Kamis, 13 Februari 2025

Klasifikasi Prasasti Berdasarkan Bahan

 *Klasifikasi Prasasti Berdasarkan Bahan*


Walau sekarang ini kita hanya mendapatkan prasasti terbuat dari tiga jenis bahan batu, logam dan tanah liat, tetapi menurut sejarahnya prasasti dibuat dari empat jenis bahan antara lain: 

1). Prasasti batu; di dalam prasasti sering disebut upala, bentuknya bermacam-macam. Ditinjau dari segi pengerjaannya ada yang 'bentukan alam' atau tanpa dipangkas terlebih dahulu sesuai bentuk yang diinginkan. Biasanya prasasti ini dipahat pada batu-batu besar atau tebing sebuah bukit. 

Prasasti-prasasti batu alam biasanya sulit dipindahkan atau tidak mungkin dipindahkan, contohnya prasasti yang diukir pada dinding gua, prasasti Ciaruteun yang diukir pada bongkahan batu besar, prasasti Tukmas pada dinding bukit tempat mengalirnya sebuah sungai. 

Prasasti bentukan manusia, yaitu prasasti yang dipangkas terlebih dulu menurut bentuk yang diinginkan sebelum ditulisi. Prasasti yang dipangkas menurut bentuk banyak ragamnya, ada prasasti berbentuk bulat telur, bulat panjang, persegi empat, segi empat dengan bagian atas membulat atau lengkung kurawal, segi lima, tak beraturan, atau berwujud area. 

Mengenai teks yang ditulisi pada prasasti selain ada yang satu sisi, ada juga yang dua, tiga, empat bahkan seluruh permukaan prasasti batu. Mengenai alur penulisan teks, ada yang satu sisi ditulisi hingga ke bawah lalu pindah ke sisi lain di sebelah atau di belakangnya. Ada juga prasasti ditulisi mulai dari sisi muka lalu menyambung ke sisi kanan, belakang dan kiri, kemudian baris baru dimulai dari sisi muka lagi, ke kanan, belakang, dan kiri. Begitu seterusnya sampai ke bawah dan selesai. 

Kalau prasasti berbentuk bundar, teks ditulisi secara berkeliling mulai dari bagian atas dan melingkar seperti spiral. Kalau berbentuk tugu bundar teks ditulisi pada bagian samping batu dan memutar seperti spiral, atau diberi pembatas untuk menandai bagian awal dan akhir baris tulisan. Demikianlah, banyak variasi bentuk dan cara penulisan pada prasasti batu. 

2). Prasasti logam; di dalam prasasti kerap disebut tomra atau prasasti perunggu. Namun pada kenyataannya prasasti logam yang kita temukan kembali tidak hanya dari perunggu/tembaga melainkan juga dari emas dan perak. Tetapi prasasti perunggu/tembaga memang umum dijumpai karena bahan tembaga dan timah (bahan campuran untuk perunggu) mudah diperoleh daripada bahan lain. 

HWalau lebih berat daripada logam lain tetapi prasasti tembaga/perunggu masih dapat dibawa daripada prasasti batu. Selama ini prasasti tembaga/perunggu yang ditemukan mencapai ukuran 66 x 44 cm, ukuran terbesar yang pernah ditemukan. Ukuran standar prasasti perunggu sekitar 40 x 17 cm dengan ketebalan sekitar 1,5 mm. Sebuah prasasti tembaga/perunggu dapat terdiri dari 18 lempeng. 

Kalau prasasti dari emas dan perak jarang melebihi ukuran prasasti tembaga/perunggu karena bahan tersebut tidak mudah diperoleh. Prasasti emas biasanya berupa lembaran yang lebih tipis daripada lempengan prasasti tembaga/perunggu, lebih lentur seperti lembaran kertas. Prasasti emas ada yang berukuran maksimal sekitar 25,5 x 9,5 cm tetapi ini tidak banyak dan boleh dikatakan langka, lebih sering ditemukan prasasti emas berupa lembaran tipis seperti pita. 

Prasasti logam selalu dituliskan pada lempengan/lembaran berbentuk persegi empat panjang, kadang-kadang dituliskan juga pada lapik atau sandaran area. Mengenai teks yang dituliskan pada prasasti tembaga/perunggu, emas dan perak tak ada cara lain selain dituliskan pada satu atau dua sisi saja. Kadang-kadang disisipkan gambar- gambar yang menunjukkan simbol keagamaan, tokoh dewa, bahkan hewan. 

3). Prasasti tanah liat; atau clay tablet, yaitu prasasti yang diukir pada kepingan tanah liat yang dibakar atau dijemur oleh panas matahari. Prasasti yang berbentuk bundar seperti kepingan tablet ini berukuran ± 2,5 cm, merupakan hasil cetakan dari stempel logam yang dibubuhi tulisan terbalik.

 Tulisannya pendek dan rapat, isinya sudah tentu berupa mantra-mantra Budhis yang dibawa oleh pemeluknya pada upacara keagamaan. Prasasti tanah liat semacam ini umumnya dibuat secara masal dengan cara dicetak dan dimasukkan ke dalam stupika, yaitu wadah berupa replika stupa, dibawa oleh penganut Budha dalam prosesi keagamaan atau berziarah ke tempat tempat suci agama Budha. 

Oleh sebab itu tidak mengherankan kalau di sekitar candi Budhis banyak ditemukan tablet tanah liat hingga berjumlah ribuan karena selesai upacara keagamaan tablet bersama stupika yang dilempar ke dekat area yang dipuja sebagai pelepas nazar. Selain prasasti berupa tablet, ada juga prasasti pendek yang ditulis pada bata, isinya berupa mantra-mantra Budhis yang hampir sama dengan prasasti pada lembaran-lembaran emas. 

4). Prasasti lontar; di dalam prasasti disebut juga rupta.  Prasasti lontar hingga sekarang memang belum pernah ditemukan, tetapi wujudnya kemungkinan besar sama dengan manuskrip atau naskah-naskah kuno dari lontar yang sampai kepada kita. Mengapa prasasti lontar belum pernah ditemukan ? 

Karena prasasti yang dibuat dari lembaran daun pohon tal atau 'siwalan' (Borassus flabellifer, sp.) ini sifatnya rapuh, tidak lebih tahan lama daripada prasasti logam dan batu. Daun tal atau lontar mudah diperoleh untuk dibuatkan tulisan di atasnya baik sebagai prasasti maupun naskah cerita. Kelemahannya adalah bahan ini tidak tahan begitu lama dalam mengarungi zaman, paling lama sekitar 100 tahun. Naskah lontar kuno yang sampai kepada kita bukanlah kondisi aslinya ketika pertama kali ditulis melainkan salinan yang kesekian kalinya. Naskah Nagarakertagama atau Desawarnana yang digubah oleh Prapanca yang ada sekarang ini adalah salinan dari aslinya yang ditulis tahun 1365. Walau bahasanya mungkin tidak berubah (bahasa Jawa Kuna) tetapi ditulis dalam aksara Bali (yang seharusnya aksara Jawa Kuna). Bukti bahwa dulu memang ada prasasti lontar adalah ungkapan-ungkapan yang ditemukan dalam prasasti-prasasti abad XII. 

Ketika itu Raja Jayabaya, raja Kadiri yang memerintah tahun 1135 - 1144, mengabulkan permohonan penduduk desa Talan agar anugerah Raja Airlangga yang tertuang dalam prasasti lontar (ripta) dipindahkan isinya ke prasasti batu (upala) agar tetap langgeng dan dinikmati anak cucu mereka. 

Perlu diketahui bahwa prasasti lontar anugerah Raja Airlangga yang mereka terima usianya sudah mencapai 96 tahun, dan mungkin juga kondisinya sudah rapuh, jadi perlu diselamatkan isinya. Itulah alasan mengapa sampai sekarang belum pernah ditemukan prasasti lontar karena ketika kondisinya sudah mulai rapuh isinya sudah dipindahkan ke prasasti batu yang lebih tahan lama. 

Memang sepertinya beda zaman beda pula adat kebiasaan. Ada yang memandang prasasti lontar (ripta) dan prasasti tembaga/perunggu (tamra) sebagai "tembusan" yang dipegang atau disimpan oleh orang atau penduduk desa yang mendapat anugrah raja, sedangkan prasasti batu (upala) dipandang sebagai 'berkas otentik' yang justru harus diperlihatkan ke publik agar diketahui bahwa yang bersangkutan mendapat anugrah dan hak-haknya harus dihormati. 

Pada zaman kerajaan Majapahit orang yang mendapatkan anugerah justru dihadapkan pada pilihan apakah ingin dibuatkan prasasti tembaga/perunggu, lontar atau batu (salah siki ning tamrariptopala), yang ternyata orang lebih suka dibuatkan prasasti batu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terjebak Haji di Perkebunan

 CNBC Insight *Travel Ternama Jebak Jemaah Haji RI, Disuruh Kerja Paksa di Perkebunan* MFakhriansyah, CNBC Indonesia 05 June 2025 12:00 Jaka...