Minggu, 28 Agustus 2022

27-28 Agustus 2022 Trenggalek


Mencari Sahabat lama Bubutan


Salah satu teman di Kecamatan Bubutan Surabaya yaitu Murjono yang sedang mukim di Trenggalek. 

Berangkat pukul 12.30 dari SDN Bubutan III sebelah Utara BG JUNCTION. Menuju Trenggalek dengan Penumpang 12 orang dan Beaya 405 ribu  rupiah dan makan siang bawa oleh Panitia 🐔pedhas.

Menginap di Hotel Bukit Jaas Permai Trenggalek merupakan salah satu hotel baik. Perjalanan lanjut ke Pantai Pasir Putih Trenggalek. Naik Perahu bersisi semua penumpang untuk keliling 18 lokasi di Laut Beaya 900 ribu dan ditawar 800 ribu rupiah. 

Usai menuju Kebon Blimbing Tulungagung, pulang.

Kamis, 25 Agustus 2022

SIAPA JAKA TINGKIR ?

 Siapa Joko Tingkir? Ramai Disebut karena Lagu Joko Tingkir Ngombe Dawet

Kompas.com, 22 Agustus 2022, 07:48 WIB



Penulis: Wasti Samaria Simangunsong | Editor: Nabilla Tashandra

KOMPAS.com - Lagu Joko Tingkir Ngombe Dawet tengah viral di berbagai media sosial, terutama TikTok.

Lagu ini menjadi sorotan karena nada dan liriknya yang mudah nempel di telinga.

Namun sebagian masyarakat justru menganggap penggunaan nama "Joko Tingkir" dalam judul dan lirik lagu tidak sopan.

Sebab, Joko Tingkir dianggap sebagai tokoh yang berjasa dan dihormati oleh masyarakat Jawa. Lantas, siapa sebenarnya Joko Tingkir ini?

Siapa Joko Tingkir?

Guru Besar Universitas Sebelas Maret (UNS) Profesor Bani Sudardi menjelaskan, Joko Tingkir atau Jaka Tingkir bukanlah nama yang sesungguhnya.

Joko Tingkir adalah sebuah gelar yang dimiliki oleh seorang pria bernama asli Mas Karebet, karena dirinya pernah menjadi anak angkat dari Ki Ageng Tingkir.

"Tingkir adalah nama sebuah wilayah yang saat ini masuk dalam Kabupaten Salatiga. Jadi nama Jaka Tingkir (ejaan aslinya) itu berarti pemuda dari wilayah atau Desa Tingkir," terang Bani kepada Kompas.com, Minggu (21/08/2022).

Joko Tingkir kemudian mengabdi di Kesultanan Demak. Akibat kesuksesannya saat mengabdi, Joko Tingkir pun diangkat menjadi menantu Sultan Trenggana. Itulah mengapa Joko Tingkir masih termasuk keluarga Kesultanan Demak.

Bani melanjutkan, ketika terjadi perebutan kekuasaan di Kesultanan Demak, Joko Tingkir kemudian dapat memenangkannya sehingga ia menjadi Sultan di daerah Pajang, yang saat ini merupakan sebuah Kelurahan di Surakarta (Solo).

"Jaka Tingkir kemudian menjadi Sultan dengan gelar Sultan Hadiwijaya. Di dalam masyarakat Jawa, Jaka Tingkir termasuk tokoh yang dihormati karena beliau adalah seorang yang sakti dan bijaksana," tutur Bani.

Adapun kesaktian Joko Tingkir tampak ketika dirinya bisa melompati kolam Masjid Demak secara mundur. Bahkan, konon ia juga bisa membunuh seekor kerbau menggunakan tangannya dengan cara ditempeleng dan menaklukkan 40 ekor buaya di sebuah sungai yang bernama Kedhung Srengenge.

Dikenal bijaksana

Selain sakti, Joko Tingkir juga terkenal dengan kebijaksanaannya. Hal itu tampak ketika ia hendak dibunuh oleh utusan Arya Penangsang.

Setelah berhasil menangkap para utusan tersebut, bukannya membunuh mereka, Joko Tingkir justru memberikan hadiah dan pakaian. Lalu menyuruh para utusan untuk pulang dengan baik-baik.

"Kebijaksanaan lain Jaka Tingkir yaitu ketika terjadi perselisihan perebutan kekuasaan antara Pajang dan Mataram. Joko Tingkir mengalah tidak memerangi Pajang dan pulang kembali ke istananya," tutur Bani.

Joko Tingkir juga berpesan kepada anaknya, Pangeran Benawa, untuk tidak menjadi raja serta merelakan yang menjadi raja adalah Panembahan Senapati.

Dalam tata budaya Jawa, nama Jaka Tingkir atau Joko Tingkir dinilai perlu dijaga dan disebutkan secara hormat. Sebab, Joko Tingkir adalah salah satu dari sultan yang pernah berkuasa di tanah Jawa ini.

Sedangkan untuk penggunaan nama, Joko Tingkir dalam lirik lagu "Joko Tingkir Ngombe Dawet" menurut Bani bisa diganti dengan beberapa alternatif.

"Sebutan itu misalnya bisa diganti dengan "pergi ke Tingkir ngombe dawet" sehingga tidak menyebut nama tokoh tertentu," kata dia.

Bani menambahkan, hingga saat ini garis keturunan (trah) Joko Tingkir masih tetap eksis. Salah satunya adalah Presiden keempat Republik Indonesia Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang disebut sebagai cucu generasi keenam dari Joko Tingkir.

"Saya kira, menggunakan namanya sebagai bagian dari lagu perlu meminta izin dari trah Jaka Tingkir agar tidak terjadi salah paham dan saling menghormati antar sesama tokoh," pungkas Bani.

Selasa, 23 Agustus 2022

TEMBANG JOKO TINGKIR

Sisi Lain Tembang Sigra Milir

 BY BALAI BAHASA JAWA TIMURDESEMBER 28, 2020ARTIKEL, JULA-JULI

“Sigra milir sang gethek sinangga bajul, kawan dasa kang njageni, ing ngarsa miwah ing pungkur, tanapi ing kanan kering, kang gethek lampahnya alon”.

Demikianlah bunyi tembang macapat bermetrum Megatruh yang berkisah tentang Jaka Tingkir naik rakit di sebuah sungai. Ada yang menyebut sungai itu sebagai Kedung Srengege. Ada pula yang menyebutnya Bengawan Solo. Ia dikawal 40 buaya putih, di depan, di belakang, di samping kanan dan samping kiri. Rakitnya pun bergerak perlahan-lahan.

Tembang itu bagi kanak-kanak Jawa tempo doeloe akrab di telinga. Ia dianggap sebagai puisi lisan Jawa karena sering didendangkan. Tembang itu bernama Sigra Milir.

Sigra Milir disebut sebagai puisi lisan itu wajar, karena tembang itu lebih dikenal versi lisannya, baik dalam tradisi mocopatan, seni ketoprak, bersenandung, dan lainnya. Meski demikian, asal-muasalnya dari versi tulis. Versi tulisnya tersebar pada beberapa babad. Salah satunya adalah Babad Mentaram, yang ditemukan almarhum Suripan Sadi Hutomo (1998) di Mojokerto dalam metrum macapat dan digurat dengan abjad Arab Pegon. Dimungkinkan naskah babonnya ditulis dalam aksara Jawa. Babad lainnya adalah Babad Demak, yang di dalamnya juga ada kisah Jaka Tingkir.

Menurut Hutomo (1998), pada saat ia kecil, banyak anak-anak desa di Jawa yang hapal tembang itu, terutama bagi anak-anak gembala. Ternyata itu tidak hanya berlaku di Jawa Tengah, tepatnya Blora, asal Hutomo. Di Jawa Timur, banyak anak-anak yang juga menembangkannya.

Di Lamongan, realitas kulturalnya agak berbeda. Di kawasan pedalaman, terutama Lamongan selatan, dulu tembang itu pun kondang. Banyak kanak-kanak yang mendendangkannya. Pasalnya, Jaka Tingkir adalah hero lokal dan idola masyarakat. Ia sakti mandraguna, ahli politik, dan berujung sebagai raja Jawa pasca-Kerajaan Demak.

Namun, di kawasan Lamongan yang menjadi lintasan Bengawan Solo –dengan beberapa anak sungainya, salah satu di antaranya bernama Bengawan Jero, yang menjadi urat nadi kehidupan mereka, menembangkan Sigra Milir adalah pantangan. Hal itu berlaku sejak dulu. Diyakini, tembang itu merupakan alat komunikasi super canggih pada sekawanan buaya di kawasan perairan Bengawan Solo.

“Bila sedang menyeberang Bengawan Solo, memang dipantangkan nembang Sigra Milir,. Diyakini tembang itu adalah sarana pengundang buaya putih, yang berdiam di Bengawan,” tutur Drs Achmad Hambali, budayawan Lamongan. “Sejak dulu ada keyakinan begitu. Pernah ada yang lupa dengan itu, pada tahun 1990an, dan berakhir kurang baik” lanjutnya. (MA)

Senin, 22 Agustus 2022

DETIK-DETIK PROKLAMASI 1945

 SINGKAP SEJARAH


Tahukah Anda, Keputusan Out of The Box Justru Merubah Jalannya Proklamasi Kemerdekaan RI?

Bukannya berjalan mulus, Proklamasi Kemerdekaan RI tidak akan dapat terlaksana tanpa kreativitas berpikir para tokoh bangsa saat itu.

17 Aug 2022 09:03

Sumber :

MALANG, NETRALNEWS.COM - Bukannya berjalan mulus, Proklamasi Kemerdekaan RI tidak akan dapat terlaksana tanpa kreativitas berpikir para tokoh bangsa saat itu. Tanpa berpikir dan bertindak “out of the box,” bisa jadi Proklamasi RI akan semakin tertunda atau bahkan tidak akan terlaksana sama sekali.

Apa itu berpikir out of the box? Berpikir out of the box merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan cara berpikir tanpa batasan diri. Makna “box” adalah batasan diri. Jadi seseorang berpikir out of the box adalah seseorang yang mampu berpikir melampaui batasan diri tersebut sehingga menghasilkan ide yang baru dan tidak terpikirkan orang lain sebelumnya.

Proklamasi kemerdekaan RI merupakan momen puncak kebebasan bangsa Indonesia dari sistem penjajahan negara lain. Sebenarnya di balik peristiwa bersejarah tersebut ada momen yang “semestinya berjalan". Namun berkat keberanian dalam berpikir ala out of the box para tokoh bangsa saat itu, justru “merubah jalannya sejarah” dan menjadikan proklamasi sebagai sebuah keniscayaan.

Ada 3 momen peristiwa yang bisa jadi merupakan hasil dari pemikiran dan keputusan out of the box para tokoh bangsa saat itu. Momen tersebut adalah:

Momen Pertama

Proklamasi kemerdekaan Indonesia seharusnya Hari Kamis, 16 Agustus 1945. Jika kita merujuk pada pendapat Hatta dalam otobiografinya, agenda pada tanggal tersebut adalah rapat oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di Kantor Dewan Sanyo Kaigi di Pejambon pukul 10.00 untuk membahas proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Namun, momen penculikan para pemuda terhadap Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945 membuyarkan semua rencana tersebut.

Apa tujuan dari penculikan para pemuda tersebut? Sering diungkapkan dalam tulisan sejarah bahwa tujuan para pemuda adalah mengamankan Sukarno dan Hatta dari revolusi rakyat yang akan menyerang Jakarta untuk melucuti Jepang. Kenyataannya bahkan tidak terjadi apa-apa.

Ternyata dari sisi keputusan out of the box para pemuda untuk menculik Sukano dan Hatta ada hasilnya juga. Hal ini merujuk pada usulan Syahrir kepada Sukarno dan Hatta tanggal 14 Agustus 1945.

Syahrir menceritakan bahwa Jepang telah minta damai kepada Sekutu (menyerah tanpa syarat). Sebab itu, pernyataan kemerdekaan janganlah dilakukan oleh PPKI sebab Indonesia merdeka yang lahir semacam itu akan dicap Sekutu sebagai Indonesia buatan Jepang

Sebaiknya, Bung Karno sendiri saja menyatakan sebagai pemimpin rakyat dengan perantaraan corong radio. Namun usulan tersebut ditolak Sukarno karena tidak ingin melangkahi panitia PPKI sedangkan beliau menjabat sebagai ketuanya.

Momen Kedua

Momen ini berlangsung setelah kepulangan Sukarno, Hatta, dan Ahmad Subardjo dari Rengasdengklok. Mereka bertiga berupaya mengatur cara bagaimana meneruskan rapat PPKI yang tidak jadi diadakan paginya.

Hatta selanjutnya meminta Ahmad Subardjo menelepon ke Hotel des Indes untuk menyediakan ruangan untuk rapat tersebut. Namun Hotel des Indes membalas bahwa lewat pukul 22.00 tidak boleh mengadakan kegiatan apa-apa lagi karena sudah menjadi peraturan dari dahulu terkait jam malam.

Seandainya para tokoh kita menyerah terkait jam malam, bisa jadi rapat Proklamasi tertunda esoknya tanggal 17 Agustus 1945 namun serasa terlambat karena masih memulai merancang teks proklamasi. Sedangkan Pemerintah Jepang bisa jadi menolak mendukung dan bahkan membubarkan rapat tersebut mengingat adanya kebijakan baru dari Sekutu terhadap wilayah Indonesia (setelah ini kita bahas di momen ketiga).

Bagaimana menyikapi permasalahan berdasarkan keputusan out of the box? Ahmad Subardjo mengusulkan dan menelepon atasannya Admiral Maeda untuk meminjamkan ruang tengahnya supaya digunakan untuk rapat PPKI. Maeda pun menerima permintaan tersebut.

Selanjutnya, Ahmad Subardjo menelepon anggota-anggota PPKI yang semuanya menginap di Hotel des Indes untuk datang ke rumah Maeda pukul 24.00 guna melanjutkan rapat yang tidak jadi tadi pagi.

Bagaimana jawaban Maeda atas kesediaannya meminjamkan rumahnya? Beliau menjawab “Itu kewajiban saya yang mencintai Indonesia merdeka".

Momen Ketiga

Momen ini terjadi sebelum Sukarno dan Hatta berangkat ke rumah Admiral Maeda. Mereka dihubungi oleh Mayor Jenderal Nishimura selaku pimpinan Jepang untuk menghadap beliau.

Setelah bertemu, Sukarno dan Hatta menyampaikan rencana rapat mereka pada pukul 24.00 di rumah Maeda. Nishimura menjawab “Apabila rapat itu berlangsung tadi pagi (16 Agustus 1945 pagi), akan kami bantu. Akan tetapi, setelah tengah hari (pukul 13.00), kami harus tunduk kepada perintah Sekutu dan tiap-tiap perubahan status quo tidak dibolehkan. Jadi sekarang rapat PPKI itu terpaksa kami larang.”

Betapa kecewanya Sukarno dan Hatta mendengar hal itu. Namun, apakah mereka menyerah mendengar keputusan tersebut?

Untuk menunjukkan perlawanannya terhadap keputusan Jepang sebagai bentuk tindakan out of the box, maka Hatta berkata “Apakah itu janji dan perbuatan samurai? Dapatkah Samurai menjilat musuhnya yang menang untuk memperoleh nasib yang kurang jelek? Apakah Samurai hanya hebat terhadap orang yang lemah di masa jayanya, tetapi hilang semangatnya waktu kalah? Baiklah, kami akan jalan terus apa juga yang akan terjadi. Mungkin kami akan menunjukkan kepada Tuan bagaimana jiwa samurai semestinya menghadapi suasana yang berubah.”

Begitulah sekelumit momen sekitar proklamasi. Patut kita apresiasi para tokoh bangsa mengambil keputusan out of the box dalam upayanya mencari solusi demi kemerdekaan RI.

Selepas dari pertemuan dengan Nishimura, Sukarno dan Hatta lanjut menyusun teks Proklamasi di rumah Maeda dan akhirnya Sejarah menulis tinta emasnya betapa Proklamasi Kemerdekaan berhasil dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Dirgahayu Republik Indonesia ke -77 tahun. Semoga Indonesia semakin jaya!

Penulis: Risang Tunggul Manik

Pengajar dan Pemerhati Sejarah

DAFTAR PUSTAKA

1. Adams, Cindy. 2014. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Yayasan Bung Karno. Penerbit Media Pressindo

2. Hatta, Mohammad. 2011. Menuju Gerbang Kemerdekaan 3 (Untuk Negeriku Sebuah Otobiografi). Kompas.

3. www.penerbitbukudeepublish.com

Lagu nasional

  Lagu nasional Tanah Airku Tanah air ku tidak kulupakan Kan terkenang selama hidupku Biarpun saya pergi jauh Tidak kan hilang dari kalbu Ta...