Hari ini tanggal 8 Januari 2025 adalah bertepatan dengan 170 tahun meninggalnya Pangeran Diponegoro (8 Januari 1855). Pangeran Diponegoro atau Raden Ontowiryo adalah putera tertua dari Sultan Hamengkubuwana III dan seorang pahlawan Republik Indonesia yang memimpin Perang Diponegoro atau Perang Jawa (1825-1830) melawan penjajahan Belanda.
Banyak sudah karya tulis maupun buku-buku yang membahas Pengeran Diponegoro Diponegoro, di antaranya:
sun amedar suasaning ati, atembang pamiyos
pan kinaryo anglipur brangtane
aneng kita Menado duk kardi
tan anak kaeksi
Ini adalah bait pertama dari rangkaian tembang pada naskah asli setebal 700 halaman. Dalam manuskrip tulisan tangan berhuruf Jawa, bait pertama tadi menyebutkan:
"Aku ingin menyatakan perasaan lewat tembang ini. Untuk menghibur hati, karena selama di kota Menado, tak ada sesuatu yang bisa kulihat"
Secara lancar, puisi yang diawali tembang Mijil (pupuh) tersebut segera mengemukakan maksud, mengapa penulisnya (Pangeran Diponegoro sendiri) mengungkapkan kenang-kenangan. Dilukiskannya bahwa:
"...sakit, malu dan penderitaan hebat telah kurasakan. Meskipun demikian, terhadap seluruh keluarga yang benar-benar melaksanakan amalan Nabi, aku senantiasa mengharapkan datangnya pertolongan Tuhan. "
“Bagaimana nasibku seandanya tak mendapatkan ampunan? Aku akan sangat menderita. Maka agar memperoleh kasih Tuhan, kutulis tembang ini, untuk menyamarkan kebingungan (hati)”
Pangeran Diponegoro, dengan kalimat-kalimat jujur, menceritakan segala pengalamannya. Dengan membaca Memoar Pangeran Diponegoro, bayangan kita selama ini mengenai diri Diponegoro, ternyata belum utuh. Ada sebuah sisi tertentu pada diri pahlawan tersebut yang tak penah kita perkirakan sebelumnya.
Bagaimanapun juga, Diponegoro terbukti melakukan apa yang sewajarnya dilakukan oleh seorang tokoh sejarah. Pangeran Diponegoro menuliskan sendiri memoarnya, sejak hari pertama dalam pengasingan di Manado. Dirampungkan di tempat paling akhir, di Fort Rotterdam, Makassar.
Memoar karya pahlawan besar ini telah diterjemahkan oleh Amen Budiman. Dari bentuk semula puisi berhuruf dan berbahasa Jawa, dialihkan dalam bentuk prosa bahsa Indonesia. Buku kenang-kenangan pribadi Diponegoro tersebut seluruhnya terbit dalam enam jilid.
Bagian pertama menggambarkan betapa menderitanya pahlawan ini dalam pengasingannya.
Bagian kedua, mengisahkan uraian berbagai ramalan mengenai kesultanan Yogyakarta.
Bagian ketiga mengisahkan sejak percikan pertama api pertempuran di Tegalrejo Barat kota Yogyakarta tahun 1825 sampai tanggal 28 Maret tahun 1830 tatkala ia ditangkap dalam perundingan di Magelang berlanjut sampai perjalanan pembuangan di Semarang, Jakarta, Manado dan Makassar.
Namun apapun juga sebuah karya asli serta kenang-kenangan perjuangan seorang pahlawan nasional tidak bisa diabaikan. Setiap penulisan sejarah Perang Jawa, tak akan bisa dinilai lengkap, tanpa mempergunakan Babad Diponegoro sebagai salah satu dasarnya. Itulah sebabnya Babad Diponegoro menjadi salah satu dari warisan budaya bangsa Indonesia yang sangat berharga.
Sumber: Kompas 5 Feb 1980, hal 1 ko. 7-9, bersambung ke hal 5 kol 7-9. Koleksi Surat Kabar Langka Salemba – Perpustakaan Nasional RI (Skala-team)
#Diponegoro #Memoar #Pahlawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar