan sejarah yang sedang dilakukan oleh pemerintah. Hanya rezim berkarakter otoriter yang mencoba menuliskan ulang sejarah dengan label ‘sejarah resmi’,” tambah Marzuki.
Bukan monumen Tunggal
Proyek ambisius penulisan ‘sejarah resmi’ Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan ini juga tidak memenuhi kaidah sebagai suatu produksi ilmu pengetahuan sejarah. Proyek ini hanya menghasilkan penggelapan sejarah bangsa.
Penyebarluasannya akan berdampak luas bagi kesalahan berpikir generasi muda dan akan merugikan kelanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan,” kata sejarawan Asvi Warman Adam.
“Sejarah bukanlah monumen tunggal yang bisa dipahat oleh satu kekuasaan, dihasilkan dari suatu proyek politik, yang diragukan akuntabilitas dan kredibilitas metodenya,” kata Asvi yang juga merupakan anggota AKSI.
Lebih baik pemerintahan fokus untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang jumlahnya ada 12 agar tercipta sejarah baru yang menjadi rujukan publik.
“Proses pembentukan sejarah lewat kebijakan negara melawan impunitas dengan menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM lebih baik ketimbang melakukan penggelapan sejarah lewat proyek politik penulisan ulang sejarah,” tambah Asvi.
Teks multitafsir
Sejarah dunia dan sejarah Indonesia telah menunjukkan bahwa sejarah adalah teks yang multitafsir, tidak tunggal apalagi dimonopoli oleh negara.
Bunyi sejarah seperti apa akan sangat tergantung pada siapa yang membuat, menafsir, dan untuk kepentingan apa, kata Kepala Lab45 Jaleswari Pramodhawardani yang juga merupakan anggota AKSI.
“Hanya di negara otoriter yang pemerintahnya merasa mendapat mandat dari seluruh bangsa untuk merekonstruksi sejarah sesuai dengan kepentingan kekuasaannya, melalui suatu proyek birokratis,” kata Jaleswari.
Sejarah seharusnya merupakan teks akademik yang lahir dari sekumpulan narasi ideografis tentang berbagai peristiwa, orang, gagasan pemikiran, hukum, dan berbagai produk kebudayaan seperti sains, teknologi, dan kesenian.
Narasi sejarah dirumuskan, direfleksi melalui penafsiran, dengan tujuan mulia, sebagai bahan ilmu pengetahuan, dan penyampaian pesan pembelajaran bagi generasi yang datang silih berganti.
“Penulisan ulang sejarah ini rentan terhadap tujuan dan tafsir politik untuk kekuasaan dan jika disebarluaskan sebagai suatu ideologi tunggal bertujuan mencuci otak masyarakat untuk mendukung kekuasaan,” tambah Jaleswari.
Sejarah Resmi
Penggunaan istilah ‘resmi’ dalam terminologi ‘sejarah resmi’ merupakan suatu anakronisme yang menandai kemunduran intelektual dalam suatu negara demokrasi.
Dalam alam demokrasi tidak ada ‘kebenaran’ sejarah yang dimonopoli oleh negara kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid yang juga merupakan anggota AKSI.“Sejarah adalah milik publik termasuk para korban pelanggaran HAM. Mereka berhak untuk mencari, menafsirkan dan memaknainya secara merdeka tanpa campur tangan negara,” kata Usman.
Label ‘sejarah resmi’ hanya akan melahirkan ideologi dogmatisme dan menutup pintu bagi interpretasi yang beragam dan dinamis di masyarakat.
Penulisan ulang sejarah oleh negara merupakan upaya rekonstruksi dengan tujuan kultus individu dan glorifikasi masa lalu yang berlebihan. Kebijakan semacam ini berpotensi menghilangkan peristiwa dan ketokohan yang tidak cocok dengan kepentingan kekuasaan.
“Tindakan semacam ini adalah manipulasi sejarah. Betapapun gelapnya sejarah, ia harus tetap ditulis meski berdampak terhadap tragedi kemanusiaan dan mengungkapkan kesalahan kebijakan negara di masa lalu,” tambah Usman.
Pengungkapan sejarah, bukan penulisan ulang sejarah, bertujuan agar generasi muda dapat belajar dan tidak mengulangi masa gelap bangsa yang terjadi di masa lalu.
Indonesia harus belajar dari peradaban negara-negara lain yang membangun memorialisasi sejarah kelamnya, mengajarkan generasi mudanya untuk tidak mengulangi kesalahan generasi sebelumnya, dan berani mengakui kesalahan: “mea culpa…mea culpa”, demi kemajuan di masa depan.
Memaksakan satu tafsir tunggal adalah tindakan totaliter yang mengingkari pluralitas pengalaman dan ingatan kolektif bangsa ini.
“Ini adalah upaya reduksi yang berbahaya, yang berpotensi mengebiri kebebasan berpikir dan mengumpulkan daya kritis generasi mendatang. Penulisan ulang sejarah dan melabelinya sejarah ‘resmi’ adalah kebijakan otoriter yang dilakukan negara untuk melegitimasi kekuasaan. Program ini harus segera dihentikan,” tutup Usman.***(Red)
[19/5 21.17] rudysugengp@gmail.com: detikJatim
*Menjelajahi Museum Dr Soetomo Surabaya di Hari Kebangkitan Nasional*
Katherine Yovita - detikJatim
Senin, 19 Mei 2025 06:00 WIB
Surabaya - Setiap tanggal 20 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional.
Momentum ini bukan sekadar seremonial, melainkan ajakan untuk kembali menyalakan semangat persatuan dan kesadaran kebangsaan yang pernah dikobarkan para pelopor pergerakan nasional.
Salah satunya adalah Dr Soetomo, tokoh penting pendiri Budi Oetomo yang turut membidani kelahiran kesadaran nasional di awal abad ke-20.
Mengenal lebih dekat perjuangan Dr Soetomo, yuk menjelalahi museum bersejarah di Surabaya ini.
"Masa depan rakyat Indonesia semata-mata terletak di dalam bentuk suatu pemerintahan yang bertanggung jawab kepada rakyat dalam arti yang sebenar-benarnya karena hanya bentuk pemerintahan seperti itu saja yang bisa diterima oleh rakyat," ujar Dr Soetomo dalam salah satu pemikirannya yang visioner.
Surabaya dijuluki sebagai Kota Pahlawan bukanlah tanpa alasan. Kota ini menjadi saksi bisu perjalanan tokoh-tokoh pahlawan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di masa penjajahan. Salah satu tempat di Surabaya yang memungkinkan untuk napak tilas kontribusi dan perjalanan tokoh bangsa adalah Museum Dr Soetomo.
Berlokasi di Jalan Bubutan Nomor 85-87 Surabaya, museum ini terletak di kawasan kompleks Gedung Nasional Indonesia (GNI).
Tidak hanya museum, di sini detikers akan menjumpai makam Dr Soetomo, dan pendopo yang didirikannya bersama organisasinya, Indonesische Study Club.
Diketahui, Gedung GNI didirikan pada 11 Juli 1930 dan sempat digunakan sebagai gedung pertemuan oleh para tokoh untuk membahas strategi meraih kemerdekaan. Gedung ini juga menjadi saksi dibentuknya Komisi Nasional Indonesia dan Badan Keamanan Rakyat.
Hingga pada November 2017, mantan Wali Kota Surabaya, Tri Risma Harini meresmikan Gedung GNI sebagai Museum Dr Soetomo. Di dalam museum ini, detikers dapat menemukan lebih dari 300 koleksi dokumentasi dan barang-barang bersejarah peninggalan Dr Soetomo.
Museum Dr Soetomo tidak hanya menyimpan artefak dan dokumentasi terkait perjalanan hidup dan perjuangannya,
tetapi menyajikan konteks sejarah pergerakan nasional Indonesia.
Museum ini terbagi menjadi dua lantai.
Pada lantai pertama, detikers akan disuguhkan perjalanan hidup Dr Soetomo,
mulai dari potret masa kecilnya, riwayat pendidikannya di STOVIA, h
ingga akhirnya bekerja di Rumah Sakit Central Burgelijke Ziekeninrichting (CBZ). Meskipun kini hanya tinggal kenangan, sebelumnya rumah sakit ini berada di kawasan yang kini dikenal sebagai Plaza Surabaya.
Sementara itu, beranjak ke lantai dua, pengunjung akan diperlihatkan dengan replika ruangan praktik saat Dr Soetomo saat bekerja sebagai dokter.
Namun, terdapat sejumlah koleksi yang diklaim masih 'asli', seperti mikroskop, kateter, hingga tas kerja.
Sayangnya, ketika berkunjung, tim detikJatim belum dapat melihat secara langsung lantai dua dari museum ini dikarenakan masih dalam tahap renovasi.
Setelah mengeksplorasi Museum Dr Soetomo, detikers dapat berziarah ke makam tokoh kebangkitan nasional ini atau bersantai di pendopo.
Di kawasan pendopo sendiri, juga terdapat dokumentasi-dokumentasi pergerakan Dr Soetomo melalui berbagai organisasi yang ia ikuti.
Kini, pendopo Gedung GNI juga dimanfaatkan sebagai tempat pagelaran kesenian.
Bagi yang tertarik berkunjung, jangan lupa memesan tiket terlebih dahulu seharga Rp 5.000 melalui laman resmi Tiket Wisata Surabaya. Museum ini terbuka bagi siapa saja yang ingin berkunjung, mulai dari Selasa hingga Minggu pada pukul 08.00 WIB-15.00 WIB.
Demikian informasi mengenai Museum Dr Soetomo.
Semoga kunjungan ke tempat ini dapat menjadi refleksi dan pengingat bahwa semangat kebangkitan nasional bisa terus dihidupkan, mulai dari mengenal sejarah bangsa.
(auh/irb)
[20/5 14.13] rudysugengp@gmail.com: Kisah Ken Dedes Menolak Lamaran Pemuda Buruk Rupa
______________________________________________
KEN Dedes merupakan perempuan cantik dan istimewa di wilayah Tumapel kala itu. Ia merupakan anak dari Mpu Purwa, pendeta sekaligus tokoh masyarakat kala itu. Sosoknya menjadi bunga desa di wilayah Tumapel dan beberapa daerah di sekitarnya.
Banyak laki-laki yang jatuh hati membuat berbagai upaya dilakukan sang laki-laki demi meminang dan merebut hati Ken Dedes. Sebelum perkawinannya dengan sang akuwu Tumapel Tunggul Ametung terlaksana, sebenarnya Ken Dedes nyaris dinikahi oleh seorang laki-laki bernama Joko Lulo. Konon pria tersebut berasal dari Desa Dinoyo, yang terkenal dengan kesaktian tingginya. Tetapi putri Mpu Purwa pendeta agama itu menolak Joko Lulo karena konon wajahnya tak tampan bahkan buruk rupa. Tetapi Ken Dedes tidak langsung menolak sang pria, karena tahu ia datang jauh-jauh untuk melamarnya.
Sang putri Mpu Purwa itu pun konon memberikan suatu persyaratan yang harus dipenuhi oleh Joko Lulo. Ken Dedes tak berani menolaknya karena takut sang pria tersinggung dan marah. Persyaratan yang diajukan oleh Ken Dedes itu agar Joko Lulo membuat sumur sedalam satu windu atau delapan tahun perjalanan, sebagaimana dikutip dari "Hitam Putih Ken Arok : Dari Kejayaan Hingga Keruntuhan".
Secara rasional manusia, ini merupakan syarat yang tak mungkin terwujud. Namun tidak disangka, Joko Lolo mampu mewujudkan persyaratan tersebut. Dalam waktu singkat, laki-laki buruk rupa itu berhasil membuat sumur itu. Tentu saja usaha Joko Lulo itu membuat kaget Ken Dedes.
Itu artinya, ia harus menerima pinangan si laki-laki buruk rupa itu karena syarat yang diajukan telah terpenuhi. Merasa pinangannya diterima oleh Dedes, maka keluarga Joko Lulo meminta bahwa pertemuan pengantin hendaknya dilaksanakan pada waktu tengah malam. Artinya, temu manten itu dilakukan sebelum suara tempat nasi terdengar yang menandakan datangnya pagi. Dipilihnya waktu tengah malam itu untuk menutupi wajah Joko Lulo yang buruk. Semua permintaan ini pun dipenuhi oleh keluarga Dedes.
Namun, tanpa diduga tiba-tiba muncul gangguan. Ketika Joko Lulo dan Ken Dedes hendak dipertemukan, tiba-tiba terdengar suara tompo, tempat nasi dari bambu, yang dibunyikan oleh para gadis Panawijen. Bahkan sebagian orang ada yang membakar jerami di sebelah timur sehingga seolah matahari telah merekah. Ayam-ayam pun berkokok karena mengira pagi hari telah datang. Saat cahaya menyemburat, terlihat jelas wajah Joko Lulo yang sangat buruk.
Melihat wajah asli Joko Lolo yang buruk sekali itu, Ken Dedes langsung ketakutan, dan melarikan diri untuk menceburkan dirinya ke dalam sumur Windu. Akibat persoalan itu, maka Joko Lulo langsung marah. Bahwa penduduk Panawijen telah melakukan kecurangan yang membuat rencana pernikahannya dengan Ken Dedes rusak.
Maka Joko Lolo pun mengutuk warga Panawijen bahwa kelak mereka tak akan menikah hingga usia lanjut. Setelah melontarkan kutukannya itu, Joko Lulo langsung menyusul Ken Dedes menceburkan diri ke sumur. Namun sekali lagi nama Joko Lulo tersebut belum tentu kebenarannya.
Sebab pada naskah kuno Pararaton tidak ditemukan nama Joko Lulo. Tetapi ada yang meyakini sebutan nama Joko Lulo merupakan sebutan dari Ken Arok oleh masyarakat Polowijen. Hal itu tentu saja membuat bingung tafsiran sejarah. Sebab Ken Arok diketahui bukan meninggal usai menceburkan dirinya ke sumur, namun masih menjadi aktor intelektual yang melakukan kudeta ke Tunggul Ametung sang akuwu Tumapel. Usai peristiwa itu Ken Arok kemudian menikahi Ken Dedes, dan kembali melancarkan pemberontakan ke Kediri wilayah yang menguasai Tumapel kala itu.
[20/5 14.16] rudysugengp@gmail.com: Kisah Kelam Mataram Di Makam Banyusumurup, Peristirahatan Orang Yang Dianggap Musuh Oleh Mataram
Makam Banyusumurup adalah sebuah pemakaman yang terletak di Dusun Banyusumurup, Girirejo, Imogiri, Bantul. Lokasinya berdekatan dengan Pemakaman Imogiri.
Komplek ini adalah pemakaman bagi orang-orang yang dianggap musuh negara oleh Amangkurat I. Di komplek makam ini tersimpan saksi bisu aneka intrik dengan latar belakang perebutan kekuasaan hingga perebutan asmara bapak anak.
Pemakaman tersebut mula-mula dipakai untuk mengebumikan Pangeran Pekik asal Surabaya, beserta para anak dan bawahannya setelah dihukum mati oleh Amangkurat I pada 21 Februari 1659.
Diantara 52 nisan yang ada di Banyusumurup, terdapat 32 yang berkaitan dengan Pangeran Pekik, yakni:
Pangeran Pekik
Ratu Pandhansari
Putra Raja yang masih kecil
Pangeran Lamongan
RAy Tyutang
RAy Kleting Wulung
RAy Jambul
KGP Timur
Pangeran Demang
Ratu Lembah
Raden Kertonegoro
Singolesono
Martapuro
Kertonadi
Wongsokusumo
Jagaraga
Cokronogoro
Singorowo
Janarutro
Tomo
Pawiro Tarung
Hangggajoyo
Raden Tondo
Raden Lamongan
Kertopuro
Koryonegoro
Wirokusumo
Irawongso
Wongsocitro
Wirosari
Aryo Kusumo
Atmojo Kusumo
Setelah itu, Banyusumurup dipakai untuk mengebumikan orang-orang yang berkhianat, berontak, atau anti terhadap penguasa, selama masih berasal dari golongan sentono dalem (keluarga).
Para tokoh yang dikebumikan diantaranya adalah:
Roro Oyi, putri asal Surabaya yang direncanakan untuk dipinang Amangkurat I, antara 1668-1670.
Prawirodirjo III yang didakwa berontak terhadap Belanda, 1810. Namun makam Prawirodirjo dipindahkan ke Magetan pada tahun 1957, ditempatkan di samping makam istrinya, Maduretno.
Danurejo II, dihukum mati di dalam keraton Yogyakarta pada tanggal 28 Oktober 1811, kemudian dipindahkan ke Mlangi pada 1865.
Raden Tumenggung Danukusumo, ayah dari Danurejo II, dihukum gantung saat diasingkan menuju Pacitan, 15 Januari 1812. Kemudian dipindahkan ke Mlangi pada tahun 1812.
Pangeran Joyokusumo I dan dua putranya, Joyokusumo II dan Atmokusumo yang berpihak pada Pangeran Diponegoro. Mereka tewas di Kelurahan Sengir, Kulonprogo pada 21 September 1829 dan kepalanya dipenggal oleh Tumenggung Cokrojoyo (diangkat menjadi Bupati Purworejo oleh Belanda) dan dibawa ke Jenderal De Kock di Magelang. Kepalanya dikebumikan di Banyusumurup dan badannya dikebumikan di Sengir.
Mungkin ini hanya kisah tapi perlu kita ketahui bahwa terdahulu kita berjuang demi tanah air kita dan kita perlu menghargainya dan melestarikan kisah kisahnya
#Adysta
#semogabermanfaat
[20/5 14.19] rudysugengp@gmail.com: Menyusuri kisah jalan damai anak-anak korban tragedi berdarah September 1965
Dusun itu bernama Bawuk. Masuk dalam wilayah Kecamatan Minomartani, Kabupaten Sleman, kurang lebih 10 km dari Kota Yogyakarta, jika ditempuh melalui Jalan Raya Kaliurang. Sebuah pedesaan yang hijau asri dengan pemandangan Gunung Merapi di kejauhan. Hawanya terasa sejuk.
Di dusun itulah Amelia Yani, putri ketiga dari Pahlawan Revolusi Letnan Jenderal Achmad Yani, menetap sejak 1988. Meninggalkan keriuhan Jakarta untuk berdamai dengan segala peristiwa duka dalam sejarah hidupnya. Pembunuhan ayahnya pada 1965, kegagalan perkawinan, dan puncaknya adalah tekanan pekerjaan. Dia pun menjadi petani.
"Sejak di Bawuk saya lebih tenang. Tidak ada lagi yang namanya marah, iri, atau benci," begitu pengakuan perempuan 55 tahun yang masih terlihat cantik ini, sewaktu Intisari mengunjungi rumahnya yang asri di Dusun Bawuk.
Dari sorot mata dan tekanan kata-katanya, Amelia tampak berkata jujur. Meski mengaku sudah tenang, Amelia tidak bisa melupakan kepedihan yang dialaminya bertahun-tahun yang lalu. Tepatnya Jumat Legi 1 Oktober 1965 dini hari, saat sepasukan tentara beserta sejumlah pemuda, meluruk ke rumahnya di Jalan Lembang Nomor D 58, Jakarta Pusat.
Peristiwa itu berlangsung begitu cepat, mungkin tidak sampai setengah jam. Sebuah waktu yang singkat namun mempengaruhi perjalanan hidupnya kemudian. Dalam buku biografinya, Sepenggal Cerita Dari Dusun Bawuk, diterbitkan Pustaka Sinar Harapan (2002) Amelia menuliskan larik-larik kesaksiannya.
"Aku melihat sesosok tubuh sedang diseret-seret tanpa belas kasihan. Yang diseret adalah kedua kakinya; tangan, badan, dan kepala dibiarkan terseret-seret di lantai, berlumuran darah. Jantungku bagaikan terloncat keluar. Bapak! Itu Bapak, hata hatiku. Ya Allah, itu Bapak."
Pagi itu Amelia belum menyadari sepenuhnya yang tengah terjadi. Bunyi rentetan tembakan membangunkan tidurnya. Mata ayahnya yang telah terpejam saat terakhir kali dilihat. Suara derap sepatu lars dan deru kendaraan yang meninggalkan rumah mereka. Semua menjadi potongan-potongan kejadian yang menimbulkan satu pertanyaan besar di dalam benaknya: ada apa sebenarnya?
Kepastian nasib ayahnya didapat Amelia tiga hari kemudian.
Jasad Letnan Jenderal Achmad Yani, Menteri/Panglima Angkatan Darat, ditemukan dalam sumur tua di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur. Di sana ditemukan juga lima jasad para stafnya di Markas Besar Angkatan Darat; serta satu jasad seorang perwira pertama, Pierre Tendean, ajudan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Abdul Haris Nasution.
Baca artikel selengkapnya di sini https://intisari.grid.id/read/034157087/jalan-damai-anak-anak-korban-tragedi-berdarah-september-1965
#G30S #September1965
(Foto: salah satu adegan dalam film Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI. Peristiwa itu menyisakan trauma tersendiri di benak anak-anak tokoh yang terkait dengan peristiwa itu. Meski begitu, kini mereka sudah berdamai.)
[20/5 14.19] rudysugengp@gmail.com: Candi TondoWongso
Candi Tondowongso terletak di Dusun Tondowongso, Desa Gayam, Kecamatan Gurah, Kediri, Jawa Timur.
Candi ini ditemukan pada akhir tahun 2006 oleh warga setempat yang sedang menggali tanah untuk urukan dan batu bata.
Arkeolog dari Balai Arkeologi Yogyakarta Tengah mulai mendalami struktur kuno ini, dan penelitian awal dilakukan pada tahun 2007.
Penelitian lanjutan bertujuan untuk mengungkap bagian-bagian dari kompleks suci ini dan menguraikan kisah di balik situs yang penuh teka-teki ini.
Struktur Candi Tondowongso, yang diperkirakan mencakup area seluas 120 meter, memiliki desain yang dianggap magis. Arsitekturnya terdiri dari sekat-sekat yang membentuk ruang 3 x 3 , sehingga membentuk sembilan bidang.
Jika dikaitkan dengan lahan kedua yang seluas 350 x 300 meter, jumlah bidang ini memiliki makna simbolis dalam konteks keagamaan, mirip dengan konsep pembuatan candi dalam agama Hindu.
Kompleks ini telah dikaji oleh tim dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Mojokerto dan beberapa peneliti dari perguruan tinggi.
Mereka menyimpulkan bahwa Candi Tondowongso memiliki kesamaan dengan Candi Gura, baik dari segi struktur maupun area.
Candi Gura terletak hanya 300 meter dari Candi Tondowongso dan telah diteliti oleh seorang arkeolog pada tahun 1957. Candi ini berasal dari masa peralihan pusat Kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.
Karena memiliki kesamaan dengan Candi Gura, diduga Candi Tondowongso juga berasal dari periode yang sama, yaitu antara kekuasaan Raja Sindo (929 Masehi) hingga Kertajaya (1222 Masehi).
Namun, struktur Candi Tondowongso diperkirakan berasal dari tahun 1006 Masehi, pada masa pemerintahan Raja Dharmawangsa Teguh.
Arkeolog meyakini bahwa Candi Gura dan Candi Tondowongso, yang keduanya berorientasi Hindu Siwa, tidak hanya berasal dari masa yang sama tetapi juga saling terhubung.
Keduanya mungkin merupakan bagian dari sebuah kompleks pemukiman Hindu kuno yang luas, lebih dari 12 hektar, dengan satu bangunan yang diduga merupakan gapura terletak 300 meter dari Candi Tondowongso.
Sayangnya, Candi Tondowongso mengalami banyak kerusakan akibat faktor alam.
Letusan Gunung Kelut pada tahun 1334 dan letusan berikutnya pada tahun 1586 Masehi mengubur situs ini di bawah material vulkanik, menambah penderitaannya selama ribuan tahun.
Selain itu, pemindahan pusat pemerintahan oleh Ken Arok dari Kerajaan Kediri ke tempat lain dan perubahan dalam konsep keagamaan juga mempengaruhi situs ini.
Candi Tondowongso, yang diperkirakan dibangun pada abad ke-11, menyisakan struktur bangunan yang terbuat dari batu bata merah dan mencakup area seluas 120 meter. Ini adalah warisan berharga dari masa awal Kerajaan Kediri. ..
Semoga menjadi informasi yang bermanfaat **
[20/5 14.21] rudysugengp@gmail.com: Tragedi Terbunuhnya Adipati Wirasaba Di Desa Bener (Purworejo) Oleh Utusan Sultan Pajang
Adipati Warga Utama I, yang memiliki nama asli Raden Warga dan juga dikenal sebagai Adipati Paguwan. Beliau adalah keturunan bangsawan Majapahit yang memerintah Kabupaten Wirasaba sekitar tahun 1568-1582, wilayahnya meliputi Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, dan Cilacap.
Pada suatu ketika, Sultan Hadiwijaya memerintahkan kepada seluruh Adipati di wilayah kekuasaannya untuk menyerahkan seorang puteri untuk dijadikan pelara-lara (sebagai selir atau penari kerajaan).
Sebagai tanda kesetiaan, Adipati Warga Utama I dengan tulus hati mempersembahkan puterinya sendiri, Raden Rara Sukartiyah, yang sebelumnya pernah menjadi isteri Bagus Sukra, anak Ki Demang Toyareka, namun masih suci hingga saat itu.
Pada hari Sabtu Pahing, mereka berangkat ke Kerajaan Pajang. Setelah menyerahkan puterinya, Adipati Wirasaba kembali pulang ke Wirasaba. Kemudian, Anak Demang Toyareka menyusul ke Pajang, mengaku sebagai suaminya. Padahal permintaan Sultan Hadiwijaya adalah yang masih gadis.
Karena putri dari Adipati Warga Utama I sudah menikah, Sultan Hadiwijaya marah. Sang raja merasa direndahkan. Merasa dihina oleh adipati bawahan. Diberi persembahan perempuan yang bukan perawan.
Sultan Hadiwijaya memerintahkan tiga orang prajurit mengejar Adipati Warga Utama I yang sudah pulang, para prajurit diperintahkan langsung membunuhnya.
Setelah prajurit pergi, Sultan Hadiwijaya memanggil putri dari Adipati Warga Utama I. Ditanyakan tentang kedatangan laki-laki yang mengaku sebagai suaminya.
Sang putri pun menjelaskan, yang datang adalah bekas suaminya. Sudah bercerai empat bulan silam. Namun, selama menikah mereka belum pernah berhubungan, karena tidak ada cinta. Jadi, meskipun sudah menikah, dia masih gadis. Maka, oleh sang ayah dipersembahkan ke Pajang.
Sultan Hadiwijaya menyesali keputusannya yang terburu-buru mengutus prajurit untuk membunuh Adipati Warga Utama I. Ia merasa telah mengambil keputusan yang keliru.
Dipanggillah tiga orang prajurit lagi untuk mengejar prajurit pertama. Diperintahkan untuk membatalkan pembunuhan karena Adipati Warga Utama I tidaklah bersalah apa-apa.
Adipati Warga Utama I, dalam perjalanan pulang sampai di Desa Bener (sekarang masuk Wilayah Purworejo) dan singgah di rumah Ki Ageng Bener. Di sana, beliau disambut dengan baik dan dijamu suguhan pindang banyak (hidangan berupa angsa).
Selagi Adipati beserta para pengiringnya menikmati jamuan makan siang, tiba-tiba datanglah utusan Sultan Hadiwijaya yang mengemban tugas untuk membunuh Adipati.
Namun, mereka tidak langsung menjatuhkan hukuman karena yang bersangkutan sedang makan. Mereka mempersilahkan Adipati Warga Utama menyelesaikan makan lebih dulu.
Belum selesai makan, ternyata datang rombongan utusan kedua. Melihat utusan pertama sudah berdiri di depan adipati, mereka utusan kedua melambaikan tangannya kepada utusan pertama. Lambaian tangan tersebut sebagai tanda bahwa Sultan Hadiwijaya telah membatalkan keputusannya. Mereka merintahkan agar utusan pertama jangan membunuh Adipati Warga Utama I.
Begitu melihat lambaian tangan itu, utusan pertama justru langsung mencabut kerisnya, kemudian menghujamkan ke dada Adipati Warga Utama.
Utusan pertama mengira lambaian tangan dari utusan kedua sebagai tanda agar mereka untuk segera membunuh Adipati Warga Utama I.
Semua yang ada di pendapa itu geger dan gugup. Adipati yang naas itu terjatuh dengan darah segar mengalir dari dadanya. Para pengiring dan pengawal tidak bisa berbuat banyak. Jeritan dan isak tangis menggema di Balemalang itu. Mereka sadar bahwa utusan itu membawa amanat Kanjeng Sultan.
Sementara Adipati Menahan sakit, para pengiring dan seisi rumah berusaha menyelamatkannya.
Sebelum ajalnya tiba, Adipati Wirasaba memberikan pesan-pesan penting kepada orang-orang di wilayah kadipaten Wirasaba, yang turun-temurun dipegang hingga sekarang. Pesan-pesan tersebut adalah:
1. Aja lelungan ing dina setu pahing (Jangan bepergian di hari Sabtu Pahing).
2. Aja ngingu djaran wulu dhawuk abrit (Jangan memelihara kuda berwarna abu-abu merah).
3. Aja mangan pindang banyak (Jangan makan daging angsa).
4. Aja manggon ing bale malang (Jangan berdiam di balai melintang).
Jenazah Adipati Warga Utama I dimakamkan di Pekiringan, Desa Klampok, Kecamatan Purwareja, Banjarnegara.
Setelah kematian Adipati Warga Utama I, beliau digantikan oleh anak menantunya, yaitu Raden Jaka Kaiman yang bergelar Adipati Warga Utama II atau Adipati Mrapat.
Jaka Kaiman adalah keturunan Majapahit dan Pajajaran. Karena kemurahan hatinya, Adipati Warga Utama II membagi wilayahnya menjadi empat bagian dan dibagi dengan seluruh saudara iparnya, anak-anak Adipati Warga Utama I.
1. Wilayah Banjar Petambakan (Banjarnegara) diberikan kepada Kyai Ngabehi Wirayuda.
2. Wilayah Merden (Cilacap) diberikan kepada Kyai Ngabehi Wirakusuma.
3. Wilayah Wirasaba (Purbalingga) diberikan kepada Ngabehi Wargawijaya.
4. Wilayah Kejawar (Banyumas) dikuasai sendiri oleh Jaka Kaiman yang membuka hutan mangli, dan membangun pusat pemerintahan yang diberi nama Kabupaten Banyumas.
Jaka Kaiman atau Adipati Warga Utama II menjadi bupati pertama Kabupaten Banyumas pada tahun 1582-1583. Setelah meninggal, beliau dimakamkan di Desa Dawuhan, Kabupaten Banyumas. Di daerah tersebut kemudian dibangun kompleks makam bagi para bupati-bupati Banyumas.
* Abror Subhi, Dikutip Dan Disusun Kembali Dari Berbagai Sumber
[20/5 14.23] rudysugengp@gmail.com: S U K U O S E N G
Desa adat Kemiren adalah salah satu desa di Wilayah Kabupaten Banyuwangi yang di tetapkan sebagai Desa Wisata Adat Suku Osing,Suku asli Masyarakat Blambangan Banyuwangi.
Desa adat Kemiren memiliki berbagai keunikan mulai dari adat,tradisi,kesenian,kuliner serta pola hidup masyarakat nya yang masih menjaga tradisi yang ada sejak dulu.
Desa Kemiren memiliki luas 177.052 Ha dengan penduduk ± 2560.
K E M I R E N merupakan kepanjangan dari Kemroyok Mikul Rencana Nyata ( prinsipnya yaitu bersama – sama dan gotong royong ).
Sedangakan Kemiren sendiri berasal dari nama KEMIRIAN ( banyak pohon kemiri ) dan masyarakat setempat menyebutnya daerah tersebut KEMIREN.
Keistimewaan desa adat kemiren di mana tradisi – tradisi Barong ider Bumi,Tumpeng Sewu,arak – arakan,dan seni barong masih hidup dan lestari selain gaya hidup berdampingan dengan jiwa gotong royong,tradisi musyawarah yang terus terjaga.
Saat memasuki gerbang desa,kita akan di sambut oleh atmosfer desa yang masih terjaga.
Di kiri kanan jalan banyak kita jumpai kedai-kedai kopi yang menyajikan kopi khas Kemiren,Kopi Osing.
Pada musim buah durian,sepanjang jalan juga banyak di jumpai para pedagang yang menggantung durian di lapaknya.
Dari sekadar mampir untuk minum kopi,sampai menikmati sejuknya hawa pegunungan dan indahnya pemandangan alam,dengan latar belakang gunung Raung dan gunung Ijen,semua tersaji di Kemiren.
Banyak rumah penduduk yang berfungsi sebagai guest house yang bisa di sewa dengan harga terjangkau apabila ingin bermalam.
Sebuah hotel bintang juga sudah berdiri tepat di samping obyek wisata Osing.
Pada pagi hari bisa menikmati hamparan sawah yang segar,serta bisa juga melihat aktifitas masyarakat sekitar membuat Kucur,membuat gamelan dan bisa juga ikut mencoba menggoreng dan menumbuk kopi.
Semua tersaji lengkap dengan suasana pedesaan yang khas dan bersahabat.
Inilah Desa Adat Wisata Kemiren yang memadukan potensi alam dan keramah tamahan penduduknya.
Jika anda ingin berwisata jelajah tentang suku oseng..bisa langsung hubungi kami :
Mahesa TOUR & Travel
TLP 08122617895-087836097888
Sedia paket Hemat juga lho..🙏😘
Rahayu..
[20/5 14.26] rudysugengp@gmail.com: Bukan Jawa, Tapi Sumatra! Inilah Kerajaan Laut Pertama yang Ditakuti India dan Tiongkok!
Pada abad ke-7, di tepian Sungai Musi yang meliuk seperti naga di tanah Sumatra, berdiri sebuah pusat dagang kecil. Namun daerah ini bukan sembarang wilayah ia adalah titik temu jalur laut antara India dan Tiongkok. Setiap kapal yang melintas di Selat Malaka, pasti melewatinya.
Seorang pemimpin kuat bernama Dapunta Hyang Sri Jayanasa muncul dari daerah ini. Ia bukan sekadar kepala suku, tapi visioner yang melihat potensi laut sebagai jalur kekuasaan. Ia tidak ingin hanya menjadi penguasa daratan. Ia ingin menjadi raja lautan.
Tahun 683 M, Dapunta Hyang memimpin ekspedisi besar yang dikenal sebagai Siddhayatra. Ia dan puluhan ribu pengikutnya berlayar dan menaklukkan wilayah-wilayah penting di Sumatra bagian selatan dan Semenanjung Malaya. Dari sinilah Sriwijaya lahir sebuah nama yang berarti "Cahaya Kemenangan".
Sriwijaya tak dibangun dengan benteng tembok, tapi dengan pelabuhan, kapal, dan kekuatan laut. Ia mengendalikan jalur perdagangan rempah, emas, dan sutra. Kapal dari India, Tiongkok, bahkan Arab, harus bersahabat dengannya jika ingin selamat berdagang.
Lebih dari sekadar dagang, Sriwijaya juga menjadi pusat agama dan ilmu pengetahuan. Biksu Buddha dari Tiongkok seperti I-Tsing bahkan menetap di sini dan mencatat betapa makmurnya kerajaan ini.
Dengan Bahasa Melayu Kuno sebagai bahasa resmi dan agama Buddha Mahayana sebagai fondasi spiritual, Sriwijaya menjadi mercusuar budaya dan kekuatan bukan dengan kekejaman, tapi dengan pengaruh dan diplomasi laut.
Sriwijaya bukan kerajaan yang mengandalkan kekuatan darat dan peperangan, tapi menguasai dunia dengan kendali atas jalur laut menjadi kekuatan maritim terbesar Asia Tenggara selama hampir 600 tahun.
#sriwijaya #palembang #jambi #sumatra #sejarah #kerajaan #viral #fyp
[20/5 14.28] rudysugengp@gmail.com: Gunung Gajah Menyimpan Kabut Sejarah Masa Lalu Kabupaten Pemalang 🍃
Sejarah Keberadaan gunung gajah di desa Gongseng, kecamatan Randudongkal, kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, menyimpan kabut sejarah masalalu, , sampai sekarang masih menjadi centang perenang perdebatan para pemerhati sejarah, tokoh dan penulis geografi kota Pemalang.
Hingga sampai saat ini, belum ada literatur pasti tentang gunung yang berwujud seekor gajah yang sedang duduk posisinya.
Salah seorang pemerhati sejarah gabupaten Pemalang Rabadi (63) ketika dikonfirmasi lewat sambungan teleponnya pada Jum,at (21/7), mengatakan jika gunung gajah merupakan sejarah purbakala Kabupaten Pemalang, yang hingga saat ini pemerintah kabupaten Pemalang sendiri belum pernah mengungkap akan keberadaan sejarah daerahnya sendiri yang berada di situs gunung gajah.
“Pada saat daerah Pamalang belum bernama Pemalang, merupakan hutan belantara yang banyak didiami binatang buas yang berukuran besar” kata Rabadi mengawali ceritanya.
“Lalu ada seorang tokoh bernama Ki Malang membuka Daerah Pamalang dengan membuka hutan belantara, termasuk menggiring semua binatang buas untuk di relokasi agar tidak bercampur dengan pemukiman penduduk” Jelasnya.
Lebih lanjut dirinya mengatakan,kemungkinan semua binatang termasuk gajah-gajah Besar, digiring ke suatu daerah hutan belantara yang sekarang masuk wilayah desa Gongseng, kecamatan Randudongkal, gajah-gajah dan hewan besar lainnya mati beribu tahun lamanya membantu menjadi fosil besar yang sekarang berwujud gunung gajah tersebut.
Konon gunung tersebut gajah beneran yang orang sekarang menanamkan gunung gajah, dan secara akademis di desa Semedo, kecamatan Kedungbanteng, kabupaten Tegal yang berbatasan langsung dengan kabupaten Pemalang banyak ditemukan ratusan fosil hewan dan ada juga fosil manusia serta tumbuhan yang berumur ribuan tahun, secara resmi sekarang Semedo di jadikan museum Fosil oleh Pemerintah kabupaten Tegal.
Terpisah, Seorang warga kelurahan Mulyoharjo, kecamatan Pemalang kota bernama pak Sam ( 60 ) mengaku beberapa kali menemukan benda-benda fosil, seperti gading gajah, tengkorak manusia, bahkan satu tundun (rangakaian buah pisang) yang sudah membatu menjadi fosil .
“Dulu sebelum di tutup oleh pihak pemerintah setempat, di semedo banyak di temukan fosil- fosil dan jika ditarik lurus ke timur arah gunung Gajah di desa Gongseng , kecamatan Randudongkal, kabupaten Pemalang, itu merupakan rangkaian sejarah purbakala Kabupaten Pemalang, yang terbatas si oleh aliran kali rambut (sungai) yang menjadi tapal batas ke dua wilayah kabupaten Pemalang dan Tegal” pungkasnya. (Ragil Surono)
Sc : Readnews.id
[20/5 14.28] rudysugengp@gmail.com: Pusaka keris maupun tombak, biasanya dibuat oleh seorang ‘Empu’. Telah banyak Empu, dari jaman Majapahit sampai jaman Mataram, dari jaman Kabudhan hingga jaman Kamardikan, yang dikenal di dunia perkerisan karena kehebatannya dalam membuat pusaka. Namun ada beberapa yang tidak dikenal oleh para pecinta tosan aji, salah satunya bernama Empu Korib.
Empu Korib yaitu salah satu Empu yang lumayan hebat di masa Mataram Baru, yang membuat senjata-senjata masal untuk keperluan prajurit. Beliau, Empu Korib, termasuk ‘Empu Luar’ yang tidak diakui sebagai pembuat tosan aji atau pembuat pusaka ‘Ageman’, karena beliau istilahnya hanya membuat ‘pusaka rakyat’ yang jika dikategorikan tergolong sebagai pusaka ‘Piandel’.
Jika kita pergi ke Delanggu Klaten, di Delanggu bagian barat, ada desa bernama ‘Desa Koripan’. Sebenarnya, nama desa ini diambil dari nama Empu Korib. Empu Korib yang merupakan empu pande besi, mendapat ‘tanah bengkok’ dari keraton yang memang diperuntukan untuk membuat senjata-senjata kebutuhan keraton. Di atas tanah pemberian keraton ini sekarang berdiri Desa Koripan, dimana daerah ini sekarang terkenal sebagai sentra industri alat-alat pertanian; seperti cangkul, sabit/arit, gobet, kudi, hingga alat-alat lain seperti pisau dapur dan serok. Jadi, keberadaan pande besi atau pusat pengrajin alat-alat tajam dari besi di Koripan Delanggu Klaten ini memang bukan tanpa alasan, karena memang penduduk asli daerah Koripan dalam pengolahan besi menjadi alat tajam – baik ditempa atau dicor – tidak terlepas dari ilmu turun-temurun yang diwariskan sejak keberadaan Empu Korib.
Desa Koripan pada waktu itu sudah mampu dalam melakukan pembuatan senjata tajam dengan metode peleburan besi secara tradisional. Jika dahulu banyak beredar peralatan perang seperti tombak dan pedang cor, sebagian besar pembuatannya di Desa Koripan. Pada saat ini, metode pembuatan dengan teknik melebur besi dan mencetak besi dalam bentuk casting ini telah diwariskan sampai desa-desa tetangganya, seperti daerah Batur dan Ngaranwonggo, yang sekarang jadi industri besar dalam peleburan besi dan baja.
Dahulu dalam peleburan besi tidak semudah jaman sekarang, dimana peleburan besi di jaman sekarang lebih mudah. Dahulu sangat sulit mendapatkan bahan pasir cetak besi, karena pasir cetak haruslah merupakan pasir yang tidak ada ikatan-ikatan kimia yang berbahaya jika dialiri besi panas, sehingga tidak akan menimbulkan gas yang merusak cetakan. Percaya atau tidak, kebetulan atau tidak, hanya di sekitar daerah ini saja yang pasir sungai atau tanah liat yang diambil bisa digunakan untuk membuat cetakan yang aman dari besi cair.
Empu Korib adalah ahlinya dalam membuat tombak, pedang, bahkan keris yang hasilnya dari cor besi langsung. Kemungkinan cara ini dipilih karena pesanan jumlah banyak yang diminta untuk persenjataan prajurit Keraton. Jadi, jangan heran kalau ada mata tombak atau bahkan keris dari hasil karya cor dan itu ‘asli’, pusaka ‘asli tua’ atau ‘asli sepuh’ pada era Mataram Baru. Namun, produksi dengan system cor dari Empu Korib ini kebanyakan tombak dan pedang, meski ada juga ‘keris cor’ namun jumlahnya sedikit. Dan, kalau kita amati sebenarnya tombak-tombak, pedang-pedang, ataupun senjata-senjata di era Kartasura banyak diketemukan tombak dan pedang cor, dimana mutunya hampir tidak kalah dengan mutu pusaka tempa. Hingga pada di era PB-X, daerah Korib-pan ini masih produksi untuk kebutuhan Keraton; pada masa ini juga, banyak produk Koripan merupakan Tombak Rontek bertulis ‘PB X’.
Sedangkan, jika dilihat dari ciri-ciri keris Koripan, yaitu pasikutannya kemba, tanpa semu (hambar). Besinya biasanya garingsing (kehitaman dan berkesan kering); pamornya kebanyakan adeg, jenisnya pamor sanak atau kelengan besi hurap.
Semoga dengan tulisan ini, bisa menjadi kajian ulang secara sejarah, tentang adanya benda-benda pusaka piandel ‘asli’ yang memang dibuat dengan cara cor, karena salah satu buktinya bahwa petilasan dan makam Empu Korib di daerah ini masih ada dan dikeramatkan sebagai cikal bakal desa ini. Terima kasih. [Sebagian besar inti artikel ini merupakan tulisan dari: Mahendra Jaya Wardana (fb), yang dikutip dari buku ‘Pangetraping Duwung’
Sc: https://pandefest.com
[20/5 14.29] rudysugengp@gmail.com: Pemberontakan Kuti: Pengkhianatan dari Dalam dan Kesetiaan Bhayangkara
Pada masa awal Kerajaan Majapahit, setelah wafatnya sang pendiri Raden Wijaya, tampuk kekuasaan jatuh ke tangan putranya yang masih muda: Raja Jayanegara. Meski sudah menjadi raja, Jayanegara belum sepenuhnya mendapat kepercayaan dari para pejabat tinggi. Banyak di antara mereka adalah tokoh-tokoh kuat yang dulunya setia kepada Raden Wijaya—salah satunya adalah Kuti, juga dikenal sebagai Rakuti.
Rakuti bukan orang sembarangan. Ia adalah anggota dari Dharmaputra, pasukan elite yang dibentuk oleh Raden Wijaya untuk menjaga kerajaan dan mendampingi raja. Namun seiring waktu, Rakuti merasa dirinya lebih pantas memimpin daripada Jayanegara. Ia memandang raja muda itu sebagai sosok lemah, dan ia yakin bahwa Majapahit akan lebih baik di tangannya.
Kudeta Diam-diam
Dengan ambisinya, Rakuti mulai menyusun rencana pemberontakan. Perlahan-lahan ia membentuk kekuatan, merekrut pendukung, dan menyebarkan pengaruhnya di dalam istana. Hingga akhirnya, saat Majapahit lengah, Rakuti melakukan kudeta. Ia merebut istana dan menyatakan dirinya sebagai penguasa baru.
Raja Jayanegara tidak punya pilihan selain melarikan diri dari istana secara diam-diam. Ia dibawa pergi oleh salah satu pengawalnya yang sangat setia—seorang pemuda bernama Gajah Mada, anggota dari pasukan Bhayangkara, pengawal pribadi raja.
Gajah Mada dan Bhayangkara: Kesetiaan di Tengah Pengkhianatan
Dalam pelariannya, Jayanegara dan Gajah Mada bersembunyi di desa Badander. Di sana, Gajah Mada tidak tinggal diam. Ia segera menyusun kekuatan. Sebagai pemimpin Bhayangkara, ia menggalang kembali pasukan-pasukan yang masih setia pada raja.
Walaupun jumlah mereka sedikit, Bhayangkara adalah pasukan pilihan—terlatih, disiplin, dan sangat loyal. Dengan strategi yang cerdas, Gajah Mada memimpin operasi pembalasan: menyusup, menyerang pos-pos Rakuti, dan melemahkan pengaruhnya sedikit demi sedikit.
Serangan Balik: Mengembalikan Takhta
Setelah cukup kuat, Gajah Mada memimpin pasukan Bhayangkara dalam serangan besar-besaran ke pusat kerajaan. Pertempuran berlangsung sengit. Namun berkat strategi Gajah Mada dan keberanian pasukannya, mereka berhasil menaklukkan Rakuti dan pasukannya. Rakuti akhirnya tewas atau dihukum setelah kalah perang.
Raja Jayanegara pun kembali naik takhta. Istana Majapahit yang sempat jatuh ke tangan pengkhianat, kini kembali dalam genggaman yang sah.
Akhir Kisah: Awal Munculnya Gajah Mada
Setelah peristiwa itu, nama Gajah Mada mulai dikenal luas di Majapahit. Ia bukan hanya seorang pengawal, tetapi telah membuktikan diri sebagai pemimpin yang cerdas, setia, dan tangguh. Dari kisah inilah, Gajah Mada kemudian naik perlahan dalam jenjang kekuasaan, hingga kelak menjadi Mahapatih paling terkenal dalam sejarah Nusantara.
Pesan dari Kisah Ini
Kisah pemberontakan Kuti bukan hanya cerita tentang perang dan pengkhianatan, tetapi juga tentang:
Bahaya ambisi tanpa kesetiaan, seperti yang dilakukan oleh Rakuti.
Kekuatan kesetiaan dan pengabdian, seperti yang ditunjukkan oleh Gajah Mada dan Bhayangkara.
Dan bahwa pemimpin besar lahir dari ujian besar, bukan sekadar dari garis keturunan.
#sejarah #majapahit #gajahmada #nusantara
[20/5 14.31] rudysugengp@gmail.com: Mataram selepas Perjanjian Giyanti. Terpecah menjadi 4. 2 Kerajaan dan 2 Kadipaten.
Perjanjian Giyanti adalah perjanjian penting dalam sejarah Indonesia, khususnya berkaitan dengan runtuhnya Kerajaan Mataram Islam dan lahirnya dua kerajaan baru: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta. Perjanjian ini ditandatangani pada 13 Februari 1755 antara VOC, Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwana I), dan Susuhunan Pakubuwana III.
Latar Belakang Perjanjian Giyanti:
Perjanjian Giyanti muncul sebagai hasil dari perebutan kekuasaan di Kerajaan Mataram Islam yang dipicu oleh konflik internal keluarga kerajaan dan campur tangan VOC. Konflik tersebut melibatkan Pangeran Mangkubumi, Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa), dan Susuhunan Pakubuwana II (Pangeran Prabusuyasa). VOC, dengan berbagai siasat, turut berperan dalam memicu dan membiarkan konflik ini berlangsung.
Isi Perjanjian Giyanti:
Perjanjian Giyanti berisi beberapa poin penting, di antaranya:
Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan dan memerintah wilayah barat Sungai Opak (Yogyakarta).
Susuhunan Pakubuwana III (Raden Mas Soerjadi) memerintah wilayah timur Sungai Opak (Surakarta).
VOC mengakui kedua kerajaan baru tersebut dan menjalin kerja sama dengan mereka.
Perjanjian ini juga mengatur soal kewajiban dan tanggung jawab masing-masing pihak, termasuk bantuan militer, penjualan bahan makanan, dan pengakuan terhadap perjanjian-perjanjian sebelumnya antara Mataram dengan VOC.
Dampak Perjanjian Giyanti:
Perjanjian Giyanti menandai akhir Kerajaan Mataram Islam dan lahirnya dua kerajaan baru: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta. Perjanjian ini juga memiliki dampak lain, seperti: Perubahan peta politik di Jawa, Perubahan sistem pemerintahan, Perubahan ekonomi dan sosial, Pengaruh pada perkembangan budaya dan seni di Yogyakarta dan Surakarta.
Monumen Perjanjian Giyanti:
Sebagai bukti adanya perjanjian ini, dibangun Monumen Perjanjian Giyanti di Karanganyar, Jawa Tengah, yang berupa prasasti dan pohon beringin.
[20/5 14.33] rudysugengp@gmail.com: "Lembu Sora: Dendam yang Dipelintir, Kesetiaan yang Dikhianati"
Cerita rakyat dari awal Majapahit, di mana ksatria dikalahkan bukan oleh pedang, tapi oleh bisikan
Di tanah Jawa yang baru saja menggeliat dari tidur panjang kerajaan Singhasari, berdirilah kerajaan muda bernama Majapahit — sebuah negeri yang kelak menjelma jadi kekuatan terbesar di Nusantara. Tapi seperti bayi singa yang baru lahir, kerajaan itu rapuh, dan mudah disusupi oleh ambisi serta pengkhianatan.
Salah satu tokoh agung di balik lahirnya Majapahit adalah Lembu Sora — seorang panglima tua yang bijak, kuat, dan setia pada Raden Wijaya, sang pendiri kerajaan. Ia adalah seorang lelaki terhormat, dan di sisinya tumbuh seorang keponakan muda yang gagah berani: Ranggalawe, Adipati Tuban.
Ketika Raden Wijaya mulai membentuk struktur pemerintahan, para bangsawan menanti keputusan siapa yang akan menjadi Patih Amangkubhumi, orang kedua setelah raja. Banyak yang mengira jabatan itu pantas diberikan pada Lembu Sora, karena pengalaman dan jasanya. Tapi yang dipilih justru Nambi, seorang bangsawan muda yang lebih dekat secara pribadi dengan sang raja.
Ranggalawe murka. Baginya, ini adalah pengkhianatan terhadap pamannya, terhadap mereka yang sudah berjuang sejak awal. Maka ia pun memberontak. Namun pemberontakan itu dihancurkan. Di sungai Tambak Beras, Ranggalawe tewas di tangan Kebo Anabrang — bukan dalam duel ksatria, melainkan dalam cara yang dianggap memalukan.
Lembu Sora hancur hatinya. Keponakannya, darah dagingnya, dibunuh secara tak terhormat. Ia merasa Kebo Anabrang tidak layak membunuh seorang ksatria seperti Ranggalawe. Maka tanpa banyak bicara, Lembu Sora membunuh Kebo Anabrang.
Tapi inilah saat Halayuda — sang Mahapati yang licik — mencium peluang.
Dengan lidah seperti ular, Halayuda menghasut para bangsawan dan raja. Ia membisikkan bahwa Lembu Sora tidak lagi patuh pada hukum, bahwa ia membunuh sesuka hati, dan bahwa dia adalah ancaman bagi stabilitas kerajaan.
“Lembu Sora mungkin setia hari ini,” katanya. “Tapi besok? Siapa yang bisa jamin?”
Fitnah Halayuda menyebar seperti asap dupa di ruang sempit. Raden Wijaya yang tertekan, mulai ragu. Ia pun memutuskan: Lembu Sora harus ditangkap dan dihukum.
Tapi Lembu Sora tahu bahwa ia bukan menghadapi hukum — ia menghadapi tipu daya. Ia tahu ia tak akan mendapat keadilan. Maka ia memilih jalan terakhir: memberontak.
Namun usia dan kekuatan bukan lagi di pihaknya. Pasukannya kalah, dan dalam pertempuran terakhir, Lembu Sora gugur, jatuh bukan oleh kejahatan, tapi oleh dunia yang memilih dusta daripada kesetiaan.
Rakyat pun mengenangnya bukan sebagai pemberontak, tapi sebagai ksatria terakhir yang berdiri untuk kehormatan.
Dan Halayuda? Ia tetap di istana, tersenyum di balik kemenangan yang dibangun dari racun kata-kata.
[20/5 14.34] rudysugengp@gmail.com: Taman Sari, yang dalam bahasa Indonesia berarti "taman yang indah dan mempesona", merupakan sebuah taman air yang dibangun di dalam sebuah benteng. Kompleks ini memiliki banyak fungsi dan makna penting dalam sejarah Kesultanan Yogyakarta.
Kompleks Taman Sari dibangun pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I, tepatnya antara tahun 1758 hingga 1765. Menurut Djoko Soekiman dalam bukunya Taman Sari (1993), pembangunan kompleks ini dilakukan oleh Sultan sebagai bentuk penghargaan kepada permaisurinya yang telah setia mendampingi dan menderita bersamanya selama masa peperangan Giyanti.
Dulunya, Taman Sari berfungsi sebagai tempat rekreasi dan peristirahatan bagi Sultan, permaisuri, anak-anak, serta kerabat kerajaan. Oleh karena itu, kompleks ini memiliki berbagai fasilitas seperti kolam pemandian, taman-taman, tempat ganti pakaian, dan ruangan untuk menari. Tak hanya itu, kompleks ini juga dirancang sebagai lokasi pertahanan, dengan keberadaan lorong-lorong bawah tanah tersembunyi dan dapur yang memperkuat struktur keamanannya.
Djoko Soekiman menuliskan, “Taman Sari dapat dipandang sebagai sumber otentik untuk mengenang kebesaran Sultan Hamengku Buwono I.” Ia juga menyebutkan bahwa berdasarkan naskah yang disimpan di Keraton Yogyakarta, pembangunan Taman Sari dilaksanakan oleh Pangeran Mangkubumi, yang kemudian dikenal sebagai Sultan Hamengku Buwono I.
Pada masa lalu, air yang mengaliri kolam-kolam di kompleks Taman Sari berasal dari Sungai Winongo yang mengalir di sebelah barat kompleks tersebut. Selain bangunan dan kolam, awalnya kompleks ini juga dilengkapi dengan kebun buah-buahan dan bunga yang memperindah suasana taman.
[20/5 14.34] rudysugengp@gmail.com: Dikepung dan Ditembak! Inilah Akhir Tragis Raja Pejuang dari Tanah Batak!
Api Perlawanan dari Tanah Batak
Di tengah-tengah hutan rimba dan pegunungan yang kokoh di Tanah Batak, berdiri sosok karismatik dengan sorban putih dan tatapan penuh tekad — dialah Sisingamangaraja XII, raja spiritual sekaligus pemimpin perang rakyat Batak melawan penjajahan Belanda.
Lahir sebagai Patuan Bosar Ompu Pulo Batu, ia memegang gelar Sisingamangaraja XII sebagai penerus garis raja suci Batak. Di masa ketika tanah airnya mulai dicengkeram kolonialisme, Sisingamangaraja tidak tinggal diam. Ia menyatukan berbagai marga, memperkuat pertahanan, dan membakar semangat rakyatnya dengan semboyan “Lebih baik mati bermartabat daripada hidup dijajah."
Perang demi perang dilancarkan dari hutan ke hutan, dari desa ke desa. Belanda menyebutnya “hantu dari pegunungan” karena sulit ditangkap dan selalu muncul menyerang dengan taktik gerilya. Bahkan saat keluarganya tertangkap dan rumahnya dibakar, ia tetap maju.
Namun pada 17 Juni 1907, di daerah Dairi, Belanda berhasil mengepung dan menembaknya. Sisingamangaraja XII gugur sebagai martir. Ia tidak menyerah sampai akhir hayat.
Tapi kematiannya bukanlah akhir melainkan awal dari legenda. Namanya terus dikenang sebagai lambang keberanian, harga diri, dan cinta tanah air dari Sumatera Utara.
#batak #sejarah #toba #karo #sumut #sumatra #viral #fyp
[20/5 14.35] rudysugengp@gmail.com: Darah Terakhir Sang Raja, Gugurnya Sisingamangaraja XII
Di tengah hutan belantara Balige, tahun 1907, suara dentuman senapan menggema memecah keheningan. Sisingamangaraja XII, raja yang telah menjadi simbol perlawanan Batak terhadap penjajahan Belanda, dikepung. Bersama kedua putranya dan putri tercinta, ia telah menghindar dari sergapan demi sergapan, berpindah dari gua ke gua, hutan ke hutan.
Bertahun-tahun ia bertahan, bukan hanya dengan kekuatan senjata, tapi juga dengan kepercayaan rakyatnya, bahwa dia adalah "singa dari tanah Batak" yang tak bisa ditundukkan. Namun hari itu berbeda.
Dalam penyergapan di Dairi, pasukan Belanda mengepung tempat persembunyian sang raja. Tembakan dilepaskan. Peluru menembus tubuh Sisingamangaraja XII, juga menewaskan kedua putranya, Patuan Nagari dan Patuan Anggi serta Putri Ompu Boru Sagala pun tewas.
Tubuh Sisingamangaraja jatuh ke tanah, namun jiwanya tetap tegak. Ia tidak menyerah. Ia gugur sebagai martir, bukan tawanan.
Kabar kematiannya mengguncang tanah Batak. Rakyat tak hanya kehilangan pemimpin, tapi simbol perjuangan dan martabat.
Sisingamangaraja XII tidak pernah menyerah. Ia tidak pernah tunduk. Bahkan kematiannya adalah sebuah perlawanan.
"Singa dari Tanah Batak itu mati bukan karena kalah, tapi karena memilih mati dalam kehormatan."
#SisingamangarajaXII
#PahlawanNasional
#SejarahIndonesia
#PerlawananBatak
#PahlawanTanpaTandaJasa
#TokohInspiratif
#MelawanPenjajah
#RajaBatak
#PahlawanSumatera
#JejakPerjuangan
[20/5 20.08] rudysugengp@gmail.com: Permendikbudristek No. 40 tahun 2021
Permendikbudristek Nomor 40 Tahun 2021 mengatur tentang *Penugasan Guru Sebagai Kepala Sekolah.*
Permendikbud ini menetapkan syarat-syarat, jangka waktu penugasan, dan hal-hal lain terkait dengan penunjukan guru menjadi kepala sekolah.
Isi Utama Permendikbudristek Nomor 40 Tahun 2021:
A. Syarat-syarat menjadi Kepala Sekolah:
* Kualifikasi akademik minimal S1 atau D4 dari perguruan tinggi terakreditasi.
* Memiliki sertifikat pendidik dan Sertifikat Guru Penggerak.
* Memiliki pengalaman manajerial minimal 2 tahun di satuan pendidikan.
* Memiliki penilaian kinerja baik selama 2 tahun terakhir.
* Sehat jasmani dan rohani.
* Tidak pernah dikenai hukuman disiplin sedang atau berat.
* Tidak sedang menjadi tersangka, terdakwa, atau terpidana.
B. Jangka Waktu Penugasan:
* Masa penugasan kepala sekolah adalah 4 tahun.
* Penugasan dapat diperpanjang hingga maksimal 4 periode atau 16 tahun.
* Kepala sekolah dapat menjabat di satminkal yang sama paling singkat 2 tahun dan paling lama 8 tahun.
C. Penyelenggaraan Penugasan:
* Penugasan kepala sekolah dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
* Penyelenggaraan penugasan dapat menggunakan sistem online, seperti Sistem Pengangkatan Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah.
D. Tujuan Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah:
* Mewujudkan lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan inklusif.
* Membangun budaya refleksi dalam pengembangan warga satuan pendidikan.
* Meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar peserta didik.
E. Informasi Tambahan:
* Permendikbudristek Nomor 40 Tahun 2021 ini ditindaklanjuti dengan Petunjuk Teknis Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah.
* Dinas Pendidikan perlu mengetahui data ketersediaan Bakal Calon Kepala Sekolah (BCKS) untuk melaksanakan penugasan.
* Sistem Pengangkatan Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah (KSPS) dikembangkan untuk mendukung pemerintah daerah dalam melaksanakan penugasan kepala sekolah.
* KSPSTENDIK Kemdikbud menyediakan informasi mengenai Permendikbudristek Nomor 40 Tahun 2021.
* Permendikbud Nomor 40 Tahun 2021 juga membahas mengenai sertifikasi kepala sekolah.
[20/5 20.09] rudysugengp@gmail.com: Permendikbudristek No. 40 Tahun 2021 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah ditetapkan pada tanggal 17 Desember 2021. Peraturan ini diundangkan di Berita Negara Tahun 2021 Nomor 1427, menurut Peraturan Pedia.
[20/5 20.11] rudysugengp@gmail.com: Permendikbudristek No. 40 Tahun 2021. Hal itu sejalan dengan edaran Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK) sebelumnya yang mengatakan bahwa batas akhir unggah data terkait pengangkatan kepala sekolah melalui sistem KSPS dihentikan tanggal 20 Mei 2025.
[20/5 20.19] rudysugengp@gmail.com: Permendikbud terkait kepala sekolah meliputi Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (PermendikbudRistek) Nomor 40 Tahun 2021 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah, Permendikbud Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah, dan perubahan atas Permendikbud Nomor 15 Tahun 2018 tentang Beban Kerja Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas Sekolah.
[20/5 20.22] rudysugengp@gmail.com: Permendikdasmen No. 7 Tahun 2025 mengatur tentang penugasan guru sebagai kepala sekolah. Peraturan ini mengubah mekanisme penugasan, dengan fokus pada kompetensi dan pengalaman guru, bukan hanya status sebagai Guru Penggerak. Peraturan ini juga memberikan lebih banyak kesempatan bagi guru yang berprestasi untuk menjadi kepala sekolah.
[20/5 20.34] rudysugengp@gmail.com: Permendikbudristek No. 40 tahun 2021
Permendikbudristek Nomor 40 Tahun 2021 mengatur tentang *Penugasan Guru Sebagai Kepala Sekolah.*
Permendikbud ini menetapkan syarat-syarat, jangka waktu penugasan, dan hal-hal lain terkait dengan penunjukan guru menjadi kepala sekolah.
Isi Utama Permendikbudristek Nomor 40 Tahun 2021:
A. Syarat-syarat menjadi Kepala Sekolah:
* Kualifikasi akademik minimal S1 atau D4 dari perguruan tinggi terakreditasi.
* Memiliki sertifikat pendidik dan Sertifikat Guru Penggerak.
* Memiliki pengalaman manajerial minimal 2 tahun di satuan pendidikan.
* Memiliki penilaian kinerja baik selama 2 tahun terakhir.
* Sehat jasmani dan rohani.
* Tidak pernah dikenai hukuman disiplin sedang atau berat.
* Tidak sedang menjadi tersangka, terdakwa, atau terpidana.
B. Jangka Waktu Penugasan:
* Masa penugasan kepala sekolah adalah 4 tahun.
* Penugasan dapat diperpanjang hingga maksimal 4 periode atau 16 tahun.
* Kepala sekolah dapat menjabat di satminkal yang sama paling singkat 2 tahun dan paling lama 8 tahun.
C. Penyelenggaraan Penugasan:
* Penugasan kepala sekolah dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
* Penyelenggaraan penugasan dapat menggunakan sistem online, seperti Sistem Pengangkatan Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah.
D. Tujuan Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah:
* Mewujudkan lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan inklusif.
* Membangun budaya refleksi dalam pengembangan warga satuan pendidikan.
* Meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar peserta didik.
E. Informasi Tambahan:
* Permendikbudristek Nomor 40 Tahun 2021 ini ditindaklanjuti dengan Petunjuk Teknis Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah.
* Dinas Pendidikan perlu mengetahui data ketersediaan Bakal Calon Kepala Sekolah (BCKS) untuk melaksanakan penugasan.
* Sistem Pengangkatan Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah (KSPS) dikembangkan untuk mendukung pemerintah daerah dalam melaksanakan penugasan kepala sekolah.
* KSPSTENDIK Kemdikbud menyediakan informasi mengenai Permendikbudristek Nomor 40 Tahun 2021.
* Permendikbud Nomor 40 Tahun 2021 juga membahas mengenai sertifikasi kepala sekolah.
[20/5 20.56] rudysugengp@gmail.com: Promosi KSDN dari Guru Penggerak
di Surabaya, 19 Mei 2025.
Permendikbudristek Nomor 40 Tahun 2021 mengatur tentang *Penugasan Guru Sebagai Kepala Sekolah.*
Ditetapkan tanggal 17 Desember 2021.
Permendikbud ini menetapkan syarat-syarat, jangka waktu penugasan, dan hal-hal lain terkait dengan penunjukan guru menjadi kepala sekolah.
Isi Utama Permendikbudristek Nomor 40 Tahun 2021:
A. Syarat-syarat menjadi Kepala Sekolah:
* Kualifikasi akademik minimal S1 atau D4 dari perguruan tinggi terakreditasi.
* Memiliki sertifikat pendidik dan Sertifikat Guru Penggerak.
* Memiliki pengalaman manajerial minimal 2 tahun di satuan pendidikan.
* Memiliki penilaian kinerja baik selama 2 tahun terakhir.
* Sehat jasmani dan rohani.
* Tidak pernah dikenai hukuman disiplin sedang atau berat.
* Tidak sedang menjadi tersangka, terdakwa, atau terpidana.
B. Jangka Waktu Penugasan:
* Masa penugasan kepala sekolah adalah 4 tahun.
* Penugasan dapat diperpanjang hingga maksimal 4 periode atau 16 tahun.
* Kepala sekolah dapat menjabat di satminkal yang sama paling singkat 2 tahun dan paling lama 8 tahun.
C. Penyelenggaraan Penugasan:
* Penugasan kepala sekolah dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
* Penyelenggaraan penugasan dapat menggunakan sistem online, seperti Sistem Pengangkatan Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah.
D. Tujuan Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah:
* Mewujudkan lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan inklusif.
* Membangun budaya refleksi dalam pengembangan warga satuan pendidikan.
* Meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar peserta didik.
Sejalan dengan edaran Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK) sebelumnya yang mengatakan bahwa batas akhir unggah data terkait pengangkatan kepala sekolah melalui sistem KSPS dihentikan tanggal 20 Mei 2025.
Permendikdasmen No. 7 Tahun 2025 mengatur tentang penugasan guru sebagai kepala sekolah. Peraturan ini mengubah mekanisme penugasan, dengan fokus pada kompetensi dan pengalaman guru, bukan hanya status sebagai Guru Penggerak. Peraturan ini juga memberikan lebih banyak kesempatan bagi guru yang berprestasi untuk menjadi kepala sekolah.
#dispendik_sby #mendikdasmen
[21/5 00.00] rudysugengp@gmail.com: KISAH SI SARINAH PEREMPUAN JAWA ISTRI MARSOSE DALAM PERANG ACEH
_____________________________________________
Perang Aceh merupakan perang terlama dan termahal dalam sejarah Kolonial Belanda di nusantara. Menarik untuk menjawab pertanyaan ini, dalam perang selama 69 tahun di Aceh itu (1873-1942) pasti banyak kisah menarik, salah satunya tentang tawanan perang.
Referensi yang bagus untuk menjawab pertanyaan seputar itu adalah dari kalangan militer Belanda sendiri. Saya beruntung memiliki buku Letnan HA Aars yang menulis pengalaman Letnan JP Schomaker selama terlibat dalam Perang Aceh.
Salah satu yang menarik adalah kisah Sarina, perempuan Jawa yang sempat ditawan oleh pejuang Aceh. Dari ceritanya diketahui bagaimana orang Aceh memperlakukan tawanan perang.
Buku yang berjudul “Tjerita-Tjerita dari Negeri Atjee” itu diterbitkan di Batavia pada tahun 1891 oleh penerbit Batavia G Kolff & Co. Dalam buku itu diceritakan, suatu pagi Sarina istri seorang serdadu Belanda berangkat dari rumahnya ke bivak (pos pasukan Belanda) untuk menjumpai suaminya yang bernama Wirodjojo, tapi di tengah jalan ia dicegat oleh sekelompok pejuang Aceh.
Ia dikira perempuan Eropa karena pakaiannya yang mencolok, lalu ia di bawa ke kamp pejuang Aceh.
“Boleh orang kira, ini perempuan bukan orang selam (Islam). Tapi dia orang Jawa betul dari Solo. Bajunya baju kurung biru, dikancing dengan kinking perak, dan sarungnya-sarung merah kembang-kembang,” jelas Schoemaker.
Orang Aceh awalnya menduga ia adalah bagian dari keluarga kompeni, Sarina akan dibunuh. Tapi salah satu dari dua belas pejuang Aceh itu melarangnya. Sarina tidak dibunuh tapi ditawan untuk diinterogasi.
Sarina ditawan dalam sebuah rumah di sekitar kamp pejuang Aceh. Dari balik dinding rumah itu, Sarina melihat puluhan pejuang Aceh sedang menyiksa beberapa serdadu Belanda yang berhasil mereka tangkap.
Sarina menceritakan penyiksaan itu kepada Letnan JP Schoemer setelah ia dibebaskan dari tawanan, karena dianggap tidak bersalah oleh pejuang Aceh.
Katanya, sampai malam penyiksaan terhadap serdadu Belanda itu masih berlanjut, seolah-olah itu telah menjadi hiburan bagi orang Aceh di sekitar kamp. Sarina melihat beberapa pria duduk mengelilingi api, ada juga perempuan dan anak-anak, sementara di bagian lain kamp orang ramai menyaksikan penyiksaan terhadap serdadu-serdadu Belanda.
Seorang serdadu Belanda tanganya diikat di sebatang pohon beringin, hidung mancung serdadu Belanda itu dipotong, kaki dan tangannya dibacok, perutnya berkali-kali ditusuk dengan tombak.
Sarina yang ketakutan menjelang tegah malam dibebaskan, karena ia terbukti bukan keluarga kompeni. Tapi, seandainya pejuang Aceh saat itu tahu bahwa Sarina ada istri seorang serdadu Belanda bernama Wirodjojo, mungkin ceritanya akan lain.
Ketika dibebaskan di tengah malam buta itu, tujuan pertama Sarina adalah mencari bivak pasukan Belanda terdekat. Dengan susah payah ia kemudian sampai ke jalan setapak, hingga kemudian terus menuju ke arah lampu benteng pertahanan Belanda.
Tapi sampai di bivak Belanda itu, seorang serdadu penjaga benteng yang sering disebut Sekilwak, dari jauh berteriak memerintahkan Sarina untuk berhenti, sambil melepaskan tembakan ke arahnya.
Pada halaman 13 bukunya Letnan JP Schoemaker mengisahkan, Sekilwak itu kemudian membuat laporan ke dalam benteng, kepada seseorang yang dipanggilnya dengan sebutan “Tuan Komandan”. Ia melapor bahwa melihat seorang berandal di luar dan telah menembaknya. Berandal merupakan istilah tentara Belanda untuk para pejuang Aceh yang sering menyerang mereka.
Pagi hari dilakukanlah pemeriksaan sekeliling benteng. Pasukan patroli itu terkejut ketika menemukan seorang perempuan tergeletak terlentang di bawah pohon, mukanya yang penuh darah dan lumpur menghadap ke benteng. Tubuh Sarina diangkat dan dibawa masuk ke benteng.
Yang paling keget saat itu adalah Wirodjojo, ketika mengetahui itu adalah istrinya. Selamat dari kamp pejuang Aceh, kini perempuan itu sekarat di benteng kompeni Belanda.
Seorang dokter kemudian dipanggil untuk mengobati Sarina. Setela 14 hari ia baru sembuh dan bisa menceritakan apa yang menimpa dirinya. “Semua orang lantas dapat tahu celakanya si Sarina, dan dari itu hari si Sarina itu dipanggil perempuan Aceh.” tulis Letnan JP Schoemaker.
[21/5 00.13] rudysugengp@gmail.com: Sejarah
*20 Mei Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas): Sejarah hingga Tema 2025*
Putri Cahaya Purnama
19 Mei 2025 10.23 WIB
Setiap tahun, pada 20 Mei, Indonesia merayakan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Pada 2025 ini, Harkitnas memasuki peringatan yang ke-117.
Akan tetapi, apakah Kawan mengetahui lebih dalam mengenai makna dan fakta di balik hari bersejarah ini? Lebih dari sekadar tanggal di kalender, Harkitnas menyimpan cerita dan semangat yang patut untuk kita pahami dan resapi.
*Sejarah Hari Kebangkitan Nasional*
Seperti yang tertera dalam Pedoman Peringatan ke-117 Harkitnas Tahun 2025 yang diterbitkan oleh Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Republik Indonesia, berikut sejarah di balik Harkitnas yang diperingati tiap 20 Mei.
*Dari Budi Utomo hingga Sumpah Pemuda*
Banyak yang mengira bahwa Hari Kebangkitan Nasional semata-mata memperingati lahirnya organisasi Budi Utomo. Meskipun demikian, peristiwa ini merupakan tonggak sejarah yang tak terbantahkan.
Budi Utomo, didirikan oleh para mahasiswa STOVIA (Sekolah Kedokteran di Batavia), di antaranya Soetomo, menjadi organisasi pemuda modern pertama yang memiliki visi jelas untuk meraih kemerdekaan Indonesia.
Lebih dari itu, Kebangkitan Nasional dijiwai oleh dua momen historis yang tak terpisahkan, yakni lahirnya Budi Utomo pada tahun 1908 dan digaungkannya Sumpah Pemuda tahun 1928.
*Kebangkitan yang Lahir dari Kepedihan*
Lahirnya Harkitnas justru tak lepas dari kebijakan kolonial Belanda, yaitu Politik Etis. Kebijakan yang berisi rasa terima kasih kepada rakyat pribumi melalui irigasi, edukasi, dan emigrasi ini, secara tak langsung membuka jalan bagi munculnya generasi terpelajar.
Conrad, anggota parlemen Belanda, menyadari bahwa Belanda telah banyak berhutang budi kepada rakyat Indonesia karena sadar akan besarnya keuntungan yang diraup Belanda selama masa penjajahan.
Melalui kebijakan Politik Etis, sekolah-sekolah mulai dibangun untuk rakyat pribumi. Berangkat dari situasi ini, muncul para cendekiawan muda, tak terkecuali para pelajar STOVIA yang mendirikan Budi Utomo.
*Dr. Wahidin dan Percikan Ide Kebangkitan*
Sebelum Budi Utomo resmi berdiri, ada sosok penting yang menabur benih-benih kebangkitan, yaitu dr. Wahidin Sudirohusodo. Beliau aktif berkampanye menggalang dana untuk membantu pelajar-pelajar priyayi di Pulau Jawa sejak tahun 1906.
Pada tahun 1907, saat berkampanye di Jakarta, beliau bertemu dengan para pelajar STOVIA, termasuk Soetomo. Ide-ide dr. Wahidin tentang pentingnya pendidikan dan persatuan untuk kemajuan bangsa rupanya selaras dengan cita-cita para pemuda STOVIA ini, hingga akhirnya melahirkan Budi Utomo.
*Peringatan Harkitnas 2025: Lebih dari Sekadar Upacara*
Peringatan Hari Kebangkitan Nasional bukan hanya tentang upacara bendera yang rutin dilaksanakan setiap tahun. Momen ini memiliki tujuan yang lebih dalam, yaitu untuk menumbuhkan kembali semangat persatuan, nasionalisme, dan penghargaan terhadap jasa para pahlawan.
Setiap tahunnya, peringatan Harkitnas mengusung tema yang berbeda-beda. Pedoman Peringatan ke-117 Harkitnas Tahun 2025 menyebutkan bahwa tema yang diusung tahun ini adalah
Tanggal Peringatan: Selasa, 20 Mei 2025
Tema: "Bangkit Bersama Wujudkan Indonesia Kuat"
Lebih lanjut, peringatan Harkitnas tahun ini diisi dengan berbagai kegiatan, mulai dari
upacara bendera serentak di seluruh instansi dan perwakilan RI di luar negeri;
publikasi dan dokumentasi melalui berbagai media; hingga
ziarah ke Taman Makam Pahlawan sebagai bentuk penghormatan kepada para pejuang bangsa.
Bahkan, ziarah khusus juga dilakukan ke makam tokoh-tokoh penting di balik Kebangkitan Nasional, seperti dr. Wahidin di Yogyakarta dan Dr. Soetomo di Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar